majalah sagang

68
No. 172zJANUARI 2013ztahun XV z www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir) (Henri Cham Raja Ali Haji dalam Jejak dan Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak Sajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Si oleh Bambang Widiatmoko, M.Si Ke Manakah Puisi? Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita oleh Alvi Puspita Pembacaan Teks Sastra, Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Perkumpulan dan Eksistensialisme Eksistensialisme oleh M Taufan Musonip oleh M Taufan Musonip Cerita-pendek: Cerita-pendek: Coup d’etat Coup d’etat oleh oleh F. Sophie F. Sophie, Dapur Dapur oleh oleh Cikie Wahab Cikie Wahab, , dan dan Kabut Kabut Kerinduan Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H oleh Ahmad Ijazi H Sajak: Sajak: Muhammad Nurul, Muhammad Nurul, Irdas Yan, Irdas Yan, dan dan Sir Saifa Abidillah Sir Saifa Abidillah Musik: Musik: DKR & STSR dalam DKR & STSR dalam "Sembang Bunyi 12" "Sembang Bunyi 12" Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar dan Karya Lukis Nashar Tokoh: Tokoh: Ferit Orhan Pamuk Ferit Orhan Pamuk

Upload: rudi-yulisman

Post on 29-Mar-2016

289 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Edisi 172 Januari 2013

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Sagang

halaman KULITi

No. 172 JANUARI 2013 tahun XV www.majalahsagang.com

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia!(Henri Chambert-Loir)(Henri Cham

Raja Ali Haji dalam Jejak danRaja Ali Haji dalam Jejak danSajakSajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Sioleh Bambang Widiatmoko, M.Si

Ke Manakah Puisi?Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspitaoleh Alvi Puspita

Pembacaan Teks Sastra, Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan danPerkumpulan danEksistensialismeEksistensialismeoleh M Taufan Musonipoleh M Taufan Musonip

Cerita-pendek:Cerita-pendek:Coup d’etatCoup d’etat oleholeh F. SophieF. Sophie, DapurDapur oleholeh Cikie WahabCikie Wahab, , dandan Kabut Kabut KerinduanKerinduan oleh Ahmad Ijazi Holeh Ahmad Ijazi H

Sajak:Sajak: Muhammad Nurul,Muhammad Nurul,Irdas Yan,Irdas Yan, dandan Sir Saifa AbidillahSir Saifa Abidillah

Musik:Musik: DKR & STSR dalamDKR & STSR dalam"Sembang Bunyi 12""Sembang Bunyi 12"

Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashardan Karya Lukis Nashar Tokoh:Tokoh: Ferit Orhan PamukFerit Orhan Pamuk

Page 2: Majalah Sagang

halaman KULITii

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEKPAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ

PAKET INFO PRODUKMenginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja,anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya.Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami(Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan.Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinyadi koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafi kaDivisi Komersial Printing

Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru

Offi ce +62761-566810

Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Fax +62761-64636

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010

Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990

An: PT Riau Graindo

E-mail riauposgrafi [email protected]

"SHOW OFF YOUR BUSINESS!"mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

Page 3: Majalah Sagang

halaman 1

Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers

SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998

ISSN: 1410-8690

Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas

KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, IndonesiaTelepon Redaksi: (0761) 566810

Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636

www.majalahsagang.come-magazine

Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-

No. 172 JANUARI 2013 tahun XV

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani.Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keter-angan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

Daftar Isi

Roh Kesenian ................................................2

Esei

- Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak

oleh Bambang Widiatmoko, M.Si ..................3

- Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita ............6

- Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi

Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme

oleh M Taufan Musonip .................................8

Cerita-pendek

- Coup d’etat oleh F. Sophie ............................11

- Dapur oleh Cikie Wahab .............................. 19

- Kabut Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H .........23

Sajak

- Muhammad Nurul .......................................28

- Irdas Yan ......................................................33

- Sir Saifa Abidillah .........................................39

Musik

DKR & STSR dalam "Sembang Bunyi 12" ......46

Seni rupa

Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat

Malam” dan Karya Lukis Nashar ...................50

Rehal

Ciuman Hujan .................................................54

Tokoh

Ferit Orhan Pamuk ........................................ 60

Illustrasi

halaman 11,19 dan 23 karya Purwanto

Lukisan "Di Pantai" karya Armawi KH,cat minyak pada kanvas. foto red

Page 4: Majalah Sagang

halaman 2

tajuk

ROH atau nyawa, semua orang tahu, kare-na ada dalam dirinya sendiri; yakni “sesuatu” yang menghidupkan manusia. Kajian tentang roh akan lebih lengkap pada kalangan sufi atau para khalifah di tempat rumah suluk, apalagi jika sudah mencapai taraf tuan guru, bahkan para wali Allah. Ketika masih muda, sempat juga menimba ilmu seperti ini de-ngan beberapa guru di luar rumah suluk se-cara “liar”, atau mungkin disebut murid pre-man. Roh atau nyawa itu banyak macamnya, taklah kan disebutkan di ruang ini, karena ilmu ini bukan ilmu fi qih, maka akan menjadi fi tnah bagi yang tak pernah belajar. Karena pada prinsipnya seseorang yang tak pernah mengecap rasa buah tampu (buah yang tum-buh liar di hutan, sekarang sudah langka), tak akan tahu bagaimana, apa rasanya buah tampu itu.

Apakah roh kesenian itu? ATL (Asosiasi Tradisi Lisan Riau)dengan beberapa kawan bulan Januari 2013 yang lalu pergi ke be-berapa kawasan kesenian dan kebudayaan, seperti mengunjungi Pak Taslim, Wak Setah di Rokanhulu, mengunjungi Mak Itam, Wan Khatijah, dan tatacara pembuatan “kelong-kap”, yaitu perlengkapan untuk upacara pe-ngobatan “bulian” di Kabupaten Pelalawan. Kalau sampai di rumah Pak Taslim, kita akan dapat melihat dan mendengar “roh kesenian dan kebudayaan” itu. Di rumah Pak Taslim itu banyak sejumlah instrument kesenian dan juga instrument kebudayaan yang berhubu-ngan dengan mata pencaharian masyarakat zaman dahulu maupun zaman sekarang, se-but saja lukah, ketiding, lesung indik, jobak, bermacam-macam alat-senjata, dan lain-lain ratusan yang tak dapat ditulis di sini karena banyaknya. Selain museum mini, Pak Taslim adalah juga “roh kesenian” itu sendiri. Pada

dirinya terdapat ensiklopedi kebudayaan Me-layu, dan kesenian. Ketika pergi membuat dokumentasi fi lm dokumenter tentang tata-cara mengambil gula enau, tak ditemukan lagi pekerja yang mengambil gula enau itu pandai untuk berdendang atau lagu mantera untuk membuai “tangan” batang enau (nira) itu supaya airnya dapat lebih banyak dan me-limpah, tapi Pak Taslim hafal dan tahu man-tera lagu membuai “tangan” enau tersebut.

Rombongan berangkat ke tempat Wak Setah, tukang koba. Dia tidak tinggal lagi di rumahnya yang lama, tetapi di rumah anak perempuannya yang paling tua di desa Ke-panasan, yang agak jauh dari Kotalama dan Pagarantapah tempat tinggalnya, sehingga beberapa jam mobil yang kami sewa terpuruk di lumpur yang dalam, karena jalan yang tak bagus, sedangkan Indonesia sudah merdeka 68 tahun yang lalu. Wak Setah sudah tidak melihat lagi karena penyakit diabetes yang di-deritanya, setahun sesudah anak perempuan bungsu kesayangannya meninggal-dunia aki-bat diabetes juga. Ada belasan cerita koba ada pada dirinya, beberapa secara pribadi sudah ada rekamannya, dan yang lain? Akan hi-langlah ketika salah-seorang “roh kesenian” ini juga hilang.

Di tempat yang lain di Sorek, Mak Itam dan Wan Khatijah “menyanyi-panjang” de-ngan beberapa cerita. Mak Pilih ibu Wan Khatijah sudah meninggal-dunia “hilang” bersama roh kesenian yang dimiliknya. Pak Comel, Pak Imam Bongkol (sahabat ketika berkolaborasi musik di Melaka) tukang ke-tobung pun sudah meninggal-dunia, dan roh musik yang ada pada diri mereka juga hilang.

Di mana “roh kesenian” itu sekarang bera-da di bumi Melayu ini? Di Anjung Seni Idrus Tintin? Entahlah Nyot. ***

Roh Kesenian

Page 5: Majalah Sagang

halaman 3

Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajakoleh Bambang Widiatmoko, M.Si

esei

etiap bulan Oktober perhatian kita

tertuju kepada peringatan Bulan Ba-

hasa. Sumpah Pemuda yang menye-

but Berbahasa Satu Bahasa Indonesia telah

menjadi bagian dari kehidupan berbangsa

dan berbahasa. Rentang panjang kehadiran

bahasa Indonesia di negeri ini tentunya tidak

dapat terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji,

Bapak bahasa Indonesia. Beragam karya sep-

erti bahasa, agama, hukum, pemerintah dan

syair-syair telah dihasilkan oleh Raja Ali Haji.

Dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia

embrionya adalah bahasa Melayu Riau. Ar-

tinya pada awal permulaan abad ke-20 baha-

sa Indonesia belum dikenal. Para sejarawan

menyebutkan nama Indonesia baru muncul

sesudah tahun 1919 dan dikukuhkan saat ter-

jadinya Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Pada saat itu muncul penyebutan Berbahasa

Satu Bahasa Indonesia.

Raja Ali Haji menulis dua buah buku

mengenai bahasa yakni Kitab Pengetahuan

Bahasa dan Bustanul Katibin. Kitab Penge-

tahuan Bahasa merupakan kamus ensik-

lopedi monolingual Melayu yang pertama

dan disusun tahun 1858, lalu dicetak dengan

huruf Arab-Melayu (Jawi) pada Mathba’at

Al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press Si-

ngapura tahun 1929. Naskah tersebut disim-

pan di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat.

Jasa Raja Ali Haji bagi perkembangan

Bahasa Indonesia diakui hingga kini. Dalam

bidang kesastraan Raji Ali Haji menyum-

bangkan karya besar Gurindam Duabelas

yang memperkokoh dia menjadi seorang pu-

jangga besar. Raja Ali Haji dilahirkan pada

tahun 1808 di pusat kerajaan Riau yang saat

itu bertempat di Pulau Penyengat, tempat di

Page 6: Majalah Sagang

halaman 4

mana akhirnya beliau dimakamkan. Sam-

pai sekarang di pulau Penyengat masih me-

ninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan

naskah-naskah sebagai tempat rujukan ba-

hasa Melayu.

Ali Haji dalam Persepsi Terkini

Aktualisasi dan apresiasi terhadap karya

Raja Ali Haji dalam bidang kesastraan tidak

pernah berhenti dan terus dilakukan oleh

para sastrawan hingga kini. Penyair Agus R.

Sardjono dalam kumpulan sajaknya Lum-

bung Perjumpaan (Komodo Books, 2011)

yang memperoleh hadiah sastra Majelis Sas-

tra Asia Tenggara (Mastera), Oktober 2012,

dalam salah satu sajaknya berjudul Ali Haji

mengisahkan:

//Seorang bangsawan menggores kalam/

di ombak lautan di tanah sulaman/Bing-

kisan berharga berbilang zaman/serangkum

gurindam pegangan insan//Lirih sangat

nyanyikan balam/Lirih sejarah berkelindan

barah/Gerangan ke manakah kejayaan silam/

Ke lubuk sengketa berebut marwah//Bugis

Melayu keris perahu/menanam selendang

sejarah pilu/Tangis berlagu duka bertalu/

tinggal Melayu di gamang kalbu//Menanam

selendang sejarah pilu/suluh pegawai tuan

yang baru/Dengan penjajah berbagi guru/

ikat-ikatan penguat kalbu.//Suluh pegawai

tuan yang baru/fi intizam raja dan ratu/Dua

belas pasal cintaku padamu/Bulang cahaya

berlayar rindu//Inderasakti ke mana pergi/

Ke pusat kalam pengganti pedang/Akankah

melayu hilang di bumi/Saat sang kalam ber-

tukar uang//Fi intizam raja dan ratu/rakyat

menunggu di balik pintu/Bukalah pintu bu-

kalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//

(hal. 29-30).

Raja Ali Haji dalam pemahaman penyair

Agus R. Sarjono telah menggoreskan per-

kataan yang dapat dijadikan pegangan insan.

Tentu yang dimaksudkannya adalah karya

Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas yang

dalam interpretasinya disebut //dua belas

pasal cintaku padamu//. Ajaran yang tertu-

ang dalam Gurindam Duabelas yang tentu-

nya tetap abadi untuk diikuti, di antaranya

tertuang dalam pasal kedua: “barang siapa

meninggalkan sembahyang/seperti rumah

tiada bertiang/barang siapa meninggalkan

puasa/tidaklah mendapat dua termasa/ba-

rang siapa meninggalkan zakat/tiada artinya

beroleh berkat.”

Dalam baris sajaknya Agus R. Sarjono

mengungkapkan /Bugis Melayu keris pe-

rahu/. Apa yang dimaksudkan dalam baris

sajak tersebut? Jika ditelusuri leluhur Raja

Ali Haji adalah orang Bugis. Orang Bugis me-

mang dikenal sebagai pelaut yang ulung dan

gemar merantau. Dalam tradisi Bugis meran-

tau disebut Sompeq dan merupakan perada-

ban yang sangat tua. Mereka berlayar meng-

gunakan perahu tanpa mengenal rasa takut.

Ada ungkapan yang sangat popular dalam

tradisi Bugis sebagai pelaut yang ulung: “se-

lama laut masih berombak, maka pasir di

pantai tak akan pernah tenang.”

Agus R. Sarjono juga tidak salah jika

menuliskan dalam baris sajaknya //Dengan

penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat

kalbu//. Seperti diketahui dalam riwayat-

nya, pada tahun 1823 Raja Ali Haji mengi-

kuti ayahnya ke Betawi, dan bertemu dengan

Gubernur Jendral Godort Alexander Gerard

Philip Baron van der Capplen. Raja Ali Haji

berkesempatan berkenalan dengan kehidu-

pan orang-orang Belanda dan menyaksikan

beragam pertunjukan kesenian. Artinya Raja

Ali Haji dapat menimba dan berbagi ilmu

dengan penjajah.

Namun ada yang membuat miris hati saya

ketika Agus R. Sarjono menuliskan dalam sa-

jaknya: //Akankah melayu hilang di bumi/

saat sang kalam bertukar uang//. Kapital-

isme dan komersialisme demikian kuat men-

Page 7: Majalah Sagang

halaman 5

cengkeram dalam kehidupan kita. Ancaman

yang bisa jadi akan menghilangkan Melayu

di muka bumi, saat yang berkuasa tidak lagi

lagi raja, kepala negara atau pujangga, me-

lainkan uang yang telah merasuki jiwa kita.

Meskipun demikian kita selalu berharap se-

perti yang dikatakan Agus dalam bait terakhir

sajaknya://Bukalah pintu bukalah kalbu/biar

Melayu kembali melagu//.

Keterpukauan terhadap Raja Ali Haji tidak

hanya dimiliki Agus R. Sarjono. Penyair Tau-

fi q Ismail juga menuliskan tentang Raja Ali

Haji dalam sajaknya berjudul Perjalanan

Menziarahi Raja Ali Haji. Dalam ingatan

dan pemahaman Taufi q Ismail yang ditu-

angkan dalam sajaknya://Ada dua tempat

di muka bumi ini yang mengcengkeram per-

asaaanku/Yang pertama perpustakaan dan

kedua kuburan//.

Taufi q Ismail menceritakan kisahnya ke-

tika berziarah ke makam Raja Ali Haji di Pu-

lau Penyengat://Demikianlah aku naik pe-

rahu sendirian/bergoyang-goyang digoncang

arus musim kemarau, mega di atas bagai/

bulu domba, mendarat di Pulau Penyengat//

Inilah ziarahku ke kuburan cendekia besar

abad sembilan belas,/penyair Gurindam Dua

belas//

Disebutkan Raja Ali Haji adalah seorang

cendekia besar abad sembilan belas dan Tau-

fi q Ismail menunjukkan kecendekiawan Raja

Ali Haji dengan mengutip Gurindam Dua-

belas: “Kasihkan orang yang berilmu/tanda

rahmat atas dirimu.”

Keterpukauan Taufi q Ismail kepada Raja

Ali Haji sebagai penyair besar abad 19 ditun-

jukkan dengan menuliskan dalam bait terak-

hir sajaknya://Wahai Penyair besar abad

19, kuburanmu adalah isyarat akhirat/bagi

perjalanan dunia fana, /teladan amal karya

sastrawan beriman, begitu dalam/mencekam

perasaan, dan, terimalah Ummul Quran/se-

orang penyair abad 20, yang menghitung je-

jakmu/menyeberang lautan//.

***

Karya pujangga besar Raja Ali Haji terus

dipahami dan menjadi sumber inspirasi para

penyair terkini. Agus R. Sarjono dan Taufi q

Ismail hanya sekadar contoh penyair yang

mendapat semangat dalam berkarya dan ke-

betulan menuliskan persepsinya terhadap

Raja Ali Haji secara langsung dalam sajaknya.

Perlu ditanyakan apakah semangat Sum-

pah Pemuda tetap aktual dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara dalam menghadapi

tantangan zaman? Tantangan yang hanya da-

pat dijawab dengan perbuatan, bukan dengan

kata-kata. Ingatlah kata Raja Ali Haji dalam

Gurindam Duabelas: “apabila banyak berka-

ta-kata/di situlah jalan masuk dusta.”

BAMBANG WIDIATMOKO

Penyair, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI), dan salah-seorang deklarator Hari Puisi Indonesia

Page 8: Majalah Sagang

halaman 6

PUISI. Begitulah namanya. Kebe-

basan masing-masing kita mendefi nisikan-

nya. Tapi, bagiku puisi adalah hidup. Hidup

adalah mati. Dan kata kawanku mati adalah

kita. Jadi puisi adalah kita yang hidup dan

yang mati. Terbungkus dalam racik masak

bahasa. Dan bahasa bukan hanya soal kata-

kata tapi dari mana asal kata-kata. Dari pikir

dan renungan, semestinya. Anggaplah begitu.

Menikmati puisi berarti menikmati hidup

dan mati. Dalam hidup dan mati terdapat ke-

inginan, harapan, ketakutan, kebingungan,

kebimbangan, mimpi-mimpi, kerinduan pun

amarah, yang selayaknya menjadi indah dan

basah dalam puisi.

Maka aku mencari puisi. Belum juga kute-

mukan ia. Pun di kota ini. Aku mencoba mem-

buatnya sendiri. Tapi setelah itu aku merasa

belum menulis apa-apa. Kemudian sepi. Ke-

mudian resah. Kemudian gelisah. Kemudian

rindu pula. Lalu aku mencoba mencarinya

lagi. Kudatangi tempat-tempat yang kukira

ada puisi disana. Tapi ternyata yang kutemu-

kan penyairnya. Lalu diri jadi bertanya, ke

manakah puisi?

Huss! Itu pertanyaan konyol, katanya

padaku. Apakah kau tidak lihat, ada berapa

banyak koran Minggu yang ada puisinya. Ada

majalah-majalah sastra pula yang juga me-

muat puisi. Ditambah pula acara-acara lom-

ba penulisan puisi, acara pembacaan puisi,

dinding-dinding Facebook yang sering pula

ditongkrongi puisi, antologi-antologi puisi

yang ternyata tetap saja masih ada dari tahun

ke tahun dari pasar pembacanya yang tidak

banyak itu. Penyair-penyair muda tumbuh

dan yang tua masih enggan mati pula. Lalu

apa maksud pertanyaanmu itu, katanya : Ke

Manakah Puisi?

Puisi, bukan hanya soal kata-kata. Bukan

pula soal siapa. Pun naif juga kalau bertanya

untuk apa. Lalu apa? Sudahkah kita bertan-

ya tentang apa dan mengapa di setiap yang

hidup dan yang mati di jagad raya ini, di ceruk

kedalaman jiwa dan kebimbangan diri kemu-

dian mencoba menjawabnya dengan puisi.

Walau itu hanyalah kemungkinan jawaban,

tapi begitulah puisi menurutku.

Lalu apa persoalannya, katanya lagi me-

ragukanku. Bukankah sudah kau katakan

bahwa puisi adalah soal kebebasan masing-

masing kita mendefi nisikannya. Kalau be-

gitu menurutmu puisi, maka tulislah sendiri

puisi yang seperti itu. Selagi kau mencari

takkan juga kau temukan, apalagi kalau kau

mencarinya di rumah orang lain. Ah! Aku tak

Ke Manakah Puisi?

oleh Alvi Puspita

esei

Page 9: Majalah Sagang

halaman 7

tahu. Lalu untuk apakah puisi itu diterbitkan,

di bukukan atau dibacakan kalau toh hanya

memang soal masing-masing penyairnya.

Lalu di mana pembaca yang mencari sesuatu

dari puisi? Bukankah tak semua orang pula

mampu menulis puisi? Atau memang tidak

perlu mencari sesuatu dari puisi? Karena pui-

si bukanlah apa-apa. Hanya sebatas kata-kata

yang diperjualbelikan untuk sekedar mengisi

perut. Hanya sebatas alat untuk ‘ada’nya diri

si penyair. Hanyalah rangkai-merangkai kata

untuk berindah-indah. Hanya....Ups. Engkau

mulai emosi, katanya padaku. Emosi tidak

akan membawamu kemana-mana. Tidak

akan memperterang jalan. Iya, tetapi me-

ngapa selalu engkau menyangkalku dan tidak

biarkan aku bebas menyampaikan kegelisa-

hanku. Aku sengaja begini agar kau lebih teliti

pada apa yang engkau tanyakan. Tapi adakah

salah aku mempertanyakan hal itu. Tidak

salah, tapi kau mesti punya alasan pemikiran

yang jelas kenapa kau mempertanyakan itu,

karena kini ataupun nanti tidak dibutuhkan

hanya sekedar penghakiman-penghakiman.

Ah. Jangan bawa aku terlalu jauh. Kembali

ke pertanyaanku tadi tentang Ke Manakah

Puisi, apakah berarti menghakimi. Terkesan

begitu. Dengan pertanyaanmu itu semacam

tersimpan pernyataan bahwa tidak ada pu-

isi. Nah, bagaimana kalau aku mengiyakan

dugaanmu itu tentangku. Bahwa aku menga-

takan memang tak ada puisi. Dan puisi yang

aku maksud adalah puisi seperti yang telah

kujelaskan padamu itu. Yang aku temukan

adalah penyairnya. Obrolon-obrolan penuh

polemik tentang yang satu menghujam yang

lain. Tentang yang lain yang mencerca yang

lain pula. Apakah puisi yang lembut itu meng-

hasilkan orang-orang yang mudah mencerca

dan apakah orang-orang yang suka mencerca

bisa menghasilkan puisi? Lalu, pembacaan-

pembacaan puisi, takkah kau merasakan hal

yang sama denganku, bahwa lebih banyak

teaterikalnya dan puisinya malah jadi hilang

sama sekali. Sekarang kamu mau bilang apa

kalau aku sudah bilang begini. Membaca ke-

banyakan puisi aku jadi bingung apa yang di-

maksudkan penyairnya, mereka mengguna-

kan kata-kata yang dibangkitkan dari kubur.

Aku jadi perlu tahu dulu tentang kubur itu.

Capek dech. Kemanakah puisi?

Dia membuang mukanya dariku. Ban-

yak hal yang tidak kita paham apalagi kalau

hanya melihatnya sepotong-potong. Telah

berapa banyak puisi yang kau baca. Sejauh

mana engkau mengikuti puisi. Sedalam mana

engkau menyetubuhi puisi. Sebatas apa pem-

bacaanmu pada diri sendiri sebelum mem-

baca orang lain. Kau terlalu campur-aduk.

Puisi bukan kebenaran. Hazab kau mencari

kebenaran dalam puisi. Ah. Dia menohokku

dari pertanyaanku tadi. Kalau sudah be-

gini kami akan saling diam. Tapi aku masih

tetap dalam pertanyaanku, Ke Manakah

Puisi? Mungkin pembaca sekalian ada yang

mau menengahi kami. Atau... Terserahlah....

Terserah pembaca saja. Ini mau dilanjutkan

atau tidak. Terserah sajalah.

***

Page 10: Majalah Sagang

halaman 8

umpulan Esai Kesusastraan

dan kekuasaan (Yayasan Arus,

1984) karya Wiratmo Soekito,

yang pada tulisan pembukanya menelusuri

secara singkat kiprah George Lukacs, dalam

gerakan sosialisme yang meneruka jalan

kesustraan pada pembacaan atas dua novel

Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos,

merupakan ima-jinasi tentang pergerakan

kepahlawanan melawan kekuasaan diktator

yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah

dua novel itu terbit (1930an) muncul di be-

berapa negara pemerintahan diktatoriat.

Wiratmo berpendapat bahwa pada ke-

nyataannya teks menciptakan universalitas,

dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks

Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan

awal membebaskan bangsa Indonesia dari

penjajahan seperti halnya pula karya karya

sastra lainnya yang telah memberi inspirasi

pergerakan: Karya -karya Muhammad Iqbal

yang menginspirasi kemerdekaan Negara

Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang

memicu perang Saudara.

esei

Pembacaan Teks Sastra,

Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme

oleh M Taufan Musonip

Page 11: Majalah Sagang

halaman 9

Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam

bukunya Indonesia antara Kelisanan dan

Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) menya-

takan dengan adanya jarak (distance) antara

sang kreator dengan pembaca pada budaya

teks ketimbang antara pembicara dan hadi-

rin, justru akan membangun pembacaan

multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenar-

nya letak perbedaan dari wacana yang di-

sampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika

kita memahami bahwa keduanya sebenarnya

sedang membicarakan tradisi tulis dengan

pertimbangan pertimbangan kesusastraan.

Historiografi

Dalam teks sastra, pengalaman terekstrak-

si menjadi semacam plot, diksi, lebih lanjut

lagi dalam refl eksi puitik menjadi metafora,

simbol dan bunyi. Aktifi tas penulisan sas-

tra, merupakan endapan pengalaman, potret

yang masuk ke dalam ruang pembacaan ba-

tin, guna memperoleh estetika memadai, oleh

karenanya bersifat individual.

Karena pengalaman terekstrasi dalam

berbagai kaidah sastrawi (plot, simbol, meta-

fora dan bunyi) pembacaanpun bersifat in-

dividual, melahirkan multi tafsir, kritik yang

beragam. Teeuw, mengatakan bahwa hadir-

nya varian perbedaan pembacaan karena teks

yang tercerap oleh indera penglihatan bersi-

fat memecah, sementara dalam tradisi lisan,

meskipun merupakan hasil pembacaan teks

ia bersifat mempersatukan.

Teeuw mengambil contoh teks pidato

Presiden Indonesia tahun 1988, yang secara

tematik maupun jangkauan literasi, beserta

retorika politik memang berniat memper-

satukan pemahaman sidang pendengar. Dia

kemudian mengkhawatirkan mungkin de-

ngan cara deklamasi, kekuatan teks puisi

akan kalah dengan kekuatan cara pembacaan

sang Penyair, yang kemudian akan menon-

jolkan Penyairnya ketimbang karyanya. Te-

sisnya diperkuat dengan kajian mitologi Yu-

nani, Homeros si buta sebagai pengisah Illiad

dan Oddisey, yang dibawakan secara lisani,

membuat sang pencerita dan karyanya men-

jadi menonjol tanpa kritik. Tradisi Lisani itu

kemudian mendapatkan kritik dari imajinasi

Republik nya Plato, yang oleh Teeuw disebut-

sebut sebagai awal mula kebudayaan tinggi

Yunani, yaitu titik tolak lahirnya tradisi tulis

yang melahirkan kritisisme.

Dalam Bab II yang secara khusus mem-

bahas penyair Hamzah Fansuri (1600 M),

Teeuw memang berkutat dalam teks puisi

ketimbang siapa Hamzah Fansuri sendiri.

Ketika pembacaan atas teks puisi itu habis

di bedah tentang pola rubai'at yang diban-

gun Hamzah dalam sajaknya sebagai bentuk

baru sistem rubai'at Persia, atau tentang pe-

nulisan subjek Hamzah Fansuri dalam setiap

penutup puisinya barulah ia bercerita tentang

Penulisnya. Menurutnya historiografi dalam

teks sastra berawal dari tulisannya, bukan

dari riwayat hidupnya. Dalam pada itu, maka

M TAUFAN MUSONIP

Lahir 16 Desember 1979 di Bandung. Alumni Universitas Jen-deral Achmad Yani, Jurusan Teknik Kimia.

Karya-karyanya telah dimuat di beberapa harian dan ma-jalah lokal dan nasional. Penerima Anugerah Juara Pertama Anugerah Buletin Jejak kategori Esai Kritik yang dikurasi oleh Ketua Forum Sastra Bekasi Budhi Setyawan.

Beberapa esainya telah berhasil menjadi pengantar bebera-pa karya penyair, seperti Dilematika Sang Simtom untuk eBook Simtom simtom sebelum Penyair karya Ganjar Sudibyo (Ganz) juga telah dimuat dalam Harian Umum Berita Pagi, Tragedi Kekacauan Gelombang Cahaya untuk Buku Awan Hitam karya Fuad dl l.

F.int

Page 12: Majalah Sagang

halaman 10

sang pengulas karya mendapatkan pandan-

gan baru tentang siapa tokoh yang tengah

ia dalami itu: : Hamzah Fansuri dinobatkan

Teeuw sebagai awal pencetus puisi modern

di Indonesia atas otentisitas proses keka-

ryaannya, merupakan terobosan bagi penulis

berkebangsaan Belanda ini terhadap sejarah

kesustraan Indonesia yang memahami puisi

modern lahir sejak angkatan 45.

Titik

Jika teks sastra adalah ungkapan tertinggi

seorang individu manusia tentang pengala-

mannya yang memiliki ruang refl eksi sebagai

pengekstraksinya, dua buku Kafka yang ter-

baca oleh Lukacs, merupakan bukti bahwa

individualitas baik dalam proses penciptaan

maupun pembacaan hanya merupakan titik

sebagai awal mula terbentuknya perkumpu-

lan semesta manusia, membicarakan sebuah

karya.

Titik itu menciptakan inspirasi bagi ke-

hidupan, termasuk membangun budaya kri-

tik, di sini karya sastra menemukan momen-

tumnya sebagai monumen arkeologi seperti

pernah dibicarakan Foucault.

Sejauh mana Sebuah karya sastra dapat

menjadi jalan bagi sebuah perjalanan peru-

bahan kolektif ditentukan dengan seberapa

banyak karya tersebut telah dilisankan, bu-

kan dalam bentuk propaganda, tetapi dalam

berbagai bentuk diskusi yang kritis yang ke-

mudian dapat menerbitkan inspirasi kepada

pergerakan ke arah humanisme. Kecuali

memang sudah tidak ada lagi tempat pembi-

caraan humanisme dalam sastra.

Dan bagaimana sebuah sastra dapat mem-

bangun kekuatan pribadi, sebagai kritisisme

lebih lanjut, maka aktifi tas kelisanan yang

membicarakan sebuah karya akan diteruskan

kepada aktifi tas pembacaan, yang menstimu-

lus pemahaman dan sudut pandang terhadap

teks secara lebih refl ektif.

Maka keberhasilan hadirnya teks sastra

adalah lahirnya eksistensialisme: mencipta-

kan pembaca yang terangsang untuk bebas

menafsir dan meyakini isi di balik teks secara

sendiri, sambil mengaktualkan diri dalam

berbagai pertemuan, membicarakan sudut

pandang masing masing mengenai karya yang

tengah dibacanya.***

Page 13: Majalah Sagang

halaman 11

Coup d’etatoleh F. Sophie

cerita-pendek

Page 14: Majalah Sagang

halaman 12

“Auw!” Rambut panjang milik gadis itu tersasak sempurna karena gulin-

gan tubuhnya di atas tangga. Buku dan kertas-kertas berhamburan.

Ketika tubuh semampainya mencapai lantai ia meringis. Ego. Som-

bong. Dua hal yang sulit dipilih untuk mendefi nisikan sikapnya.

Pikirannya berkecamuk. Ia harus meneguhkan pendirian yang su-

dah lama ia bangun. Ia bagai tembok Berlin. Tapi kini haruskah

tembok yang susah-payah ia bangun itu runtuh? Dan membiarkan

seseorang melakukan kudeta?

“Nein1!” Gadis itu menggeleng cepat. Ia menyusun kembali

buku-bukunya. Ia berpikir tak boleh ada kudeta lagi. Pengalaman

buruk berpacaran dengan Paul setahun lalu membuatnya sudah

cukup lama tak membuka hati untuk siapa pun. Berbulan-bulan,

ia berusaha menikmati kekosongan hatinya. Tapi kini pintu ha-

tinya membuka sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah

mengetuknya.

“Kau tidak apa-apa?”

Ia mengenali suara itu. Suara dari seseorang yang berusaha ia

hindari. Ia mendongak. Fareed sedang membungkuk di hadapan-

nya. Beberapa temannya juga ternyata sedang mengelilinginya. Ia

hanya tak menyadari.

“Tidak. Aku tidak apa-apa.” Katanya kemudian. Ia lalu bangkit

dan berdiri. Memperbaiki syal tebal yang melingkari lehernya.

“Kau harus lebih hati-hati lagi, Sarah”. Salah satu temannya

menepuk-nepuk pundaknya.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum ke arah mereka yang bubar

satu per satu. Hanya Fareed yang tak pergi. Pemuda itu sedang me-

mungut lembaran-lembaran milik Sarah yang tersisa di lantai yang

dingin. Semakin dingin oleh angin musim gugur.

“Tidak usah. Biar aku saja. .” Sarah mengambil satu

lembar lagi yang belum dipungut Fareed. Mencopot yang sudah ada

di tangan pemuda itu dengan sikap dingin. Lebih dingin dari lantai

itu. “Aku pergi.” Katanya tanpa mengarahkan wajahnya pada Fa-

reed.

Sudah lima meter ia meni-nggalkan Fareed. Ketika Fareed me-

manggil namanya ia menghentikan langkahnya. Ia menunggu apa

yang akan dikatakan Fareed. Tubuhnya tak berputar sedikit pun.

“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Maksudku, apa aku

pernah membuatmu tidak nyaman?” Fareed masih berdiri dengan

wajah bingung.

Sarah diam. Sesuatu kembali melintas dalam pikirannya. “En-

tahlah. Mungkin, aku hanya butuh waktu sendiri.” Ia melanjutkan

Page 15: Majalah Sagang

halaman 13

langkahnya. Tidak ada yang salah. Bahkan kau selalu membuat-

ku nyaman. Aku sendirilah yang membuatku tidak nyaman. Aku

dengan perasaanku. Juga dengan perbedaan. Kita berbeda.

Sudah empat bulan Sarah bersikeras tidak memercayai pe-

rasaannya terhadap Fareed sahabatnya. Sehingga ia membiarkan

saja semuanya berjalan seperti biasa. Persahabatannya dengan Fa-

reed berawal sejak Fareed beberapa kali datang ke rumahnya untuk

menemui Profesor Gerold, ayahnya yang berprofesi sebagai pene-

liti Islam dan pengajar Teologi Islam di kelas Fareed. Sarah sering

mendengar diskusi antara Fareed dan ayahnya dari luar ruang kerja

ayahnya. Sarah kuliah di bidang sastra di kampus yang sama de-

ngan Fareed, Goethe University Frankfurt. Profesor Gerold sering

mengajak Sarah berdiskusi tentang apa yang diajarkannya pada

mahasiswanya. Itu yang membuat Sarah memiliki wawasan yang

luas terhadap Islam. Sehingga ia juga sering berdiskusi dengan Fa-

reed.

“Coba kau baca ini!” Suatu kali ia menyodorkan selembar tulisan

tangannya pada Fareed yang sedang asyik melahap sauerkraut3 di

kantin kampus.

“Apa ini?”

“Apa menurutmu Tuan Goethe ini seorang Muslim?”

Kening Fareed mengerut memperhatikan Sarah yang begitu da-

tang langsung menyodorkan sesuatu untuk dibacanya. Langsung

dengan satu pertanyaan. Fareed tahu siapa itu Goethe. Penyair Jer-

man Klasik yang lahir tiga setengah abad yang lalu. Yang namanya

menjadi nama kampusnya itu.

Sebuah puisi karya Goethe yang berjudul West-ostlicher Divan:

"Ob der Koran von Ewigkeit sei? / Darnach frag' ich nicht ! .../

Dasse er das Buch der Bucher sei / Glaub' ich aus / Mosleminen-

Pfl icht"/--“Apakah Qur’an dari keabadian?/ Saya tidak memper-

tanyakan hal itu! / Bahwa dia adalah buku dari semua buku-buku

/ Saya percaya karena wujud keajaiban seorang muslim.”

Fareed tersenyum membacanya. “Menurutmu?”

“Goethe, tidak jelas apakah dia benar-benar muslim.”

“Tapi tidak sedikit juga yang menyimpulkan kalau dia seorang

Muslim. Apalagi setelah dikeluarkannya hasil penelitian mendalam

oleh ulama Eropa masa kini, Syeikh Dr. Abdalqadir as Sufi , bersama

salah satu muridnya Abu Bakr Rieger. Mereka mengeluarkan fatwa

bahwa Goethe mati dalam keadaan Muslim.”

“Well, terlepas dari itu. Aku setuju dengan apa yang ditulisnya.

Buku dari semua buku-buku.” Dan mengalirlah pendapatnya. Sa-

rah memang percaya. Al Qur’an itu adalah Firman Suci. Bahkan ia

sendiri takjub mengetahui bagaimana Kitab Suci Umat Islam itu

Page 16: Majalah Sagang

halaman 14

selalu dihina, dijatuhkan dari zaman ke zaman, sampai sekarang

selalu ada pihak-pihak yang berusaha mendistorsi isi di dalamnya.

Namun Kitab ini tetap otentik. Apa yang ada padanya (Al Qur’an)

di awal ia diturunkan sama persis dengan kitab yang dibaca para

muslim sekarang. Sarah tahu itu. Tahu dari penjelasan-penjelasan

ayahnya sejak lama.

Meski Sarah banyak tahu. Tapi tak membuatnya memeluk Is-

lam, sama seperti ayahnya. Sehingga Fareed terkadang selalu ber-

tanya-tanya pada dirinya sendiri setelah mereka berdua berdiskusi.

Mengapa gadis ini dan ayahnya tidak memeluk Islam saja? Tapi

Fareed tak pernah mengutarakannya secara langsung. Karena me-

nurutnya itu akan membuat Sarah tidak nyaman. Sarah dan Ayah-

nya bukan orang yang taat beragama. Mereka juga tidak mencari

sesuatu yang spiritual. Mereka percaya sebisanya. Tetapi mereka

hanya ingin tetap objektif, menjaga jarak. Menjadi salah satu dari

sedikit orang yang mengatakan apa yang benar dan masuk akal. Se-

hingga orang-orang mungkin menganggap mereka agnostik. Tapi

ketika perasaan—yang awalnya Sarah ragukan itu—mulai ada. Se-

muanya seperti harus ia gali dan ada sesuatu yang harus ia cari.

Fareed pemuda yang bersahaja. Sarah mengakui itu. Fareed se-

lalu sabar dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif yang kadang

Sarah lontarkan saat diskusi seperti “Apa yang membuat mereka—

para teroris—itu melakukannya? Padahal syari’at tidak pernah

mengajarkan hal itu. Membuat orang-orang yang tak berdosa juga

menjadi korban?” Ya. Sarah tahu bahwa syari’at tidak pernah men-

gajarkan kegiatan teror.

“Begini. Dalam semangat militansi dakwah Islam. Ada musuh

yang memang harus diperangi. Tetapi banyak yang salah meng-

artikan ‘musuh’. Mengartikan musuh dengan sangat mentah.

Menggeneralisasikan kesalahan sehingga memicu tindak gegabah

yang merugikan banyak orang. Misalnya segelintir orang Amerika

melakukan tindakan biadap, maka seluruh Amerika dipersalah-

kan dan dibenci. Itu sangat tidak bijak. Musuh-musuh yang harus

diperangi yang dianjurkan dalam Islam adalah musuh-musuh yang

substansial seperti zina, korupsi, zalim, dan sebagainya. Musuh

yang seperti itu sebetulnya adalah benda mati. Ia menjadi berwu-

jud ketika ada orang yang melakukannya. Nah, yang kita perangi itu

bukan orangnya, tapi musuh-musuh substansial itu.”

“Lantas bagaimana kalian memerangi benda mati?”

“Dengan menyampaikan pengetahuan Islam itu sendiri.

Bagaimana Islam mengatur semuanya. Apa yang diperbolehkan

dan apa yang dilarang. Bagaimana hukumnya. Mungkin tidak se-

Page 17: Majalah Sagang

halaman 15

mua muslim terutama nonmuslim langsung akan menerimanya.

Tapi sabar dan bertahap. Itulah yang diajarkan Islam.” Fareed me-

ngangkat segelas air lalu meneguknya. “Kurasa kamu mengerti. Ka-

dang kamu lebih banyak tahu dariku. Seperti Ayahmu.”

Begitulah Fareed dengan sabar meluruskan. Tidak dengan apolo-

gi-apologi. Tidak juga ad hominem4. Namun Sarah tak berkedip.

Mendengar apa yang dikatakan Fareed menimbulkan suatu ke-

kaguman baru. Tapi ia tak akan menunjukkan rasa kagumnya. Sa-

rah menarik tubuhnya ke sandaran kursi. Ia masih diam menatap

Fareed.

“Entschuldigung5, jika tadi itu membuatmu tidak nyaman.”

Fareed menangkupkan kedua tangannya. Fareed selalu ingin mem-

buat Sarah nyaman.

Tapi satu hal yang Sarah sadari pada detik itu. Bahwa ia telah

menyukai Fareed. Sejak pertama kali. Sejak ia selalu merasa nya-

man ketika bersama Fareed meski melalui diskusi mereka. Hatinya

tidak bisa tidak mengakuinya. Tapi otaknya bersikeras tidak mau

ini terjadi. Ia harus menguasai hatinya. Sudah susah payah ia mem-

bangun sistem di kerajaan hatinya. Tidak boleh ada lagi laki-laki

yang akan menyakiti seorang Sarah Austmann. Sakit jika mengeta-

hui laki-laki itu tak akan pernah menjadi miliknya. Karena ia tahu

Fareed tak akan menikahi perempuan nonmuslim.

***

Petempuran adalah salah satu hal yang paling Sarah benci. Dan

kini ia sedang mengalaminya. Pertempuran batin yang menyita se-

bagian waktunya. Apakah perbedaan di antara mereka bisa menya-

tu dan damai dalam cinta. Hah! Ini gila. Bahkan Sarah belum tahu

apakah Fareed juga menyukainya? Dulu, sejak Paul pergi mening-

galkannya dan menikahi gadis lain, ia mengunci rapat hatinya dan

tidak akan pernah terbuka untuk lelaki manapun. Membangun

tembok pertahanan diri yang kokoh, agar perih tak lagi mengge-

rayangi ulu hatinya. Merasa perih mengingat-ingat telah banyak hal

yang ia lakukan bersama Paul.

Sarah memaku. Menatap luar kaca jendela trem. Bisu. trem yang

ia naiki melambat. Pintu trem membuka. Seseorang masuk kemu-

dian duduk di sebelahnya. Trem kembali melaju. Suara dehaman

dari seseorang di sebelahnya mengangkatnya dari lamunan pan-

jang. Sarah menoleh. Fareed. Sarah menghela nafas berat. Senyum

yang sedikit ia paksakan. Tapi, ia merasa harus meminta maaf pada

Fareed. Fareed pasti kaget jika ia tiba-tiba menghilang dan meng-

hindar beberapa hari terakhir.

“Maaf. Bukan apa-apa. Kemarin, aku hanya butuh memperjelas

Page 18: Majalah Sagang

halaman 16

semuanya dengan menyendiri.” Sarah menoleh ke luar jendela lagi.

“Maksudmu?” Kening Fareed sedikit melipat. “Memperjelas

apa?”

Cinta. Bagaimana aku akan meneruskan cinta ini? Tapi Sarah

tak akan mengungkapkan hal itu. “Coup d’etat.” Katanya kemudian.

“Kudeta?”

“Ja6. Aku tidak menyukai kudeta.”

“Dan aku sangat menyukai sauerkraut.”

Sarah menoleh kembali. Ditatapnya Fareed sejenak. “Jangan

sebut-sebut makanan dulu bisa kan?”

“Ibuku tadi memasaknya. Aku membantunya mengiris kubis.

Susah payah karena cutter yang kugunakan kurang tajam sementa-

ra mengirisnya itu harus tipis-tip…”

“Glorious Revolution. Salah satu kudeta paling berdarah dalam

sejarah Inggris. Dan aku membenci pertempuran dan darah. Revo-

lusi Bolshevik, 18 Brumaire, Revolusi Xinhai, Kudeta Cheska dan

Slavia. Sama saja. Semua memakan korban.” Dan dalam kasus ku-

detamu terhadap hatiku, akulah yang menjadi korban yang ur-

ing-uringan beberapa hari terakhir ini.

“Rasa sauerkraut itu asam, tapi aku suka.”

“Halt7 Fareed!”

“Asam. Seasam mukamu pagi ini.”

Sarah menghela napas.

Fareed jadi terkekeh melihat raut muka Sarah yang berat. “Ehe.

Ayolah, aku mencoba melucu, supaya mukamu itu tidak terlalu be-

rat. Sangat berat dan aku tidak bisa memikulnya. Dan by the way,

haruskah kamu menghilang dan menghindariku hanya karena

kamu tidak suka dengan coup d‘etat?”

“Coup d’etat itu illegal, inkonstitusional dan kebanyakan bersi-

fat brutal.” Tapi bedanya, kamu tidak brutal. Kamu lembut. Apa

kamu tidak tahu aku sangat memujamu?Memujamu membuatku

menghormatimu. Menghormati agamamu.

“Jadi maksud kamu, aku ini brutal?”

“Pencuri lebih tepatnya!”

“Hah? OK. Mungkin aku belum mengerti kamu sedang membic-

arakan apa, tapi kenapa? Apa hubungannya denganku? Mengapa

aku dipersalahkan?”

“Bodoh! Karena aku menyukaimu. Aku mencintaimu.” Kamu

mencuri hatiku.

Fareed terkesiap. Sarah sendiri tidak percaya kata-kata itu keluar

dari mulutnya begitu saja. Ia melirik sekitar berharap bahwa kata-

kata tadi berasal dari mulut orang lain di dalam trem ini. Tapi sia-

sia. Ia mengenali suaranya sendiri. Dan terlalu bodoh jika Fareed

Page 19: Majalah Sagang

halaman 17

tidak mengenali suaranya. Meski Fareed kaget, dalam pikirannya ia

menderetkan beberapa kata. Kudeta, Cinta, Menghilang. Tak peduli

ia tak akan mencoba menghubungkan benang merahnya. Karena

ia juga sudah lama menyukai Sarah. Itulah sebabnya ia selalu ingin

membuat Sarah nyaman.

“Willst du mich heiraten?”8 Fareed meminta sesuatu yang sakral

bagi Sarah.

***

Sehelai daun maple tepat jatuh di atas sepatunya. Langkah ter-

henti. Suara mobil-mobil melintas beradu dengan desau angin yang

dingin. Angin mengibaskan helai-helai lembut rambut cokelat mi-

lik gadis itu. Sehelai daun jatuh lagi dan tersangkut di rambutnya.

Sudah sebulan sejak Fareed mengatakan ‘maukah kau menikah

denganku?’ padanya. Tapi kini ia masih sendiri. Menjauh untuk

melihat segalanya dengan jernih. Ia harus mencari sesuatu maka

ia pergi; meninggalkan Fareed dan tidak bertemu. Ia sangat ingin

mengatakan ‘iya’ saat itu. Tapi entah mengapa rasanya ada hal lain

yang mendorongnya untuk menjawab sebaliknya. Bahwa ketika ia

tahu Fareed juga mengaku menyukainya, semakin ia merasa harus

pergi menemukan sesuatu itu.

Fareed pernah berkata dalam diskusi mereka. Masih jelas teri-

ngat. Dulu, sebelum ia memiliki perasaan apapun terhadap Fareed.

Bahwa wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik

dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula.

Fareed menyebutkan nama surat dalam Al Qur’an tempat kata-kata

itu tertera. Tapi aku belum cukup baik untuk menikah denganmu,

Fareed. Aku memujamu dan menghormatimu, sehingga aku tidak

rela jika kau mendapatkan perempuan yang tidak baik. Ia tahu

Fareed orang yang baik. Tapi untuk meyakini Islam ia masih ingin

menjaga jarak. Sarah tidak ingin seperti Reinhard—teman ayah-

nya—yang meneliti agama Hindu di India lalu akhirnya ia memeluk

agama Hindu. Atau Tesla yang memeluk agama Budha lama setelah

penelitiannya terhadap agama itu. Tapi bagi Sarah, mungkin butuh

sedikit waktu lagi untuk benar-benar meyakininya. Ia merenung

panjang. Hingga saat Ayahnya tiba-tiba kesulitan bernafas pagi

tadi. Ia tidak tahu penyebabnya apa. Ia menangis sambil memencet

nomor telpon rumah sakit dan berkata, “Ayah tidak boleh pergi.

Aku sangat menyayangimu Ayah.” Tubuh ayahnya mulai membiru

dan semakin membiru karena bersusah payah untuk menghirup

udara. Sarah butuh untuk menyebut nama Tuhan. Memohon. Hal

yang tidak pernah ia lakukan. Ia butuh memohon pada sesuatu

yang Maha.

“Allah.” Kecil bisikan suara itu terdengar dari mulut Ayahnya.

Page 20: Majalah Sagang

halaman 18

Sarah mencoba mendengar kembali dengan lebih jelas. “Ya,

papa?”

“Allah.”

“A…Allah?” Sarah kebingungan.

“Allah.”

Air matanya semakin menitik. Ia tak tahu dari mana datangnya

sesuatu yang membuatnya menggigil. Tubuhnya bergetar. Pikiran-

nya bersilang lindan. Hatinya bergetar. Getar yang membuatnya

ketakutan. “Ja. Allah.” Apa Kau disana? Tolong dengarkan kami.

Namun seketika itu juga Ayahnya berhenti bergerak. Kaku. Tepat

ketika paramedis datang. Para suster mengangkat Ayahnya ke

dalam ambulans. Dan di atas sesengguknya, ia hanya memikirkan

satu hal. Apakah ia terlalu sombong, hingga butuh Ayahnya sebagai

tebusan?

Kini ia mematung di bawah deretan pohon maple di pinggir ja-

lan. Coup d’etat. Kudeta itu memang selalu dibarengi dengan revo-

lusi. Mengganti sistem lama dengan sistem yang baru. Dan kini ia

siap menyerahkan kekuasaannya. Menyerahkannya dengan suka

rela. Revolusi jiwa telah terjadi.

Catatan:

1. Nein = tidak

2. Danke sehr = terima kasih

3. Sauerkraut = acar kubis

4. Ad hominem berasal dari ‘argumentum ad hominem’

yaitu upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan

menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut.

5. Entschuldigung = maaf

6. Ja = ya

7. Halt = stop

8. Willst du mich heiraten? = maukah kau menikah denganku?

F. SOPHIE

Lahir di Selaparang, Lombok Timur 11 September 1991. Studi di Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Mataram. Aktif di Penalaran dan Riset Mahasiswa (Prima). Cerpennya pernah dimuat di Majalah Annida.

Page 21: Majalah Sagang

halaman 19

mi berjalan merunduk di depan tamu ayahnya, itu ku-

tahu saat kami bertemu sepuluh menit yang lalu. Wa-

jah Ami merah padam dan matanya berair perlahan.

“Maafkan aku, aku tak bisa membantumu,” ucapku setelah ia menga-

takan semuanya.

Dapuroleh Cikie Wahab

cerita-pendek

j

Page 22: Majalah Sagang

halaman 20

“Ya. Harusnya kau tak tahu masalahku!”

Dari celah-celah yang cukup besar untuk kami saling melihat, ma-

taku tak hentinya menatap Ami yang terdiam mengenang apa yang se-

belumnya terjadi. Dua bola matanya yang hitam padat seperti luruh

dan menyatu dengan airmata. Ia kemudian menyibakkan rambutnya

yang bergelombang sembari menyeka matanya yang memerah.

“Kita lupakan saja masalah ini! Hmm..apa yang kau perbuat di-

sana?” Ami dengan tiba-tiba mengembangkan senyum termanisnya

padaku, senyum yang membuat bibirnya tampak lebih tipis dan meng-

goda, Akupun terkesiap. Gelas yang kupegang hampir saja menerpa

lantai. “Ng..ini, aku akan membuat kopi. Aku belum sarapan.”

Ami tertawa, dan suara tawanya seperti menggelitik urat leherku.

“Ada yang lucu?” Tanyaku balik.

“Tidak, Siran. Celah ini terlalu kecil untuk sebuah gelas. Jika tidak,

tentu akan kubuatkan kau secangkir kopi buatanku.”

Aku rasa dia benar. Kami dipisahkan oleh sebuah palang-palang

kayu dan bambu yang berada di antara dapur, aku dan Ami, hanya

mata kami yang bertemu, lewat mata itu pula kami bercerita tentang

segalanya.

“Aku akan robohkan kayu ini jika kau mau, Ami.” Entah darimana

aku yakin atas perkataanku sendiri, dan itu membuat Ami menahan

pandangannya. Ia berbalik arah.

“Tidak perlu, Siran. Jika dapur ini mempertemukan kita nanti, aku

ingin kau buatkan kopi untukku. Kopi racikanmu itu.”

“Jika tidak?”

“Biarkan saja pembatas ini yang menyerap segalanya. Aku tak akan

jadi durhaka pada mereka. Pada ayahku tentunya.”

“Kau menyia-nyiakan hakmu, Ami.”

“Aku berusaha adil! Aku bersyukur bisa dilahirkan mereka. Aku

tidak meminta lebih.”

Aku membalikkan tubuhku, hempasan napasku yang tersekat tidak

berguna. Ami malah mengacungkan wortel besar lewat celah itu, ia

bilang akan memasak capcay untuk tamu ayahnya. Lalu ia akan me-

mintaku untuk mengulurkan telunjuk agar bisa ia teteskan kuah cap-

cay untuk kucicipi. Aku tersenyum juga, Ami memang perempuan luar

biasa!

Maka pertemuan kami inilah yang paling kusuka dalam hidupku.

Ia selalu riang dan melupakan kesedihannya ketika di dapur. Ia akan

menari sambil berdendang dan membuat aneka masakan yang sangat

lezat untuk kami cicipi bersama. Bahkan aku tak malu menaruh bantal

di antara dapur juga dapurnya dan mendengarkan cerita sambil tidur

terlentang.

Page 23: Majalah Sagang

halaman 21

Dapurnya selalu mengepul dan nyanyiannya terdengar lewat celah

itu. Akupun mulai mengatur jadwal untuk selalu ke dapur, meski ka-

dang aku lupa sendiri gunanya dapur bagi diriku.

***

“Aku terlambat! Mereka akan datang pagi ini!” suara Ami yang ti-

ba-tiba, membuatku merapatkan mata ke celah itu. Aku terkesiap dan

melihat cahaya matahari sudah terang benar.

“Akhirnya kau datang. Kau darimana?”

“Aku..? dari depan. Kau menungguku?”

Tidak kujawab pertanyaannya itu, toh seharusnya ia tahu. “Siapa

mereka, Ami? Aku akan mencegat mereka jika menyakitimu. Apa kau

mau aku merusak rencana perjodohan ini??”

Ami hanya menjulingkan matanya. Menaruh wajan di atas api dan

menuangkan bumbu. Lalu Ami memandangku dari jarak satu meter.

“Ah, satu meter itu sangatlah jauh ternyata. Aku disini kau disana.”

Aku memperhatikannya terus sembari mencerna kata yang ia lontar-

kan. Ia pun mengaduk-aduk bubur nasi dan kemudian memintaku

mengulurkan dua jariku agar ia bisa memberikan setetes bubur yang

sudah dingin.

“Enak. Kau hebat!”

“Ya. Ini untuk calon suamiku.”

Ucapannya barusan membuatku ingin memuntahkan kembali

bubur yang hanya setetes itu. Aku berusaha menelan bubur itu. Ia ber-

sikeras tetap menerima pinangan orang lain. Dia menipuku, menipu

cintaku yang aku ikrarkan sebulan lalu.

“Oh, Ami. Apa tidak ada pilihan lain? Kupikir capcay dan bubur

nasi itu sepenuhnya kau buat untuk diriku. Sialan!!” Kuucapkan kata

itu tanpa melihat Ami. Meski kehidupan kami tak sama-sama baik,

dia lebih beruntung daripada aku. Ia masih tiga kali membuat sesuatu

yang bisa ia masak untuk keluarganya, dan aku dengan melihatnya be-

rada di ruang yang tak bertembok itu_sangat bahagia

“Sewajarnya dan sedari kemarin kita tahu, Siran. Pembatas ini

memisahkan dapur kita. Juga cinta kita yang hanya sejengkal. Aku tak

yakin dengan hari esok, aku hanya menjalani hari ini saja.”

Benar. Dari dulupun Ami tak ingin mengundangku lewat pintu

depan. Semua yang kami ceritakan hanya berkisar lewat belakang, di

dapur yang bersekat pilah-pilah bambo dan kayu kasar. Ia sendiri yang

meyakinkan hatiku untuk tetap berada di dapur seperti seorang koki,

meski kadang tak ada makanan yang bisa kunikmati.

“Aku rasa aku mulai bosan berada di dapur ini,” ucapku suatu hari,

ingin melihat reaksi matanya yang hitam padat. Seumpama ia gundah,

tentu ia menginginkan pertemuan kami. Tapi aku salah, ia menyalah-

Page 24: Majalah Sagang

halaman 22

kanku begitu saja dan bersikeras agar aku tak membuatnya jadi durha-

ka.

“Kau benar-benar menangis, Ami? Apa itu airmata buaya?”

Ia menggeleng cepat dan menumpahkan pastel jagung ke lantai.

Sayang sekali, Ami. Kekecewaannku datang lebih cepat dari rasa cinta

ini. Ami pergi dari dapur, entah ke ruang tengah atau kemana, yang ia

tinggalkan hanyalah siluet luka yang hinggap lewat kata-katanya.

***

Matahari di dapurku memang lebih terang dibandingkan dapur

Siran, lelaki berwajah aneh itu. Hmm, wajah yang selalu mengintipku.

Tapi itu tak apa-apa, toh ia selalu ada dan mendengarkan aku bicara.

Tapi belakangan ini dia terlihat lebih aneh dari biasanya, dia mengata-

kan ingin merobohkan tembok ini untuk menemuiku. Ha.... Ha.... Itu

kan namanya aneh! Dan tentu saja keanehannya menular padaku.

Aku selalu rindu pada bau dapur juga pada dengus napasnya yang

memantul dan terdengar lewat celah itu. Aku betah di dapur, Capcay

dan bubur nasi adalah makanan kesukaan Siran. Lelaki yang mem-

buatku semakin linglung. Ia akan hadir dimana aku bisa bercerita ten-

tang segala, tentang cinta yang aku damba. Siang dan malam ia selalu

mendengarkanku dan mengatakan kalau ia hanya butuh kopi untuk

dinikmati. Betapa malangnya, betapa bodohnya aku.

Maka ku alihkan perhatianku pada laki-laki lain agar ia tak lagi

membuatku aneh.

Namun aku salah, keanehan itu memang timbul dari diriku sendiri.

Lelaki lain itu hanya ilusi dan aku kehilangan semuanya. Laki-laki ber-

nama Siran itu tak pernah mengintipku lagi. Semenjak itupun dapurku

menjadi sunyi hingga tinggal aku sendiri sambil menyesali bahwa se-

seorang itu benar-benar pergi dari dapurnya yang kutahu tak pernah

mengepul selama ini.

“Siran, kau mau bubur buatanku?!!?”***

CIKIE WAHAB

Lahir di Pekanbaru,28 desember 1986.Beberapa karyanya terbit di Riaupos, Sumut pos, majalah Sagang ,dll. cerpen dan puisinya terangkum dalam antologi Negeri anyaman (Sa-gang 2010) dan Fragmen Waktu (Sagang 2010). Antologi trowulan Bu-lan majapahit Mojokerto (2010). Antologi Rahasia hati (2010) Yang di taja Dinas pariwisata Riau), Robohkan lagi pagar itu, Datuk! (Sagang 2011). Esai Peta dan Arah Sastra (Sagang 2011). Antologi Sekolah Menu-lis Paragraf “Kopi Hujan Pagi”.

Page 25: Majalah Sagang

halaman 23

mbun menetes dari lipatan atap. Berkilau seperti kristal.

Kurasa matahari masih tenggelam dalam ranjangnya yang

beku dan gelap. Kupandang puncak langit yang kini kelabu.

Mendung menggantung amat rapat di atas sana. Gemuruh angin ber-

embus seperti kepakkan sayap kelelawar yang riuh. Dingin sekali.

Kulihat Ibu terbaring lemah. Batuknya kian parah. Kuraih karung

kosong yang terselip di balik tiang rumah. Hari ini aku harus menda-

patkan barang-barang bekas lebih banyak. Aku harus membeli obat

untuk Ibu. Sudah dua hari ini badannya panas seperti bara api. Aku

takut sekali.

“Bu, Rama berangkat dulu,” pamitku sembari mencium tangan Ibu.

Ibu memandangku lirih. “Di luar mendung tebal sekali. Sebaiknya

kau di rumah saja.”

“Mendung dan hujan sudah menjadi temanku, Ibu. Aku malah se-

nang. Tak banyak pemulung yang beroperasi saat hujan. Ini kesempa-

tanku untuk mendapatkan uang lebih banyak.” Aku menyimpul sen-

yum untuk Ibu.

Butiran kristal luruh dari pelupuk mata Ibu. “Kasihan sekali kamu,

Nak. Sekecil ini sudah harus memikul beban keluarga.”

“Ibu jangan bicara seperti itu,” aku lirih melepas tangan Ibu. “Ibu

telah ajarkanku bagaimana cara bertahan hidup. Meski berat, kita tak

boleh lemah. Kemiskinan bukan alasan untuk berputus asa. Tuhan se-

lalu menyertai kita. Kekayaan-Nya akan mudah turun kalau kita ber-

sungguh-sunguh dan iklas dalam bekerja. Apapun pekerjaan itu, yang

penting halal. Begitu kan, Ibu selalu menasehatiku?”

“Kau semakin dewasa, Anakku. Ibu bangga padamu. Semoga Tuhan

mendengar setiap doa-doa kita,” Ibu menyusut air mata. Kaca-kaca di

Kabut Kerinduanoleh Ahmad Ijazi H

cerita-pendek

b

Page 26: Majalah Sagang

halaman 24

matanya kini menjelma menjadi

garis-garis pelangi yang sangat

menenangkan hatiku. Senyum-

nya kembali mekar.

Aku melangkah dengan

ringan. Seringan kapas. Gerimis

yang luruh seakan menghangat

membelai kulitku. Jalan setapak

kutelusuri menembus hutan aka-

sia yang lembab dimandikan hu-

jan. Hingga langkahku mencapai

jalan raya. Begitu lengang. Ken-

daraan yang lalu lalang masih

sepi. Lampu yang terang bende-

rang berjejer di sepanjang jalan.

Semoga cahayanya secerah

hatiku kala aku kembali dengan

segenggam uang serta obat buat

Ibuku, bisikku dengan keyakinan

yang kian mengembang.

***

Matahari telah condong ke

arah barat. Senja telah meny-

ingkap gaunnya menjadi malam

yang kian sempurna. Seharian sudah aku berkawan lelah, meminggul

karung di punggungku yang rapuh. Aku segera melesat ke rumah jura-

gan pengumpul.

“Kerjamu cukup bagus hari ini,” ucap Pak Ken, juragan pen-

gumpulku dengan seulas senyum. Ia lantas memberi uang 20 ribu ke-

padaku.

“Terimakasih, Pak,” ujarku dengan mata berbinar. Aku lalu men-

cium tangannya lalu pamit pulang. “Aku pulang dulu, Pak. Ibu dan

adikku sudah menunggu.”

“Hati-hati di jalan, Rama!” balas Pak Ken sembari mengacak-nga-

cak rambutku dengan sayang.

Aku mengangguk senang lalu memutar langkah. Sepanjang jalan,

pikiranku tak jinak, bercabang-cabang jauh menembus halaman ru-

mahku. Wajah Ibu yang pucat mengambang jelas di mataku. Adikku

yang kelaparan. Ah, pasti mereka sedang menunggu kepulanganku.

Aku melangkah kian cepat, seperti anak kijang yang sedang diburu

serigala pemangsa.

Aku singgah di sebuah warung. Membeli setengah liter beras, mie

instan dan ikan asin. Aku lapar sekali. Hanya air putih yang mengisi

Page 27: Majalah Sagang

halaman 25

lambungku seharian ini. Tetapi

adikku serta Ibu pasti lebih lapar

lagi.

Akhirnya telapak kakiku

terhenti di ujung jalan. Di hada-

panku, hutan lebat telah meng-

hadang. Kini aku harus melewati

jalan setapak, menembus lebat-

nya hutan akasia untuk sampai

ke rumahku. Di sini sepi sekali.

Hampir tak ada manusia yang le-

wat.

Bulan sudah memandang-

ku di pucuk awan. Anggun sekali.

Tak ada mendung malam ini.

Aku melangkah dengan hati

tenang. Berdoa dengan penuh

pengharapan agar selamat sam-

pai tujuan. Di kejauhan, burung

hantu mulai bernyanyi. Aku me-

rinding. Lamat-lamat terdengar

suara tangisan seorang bocah.

Aku semakin merinding. Apakah

itu suara adikku?

Semakin aku melangkah, detak jantungku memakin menghentak.

Mirip sebuah dentuman halus yang memecah kesadaran karena diba-

lut perasaan takut yang teramat sangat. Aku berusaha tenang. Tetapi

suara tangis itu semakin keras terdengar menusuk gendang telingaku.

“Siapa itu?” seruku pelan. Bulu kudukku meremang.

“Tolong ibuku… ibuku tak sadarkan diri!” teriak bocah itu sembari

menangis.

Dengan sedikit takut aku menghampiri bocah itu. Aku menghela

nafas lega. Bocah itu bukan adikku. Dari tempias rembulan yang ber-

warna keemasan, kulihat ibu bocah itu berlumuran darah.

“Ya Tuhan…! Apa yang terjadi?” pekikku menelan ludah.

Bocah itu lalu bercerita dengan linangan air mata. Sebelumnya

mereka ternyata ingin mengunjungi nenek mereka yang sedang sakit.

Tetapi karena ayah mereka belum pulang kantor, mereka tetap ber-

sikeras pergi dengan mengendarai taksi.

Namun di ujung jalan sepi, taksi tersebut mendadak berhenti. Dua

orang laki-laki yang duduk di depan, tiba-tiba menodongkan pistol ke-

pada mereka. Ibu bocah itu dipaksa menyerahkan uang, handphone

serta perhiasan. Ibu bocah itu sontak mengamuk dan menjerit minta

Page 28: Majalah Sagang

halaman 26

tolong. Saat itulah sebuah tembakan melesak. Darah segar menyembur

dari tubuh ibu bocah itu. Karena takut, kedua laki-laki itu pun menu-

runkan mereka di tepi hutan ini.

“Kumohon, tolong Ibuku… Ibuku harus dibawa ke rumah sakit!” li-

rihnya menghiba.

Aku merogoh kocek celana kumalku. Tersisa 10 ribu rupiah. Tanpa

pikir panjang lagi, aku segera berlari ke tepi jalan. Kusetop sebuah taksi

lalu mengantarkan ibu serta bocah itu ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, pikiranku tak tenang. Bagaimana nasib Ibuku

serta adikku yang kelaparan di rumah? Aku menangis. Tetapi situasi

ini sangat darurat. Aku harus menolong ibu bocah ini. Semoga Tuhan

melindungi Ibuku serta adikku, doaku lirih.

Kulihat wajah bocah itu pucat sekali. Pelipis matanya tenggelam

dalam keringat dingin yang semakin basah. Ia lalu meminjam han-

phone pemilik taksi untuk menghubungi ayahnya. Aku tak bisa mem-

bayangkan, betapa kalutnya bocah itu jika tidak ada aku waktu itu.

Mungkin saja ibunya tidak akan tertolong, sementara bocah itu akan

mengalami traumatik yang sangat hebat, seumur hidup?

***

Tubuhku benar-benar menggigil. Malam terasa begitu beku. Uang-

ku telah habis. Aku tersentak, aku lupa belum membeli obat untuk Ibu!

Ragu kuketuk pintu. Adikku membuka daun pintu. Kupandangi wa-

jah adikku yang polos. Wajah itu seperti kain kafan, pucat sekali.

“Yusuf lapar ya?” tanyaku bodoh. Segera kusodorkan mie instan.

Adikku seperti kalap. Menyambar mie instan itu secepat kilat, mere-

mas-remasnya, lalu merobek salah satu sisinya, memberi bumbu, lalu

memakannya begitu saja. Ah, aku tak heran lagi. Sudah menjadi kebia-

saanya seperti itu. Melahap mie instan mentah kalau sudah tak kuat

menahan lapar.

Aku beralih menatap Ibu. Bibirnya kering sekali. Kuraba lengan

Ibu. Ya Tuhan… badan Ibu panas sekali!

“Maafkan aku tak bisa membeli obat buat Ibu,” lirihku menyembu-

nyikan air mataku yang telah pecah. Aku berusaha menahan senguk

sembari menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Ibu mengangguk lemah. Senyumnya rekah seperti kelopak melati.

Indah sekali. “Kau melakukan tindakan yang mulia, Anakku. Meno-

long orang yang sedang tertimpa musibah adalah perbutan yang san-

gat dicintai oleh Tuhan. Ibu senang sekali mendengarnya. Ibu bangga

padamu…” Ibu merangkul tanganku. Erat. Mendadak kurasakan tubuh

Ibu dingin seperti salju.

Aku terkesiap. Memandang wajah Ibu yang berseri-seri. Cantik

sekali! Tetapi denyut nadinya telah terhenti. Nafasnya lebur sempurna.

Sesempurna tangis pilu yang menderas dari kelopak mataku saat me-

Page 29: Majalah Sagang

halaman 27

meluk jasad Ibu yang kian dingin dan beku.

***

Pemakaman Ibu dimandikan gerimis. Tangisku belum kering. Aku

masih bersimpuh dalam hening, bergeming seperti patung batu. Bunga

kamboja telah rata kusemai di atas tanah merah. Tetapi enggan rasa-

nya beranjak, aku masih ingin bersama Ibu.

“Rama, ayo kita pulang,” ucap Pak Ken seraya mengelus pundak-

ku lembut. Di depanku, seorang ibu sedang duduk di atas kursi roda

bersama seorang bocah berwajah polos. Keduanya menatapku dengan

pandangan seperti malaikat. Ah, aku ingat. Mereka adalah ibu dan bo-

cah yang pernah kuselamatkan bukan?

Seorang laki-laki mendekatiku lalu berlutut di hadapanku. “Aku

ingin kalian pulang ke rumah kami,” ucap laki-laki itu sembari me-

mandangku serta adikku bergantian. “Kami ingin mengangkat kalian

menjadi anak kami,” ucap laki-laki itu dengan tatapan penuh cinta.

Benarkah? Aku terpana. Seperti tenggelam dalam labirin mimpi

yang begitu rumit dan mencengangkan. Sungguh, semakin kuperhati-

kan, mata teduh laki-laki itu persis sekali dengan tatapan mata teduh

ayahku. Senyumnya yang begitu lembut, persis sekali dengan senyu-

man ayahku.

Sekian detik telah menguap ke udara. Aku memutar wajahku. Seka-

li lagi kupandangi pusara Ibu yang masih basah, lalu pusara ayahku

yang telah lebih dulu meninggalkan kami, delapan tahun silam. Ya,

ayah kandungku yang sangat lembut dan begitu menyayangi keluarga

itu telah pergi meninggalkan kami ketika aku masih berumur lima ta-

hun.

“Ayah, Ibu, kendati dunia telah memisahkan kita, rinduku pada ka-

lian tak kan pernah surut sedikit pun,” bisikku lembut sembari menge-

cup batu nisan Ibu dan batu nisan Ayah bergantian.

Seketika, kabut kerinduanku pun luruh seperti kelopak mawar yang

berguguran.

***

AHMAD IJAZI HLahir di Rengat Kab. Indragiri Hulu Riau, 25 Agustus 1988. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.

Page 30: Majalah Sagang

halaman 28

Muhammad Nurul (Pak cik Nuril)Lahir di Desa Dompas, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Aktif di komunitas Sabda Bunian.Karya puisinya pernah terbit di Haluan Kepri dan Tanjungpinang Pos.

Antologi Puisi Sayap-Sayap Bening bersama penyair muda Kepulauan Riau,dan Antologi puisi Melukis Waktu bersama komunitas Sabda Bunian.

Sajak

Muhammad NurulLebat

Asal Makna:Catatan kampung lapuk 1:Catatan kampung lapuk 2:Catatan kampung lapuk 3

Dengarkan Sajak- sepenggal malam Episode kampung hasrat

Page 31: Majalah Sagang

halaman 29

Lebat

Hapus kalimat

di akhir selat

biar duka segamat

tetap melebat

Duduk selamat

pesan mengurat

biar tak jadi kelat

Sudah berkarat

baru tahu ia pekat

Jangan hitung juma’at

kalau diri tak shalat

jangan timbang berat

kalau adab tak tahu adat

catatan: Hendak sampai kiamat 121212, diwaktu 16.31. 091212

Page 32: Majalah Sagang

halaman 30

Asal Makna

Adalah kata

huruf memahat senja

bermain di kalimat aksa

kala tiung pekik malam

mana bisa, hendak ku cakap

Adalah kata

berselebung pengap

mana pula lidah yang kau jilat

Oi...

tebing bawakan ke laut

laut antarkan gunung

gunung pergi kelangit

langit jatuh ke bukit

Jangan kau sentuh

jangan pula kau pandang

ini sumpah dewa kata

Adalah kata

tanpa dupa kemenyan pula

jauh sudah tabiat mengata-ngata

aku datang menujah makna

Oi, melesaplah !

catatan : kata lenyap campak kerumput, kala waktu 15.19. wib. 091212.

pekanbaru

Page 33: Majalah Sagang

halaman 31

:Catatan kampung lapuk 1

Malam ini

Aku tidak menyimbah kata

Di perkarangan halaman rumahmu

Tidak juga menembak jiwa

Di sisi tubuh kerinduanku

Namun, aku hanya memandang

Ada seketul kecanduan nafsu di bibirmu

Berapa lama kah tidak bercumbu dengan tinta?

:Catatan kampung lapuk 2

Menajuk gelap

Dibantal langit

Menjemput bulan

Datang merindu

Biarpun jauh di seberang sane

Lembah bukit akan di daki

luasnya laut akan di seberangi

Tunggu aku di pintu jaga nanti.

:Catatan kampung lapuk 3

Petang ini

Perahu itu berlayar dengan gagah

Gagah dengan membawa senyuman

Senyuman yang menyimpan berjuta makna

Makna tangisan dari air langit

Itu yang bertepuk ombak

Dan lantangnya angin membantai layar.

Layar jatuh timpa buih-buih harapan

Harapan dari pulau mimpi

Page 34: Majalah Sagang

halaman 32

Dengarkan Sajak- sepenggal malam.

Ini tempat kita,

halaman bernada

dalam ruang berhias anggun

sepanjang jalan ada pijar cerita

Dan kau bagaikan nafas

yang tersimpul di langit-langit senda

sampai

tawa pun memecah onak

di labirin cinta

catatan: bersama SABDA BUNIAN.- Satu Sabda Gurindam Jiwa. 17 April 2012

Episode kampung hasrat

Aku hendak terbitkan matahari dari utara.

Dan bulan tiba di subuh hari.

Dan biarkan langit menggulung senja.

Pada malam tak dapat dikata.

Pada siang tak dapat di terka.

Mana ruh pun ia tak dapat beda.

Page 35: Majalah Sagang

halaman 33

Irdas YanPenulis fi ksi asal Sejangat, Sungai Pakning.

Bergiat sebagai koordinator Divisi Kajian sastra dan budaya FLP Riau.Karyanya termaktub di berbagai media lokal maupun nasional.

Sajak

Irdas YanBangsal Cemburu

Nun Serampu: Huruf Mati Berbedalah Bunyi

Orang Gaji dan Air MataSamseng yang Disebut, Puan

: Edisi Gadis di Ujung Selat

Page 36: Majalah Sagang

halaman 34

Bangsal Cemburu

Pada mulanya aku tak kuasa berhikayat semacam ini

Ada remangremang yang jalang ketika puisi menyimbah hujan

Kelat.

Fitrah lelaki memanglah seperti ini

Sudi tak sudi, cemburu bukan lagi gerimis yang indah

Zikir yang mengutuk pun

Berziarah ke bangsal yang ramai

Menenangkan diri.

Engkau Puan.

Nisan janji yang kita takik dahulu itu

Masih menyimpan cahaya

Masih aku mengenangnya.

Engkau saja yang mungkin lupa.

Ketika Aisyah pun memancarkan cemburu

Muhammad kita pun tahu kalau itu bangsalnya.

Begitu juga aku.

Bangsal yang lapang mengulit terang

Karena cemburu bukan lagi gerimis yang remang.

Page 37: Majalah Sagang

halaman 35

Nun Serampu : Huruf Mati Berbedalah Bunyi

Setungkah kata menakik-nakik gerigi

Memanggil arwah puisi

Aku masih menjampi mantra-mantra yang kusemai semalam

Agar Tuhan tahu, huruf yang kudendangkan tak berbau kufarat.

Nun serampu, bah gedebah gedebu.

Muara pun membisu

Di hilir subuh

Yang memeram kutuk

Pada sebuah simfoni hadhari

Aku cinta engkau, Yu.

Mantra kasih tak setakat cumbuan

Ada rakaat-rakaat yang lesap

Menjalar ke kitab yang kau peluk

Semacam aku tersakat di celah bibirmu

Melafazkan ayat jampi

Agar tuah mengeja diri.

Aku bukan musyrik yang berkutat di antara cinta dan dilema

tuhan telah memfi rmankan mantra ini.

Nun. Wal qolami wa yasturun.

Agar puisiku tak sekedar pena yang merajut warna.

Begitu juga cinta.

Tak setakat mencintai, Yu.

Page 38: Majalah Sagang

halaman 36

Orang Gaji dan Air Mata

Perantauanmu telah melukis padah

Lain yang bengkak, lain pula yang bernanah.

beberapa bercak bilai merah sengaja disebat agar tumpahlah darah

atau semacam sumpahserapah

menikam benakmu di tanah orang sana.

Kembalilah ke rantau, Nak!

Emakmu saban hari berkeluhkesah. Menukik senyumnya yang tak lagi meriah.

Tapi engkau masih saja kebal dengan carutmarut tuanmu.

Ah,engkau memang bebal!

Negeri kita masih lapang, Bung.

Walau upah tak selapang tanah jiran sana.

Tapi tak ada air mata atau semburat merah.

Tak juga engkau dapat kukesalkan.

Memang pemerintah tak ambil berat perihal air matamu.

Hanya setakat hangat sesaat saja. setelah itu lesap entah ke mana.

Kita hanya tersekat dengan konstitusi atau kepentingan pribadi.

Kita hanya penonton sandiwara akbar ini, Bung.

Page 39: Majalah Sagang

halaman 37

Samseng yang Disebut, Puan : Edisi Gadis di Ujung Selat

#Takah

Parasmu memang tak terkatup

Elok bersahaja di antara rentak marwas yang bertabuh

Lenggoknya pun memahat takjub bahkan peluh

Aku masih membilang rakaat yang jenuh

Agar nanti tak disebut penjampi sesepuh

Aku masih ingin menikam bibirmu yang terkubur itu

Tergayut di antara pergelangan mimpiku.

mari berlenggok lagi, Puan!

Lambaianmu memikat separuh rembulan di malam jingga

Mata-mata jalang pun jatuh pada sela-sela tingkahmu.

#Desah

Noktah merah yang kau semai semalam suntuk

Kuhirup agar tak sejuk

Hangatnya masih menyimpan bentuk

Supaya Tuhan tahu kalau engkau seorang makhluk

Terkutuk!

Jangan sesekali coba merayuku

Pujuk desahmu tak larat menyanggah iman

Setakat itu pun bukanlah beban

Karena kau tercipta dari semburat Syaitan

Ya, di perempatan kuburan.

#Tuah

Sungguh Tuhan Maha Pemaaf

Jilat lagi sampah yang sudah kau pahat dulu

Bilaslah dengan syahadat itu

Atau rakaat yang terbilang setiap waktu

Agar aku sudi mencintai takah, desah, dan tuahmu.

Puan.

Page 40: Majalah Sagang

halaman 38

Sir Saifa AbidillahSeorang mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Selain itu, bergiat di Lesehan Sastra Kutub.

Sajak

Sir Saifa AbidillahTenodera Aridifolia

-Sendatu

Lepidoptera Hibrida

: Zakiyatul Fadhla

Libido Angin Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri

Shegiterio : lagu gadis mandarin

PerhitunganPerahu Pelepasan Sirkus Spartakus

Sebuah Alasan Sederhana

Page 41: Majalah Sagang

halaman 39

Tenodera Aridifolia -Sendatu

Setidaknya malam adalah suara-suara

dari sebangsaku yang berjuang menghilangkan

keheningan dengan pertarungan

melawan dingin dan kematian bulan

dengan derik sayap yang saling bergesek

bergantian bagai hilang dalam kelam

dan tenggelam dalam kelahusan perasaan

letupan gesekan yang bermusuhan

seladang kawan dalam hening

berperang dicekungan malam

yang menghabiskan isim

dengan berbagai kelincahan

Page 42: Majalah Sagang

halaman 40

Lepidoptera

Dindakah itu, yang tumbuh dan mabuk dalam ladangku

ketika siang tiba-tiba jadi kelabu

dan kamu mengundang Lepidoptera datang

mengancam keheningan

mengancam kedudukanku, yang di serang dari langit arang

bagai busur Epirus yang membelah ruang tak berbatas

memanah tabung jantungku yang berkabung

menghela kerianganku yang tersimpan

mungkin ketika aku lengah menjaga kembang di ladangku

sesuatu telah terjadi di luar nalar yang diajarkan musim

pada ketetapan dan perputaran yang tiada diterka.

Pada batang dan kembangmu yang perawan

sebuah perangkap, menyekap keterbatasan

dan peran kedunguanku sebagai ladang yang menghidupkan

ya, hanya sebatas menghidupkan dan membangun

kekuatan penghianatan kelembutanmu itu.

Page 43: Majalah Sagang

halaman 41

Hibrida : Zakiyatul Fadhla

Seusai musim menyatukan kita

buah puisi macam apakah yang kau gelisahkan

dari reranting sebangsa batangku yang runcing

dan telah aku sederhanakan ketersambungan ini

dengan berbagai peluru angin

yang mendekati daundaun kita yang menahun

dan aku rasa, ada kecocokan tak terhindarkan di situ

sebuah perasaan kehilangan dan ketidaknyamanan

apabila musim tak memberi kita kesempatan

mengarahkan kebersamaan

dalam mimpi yang berlainan

di tengah lingkaran musim yang langgam

Page 44: Majalah Sagang

halaman 42

Libido Angin

Ketika angin dan dingin berduaan di kabut awan

hujan begitu riang berlarian menjauhi kediaman

bagai bocah-bocah bermain di lapangan dengan kawan

mendekati pohon dan kematian

untuk menghidupkan bagi yang lain

itulah alasan mengapa hujan turun

pada musim yang telah ditetapkan

sebagai penghabisan dari sebuah tujuan

kemurnian perasaan dan ketaatan sebagai hujan

Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri

Kekuatan kuda-kuda hutan

bagai berdiam di tubuhku yang ringan

tubuh yang ingin mendekati kamu

dengan tanpa alasan apa-apa

ia datang saat hari surut

dan dingin memintal kening ke sebuah sudut

mungkin ketika waktu tidak lagi menjadi timbangan

dalam perhitungan angka-angka

kamu turun bagai iring-iringan

membentuk sebuah pusaran

di detik yang ritmik dalam rintik hujan

kamu merayu ingatan mengeras di jantung keheningan

Page 45: Majalah Sagang

halaman 43

Shegiterio : lagu gadis mandarin

dengan geletar anggur bibirmu itu

aku hanya mampu menerka-nerka

apa yang kau tuturkan

pada petang yang mengambang

di jantungmu yang rumpang

mungkin sebuah kegelisahan

yang mendalam mendarat

pada kekuatan kerinduan

: sebuah keterpaksaan yang

menguasai keriangan perasaan

tak ada kepastian yang mendasar

menjadi landasan nyanyian keterpisahan

antara aku dan kau yang diam-diam

memendam kesakitan kerinduan

Page 46: Majalah Sagang

halaman 44

Perhitungan

Apabila kau menafsirkan matahari

lebih dari sekedar kura-kura

yang berkejaran tanah pasir

lalu waktu kau kemanakan

angka-angkanya yang berjatuhan

sedang langit tak memberi persepakatan

yang pasti pada segala yang kau anggap palsu

dan segalanya hanya tumbuh

pada tanah bayangan

pada persinggahan kemunafi kan

lalu apa yang kau harapkan dari jalan ringan

di sayap angin, yang tanpa perhitungan itu

Perahu Pelepasan

Bila petang sebuah tujuan

maka peta tidak lagi menjadi bulan

bagi kegelapan

yang dikibarkan pisau angin

pada ketersesatan

yang menggulingkan

pikiran, di daratan perasaan

sebab kau tengah melepasku

di debur yang paling liar

pada mataair dan sebuah desir

yang mahir membaca hilir

Page 47: Majalah Sagang

halaman 45

Sirkus Spartakus

Di sebuah gelanggang kata

kita terikat dengan kematian

di mana darah dan tanah

melingkar dalam arena kekuasaan

kegesitan dan kegagahan kata

di situlah ia menjadi pertentangan

bagi yang telah ditetapkan sebagai lawan

dalam pertempuran kepicikan

tidak ada kesedihan menyeruai keterjatuhan hujan

yang melawan kegelisahan dengan perasaan

sebab kematian bukan akhiran atau sampiran

dalam perseteruan kata-kata

atau sebagai pengejawantahan kemakmuran

dalam jalan yang begitu pualam

di pedang kata yang penuh bara

sebab kata memuliakan darah dan tanah

dalam setiap tebasan dan kekalahan

yang dibangun dari ketetapan tujuan

untuk meraih kebebasan

kurungan perbudakan kekuasaan

di mana kata, bakal berkhianat

pada tuan yang mengendalikan

setiap pertunjukan kemuliaan,

kegagahan kematian dan sebuah pilihan

Page 48: Majalah Sagang

halaman 46

Sebuah Alasan Sederhana

Sebuah alasan sederhana

mengapa aku ingin memahami

malam-malammu yang dingin

dengan tanpa alasan apa-apa

sebab yang ada dan abadi

pada penantian ini

adalah kau yang risau

memahat airmata yang tak terbaca

Page 49: Majalah Sagang

halaman 47halaman 47

Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)

orkestra, menyajikan beragam genre musik,

dari musik klasik, jazz hingga Melayu, dalam

konser bertajuk "Sembang Bunyi 12" di An-

jung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Minggu-

Senin (6-7/1) malam.

Dengan arahan konduktor Arman Ram-

bah, orkestra yang terdiri atas anak-anak

muda itu memukau ratusan pengunjung kon-

ser dengan 12 lagu dari beragam genre musik.

Mereka membuka pagelaran dengan klasik

"Eine Kleine Nachtmusik" karya Wolfgang

Amadeus Mozart. Mereka juga menyuguhkan

lagu Melayu lama seperti "Seroja" dan "Pan-

tai Solop."

Dalam pertunjukan itu Orkestra STSR

juga berkolaborasi dengan sejumlah band

dari aliran berbeda seperti Bujanggi dan Be-

lacan Aromatic. Mereka mengiringi kedua

band itu tampil dalam bentuk featuring.

Bujanggi tampil memadukan musik Me-

layu, klasik, dan jazz saat membawakan lagu

berjudul "Damak" dan "Sendalu".

Sementara Belacan Aromatic menghentak

dengan memainkan alat musik tradisional

gambus dan memainkan dua lagu ciptaan

sendiri yang berjudul "Jelatik" dan "Cabuh".

Mat Rock sebagai pemimpin grup Belacan

Aromatic mengatakan, "Kami mengangkat

budaya musik Melayu Zapin yang mendayu

DKR & STSR dalam"Sembang Bunyi 12"

musik

F.red

Page 50: Majalah Sagang

halaman 48

yang jadi lebih menghentak dengan paduan

musik rock,".

Konser yang berlangsung sekitar dua jam

itu ditutup dengan lagu rentak Melayu "Joget

Perpisahan".

Idawati yang juga dosen jurusan musik

STSR menuturkan, orkes kampus ini tentu

saja bukan untuk komersil, melainkan un-

tuk pencerdasan. Selain itu, di kampus juga

ada mata kuliah mayor dan sebagainya. Ka-

renanya, untuk mengembangkannya diperlu-

kanlah orkes sebagai penerapan mata kuliah

mahasiswa. Paling tidak orkestra yang dibina

dosen STSR untuk keperluan penerapan bagi

mahasiswa di mana mereka itu diharapkan

menjadi musisi-musisi andal yang tidak han-

ya mengharapkan keuntungan komersil be-

laka namun musik untuk seni.

Dikatakannya, musik bukan untuk ko-

mersialisasi belaka, tapi perlu juga dipan-

dang dari sisi pendidikannya. Apalagi seni

dalam konteks budaya memerlukan pencer-

dasan atau mampu mendorong menuju se-

buah pencerdasan bagi pelakunya. Pahamilah

seni, kata Idawati, jangan manfaatkan untuk

kepentingan seseorang sebab musik adalah

wilayah spiritual, tanpa pamrih. Lagi pula

pelaku musik rentan terjerembab ke arah

komersialisasi yang bisa mematikan kreativi-

tas mereka maka pandai-pandailah memilah

dan memilih

“Ini memang saya ungkapkan bagi para

musisi muda, terutama mahasiswa musik

STSR sebab mereka rentan terjerumus ke

arah komersial. Karenanya, banyak-banyak-

lah dulu belajar menuju pencapaian menjadi

musisi profesional,” ulasnya mengingatkan.

Ketua Umum DKR Kazzaini dalam kesem-

patan yang sama, di sela-sela sesion latihan

orkestra di Anjung Seni Idrus Tintin men-

F.red

Page 51: Majalah Sagang

halaman 49

gatakan, bahwa konser bertajuk “Sembang

Bunyi 12” ini sudah direncanakan cukup

lama. Puncaknya tentu saja konser yang bisa

diapresiasi bersama oleh masyarakat secara

luas dan juga para donatur yang secara ikh-

las mau membantu terlaksananya helat ini.

DKR sebagai wadah bagi para seniman, salah

satunya musisi tentu senantiasa mencipta

ruang-ruang baru agar seni kian berkembang

dan mendapat respon baik oleh masyarakat

pendukunngnya.

“Ini hanyalah satu dari sekian banyak

agenda DKR dan khusus untuk tahun ini di-

awali dengan konser orkestra STSR featuring

Bujanggi, Blacan Aromatic dan Gubri HM

Rusli Zainal, SE. MP dengan dua lagunya

‘Pantai Solop’ dan ‘Seroja’. Ke depan, tentu

saja kami mensupport seniman dari per-

cabangan seni lainnya untuk mempersem-

bahkan karya-karya mereka secara baik dan

profesional,” tambah Kazzaini panjang lebar.

Selain itu, ungkapnya lagi, jika selama ini

hanya ada orkestra yang mempersembahkan

aransemen musik klasik dan Melayu seperti

Bandar Serai Orkestra (BSO), maka sekarang

bertambah lagi dengan orkestra STSR. Bah-

kan berkembang pula kabar, salah satu kam-

pus di Pekanbaru juga sedang merencanakan

pembentukan grup orkestra. Artinya, sema-

kin banyak grup orkes maka jelas semakin

luas wadah bagi musisi untuk menambah jam

terbanng mereka.

Kazzaini menegaskan, walaupun sebe-

narnya di Riau orkestra bukan barang baru

yang di masa-masa muda Sulaiman Safeii

juga banyak orkestra yang tumbuh, bahkan

ada pula lombanya setiap tahun. Orkestra di

zaman itu berkembang di Pekanbaru, Beng-

kalis, Selatpanjang dan Bagansiapi-api.

“Kami berharap konser perdana orkestra

STSR ini mendapatkan sambutan hangat dari

masyarakat sehingga memacu seniman untuk

terus berkarya dan menghasilkan karya-ka-

rya baru yang bernas,” aku Kazzaini.

Eri Bob selaku pengasuh grup musik jazz

Melayu yakni Bujanggi menyebut bahwa

konser yang digelar DKR tersebut jelas akan

menjadi catatan penting dalam perjalanan

dunia musik di Riau. Ditambah lagi karya-

karya yang ditampilkan, selain klasik juga

karya-karya baru dan lama yang bernafas

Melayu.

Komposer orkes STSR Arman Rambah

juga menyatakan optimis atas konser yang

mereka persembahan akan dapat berkelan-

jutan. Orkes STSR sendiri mempersembah-

kan enam karya yang terdiri dari Eine Kleine,

Ayam Putih Pungguk, Brindisi, Wahai Emak,

Watado Alganador serta Joget Perpisahan.

Sonia Miranda (18) mengomentari konser

ini mengatakan, bahwa ia menyukai konser

ini dan berharap pergelaran serupa lebih se-

ring digelar di Kota Pekanbaru, yang dilanjut-

kan oleh Vergiane Railasha (20), "Pergelaran

seperti ini memberi ruang bagi anak-nak

muda untuk lebih memahami tentang musik

berkualitas sekaligus memberikan apresiasi

kepada kepada anak-anak muda pelaku seni

musik itu sendiri, sehingga kami-kami seba-

gai anak daerah tidak menjadi “udik” dalam

memahami bentuk-bentuk seni musik”.

Menurut Abelio Abdillah (19) yang juga hadir

sebagai penonton dihari kedua pergelaran

mengatakan, “akan lebih menarik lagi kalau

seni pencahayaan pertunjukan lebih di-

maksimalkan sebagai salah-satu bentuk dari

membangun suasana," katanya.***

(Red.DSM-01)

Page 52: Majalah Sagang

halaman 50

Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar

senirupa

erkenalan awal dan akhir saya de-

ngan pelukis Nashar hanya dapat

dilakukan dengan tulisan esai beliau

yang dikumpulkan dalam sebuah buku berta-

juk “Surat-surat Malam” dan karya-karyanya

dalam bentuk lukisan, baik yang saya dapat-

kan dari rekan Nasrul Thaher (acrilyc on pa-

per), maupun pada pameran yang karya-kar-

ya saya dan beberapa karya perupa Sumatera

lainnya juga diikutsertakan di Galeri Na-

sional Jakarta bertajuk “Pameran Senirupa

se Sumatera, Kekuatan yang Tersembunyi”

beberapa tahun lalu.

Adanya seorang pelukis bernama Nashar.

Kelahiran Pariaman, Sumatera Barat pada

1928 dan meninggal di Jakarta pada 13 April

1994, yang banyak dianggap sebagai seniman

legendaris nyaris sempurna untuk seorang

pelukis: lahir dalam didikan seorang ayah

yang keras, dibesarkan dalam lapar dan de-

rita dan jadi perupa ternama hingga akhir

hidupnya.

Nashar senang menulis catatan harian di

kertas apa saja yang suka dikantonginya. Dia

melakukannya karena, "Aku hanya senang

mengontrol pengalamanku sendiri atau tidak

untuk apa-apa. Atau mungkin juga begini:

keinginan selalu timbul untuk mengerti apa-

F.int

Page 53: Majalah Sagang

halaman 51

ketika Nashar menyerahkan sejumlah karya

gambarnya: "Kau tidak punya bakat, Nas.

Tapi cobalah bikin!"

Komentar itu justru mendorong Nashar

untuk membikin gambar demi gambar den-

gan penuh semangat. Setiap hari dia serahkan

gambarnya dan Sudjojono selalu berkomen-

tar sama, hingga akhirnya Sudjojono mengi-

jinkannya belajar melukis di sanggarnya mes-

ki "tanpa bakat".

Dari Sudjojono dia belajar melukis objek

secara cermat dan teliti. Dan itu biasanya

akan memakan waktu lama, bisa seming-

gu atau sebulan untuk menyelesaikan satu

lukisan.

Tapi, ketika dia bertemu Affandi, pelukis

yang terkenal sebagai perupa ekspresionis,

dia malah menerima pelajaran sebaliknya:

bagaimana melukis dengan cepat untuk

merekam suatu objek seketika. Dari Affandi

pula dia diajak melukis dengan mengambil

objek kehidupan sehari-hari, objek yang te-

rus dipertahankan Nashar hingga akhir ha-

yatnya. Affandi sebenarnya tak banyak mem-

beri "pelajaran", paling-paling pelukis itu

hanya menasehati para pelukis muda untuk

"Melukis saja yang banyak".

Maka, jadilah Nashar melukis apa saja,

di mana saja dan kapan saja. Ke mana-mana

dia selalu membawa buku sketsa. Dia per-

caya bahwa sketsa adalah lukisan juga. Wak-

tu itu, pendapat ini belum diterima seperti

sekarang. Saat itu ada saja pameran lukisan

yang menolak menerima karya-karya sketsa

bahkan karya lukisan hitam-putih dianggap

bukanlah lukisan kala itu, sehingga Nashar

mempersoalkanya melalui tulisannya diber-

bagai media.

Ada dua tema saling berkaitan yang bagi

Nashar penting: irama dan jiwa. Soal irama

mulai dikenalnya ketika dia mendengar

perbincangan dua pelukis senior saat itu,

Hendra Gunawan dan Zaini. Sayang, Nashar

apa yang dialami dan diketahui, dari hal-hal

yang kecil sekalipun."

Mengendalikan pengalaman berarti

mengerti apa yang terjadi. Mengerti (under-

standing) adalah sebuah tindakan, sebuah

proses, yang tak pernah selesai. Dia adalah

sebuah gerak dialektis antara apa yang diala-

mi dan subyek yang terus bertanya. Sebenar-

nyalah, buku “Nashar oleh Nashar” (Bentang

Budaya, Juni 2002) memaparkan banyak

pertanyaan dan sejumlah jawaban yang terus

berubah. Pembaca bisa menemukan upaya

Nashar memahami garis, warna, jiwa, objek

lukisan, dan seterusnya, yang pada akhirnya

merupakan upayanya memahami dirinya

sendiri.

Nashar tak punya kawan untuk berbagi,

maka diciptakannya kawan imajiner yang

disebutnya "kawan yang tak kukenal". Dia

menulis ribuan, mungkin jutaan, surat ke-

pada kawannya itu, seperti pelukis Belanda,

Vincent van Gogh, berkorespondensi de-

ngan saudaranya, Theo. Dia terobsesi pada

Van Gogh setelah membaca tiga jilid buku

kumpulan surat pelukis itu yang dia "curi"

dari lembaga kebudayaan Belanda Sticusa di

Jakarta di 1950-an.

Pada “Nashar oleh Nashar”, pembaca

akan menemukan sesosok Nashar sebagai

sastrawan piawai. Dia membangun sebuah

alur cerita yang kuat dan mendongengkan-

nya dengan lancar, meski kadang ada banyak

rincian dan latar peristiwa yang dia lewatkan.

Alurt itu dia bangun dengan sosok seorang

anak kecil yang bermimpi jadi pelukis. Tapi,

pelukis macam apa?

Mulanya, dia ingin menjadi pelukis seperti

Raden Saleh yang lukisannya begitu nyata,

hidup, seakan bergerak. Dia ingin belajar

menggambar di sanggar Pak Sudjojono, di

Yogyakarta. Pelukis besar itu, yang nantinya

dikukuhkan sebagai Bapak Seni Lukis Mo-

dern Indonesia, hanya berkomentar singkat

Page 54: Majalah Sagang

halaman 52

tak merinci isi perbincangan itu, sehingga tak

tergambar apa yang mereka maksud dengan

ritme dalam lukisan yang menjadi ketertari-

kan Nashar muda.

Yang pasti, dia mencatat bahwa panda-

ngannya tentang ritme ini mempengaruhinya

melukis. Perubahan teknik melukis Nashar

terjadi pada 1975 ketika ia hanya menampil-

kan garis dan irama di kanvasnya sementara

bentuk fi gur surut ke belakang. Perubahan

dari fi guratif ke nonfi guratif ini dia akui di-

ilhami tiga pementasan drama Putu Wijaya,

Lho, Entah, dan Nol.

Saat itu Nashar terlibat dalam kelompok

teaternya Putu. Saat latihan, Nashar memin-

ta setiap pemain mengosongkan pikiran dan

berekspresi secara total, setotal-totalnya.

Putu sempat mencemaskan hal ini, tapi Nas-

har percaya "Kebebasan akan membatasi di-

rinya sendiri." Hasilnya, para pemain teater

itu mampu memunculkan gerakan-gerakan

liar yang selama ini mungkin tersembunyi.

Mereka merayap, berputar-putar, bahkan

membentur-benturkan badannya ke dinding.

Bagi Putu, hal tersebut melahirkan tiga

karya dramanya. Bagi Nashar, hal ini men-

dorongnya membuat coret-coretan yang

menghabiskan 500 lembar kertas selama

enam bulan. Nashar kemudian menemukan

jawaban yang dicarinya: rasa irama. Sayang-

nya, fragmen sepenting ini tidak dimuncul-

kan pada tulisan-tulisan Nashar, entah men-

gapa.

Soal jiwa menggugahnya ketika dia ber-

temu penyair Chairil Anwar. Ketika Chairil

memperhatikan Nashar membuat sketsa, dia

berkata, "Dari hasil sketsamu ini kelihatan

kau cukup punya feeling tentang rasa derita.

Menurutku, feeling saja tidak cukup. Apa-

kah kau telah mencoba untuk menyelidiki

sedalam-dalamnya penderitaan itu sendiri

pada jiwa mereka?"

Pertanyaan Chairil itu membuat Nashar

tak bisa tidur selama seminggu. Sejak itu dia

mulai menggali apa yang disebut "penderi-

taan" dengan aktif memperhatikan apa yang

dirasakan orang, siapa pun dia. Penggalian

jiwa itu bermuara pada apa yang Nashar se-

but "api", kata lain dari semangat (spirit).

Nashar percaya bahwa lukisan yang baik

haruslah mencerminkan jiwa pelukisnya.

Pendapat ini mirip dengan pendapat Sudjo-

jono bahwa lukisan adalah "jiwa nampak".

Setiap garis, warna, dan bentuk pada lukisan

merupakan jiwa pelukisnya. Proses melukis

Nashar kemudian adalah sebuah pergulatan

batin antara objek lukisannya, kanvas yang

kosong, dan dirinya sendiri.

Pergulatan itu terlihat jelas ketika Nashar

mengalami kemacetan ketika melukis. Dalam

salah satu “Surat-surat Malamnya” yang ber-

tahun 1968, dia bercerita begini. Kala me-

lukis, dia mengingat-ingat objek yang ada

di sebuah kampung yang lama dia tinggali.

"Perhatianku bolak balik antara kampung

dan kertas lukis," katanya.

Nashar menyadari bahwa jiwanya tak

sepenuhnya berada di kertas lukis. Kema-

cetan ini dipecahkannya dengan menggurat-

kan beberapa garis awal, setelah itu kenangan

tentang kampung itu ia tinggalkan sama

sekali. "Aku hanya memperhatikan kemung-

kinan-kemungkinan yang ada di kertas lukis

itu saja," katanya.

Kemungkinan-kemungkinan yang dikem-

bangkannya itu kemudian menjadi sebuah

lukisan yang juga menghasilkan kemungki-

nan-kemungkinan imajinatif.

Nashar adalah pelukis yang dengan intens

melakukan pencarian esensi objek-objek ma-

nusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya

adalah bagaimana ia mengungkapkan totali-

tas jati diri, melalui bentuk-bentuk yang ter-

us disederhanakan sampai menuju abstraksi

total, sebenarnya merupakan ekspresi yang

mencerminkan efek psikis dari pengalaman

Page 55: Majalah Sagang

halaman 53

kehidupan sehari-hari. Warna-warna yang

cemerlang sering tidak mengungkapkan ke-

cerahan, tetapi menceritakan efek dramatis

kehidupannya.

Untuk mencapai kedalaman esensi ob-

jek-objek dan kemurnian perasaan dalam

lukisannya, ia merumuskan perjuangan krea-

tivitas lewat kredo “Tiga Non”. Pertama yaitu

non konsep. Maksudnya adalah, ketika mulai

melukis ia belum punya gambaran, konsep,

bahkan gaya yang akan dipakai. Ia hanya

mengandalkan pada keinginan jiwa dan in-

tuisi yang akan mengalir. Kedua, yaitu non

objek. Dalam kredo ini ia percaya bahwa sua-

sana intens dalam melukis akan mendorong

untuk mendapatkan suatu bentuk atau ob-

jek sendiri dalam kanvas. Ketiga, adalah non

teknik. Dalam melukis ia selalu tidak berang-

kat dari pola teknik. Teknik akan menyesuai-

kan dengan citra dalam berkarya. Dengan

kredo tiga non itu diharapkan melukis harus

melalui proses perjuangan yang sulit, sehing-

ga situasi jiwa murni selalu terjaga.

Dia ingin mendekonstruksi teori seni rupa

yang eksis sejak dia mulai melukis.

Nashar tak begitu suka dengan teori

meskipun dia percaya teori perlu diajarkan di

akademi seni rupa. Nashar tak puas dengan

teori yang ada karena menurutnya teori itu

tak berhasil menjelaskan soal jiwa pelukis-

nya. Sehingga ketika dia ingin memaparkan

pandangan-pandangan berkeseniannya, dia

memakai istilah-istilah yang secara defi nitif

mengacu pada teori tertentu, seperti api, jiwa,

intuisi, semangat, irama, dan sebagainya.

Kalau boleh aku simpulkan, pandangan-

pandangan Nashar sebenarnya tidak be-

rangkat dari keinginan untuk menjelaskan.

Dia seperti ingin menjadi motivator, sang

pendorong, bagi lahirnya pelukis sunggu-

han, pelukis yang menghargai dirinya dan

masyarakatnya, pelukis yang jujur sejak gore-

san pertama kuasnya di atas kanvas.

Nashar, misalnya, bicara tentang perlu-

nya mengasah intuisi bagi seorang pelukis

semata-mata untuk menghasilkan sebuah

karya yang matang. Dia tak menguraikan apa

itu intuisi tapi mengajarkan bagaimana men-

gasahnya, yakni dengan terus menerus beru-

saha bersatu dengan alam, dengan objek yang

dilukis, dengan kanvas, dengan warna, den-

gan cat. Dia biarkan murid-muridnya ketika

ia mengajar IKJ (Intitut Kesenian Jakarta)

maupun kala bual-bual dengan perupa muda

yang ingin menimba ilmu darinya, membe-

baskan diri secara total untuk mengungkap-

kan apa yang ingin diungkap.***

(DSM. Dari Berbagai Sumber)

Page 56: Majalah Sagang

halaman 54

rehal

Ciuman Hujan Judul : Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta

Penulis : Pablo Neruda

Cetakan : I, 2009

Penerbit : Penerbit Madah, Yogyakarta kerjasama dengan

Parikesit Institute dan Interlude

Tebal : vi + 128 halaman (100 judul puisi)

ISBN : 978-979-19797-0-2

Judul asal : Cien Soetos de Amor, yang kemudian diterjemahkan dari

bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscott

menjadi 100 Love Sonnets

Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Tia Setiadi

Editor : Agus Manaji dan Sukandar

Kepada Matilde Urrutia

Istriku tercinta, aku menderita selagi aku menuliskan “soneta-sone-

ta” tak bernama ini; mereka melukaiku dan membuatku lara, namun

kebahagiaan yang kurasakan dalam mempersembahkannya kepa-

damu sungguh maha luas bagaikan sabana....

F.int

Page 57: Majalah Sagang

halaman 55

PABLO NERUDA

Lahir di kota Parral, Chili, pada 12 Juli

1904. Nama lengkapnya Ricardo Eliecer Naf-

tali Reyes Basoalto. Dalam tahun 1920, dia

memakai nama pena Pablo Neruda, terinspi-

rasi dari seorang penyair Ceko, Jan Neruda.

Pada 1927, karena putus asa, Neruda me-

nerima jabatan sebagai konsul kehormatan

di Rangoon, Burma, seraya kerja serabutan di

Kolombo, Srilangka, Batavia dan Singapura.

Di Jawa ia menikahi isterinya yang pertama,

seorang wanita Belanda pegawai bank, ber-

nama Maryka Antonieta Hagenaar Vogel-

zang. Menerima International Peace Prize

(1950) dan The Nobel Prize for Literature

(1971). Buku-bukunya yang terbit: Crepuscu-

lario (Senja, 1923), Veinte Poemas de amor

y una cancion desesperada (1924), sehimpun

sajak cintanya yang paling terkenal dan pa-

ling banyak diterjemahkan. Kemudian espa-

na en el corazon (Spanyol di kalbuku) paska

perang saudara di Spanyol, sebuah situasi

yang mengubahnya dari seorang individu-

alis menjadi aktivis dan membuatnya sangat

terlibat dalam politik, Alturas de Macchu Pic-

chu (1945), sebuah puisi yang tebalnya satu

buku, ditulis dalam 12 bagian. Canto General

de Chile (1950), menghimpun 250 sajak Ner-

uda yang dicipta saat masa-masa sulit, men-

jadi seorang eksil di negeri sendiri. Kemudian

Cien Sonetos de amor (1960), buku ini, terbit

di Boenos Aires. Neruda, meninggal di Klinik

Santa Maria, Santiago, pada malam 23 Sep-

tember 1973 terpapar Leukimia. Konon, be-

berapa saat sebelum ia wafat, tentara-tentara

Pinochet (Jenderal yang memimpin Kudeta

militer pada 11 september 1973), menggele-

dah rumah Neruda di Isla Negra. Ucapan

Neruda kala itu: “Carilah–hanya ada satu

benda yang berbahaya untuk kalian di sini–

puisi”.

***

Pablo Neruda dengan istri pertama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang di Batavia

F.int

Page 58: Majalah Sagang

halaman 56

Beberapa pilihan puisi/soneta Pablo Nerudadalam Ciuman Hujan

XLVIII

Sepasang kekasih yang bahagia membuat sebuah roti,

satu rembulan gugur di rerumputan

Ketika berjalan, mereka melemparkan sepasang bebayang

yang mengalir bersama;

ketika bangun, mereka meninggalkan satu surya yang suwung

di ranjangnya.

Dari segala kebenaran yang mungkin, mereka memilih hari itu;

mereka menggenggamnya, bukan dengan tali tapi dengan satu aroma.

Mereka tidak merobek kedamaian, tidak pula meremukkan kata-kata

kebahagiaan mereka adalah menara yang tembus pandang

Udara dan anggur menemani sepasang kekasih yang bahagia itu.

Malam memberi kesenangan dengan kelopak-kelopaknya yang riang.

Mereka punya hak atas semua bunga anyelir.

Sepasang kekasih yang bahagia, tanpa suatu akhir, tanpa kematian,

mereka lahir, mereka mati, berkali-kali selagi mereka hidup:

mereka memiliki kekekalan hidup yang alamiah.

Page 59: Majalah Sagang

halaman 57

XC

Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat

dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan:

siang dan malamku yang fana adalah mulutmu,

kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku.

Pada saat itu buku-buku berhenti,

juga persahabatan, kekayaan menumpuk dengan gelisah,

rumah transparan yang kau dan aku bangun:

segala sesuatu berguguran, kecuali matamu.

Sebab sementara kehidupan mengusik kita, cinta hanyalah

gelombang yang lebih tinggi ketimbang gelombang-gelombang

lainnya:

tapi oh, kala maut datang mengetuk pintu gerbang,

di sana hanya tatapanmu yang melawan begitu banyak kekosongan,

hanya cahayamu yang melawan kepunahan,

hanya cintamu yang mengusir bebayang

XVII

Aku tak mencintaimu seakan kau mawar-bergaram, atau manikam

atau panah bunga-bunga anyelir yang diluncurkan nyala api

Aku mencintaimu bak benda-benda gelap tertentu yang dicintai

dalam rahasia, di antara bebayang dan jiwa.

Aku mencintaimu bagaikan tanaman yang tak pernah berbunga

namun membawa sinar dari bunga-bunga tersembunyi dalam dirinya;

terima kasih pada cintamu atas harumnya yang penuh

yang bangkit dari bumi, mukim dalam gelap di tubuhku

Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana

Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga;

begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain

selain itu: di mana aku tak ada, kau juga tak ada

begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku,

begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpe-

jam.

Page 60: Majalah Sagang

halaman 58

XXIX

Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di Selatan

dari lanskap-lanskap yang dingin dan berlindu

yang menawarkan pada kita – setelah dewa-dewa itu terjungkal

ke dalam kematian – hikmah hidup, yang terbentuk di lempung

Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman

dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,

merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,

tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat

Gadis kecilku, jantung kemiskinan telah ada dalam dirimu

kakimu terbiasa mengasah batu-batu

mulutmu tak selalu punya roti, atau gula-gula

Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula

di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian

dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.

XCI

Usia merangkumi kita bagai gerimis

waktu tak berkesudahan dan sedih

bulu garam menyentuh parasmu

tetesannya merusak bajuku

Waktu tak terbedakan di antara tanganku

dan sekerumun jeruk dalam dirimu

dengan salju dan hidup terbaik yang meluruh

dalam hidupmu, yang juga hidupku

Hidupku, yang kuberikan padamu, terisi

dengan tahun-tahun bak sekelompok buah yang mengembang

Anggur-anggur akan kembali ke bumi

Dan bahkan waktu turun di sana

terus-menerus, menunggu, menghujan

ke atas debu, berhasrat menghapuskan bahkan ketakhadiran

Page 61: Majalah Sagang

halaman 59

XLIV

Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencin-

taimu

sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi

sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan

api mempunyai separuh dingin

Aku mencintaimu untuk mulai mencintaimu

untuk memulai ketakterbatasan kembali

dan tak pernah berhenti mencintaimu:

sebab itulah mengapa aku tak mencintaimu

Aku mencintaimu dan tak mencintaimu, seolah kugenggam

kunci-kunci di tanganku; untuk masa depan kegembiraan –

nasib malang yang kacau balau —

Cintaku mempunyai dua kehidupan, untuk mencintaimu;

sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu

dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu

Page 62: Majalah Sagang

halaman 60

Daftar buku

Cevdet Bey ve Oğulları (1982, Tn. Cevdet dan Anak-anaknya)

Sessiz Ev (1983, Rumah yang Sunyi)

Beyaz Kale (1985, Kastil Putih)

Kara Kitab (1990, Buku Hitam)

Yeni Hayat (1995, Kehidupan Baru)

Öteki Renkler (1999, Warna-warna Lain)

Benim Adım Kırmızı (2000, Namaku Merah)

Kar (2002, Salju)

İstanbul: Hatıralar ve Şehir (2003, Istanbul: Kenangan dan Kota)

Penghargaan

- 1979 Penghargaan Pertandingan Novel Milliyet Press (Turki)

untuk novelnya Karanlık ve Işık (pemenang bersama)

- 1984 Hadiah Novel Madarali (Turki) untuk novelnya Sessiz Ev

- 1990 Penghargaan Fiksi Asing Independen (Britania Raya)

untuk novelnya Beyaz Kale

- 1991 Prix de la Découverte Européenne (Hadiah Penemuan

Eropa) (Prancis) untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya

Sessiz Ev

- 2002 Prix du Meilleur Livre Etranger (Hadiah untuk Buku

Asing Terbaik) (Prancis) untuk novelnya Namaku Merah

- 2002 Premio Grinzane Cavour (Italia) untuk novelnya Namaku

Merah

- 2003 Penghargaan Sastra Internasional IMPAC Dublin

(Irlandia) untuk novelnya Namaku Merah

- 2005 Hadiah Perdamaian Pameran Dagang Buku Jerman

(Jerman)

- 2005 Prix Medicis Etranger (Prancis) untuk novelnya Salju

- 2006 Penghargaan Nobel dalam Sastra

Ferit Orhan Pamuk(Pemenang Nobel Sastra 2006)

tokoh

Page 63: Majalah Sagang

halaman 61

Ferit Orhan Pamuk (lahir di Istanbul, Tur-

ki, 7 Juni 1952) adalah seorang novelis Turki

terkemuka dalam sastra pasca-modernis. Ia

sangat populer di dalam negeri, dan pemba-

canya di seluruh dunia juga bertambah terus.

Sebagai salah seorang novelis Eurasia paling

terkemuka, karya-karyanya telah diterjemah-

kan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Ia telah

mendapatkan banyak penghargaan di dalam

negeri maupun internasional.

Pada 2005, pemerintah Turki mengena-

kan tuduhan kriminal terhadap Pamuk sete-

lah ia membuat pernyataan-pernyataan me-

ngenai pembunuhan lebih dari 1 juta orang

Armenia dan 30.000 orang Kurdi di Anatolia.

Pamuk dilahirkan di lingkungan kelu-

arga berada. Ayahnya adalah CEO pertama

IBM Turki. Ia belajar di Sekolah Menengah

Umum Amerika Robert College di Istanbul.

Kemudian ia mengambil program arsitektur

di Universitas Teknik Istanbul, karena te-

kanan keluarganya agar ia menjadi insinyur

atau arsitek. Namun ia berhenti setelah tiga

tahun dan menjadi seorang penulis penuh

waktu. Pamuk lulus dari Institut Jurnalisme

di Universitas Istanbul pada 1977. Ia menjadi

sarjana tamu di Universitas Columbia di New

York City dari 1985 hingga 1988, dan pada

masa yang sama ia pun menjadi mahasiswa

tamu di Universitas Iowa. Lalu ia kembali ke

Istanbul.

Pamuk menikah dengan Aylin Turegen

pada 1982, tapi mereka bercerai pada 2001.

Keduanya mempunyai seorang anak perem-

puan, Rüya. Pamuk tetap tinggal di Istanbul.

Pamuk mulai menulis secara teratur pada

1974. Novelnya yang pertama, Karanlık ve

Işık (Gelap dan Terang) menjadi pemenang

bersama dengan novel lain pada 1979 Lomba

Penulisan Novel Milliyet Press (pemenang

lainnya adalah Mehmet Eroğlu). Novel ini di-

terbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları

(Tuan Cevdet dan anak-anaknya) pada 1982,

dan memenangkan Hadiah Novel Orhan Ke-

mal pada 1983. Kisahnya tentang tiga genera-

si sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup

di Nisantasi, distrik Istanbul tempat Pamuk

dibesarkan.

Pamuk memenangkan sejumlah penghar-

gaan kritis untuk karya-karya awalnya, ter-

masuk Hadiah Novel Madarali 1984 untuk

novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Su-

nyi) dan Prix de la Découverte Européenne

1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel-

nya ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil

Putih), terbit dalam bahasa Turki pada 1985,

memenangkan Penghargaan Independen un-

tuk Fiksi Asing 1990 dan memperluas reputa-

sinya di luar negeri. Tinjauan Buku The New

York Times menyatakan, "Bintang yang baru

telah terbit di timur, Orhan Pamuk." Ia mulai

F.int

Page 64: Majalah Sagang

halaman 62

bereksperimen dengan teknik-teknik pasca-

modern dalam novel-novelnya, suatu peru-

bahan dari naturalisme sempit dalam karya-

karya awalnya.

Pamuk agak lambat menjadi populer di

kalangan khalayak umum, namun novelnya

Kara Kitab (Buku Hitam, 1990) menjadi salah

satu bacaan yang paling kontroversial dan

populer dalam sastra Turki karena komplek-

sitas dan kekayaannya.

Pada 1992, ia menulis naskah untuk fi lm

Gizli Yüz (Muka Rahasia), berdasarkan Kara

Kitab dan ditangani oleh sutradara Turki

terkemuka, Ömer Kavur. Novel keempat Pa-

muk, Yeni Hayat (Kehidupan Baru), menim-

bulkan sensasi di Turki saat terbitnya pada

1995 dan menjadi buku yang paling laris ter-

jual dalam sejarah Turki. Saat ini, Pamuk juga

telah menjadi tokoh terkemuka di Turki, ka-

rena dukungannya atas hak-hak politik suku

Kurdi. Pada 1995, Pamuk tergolong salah satu

penulis yang berusaha menulis esai-esai yang

mengkritik perlakuan Turki terhadap suku

Kurdi. Pada 1999, Pamuk menerbitkan buku

ceritanya Öteki Renkler (Warna yang Lain).

Reputasi internasional Pamuk terus me-

ningkat ketika ia menerbitkan Benim Adım

Kırmızı (Namaku Merah) pada 2000. Novel

ini mencampurkan teka-teki misteri, roman

dan fi losofi s yang berlangsung di Istanbul

pada abad ke-16. Cerita ini membuka jendela

ke pemerintahan Sultan Ottoman Murat III

dalam sembilan hari musim dingin yang ber-

salju pada 1591, mengundang pembacanya

untuk mengalami ketegangan antara Timur

dan Barat dari perspektif yang sangat memu-

kau. Namaku Merah telah diterjemahkan ke

dalam 24 bahasa dan memenangkan hadiah

sastra internasional yang paling bernilai,

Hadiah IMPAC Dublin pada 2003.

Ketika ditanya "Apakah pengaruh keme-

nangan hadiah IMPAC ini (saat ini nilainya

$127.000) atas kehidupan dan karya anda?",

Pamuk menjawab "Tak suatupun yang beru-

bah dalam hidup saya karena saya bekerja

sepanjang waktu. Saya telah menghabiskan

30 tahun dalam menulis fi ksi. Selama 10 ta-

hun pertama, saya kuatir tentang uang dan

tak seorangpun bertanya berapa banyak uang

yang saya hasilkan. Dekade kedua saya meng-

habiskan uang dan tak seorangpun bertanya

tentang hal itu. Dan saya telah menghabiskan

10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu

bagaimana saya menggunakan uang itu, sua-

tu hal yang tidak akan saya lakukan."

Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar

(2002) (terjemahan bahasa Inggris Snow

(Salju), 2004), yang membahas konfl ik anta-

ra Islamisme dan Baratisme di Turki modern.

New York Times mencatat Snow sebagai salah

satu dari Sepuluh Buku Terbaik untuk 2004.

Ia juga menerbitkan sebuah memoir/cata-

tan perjalanan İstanbul-Hatıralar ve Şehir

pada 2003 (Versi Inggris, Istanbul-Memories

and the City (Istanbul-Kenangan dan Kota)

2005). Pada 2005 Orhan Pamuk memenang-

kan Hadiah Perdamaian Pameran Dagang

Buku Jerman senilai 25.000 Euro untuk ka-

rya sastranya di mana Eropa dan Turki Islam

menemukan tempat untuk satu sama lain. Ini

adalah hadiah buku paling bergengsi Jerman

yang diberikan di Gereja St. Paulus di Frank-

furt.

Buku-buku Pamuk dicirikan oleh kebin-

gungan atau hilangnya identitas yang seba-

gian ditimbulkan oleh konfl ik antara nilai-

nilai Eropa dan Islam. Mereka seringkali

mengganggu atau menggelisahkan, namun

mencakup plot yang rumit dan memikat,

serta tokoh-tokoh yang mendalam. Karya-

karyanya juga diwarnai dengan bahasan dan

pesona terhadap seni kreatif, seperti sastra

dan lukisan.

Tuduhan-tuduhan kriminal terhadap Pa-

muk muncul dari pernyataan-pernyataan

yang dibuatnya pada wawancara dengan Das

Page 65: Majalah Sagang

halaman 63

Magazin, sebuah terbitan Swiss pada Febru-

ari 2005. Dalam wawancara itu, Pamuk me-

nyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan

sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini

dan tak seorangpun kecuali saya yang berani

berbicara tentang hal ini."

Pamuk mengatakan bahwa setelah wawan-

cara itu diterbitkan, ia dikenai kampanye ke-

bencian yang memaksanya melarikan diri

dari negerinya. Namun ia belakangan kem-

bali pada 2005 untuk menghadapi tuduhan-

tuduhan terhadapnya. Dalam wawancara

dengan BBC News, ia berkata bahwa ia ingin

membela kebebasan berbicara, satu-satunya

harapan Turki untuk menghadapi sejarahnya

sendiri: 'Apa yang terjadi kepada orang-orang

Armenia Ottoman pada 1915 adalah suatu ke-

jadian besar yang tersembunyi dari bangsa

Turki. Ia dianggap tabu. Tetapi kami harus

mampu berbicara tentang masa lalu.'

Pada Juni 2005, Turki memperkenal-

kan aturan pidana baru yang menyatakan:

"Seseorang yang secara eksplisit menghina

keberadaan seorang Turki, Republik atau

Dewan Nasioal Agung Turki, akan dikenai

hukuman penjara selama enam bulan hingga

tiga tahun." Pamuk dikenai hukuman pelang-

garan hukum ini dalam wawancara yang di-

berikannya empat bulan sebelum hukum itu

diberlakukan. Pada Oktober, setelah dakwaan

dimulai, Pamuk mengulangi pandangan-pan-

dangannya dalam sebuah pidato yang disam-

paikannya pada upacara pemberian hadiah di

Jerman: "Saya ulangi, saya katakan dengan

keras dan jelas bahwa satu juta orang Arme-

nia dan 30.000 orang Kurdi telah dibunuh di

Turki."

Karena Pamuk dikenai tuduhan atas hu-

kum yang diberlakukan surut, hukum Turki

mengharuskan pengadilannya disetujui oleh

Kementerian Kehakiman. Beberapa menit

setelah pengadilan Pamuk dimulai pada 16

Desember 2005, hakim menemukan bahwa

persetujuan ini belum diterima dan kare-

nanya menunda kelanjutan peradilan. Dalam

wawancara yang diterbitkan dalam surat

kabar Aksam pada hari yang sama, Menteri

Kehakiman Cemil Cicek mengatakan bahwa

ia belum menerima berkas Pamuk namun ia

akan mempelajarinya dengan cermat begitu

berkasnya sampai ke tangannya.

Kantor berita Turki BIA melaporkan

bahwa para pengunjuk rasa nasionalis di luar

ruang pengadilan mengejek ketika mereka

mendengar peradilan itu ditunda dan menye-

rang mobil Pamuk ketika ia dibawa pergi.

Sekelompok pengunjuk rasa lainnya yang

berdemonstrasi damai menentang Orhan Pa-

muk tanpa kekerasan dipimpin oleh seorang

seniman dan penulis Turki yang terkenal se-

cara internasional, Bedri Baykam.

Tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk me-

ngundang reaksi internasional dan berbagai

pertanyaan di sejumlah kalanagan menge-

nai rencana masuknya Turki ke dalam Uni

Eropa. Pada 30 November, Parlemen Eropa

mengumumkan akan mengirimkan delegasi

yang terdiri dari lima anggota, dipimpin oleh

Camiel Eurlings, sebagai pengamat di peradi-

lan itu. Komisioner Perluasan UE Olli Rehn

lalu mengatakan bahwa kasus Pamuk akan

menjadi ujian atas komitmen Turki terhadap

kriteria keanggotaan UE.

Pada 1 Desember, Amnesti Internasional

mengeluarkan pernyataan yang menyerukan

agar Pamuk dan enam orang lainnya yang

akan diadili, dibebaskan.

Pada 13 Desember, delapan pengarang

terkenal dunia: Jose Saramago, Gabriel Gar-

cia Marquez, Günter Grass, Umberto Eco,

Carlos Fuentes, Juan Goytisolo, John Updike

dan Mario Vargas Llosa menerbitkan pernya-

taan bersama dan mengecam tuduhan-tudu-

han atas Pamuk sebagai pelanggaran hak-hak

asasi manusia.

Sebagian rekan-rekan Turkinya meny-

Page 66: Majalah Sagang

halaman 64

erang dia karena terlalu memusatkan kri-

tiknya terhadap "Turki dan orang Turki",

dan karena tidak sama kritisnya terhadap

pemerintah-pemerintah lain. Selain itu,

sebagian pengamat curiga terhadap mak-

sud Pamuk sesungguhnya di balik pernya-

taan ini dan mengklaim bahwa ia hanya

sok pamer agar memenangkan penghar-

gaan Nobel untuk sastra yang kemudian

dianugerahkan kepada pengarang Inggris,

Harold Pinter. Mereka mengatakan bahwa

Pamuk tak pernah sebelumnya memper-

lihatkan perhatiannya kepada masalah

Kurdi atau Armenia. Sebagian komentator

Turki mencatat bahwa memuji Pamuk bu-

kan karena tulisannya melainkan karena

pernyataannya tentang orang Kurdi dan

Armenia tidak saja keliru, tetapi juga tidak

adil kepada orang-orang seperti Yaşar Ke-

mal, sastrawan Turki lainnya yang telah

menghadapi berbagait uduhan sepanjang

kariernya sebagai penulis karena mem-

bela hak-hak suku Kurdi maupun bang-

sa-bangsa lain, yang telah membaktikan

seluruh hidupnya untuk meneliti kelom-

pok-kelompok minoritas atau yang pernah

dipenjarakan karena membela hak-hak

minoritas. Waktu yang bersamaan ketika

media mulai menerbitkan pernyataan-

pernyataan Pamuk dengan waktu perun-

dingan-perundingan penting dengan UE

juga telah menimbulkan sejumlah kontro-

versi di Turki. Lainnya mengatakan bahwa

kasus Pamuk lebih mirip dengan pence-

maran seperti di negara-negara demokrasi

Barat, daripada kebebasan berpenda-

pat.***

(Red.01-Dari berbagai sumber)

Dukacita

Pimpinan dan Karyawan

Menyampaikan kabar dukacita

atas meninggalnya :

Kasrah (78 Tahun)Ibunda tercinta Dandun Wibawa (Seniman Musik)

Di RS. Eka HospitalPukul 21.00 WIBdan disemayamkandi Jl. Durian Labuh Baru,Pekanbaru

Semoga Almarhumahditerima di sisi Allah Swt dankeluarga yang ditinggalkantabah menerima cobaan ini.Amin.

Page 67: Majalah Sagang

halaman lxvww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

ww

w.to

kobu

ku17

1.co

m

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam Pekanbaru-Riau

Pusat Penjualan: Kompleks Metropolitan City Giant Block A 19 & 20 Jl. HR Soebrantas Km 12 Pekanbaru

Page 68: Majalah Sagang

halaman lxvi