majalah sagang
DESCRIPTION
Edisi 172 Januari 2013TRANSCRIPT
halaman KULITi
No. 172 JANUARI 2013 tahun XV www.majalahsagang.com
Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia!(Henri Chambert-Loir)(Henri Cham
Raja Ali Haji dalam Jejak danRaja Ali Haji dalam Jejak danSajakSajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Sioleh Bambang Widiatmoko, M.Si
Ke Manakah Puisi?Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspitaoleh Alvi Puspita
Pembacaan Teks Sastra, Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan danPerkumpulan danEksistensialismeEksistensialismeoleh M Taufan Musonipoleh M Taufan Musonip
Cerita-pendek:Cerita-pendek:Coup d’etatCoup d’etat oleholeh F. SophieF. Sophie, DapurDapur oleholeh Cikie WahabCikie Wahab, , dandan Kabut Kabut KerinduanKerinduan oleh Ahmad Ijazi Holeh Ahmad Ijazi H
Sajak:Sajak: Muhammad Nurul,Muhammad Nurul,Irdas Yan,Irdas Yan, dandan Sir Saifa AbidillahSir Saifa Abidillah
Musik:Musik: DKR & STSR dalamDKR & STSR dalam"Sembang Bunyi 12""Sembang Bunyi 12"
Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashardan Karya Lukis Nashar Tokoh:Tokoh: Ferit Orhan PamukFerit Orhan Pamuk
halaman KULITii
PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEKPAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ
PAKET INFO PRODUKMenginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja,anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya.Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami(Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan.Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinyadi koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku
MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS
Percetakan Riau Pos Grafi kaDivisi Komersial Printing
Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru
Offi ce +62761-566810
Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504
Fax +62761-64636
Bank Riau KCP Panam 134-08-02010
Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990
An: PT Riau Graindo
E-mail riauposgrafi [email protected]
"SHOW OFF YOUR BUSINESS!"mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda
halaman 1
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers
SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998
ISSN: 1410-8690
Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas
KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, IndonesiaTelepon Redaksi: (0761) 566810
Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636
www.majalahsagang.come-magazine
Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-
No. 172 JANUARI 2013 tahun XV
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani.Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keter-angan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
Daftar Isi
Roh Kesenian ................................................2
Esei
- Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak
oleh Bambang Widiatmoko, M.Si ..................3
- Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita ............6
- Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi
Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme
oleh M Taufan Musonip .................................8
Cerita-pendek
- Coup d’etat oleh F. Sophie ............................11
- Dapur oleh Cikie Wahab .............................. 19
- Kabut Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H .........23
Sajak
- Muhammad Nurul .......................................28
- Irdas Yan ......................................................33
- Sir Saifa Abidillah .........................................39
Musik
DKR & STSR dalam "Sembang Bunyi 12" ......46
Seni rupa
Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat
Malam” dan Karya Lukis Nashar ...................50
Rehal
Ciuman Hujan .................................................54
Tokoh
Ferit Orhan Pamuk ........................................ 60
Illustrasi
halaman 11,19 dan 23 karya Purwanto
Lukisan "Di Pantai" karya Armawi KH,cat minyak pada kanvas. foto red
halaman 2
tajuk
ROH atau nyawa, semua orang tahu, kare-na ada dalam dirinya sendiri; yakni “sesuatu” yang menghidupkan manusia. Kajian tentang roh akan lebih lengkap pada kalangan sufi atau para khalifah di tempat rumah suluk, apalagi jika sudah mencapai taraf tuan guru, bahkan para wali Allah. Ketika masih muda, sempat juga menimba ilmu seperti ini de-ngan beberapa guru di luar rumah suluk se-cara “liar”, atau mungkin disebut murid pre-man. Roh atau nyawa itu banyak macamnya, taklah kan disebutkan di ruang ini, karena ilmu ini bukan ilmu fi qih, maka akan menjadi fi tnah bagi yang tak pernah belajar. Karena pada prinsipnya seseorang yang tak pernah mengecap rasa buah tampu (buah yang tum-buh liar di hutan, sekarang sudah langka), tak akan tahu bagaimana, apa rasanya buah tampu itu.
Apakah roh kesenian itu? ATL (Asosiasi Tradisi Lisan Riau)dengan beberapa kawan bulan Januari 2013 yang lalu pergi ke be-berapa kawasan kesenian dan kebudayaan, seperti mengunjungi Pak Taslim, Wak Setah di Rokanhulu, mengunjungi Mak Itam, Wan Khatijah, dan tatacara pembuatan “kelong-kap”, yaitu perlengkapan untuk upacara pe-ngobatan “bulian” di Kabupaten Pelalawan. Kalau sampai di rumah Pak Taslim, kita akan dapat melihat dan mendengar “roh kesenian dan kebudayaan” itu. Di rumah Pak Taslim itu banyak sejumlah instrument kesenian dan juga instrument kebudayaan yang berhubu-ngan dengan mata pencaharian masyarakat zaman dahulu maupun zaman sekarang, se-but saja lukah, ketiding, lesung indik, jobak, bermacam-macam alat-senjata, dan lain-lain ratusan yang tak dapat ditulis di sini karena banyaknya. Selain museum mini, Pak Taslim adalah juga “roh kesenian” itu sendiri. Pada
dirinya terdapat ensiklopedi kebudayaan Me-layu, dan kesenian. Ketika pergi membuat dokumentasi fi lm dokumenter tentang tata-cara mengambil gula enau, tak ditemukan lagi pekerja yang mengambil gula enau itu pandai untuk berdendang atau lagu mantera untuk membuai “tangan” batang enau (nira) itu supaya airnya dapat lebih banyak dan me-limpah, tapi Pak Taslim hafal dan tahu man-tera lagu membuai “tangan” enau tersebut.
Rombongan berangkat ke tempat Wak Setah, tukang koba. Dia tidak tinggal lagi di rumahnya yang lama, tetapi di rumah anak perempuannya yang paling tua di desa Ke-panasan, yang agak jauh dari Kotalama dan Pagarantapah tempat tinggalnya, sehingga beberapa jam mobil yang kami sewa terpuruk di lumpur yang dalam, karena jalan yang tak bagus, sedangkan Indonesia sudah merdeka 68 tahun yang lalu. Wak Setah sudah tidak melihat lagi karena penyakit diabetes yang di-deritanya, setahun sesudah anak perempuan bungsu kesayangannya meninggal-dunia aki-bat diabetes juga. Ada belasan cerita koba ada pada dirinya, beberapa secara pribadi sudah ada rekamannya, dan yang lain? Akan hi-langlah ketika salah-seorang “roh kesenian” ini juga hilang.
Di tempat yang lain di Sorek, Mak Itam dan Wan Khatijah “menyanyi-panjang” de-ngan beberapa cerita. Mak Pilih ibu Wan Khatijah sudah meninggal-dunia “hilang” bersama roh kesenian yang dimiliknya. Pak Comel, Pak Imam Bongkol (sahabat ketika berkolaborasi musik di Melaka) tukang ke-tobung pun sudah meninggal-dunia, dan roh musik yang ada pada diri mereka juga hilang.
Di mana “roh kesenian” itu sekarang bera-da di bumi Melayu ini? Di Anjung Seni Idrus Tintin? Entahlah Nyot. ***
Roh Kesenian
halaman 3
Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajakoleh Bambang Widiatmoko, M.Si
esei
etiap bulan Oktober perhatian kita
tertuju kepada peringatan Bulan Ba-
hasa. Sumpah Pemuda yang menye-
but Berbahasa Satu Bahasa Indonesia telah
menjadi bagian dari kehidupan berbangsa
dan berbahasa. Rentang panjang kehadiran
bahasa Indonesia di negeri ini tentunya tidak
dapat terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji,
Bapak bahasa Indonesia. Beragam karya sep-
erti bahasa, agama, hukum, pemerintah dan
syair-syair telah dihasilkan oleh Raja Ali Haji.
Dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia
embrionya adalah bahasa Melayu Riau. Ar-
tinya pada awal permulaan abad ke-20 baha-
sa Indonesia belum dikenal. Para sejarawan
menyebutkan nama Indonesia baru muncul
sesudah tahun 1919 dan dikukuhkan saat ter-
jadinya Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Pada saat itu muncul penyebutan Berbahasa
Satu Bahasa Indonesia.
Raja Ali Haji menulis dua buah buku
mengenai bahasa yakni Kitab Pengetahuan
Bahasa dan Bustanul Katibin. Kitab Penge-
tahuan Bahasa merupakan kamus ensik-
lopedi monolingual Melayu yang pertama
dan disusun tahun 1858, lalu dicetak dengan
huruf Arab-Melayu (Jawi) pada Mathba’at
Al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press Si-
ngapura tahun 1929. Naskah tersebut disim-
pan di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat.
Jasa Raja Ali Haji bagi perkembangan
Bahasa Indonesia diakui hingga kini. Dalam
bidang kesastraan Raji Ali Haji menyum-
bangkan karya besar Gurindam Duabelas
yang memperkokoh dia menjadi seorang pu-
jangga besar. Raja Ali Haji dilahirkan pada
tahun 1808 di pusat kerajaan Riau yang saat
itu bertempat di Pulau Penyengat, tempat di
halaman 4
mana akhirnya beliau dimakamkan. Sam-
pai sekarang di pulau Penyengat masih me-
ninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan
naskah-naskah sebagai tempat rujukan ba-
hasa Melayu.
Ali Haji dalam Persepsi Terkini
Aktualisasi dan apresiasi terhadap karya
Raja Ali Haji dalam bidang kesastraan tidak
pernah berhenti dan terus dilakukan oleh
para sastrawan hingga kini. Penyair Agus R.
Sardjono dalam kumpulan sajaknya Lum-
bung Perjumpaan (Komodo Books, 2011)
yang memperoleh hadiah sastra Majelis Sas-
tra Asia Tenggara (Mastera), Oktober 2012,
dalam salah satu sajaknya berjudul Ali Haji
mengisahkan:
//Seorang bangsawan menggores kalam/
di ombak lautan di tanah sulaman/Bing-
kisan berharga berbilang zaman/serangkum
gurindam pegangan insan//Lirih sangat
nyanyikan balam/Lirih sejarah berkelindan
barah/Gerangan ke manakah kejayaan silam/
Ke lubuk sengketa berebut marwah//Bugis
Melayu keris perahu/menanam selendang
sejarah pilu/Tangis berlagu duka bertalu/
tinggal Melayu di gamang kalbu//Menanam
selendang sejarah pilu/suluh pegawai tuan
yang baru/Dengan penjajah berbagi guru/
ikat-ikatan penguat kalbu.//Suluh pegawai
tuan yang baru/fi intizam raja dan ratu/Dua
belas pasal cintaku padamu/Bulang cahaya
berlayar rindu//Inderasakti ke mana pergi/
Ke pusat kalam pengganti pedang/Akankah
melayu hilang di bumi/Saat sang kalam ber-
tukar uang//Fi intizam raja dan ratu/rakyat
menunggu di balik pintu/Bukalah pintu bu-
kalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//
(hal. 29-30).
Raja Ali Haji dalam pemahaman penyair
Agus R. Sarjono telah menggoreskan per-
kataan yang dapat dijadikan pegangan insan.
Tentu yang dimaksudkannya adalah karya
Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas yang
dalam interpretasinya disebut //dua belas
pasal cintaku padamu//. Ajaran yang tertu-
ang dalam Gurindam Duabelas yang tentu-
nya tetap abadi untuk diikuti, di antaranya
tertuang dalam pasal kedua: “barang siapa
meninggalkan sembahyang/seperti rumah
tiada bertiang/barang siapa meninggalkan
puasa/tidaklah mendapat dua termasa/ba-
rang siapa meninggalkan zakat/tiada artinya
beroleh berkat.”
Dalam baris sajaknya Agus R. Sarjono
mengungkapkan /Bugis Melayu keris pe-
rahu/. Apa yang dimaksudkan dalam baris
sajak tersebut? Jika ditelusuri leluhur Raja
Ali Haji adalah orang Bugis. Orang Bugis me-
mang dikenal sebagai pelaut yang ulung dan
gemar merantau. Dalam tradisi Bugis meran-
tau disebut Sompeq dan merupakan perada-
ban yang sangat tua. Mereka berlayar meng-
gunakan perahu tanpa mengenal rasa takut.
Ada ungkapan yang sangat popular dalam
tradisi Bugis sebagai pelaut yang ulung: “se-
lama laut masih berombak, maka pasir di
pantai tak akan pernah tenang.”
Agus R. Sarjono juga tidak salah jika
menuliskan dalam baris sajaknya //Dengan
penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat
kalbu//. Seperti diketahui dalam riwayat-
nya, pada tahun 1823 Raja Ali Haji mengi-
kuti ayahnya ke Betawi, dan bertemu dengan
Gubernur Jendral Godort Alexander Gerard
Philip Baron van der Capplen. Raja Ali Haji
berkesempatan berkenalan dengan kehidu-
pan orang-orang Belanda dan menyaksikan
beragam pertunjukan kesenian. Artinya Raja
Ali Haji dapat menimba dan berbagi ilmu
dengan penjajah.
Namun ada yang membuat miris hati saya
ketika Agus R. Sarjono menuliskan dalam sa-
jaknya: //Akankah melayu hilang di bumi/
saat sang kalam bertukar uang//. Kapital-
isme dan komersialisme demikian kuat men-
halaman 5
cengkeram dalam kehidupan kita. Ancaman
yang bisa jadi akan menghilangkan Melayu
di muka bumi, saat yang berkuasa tidak lagi
lagi raja, kepala negara atau pujangga, me-
lainkan uang yang telah merasuki jiwa kita.
Meskipun demikian kita selalu berharap se-
perti yang dikatakan Agus dalam bait terakhir
sajaknya://Bukalah pintu bukalah kalbu/biar
Melayu kembali melagu//.
Keterpukauan terhadap Raja Ali Haji tidak
hanya dimiliki Agus R. Sarjono. Penyair Tau-
fi q Ismail juga menuliskan tentang Raja Ali
Haji dalam sajaknya berjudul Perjalanan
Menziarahi Raja Ali Haji. Dalam ingatan
dan pemahaman Taufi q Ismail yang ditu-
angkan dalam sajaknya://Ada dua tempat
di muka bumi ini yang mengcengkeram per-
asaaanku/Yang pertama perpustakaan dan
kedua kuburan//.
Taufi q Ismail menceritakan kisahnya ke-
tika berziarah ke makam Raja Ali Haji di Pu-
lau Penyengat://Demikianlah aku naik pe-
rahu sendirian/bergoyang-goyang digoncang
arus musim kemarau, mega di atas bagai/
bulu domba, mendarat di Pulau Penyengat//
Inilah ziarahku ke kuburan cendekia besar
abad sembilan belas,/penyair Gurindam Dua
belas//
Disebutkan Raja Ali Haji adalah seorang
cendekia besar abad sembilan belas dan Tau-
fi q Ismail menunjukkan kecendekiawan Raja
Ali Haji dengan mengutip Gurindam Dua-
belas: “Kasihkan orang yang berilmu/tanda
rahmat atas dirimu.”
Keterpukauan Taufi q Ismail kepada Raja
Ali Haji sebagai penyair besar abad 19 ditun-
jukkan dengan menuliskan dalam bait terak-
hir sajaknya://Wahai Penyair besar abad
19, kuburanmu adalah isyarat akhirat/bagi
perjalanan dunia fana, /teladan amal karya
sastrawan beriman, begitu dalam/mencekam
perasaan, dan, terimalah Ummul Quran/se-
orang penyair abad 20, yang menghitung je-
jakmu/menyeberang lautan//.
***
Karya pujangga besar Raja Ali Haji terus
dipahami dan menjadi sumber inspirasi para
penyair terkini. Agus R. Sarjono dan Taufi q
Ismail hanya sekadar contoh penyair yang
mendapat semangat dalam berkarya dan ke-
betulan menuliskan persepsinya terhadap
Raja Ali Haji secara langsung dalam sajaknya.
Perlu ditanyakan apakah semangat Sum-
pah Pemuda tetap aktual dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam menghadapi
tantangan zaman? Tantangan yang hanya da-
pat dijawab dengan perbuatan, bukan dengan
kata-kata. Ingatlah kata Raja Ali Haji dalam
Gurindam Duabelas: “apabila banyak berka-
ta-kata/di situlah jalan masuk dusta.”
BAMBANG WIDIATMOKO
Penyair, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI), dan salah-seorang deklarator Hari Puisi Indonesia
halaman 6
PUISI. Begitulah namanya. Kebe-
basan masing-masing kita mendefi nisikan-
nya. Tapi, bagiku puisi adalah hidup. Hidup
adalah mati. Dan kata kawanku mati adalah
kita. Jadi puisi adalah kita yang hidup dan
yang mati. Terbungkus dalam racik masak
bahasa. Dan bahasa bukan hanya soal kata-
kata tapi dari mana asal kata-kata. Dari pikir
dan renungan, semestinya. Anggaplah begitu.
Menikmati puisi berarti menikmati hidup
dan mati. Dalam hidup dan mati terdapat ke-
inginan, harapan, ketakutan, kebingungan,
kebimbangan, mimpi-mimpi, kerinduan pun
amarah, yang selayaknya menjadi indah dan
basah dalam puisi.
Maka aku mencari puisi. Belum juga kute-
mukan ia. Pun di kota ini. Aku mencoba mem-
buatnya sendiri. Tapi setelah itu aku merasa
belum menulis apa-apa. Kemudian sepi. Ke-
mudian resah. Kemudian gelisah. Kemudian
rindu pula. Lalu aku mencoba mencarinya
lagi. Kudatangi tempat-tempat yang kukira
ada puisi disana. Tapi ternyata yang kutemu-
kan penyairnya. Lalu diri jadi bertanya, ke
manakah puisi?
Huss! Itu pertanyaan konyol, katanya
padaku. Apakah kau tidak lihat, ada berapa
banyak koran Minggu yang ada puisinya. Ada
majalah-majalah sastra pula yang juga me-
muat puisi. Ditambah pula acara-acara lom-
ba penulisan puisi, acara pembacaan puisi,
dinding-dinding Facebook yang sering pula
ditongkrongi puisi, antologi-antologi puisi
yang ternyata tetap saja masih ada dari tahun
ke tahun dari pasar pembacanya yang tidak
banyak itu. Penyair-penyair muda tumbuh
dan yang tua masih enggan mati pula. Lalu
apa maksud pertanyaanmu itu, katanya : Ke
Manakah Puisi?
Puisi, bukan hanya soal kata-kata. Bukan
pula soal siapa. Pun naif juga kalau bertanya
untuk apa. Lalu apa? Sudahkah kita bertan-
ya tentang apa dan mengapa di setiap yang
hidup dan yang mati di jagad raya ini, di ceruk
kedalaman jiwa dan kebimbangan diri kemu-
dian mencoba menjawabnya dengan puisi.
Walau itu hanyalah kemungkinan jawaban,
tapi begitulah puisi menurutku.
Lalu apa persoalannya, katanya lagi me-
ragukanku. Bukankah sudah kau katakan
bahwa puisi adalah soal kebebasan masing-
masing kita mendefi nisikannya. Kalau be-
gitu menurutmu puisi, maka tulislah sendiri
puisi yang seperti itu. Selagi kau mencari
takkan juga kau temukan, apalagi kalau kau
mencarinya di rumah orang lain. Ah! Aku tak
Ke Manakah Puisi?
oleh Alvi Puspita
esei
halaman 7
tahu. Lalu untuk apakah puisi itu diterbitkan,
di bukukan atau dibacakan kalau toh hanya
memang soal masing-masing penyairnya.
Lalu di mana pembaca yang mencari sesuatu
dari puisi? Bukankah tak semua orang pula
mampu menulis puisi? Atau memang tidak
perlu mencari sesuatu dari puisi? Karena pui-
si bukanlah apa-apa. Hanya sebatas kata-kata
yang diperjualbelikan untuk sekedar mengisi
perut. Hanya sebatas alat untuk ‘ada’nya diri
si penyair. Hanyalah rangkai-merangkai kata
untuk berindah-indah. Hanya....Ups. Engkau
mulai emosi, katanya padaku. Emosi tidak
akan membawamu kemana-mana. Tidak
akan memperterang jalan. Iya, tetapi me-
ngapa selalu engkau menyangkalku dan tidak
biarkan aku bebas menyampaikan kegelisa-
hanku. Aku sengaja begini agar kau lebih teliti
pada apa yang engkau tanyakan. Tapi adakah
salah aku mempertanyakan hal itu. Tidak
salah, tapi kau mesti punya alasan pemikiran
yang jelas kenapa kau mempertanyakan itu,
karena kini ataupun nanti tidak dibutuhkan
hanya sekedar penghakiman-penghakiman.
Ah. Jangan bawa aku terlalu jauh. Kembali
ke pertanyaanku tadi tentang Ke Manakah
Puisi, apakah berarti menghakimi. Terkesan
begitu. Dengan pertanyaanmu itu semacam
tersimpan pernyataan bahwa tidak ada pu-
isi. Nah, bagaimana kalau aku mengiyakan
dugaanmu itu tentangku. Bahwa aku menga-
takan memang tak ada puisi. Dan puisi yang
aku maksud adalah puisi seperti yang telah
kujelaskan padamu itu. Yang aku temukan
adalah penyairnya. Obrolon-obrolan penuh
polemik tentang yang satu menghujam yang
lain. Tentang yang lain yang mencerca yang
lain pula. Apakah puisi yang lembut itu meng-
hasilkan orang-orang yang mudah mencerca
dan apakah orang-orang yang suka mencerca
bisa menghasilkan puisi? Lalu, pembacaan-
pembacaan puisi, takkah kau merasakan hal
yang sama denganku, bahwa lebih banyak
teaterikalnya dan puisinya malah jadi hilang
sama sekali. Sekarang kamu mau bilang apa
kalau aku sudah bilang begini. Membaca ke-
banyakan puisi aku jadi bingung apa yang di-
maksudkan penyairnya, mereka mengguna-
kan kata-kata yang dibangkitkan dari kubur.
Aku jadi perlu tahu dulu tentang kubur itu.
Capek dech. Kemanakah puisi?
Dia membuang mukanya dariku. Ban-
yak hal yang tidak kita paham apalagi kalau
hanya melihatnya sepotong-potong. Telah
berapa banyak puisi yang kau baca. Sejauh
mana engkau mengikuti puisi. Sedalam mana
engkau menyetubuhi puisi. Sebatas apa pem-
bacaanmu pada diri sendiri sebelum mem-
baca orang lain. Kau terlalu campur-aduk.
Puisi bukan kebenaran. Hazab kau mencari
kebenaran dalam puisi. Ah. Dia menohokku
dari pertanyaanku tadi. Kalau sudah be-
gini kami akan saling diam. Tapi aku masih
tetap dalam pertanyaanku, Ke Manakah
Puisi? Mungkin pembaca sekalian ada yang
mau menengahi kami. Atau... Terserahlah....
Terserah pembaca saja. Ini mau dilanjutkan
atau tidak. Terserah sajalah.
***
halaman 8
umpulan Esai Kesusastraan
dan kekuasaan (Yayasan Arus,
1984) karya Wiratmo Soekito,
yang pada tulisan pembukanya menelusuri
secara singkat kiprah George Lukacs, dalam
gerakan sosialisme yang meneruka jalan
kesustraan pada pembacaan atas dua novel
Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos,
merupakan ima-jinasi tentang pergerakan
kepahlawanan melawan kekuasaan diktator
yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah
dua novel itu terbit (1930an) muncul di be-
berapa negara pemerintahan diktatoriat.
Wiratmo berpendapat bahwa pada ke-
nyataannya teks menciptakan universalitas,
dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks
Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan
awal membebaskan bangsa Indonesia dari
penjajahan seperti halnya pula karya karya
sastra lainnya yang telah memberi inspirasi
pergerakan: Karya -karya Muhammad Iqbal
yang menginspirasi kemerdekaan Negara
Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang
memicu perang Saudara.
esei
Pembacaan Teks Sastra,
Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme
oleh M Taufan Musonip
halaman 9
Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam
bukunya Indonesia antara Kelisanan dan
Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) menya-
takan dengan adanya jarak (distance) antara
sang kreator dengan pembaca pada budaya
teks ketimbang antara pembicara dan hadi-
rin, justru akan membangun pembacaan
multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenar-
nya letak perbedaan dari wacana yang di-
sampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika
kita memahami bahwa keduanya sebenarnya
sedang membicarakan tradisi tulis dengan
pertimbangan pertimbangan kesusastraan.
Historiografi
Dalam teks sastra, pengalaman terekstrak-
si menjadi semacam plot, diksi, lebih lanjut
lagi dalam refl eksi puitik menjadi metafora,
simbol dan bunyi. Aktifi tas penulisan sas-
tra, merupakan endapan pengalaman, potret
yang masuk ke dalam ruang pembacaan ba-
tin, guna memperoleh estetika memadai, oleh
karenanya bersifat individual.
Karena pengalaman terekstrasi dalam
berbagai kaidah sastrawi (plot, simbol, meta-
fora dan bunyi) pembacaanpun bersifat in-
dividual, melahirkan multi tafsir, kritik yang
beragam. Teeuw, mengatakan bahwa hadir-
nya varian perbedaan pembacaan karena teks
yang tercerap oleh indera penglihatan bersi-
fat memecah, sementara dalam tradisi lisan,
meskipun merupakan hasil pembacaan teks
ia bersifat mempersatukan.
Teeuw mengambil contoh teks pidato
Presiden Indonesia tahun 1988, yang secara
tematik maupun jangkauan literasi, beserta
retorika politik memang berniat memper-
satukan pemahaman sidang pendengar. Dia
kemudian mengkhawatirkan mungkin de-
ngan cara deklamasi, kekuatan teks puisi
akan kalah dengan kekuatan cara pembacaan
sang Penyair, yang kemudian akan menon-
jolkan Penyairnya ketimbang karyanya. Te-
sisnya diperkuat dengan kajian mitologi Yu-
nani, Homeros si buta sebagai pengisah Illiad
dan Oddisey, yang dibawakan secara lisani,
membuat sang pencerita dan karyanya men-
jadi menonjol tanpa kritik. Tradisi Lisani itu
kemudian mendapatkan kritik dari imajinasi
Republik nya Plato, yang oleh Teeuw disebut-
sebut sebagai awal mula kebudayaan tinggi
Yunani, yaitu titik tolak lahirnya tradisi tulis
yang melahirkan kritisisme.
Dalam Bab II yang secara khusus mem-
bahas penyair Hamzah Fansuri (1600 M),
Teeuw memang berkutat dalam teks puisi
ketimbang siapa Hamzah Fansuri sendiri.
Ketika pembacaan atas teks puisi itu habis
di bedah tentang pola rubai'at yang diban-
gun Hamzah dalam sajaknya sebagai bentuk
baru sistem rubai'at Persia, atau tentang pe-
nulisan subjek Hamzah Fansuri dalam setiap
penutup puisinya barulah ia bercerita tentang
Penulisnya. Menurutnya historiografi dalam
teks sastra berawal dari tulisannya, bukan
dari riwayat hidupnya. Dalam pada itu, maka
M TAUFAN MUSONIP
Lahir 16 Desember 1979 di Bandung. Alumni Universitas Jen-deral Achmad Yani, Jurusan Teknik Kimia.
Karya-karyanya telah dimuat di beberapa harian dan ma-jalah lokal dan nasional. Penerima Anugerah Juara Pertama Anugerah Buletin Jejak kategori Esai Kritik yang dikurasi oleh Ketua Forum Sastra Bekasi Budhi Setyawan.
Beberapa esainya telah berhasil menjadi pengantar bebera-pa karya penyair, seperti Dilematika Sang Simtom untuk eBook Simtom simtom sebelum Penyair karya Ganjar Sudibyo (Ganz) juga telah dimuat dalam Harian Umum Berita Pagi, Tragedi Kekacauan Gelombang Cahaya untuk Buku Awan Hitam karya Fuad dl l.
F.int
halaman 10
sang pengulas karya mendapatkan pandan-
gan baru tentang siapa tokoh yang tengah
ia dalami itu: : Hamzah Fansuri dinobatkan
Teeuw sebagai awal pencetus puisi modern
di Indonesia atas otentisitas proses keka-
ryaannya, merupakan terobosan bagi penulis
berkebangsaan Belanda ini terhadap sejarah
kesustraan Indonesia yang memahami puisi
modern lahir sejak angkatan 45.
Titik
Jika teks sastra adalah ungkapan tertinggi
seorang individu manusia tentang pengala-
mannya yang memiliki ruang refl eksi sebagai
pengekstraksinya, dua buku Kafka yang ter-
baca oleh Lukacs, merupakan bukti bahwa
individualitas baik dalam proses penciptaan
maupun pembacaan hanya merupakan titik
sebagai awal mula terbentuknya perkumpu-
lan semesta manusia, membicarakan sebuah
karya.
Titik itu menciptakan inspirasi bagi ke-
hidupan, termasuk membangun budaya kri-
tik, di sini karya sastra menemukan momen-
tumnya sebagai monumen arkeologi seperti
pernah dibicarakan Foucault.
Sejauh mana Sebuah karya sastra dapat
menjadi jalan bagi sebuah perjalanan peru-
bahan kolektif ditentukan dengan seberapa
banyak karya tersebut telah dilisankan, bu-
kan dalam bentuk propaganda, tetapi dalam
berbagai bentuk diskusi yang kritis yang ke-
mudian dapat menerbitkan inspirasi kepada
pergerakan ke arah humanisme. Kecuali
memang sudah tidak ada lagi tempat pembi-
caraan humanisme dalam sastra.
Dan bagaimana sebuah sastra dapat mem-
bangun kekuatan pribadi, sebagai kritisisme
lebih lanjut, maka aktifi tas kelisanan yang
membicarakan sebuah karya akan diteruskan
kepada aktifi tas pembacaan, yang menstimu-
lus pemahaman dan sudut pandang terhadap
teks secara lebih refl ektif.
Maka keberhasilan hadirnya teks sastra
adalah lahirnya eksistensialisme: mencipta-
kan pembaca yang terangsang untuk bebas
menafsir dan meyakini isi di balik teks secara
sendiri, sambil mengaktualkan diri dalam
berbagai pertemuan, membicarakan sudut
pandang masing masing mengenai karya yang
tengah dibacanya.***
halaman 11
Coup d’etatoleh F. Sophie
cerita-pendek
halaman 12
“Auw!” Rambut panjang milik gadis itu tersasak sempurna karena gulin-
gan tubuhnya di atas tangga. Buku dan kertas-kertas berhamburan.
Ketika tubuh semampainya mencapai lantai ia meringis. Ego. Som-
bong. Dua hal yang sulit dipilih untuk mendefi nisikan sikapnya.
Pikirannya berkecamuk. Ia harus meneguhkan pendirian yang su-
dah lama ia bangun. Ia bagai tembok Berlin. Tapi kini haruskah
tembok yang susah-payah ia bangun itu runtuh? Dan membiarkan
seseorang melakukan kudeta?
“Nein1!” Gadis itu menggeleng cepat. Ia menyusun kembali
buku-bukunya. Ia berpikir tak boleh ada kudeta lagi. Pengalaman
buruk berpacaran dengan Paul setahun lalu membuatnya sudah
cukup lama tak membuka hati untuk siapa pun. Berbulan-bulan,
ia berusaha menikmati kekosongan hatinya. Tapi kini pintu ha-
tinya membuka sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah
mengetuknya.
“Kau tidak apa-apa?”
Ia mengenali suara itu. Suara dari seseorang yang berusaha ia
hindari. Ia mendongak. Fareed sedang membungkuk di hadapan-
nya. Beberapa temannya juga ternyata sedang mengelilinginya. Ia
hanya tak menyadari.
“Tidak. Aku tidak apa-apa.” Katanya kemudian. Ia lalu bangkit
dan berdiri. Memperbaiki syal tebal yang melingkari lehernya.
“Kau harus lebih hati-hati lagi, Sarah”. Salah satu temannya
menepuk-nepuk pundaknya.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum ke arah mereka yang bubar
satu per satu. Hanya Fareed yang tak pergi. Pemuda itu sedang me-
mungut lembaran-lembaran milik Sarah yang tersisa di lantai yang
dingin. Semakin dingin oleh angin musim gugur.
“Tidak usah. Biar aku saja. .” Sarah mengambil satu
lembar lagi yang belum dipungut Fareed. Mencopot yang sudah ada
di tangan pemuda itu dengan sikap dingin. Lebih dingin dari lantai
itu. “Aku pergi.” Katanya tanpa mengarahkan wajahnya pada Fa-
reed.
Sudah lima meter ia meni-nggalkan Fareed. Ketika Fareed me-
manggil namanya ia menghentikan langkahnya. Ia menunggu apa
yang akan dikatakan Fareed. Tubuhnya tak berputar sedikit pun.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Maksudku, apa aku
pernah membuatmu tidak nyaman?” Fareed masih berdiri dengan
wajah bingung.
Sarah diam. Sesuatu kembali melintas dalam pikirannya. “En-
tahlah. Mungkin, aku hanya butuh waktu sendiri.” Ia melanjutkan
halaman 13
langkahnya. Tidak ada yang salah. Bahkan kau selalu membuat-
ku nyaman. Aku sendirilah yang membuatku tidak nyaman. Aku
dengan perasaanku. Juga dengan perbedaan. Kita berbeda.
Sudah empat bulan Sarah bersikeras tidak memercayai pe-
rasaannya terhadap Fareed sahabatnya. Sehingga ia membiarkan
saja semuanya berjalan seperti biasa. Persahabatannya dengan Fa-
reed berawal sejak Fareed beberapa kali datang ke rumahnya untuk
menemui Profesor Gerold, ayahnya yang berprofesi sebagai pene-
liti Islam dan pengajar Teologi Islam di kelas Fareed. Sarah sering
mendengar diskusi antara Fareed dan ayahnya dari luar ruang kerja
ayahnya. Sarah kuliah di bidang sastra di kampus yang sama de-
ngan Fareed, Goethe University Frankfurt. Profesor Gerold sering
mengajak Sarah berdiskusi tentang apa yang diajarkannya pada
mahasiswanya. Itu yang membuat Sarah memiliki wawasan yang
luas terhadap Islam. Sehingga ia juga sering berdiskusi dengan Fa-
reed.
“Coba kau baca ini!” Suatu kali ia menyodorkan selembar tulisan
tangannya pada Fareed yang sedang asyik melahap sauerkraut3 di
kantin kampus.
“Apa ini?”
“Apa menurutmu Tuan Goethe ini seorang Muslim?”
Kening Fareed mengerut memperhatikan Sarah yang begitu da-
tang langsung menyodorkan sesuatu untuk dibacanya. Langsung
dengan satu pertanyaan. Fareed tahu siapa itu Goethe. Penyair Jer-
man Klasik yang lahir tiga setengah abad yang lalu. Yang namanya
menjadi nama kampusnya itu.
Sebuah puisi karya Goethe yang berjudul West-ostlicher Divan:
"Ob der Koran von Ewigkeit sei? / Darnach frag' ich nicht ! .../
Dasse er das Buch der Bucher sei / Glaub' ich aus / Mosleminen-
Pfl icht"/--“Apakah Qur’an dari keabadian?/ Saya tidak memper-
tanyakan hal itu! / Bahwa dia adalah buku dari semua buku-buku
/ Saya percaya karena wujud keajaiban seorang muslim.”
Fareed tersenyum membacanya. “Menurutmu?”
“Goethe, tidak jelas apakah dia benar-benar muslim.”
“Tapi tidak sedikit juga yang menyimpulkan kalau dia seorang
Muslim. Apalagi setelah dikeluarkannya hasil penelitian mendalam
oleh ulama Eropa masa kini, Syeikh Dr. Abdalqadir as Sufi , bersama
salah satu muridnya Abu Bakr Rieger. Mereka mengeluarkan fatwa
bahwa Goethe mati dalam keadaan Muslim.”
“Well, terlepas dari itu. Aku setuju dengan apa yang ditulisnya.
Buku dari semua buku-buku.” Dan mengalirlah pendapatnya. Sa-
rah memang percaya. Al Qur’an itu adalah Firman Suci. Bahkan ia
sendiri takjub mengetahui bagaimana Kitab Suci Umat Islam itu
halaman 14
selalu dihina, dijatuhkan dari zaman ke zaman, sampai sekarang
selalu ada pihak-pihak yang berusaha mendistorsi isi di dalamnya.
Namun Kitab ini tetap otentik. Apa yang ada padanya (Al Qur’an)
di awal ia diturunkan sama persis dengan kitab yang dibaca para
muslim sekarang. Sarah tahu itu. Tahu dari penjelasan-penjelasan
ayahnya sejak lama.
Meski Sarah banyak tahu. Tapi tak membuatnya memeluk Is-
lam, sama seperti ayahnya. Sehingga Fareed terkadang selalu ber-
tanya-tanya pada dirinya sendiri setelah mereka berdua berdiskusi.
Mengapa gadis ini dan ayahnya tidak memeluk Islam saja? Tapi
Fareed tak pernah mengutarakannya secara langsung. Karena me-
nurutnya itu akan membuat Sarah tidak nyaman. Sarah dan Ayah-
nya bukan orang yang taat beragama. Mereka juga tidak mencari
sesuatu yang spiritual. Mereka percaya sebisanya. Tetapi mereka
hanya ingin tetap objektif, menjaga jarak. Menjadi salah satu dari
sedikit orang yang mengatakan apa yang benar dan masuk akal. Se-
hingga orang-orang mungkin menganggap mereka agnostik. Tapi
ketika perasaan—yang awalnya Sarah ragukan itu—mulai ada. Se-
muanya seperti harus ia gali dan ada sesuatu yang harus ia cari.
Fareed pemuda yang bersahaja. Sarah mengakui itu. Fareed se-
lalu sabar dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif yang kadang
Sarah lontarkan saat diskusi seperti “Apa yang membuat mereka—
para teroris—itu melakukannya? Padahal syari’at tidak pernah
mengajarkan hal itu. Membuat orang-orang yang tak berdosa juga
menjadi korban?” Ya. Sarah tahu bahwa syari’at tidak pernah men-
gajarkan kegiatan teror.
“Begini. Dalam semangat militansi dakwah Islam. Ada musuh
yang memang harus diperangi. Tetapi banyak yang salah meng-
artikan ‘musuh’. Mengartikan musuh dengan sangat mentah.
Menggeneralisasikan kesalahan sehingga memicu tindak gegabah
yang merugikan banyak orang. Misalnya segelintir orang Amerika
melakukan tindakan biadap, maka seluruh Amerika dipersalah-
kan dan dibenci. Itu sangat tidak bijak. Musuh-musuh yang harus
diperangi yang dianjurkan dalam Islam adalah musuh-musuh yang
substansial seperti zina, korupsi, zalim, dan sebagainya. Musuh
yang seperti itu sebetulnya adalah benda mati. Ia menjadi berwu-
jud ketika ada orang yang melakukannya. Nah, yang kita perangi itu
bukan orangnya, tapi musuh-musuh substansial itu.”
“Lantas bagaimana kalian memerangi benda mati?”
“Dengan menyampaikan pengetahuan Islam itu sendiri.
Bagaimana Islam mengatur semuanya. Apa yang diperbolehkan
dan apa yang dilarang. Bagaimana hukumnya. Mungkin tidak se-
halaman 15
mua muslim terutama nonmuslim langsung akan menerimanya.
Tapi sabar dan bertahap. Itulah yang diajarkan Islam.” Fareed me-
ngangkat segelas air lalu meneguknya. “Kurasa kamu mengerti. Ka-
dang kamu lebih banyak tahu dariku. Seperti Ayahmu.”
Begitulah Fareed dengan sabar meluruskan. Tidak dengan apolo-
gi-apologi. Tidak juga ad hominem4. Namun Sarah tak berkedip.
Mendengar apa yang dikatakan Fareed menimbulkan suatu ke-
kaguman baru. Tapi ia tak akan menunjukkan rasa kagumnya. Sa-
rah menarik tubuhnya ke sandaran kursi. Ia masih diam menatap
Fareed.
“Entschuldigung5, jika tadi itu membuatmu tidak nyaman.”
Fareed menangkupkan kedua tangannya. Fareed selalu ingin mem-
buat Sarah nyaman.
Tapi satu hal yang Sarah sadari pada detik itu. Bahwa ia telah
menyukai Fareed. Sejak pertama kali. Sejak ia selalu merasa nya-
man ketika bersama Fareed meski melalui diskusi mereka. Hatinya
tidak bisa tidak mengakuinya. Tapi otaknya bersikeras tidak mau
ini terjadi. Ia harus menguasai hatinya. Sudah susah payah ia mem-
bangun sistem di kerajaan hatinya. Tidak boleh ada lagi laki-laki
yang akan menyakiti seorang Sarah Austmann. Sakit jika mengeta-
hui laki-laki itu tak akan pernah menjadi miliknya. Karena ia tahu
Fareed tak akan menikahi perempuan nonmuslim.
***
Petempuran adalah salah satu hal yang paling Sarah benci. Dan
kini ia sedang mengalaminya. Pertempuran batin yang menyita se-
bagian waktunya. Apakah perbedaan di antara mereka bisa menya-
tu dan damai dalam cinta. Hah! Ini gila. Bahkan Sarah belum tahu
apakah Fareed juga menyukainya? Dulu, sejak Paul pergi mening-
galkannya dan menikahi gadis lain, ia mengunci rapat hatinya dan
tidak akan pernah terbuka untuk lelaki manapun. Membangun
tembok pertahanan diri yang kokoh, agar perih tak lagi mengge-
rayangi ulu hatinya. Merasa perih mengingat-ingat telah banyak hal
yang ia lakukan bersama Paul.
Sarah memaku. Menatap luar kaca jendela trem. Bisu. trem yang
ia naiki melambat. Pintu trem membuka. Seseorang masuk kemu-
dian duduk di sebelahnya. Trem kembali melaju. Suara dehaman
dari seseorang di sebelahnya mengangkatnya dari lamunan pan-
jang. Sarah menoleh. Fareed. Sarah menghela nafas berat. Senyum
yang sedikit ia paksakan. Tapi, ia merasa harus meminta maaf pada
Fareed. Fareed pasti kaget jika ia tiba-tiba menghilang dan meng-
hindar beberapa hari terakhir.
“Maaf. Bukan apa-apa. Kemarin, aku hanya butuh memperjelas
halaman 16
semuanya dengan menyendiri.” Sarah menoleh ke luar jendela lagi.
“Maksudmu?” Kening Fareed sedikit melipat. “Memperjelas
apa?”
Cinta. Bagaimana aku akan meneruskan cinta ini? Tapi Sarah
tak akan mengungkapkan hal itu. “Coup d’etat.” Katanya kemudian.
“Kudeta?”
“Ja6. Aku tidak menyukai kudeta.”
“Dan aku sangat menyukai sauerkraut.”
Sarah menoleh kembali. Ditatapnya Fareed sejenak. “Jangan
sebut-sebut makanan dulu bisa kan?”
“Ibuku tadi memasaknya. Aku membantunya mengiris kubis.
Susah payah karena cutter yang kugunakan kurang tajam sementa-
ra mengirisnya itu harus tipis-tip…”
“Glorious Revolution. Salah satu kudeta paling berdarah dalam
sejarah Inggris. Dan aku membenci pertempuran dan darah. Revo-
lusi Bolshevik, 18 Brumaire, Revolusi Xinhai, Kudeta Cheska dan
Slavia. Sama saja. Semua memakan korban.” Dan dalam kasus ku-
detamu terhadap hatiku, akulah yang menjadi korban yang ur-
ing-uringan beberapa hari terakhir ini.
“Rasa sauerkraut itu asam, tapi aku suka.”
“Halt7 Fareed!”
“Asam. Seasam mukamu pagi ini.”
Sarah menghela napas.
Fareed jadi terkekeh melihat raut muka Sarah yang berat. “Ehe.
Ayolah, aku mencoba melucu, supaya mukamu itu tidak terlalu be-
rat. Sangat berat dan aku tidak bisa memikulnya. Dan by the way,
haruskah kamu menghilang dan menghindariku hanya karena
kamu tidak suka dengan coup d‘etat?”
“Coup d’etat itu illegal, inkonstitusional dan kebanyakan bersi-
fat brutal.” Tapi bedanya, kamu tidak brutal. Kamu lembut. Apa
kamu tidak tahu aku sangat memujamu?Memujamu membuatku
menghormatimu. Menghormati agamamu.
“Jadi maksud kamu, aku ini brutal?”
“Pencuri lebih tepatnya!”
“Hah? OK. Mungkin aku belum mengerti kamu sedang membic-
arakan apa, tapi kenapa? Apa hubungannya denganku? Mengapa
aku dipersalahkan?”
“Bodoh! Karena aku menyukaimu. Aku mencintaimu.” Kamu
mencuri hatiku.
Fareed terkesiap. Sarah sendiri tidak percaya kata-kata itu keluar
dari mulutnya begitu saja. Ia melirik sekitar berharap bahwa kata-
kata tadi berasal dari mulut orang lain di dalam trem ini. Tapi sia-
sia. Ia mengenali suaranya sendiri. Dan terlalu bodoh jika Fareed
halaman 17
tidak mengenali suaranya. Meski Fareed kaget, dalam pikirannya ia
menderetkan beberapa kata. Kudeta, Cinta, Menghilang. Tak peduli
ia tak akan mencoba menghubungkan benang merahnya. Karena
ia juga sudah lama menyukai Sarah. Itulah sebabnya ia selalu ingin
membuat Sarah nyaman.
“Willst du mich heiraten?”8 Fareed meminta sesuatu yang sakral
bagi Sarah.
***
Sehelai daun maple tepat jatuh di atas sepatunya. Langkah ter-
henti. Suara mobil-mobil melintas beradu dengan desau angin yang
dingin. Angin mengibaskan helai-helai lembut rambut cokelat mi-
lik gadis itu. Sehelai daun jatuh lagi dan tersangkut di rambutnya.
Sudah sebulan sejak Fareed mengatakan ‘maukah kau menikah
denganku?’ padanya. Tapi kini ia masih sendiri. Menjauh untuk
melihat segalanya dengan jernih. Ia harus mencari sesuatu maka
ia pergi; meninggalkan Fareed dan tidak bertemu. Ia sangat ingin
mengatakan ‘iya’ saat itu. Tapi entah mengapa rasanya ada hal lain
yang mendorongnya untuk menjawab sebaliknya. Bahwa ketika ia
tahu Fareed juga mengaku menyukainya, semakin ia merasa harus
pergi menemukan sesuatu itu.
Fareed pernah berkata dalam diskusi mereka. Masih jelas teri-
ngat. Dulu, sebelum ia memiliki perasaan apapun terhadap Fareed.
Bahwa wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula.
Fareed menyebutkan nama surat dalam Al Qur’an tempat kata-kata
itu tertera. Tapi aku belum cukup baik untuk menikah denganmu,
Fareed. Aku memujamu dan menghormatimu, sehingga aku tidak
rela jika kau mendapatkan perempuan yang tidak baik. Ia tahu
Fareed orang yang baik. Tapi untuk meyakini Islam ia masih ingin
menjaga jarak. Sarah tidak ingin seperti Reinhard—teman ayah-
nya—yang meneliti agama Hindu di India lalu akhirnya ia memeluk
agama Hindu. Atau Tesla yang memeluk agama Budha lama setelah
penelitiannya terhadap agama itu. Tapi bagi Sarah, mungkin butuh
sedikit waktu lagi untuk benar-benar meyakininya. Ia merenung
panjang. Hingga saat Ayahnya tiba-tiba kesulitan bernafas pagi
tadi. Ia tidak tahu penyebabnya apa. Ia menangis sambil memencet
nomor telpon rumah sakit dan berkata, “Ayah tidak boleh pergi.
Aku sangat menyayangimu Ayah.” Tubuh ayahnya mulai membiru
dan semakin membiru karena bersusah payah untuk menghirup
udara. Sarah butuh untuk menyebut nama Tuhan. Memohon. Hal
yang tidak pernah ia lakukan. Ia butuh memohon pada sesuatu
yang Maha.
“Allah.” Kecil bisikan suara itu terdengar dari mulut Ayahnya.
halaman 18
Sarah mencoba mendengar kembali dengan lebih jelas. “Ya,
papa?”
“Allah.”
“A…Allah?” Sarah kebingungan.
“Allah.”
Air matanya semakin menitik. Ia tak tahu dari mana datangnya
sesuatu yang membuatnya menggigil. Tubuhnya bergetar. Pikiran-
nya bersilang lindan. Hatinya bergetar. Getar yang membuatnya
ketakutan. “Ja. Allah.” Apa Kau disana? Tolong dengarkan kami.
Namun seketika itu juga Ayahnya berhenti bergerak. Kaku. Tepat
ketika paramedis datang. Para suster mengangkat Ayahnya ke
dalam ambulans. Dan di atas sesengguknya, ia hanya memikirkan
satu hal. Apakah ia terlalu sombong, hingga butuh Ayahnya sebagai
tebusan?
Kini ia mematung di bawah deretan pohon maple di pinggir ja-
lan. Coup d’etat. Kudeta itu memang selalu dibarengi dengan revo-
lusi. Mengganti sistem lama dengan sistem yang baru. Dan kini ia
siap menyerahkan kekuasaannya. Menyerahkannya dengan suka
rela. Revolusi jiwa telah terjadi.
Catatan:
1. Nein = tidak
2. Danke sehr = terima kasih
3. Sauerkraut = acar kubis
4. Ad hominem berasal dari ‘argumentum ad hominem’
yaitu upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan
menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut.
5. Entschuldigung = maaf
6. Ja = ya
7. Halt = stop
8. Willst du mich heiraten? = maukah kau menikah denganku?
F. SOPHIE
Lahir di Selaparang, Lombok Timur 11 September 1991. Studi di Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Mataram. Aktif di Penalaran dan Riset Mahasiswa (Prima). Cerpennya pernah dimuat di Majalah Annida.
halaman 19
mi berjalan merunduk di depan tamu ayahnya, itu ku-
tahu saat kami bertemu sepuluh menit yang lalu. Wa-
jah Ami merah padam dan matanya berair perlahan.
“Maafkan aku, aku tak bisa membantumu,” ucapku setelah ia menga-
takan semuanya.
Dapuroleh Cikie Wahab
cerita-pendek
j
halaman 20
“Ya. Harusnya kau tak tahu masalahku!”
Dari celah-celah yang cukup besar untuk kami saling melihat, ma-
taku tak hentinya menatap Ami yang terdiam mengenang apa yang se-
belumnya terjadi. Dua bola matanya yang hitam padat seperti luruh
dan menyatu dengan airmata. Ia kemudian menyibakkan rambutnya
yang bergelombang sembari menyeka matanya yang memerah.
“Kita lupakan saja masalah ini! Hmm..apa yang kau perbuat di-
sana?” Ami dengan tiba-tiba mengembangkan senyum termanisnya
padaku, senyum yang membuat bibirnya tampak lebih tipis dan meng-
goda, Akupun terkesiap. Gelas yang kupegang hampir saja menerpa
lantai. “Ng..ini, aku akan membuat kopi. Aku belum sarapan.”
Ami tertawa, dan suara tawanya seperti menggelitik urat leherku.
“Ada yang lucu?” Tanyaku balik.
“Tidak, Siran. Celah ini terlalu kecil untuk sebuah gelas. Jika tidak,
tentu akan kubuatkan kau secangkir kopi buatanku.”
Aku rasa dia benar. Kami dipisahkan oleh sebuah palang-palang
kayu dan bambu yang berada di antara dapur, aku dan Ami, hanya
mata kami yang bertemu, lewat mata itu pula kami bercerita tentang
segalanya.
“Aku akan robohkan kayu ini jika kau mau, Ami.” Entah darimana
aku yakin atas perkataanku sendiri, dan itu membuat Ami menahan
pandangannya. Ia berbalik arah.
“Tidak perlu, Siran. Jika dapur ini mempertemukan kita nanti, aku
ingin kau buatkan kopi untukku. Kopi racikanmu itu.”
“Jika tidak?”
“Biarkan saja pembatas ini yang menyerap segalanya. Aku tak akan
jadi durhaka pada mereka. Pada ayahku tentunya.”
“Kau menyia-nyiakan hakmu, Ami.”
“Aku berusaha adil! Aku bersyukur bisa dilahirkan mereka. Aku
tidak meminta lebih.”
Aku membalikkan tubuhku, hempasan napasku yang tersekat tidak
berguna. Ami malah mengacungkan wortel besar lewat celah itu, ia
bilang akan memasak capcay untuk tamu ayahnya. Lalu ia akan me-
mintaku untuk mengulurkan telunjuk agar bisa ia teteskan kuah cap-
cay untuk kucicipi. Aku tersenyum juga, Ami memang perempuan luar
biasa!
Maka pertemuan kami inilah yang paling kusuka dalam hidupku.
Ia selalu riang dan melupakan kesedihannya ketika di dapur. Ia akan
menari sambil berdendang dan membuat aneka masakan yang sangat
lezat untuk kami cicipi bersama. Bahkan aku tak malu menaruh bantal
di antara dapur juga dapurnya dan mendengarkan cerita sambil tidur
terlentang.
halaman 21
Dapurnya selalu mengepul dan nyanyiannya terdengar lewat celah
itu. Akupun mulai mengatur jadwal untuk selalu ke dapur, meski ka-
dang aku lupa sendiri gunanya dapur bagi diriku.
***
“Aku terlambat! Mereka akan datang pagi ini!” suara Ami yang ti-
ba-tiba, membuatku merapatkan mata ke celah itu. Aku terkesiap dan
melihat cahaya matahari sudah terang benar.
“Akhirnya kau datang. Kau darimana?”
“Aku..? dari depan. Kau menungguku?”
Tidak kujawab pertanyaannya itu, toh seharusnya ia tahu. “Siapa
mereka, Ami? Aku akan mencegat mereka jika menyakitimu. Apa kau
mau aku merusak rencana perjodohan ini??”
Ami hanya menjulingkan matanya. Menaruh wajan di atas api dan
menuangkan bumbu. Lalu Ami memandangku dari jarak satu meter.
“Ah, satu meter itu sangatlah jauh ternyata. Aku disini kau disana.”
Aku memperhatikannya terus sembari mencerna kata yang ia lontar-
kan. Ia pun mengaduk-aduk bubur nasi dan kemudian memintaku
mengulurkan dua jariku agar ia bisa memberikan setetes bubur yang
sudah dingin.
“Enak. Kau hebat!”
“Ya. Ini untuk calon suamiku.”
Ucapannya barusan membuatku ingin memuntahkan kembali
bubur yang hanya setetes itu. Aku berusaha menelan bubur itu. Ia ber-
sikeras tetap menerima pinangan orang lain. Dia menipuku, menipu
cintaku yang aku ikrarkan sebulan lalu.
“Oh, Ami. Apa tidak ada pilihan lain? Kupikir capcay dan bubur
nasi itu sepenuhnya kau buat untuk diriku. Sialan!!” Kuucapkan kata
itu tanpa melihat Ami. Meski kehidupan kami tak sama-sama baik,
dia lebih beruntung daripada aku. Ia masih tiga kali membuat sesuatu
yang bisa ia masak untuk keluarganya, dan aku dengan melihatnya be-
rada di ruang yang tak bertembok itu_sangat bahagia
“Sewajarnya dan sedari kemarin kita tahu, Siran. Pembatas ini
memisahkan dapur kita. Juga cinta kita yang hanya sejengkal. Aku tak
yakin dengan hari esok, aku hanya menjalani hari ini saja.”
Benar. Dari dulupun Ami tak ingin mengundangku lewat pintu
depan. Semua yang kami ceritakan hanya berkisar lewat belakang, di
dapur yang bersekat pilah-pilah bambo dan kayu kasar. Ia sendiri yang
meyakinkan hatiku untuk tetap berada di dapur seperti seorang koki,
meski kadang tak ada makanan yang bisa kunikmati.
“Aku rasa aku mulai bosan berada di dapur ini,” ucapku suatu hari,
ingin melihat reaksi matanya yang hitam padat. Seumpama ia gundah,
tentu ia menginginkan pertemuan kami. Tapi aku salah, ia menyalah-
halaman 22
kanku begitu saja dan bersikeras agar aku tak membuatnya jadi durha-
ka.
“Kau benar-benar menangis, Ami? Apa itu airmata buaya?”
Ia menggeleng cepat dan menumpahkan pastel jagung ke lantai.
Sayang sekali, Ami. Kekecewaannku datang lebih cepat dari rasa cinta
ini. Ami pergi dari dapur, entah ke ruang tengah atau kemana, yang ia
tinggalkan hanyalah siluet luka yang hinggap lewat kata-katanya.
***
Matahari di dapurku memang lebih terang dibandingkan dapur
Siran, lelaki berwajah aneh itu. Hmm, wajah yang selalu mengintipku.
Tapi itu tak apa-apa, toh ia selalu ada dan mendengarkan aku bicara.
Tapi belakangan ini dia terlihat lebih aneh dari biasanya, dia mengata-
kan ingin merobohkan tembok ini untuk menemuiku. Ha.... Ha.... Itu
kan namanya aneh! Dan tentu saja keanehannya menular padaku.
Aku selalu rindu pada bau dapur juga pada dengus napasnya yang
memantul dan terdengar lewat celah itu. Aku betah di dapur, Capcay
dan bubur nasi adalah makanan kesukaan Siran. Lelaki yang mem-
buatku semakin linglung. Ia akan hadir dimana aku bisa bercerita ten-
tang segala, tentang cinta yang aku damba. Siang dan malam ia selalu
mendengarkanku dan mengatakan kalau ia hanya butuh kopi untuk
dinikmati. Betapa malangnya, betapa bodohnya aku.
Maka ku alihkan perhatianku pada laki-laki lain agar ia tak lagi
membuatku aneh.
Namun aku salah, keanehan itu memang timbul dari diriku sendiri.
Lelaki lain itu hanya ilusi dan aku kehilangan semuanya. Laki-laki ber-
nama Siran itu tak pernah mengintipku lagi. Semenjak itupun dapurku
menjadi sunyi hingga tinggal aku sendiri sambil menyesali bahwa se-
seorang itu benar-benar pergi dari dapurnya yang kutahu tak pernah
mengepul selama ini.
“Siran, kau mau bubur buatanku?!!?”***
CIKIE WAHAB
Lahir di Pekanbaru,28 desember 1986.Beberapa karyanya terbit di Riaupos, Sumut pos, majalah Sagang ,dll. cerpen dan puisinya terangkum dalam antologi Negeri anyaman (Sa-gang 2010) dan Fragmen Waktu (Sagang 2010). Antologi trowulan Bu-lan majapahit Mojokerto (2010). Antologi Rahasia hati (2010) Yang di taja Dinas pariwisata Riau), Robohkan lagi pagar itu, Datuk! (Sagang 2011). Esai Peta dan Arah Sastra (Sagang 2011). Antologi Sekolah Menu-lis Paragraf “Kopi Hujan Pagi”.
halaman 23
mbun menetes dari lipatan atap. Berkilau seperti kristal.
Kurasa matahari masih tenggelam dalam ranjangnya yang
beku dan gelap. Kupandang puncak langit yang kini kelabu.
Mendung menggantung amat rapat di atas sana. Gemuruh angin ber-
embus seperti kepakkan sayap kelelawar yang riuh. Dingin sekali.
Kulihat Ibu terbaring lemah. Batuknya kian parah. Kuraih karung
kosong yang terselip di balik tiang rumah. Hari ini aku harus menda-
patkan barang-barang bekas lebih banyak. Aku harus membeli obat
untuk Ibu. Sudah dua hari ini badannya panas seperti bara api. Aku
takut sekali.
“Bu, Rama berangkat dulu,” pamitku sembari mencium tangan Ibu.
Ibu memandangku lirih. “Di luar mendung tebal sekali. Sebaiknya
kau di rumah saja.”
“Mendung dan hujan sudah menjadi temanku, Ibu. Aku malah se-
nang. Tak banyak pemulung yang beroperasi saat hujan. Ini kesempa-
tanku untuk mendapatkan uang lebih banyak.” Aku menyimpul sen-
yum untuk Ibu.
Butiran kristal luruh dari pelupuk mata Ibu. “Kasihan sekali kamu,
Nak. Sekecil ini sudah harus memikul beban keluarga.”
“Ibu jangan bicara seperti itu,” aku lirih melepas tangan Ibu. “Ibu
telah ajarkanku bagaimana cara bertahan hidup. Meski berat, kita tak
boleh lemah. Kemiskinan bukan alasan untuk berputus asa. Tuhan se-
lalu menyertai kita. Kekayaan-Nya akan mudah turun kalau kita ber-
sungguh-sunguh dan iklas dalam bekerja. Apapun pekerjaan itu, yang
penting halal. Begitu kan, Ibu selalu menasehatiku?”
“Kau semakin dewasa, Anakku. Ibu bangga padamu. Semoga Tuhan
mendengar setiap doa-doa kita,” Ibu menyusut air mata. Kaca-kaca di
Kabut Kerinduanoleh Ahmad Ijazi H
cerita-pendek
b
halaman 24
matanya kini menjelma menjadi
garis-garis pelangi yang sangat
menenangkan hatiku. Senyum-
nya kembali mekar.
Aku melangkah dengan
ringan. Seringan kapas. Gerimis
yang luruh seakan menghangat
membelai kulitku. Jalan setapak
kutelusuri menembus hutan aka-
sia yang lembab dimandikan hu-
jan. Hingga langkahku mencapai
jalan raya. Begitu lengang. Ken-
daraan yang lalu lalang masih
sepi. Lampu yang terang bende-
rang berjejer di sepanjang jalan.
Semoga cahayanya secerah
hatiku kala aku kembali dengan
segenggam uang serta obat buat
Ibuku, bisikku dengan keyakinan
yang kian mengembang.
***
Matahari telah condong ke
arah barat. Senja telah meny-
ingkap gaunnya menjadi malam
yang kian sempurna. Seharian sudah aku berkawan lelah, meminggul
karung di punggungku yang rapuh. Aku segera melesat ke rumah jura-
gan pengumpul.
“Kerjamu cukup bagus hari ini,” ucap Pak Ken, juragan pen-
gumpulku dengan seulas senyum. Ia lantas memberi uang 20 ribu ke-
padaku.
“Terimakasih, Pak,” ujarku dengan mata berbinar. Aku lalu men-
cium tangannya lalu pamit pulang. “Aku pulang dulu, Pak. Ibu dan
adikku sudah menunggu.”
“Hati-hati di jalan, Rama!” balas Pak Ken sembari mengacak-nga-
cak rambutku dengan sayang.
Aku mengangguk senang lalu memutar langkah. Sepanjang jalan,
pikiranku tak jinak, bercabang-cabang jauh menembus halaman ru-
mahku. Wajah Ibu yang pucat mengambang jelas di mataku. Adikku
yang kelaparan. Ah, pasti mereka sedang menunggu kepulanganku.
Aku melangkah kian cepat, seperti anak kijang yang sedang diburu
serigala pemangsa.
Aku singgah di sebuah warung. Membeli setengah liter beras, mie
instan dan ikan asin. Aku lapar sekali. Hanya air putih yang mengisi
halaman 25
lambungku seharian ini. Tetapi
adikku serta Ibu pasti lebih lapar
lagi.
Akhirnya telapak kakiku
terhenti di ujung jalan. Di hada-
panku, hutan lebat telah meng-
hadang. Kini aku harus melewati
jalan setapak, menembus lebat-
nya hutan akasia untuk sampai
ke rumahku. Di sini sepi sekali.
Hampir tak ada manusia yang le-
wat.
Bulan sudah memandang-
ku di pucuk awan. Anggun sekali.
Tak ada mendung malam ini.
Aku melangkah dengan hati
tenang. Berdoa dengan penuh
pengharapan agar selamat sam-
pai tujuan. Di kejauhan, burung
hantu mulai bernyanyi. Aku me-
rinding. Lamat-lamat terdengar
suara tangisan seorang bocah.
Aku semakin merinding. Apakah
itu suara adikku?
Semakin aku melangkah, detak jantungku memakin menghentak.
Mirip sebuah dentuman halus yang memecah kesadaran karena diba-
lut perasaan takut yang teramat sangat. Aku berusaha tenang. Tetapi
suara tangis itu semakin keras terdengar menusuk gendang telingaku.
“Siapa itu?” seruku pelan. Bulu kudukku meremang.
“Tolong ibuku… ibuku tak sadarkan diri!” teriak bocah itu sembari
menangis.
Dengan sedikit takut aku menghampiri bocah itu. Aku menghela
nafas lega. Bocah itu bukan adikku. Dari tempias rembulan yang ber-
warna keemasan, kulihat ibu bocah itu berlumuran darah.
“Ya Tuhan…! Apa yang terjadi?” pekikku menelan ludah.
Bocah itu lalu bercerita dengan linangan air mata. Sebelumnya
mereka ternyata ingin mengunjungi nenek mereka yang sedang sakit.
Tetapi karena ayah mereka belum pulang kantor, mereka tetap ber-
sikeras pergi dengan mengendarai taksi.
Namun di ujung jalan sepi, taksi tersebut mendadak berhenti. Dua
orang laki-laki yang duduk di depan, tiba-tiba menodongkan pistol ke-
pada mereka. Ibu bocah itu dipaksa menyerahkan uang, handphone
serta perhiasan. Ibu bocah itu sontak mengamuk dan menjerit minta
halaman 26
tolong. Saat itulah sebuah tembakan melesak. Darah segar menyembur
dari tubuh ibu bocah itu. Karena takut, kedua laki-laki itu pun menu-
runkan mereka di tepi hutan ini.
“Kumohon, tolong Ibuku… Ibuku harus dibawa ke rumah sakit!” li-
rihnya menghiba.
Aku merogoh kocek celana kumalku. Tersisa 10 ribu rupiah. Tanpa
pikir panjang lagi, aku segera berlari ke tepi jalan. Kusetop sebuah taksi
lalu mengantarkan ibu serta bocah itu ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, pikiranku tak tenang. Bagaimana nasib Ibuku
serta adikku yang kelaparan di rumah? Aku menangis. Tetapi situasi
ini sangat darurat. Aku harus menolong ibu bocah ini. Semoga Tuhan
melindungi Ibuku serta adikku, doaku lirih.
Kulihat wajah bocah itu pucat sekali. Pelipis matanya tenggelam
dalam keringat dingin yang semakin basah. Ia lalu meminjam han-
phone pemilik taksi untuk menghubungi ayahnya. Aku tak bisa mem-
bayangkan, betapa kalutnya bocah itu jika tidak ada aku waktu itu.
Mungkin saja ibunya tidak akan tertolong, sementara bocah itu akan
mengalami traumatik yang sangat hebat, seumur hidup?
***
Tubuhku benar-benar menggigil. Malam terasa begitu beku. Uang-
ku telah habis. Aku tersentak, aku lupa belum membeli obat untuk Ibu!
Ragu kuketuk pintu. Adikku membuka daun pintu. Kupandangi wa-
jah adikku yang polos. Wajah itu seperti kain kafan, pucat sekali.
“Yusuf lapar ya?” tanyaku bodoh. Segera kusodorkan mie instan.
Adikku seperti kalap. Menyambar mie instan itu secepat kilat, mere-
mas-remasnya, lalu merobek salah satu sisinya, memberi bumbu, lalu
memakannya begitu saja. Ah, aku tak heran lagi. Sudah menjadi kebia-
saanya seperti itu. Melahap mie instan mentah kalau sudah tak kuat
menahan lapar.
Aku beralih menatap Ibu. Bibirnya kering sekali. Kuraba lengan
Ibu. Ya Tuhan… badan Ibu panas sekali!
“Maafkan aku tak bisa membeli obat buat Ibu,” lirihku menyembu-
nyikan air mataku yang telah pecah. Aku berusaha menahan senguk
sembari menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Ibu mengangguk lemah. Senyumnya rekah seperti kelopak melati.
Indah sekali. “Kau melakukan tindakan yang mulia, Anakku. Meno-
long orang yang sedang tertimpa musibah adalah perbutan yang san-
gat dicintai oleh Tuhan. Ibu senang sekali mendengarnya. Ibu bangga
padamu…” Ibu merangkul tanganku. Erat. Mendadak kurasakan tubuh
Ibu dingin seperti salju.
Aku terkesiap. Memandang wajah Ibu yang berseri-seri. Cantik
sekali! Tetapi denyut nadinya telah terhenti. Nafasnya lebur sempurna.
Sesempurna tangis pilu yang menderas dari kelopak mataku saat me-
halaman 27
meluk jasad Ibu yang kian dingin dan beku.
***
Pemakaman Ibu dimandikan gerimis. Tangisku belum kering. Aku
masih bersimpuh dalam hening, bergeming seperti patung batu. Bunga
kamboja telah rata kusemai di atas tanah merah. Tetapi enggan rasa-
nya beranjak, aku masih ingin bersama Ibu.
“Rama, ayo kita pulang,” ucap Pak Ken seraya mengelus pundak-
ku lembut. Di depanku, seorang ibu sedang duduk di atas kursi roda
bersama seorang bocah berwajah polos. Keduanya menatapku dengan
pandangan seperti malaikat. Ah, aku ingat. Mereka adalah ibu dan bo-
cah yang pernah kuselamatkan bukan?
Seorang laki-laki mendekatiku lalu berlutut di hadapanku. “Aku
ingin kalian pulang ke rumah kami,” ucap laki-laki itu sembari me-
mandangku serta adikku bergantian. “Kami ingin mengangkat kalian
menjadi anak kami,” ucap laki-laki itu dengan tatapan penuh cinta.
Benarkah? Aku terpana. Seperti tenggelam dalam labirin mimpi
yang begitu rumit dan mencengangkan. Sungguh, semakin kuperhati-
kan, mata teduh laki-laki itu persis sekali dengan tatapan mata teduh
ayahku. Senyumnya yang begitu lembut, persis sekali dengan senyu-
man ayahku.
Sekian detik telah menguap ke udara. Aku memutar wajahku. Seka-
li lagi kupandangi pusara Ibu yang masih basah, lalu pusara ayahku
yang telah lebih dulu meninggalkan kami, delapan tahun silam. Ya,
ayah kandungku yang sangat lembut dan begitu menyayangi keluarga
itu telah pergi meninggalkan kami ketika aku masih berumur lima ta-
hun.
“Ayah, Ibu, kendati dunia telah memisahkan kita, rinduku pada ka-
lian tak kan pernah surut sedikit pun,” bisikku lembut sembari menge-
cup batu nisan Ibu dan batu nisan Ayah bergantian.
Seketika, kabut kerinduanku pun luruh seperti kelopak mawar yang
berguguran.
***
AHMAD IJAZI HLahir di Rengat Kab. Indragiri Hulu Riau, 25 Agustus 1988. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
halaman 28
Muhammad Nurul (Pak cik Nuril)Lahir di Desa Dompas, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Aktif di komunitas Sabda Bunian.Karya puisinya pernah terbit di Haluan Kepri dan Tanjungpinang Pos.
Antologi Puisi Sayap-Sayap Bening bersama penyair muda Kepulauan Riau,dan Antologi puisi Melukis Waktu bersama komunitas Sabda Bunian.
Sajak
Muhammad NurulLebat
Asal Makna:Catatan kampung lapuk 1:Catatan kampung lapuk 2:Catatan kampung lapuk 3
Dengarkan Sajak- sepenggal malam Episode kampung hasrat
halaman 29
Lebat
Hapus kalimat
di akhir selat
biar duka segamat
tetap melebat
Duduk selamat
pesan mengurat
biar tak jadi kelat
Sudah berkarat
baru tahu ia pekat
Jangan hitung juma’at
kalau diri tak shalat
jangan timbang berat
kalau adab tak tahu adat
catatan: Hendak sampai kiamat 121212, diwaktu 16.31. 091212
halaman 30
Asal Makna
Adalah kata
huruf memahat senja
bermain di kalimat aksa
kala tiung pekik malam
mana bisa, hendak ku cakap
Adalah kata
berselebung pengap
mana pula lidah yang kau jilat
Oi...
tebing bawakan ke laut
laut antarkan gunung
gunung pergi kelangit
langit jatuh ke bukit
Jangan kau sentuh
jangan pula kau pandang
ini sumpah dewa kata
Adalah kata
tanpa dupa kemenyan pula
jauh sudah tabiat mengata-ngata
aku datang menujah makna
Oi, melesaplah !
catatan : kata lenyap campak kerumput, kala waktu 15.19. wib. 091212.
pekanbaru
halaman 31
:Catatan kampung lapuk 1
Malam ini
Aku tidak menyimbah kata
Di perkarangan halaman rumahmu
Tidak juga menembak jiwa
Di sisi tubuh kerinduanku
Namun, aku hanya memandang
Ada seketul kecanduan nafsu di bibirmu
Berapa lama kah tidak bercumbu dengan tinta?
:Catatan kampung lapuk 2
Menajuk gelap
Dibantal langit
Menjemput bulan
Datang merindu
Biarpun jauh di seberang sane
Lembah bukit akan di daki
luasnya laut akan di seberangi
Tunggu aku di pintu jaga nanti.
:Catatan kampung lapuk 3
Petang ini
Perahu itu berlayar dengan gagah
Gagah dengan membawa senyuman
Senyuman yang menyimpan berjuta makna
Makna tangisan dari air langit
Itu yang bertepuk ombak
Dan lantangnya angin membantai layar.
Layar jatuh timpa buih-buih harapan
Harapan dari pulau mimpi
halaman 32
Dengarkan Sajak- sepenggal malam.
Ini tempat kita,
halaman bernada
dalam ruang berhias anggun
sepanjang jalan ada pijar cerita
Dan kau bagaikan nafas
yang tersimpul di langit-langit senda
sampai
tawa pun memecah onak
di labirin cinta
catatan: bersama SABDA BUNIAN.- Satu Sabda Gurindam Jiwa. 17 April 2012
Episode kampung hasrat
Aku hendak terbitkan matahari dari utara.
Dan bulan tiba di subuh hari.
Dan biarkan langit menggulung senja.
Pada malam tak dapat dikata.
Pada siang tak dapat di terka.
Mana ruh pun ia tak dapat beda.
halaman 33
Irdas YanPenulis fi ksi asal Sejangat, Sungai Pakning.
Bergiat sebagai koordinator Divisi Kajian sastra dan budaya FLP Riau.Karyanya termaktub di berbagai media lokal maupun nasional.
Sajak
Irdas YanBangsal Cemburu
Nun Serampu: Huruf Mati Berbedalah Bunyi
Orang Gaji dan Air MataSamseng yang Disebut, Puan
: Edisi Gadis di Ujung Selat
halaman 34
Bangsal Cemburu
Pada mulanya aku tak kuasa berhikayat semacam ini
Ada remangremang yang jalang ketika puisi menyimbah hujan
Kelat.
Fitrah lelaki memanglah seperti ini
Sudi tak sudi, cemburu bukan lagi gerimis yang indah
Zikir yang mengutuk pun
Berziarah ke bangsal yang ramai
Menenangkan diri.
Engkau Puan.
Nisan janji yang kita takik dahulu itu
Masih menyimpan cahaya
Masih aku mengenangnya.
Engkau saja yang mungkin lupa.
Ketika Aisyah pun memancarkan cemburu
Muhammad kita pun tahu kalau itu bangsalnya.
Begitu juga aku.
Bangsal yang lapang mengulit terang
Karena cemburu bukan lagi gerimis yang remang.
halaman 35
Nun Serampu : Huruf Mati Berbedalah Bunyi
Setungkah kata menakik-nakik gerigi
Memanggil arwah puisi
Aku masih menjampi mantra-mantra yang kusemai semalam
Agar Tuhan tahu, huruf yang kudendangkan tak berbau kufarat.
Nun serampu, bah gedebah gedebu.
Muara pun membisu
Di hilir subuh
Yang memeram kutuk
Pada sebuah simfoni hadhari
Aku cinta engkau, Yu.
Mantra kasih tak setakat cumbuan
Ada rakaat-rakaat yang lesap
Menjalar ke kitab yang kau peluk
Semacam aku tersakat di celah bibirmu
Melafazkan ayat jampi
Agar tuah mengeja diri.
Aku bukan musyrik yang berkutat di antara cinta dan dilema
tuhan telah memfi rmankan mantra ini.
Nun. Wal qolami wa yasturun.
Agar puisiku tak sekedar pena yang merajut warna.
Begitu juga cinta.
Tak setakat mencintai, Yu.
halaman 36
Orang Gaji dan Air Mata
Perantauanmu telah melukis padah
Lain yang bengkak, lain pula yang bernanah.
beberapa bercak bilai merah sengaja disebat agar tumpahlah darah
atau semacam sumpahserapah
menikam benakmu di tanah orang sana.
Kembalilah ke rantau, Nak!
Emakmu saban hari berkeluhkesah. Menukik senyumnya yang tak lagi meriah.
Tapi engkau masih saja kebal dengan carutmarut tuanmu.
Ah,engkau memang bebal!
Negeri kita masih lapang, Bung.
Walau upah tak selapang tanah jiran sana.
Tapi tak ada air mata atau semburat merah.
Tak juga engkau dapat kukesalkan.
Memang pemerintah tak ambil berat perihal air matamu.
Hanya setakat hangat sesaat saja. setelah itu lesap entah ke mana.
Kita hanya tersekat dengan konstitusi atau kepentingan pribadi.
Kita hanya penonton sandiwara akbar ini, Bung.
halaman 37
Samseng yang Disebut, Puan : Edisi Gadis di Ujung Selat
#Takah
Parasmu memang tak terkatup
Elok bersahaja di antara rentak marwas yang bertabuh
Lenggoknya pun memahat takjub bahkan peluh
Aku masih membilang rakaat yang jenuh
Agar nanti tak disebut penjampi sesepuh
Aku masih ingin menikam bibirmu yang terkubur itu
Tergayut di antara pergelangan mimpiku.
mari berlenggok lagi, Puan!
Lambaianmu memikat separuh rembulan di malam jingga
Mata-mata jalang pun jatuh pada sela-sela tingkahmu.
#Desah
Noktah merah yang kau semai semalam suntuk
Kuhirup agar tak sejuk
Hangatnya masih menyimpan bentuk
Supaya Tuhan tahu kalau engkau seorang makhluk
Terkutuk!
Jangan sesekali coba merayuku
Pujuk desahmu tak larat menyanggah iman
Setakat itu pun bukanlah beban
Karena kau tercipta dari semburat Syaitan
Ya, di perempatan kuburan.
#Tuah
Sungguh Tuhan Maha Pemaaf
Jilat lagi sampah yang sudah kau pahat dulu
Bilaslah dengan syahadat itu
Atau rakaat yang terbilang setiap waktu
Agar aku sudi mencintai takah, desah, dan tuahmu.
Puan.
halaman 38
Sir Saifa AbidillahSeorang mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Selain itu, bergiat di Lesehan Sastra Kutub.
Sajak
Sir Saifa AbidillahTenodera Aridifolia
-Sendatu
Lepidoptera Hibrida
: Zakiyatul Fadhla
Libido Angin Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri
Shegiterio : lagu gadis mandarin
PerhitunganPerahu Pelepasan Sirkus Spartakus
Sebuah Alasan Sederhana
halaman 39
Tenodera Aridifolia -Sendatu
Setidaknya malam adalah suara-suara
dari sebangsaku yang berjuang menghilangkan
keheningan dengan pertarungan
melawan dingin dan kematian bulan
dengan derik sayap yang saling bergesek
bergantian bagai hilang dalam kelam
dan tenggelam dalam kelahusan perasaan
letupan gesekan yang bermusuhan
seladang kawan dalam hening
berperang dicekungan malam
yang menghabiskan isim
dengan berbagai kelincahan
halaman 40
Lepidoptera
Dindakah itu, yang tumbuh dan mabuk dalam ladangku
ketika siang tiba-tiba jadi kelabu
dan kamu mengundang Lepidoptera datang
mengancam keheningan
mengancam kedudukanku, yang di serang dari langit arang
bagai busur Epirus yang membelah ruang tak berbatas
memanah tabung jantungku yang berkabung
menghela kerianganku yang tersimpan
mungkin ketika aku lengah menjaga kembang di ladangku
sesuatu telah terjadi di luar nalar yang diajarkan musim
pada ketetapan dan perputaran yang tiada diterka.
Pada batang dan kembangmu yang perawan
sebuah perangkap, menyekap keterbatasan
dan peran kedunguanku sebagai ladang yang menghidupkan
ya, hanya sebatas menghidupkan dan membangun
kekuatan penghianatan kelembutanmu itu.
halaman 41
Hibrida : Zakiyatul Fadhla
Seusai musim menyatukan kita
buah puisi macam apakah yang kau gelisahkan
dari reranting sebangsa batangku yang runcing
dan telah aku sederhanakan ketersambungan ini
dengan berbagai peluru angin
yang mendekati daundaun kita yang menahun
dan aku rasa, ada kecocokan tak terhindarkan di situ
sebuah perasaan kehilangan dan ketidaknyamanan
apabila musim tak memberi kita kesempatan
mengarahkan kebersamaan
dalam mimpi yang berlainan
di tengah lingkaran musim yang langgam
halaman 42
Libido Angin
Ketika angin dan dingin berduaan di kabut awan
hujan begitu riang berlarian menjauhi kediaman
bagai bocah-bocah bermain di lapangan dengan kawan
mendekati pohon dan kematian
untuk menghidupkan bagi yang lain
itulah alasan mengapa hujan turun
pada musim yang telah ditetapkan
sebagai penghabisan dari sebuah tujuan
kemurnian perasaan dan ketaatan sebagai hujan
Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri
Kekuatan kuda-kuda hutan
bagai berdiam di tubuhku yang ringan
tubuh yang ingin mendekati kamu
dengan tanpa alasan apa-apa
ia datang saat hari surut
dan dingin memintal kening ke sebuah sudut
mungkin ketika waktu tidak lagi menjadi timbangan
dalam perhitungan angka-angka
kamu turun bagai iring-iringan
membentuk sebuah pusaran
di detik yang ritmik dalam rintik hujan
kamu merayu ingatan mengeras di jantung keheningan
halaman 43
Shegiterio : lagu gadis mandarin
dengan geletar anggur bibirmu itu
aku hanya mampu menerka-nerka
apa yang kau tuturkan
pada petang yang mengambang
di jantungmu yang rumpang
mungkin sebuah kegelisahan
yang mendalam mendarat
pada kekuatan kerinduan
: sebuah keterpaksaan yang
menguasai keriangan perasaan
tak ada kepastian yang mendasar
menjadi landasan nyanyian keterpisahan
antara aku dan kau yang diam-diam
memendam kesakitan kerinduan
halaman 44
Perhitungan
Apabila kau menafsirkan matahari
lebih dari sekedar kura-kura
yang berkejaran tanah pasir
lalu waktu kau kemanakan
angka-angkanya yang berjatuhan
sedang langit tak memberi persepakatan
yang pasti pada segala yang kau anggap palsu
dan segalanya hanya tumbuh
pada tanah bayangan
pada persinggahan kemunafi kan
lalu apa yang kau harapkan dari jalan ringan
di sayap angin, yang tanpa perhitungan itu
Perahu Pelepasan
Bila petang sebuah tujuan
maka peta tidak lagi menjadi bulan
bagi kegelapan
yang dikibarkan pisau angin
pada ketersesatan
yang menggulingkan
pikiran, di daratan perasaan
sebab kau tengah melepasku
di debur yang paling liar
pada mataair dan sebuah desir
yang mahir membaca hilir
halaman 45
Sirkus Spartakus
Di sebuah gelanggang kata
kita terikat dengan kematian
di mana darah dan tanah
melingkar dalam arena kekuasaan
kegesitan dan kegagahan kata
di situlah ia menjadi pertentangan
bagi yang telah ditetapkan sebagai lawan
dalam pertempuran kepicikan
tidak ada kesedihan menyeruai keterjatuhan hujan
yang melawan kegelisahan dengan perasaan
sebab kematian bukan akhiran atau sampiran
dalam perseteruan kata-kata
atau sebagai pengejawantahan kemakmuran
dalam jalan yang begitu pualam
di pedang kata yang penuh bara
sebab kata memuliakan darah dan tanah
dalam setiap tebasan dan kekalahan
yang dibangun dari ketetapan tujuan
untuk meraih kebebasan
kurungan perbudakan kekuasaan
di mana kata, bakal berkhianat
pada tuan yang mengendalikan
setiap pertunjukan kemuliaan,
kegagahan kematian dan sebuah pilihan
halaman 46
Sebuah Alasan Sederhana
Sebuah alasan sederhana
mengapa aku ingin memahami
malam-malammu yang dingin
dengan tanpa alasan apa-apa
sebab yang ada dan abadi
pada penantian ini
adalah kau yang risau
memahat airmata yang tak terbaca
halaman 47halaman 47
Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)
orkestra, menyajikan beragam genre musik,
dari musik klasik, jazz hingga Melayu, dalam
konser bertajuk "Sembang Bunyi 12" di An-
jung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Minggu-
Senin (6-7/1) malam.
Dengan arahan konduktor Arman Ram-
bah, orkestra yang terdiri atas anak-anak
muda itu memukau ratusan pengunjung kon-
ser dengan 12 lagu dari beragam genre musik.
Mereka membuka pagelaran dengan klasik
"Eine Kleine Nachtmusik" karya Wolfgang
Amadeus Mozart. Mereka juga menyuguhkan
lagu Melayu lama seperti "Seroja" dan "Pan-
tai Solop."
Dalam pertunjukan itu Orkestra STSR
juga berkolaborasi dengan sejumlah band
dari aliran berbeda seperti Bujanggi dan Be-
lacan Aromatic. Mereka mengiringi kedua
band itu tampil dalam bentuk featuring.
Bujanggi tampil memadukan musik Me-
layu, klasik, dan jazz saat membawakan lagu
berjudul "Damak" dan "Sendalu".
Sementara Belacan Aromatic menghentak
dengan memainkan alat musik tradisional
gambus dan memainkan dua lagu ciptaan
sendiri yang berjudul "Jelatik" dan "Cabuh".
Mat Rock sebagai pemimpin grup Belacan
Aromatic mengatakan, "Kami mengangkat
budaya musik Melayu Zapin yang mendayu
DKR & STSR dalam"Sembang Bunyi 12"
musik
F.red
halaman 48
yang jadi lebih menghentak dengan paduan
musik rock,".
Konser yang berlangsung sekitar dua jam
itu ditutup dengan lagu rentak Melayu "Joget
Perpisahan".
Idawati yang juga dosen jurusan musik
STSR menuturkan, orkes kampus ini tentu
saja bukan untuk komersil, melainkan un-
tuk pencerdasan. Selain itu, di kampus juga
ada mata kuliah mayor dan sebagainya. Ka-
renanya, untuk mengembangkannya diperlu-
kanlah orkes sebagai penerapan mata kuliah
mahasiswa. Paling tidak orkestra yang dibina
dosen STSR untuk keperluan penerapan bagi
mahasiswa di mana mereka itu diharapkan
menjadi musisi-musisi andal yang tidak han-
ya mengharapkan keuntungan komersil be-
laka namun musik untuk seni.
Dikatakannya, musik bukan untuk ko-
mersialisasi belaka, tapi perlu juga dipan-
dang dari sisi pendidikannya. Apalagi seni
dalam konteks budaya memerlukan pencer-
dasan atau mampu mendorong menuju se-
buah pencerdasan bagi pelakunya. Pahamilah
seni, kata Idawati, jangan manfaatkan untuk
kepentingan seseorang sebab musik adalah
wilayah spiritual, tanpa pamrih. Lagi pula
pelaku musik rentan terjerembab ke arah
komersialisasi yang bisa mematikan kreativi-
tas mereka maka pandai-pandailah memilah
dan memilih
“Ini memang saya ungkapkan bagi para
musisi muda, terutama mahasiswa musik
STSR sebab mereka rentan terjerumus ke
arah komersial. Karenanya, banyak-banyak-
lah dulu belajar menuju pencapaian menjadi
musisi profesional,” ulasnya mengingatkan.
Ketua Umum DKR Kazzaini dalam kesem-
patan yang sama, di sela-sela sesion latihan
orkestra di Anjung Seni Idrus Tintin men-
F.red
halaman 49
gatakan, bahwa konser bertajuk “Sembang
Bunyi 12” ini sudah direncanakan cukup
lama. Puncaknya tentu saja konser yang bisa
diapresiasi bersama oleh masyarakat secara
luas dan juga para donatur yang secara ikh-
las mau membantu terlaksananya helat ini.
DKR sebagai wadah bagi para seniman, salah
satunya musisi tentu senantiasa mencipta
ruang-ruang baru agar seni kian berkembang
dan mendapat respon baik oleh masyarakat
pendukunngnya.
“Ini hanyalah satu dari sekian banyak
agenda DKR dan khusus untuk tahun ini di-
awali dengan konser orkestra STSR featuring
Bujanggi, Blacan Aromatic dan Gubri HM
Rusli Zainal, SE. MP dengan dua lagunya
‘Pantai Solop’ dan ‘Seroja’. Ke depan, tentu
saja kami mensupport seniman dari per-
cabangan seni lainnya untuk mempersem-
bahkan karya-karya mereka secara baik dan
profesional,” tambah Kazzaini panjang lebar.
Selain itu, ungkapnya lagi, jika selama ini
hanya ada orkestra yang mempersembahkan
aransemen musik klasik dan Melayu seperti
Bandar Serai Orkestra (BSO), maka sekarang
bertambah lagi dengan orkestra STSR. Bah-
kan berkembang pula kabar, salah satu kam-
pus di Pekanbaru juga sedang merencanakan
pembentukan grup orkestra. Artinya, sema-
kin banyak grup orkes maka jelas semakin
luas wadah bagi musisi untuk menambah jam
terbanng mereka.
Kazzaini menegaskan, walaupun sebe-
narnya di Riau orkestra bukan barang baru
yang di masa-masa muda Sulaiman Safeii
juga banyak orkestra yang tumbuh, bahkan
ada pula lombanya setiap tahun. Orkestra di
zaman itu berkembang di Pekanbaru, Beng-
kalis, Selatpanjang dan Bagansiapi-api.
“Kami berharap konser perdana orkestra
STSR ini mendapatkan sambutan hangat dari
masyarakat sehingga memacu seniman untuk
terus berkarya dan menghasilkan karya-ka-
rya baru yang bernas,” aku Kazzaini.
Eri Bob selaku pengasuh grup musik jazz
Melayu yakni Bujanggi menyebut bahwa
konser yang digelar DKR tersebut jelas akan
menjadi catatan penting dalam perjalanan
dunia musik di Riau. Ditambah lagi karya-
karya yang ditampilkan, selain klasik juga
karya-karya baru dan lama yang bernafas
Melayu.
Komposer orkes STSR Arman Rambah
juga menyatakan optimis atas konser yang
mereka persembahan akan dapat berkelan-
jutan. Orkes STSR sendiri mempersembah-
kan enam karya yang terdiri dari Eine Kleine,
Ayam Putih Pungguk, Brindisi, Wahai Emak,
Watado Alganador serta Joget Perpisahan.
Sonia Miranda (18) mengomentari konser
ini mengatakan, bahwa ia menyukai konser
ini dan berharap pergelaran serupa lebih se-
ring digelar di Kota Pekanbaru, yang dilanjut-
kan oleh Vergiane Railasha (20), "Pergelaran
seperti ini memberi ruang bagi anak-nak
muda untuk lebih memahami tentang musik
berkualitas sekaligus memberikan apresiasi
kepada kepada anak-anak muda pelaku seni
musik itu sendiri, sehingga kami-kami seba-
gai anak daerah tidak menjadi “udik” dalam
memahami bentuk-bentuk seni musik”.
Menurut Abelio Abdillah (19) yang juga hadir
sebagai penonton dihari kedua pergelaran
mengatakan, “akan lebih menarik lagi kalau
seni pencahayaan pertunjukan lebih di-
maksimalkan sebagai salah-satu bentuk dari
membangun suasana," katanya.***
(Red.DSM-01)
halaman 50
Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar
senirupa
erkenalan awal dan akhir saya de-
ngan pelukis Nashar hanya dapat
dilakukan dengan tulisan esai beliau
yang dikumpulkan dalam sebuah buku berta-
juk “Surat-surat Malam” dan karya-karyanya
dalam bentuk lukisan, baik yang saya dapat-
kan dari rekan Nasrul Thaher (acrilyc on pa-
per), maupun pada pameran yang karya-kar-
ya saya dan beberapa karya perupa Sumatera
lainnya juga diikutsertakan di Galeri Na-
sional Jakarta bertajuk “Pameran Senirupa
se Sumatera, Kekuatan yang Tersembunyi”
beberapa tahun lalu.
Adanya seorang pelukis bernama Nashar.
Kelahiran Pariaman, Sumatera Barat pada
1928 dan meninggal di Jakarta pada 13 April
1994, yang banyak dianggap sebagai seniman
legendaris nyaris sempurna untuk seorang
pelukis: lahir dalam didikan seorang ayah
yang keras, dibesarkan dalam lapar dan de-
rita dan jadi perupa ternama hingga akhir
hidupnya.
Nashar senang menulis catatan harian di
kertas apa saja yang suka dikantonginya. Dia
melakukannya karena, "Aku hanya senang
mengontrol pengalamanku sendiri atau tidak
untuk apa-apa. Atau mungkin juga begini:
keinginan selalu timbul untuk mengerti apa-
F.int
halaman 51
ketika Nashar menyerahkan sejumlah karya
gambarnya: "Kau tidak punya bakat, Nas.
Tapi cobalah bikin!"
Komentar itu justru mendorong Nashar
untuk membikin gambar demi gambar den-
gan penuh semangat. Setiap hari dia serahkan
gambarnya dan Sudjojono selalu berkomen-
tar sama, hingga akhirnya Sudjojono mengi-
jinkannya belajar melukis di sanggarnya mes-
ki "tanpa bakat".
Dari Sudjojono dia belajar melukis objek
secara cermat dan teliti. Dan itu biasanya
akan memakan waktu lama, bisa seming-
gu atau sebulan untuk menyelesaikan satu
lukisan.
Tapi, ketika dia bertemu Affandi, pelukis
yang terkenal sebagai perupa ekspresionis,
dia malah menerima pelajaran sebaliknya:
bagaimana melukis dengan cepat untuk
merekam suatu objek seketika. Dari Affandi
pula dia diajak melukis dengan mengambil
objek kehidupan sehari-hari, objek yang te-
rus dipertahankan Nashar hingga akhir ha-
yatnya. Affandi sebenarnya tak banyak mem-
beri "pelajaran", paling-paling pelukis itu
hanya menasehati para pelukis muda untuk
"Melukis saja yang banyak".
Maka, jadilah Nashar melukis apa saja,
di mana saja dan kapan saja. Ke mana-mana
dia selalu membawa buku sketsa. Dia per-
caya bahwa sketsa adalah lukisan juga. Wak-
tu itu, pendapat ini belum diterima seperti
sekarang. Saat itu ada saja pameran lukisan
yang menolak menerima karya-karya sketsa
bahkan karya lukisan hitam-putih dianggap
bukanlah lukisan kala itu, sehingga Nashar
mempersoalkanya melalui tulisannya diber-
bagai media.
Ada dua tema saling berkaitan yang bagi
Nashar penting: irama dan jiwa. Soal irama
mulai dikenalnya ketika dia mendengar
perbincangan dua pelukis senior saat itu,
Hendra Gunawan dan Zaini. Sayang, Nashar
apa yang dialami dan diketahui, dari hal-hal
yang kecil sekalipun."
Mengendalikan pengalaman berarti
mengerti apa yang terjadi. Mengerti (under-
standing) adalah sebuah tindakan, sebuah
proses, yang tak pernah selesai. Dia adalah
sebuah gerak dialektis antara apa yang diala-
mi dan subyek yang terus bertanya. Sebenar-
nyalah, buku “Nashar oleh Nashar” (Bentang
Budaya, Juni 2002) memaparkan banyak
pertanyaan dan sejumlah jawaban yang terus
berubah. Pembaca bisa menemukan upaya
Nashar memahami garis, warna, jiwa, objek
lukisan, dan seterusnya, yang pada akhirnya
merupakan upayanya memahami dirinya
sendiri.
Nashar tak punya kawan untuk berbagi,
maka diciptakannya kawan imajiner yang
disebutnya "kawan yang tak kukenal". Dia
menulis ribuan, mungkin jutaan, surat ke-
pada kawannya itu, seperti pelukis Belanda,
Vincent van Gogh, berkorespondensi de-
ngan saudaranya, Theo. Dia terobsesi pada
Van Gogh setelah membaca tiga jilid buku
kumpulan surat pelukis itu yang dia "curi"
dari lembaga kebudayaan Belanda Sticusa di
Jakarta di 1950-an.
Pada “Nashar oleh Nashar”, pembaca
akan menemukan sesosok Nashar sebagai
sastrawan piawai. Dia membangun sebuah
alur cerita yang kuat dan mendongengkan-
nya dengan lancar, meski kadang ada banyak
rincian dan latar peristiwa yang dia lewatkan.
Alurt itu dia bangun dengan sosok seorang
anak kecil yang bermimpi jadi pelukis. Tapi,
pelukis macam apa?
Mulanya, dia ingin menjadi pelukis seperti
Raden Saleh yang lukisannya begitu nyata,
hidup, seakan bergerak. Dia ingin belajar
menggambar di sanggar Pak Sudjojono, di
Yogyakarta. Pelukis besar itu, yang nantinya
dikukuhkan sebagai Bapak Seni Lukis Mo-
dern Indonesia, hanya berkomentar singkat
halaman 52
tak merinci isi perbincangan itu, sehingga tak
tergambar apa yang mereka maksud dengan
ritme dalam lukisan yang menjadi ketertari-
kan Nashar muda.
Yang pasti, dia mencatat bahwa panda-
ngannya tentang ritme ini mempengaruhinya
melukis. Perubahan teknik melukis Nashar
terjadi pada 1975 ketika ia hanya menampil-
kan garis dan irama di kanvasnya sementara
bentuk fi gur surut ke belakang. Perubahan
dari fi guratif ke nonfi guratif ini dia akui di-
ilhami tiga pementasan drama Putu Wijaya,
Lho, Entah, dan Nol.
Saat itu Nashar terlibat dalam kelompok
teaternya Putu. Saat latihan, Nashar memin-
ta setiap pemain mengosongkan pikiran dan
berekspresi secara total, setotal-totalnya.
Putu sempat mencemaskan hal ini, tapi Nas-
har percaya "Kebebasan akan membatasi di-
rinya sendiri." Hasilnya, para pemain teater
itu mampu memunculkan gerakan-gerakan
liar yang selama ini mungkin tersembunyi.
Mereka merayap, berputar-putar, bahkan
membentur-benturkan badannya ke dinding.
Bagi Putu, hal tersebut melahirkan tiga
karya dramanya. Bagi Nashar, hal ini men-
dorongnya membuat coret-coretan yang
menghabiskan 500 lembar kertas selama
enam bulan. Nashar kemudian menemukan
jawaban yang dicarinya: rasa irama. Sayang-
nya, fragmen sepenting ini tidak dimuncul-
kan pada tulisan-tulisan Nashar, entah men-
gapa.
Soal jiwa menggugahnya ketika dia ber-
temu penyair Chairil Anwar. Ketika Chairil
memperhatikan Nashar membuat sketsa, dia
berkata, "Dari hasil sketsamu ini kelihatan
kau cukup punya feeling tentang rasa derita.
Menurutku, feeling saja tidak cukup. Apa-
kah kau telah mencoba untuk menyelidiki
sedalam-dalamnya penderitaan itu sendiri
pada jiwa mereka?"
Pertanyaan Chairil itu membuat Nashar
tak bisa tidur selama seminggu. Sejak itu dia
mulai menggali apa yang disebut "penderi-
taan" dengan aktif memperhatikan apa yang
dirasakan orang, siapa pun dia. Penggalian
jiwa itu bermuara pada apa yang Nashar se-
but "api", kata lain dari semangat (spirit).
Nashar percaya bahwa lukisan yang baik
haruslah mencerminkan jiwa pelukisnya.
Pendapat ini mirip dengan pendapat Sudjo-
jono bahwa lukisan adalah "jiwa nampak".
Setiap garis, warna, dan bentuk pada lukisan
merupakan jiwa pelukisnya. Proses melukis
Nashar kemudian adalah sebuah pergulatan
batin antara objek lukisannya, kanvas yang
kosong, dan dirinya sendiri.
Pergulatan itu terlihat jelas ketika Nashar
mengalami kemacetan ketika melukis. Dalam
salah satu “Surat-surat Malamnya” yang ber-
tahun 1968, dia bercerita begini. Kala me-
lukis, dia mengingat-ingat objek yang ada
di sebuah kampung yang lama dia tinggali.
"Perhatianku bolak balik antara kampung
dan kertas lukis," katanya.
Nashar menyadari bahwa jiwanya tak
sepenuhnya berada di kertas lukis. Kema-
cetan ini dipecahkannya dengan menggurat-
kan beberapa garis awal, setelah itu kenangan
tentang kampung itu ia tinggalkan sama
sekali. "Aku hanya memperhatikan kemung-
kinan-kemungkinan yang ada di kertas lukis
itu saja," katanya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dikem-
bangkannya itu kemudian menjadi sebuah
lukisan yang juga menghasilkan kemungki-
nan-kemungkinan imajinatif.
Nashar adalah pelukis yang dengan intens
melakukan pencarian esensi objek-objek ma-
nusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya
adalah bagaimana ia mengungkapkan totali-
tas jati diri, melalui bentuk-bentuk yang ter-
us disederhanakan sampai menuju abstraksi
total, sebenarnya merupakan ekspresi yang
mencerminkan efek psikis dari pengalaman
halaman 53
kehidupan sehari-hari. Warna-warna yang
cemerlang sering tidak mengungkapkan ke-
cerahan, tetapi menceritakan efek dramatis
kehidupannya.
Untuk mencapai kedalaman esensi ob-
jek-objek dan kemurnian perasaan dalam
lukisannya, ia merumuskan perjuangan krea-
tivitas lewat kredo “Tiga Non”. Pertama yaitu
non konsep. Maksudnya adalah, ketika mulai
melukis ia belum punya gambaran, konsep,
bahkan gaya yang akan dipakai. Ia hanya
mengandalkan pada keinginan jiwa dan in-
tuisi yang akan mengalir. Kedua, yaitu non
objek. Dalam kredo ini ia percaya bahwa sua-
sana intens dalam melukis akan mendorong
untuk mendapatkan suatu bentuk atau ob-
jek sendiri dalam kanvas. Ketiga, adalah non
teknik. Dalam melukis ia selalu tidak berang-
kat dari pola teknik. Teknik akan menyesuai-
kan dengan citra dalam berkarya. Dengan
kredo tiga non itu diharapkan melukis harus
melalui proses perjuangan yang sulit, sehing-
ga situasi jiwa murni selalu terjaga.
Dia ingin mendekonstruksi teori seni rupa
yang eksis sejak dia mulai melukis.
Nashar tak begitu suka dengan teori
meskipun dia percaya teori perlu diajarkan di
akademi seni rupa. Nashar tak puas dengan
teori yang ada karena menurutnya teori itu
tak berhasil menjelaskan soal jiwa pelukis-
nya. Sehingga ketika dia ingin memaparkan
pandangan-pandangan berkeseniannya, dia
memakai istilah-istilah yang secara defi nitif
mengacu pada teori tertentu, seperti api, jiwa,
intuisi, semangat, irama, dan sebagainya.
Kalau boleh aku simpulkan, pandangan-
pandangan Nashar sebenarnya tidak be-
rangkat dari keinginan untuk menjelaskan.
Dia seperti ingin menjadi motivator, sang
pendorong, bagi lahirnya pelukis sunggu-
han, pelukis yang menghargai dirinya dan
masyarakatnya, pelukis yang jujur sejak gore-
san pertama kuasnya di atas kanvas.
Nashar, misalnya, bicara tentang perlu-
nya mengasah intuisi bagi seorang pelukis
semata-mata untuk menghasilkan sebuah
karya yang matang. Dia tak menguraikan apa
itu intuisi tapi mengajarkan bagaimana men-
gasahnya, yakni dengan terus menerus beru-
saha bersatu dengan alam, dengan objek yang
dilukis, dengan kanvas, dengan warna, den-
gan cat. Dia biarkan murid-muridnya ketika
ia mengajar IKJ (Intitut Kesenian Jakarta)
maupun kala bual-bual dengan perupa muda
yang ingin menimba ilmu darinya, membe-
baskan diri secara total untuk mengungkap-
kan apa yang ingin diungkap.***
(DSM. Dari Berbagai Sumber)
halaman 54
rehal
Ciuman Hujan Judul : Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta
Penulis : Pablo Neruda
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Penerbit Madah, Yogyakarta kerjasama dengan
Parikesit Institute dan Interlude
Tebal : vi + 128 halaman (100 judul puisi)
ISBN : 978-979-19797-0-2
Judul asal : Cien Soetos de Amor, yang kemudian diterjemahkan dari
bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscott
menjadi 100 Love Sonnets
Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Tia Setiadi
Editor : Agus Manaji dan Sukandar
Kepada Matilde Urrutia
Istriku tercinta, aku menderita selagi aku menuliskan “soneta-sone-
ta” tak bernama ini; mereka melukaiku dan membuatku lara, namun
kebahagiaan yang kurasakan dalam mempersembahkannya kepa-
damu sungguh maha luas bagaikan sabana....
F.int
halaman 55
PABLO NERUDA
Lahir di kota Parral, Chili, pada 12 Juli
1904. Nama lengkapnya Ricardo Eliecer Naf-
tali Reyes Basoalto. Dalam tahun 1920, dia
memakai nama pena Pablo Neruda, terinspi-
rasi dari seorang penyair Ceko, Jan Neruda.
Pada 1927, karena putus asa, Neruda me-
nerima jabatan sebagai konsul kehormatan
di Rangoon, Burma, seraya kerja serabutan di
Kolombo, Srilangka, Batavia dan Singapura.
Di Jawa ia menikahi isterinya yang pertama,
seorang wanita Belanda pegawai bank, ber-
nama Maryka Antonieta Hagenaar Vogel-
zang. Menerima International Peace Prize
(1950) dan The Nobel Prize for Literature
(1971). Buku-bukunya yang terbit: Crepuscu-
lario (Senja, 1923), Veinte Poemas de amor
y una cancion desesperada (1924), sehimpun
sajak cintanya yang paling terkenal dan pa-
ling banyak diterjemahkan. Kemudian espa-
na en el corazon (Spanyol di kalbuku) paska
perang saudara di Spanyol, sebuah situasi
yang mengubahnya dari seorang individu-
alis menjadi aktivis dan membuatnya sangat
terlibat dalam politik, Alturas de Macchu Pic-
chu (1945), sebuah puisi yang tebalnya satu
buku, ditulis dalam 12 bagian. Canto General
de Chile (1950), menghimpun 250 sajak Ner-
uda yang dicipta saat masa-masa sulit, men-
jadi seorang eksil di negeri sendiri. Kemudian
Cien Sonetos de amor (1960), buku ini, terbit
di Boenos Aires. Neruda, meninggal di Klinik
Santa Maria, Santiago, pada malam 23 Sep-
tember 1973 terpapar Leukimia. Konon, be-
berapa saat sebelum ia wafat, tentara-tentara
Pinochet (Jenderal yang memimpin Kudeta
militer pada 11 september 1973), menggele-
dah rumah Neruda di Isla Negra. Ucapan
Neruda kala itu: “Carilah–hanya ada satu
benda yang berbahaya untuk kalian di sini–
puisi”.
***
Pablo Neruda dengan istri pertama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang di Batavia
F.int
halaman 56
Beberapa pilihan puisi/soneta Pablo Nerudadalam Ciuman Hujan
XLVIII
Sepasang kekasih yang bahagia membuat sebuah roti,
satu rembulan gugur di rerumputan
Ketika berjalan, mereka melemparkan sepasang bebayang
yang mengalir bersama;
ketika bangun, mereka meninggalkan satu surya yang suwung
di ranjangnya.
Dari segala kebenaran yang mungkin, mereka memilih hari itu;
mereka menggenggamnya, bukan dengan tali tapi dengan satu aroma.
Mereka tidak merobek kedamaian, tidak pula meremukkan kata-kata
kebahagiaan mereka adalah menara yang tembus pandang
Udara dan anggur menemani sepasang kekasih yang bahagia itu.
Malam memberi kesenangan dengan kelopak-kelopaknya yang riang.
Mereka punya hak atas semua bunga anyelir.
Sepasang kekasih yang bahagia, tanpa suatu akhir, tanpa kematian,
mereka lahir, mereka mati, berkali-kali selagi mereka hidup:
mereka memiliki kekekalan hidup yang alamiah.
halaman 57
XC
Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat
dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan:
siang dan malamku yang fana adalah mulutmu,
kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku.
Pada saat itu buku-buku berhenti,
juga persahabatan, kekayaan menumpuk dengan gelisah,
rumah transparan yang kau dan aku bangun:
segala sesuatu berguguran, kecuali matamu.
Sebab sementara kehidupan mengusik kita, cinta hanyalah
gelombang yang lebih tinggi ketimbang gelombang-gelombang
lainnya:
tapi oh, kala maut datang mengetuk pintu gerbang,
di sana hanya tatapanmu yang melawan begitu banyak kekosongan,
hanya cahayamu yang melawan kepunahan,
hanya cintamu yang mengusir bebayang
XVII
Aku tak mencintaimu seakan kau mawar-bergaram, atau manikam
atau panah bunga-bunga anyelir yang diluncurkan nyala api
Aku mencintaimu bak benda-benda gelap tertentu yang dicintai
dalam rahasia, di antara bebayang dan jiwa.
Aku mencintaimu bagaikan tanaman yang tak pernah berbunga
namun membawa sinar dari bunga-bunga tersembunyi dalam dirinya;
terima kasih pada cintamu atas harumnya yang penuh
yang bangkit dari bumi, mukim dalam gelap di tubuhku
Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana
Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga;
begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain
selain itu: di mana aku tak ada, kau juga tak ada
begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku,
begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpe-
jam.
halaman 58
XXIX
Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di Selatan
dari lanskap-lanskap yang dingin dan berlindu
yang menawarkan pada kita – setelah dewa-dewa itu terjungkal
ke dalam kematian – hikmah hidup, yang terbentuk di lempung
Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman
dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,
merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,
tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat
Gadis kecilku, jantung kemiskinan telah ada dalam dirimu
kakimu terbiasa mengasah batu-batu
mulutmu tak selalu punya roti, atau gula-gula
Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula
di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian
dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.
XCI
Usia merangkumi kita bagai gerimis
waktu tak berkesudahan dan sedih
bulu garam menyentuh parasmu
tetesannya merusak bajuku
Waktu tak terbedakan di antara tanganku
dan sekerumun jeruk dalam dirimu
dengan salju dan hidup terbaik yang meluruh
dalam hidupmu, yang juga hidupku
Hidupku, yang kuberikan padamu, terisi
dengan tahun-tahun bak sekelompok buah yang mengembang
Anggur-anggur akan kembali ke bumi
Dan bahkan waktu turun di sana
terus-menerus, menunggu, menghujan
ke atas debu, berhasrat menghapuskan bahkan ketakhadiran
halaman 59
XLIV
Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencin-
taimu
sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi
sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan
api mempunyai separuh dingin
Aku mencintaimu untuk mulai mencintaimu
untuk memulai ketakterbatasan kembali
dan tak pernah berhenti mencintaimu:
sebab itulah mengapa aku tak mencintaimu
Aku mencintaimu dan tak mencintaimu, seolah kugenggam
kunci-kunci di tanganku; untuk masa depan kegembiraan –
nasib malang yang kacau balau —
Cintaku mempunyai dua kehidupan, untuk mencintaimu;
sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu
dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu
halaman 60
Daftar buku
Cevdet Bey ve Oğulları (1982, Tn. Cevdet dan Anak-anaknya)
Sessiz Ev (1983, Rumah yang Sunyi)
Beyaz Kale (1985, Kastil Putih)
Kara Kitab (1990, Buku Hitam)
Yeni Hayat (1995, Kehidupan Baru)
Öteki Renkler (1999, Warna-warna Lain)
Benim Adım Kırmızı (2000, Namaku Merah)
Kar (2002, Salju)
İstanbul: Hatıralar ve Şehir (2003, Istanbul: Kenangan dan Kota)
Penghargaan
- 1979 Penghargaan Pertandingan Novel Milliyet Press (Turki)
untuk novelnya Karanlık ve Işık (pemenang bersama)
- 1984 Hadiah Novel Madarali (Turki) untuk novelnya Sessiz Ev
- 1990 Penghargaan Fiksi Asing Independen (Britania Raya)
untuk novelnya Beyaz Kale
- 1991 Prix de la Découverte Européenne (Hadiah Penemuan
Eropa) (Prancis) untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya
Sessiz Ev
- 2002 Prix du Meilleur Livre Etranger (Hadiah untuk Buku
Asing Terbaik) (Prancis) untuk novelnya Namaku Merah
- 2002 Premio Grinzane Cavour (Italia) untuk novelnya Namaku
Merah
- 2003 Penghargaan Sastra Internasional IMPAC Dublin
(Irlandia) untuk novelnya Namaku Merah
- 2005 Hadiah Perdamaian Pameran Dagang Buku Jerman
(Jerman)
- 2005 Prix Medicis Etranger (Prancis) untuk novelnya Salju
- 2006 Penghargaan Nobel dalam Sastra
Ferit Orhan Pamuk(Pemenang Nobel Sastra 2006)
tokoh
halaman 61
Ferit Orhan Pamuk (lahir di Istanbul, Tur-
ki, 7 Juni 1952) adalah seorang novelis Turki
terkemuka dalam sastra pasca-modernis. Ia
sangat populer di dalam negeri, dan pemba-
canya di seluruh dunia juga bertambah terus.
Sebagai salah seorang novelis Eurasia paling
terkemuka, karya-karyanya telah diterjemah-
kan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Ia telah
mendapatkan banyak penghargaan di dalam
negeri maupun internasional.
Pada 2005, pemerintah Turki mengena-
kan tuduhan kriminal terhadap Pamuk sete-
lah ia membuat pernyataan-pernyataan me-
ngenai pembunuhan lebih dari 1 juta orang
Armenia dan 30.000 orang Kurdi di Anatolia.
Pamuk dilahirkan di lingkungan kelu-
arga berada. Ayahnya adalah CEO pertama
IBM Turki. Ia belajar di Sekolah Menengah
Umum Amerika Robert College di Istanbul.
Kemudian ia mengambil program arsitektur
di Universitas Teknik Istanbul, karena te-
kanan keluarganya agar ia menjadi insinyur
atau arsitek. Namun ia berhenti setelah tiga
tahun dan menjadi seorang penulis penuh
waktu. Pamuk lulus dari Institut Jurnalisme
di Universitas Istanbul pada 1977. Ia menjadi
sarjana tamu di Universitas Columbia di New
York City dari 1985 hingga 1988, dan pada
masa yang sama ia pun menjadi mahasiswa
tamu di Universitas Iowa. Lalu ia kembali ke
Istanbul.
Pamuk menikah dengan Aylin Turegen
pada 1982, tapi mereka bercerai pada 2001.
Keduanya mempunyai seorang anak perem-
puan, Rüya. Pamuk tetap tinggal di Istanbul.
Pamuk mulai menulis secara teratur pada
1974. Novelnya yang pertama, Karanlık ve
Işık (Gelap dan Terang) menjadi pemenang
bersama dengan novel lain pada 1979 Lomba
Penulisan Novel Milliyet Press (pemenang
lainnya adalah Mehmet Eroğlu). Novel ini di-
terbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları
(Tuan Cevdet dan anak-anaknya) pada 1982,
dan memenangkan Hadiah Novel Orhan Ke-
mal pada 1983. Kisahnya tentang tiga genera-
si sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup
di Nisantasi, distrik Istanbul tempat Pamuk
dibesarkan.
Pamuk memenangkan sejumlah penghar-
gaan kritis untuk karya-karya awalnya, ter-
masuk Hadiah Novel Madarali 1984 untuk
novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Su-
nyi) dan Prix de la Découverte Européenne
1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel-
nya ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil
Putih), terbit dalam bahasa Turki pada 1985,
memenangkan Penghargaan Independen un-
tuk Fiksi Asing 1990 dan memperluas reputa-
sinya di luar negeri. Tinjauan Buku The New
York Times menyatakan, "Bintang yang baru
telah terbit di timur, Orhan Pamuk." Ia mulai
F.int
halaman 62
bereksperimen dengan teknik-teknik pasca-
modern dalam novel-novelnya, suatu peru-
bahan dari naturalisme sempit dalam karya-
karya awalnya.
Pamuk agak lambat menjadi populer di
kalangan khalayak umum, namun novelnya
Kara Kitab (Buku Hitam, 1990) menjadi salah
satu bacaan yang paling kontroversial dan
populer dalam sastra Turki karena komplek-
sitas dan kekayaannya.
Pada 1992, ia menulis naskah untuk fi lm
Gizli Yüz (Muka Rahasia), berdasarkan Kara
Kitab dan ditangani oleh sutradara Turki
terkemuka, Ömer Kavur. Novel keempat Pa-
muk, Yeni Hayat (Kehidupan Baru), menim-
bulkan sensasi di Turki saat terbitnya pada
1995 dan menjadi buku yang paling laris ter-
jual dalam sejarah Turki. Saat ini, Pamuk juga
telah menjadi tokoh terkemuka di Turki, ka-
rena dukungannya atas hak-hak politik suku
Kurdi. Pada 1995, Pamuk tergolong salah satu
penulis yang berusaha menulis esai-esai yang
mengkritik perlakuan Turki terhadap suku
Kurdi. Pada 1999, Pamuk menerbitkan buku
ceritanya Öteki Renkler (Warna yang Lain).
Reputasi internasional Pamuk terus me-
ningkat ketika ia menerbitkan Benim Adım
Kırmızı (Namaku Merah) pada 2000. Novel
ini mencampurkan teka-teki misteri, roman
dan fi losofi s yang berlangsung di Istanbul
pada abad ke-16. Cerita ini membuka jendela
ke pemerintahan Sultan Ottoman Murat III
dalam sembilan hari musim dingin yang ber-
salju pada 1591, mengundang pembacanya
untuk mengalami ketegangan antara Timur
dan Barat dari perspektif yang sangat memu-
kau. Namaku Merah telah diterjemahkan ke
dalam 24 bahasa dan memenangkan hadiah
sastra internasional yang paling bernilai,
Hadiah IMPAC Dublin pada 2003.
Ketika ditanya "Apakah pengaruh keme-
nangan hadiah IMPAC ini (saat ini nilainya
$127.000) atas kehidupan dan karya anda?",
Pamuk menjawab "Tak suatupun yang beru-
bah dalam hidup saya karena saya bekerja
sepanjang waktu. Saya telah menghabiskan
30 tahun dalam menulis fi ksi. Selama 10 ta-
hun pertama, saya kuatir tentang uang dan
tak seorangpun bertanya berapa banyak uang
yang saya hasilkan. Dekade kedua saya meng-
habiskan uang dan tak seorangpun bertanya
tentang hal itu. Dan saya telah menghabiskan
10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu
bagaimana saya menggunakan uang itu, sua-
tu hal yang tidak akan saya lakukan."
Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar
(2002) (terjemahan bahasa Inggris Snow
(Salju), 2004), yang membahas konfl ik anta-
ra Islamisme dan Baratisme di Turki modern.
New York Times mencatat Snow sebagai salah
satu dari Sepuluh Buku Terbaik untuk 2004.
Ia juga menerbitkan sebuah memoir/cata-
tan perjalanan İstanbul-Hatıralar ve Şehir
pada 2003 (Versi Inggris, Istanbul-Memories
and the City (Istanbul-Kenangan dan Kota)
2005). Pada 2005 Orhan Pamuk memenang-
kan Hadiah Perdamaian Pameran Dagang
Buku Jerman senilai 25.000 Euro untuk ka-
rya sastranya di mana Eropa dan Turki Islam
menemukan tempat untuk satu sama lain. Ini
adalah hadiah buku paling bergengsi Jerman
yang diberikan di Gereja St. Paulus di Frank-
furt.
Buku-buku Pamuk dicirikan oleh kebin-
gungan atau hilangnya identitas yang seba-
gian ditimbulkan oleh konfl ik antara nilai-
nilai Eropa dan Islam. Mereka seringkali
mengganggu atau menggelisahkan, namun
mencakup plot yang rumit dan memikat,
serta tokoh-tokoh yang mendalam. Karya-
karyanya juga diwarnai dengan bahasan dan
pesona terhadap seni kreatif, seperti sastra
dan lukisan.
Tuduhan-tuduhan kriminal terhadap Pa-
muk muncul dari pernyataan-pernyataan
yang dibuatnya pada wawancara dengan Das
halaman 63
Magazin, sebuah terbitan Swiss pada Febru-
ari 2005. Dalam wawancara itu, Pamuk me-
nyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan
sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini
dan tak seorangpun kecuali saya yang berani
berbicara tentang hal ini."
Pamuk mengatakan bahwa setelah wawan-
cara itu diterbitkan, ia dikenai kampanye ke-
bencian yang memaksanya melarikan diri
dari negerinya. Namun ia belakangan kem-
bali pada 2005 untuk menghadapi tuduhan-
tuduhan terhadapnya. Dalam wawancara
dengan BBC News, ia berkata bahwa ia ingin
membela kebebasan berbicara, satu-satunya
harapan Turki untuk menghadapi sejarahnya
sendiri: 'Apa yang terjadi kepada orang-orang
Armenia Ottoman pada 1915 adalah suatu ke-
jadian besar yang tersembunyi dari bangsa
Turki. Ia dianggap tabu. Tetapi kami harus
mampu berbicara tentang masa lalu.'
Pada Juni 2005, Turki memperkenal-
kan aturan pidana baru yang menyatakan:
"Seseorang yang secara eksplisit menghina
keberadaan seorang Turki, Republik atau
Dewan Nasioal Agung Turki, akan dikenai
hukuman penjara selama enam bulan hingga
tiga tahun." Pamuk dikenai hukuman pelang-
garan hukum ini dalam wawancara yang di-
berikannya empat bulan sebelum hukum itu
diberlakukan. Pada Oktober, setelah dakwaan
dimulai, Pamuk mengulangi pandangan-pan-
dangannya dalam sebuah pidato yang disam-
paikannya pada upacara pemberian hadiah di
Jerman: "Saya ulangi, saya katakan dengan
keras dan jelas bahwa satu juta orang Arme-
nia dan 30.000 orang Kurdi telah dibunuh di
Turki."
Karena Pamuk dikenai tuduhan atas hu-
kum yang diberlakukan surut, hukum Turki
mengharuskan pengadilannya disetujui oleh
Kementerian Kehakiman. Beberapa menit
setelah pengadilan Pamuk dimulai pada 16
Desember 2005, hakim menemukan bahwa
persetujuan ini belum diterima dan kare-
nanya menunda kelanjutan peradilan. Dalam
wawancara yang diterbitkan dalam surat
kabar Aksam pada hari yang sama, Menteri
Kehakiman Cemil Cicek mengatakan bahwa
ia belum menerima berkas Pamuk namun ia
akan mempelajarinya dengan cermat begitu
berkasnya sampai ke tangannya.
Kantor berita Turki BIA melaporkan
bahwa para pengunjuk rasa nasionalis di luar
ruang pengadilan mengejek ketika mereka
mendengar peradilan itu ditunda dan menye-
rang mobil Pamuk ketika ia dibawa pergi.
Sekelompok pengunjuk rasa lainnya yang
berdemonstrasi damai menentang Orhan Pa-
muk tanpa kekerasan dipimpin oleh seorang
seniman dan penulis Turki yang terkenal se-
cara internasional, Bedri Baykam.
Tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk me-
ngundang reaksi internasional dan berbagai
pertanyaan di sejumlah kalanagan menge-
nai rencana masuknya Turki ke dalam Uni
Eropa. Pada 30 November, Parlemen Eropa
mengumumkan akan mengirimkan delegasi
yang terdiri dari lima anggota, dipimpin oleh
Camiel Eurlings, sebagai pengamat di peradi-
lan itu. Komisioner Perluasan UE Olli Rehn
lalu mengatakan bahwa kasus Pamuk akan
menjadi ujian atas komitmen Turki terhadap
kriteria keanggotaan UE.
Pada 1 Desember, Amnesti Internasional
mengeluarkan pernyataan yang menyerukan
agar Pamuk dan enam orang lainnya yang
akan diadili, dibebaskan.
Pada 13 Desember, delapan pengarang
terkenal dunia: Jose Saramago, Gabriel Gar-
cia Marquez, Günter Grass, Umberto Eco,
Carlos Fuentes, Juan Goytisolo, John Updike
dan Mario Vargas Llosa menerbitkan pernya-
taan bersama dan mengecam tuduhan-tudu-
han atas Pamuk sebagai pelanggaran hak-hak
asasi manusia.
Sebagian rekan-rekan Turkinya meny-
halaman 64
erang dia karena terlalu memusatkan kri-
tiknya terhadap "Turki dan orang Turki",
dan karena tidak sama kritisnya terhadap
pemerintah-pemerintah lain. Selain itu,
sebagian pengamat curiga terhadap mak-
sud Pamuk sesungguhnya di balik pernya-
taan ini dan mengklaim bahwa ia hanya
sok pamer agar memenangkan penghar-
gaan Nobel untuk sastra yang kemudian
dianugerahkan kepada pengarang Inggris,
Harold Pinter. Mereka mengatakan bahwa
Pamuk tak pernah sebelumnya memper-
lihatkan perhatiannya kepada masalah
Kurdi atau Armenia. Sebagian komentator
Turki mencatat bahwa memuji Pamuk bu-
kan karena tulisannya melainkan karena
pernyataannya tentang orang Kurdi dan
Armenia tidak saja keliru, tetapi juga tidak
adil kepada orang-orang seperti Yaşar Ke-
mal, sastrawan Turki lainnya yang telah
menghadapi berbagait uduhan sepanjang
kariernya sebagai penulis karena mem-
bela hak-hak suku Kurdi maupun bang-
sa-bangsa lain, yang telah membaktikan
seluruh hidupnya untuk meneliti kelom-
pok-kelompok minoritas atau yang pernah
dipenjarakan karena membela hak-hak
minoritas. Waktu yang bersamaan ketika
media mulai menerbitkan pernyataan-
pernyataan Pamuk dengan waktu perun-
dingan-perundingan penting dengan UE
juga telah menimbulkan sejumlah kontro-
versi di Turki. Lainnya mengatakan bahwa
kasus Pamuk lebih mirip dengan pence-
maran seperti di negara-negara demokrasi
Barat, daripada kebebasan berpenda-
pat.***
(Red.01-Dari berbagai sumber)
Dukacita
Pimpinan dan Karyawan
Menyampaikan kabar dukacita
atas meninggalnya :
Kasrah (78 Tahun)Ibunda tercinta Dandun Wibawa (Seniman Musik)
Di RS. Eka HospitalPukul 21.00 WIBdan disemayamkandi Jl. Durian Labuh Baru,Pekanbaru
Semoga Almarhumahditerima di sisi Allah Swt dankeluarga yang ditinggalkantabah menerima cobaan ini.Amin.
halaman lxvww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
ww
w.to
kobu
ku17
1.co
m
“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“
Kantor Pusat: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam Pekanbaru-Riau
Pusat Penjualan: Kompleks Metropolitan City Giant Block A 19 & 20 Jl. HR Soebrantas Km 12 Pekanbaru
halaman lxvi