majelis eksaminasi fadilah agus, sh, mh prof. david cohen...
TRANSCRIPT
-
Majelis Eksaminasi
Perkara Adam Damiri (Kasus Timor Timur)
Fadilah Agus, SH, MH
Prof. David Cohen
Widati Wulandari, SH, L.LM
Perkara Johny Wainal Usman (Kasus Abepura)
Trihoni Nalesti Dewi, SH, MH
Ifdhal Kasim, SH
Diajeng Wulan Christianti, SH
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tanggal 8 dan 9 September 2005, Pengadilan Makassar memutuskan untuk membebaskan terdakwa Brigjen (Pol) Johny
Wainal, mantan Komandan Satuan BRIMOB Polda Irian Jaya / Papua di Jayapura, karena unsur-unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dituduhkan kepadanya tidak terpenuhi. Keputusan ini banyak mengundang pertanyaan publik karena kesimpulan
yang berbeda dengan Laporan KPP HAM dan Surat Dakwaan Jaksa Agung yang menyimpulkan bahwa peristiwa Abepura memenuhi
unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan
jaminan perlindungan terhadap rakyatnya kembali dipertanyakan.
Seperti halnya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok, Pengadilan ini semakin menambah deretan
panjang kasus-kasus penyelesaian pelanggaran berat HAM yang berujung pada ketidakpuasan dan ketidakadilan khususnya bagi
korban. Betapa tidak, lima tahun sejak terjadinya peristiwa Abepura hingga didirikannya Pengadilan HAM Makassar, tidak ada
seorang pun anggota Kepolisian yang diadili. Kalaupun pada akhirnya dua orang diantara mereka diadili, putusan bebas terhadap
kedua terdakwa tersebut juga sangat menyakiti hati korban. Akibatnya, publik semakin pesimis bahwa Pengadilan HAM sebagai
mekanisme penegakkan Hukum HAM dapat memberikan keadilan dan membela hak korban.
Eksaminasi sebagai salah satu mekanisme uji publik terhadap putusan-putusan Pengadilan HAM ini dirasa penting dilakukan
untuk secara kritis dapat menilai putusan dan mengungkap kesalahan penerapan asas dan prinsip yang mungkin terkandung dalam
putusan tersebut. Diharapkan hasil dari eksaminasi publik ini akan berdampak pada kinerja Pengadilan HAM, terutama pada proses
pemeriksaan perkara dimasa mendatang, hakim yang mengadili akan lebih memperhatikan aspek teknis dan kualitas dari putusan,
selain menyangkut konteks rasa keadilan umum dan juga yang sama pentingnya adalah mengenai bagaimana perlindungan terhadap
2
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
saksi dan korban. Terlebih lagi khusus mengenai Kasus Abepura dengan terdakwa Johny Wainal Usman merupakan kasus pertama
yang disidangkan di Pengadilan HAM Permanen di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang No.26 Tahun 2000, sehingga
hasil dari pengadilan ini tentunya akan menjadi preseden untuk kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi di masa datang. Hal
penting lainnya yang patut kita cermati dalam kasus seperti ini adalah ketika kita menuduh operasi polisi atau militer yang bertujuan
untuk menegakan hukum dan memelihara ketertiban yang kebetulan melibatkan penduduk sipil sebagai suatu kejahatan terhadap
kemanusiaan, hal tersebut jelas tidak selalu tepat karena sebenarnya kita menginginkan aparat penegak hukum kita dapat
dikendalikan dibawah garis komando yang ketat sehingga ketika mereka melaksanakan operasi hasilnya adalah tindakan operasi yang
sistematik dan terkendali, oleh sebab itu kita harus cermat ketika menuduh mereka melakukan serangan yang sistematis terhadap
penduduk sipil karena mungkin tindakan tersebut merupakan penjabaran dari tugas mereka sehari-hari,1 walaupun bukan berarti
tindakan aparat dalam kasus ini sepenuhnya benar karena bisa saja dalam pelaksanaan tugas tersebut terjadi ekses yang menjadi
indikasi adanya pelanggaran HAM berat. Dari hal-hal tersebut diatas maka kami berharap eksaminasi Kasus Abepura ini dapat
menjadi representasi dari kompleksitas kasus-kasus yang pernah disidangkan oleh pengadilan HAM di Indonesia.
Proses eksaminasi ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan, pembacaan kritis, persidangan dan tahap
publikasi. Proses tersebut memakan waktu kurang lebih 4 bulan. Adapun hasil dari Eksaminasi ini dapat dilihat pada bab-bab
selanjutnya.
Bab II akan menguraikan mengenai pertanggungjawaban atasan dalam pelanggaran HAM berat dengan mengkaji bahan-bahan
dari Laporan KPP HAM, Berkas Perkara, Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan. Adapun sistematika pengkajian, eksaminator
menggunakan metode penelusuran terhadap pemenuhan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dan unsur-unsur pertanggungjawaban
atasan (komando).
1 Komentar Susana Linton, Direktur Program HAM di University of Hong Kong
3
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Bab III akan lebih mengkritisi mengenai acara pemeriksaan dalam forum pengadilan tersebut, khususnya mengenai proses
pembuktian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa.
Kemudian dalam Bab IV, Majelis Eksaminator mencoba untuk mengkaji dan mengkritisi Putusan yang dihasilkan oleh
Pengadilan HAM tersebut yang sebagaimana kita ketahui bahwa Terdakwa Johny Wainal Usman akhirnya dibebaskan. Untuk
memudahkan dalam menganalisa, maka Majelis eksaminator membuatnya dalam bentuk tabel yang berisi mengenai fakta-fakta
hukum dan syarat-syarat pemidanaan, Dakwaan Jaksa dan pertimbangan hakim, permohonan ganti kerugian dan analisa hakim yang
kesemua hal tersebut dibarengi dengan analisa majelis eksaminator pada masing-masing bagian. Dan pada akhir laporan eksaminasi
ini kita juga dapat melihat proses pembuktian perkara Johny Wainal Usman di Pengadilan HAM Makassar dalam bentuk tabel agar
lebih mudah dipahami.
4
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB II
UNSUR-UNSUR PERTANGGUNG-JAWABAN ATASAN
DALAM PELANGGARAN HAM BERAT Suatu Kajian terhadap Proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam Kasus Pengadilan HAM Abepura atas Johny
Wainal Usman
Trihoni Nalesti Dewi
PENDAHULUAN
Secara umum Laporan KPP HAM sudah cukup kuat menguraikan adanya dugaan pelanggaran ham berat dalam kasus Abepura
7 Desember 2000 dan adanya pertanggung-jawaban atasan yang dibebankan pada mantan Komandan Satuan Brimob Irian Jaya /
Papua, Johny Wainal Usman, dalam peristiwa tersebut. Laporan ini memberikan alas bagi jaksa penuntut umum (JPU) untuk
melakukan proses hukum selanjutnya dengan berusaha mencari serta mengumpulkan bukti-bukti terhadap pemenuhan semua unsur-
unsur pelanggaran ham berat dan unsur tanggung jawab atasan (komando).
Dari hasil proses hukum pada tahap selanjutnya yang dilakukan oleh JPU dirumuskan dua dakwaan yang berbentuk kumulatif,
yaitu tanggung jawab atasan terhadap pelanggaran ham berat atas pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap dua peristiwa ini, JPU
telah mengumpulkan sejumlah bukti dan membuat argumen yang disusun dalam berkas perkara, surat dakwaan dan surat tuntutan.
Untuk membuktikan adanya tanggung jawab pidana terdakwa tersebut maka sesungguhnya JPU harus membuktikan dulu
terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran ham berat dan unsur-unsur pertanggung-jawaban atasan (komando). Unsur-unsur pelanggaran
ham berat meliputi: (1) Salah satu yang disebutkan Pasal 9 UU No. 26 th 2000, dalam kasus ini adalah pembunuhan dan
penganiayaan; (2) Serangan yang ditujukan pada penduduk sipil; (3) meluas dan (atau) sistematis. Sementara itu, unsur pertanggung-
5
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
jawaban atasan meliputi: (1) Hubungan atasan bawahan dengan pengendalian efektif; (2) Pengetahuan atau pengetahuan yang
konstruktif yang dimiliki oleh atasan; (3) Kegagalan atasan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Unsur-unsur tersebut
akan diuraikan dalam tulisan ini melalui pembahasan tahap-tahap yang dilakukan yaitu tahap penyelidikan, penyidikan , dan
penuntutan.
Tahap Penyelidikan
Tahap penyelidikan telah diselesaikan oleh KPP HAM pada bulan Mei 2005. Hasil penyelidikan tersebut sebenarnya telah
merekomendasikan 4 pelanggaran ham berat, namun oleh JPU hanya dikemukakan dua yaitu pelanggaran ham berat dalam bentuk
perbuatan pembunuhan dan penyiksaan.
Unsur pertama dalam pelanggaran ham berat yaitu adanya pembunuhan telah diuraikan secara memadai oleh laporan hasil
penyelidikan KPP HAM. Dalam kesimpulan penyelidikannya KPP HAM menyebutkan bahwa telah terjadi tindakan pembunuhan
kilat (summary killing) di daerah Skyline yang mengakibatkan meninggalnya Elkius Suhuniap akibat ditembak oleh anggota
BRIMOB. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dikeluarkan Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura disimpulkan bahwa sebab
kematian korban adalah karena mengalami luka tembak masuk pada punggung kiri dan keluar pada dada kanan. Dan korban mati
akibat robekan pada jantung dan pembuluh darah besar jantung.
Sementara itu, penganiayaan yang juga merupakan salah satu unsur terpenuhinya pelanggaran ham berat, terbukti dalam
laporan KPP HAM ini telah dilakukan terhadap sejumlah korban. Penganiayaan yang dikemukakan oleh laporan KPP HAM dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut; pemukulan dengan menggunakan tangan, popor senjata, sekop, rotan dan balok ukuran 5 x 5 cm, balok
5 x 10 cm; penendangan dengan sepatu lars; penyundutan puntung rokok pada tangan korban; penyiraman dengan air pada tubuh
yang luka; pemotongan rambut dan kemudian disuruh memakannya; disuruh minum air bercampur darah; serta menjilat darah yang
menetes di lantai serta makian-makian yang merendahkan martabat.
6
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Selanjutnya, untuk memenuhi kualifikasi sebagai tindakan pelanggaran HAM berat maka tindakan pembunuhan dan
penganiayaan yang dilakukan tersebut diatas harus merupakan serangan yang ditujukan pada penduduk sipil yang dilakukan secara
berganda (multiciplicity commission of acts). Laporan KPP HAM menyebut secara komprehensif bagaimana tindakan yang dilakukan
secara berganda itu terjadi, bahkan jauh sebelum terjadinya peristiwa 7 Desember 2000. Menurut laporan tersebut, Polda Irian Jaya
menjelang Desember 2000 menyatakan Propinsi Papua berada dalam situasi siaga I. Kebijakan itu diambil berdasarkan dinamika
politik yang terjadi yaitu banyaknya aksi demonstrasi dan aksi pengibaran bendera. Jika dilihat dari beberapa kebijakan keamanan di
atas maka sikap dan tindakan aparat Kepolisian dalam mengejar dan menangkap orang pasca penyerangan Polsek Abepura tanggal 7
Desember 2000 bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, melainkan suatu sikap dan tindakan terpola untuk menangani berbagai
masalah di Propinsi Irian Jaya (Papua) yang presedennya bisa dilihat dari tindakan-tindakan aparat Kepolisian jauh hari sebelumnya.
Jadi sikap dan tindakan Polisi terhadap siapa saja yang mereka curigai sebagai pelaku separatis (OPM atau simpatisannya) pasca
penyerangan Polsek Abepura adalah merupakan satu kesatuan tindakan atau satu bagian dari keseluruhan kebijakan Kepolisian
(keamanan) yang secara sistematis telah berlangsung lama di Papua. Fakta peristiwa yang menunjukan pola dari sikap dan tindakan
aparat Kepolisian itu bisa dilihat dari cara-cara atau pola penanganan aksi-aksi masyarakat Papua jauh sebelum peristiwa 7 Desember
2000 terjadi khususnya menyangkut aksi pengibaran bendera Bintang Kejora. Dari beberapa fakta peristiwa yang terjadi antara tahun
1998-2000 terlihat bahwa aparat Kepolisian di Irian Jaya begitu mudah melakukan penembakan, penangkapan dan penahanan, serta
penyiksaan terhadap orang-orang yang melakukan aksi protes atau orang yang dikategorikan separatis. Fakta-fakta peristiwa
terpenting tersebut adalah:
a) Tragedi Biak 6 Juli 1998
b) Tragedi Sorong, 5 Juli 1999
c) Tragedi Timika, 2 Desember 1999
d) Tragedi Merauke 16 Februari 2000
7
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
e) Tragedi Nabire 28 Februari 4 Maret 2000
f) Tragedi Sorong, 27 Juli 2000
g) Tragedi Sorong, 22 Agustus 2000
h) Tragedi Wamena 6 Oktober 20002
Dengan mengungkap peristiwa sebelum 7 Desember 2000 tersebut maka Laporan KPP HAM ini akan sangat berguna untuk
mengungkap terjadinya tindakan yang bersifat sistematis dan (atau) meluas dalam peristiwa pengejaran dan penyekatan
(penangkapan) terhadap para korban.
Dalam laporan KPP HAM disebutkan juga bahwa semua korban yang telah diperiksa kemudian dilepaskan. Secara implisit
peristiwa pelepasan para tahanan ini menunjukkan bahwa mereka hanyalah penduduk sipil yang tidak terbukti merupakan anggota dari
gerakan separatis. Dari dua unsur bahwa tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan tersebut diatas harus merupakan
serangan yang dilakukan secara berganda (multiciplicity commission of acts) dan obyek serangan adalah penduduk sipil maka salah
satu unsur pelanggaran ham berat sudah terpenuhi.
Sementara itu, unsur meluas dapat dibuktikan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, unsur meluas dibuktikan melalui pengertian
jumlah korban yang cukup banyak. Hal ini dapat disebutkan dan dibuktikan dalam laporan KPP HAM. Jumlah korban pembunuhan
kilat 1 orang, sedangkan korban penganiayaan sejumlah:
a. Perempuan sebanyak 9 orang terdiri dari :
Anak berumur 7 tahun (1 orang), 14 tahun (1 orang), 16 tahun (1 orang), 18 tahun (1 orang), 20 tahun (1 orang), 21 tahun (2
orang), 22 tahun (2 orang)
b. Laki-laki sebanyak 96 orang terdiri dari :
2 Laporan KPP HAM
8
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
14 tahun (1 orang), 15 tahun (2 orang), 16 tahun (3 orang), 17 tahun (2 orang), 18 tahun (8 orang), 19 tahun keatas (80 orang).3
Dari tindakan penyiksaan yang telah dilakukan tersebut mengakibatkan meninggalnya dua orang korban yaitu :
a. Ory Ndronggi, laki-laki berumur 19 tahun, meninggal akibat benturan keras dengan benda tumpul pada bagian
belakang kepala yang mengakibatkan retakan tulang dasar tengkorak. Korban meninggal di Mapolres Jayapura.
b. Joni Karunggu, laki-laki berumur 20 tahun, meninggal akibat benturan keras dengan benda tumpul pada bagian belakang
kepala yang mengakibatkan retakan tulang dasar tengkorak. Korban meninggal di Mapolres Jayapura.
Selain 2 orang korban meninggal, terdapat seorang korban penyiksaan yang mengalami cacat seumur hidup yaitu Arnol Mundu
Soklayo, laki-laki berumur 32 tahun korban mengalami cacat berupa kelumpuhan pada tulang punggung bagian bawah sehingga tidak
bisa berjalan hingga sekarang. Korban mengalami penyiksaan di Polsek Abepura. Selain itu terdapat satu korban akibat penembakan
semena-mena bernama Agus Kabak, laki-laki berumur 19 tahun. Korban ditembak di Skyline oleh anggota Brimob mengenai rusuk
bagian kanan tembus di perut yang mengakibatkan limpanya terserempet peluru dan harus diangkat sehingga sekarang korban hidup
dengan tidak mempunyai limpa.4
Kedua, pengertian meluas dibuktikan melalui pengerahan sumber daya yang cukup besar. Secara terbersit, sekalipun belum
menyebut pasti berapa jumlah anggota satuan brimob serta personil polisi dari Polres Jayapura dan Polsek Abepura yang dikerahkan,
telah ditunjukkan pengerahan yang dapat dikatakan cukup besar sehingga dapat membuktikan adanya unsur meluas ini.
Ketiga, pengertian meluas juga dibuktikan oleh fakta hukum lain yaitu penyerangan yang terjadi diberbagai tempat dan waktu
yang berbeda-beda. Peristiwa penyerangan tersebut terjadi masing-masing:
3 Laporan KPP HAM 4 Laporan KPP HAM
9
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
a. Satuan Brimob melakukan pengejaran dan penangkapan di asrama Ninmin di Jalan Biak yang berjarak kurang lebih 300
m dari Mapolsek Abepura sekitar pukul 02.00 WIT dini hari dibawah komandan regu Bripka Hans Fairnap.
b. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim melakukan pengejaran dan penangkapan ke pemukiman
warga asal Kobakma, Mamberamo dan warga Wamena Barat di Abe Pantai, sekitar pkl. 05.30 WIT, tanggal 7
Desember 2000.
c. Satuan Brimob terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan IPTU Suryo Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT melakukan
pengejaran dan penangkapan asrama mahasiswa Yapen Waropen di Kampung Tiba-tiba yang terletak sekitar 1 Km dari
Mapolsek Abepura.
d. Satu regu anggota Brimob di bawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi melakukan pengejaran dan penangkapan ke
kediaman masyarakat suku Lani asal Mamberamo, Wamena Barat di Jl. Baru Kotaraja,sekitar pkl. 08.00 WIT, tanggal 7
Desember 2000. Pemukiman ini berjarak sekitar 900 meter dari Mapolsek Abepura.
e. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigadir Polisi John Kamodi melakukan pengejaran dan penangkapan ke
pemukiman masyarakat asal suku Yali, Anggruk, di daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan sekitar pukul 09.30
WIT,tanggal 7 Desember 2000.
f. Satu regu Brimob dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi melakukan pengejaran dan penangkapan ke asrama IMI
(Ikatan Mahasiswa Ilaga) di kompleks BTN Puskopad Kampkey, Abepura yang berjarak lebih kurang 1,5 Km dari
Mapolsek Abepura, sekitar pkl. 23.00 WIT tanggal 7 Desember 2000.
Sementara untuk membuktikan terpenuhinya unsur sistematis, Laporan KPP HAM sudah cukup membangun argumen bahwa
terdapat hubungan antara kebijakan negara terhadap Papua dengan peristiwa pengejaran dan penyekatan pasca penyerangan Mapolsek
Abepura. Kebijakan negara terhadap Papua itu tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan
Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik
10
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Indonesia. Isi dokumen ini adalah rencana operasi menyeluruh dari pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang
dikategorikan sebagai gerakan separatis. Rencana ini disusun pada rapat gabungan tanggal 8 Juni 2000 oleh Dirjen Kesbang dan
Limas Depdagri. Pihak Kepolisian Irian Jaya menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya
Polda Irian Jaya Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000. Telaah staf
ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut Operasi Tuntas Matoa 2000 yang berlangsung selama 90 hari.
Operasi ini ditujukan kepada gerakan separatis OPM dan simpatisannya.Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polda Irian
Jaya telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistematis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut
sebagai gerakan separatis..5 Kebijakan Kepolisian itu adalah bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua dokumen ini
menunjukan adanya unsur sistematis yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang,
berdasarkan kebijakan yang melibatkan secara substansial sumber daya baik milik umum ataupun perorangan.
Laporan KPP HAM juga dapat digunakan sebagai indikasi atas dugaan terpenuhinya unsur mental (mens rea), bahwa terdakwa
mempunyai pengetahuan bahwa telah terjadi tindakan pelanggaran ham berat. KPP HAM menyimpulkan bahwa Johny Wainal Usman
merupakan individu yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan karena posisi dan tindakan-tindakan pada
tingkat pengendali sebagai komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya yang membantu Kapolres Jayapura dalam mengendalikan
operasi pengerahan Satuan Brimob Polda Irian Jaya. Beberapa hal/situasi yang dapat dijadikan pertimbangan tersebut adalah bahwa
jumlah tindak pidana yang dilakukan adalah cukup banyak yaitu meliputi berbagai macam penganiayaan bahkan ada yang sampai
menimbulkan korban meninggal. Selain itu para korban ada yang dibawa juga ke Markas Brimobda Irian Jaya dimana terdakwa
berkantor. Hal ini menunjukkan adanya actual knowledge dari terdakwa.
5 Laporan KPP HAM
11
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tahap Penyidikan
Dalam berkas perkara keterangan-keterangan yang terkumpul sebagai bukti-bukti yang memperkuat dugaan adanya
pembunuhan terhadap Elkius hanya keterangan-keterangan yang berasal dari berita acara pemeriksaan (BAP) para korban yang berada
satu lokasi dengan Elkius yaitu Lilimus Suhuniap dan Agus Kabak. Keterangan yang dicatat dalam BAP keduanya tidak bisa
mengungkap secara pasti bagaimana Elkius Suhuniap meninggal dunia karena keduanya tidak melihat peristiwa terbunuhnya Elkius.
Sementara itu, keterangan-keterangan dari BAP pelaku maupun pihak-pihak lain yang mungkin dapat memperkuat dugaan laporan
KPP HAM, tidak banyak mengungkap fakta yang terjadi pada saat pengejaran dan penyekatan di Skyline. Seperti contohnya BAP
John Fredrik Kamodi tidak banyak membantu karena yang bersangkutan sebagai pimpinan satuan Brimob dalam pengejaran dan
penyekatan lebih banyak mengatakan tidak tahu. Sehubungan dengan tidak adanya saksi mata yang dapat menguatkan dugaan
terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri Elkius maka kemudian digunakan logika hukum. Dari keterangan saksi Lilimus Suhuniap,
Agus Kabak, dan dr Fredy Naiborhu serta visum et repertum yang dibuatnya dapat digunakan untuk memperkuat dugaan bahwa telah
terjadi penyerangan yang mengakibatkan terbunuhnya Elkius di Skyline. Luka tembak yang masuk pada punggung kiri dan keluar
pada dada kanan menunjukkan bahwa Elkius ditembak dari arah belakang, artinya korban sedang tidak melakukan perlawanan. Dan
korban mati akibat robekan pada jantung dan pembuluh darah besar jantung.
Sementara itu, tindak pidana penganiayaan sebelum dicarikan bukti-buktinya harus dipahami dulu pengertiannya.
Penganiayaan diartikan sebagai perampasan terhadap hak-hak fundamental secara sengaja. Perampasan hak-hak fundamental yang
dimaksud adalah bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yaitu bahwa tidak seorangpun boleh dianiaya atau
diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan.6
6 Lihat Pasal 5 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia
12
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Dalam berkas perkara, BAP semua korban menunjukkan adanya tindakan penganiayaan yang dimaksud. Pelaku tindak
penganiayaan adalah aparat kepolisian untuk mengorek keterangan bahwa para korban adalah anggota gerakan separatis yang ada
hubungannya dengan penyerangan Mapolsek Abepura. Sama halnya dalam peristiwa pembunuhan atas Elkius Suhuniap, tidak ada
BAP dari pelaku yang dapat mengungkap bagaimana peristiwa penganiayaan itu terjadi. Namun perbedaannya adalah dalam peristiwa
penganiayaan ini terdapat saksi selain korban yang melihat bagaimana penganiayaan dilakukan oleh anggota Brimob kepada para
korban. Disamping itu dalam peristiwa terbunuhnya Elkius Suhuniap tidak ada keterangan yang bisa mengungkap bagaimana
peristiwa terbunuhnya Elkius terjadi, sementara dalam peristiwa penganiayaan ini para korban penganiayaan masih hidup sehingga
dapat memberikan kesaksian bagaimana mereka mengalami bentuk-bentuk penganiayaan atas diri mereka. Sementara BAP dari para
saksi lain antara lain Kombes Daud Sihombing (mantan Kapolres Jayapura) serta bukti lain seperti laporan kronologis dan susunan
foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa tanggal 7 Desember 2000 dini hari serta visum et repertum menguatkan dugaan
bahwa telah terjadi peristiwa penganiayaan ini kepada para korban.
Pembuktian terhadap unsur adanya serangan yang ditujukan pada penduduk sipil pada tahap penyidikan bisa terkendala
karena adanya perbedaan istilah yang digunakan. Istilah yang digunakan oleh pihak kepolisian adalah pengejaran dan penyekatan
(penangkapan) bukan serangan. Namun demikian, apabila memenuhi unsur-unsur tindakan yang dilakukan secara berganda yang
merupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi yang dilakukan secara meluas atau sistematis dan obyeknya adalah penduduk
sipil maka pengejaran dan penyekatan (penangkapan) tersebut memenuhi kualifikasi yang dimaksud sebagai serangan yang
merupakan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tindakan dilakukan secara berganda diterjemahkan sebagai suatu rangkaian tindakan kejahatan dan dilakukan secara berulang-
ulang pada target-target yang berbeda-beda yang berdasarkan laporan intelejen merupakan sasaran yang dicurigai sekalipun anggota
kepolisian sudah mengetahui bahwa sasaran-sasaran tersebut merupakan kediaman dari penduduk sipil. Keterangan terdakwa yang
mengungkap adanya pengejaran dan penangkapan ke Asrama Ninmin, pemukiman Warga asal kobakma Mamberamo, dan Wamena
13
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Barat Kab. Jayawijaya di Kampung Wamena Abe Pantai, Asrama Yapen Waropen, kediaman masyarakat suku Lani asal mamberamo
dan Wamena barat, di jalan Baru, Kotaraja, pemukiman masyarakat suku Yali, Anggruk, di daerah Skyline Kecamatan Jayapura
Selatan, Asrama IMI di kompleks Perumahan BTN Puskopad, Kampkey, Abepura menunjukkan adanya serangan yang dilakukan
secara berganda.
Selain itu, tindakan dilakukan secara berganda juga diterjemahkan sebagai suatu rangkaian tindakan kejahatan yang meliputi
berbagai bentuk, dalam kasus ini yaitu dari tindakan penyerangan,penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hingga peyiksaan
dan pembunuhan. melakukan penangkapan terhadap ke-99 orang tersebut terbukti telah terjadi kekerasan dengan cara memukuli
mereka dengan popor senjata dan menendang dengan sepatu lars, dan perlakuan lainnya yang tidak manusiawi sehingga para korban
menderita luka-luka pada bagian kepala, muka, tangan, kaki dan badannya. Sementara itu terjadi pula pembunuhan dengan cara
penembakan atas diri Elkius Suhuniap.
Dalam berkas perkara sempat terungkap adanya dugaan para korban adalah anggota separatis seperti disebutkan dalam BAP
S.Y. Wenas mantan Kapolda Irja yang mendapat laporan baik secara tertulis maupun lisan demikian. Bahkan dalam keterangan
lainnya Drs. S.Y. Wenas juga menyebutkan bahwa atas dasar laporan Kapolres para korban termasuk Elkius adalah salah satu anggota
gerakan separatis yang melakukan perlawanan sehingga memberikan alasan pada polisi berdasar protap kepolisian untuk
menjadikannya sasaran tembakan. Namun ternyata tidak ada keterangan dari saksi lain yang memperkuat dugaan ini. Keterangan saksi
Prasetyo Widiyono mantan Kasat Serse Polres Jayapura menyatakan bahwa saksi diperintah oleh Kapolres untuk melakukan
pemeriksaan (interogasi) terhadap para korban yang ditahan, lalu saksi memerintahkan anggota serse Polres Jayapura untuk
memeriksa sejumlah warga masyarakat tersebut mulai jam 08.00 WIT pagi sampai dengan jam 14.00 WIT. Setelah dilakukan
interogasi oleh anggota serse saksi menerima hasil interogasi yang menyatakan bahwa mereka tidak terbukti sebagai pelaku
penyerangan Mapolsek Abepura dan pembakaran toko-toko. Demikian juga keterangan saksi Emilianus Tikuk yang sempat
melakukan interogasi terhadap anggota masyarakat yang ditahan menyatakan bahwa mereka semuanya tidak terlibat, sehingga
14
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sorenya semua disuruh pulang dengan diantar oleh anggota Polisi Polres Jayapura. Bukti bahwa korban adalah penduduk sipil juga
dikuatkan oleh kesaksian para korban maupun bukti laporan kronologis dan susunan foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa
tanggal 7 Desember 2000 dini hari di Abepura, Papua yang disusun oleh Badan Pengurus Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Nduga
Asrama Ninmin Jln. Biak Abepura 2001/2002.
Selanjutnya pemahaman unsur meluas dapat dibuktikan melalui 3 (tiga) hal yaitu jumlah korban yang cukup banyak,
pengerahan sumber daya yang cukup besar, dan terjadinya penyerangan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda yang
mengakibatkan terjadinya tindakan penganiayaan yang luar biasa. Seperti halnya dalam penyelidikan, terhadap ketiga hal ini tahap
penyidikan juga dapat dibuktikan dalam tahap penyidikan melalui berkas perkara para korban dan bukti-bukti lain yang mendukung.
Dalam Berkas Perkara, unsur sistematis terungkap melalui keterangan Wakapolda Papua yang menyatakan bahwa dalam
rangka mengantisipasi kegiatan masyarakat di Papua menjelang 1 Desember 2000 maka ada Kebijaksanaan Pimpinan Polri untuk
mem-BKO-kan sejumlah anggota/ pasukan Brimob ke Polres Jayapura. Disamping itu keterangan terdakwa juga memperkuat dengan
menyatakan bahwa penempatan anggota-anggota Brimob BKO berkaitan dengan operasi tuntas Matoa. Demikian juga keterangan
Moch Kusnadi (mantan Kapuskodalops Polda Papua) yang menyatakan bahwa BKO anggota Brimob Resimen III Kelapa Dua Jakarta
didasarkan pada kondisi Irian Jaya yang menunjukkan rentan terhadap gangguan kamtibmas dan berkaitan dengan Operasi Sadar /
Tuntas Matoa. Bukti-bukti yang dapat dikemukakan dalam berkas perkara untuk mendukung adanya unsur sistematis adalah Surat
Perintah Kapolri No. Pol. Sprin/4205/XI/2000 tertanggal 22 November 2000 tentang pelaksanaan tugas Operasi Kepolisian
Pengamanan Wilayah di Daerah Polda Irian Jaya sebagai Perkuatan Tambahan dan Surat Perintah No. Pol. SPRIN/20/I/2001 tentang
Pelaksanaan BKO Polres Jayapura dan Sekitarnya dalam rangka Pengamanan dan Ketertiban Masyarakat. Namun sayangnya, tampak
bahwa hubungan antara kebijakan negara dengan peristiwa pasca penyerangan Mapolsek Abepura tersebut hanya dieksplorasi melalui
penempatan anggota Brimob Resimen III Kelapa Dua Jakarta yang di BKO-kan di Papua. Berkas perkara tidak mengeksplorasi lebih
lanjut dengan menunjukkan kebijakan negara lain selain pem-BKO an satuan/ pasukan Brimob, seperti misalnya yang disebutkan
15
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dalam laporan KPP HAM adanya Kebijakan negara terhadap Papua yang tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah
Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak juga diungkap mengenai dokumen yang berisi rencana operasi menyeluruh dari
pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang dikategorikan sebagai gerakan separatis yang disusun pada rapat gabungan
tanggal 8 Juni 2000 oleh Dirjen Kesbang dan Linmas Depdagri sehingga dapat mengungkap secara lebih jelas mengenai Operasi
Tuntas Matoa 2000
Unsur pertanggungjawaban atasan khususnya berkaitan dengan adanya hubungan atasan bawahan dengan pengendalian efektif
sudah cukup terungkap dalam berkas perkara. BAP terdakwa berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak punya kendali efektif atas
satuan/ pasukan Brimob karena prosedur pemberian perintah kepada satuan Brimob yang di BKO-kan ada pada Kapolres atau
Kapolda yang di BKO. Sedangkan Dan Sat hanya menerima laporan dan tidak berwenang mencegah perintah tersebut. Namun
bagaimanapun juga terdakwa harus mengakui bahwa dalam situasi yang tidak menentu seorang Dan Sat bisa saja mempunyai kendali
efektif atas personil yang ada untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus pengejaran dan
penyekatan 7 Desember 2000 terdakwa mempunyai kendali atas anggota Brimob tersebut karena pada waktu itu situasi dianggap
darurat. Fakta ini juga dikuatkan oleh saksi-saksi yaitu saksi Moch Kusnadi (Kapuskodalops Polda Papua) yang menyatakan bahwa
saksi tiba di Mapolsek Abepura tanggal 7 Desember 2000 dan saksi melihat Dan Sat Brimob sedang mengendalikan dan mengatur
pasukannya sekaligus mengkonsolidasikan anggotanya yang ada di Polsek Abepura. Sementara itu keterangan saksi Suryo Sudarmadi
menyatakan saksi membawa 10 orang anggota dan menuju sekitar pasar Abepura atas perintah terdakwa untuk melakukan patroli dan
membantu pasukan Brimob dan anggota Polsek Abepura. Perintah disampaikan lewat radio HT. Sedangkan keterangan saksi Hans
Fairnap menyatakan Dan Sat Brimob memberikan perintah secara lisan untuk menangkap pelaku penyerangan Mapolsek Abepura dan
perintah tersebut segera dilaksanakan oleh anggota Brimob organic maupun anggota Brimob Reseimen III Jakarta. Fakta-fakta ini
menunjukkan adanya kendali dari terdakwa secara de facto atas semua anggota Sat Brimob dalam peristiwa tersebut.
16
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Pembuktian unsur adanya pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif dari terdakwa atas tindakan yang dilakukan oleh
anak buahnya berusaha disangkal oleh terdakwa. Dalam Berkas Perkara, BAP terdakwa berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak
mempunyai pengetahuan akan adanya korban meninggal dan penganiayaan terhadap sejumlah besar korban. Namun demikian
beberapa keterangan terdakwa tidak bisa menyangkal fakta dan mengungkap bahwa terdakwa sebenarnya mempunyai actual
knowledge setidaknya karena pada tanggal 8 Desember 200 terdakwa berada di kantor seperti biasa. Pada saat itu terdakwa
mengetahui bahwa Sat Brimob yang baru saja melakukan pengejaran dan penangkapan sempat singgah untuk menurunkan beberapa
personil yang akan aplus tugas, setelah itu kendaraan langsung menuju Jayapura. Disamping itu anggota/ warga masyarakat yang
diserahkan oleh anggota Brimob ke Mapolsek Abepura telah dikonsultasikan dan disepakati oleh terdakwa karena memang begitu
aturannya. Demikian juga anggota masyarakat yang ditangkap dan diserahkan ke Mapolres Jayapura.
Unsur kegagalan terdakwa untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan juga terlihat dalam proses penyidikan. Namun
sayangnya, dalam berkas perkara kurang dieksplorasi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif dari terdakwa untuk
mencegah dan mengendalikan anak buahnya dari tindakan yang melanggar hukum. Apabila tidak mempunyai kemampuan untuk
mencegah atau mengambil langkah-langkah penindakan maka seharusnya paling tidak melaporkan pada pimpinan yang berwenang.
Upaya penindakan yang terungkap dalam berkas perkara hanyalah mengeluarkan Surat Perintah kepada Kanit Provos Brimob untuk
memeriksa anggota Brimob yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Namun keseriusan dari penindakan tersebut harus
dieksplorasi lagi oleh JPU demi mendapat bukti mengenai kegagalan terdakwa dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan
tersebut. Apabila terdakwa memang tidak mampu mencegah, menghentikan ataupun menghukum, kewajiban dari terdakwa adalah
melakukan pelaporan kepada atasan dengan semestinya. JPU harus dapat lebih menggali kegagalan terdakwa ini karena menurut
keterangan para saksi terdakwa tidak memberikan laporan kepada atasannya Kapolda atau Wakapolda atas pelaksanaan perintah
terdakwa untuk melakukan pengejaran dan penyekatan yang telah menimbulkan indikasi adanya pelanggaran kemanusiaan.
17
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tahap Penuntutan
Dalam penjelasannya UU No. 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai pembunuhan adalah seperti apa
yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Pasal 340 KUHP menyebut unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan adalah adalah
adanya kesengajaan dan adanya rencana terlebih dahulu. Penggalian bukti-bukti mengenai kedua unsur tersebut perlu dikemukakan
lebih lanjut dalam persidangan untuk memenuhi unsur-unsur yang dimaksud sebagai pembunuhan. Surat dakwaan hanya menyebut
pengejaran dan penyekatan yang dilakukan di Skyline dan menunjukkan bukti adanya visum et repertum serta ancaman pidana
terhadap tindak pidana pembunuhan berdasar Pasal 9 huruf (a). Dalam surat tuntutan, fakta persidangan melalui keterangan para saksi
kurang menunjukkan elaborasi dari unsur perencanaan ini. Sementara itu dalam analisa hukumnya, pemahaman perencanaan
didasarkan pada Arrest Hoge Raad tanggal 22 Maret 1909. Hal ini dirasakan kurang relevan dan akan lebih baik kalau menggunakan
yurisprudensi yang berlaku dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila JPU melihat dengan seksama laporan KPP HAM
maka JPU dapat mengaitkan latar belakang historis dan politis dari kejadian yang terjadi di wilayah Papua sejak lama sebelumnya dan
serangan terkoordinasi yang dilakukan secara berulang-ulang sebagai suatu indikasi adanya unsur perencanaan, sebab rencana tidak
harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan, tetapi bisa dilihat dari indikasi-indikasi tersebut diatas.
Sedangkan unsur kesengajaan, fakta persidangan menunjukkan bahwa keterangan Agus Kabak yang menyebutkan dia
ditembak pada jarak 10 meter secara analogi dapat digunakan untuk memperkuat dugaan adanya unsur kesengajaan dalam
pembunuhan yang dilakukan terhadap Elkius Suhuniap. Namun sayangnya, fakta persidangan tidak mengeksplorasi keterangan dr.
Freddy Naiborhu atas luka tembak yang diderita oleh Elkius Suhuniap. Dari luka tembak tersebut kemungkinan dapat diperkirakan
bagaimana tembakan tersebut diarahkan dan dalam jarak berapa meter tembakan tersebut dilepaskan untuk membuktikan adanya
unsur kesengajaan. Namun demikian, akan lebih baik lagi kalau JPU juga dapat mengemukakan bukti selongsong peluru yang tercecer
dari peristiwa tersebut untuk uji balistik. Patut disayangkan sejak awal tidak terlihat upaya untuk mengemukakan bukti-bukti yang
demikian sebagai bukti kuat selain dari keterangan para saksi. Dugaan unsur kesengajaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
18
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
eksplorasi terhadap adanya dugaan pelanggaran protap seperti yang dapat disimpulkan dari keterangan terdakwa. Menurut keterangan
terdakwa bahwa sebelum menggunakan peluru tajam terdapat beberapa prosedur penggunaan peluru hampa dan peluru karet terlebih
dahulu. Peluru tajam akan digunakan jika sudah mengancam keselamatan petugas dan apabila keadaan sudah mendesak atau darurat.
Sementara terdakwa juga mengakui bahwa keadaan pada waktu itu masih dapat dikendalikan. Artinya berdasarkan keterangan
terdakwa ini dapat disimpulkan bahwa unsur kesengajaan terbukti dengan niat dari pelaku untuk menyebabkan terbunuhnya Elkius
Suhuniap karena dalam keadaan yang masih terkendali pelaku melepaskan tembakan dengan peluru tajam yang secara normal dapat
disadari akibat dari tembakan peluru tajam yang dilepaskan tersebut adalah terbunuhnya korban.
Komentar secara umum terhadap hal tersebut diatas adalah bahwa nampaknya ketentuan yang menyatakan bahwa yang
dimaksud sebagai pembunuhan seperti apa yang disebut dalam Pasal 340 KUHP, yang mensyaratkan adanya unsur perencanaan dan
kesengajaan adalah tidak tepat berdasar maksud dan tujuan dari dibentuknya UU No. 26 tahun 2000 ini. Oleh karenanya JPU perlu
juga mengemukakan dalam analisa hukumnya mengenai bagaimana hukum internasional,dalam hal ini Statuta Roma yang menjadi
acuan UU 26 tahun 2000, mengatur masalah tersebut. JPU juga dapat mengemukakan yurisprudensi internasional mengenai unsur-
unsur pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu adalah (1) korban tersebut mati; (2) kematiannya sebagai akibat
tindakan melawan hukum atau tidak melakukan (omission) dari pelaku atau bawahannya; (3) ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau
bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti
korban seperti itu dapat menyebabkan kematian.7
Selanjutnya pembuktian terhadap unsur penganiayaan mengalami penyempitan peristiwa karena tidak dicantumkannya dalam
dakwaan penganiayaan yang terjadi pada saat para korban ditahan di Markas Brimobda Papua, Mapolres Jayapura dan Mapolsek
Abepura. Dengan demikian maka terjadi pula penyempitan cara-cara penganiayaan yang dilakukan terhadap para korban. Surat
7 Akayesu (Trial Chamber), September 2, 1998, para.589
19
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dakwaan juga mencantumkan Ancaman pidana dalam pasal 9 huruf (h) mengenai penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Kelompok yang teridentifikasi sebagai korban adalah
terutama mereka yang diyakini oleh pihak Brimob sebagai anggota separatis karena sesungguhnya kepolisian sendiri dalam
menetapkan situasi Siaga I dan berbagai kebijakan keamanan atau operasi jauh sebelum peristiwa 7 Desember terjadi, bertolak dari
asumsi yang apriori terhadap dinamika politik rakyat Papua. Kepolisian mengkategorikan seluruh gerakan rakyat Papua sebagai
gerakan separatis. Dengan asumsi yang apriori itu aparat kepolisian mengidentifikasi kelompok-kelompok rakyat Papua sebagaimana
yang mereka yakini.
Tetapi anehnya dalam analisa hukum surat tuntutan, justru yang mengemuka kemudian penganiayaan yang dilakukan atas
dasar serangan terhadap suku etnis tertentu yaitu suku Wamena. Tidak ada dasar pembuktian sama sekali terhadap analisa hukum ini
baik yang diungkapkan sebagai fakta persidangan maupun fakta hukum. Bahkan sejak dari Laporan KPP HAM maupun berkas
perkara tidak dikemukakan penganiayaan yang dilakukan atas suku Wamena ini. Dan jika seandainya memang penganiayaan
ditargetkan pada spesifik suku Wamena bukankah hal ini dapat dijadikan salah satu unsur pembuktian adanya kejahatan genosida?
Sejak awal Laporan KPP HAM sudah menyangkal hal ini.
Pembuktian unsur serangan yang ditujukan pada penduduk sipil terlihat dalam surat dakwaan melalui penyebutan bahwa
pengejaran dan penyekatan tersebut dilakukan terhadap sekelompok penduduk sipil. Istilah penduduk sipil ini seringkali disebut untuk
menunjuk pada para korban pengejaran dan penyekatan yang dilakukan oleh Brimob. Ketepatan terminologi penduduk sipil yang
digunakan dalam surat dakwaan ini kiranya perlu dibuktikan dalam persidangan.
Dalam surat tuntutan kesaksian dari Irjen Pol. Drs. Made Mangku Pastika mantan Kapolda Papua menegasikan laporan
Kapolres kepada Mantan Kapolda Papua Brigjen Pol. S.Y. Wenas yang memperkirakan bahwa para korban termasuk Elkius Suhuniap
adalah salah satu pelaku penyerangan Mapolsek Abepura. Dalam kesaksiannya Irjen Pol. Drs. Mangku Pastika menyatakan bahwa
20
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
dari hasil rekonstruksi yang dilakukan di Skyline tidak terbukti bahwa warga yang berdiam di tempat itu adalah kelompok separatis.
Kesaksian ini senada dan diperkuat oleh kesaksian pihak kepolisian (Alex Korwa - mantan Kapolsek Abepura, Decky Hersepuny -
mantan Kanit Resintel Polsek Abepura, Prasetyo Widiyono - mantan Kasat Serse Polres Jayapura, Yuli Titus Kendek - anggota
Resintel Polsek Abepura, I Gusti Ngurah Rai Mahaputra - mantan Kapuskodalops Polres Jayapura) yang menyatakan bahwa dari hasil
interogasi para korban tidak terbukti melakukan penyerangan Polsek Abepura.
Selanjutnya pembuktian terhadap unsur meluas dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, unsur meluas dibuktikan melalui
pengertian jumlah korban yang cukup banyak yang dapat disebutkan dan dibuktikan dalam Surat Tuntutan. Kedua, keterangan dari
terdakwa atas pengerahan sumber daya yang cukup besar yaitu 3 pleton anggota satuan brimob (lebih kurang 100 personil) serta
pengerahan personil polisi dari Polres Jayapura dan Polsek Abepura juga telah dapat ditunjukkan untuk membuktikan adanya unsur
meluas ini. Ketiga, fakta hukum lain yaitu penyerangan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda juga menunjukkan adanya
unsur meluas. Namun sayangnya, pengertian meluas dalam analisa hukum hanya menyebut definisi saja tetapi tidak menguraikan
fakta hukum yang terjadi maupun analisa yang mendukung argumen. Padahal semua proses yang dijalani dan ditempuh oleh JPU
sudah memberikan dasar dan buktinya. Hal-hal tersebut diatas tidak dijadikan fakta hukum dan analisa hukum dalam surat tuntutan.
Demikian juga pembuktian terhadap unsur sistematis, fakta persidangan yang disebut dalam surat tuntutan hanya sebatas pem-
BKO-an satuan Brimob, dan kurang melakukan eksplorasi terhadap kebijakan negara terhadap Papua secara mendasar dan
menyeluruh sehingga argumen yang dibangun atas pembuktian akan adanya unsur sitematis kurang meyakinkan. Dalam analisa
hukum hanya menyebut pengertian dan definisi sistematis tetapi tidak menguraikan fakta hukum yang terjadi maupun analisa yang
mendukung argumen. Sebenarnya JPU dapat bersifat kritis dengan memaparkan dan menganalisa fakta-fakta kebijakan negara yang
sebenarnya bersifat legal akan tetapi telah ditempuh cara-cara illegal dalam rangka melaksanakan kebijakan.
Selanjutnya, dalam surat dakwaan disebutkan bahwa secara de jure terdakwa mempunyai kendali efektif atas pasukan Brimob
organic berdasar Surat Keputusan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Polisi: Skep-1343/XI/2000 tanggal 8 Nopember
21
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2000. Sementara dalam Surat Tuntutan berdasar fakta persidangan terjadi kesulitan untuk menentukan pertanggungjawaban Dan Sat
secara de jure terhadap anggota satuan Brimob yang di BKO-kan karena pertanggungjawaban secara langsung ada pada satuan
dimana pasukan tersebut di BKO-kan yaitu kepada Polda atau Polres. Pertanggungjawaban Dan Sat secara de jure hanya pada anggota
satuan organik. Secara de jure anggota satuan Brimob Kelapa Dua yang di BKO kan tidak berada dibawah pengendalian Dan Sat
Brimob Polda Papua, namun demikian paling tidak secara de facto (karena kondisi panggilan luar biasa) serta atas dasar fakta yang
terjadi di lapangan Dan Sat Brimob (terdakwa) terbukti mempunyai kendali efektif baik terhadap satuan Brimob Papua maupun
anggota Brimob Kelapa Dua yang di BKO kan. Hal ini dikuatkan oleh keterangan dan pendapat baik dari petinggi Kepolisian lain
maupun saksi ahli.
Sementara untuk pembuktian adanya pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif dari terdakwa dalam fakta persidangan
ditunjukkan oleh keterangan terdakwa dan keterangan beberapa saksi. Keterangan-keterangan tersebut menyatakan keberadaan
terdakwa di Mapolsek Abepura dan keberadaan terdakwa di Kantor Markas Brimob Kotaraja yang mengindikasikan pengetahuan atau
secara konstruktif seharusnya mempunyai pengetahuan terhadap apa yang dilakukan oleh Sat Brimob dalam melakukan pengejaran
dan penyekatan. Namun sayangnya dalam analisa hukum hal ini tidak dikemukakan secara jelas. Analisa yang dilakukan justru
melakukan pengulang-ulangan atas terjadinya peristiwa penangkapan dan pengejaran. Dalam analisa hukum ini JPU masih sering
rancu dalam menjabarkan unsur-unsur yang ada dalam pertanggungjawaban atasan satu sama lain. Seharusnya dalam analisanya JPU
bisa mengungkapkan berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti persidangan bahwa terdakwa mempunyai informasi yang jelas mengenai
resiko yang signifikan bahwa bawahan telah melakukan atau akan melakukan tindak pidana. Fakta bahwa para pelaku pengejaran dan
penyekatan dibekali dengan peluru tajam serta diliputi emosi dan dendam karena adanya anggota kepolisian yang menjadi korban bisa
dikaitkan dengan pengetahuan terdakwa akan adanya resiko yang mungkin timbul dalam pengejaran dan penyekatan tersebut.
Pembuktian kegagalan terdakwa untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan seharusnya lebih banyak ditunjukkan
dalam fakta persidangan melalui penggalian bukti-bukti berkaitan dengan penelusuran kegagalan terdakwa untuk melakukan
22
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
pencegahan dan penghentian terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sat Brimob. Pernyataan terdakwa yang menyatakan
tidak pernah berkomunikasi dengan Sat Brimob yang dikirim untuk mem-back-up Mapolsek Abepura dan keterangan terdakwa yang
memerintahkan petugas yang datang melapor untuk meneruskan warga masyarakat yang dibawa ke Mako Brimob Kotaraja ke
Mapolres Jayapura mengindikasikan tidak adanya upaya terdakwa untuk mencegah dan menghentikan tindakan pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh anak buahnya. Terdakwa seolah tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Tidak ada alasan bagi
terdakwa untuk tidak mengetahui tentang adanya pengejaran dan penangkapan yang dilakukan oleh Sat Brimob. Masalah ini
seharusnya lebih digali untuk mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan. Dalam analisa hukumnya, kesimpulan yang diambil sangat
lemah atas masalah kegagalan melakukan upaya pencegahan dan penghentian terhadap tindakan pelanggaran hukum, sebab fakta yang
dikemukakan kurang dieksplorasi.
Sementara itu upaya preventif yang harus dilakukan oleh Dan Sat Brimob adalah upaya untuk menindak dan menghukum
pelaku, apabila hal ini tidak bisa dilakukan maka Dan Sat Brimob harus melaporkannya pada pimpinan diatasnya. Upaya penindakan
yang terungkap dalam berkas perkara hanyalah mengeluarkan Surat Perintah kepada Kanit Provos Brimob untuk memeriksa anggota
Brimob yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Namun demikian ternyata karena para komandan yang diperiksa tidak
ada yang mengaku kepada mereka hanya dijatuhi hukuman disiplin. Seharusnya menjadi pertanyaan kemudian apakah pengakuan
hanya satu-satunya alat atau cara untuk menemukan dan membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan
tugas kepolisian. Bukankah kenyataan ini cukup memberikan bukti ketidak seriusan pemeriksaan? Penelusuran selanjutnya yang perlu
digali adalah apakah perintah Kapolda telah dijalankan dengan semestinya oleh Dan Sat Brimob dan apabila sudah dilakukan apakah
cukup memadai dan dilakukan dengan serius bukan sekedar formalitas saja sehingga sanksi yang dijatuhkan pada pelaku pelanggaran
kemanusiaan cukup memadai. Kesulitan yang muncul dalam membuktikan terpenuhinya unsur kegagalan terdakwa dalam masalah ini
adalah karena pada saat proses pengusutan terhadap pelanggaran kemanusiaan ini belum selesai, terdakwa sudah dipindah tugaskan
23
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
sehingga tuntasnya penyelesaian masalah ini atau memadainya hukuman yang dijatuhkan pada pelaku pelanggaran hukum bukan
menjadi tugas dari terdakwa lagi.
Apabila terdakwa memang tidak mampu mencegah, menghentikan ataupun menghukum, kewajiban dari terdakwa adalah
melakukan pelaporan kepada atasan dengan semestinya. Namun ternyata, menurut keterangan para saksi terdakwa tidak memberikan
laporan kepada atasannya Kapolda atau Wakapolda atas pelaksanaan perintah terdakwa untuk melakukan pengejaran dan penyekatan
yang telah menimbulkan indikasi adanya pelanggaran kemanusiaan. Hal ini juga menunjukkan bukti kegagalan terdakwa untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Sementara itu, analisa hukum yang mendasarkan sistem pelaporan yang efektif berdasar konteks hukum humaniter tidak
relevan dan akan menyulitkan JPU sendiri, sebab jika menggunakan konteks tersebut maka JPU harus membuktikan bahwa serangan
yang terjadi adalah serangan militer dan suatu serangan yang tunduk pada hukum humaniter, dimana pembuktian terpenuhinya syarat-
syarat tersebut sungguh sulit dalam kasus Abepura ini. Analisa hukum yang keliru ini menunjukkan keterbatasan JPU sendiri dalam
memahami dan menafsirkan aturan yang ada.
C. PENUTUP
Dari kajian yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat diketahui dalam serangkaian proses hukum yang dijalankan oleh
JPU masih terkandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan JPU untuk
memahami dan menafsirkan ketentuan yang berlaku dalam pertanggungjawaban atasan atas pelanggaran ham berat. Keterbatasan
pengetahuan tersebut berakibat pada kelirunya JPU dalam melakukan pembuktian, mnguraikan fakta, maupun melakukan analisa
hukumnya. Beberapa kelemahan tersebut terlihat dalam 3 kategori yaitu: (1) kegagalan JPU untuk mendapatkan bukti-bukti penting
yang diperlukan; (2) keterbatasan JPU dalam mengeksplorasi lebih dalam lagi dan mengembangkan beberapa bukti yang sudah sedikit
24
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terungkap; (3) kesalahan JPU dalam menafsirkan dan mempergunakan bukti-bukti yang sudah ada dalam dakwaan dan analisa
hukumnya.
Disamping itu, analisa hukum JPU kurang mengeksplorasi referensi yang ada seperti putusan-putusan pengadilan
internasional, karena senyatanya masalah ini bukan masalah pidana biasa dan sangat minim yurisprudensi pengadilan nasional
berkaitan dengan hal tersebut, atau bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada. Justru putusan pengadilan ham Abepura yang menjadi
putusan pengadilan ham permanent pertama yang akan menjadi yurisprudensi nasional dan akan diacu oleh putusan-putusan hakim
selanjutnya.
Selain kurang mengeksplorasi referensi yang ada, ternyata tampak bahwa dasar teori yang digunakan JPU dalam
mengemukakan argument dan membuat analisa hukum kurang kuat. Dalam analisa hukumnya JPU jarang mengemukakan dasar teori
yang relevan dengan permasalahan. Jika dasar teori itu ada, ternyata juga tidak akurat.
25
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
BAB III
ACARA PEMERIKSAAN
A. Pendahuluan
Bab ini akan menguraikan acara pemeriksaan di pengadilan, khususnya proses pembuktian surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) terhadap Johny Wainal Usman. Keseluruhan acara pemeriksaan memakan waktu kurang lebih 16 bulan, sehingga
melebihi waktu yang ditetapkan undang-undang yaitu 180 hari (6 bulan ).8 Pelanggaran batas waktu dalam kasus ini tidak
hanya terjadi di tingkat persidangan, namun juga di tingkat-tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Hal ini pun
terjadi pada Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Undang-Undang sendiri tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut apakah hari yang dimaksud dalam hal ini adalah hari kalender atau hari sidang. Namun, banyak pihak
menafsirkan bahwa hari yang dimaksud dalam Undang-Undang ini selayaknya hari persidangan, mengingat banyaknya kendala
yang dihadapi, seperti antara lain, jauhnya jarak antara Pengadilan dengan tempat tinggal dan tempat kejadian, kesulitan
menghadirkan saksi yang juga disebabkan oleh kendala pendanaan, dan keterbatasan waktu hakim untuk melaksanakan
sidang. Dalam praktek ICTY yang didukung sarana dan prasarana memadai pun, umumnya waktu persidangan relatif panjang.9
Sebagaimana halnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan, selama proses persidangan pun, terdakwa tidak ditahan dan
tidak di non-aktifkan. Tidak ada alasan apapun yang dikemukakan mengenai hal ini, padahal berdasarkan Pasal 21 KUHAP, 8 Pasal 31 Undang-Undang 26/2000 bahwa perkara pelanggaran berat HAM diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu tidak lebih dari 180 (seratus delapa puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM 9 Lihat antara lain kasus Slobodan Milosevic.
26
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terdakwa seharusnya ditahan karena tindak pidana yang didakwakan diancam pidana penjara lebih dari lima tahun10. Dalam
kasus ini, mungkin yang dijadikan pertimbangan adalah karena tidak ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan
menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana atau melarikan diri. Namun alasan tersebut tidak dapat dijadikan
pembenar karena ada hal-hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan tentang perlunya penahanan dan penon-aktifan
terdakwa. Terdakwa, dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang ada pada dirinya dapat saja melakukan pendekatan atau
penggalangan terhadap para saksi, khususnya saksi yang berada dalam institusi yang sama dengan terdakwa untuk
memberikan kesaksian yang meringankan. Dan bukan tidak mungkin, dengan power yang masih dimilikinya, terdakwa dapat
memberikan efek intimidasi kepada saksi korban sehingga korban tidak dapat berbicara bebas di muka persidangan.
B. Alat Bukti
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan dalam perkara pelanggaran HAM yang berat
adalah berdasarkan UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu,
dengan sendirinya alat bukti yang digunakan dalam pengadilan HAM adalah sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah yakni (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat,
(4)petunjuk dan (5) keterangan terdakwa. Berikut akan diuraikan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan
terdakwa Johny Wainal.
10 KUHAP Pasal 21 menjelaskan bahwa perintah penangkapan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana keadaan yang menimbulkan kehawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dan Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
27
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Keterangan Saksi
Pada umumnya, keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana. Bisa dikatakan, tidak ada suatu
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hal ini disebabkan, karena seorang saksi berdasarkan
pengetahuannya yang ia lihat, ia dengar dan alami sendiri dapat memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana, dalam
hal ini kasus pelanggaran HAM yang berat. Agar saksi bisa berbicara bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tentunya perlu
diterapkan secara efektif ketentuan tentang perlindungan saksi agar ia terbebas dari segala bentuk ancaman, gangguan,
teror dan kekerasan dari pihak manapun11. Dengan demikian, kehadiran saksi di persidangan untuk didengar keterangannya
memberikan peran yang besar dalam mengungkapkan kebenaran. Penuntut Umum selalu mengupayakan agar saksi-saksi yang
dihadirkannya adalah saksi yang bisa menguatkan surat dakwaan, bukan malah yang melemahkan dakwaannya. Demikian juga
bagi saksi yang meringankan, yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum. Selanjutnya, keseluruhan saksi perlu menikmati
perlindungan yang sama.
Saksi yang diajukan
Penuntut Umum
Saksi yang diajukan
Penasehat Hukum
62 (enam puluh dua) saksi,
terdiri dari :
a. 20 orang saksi korban
b. 21 orang saksi dari
kepolisiann
c. 5 orang saksi sipil
Tiga orang saksi :
a. 2 (dua) orang saksi dari
anggota kepolisian
b. 1 (satu) orang saksi dari sipil
11 Termasuk dari pelaku, karena pelaku dalam pelanggaran HAM yang berat yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi untuk tidak memberikan ataupun mengurangi kualitas kesaksiannya..
28
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
d. 7 orang saksi dari sipil
tidak hadir namun BAP
nya dibacakan di
persidangan
Komposisi saksi yang dihadirkan di persidangan menunjukan bahwa saksi yang diajukan oleh JPU lebih banyak
dibandingkan dengan saksi yang dihadirkan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum. Jumlah saksi yang tercantum dalam Berkas
Perkara sebanyak 95 orang namun yang hadir dipersidangan hanya 46 saksi (48%). Jumlah ini jelas sangat tidak memadai,
walaupun kesaksian dalam berita acara tersebut dapat saja dibacakan di muka persidangan. Adapun kendala yang dihadapi JPU
dalam menghadirkan saksi tersebut karena hampir semua saksi-saksi korban berasal atau berdomisili di Abepura, Jayapura.
Bahkan ada yang sudah pindah ke daerah lainnya, seperti Wamena dan Biak, sehingga sulit untuk dilakukan pemanggilan.
Akibatnya, JPU melakukan seleksi terhadap saksi-saksi yang akan dihadirkan ke persidangan. Seharusnya, saksi-saksi yang
dipilih untuk dihadirkan di muka persidangan adalah yang paling relevan untuk memperkuat surat dakwaan. Namun pada
kenyataannya, sebanyak 21 dari 46 saksi yang dihadirkan adalah anggota kepolisian yang secara langsung atau tidak langsung
memiliki hubungan kedinasan dengan terdakwa, sehingga independensinya dalam memberikan keterangan dapat diragukan.
Keterangan yang diberikan para saksi tersebut malah cenderung melemahkan surat dakwaan.12 Untuk mengatasi hal tersebut,
sebetulnya ada beberapa cara terobosan yang dapat ditempuh, baik atas prakarsa JPU ataupun Hakim. Pertama, menggunakan
sarana teleconference sebagaimana yang pernah dipraktekan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur,
walaupun tidak diatur KUHAP. Guna mengungkapkan kebenaran materil, seharusnya Hakim berani untuk melakukan terobosan
tersebut. Kedua, dilakukan sidang pemeriksaan di tempat kejadian yang dengan sendirinya berdekatan dengan domisili para
saksi. Kehadiran Hakim, Jaksa Penuntut Umum serta Penasehat Hukum di tempat kejadian, disamping dapat melihat langsung
12 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Preliminary Conclusive : Laporan Pemantauan Pengadilan HAM untuk Kasus Abepura atas perkara Daud Sihombing dan Johny Wainal Usman, hlm. 30
29
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tempat Kejadian Perkara (TKP), diharapkan para saksi korban dapat lebih banyak yang hadir dan mungkin lebih ringan dari
segi pembiayaannya.
Dalam proses pemeriksaan saksi di persidangan kasus ini, terdapat tujuh orang saksi yang diajukan JPU yang tidak hadir di
persidangan namun Berkas Perkaranya dibacakan. Ini juga adalah salah satu cara mengantisipasi banyaknya saksi yang
berhalangan hadir. Ketujuh orang saksi tersebut tidak dapat hadir karena berhalangan, namun tidak dijelaskan lebih lanjut
mengenai halangan tersebut. Adapun mengenai nilai kesaksian yang dibacakan tetap dapat digolongkan sama nilainya
dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di persidangan, karena pada saat pemeriksaan di tingkat
penyidikan terdahulu, keterangan diberikan di bawah sumpah. (lihat Pasal 116 (1) KUHAP).13 Namun, sementara orang masih
meragukan tentang nilai kesaksian ini karena dilakukan tanpa cross examination.
2. Keterangan Ahli
Dalam KUHAP tidak ada definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan ahli. Sebagai perbandingan, California
Evidence Code menyatakan definisi seorang ahli adalah : seseorang yang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia
mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan atau pedidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai
seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.14
Keterangan ahli di Berkas
Perkara
Keterangan Ahli di persidangan
1 orang ahli yang merupakan Empat orang ahli :
13 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini Jakarta, 1988, hlm. 696. 14 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 282
30
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Kepala Dinas Kependudukan
dan Pemukiman Propinsi Papua
a. Satu orang ahli dari
kepolisian
a. Tiga orang ahli hukum
Pada umumnya semua ahli adalah yang kompeten di bidangnya. Namun, untuk kedua orang ahli yakni Prof. Dr Indriyanto
Senoadji, SH dan Tommy Sihotang, SH, LL.M perlu dipertimbangkan independensi akademisnya. Prof Dr. Indriyanto
Senoadji,SH dan Tommy Sihotang SH,LL.M, disamping akademisi, juga merupakan pengacara yang pernah menjadi tim
advokasi TNI ketika kasus Timor Timur. Secara etis, seharusnya Hakim menolak permohonan pembela untuk mendengarkan
keterangan kedua ahli tersebut.
Selanjutnya, JPU hanya mendengarkan keterangan satu orang ahli yang tercantum dalam berkas perkara, dan ahli tersebut
tidak dihadirkan di persidangan, keterangannya pun tidak dibacakan di persidangan.
Alasan mengapa keterangan ahli di Berkas Perkara tidak lagi digunakan di persidangan, tidak dijelaskan di putusan, namun
jika dilihat keterangan ahli tersebut, sebenarnya bisa mendukung fakta bahwa lokasi operasi pengejaran dan penyekatan yang
dilakukan oleh Polisi dan Brimob adalah merupakan pemukiman penduduk sipil. 15
C. Surat
Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, definisi surat itu sendiri adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda
baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 16
15 Lihat Perkara Atas Nama Tersangka : Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman (Mantan Komandan Satuan Brimob Papua/Irian Jaya), Jakarta 27 Januari 2003, hlm.217 16 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 285
31
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Jika dibandingkan dengan alat bukti surat yang dilampirkan dalam Berkas Perkara, alat bukti surat yang dihadirkan di
persidangan mengalami pengurangan. Dalam berkas perkara terdapat 37 alat bukti surat, sementara alat bukti yang diajukan
Penuntut Umum berjumlah 32 buah. Diantara alat bukti yang tidak diajukan JPU dalam persidangan, namun tercantum di
Berkas Perkara adalah 17:
a. 1 (satu) berkas asli Laporan Kronologis dan Susunan Foto-foto yang menguraikan terjadinya peristiwa tanggal 7
Desember 2000 dini hari di Abepura, Papua (disusun oleh Badan Pengurus Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Nduga
Asrama Ninmin Jl.Biak, Abepura 2001/2002)
b. Fotocopy visum et repertum No.353/175 tanggal 13 Desember 2000 a.n Ory Ndronggi atas permintaan Ipda. Pol Bahar
Tushiba
c. Fotocopy Visum et repertum No.353/172 tanggal 13 Desember 2000 a.n Jony Karunggu atas permintaan Mayor CPM
Fauzy Helmi Dusun
d. Fotocopy Visum et repertum No.353/171 tanggal 13 Desember 2000 a.n Ory Ndronggi atas permintaan Mayor CPM
Fauzy Helmi Dusun
e. Surat Keterangan Dokter tentang Visum et repertum Sementara (orang hidup) No.SV/28/IV/2002/RSAL tanggal 4 April
2002 (asli)
Selain itu terdapat satu alat bukti surat yang tidak tercantum dalam Berkas Perkara namun diajukan JPU di persidangan yakni
Visum et repertum No.SV/28/IV/2002/RSAL tanggal 4 April 2002 a.n Arnold Mundu Soklayo.18
17ibid, hlm. 222-224 18 Lihat Putusan hlm 228
32
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang mengapa sebagian alat bukti tidak dihadirkan di persidangan, padahal jika dilihat
alat-alat bukti surat tersebut dapat memperkuat surat dakwaan JPU. Juga tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai
alasan mengapa alat bukti visum et repertum a.n Arnold Mundu Soklayo dihadirkan kemudian dalam persidangan. Selanjutnya,
yang cukup mengherankan adalah tidak dilampirkannya Operasi Tuntas Matoa sebagai salah satu bukti surat dalam Berkas
Perkara. Apakah mungkin bentuk Operasi semacam itu tidak dituangkan dalam bentuk tertulis seperti rencana operasi atau
kebijakan tertulis lainnya? Hal ini penting karena dalam Rencana Operasi tersebut diharapkan terdapat fakta-fakta yang dapat
membantu Hakim khususnya dalam mengkategorikan suatu tindakan sebagai tindakan sistematis. Selain itu, jika dalam surat
tersebut terdapat rincian mengenai jumlah senjata serta pasukan yang dikerahkan maka akan mudah bagi Hakim untuk
menganalisa apakah suatu tindakan tersebut termasuk tindakan eksesif atau bukan.
Terdapatnya kecurigaan akan adanya beberapa alat bukti surat yang dihilangkan menjadi suatu pembenaran bahwa
seharusnya terdakwa ditahan untuk menghindari resiko-resiko seperti ini.
D. Petunjuk
Alat bukti petunjuk, seperti yang diatur dalam pasal 188 (1) KUHAP adalah :
perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun tindak
pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Dengan definisi di atas, banyak orang yang menyimpulkan bahwa petunjuk bukanlah alat bukti, namun lebih kepada
pengamatan hakim berdasarkan kekuatan alat bukti lain yang dihadirkan di persidangan. Walaupun demikian, ada beberapa
barang bukti dihadirkan ke persidangan yang digunakan untuk mendukung keterangan terdakwa yang diajukan oleh pembela
sehingga bisa menjadi alat bukti petunjuk. Barang-barang bukti tersebut adalah :
33
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. 4 buah parang begagang kayu, disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 2. 2 buah parang bergagang kayu disita tangga 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 3. 2 buah parang bergagang kayu disita tanggal 7 Desember 2000 di Kantor Otonomi Papua 4. 2 buah parang tulang macan, bergambar tulang kasuari disita tanggal 7 Desember 2000 di Polsek Abepura 5. 1 ikat busur dan tombak disita tanggal 7 Desember 2000di sekitar Polsek Abepura 6. 1 ikat busur dan anak panah disita tanggal 7 Desember 2000 di kantor Otonomi 7. 1 ikat anak panah disita tanggal 7 Desember 2000 di sekitar Polsek Abepura
Keseluruhan barang bukti tersebut adalah untuk mendukung keterangan terdakwa yang pada akhirnya diharapkan dapat
menunjukan bahwa apa yang dilakukan terdawa bersama anak buahnya tersebut adalah merupakan pembelaan diri dan
membenarkan bahwa orang-orang yang mereka serang tersebut adalah merupakan anggota separatis.
Yang menjadi pertanyaan dalam kasus ini, mengapa hanya dari pihak pembela yang dapat menunjukan sejumlah barang bukti
yang bisa menjadi alat bukti petunjuk jika didukung oleh alat bukti lain seperti keterangan terdakwa. Padahal dalam hal ini
seharusnya Penuntut Umum juga dapat menghadirkan sejumlah barang bukti yang dapat menguatkan dakwaannya tersebut.
Barang bukti tersebut misalnya mobil truk polisi yang digunakan untuk mengangkut peduduk sipil, atau bahkan peluru untuk
memastikan apakah senjata yang digunakan milik kepolisian atau bukan, namun hal ini sama sekali tidak dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini misalnya apakah memang terdapat kesulitan untuk
menjadikan mobil-mobil tersebut sebagai barang bukti karena masih digunakan oleh institusi Polisi/Brimob. Yang jelas, dengan
dapat dibuktikannya bahwa memang benar mobil truk Brimob tersebut digunakan untuk mengangkut penduduk sipil yang
ditahan maka akan dapat memudahkan JPU membuktikan adanya rantai komando dalam kasus ini karena suatu mobil dinas
tidak mungkin digunakan tanpa adanya persetujuan dari institusi polisi.
E. Keterangan Terdakwa
Pada intinya, tidak terdapat perbedaan antara keterangan yang terdakwa dicantumkan pada Berkas Perkara dengan di
persidangan. Hanya saja, keterangan terdakwa di persidangan lebih ditekankan pada pembagian kewenangan masing-masing
34
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
komandan seperti Kapolda, Kapolres, Kapolsek, dan Kapus Kodalops, serta batas kewenangan terdakwa sebagai Komadan
Kesatuan (Dan Sat) termasuk dalam hal kewajiban untuk menghukum bawahannya. Hal-hal tersebut tidak diuraikan secara
rinci dan jelas di Berkas Perkara. Menurut hemat penulis, ada beberapa keterangan terdakwa di Berkas Perkara yang penting,
namun tidak diuraikan tedakwa dalam persidangan. Hakim dan Penuntut Umum pun tidak mengajukan pertanyaan yang
diperlukan untuk menggali lebih jauh lagi keterangan tersebut. Keterangan tersebut adalah pernyataan terdakwa yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak mengenali John F Kamodi, Hans Fairnap, Zawal Halim (yang dalam laporan KPP HAM diduga
sebagai pelaku lapangan). Jika kita melihat keterangan saksi John F Kamodi serta Zawal Halim di persidangan, mereka semua
menyatakan bahwa mereka mengenali terdakwa karena merupakan anak buah terdakwa, mereka juga menerima APP (Arahan
Pimpinan Pasukan) dari terdakwa sebelum di back up ke Polsek. Di sini terlihat adanya ketidaksesuaian keterangan antara
terdakwa dengan saksi-saksi yang mengaku anak buahnya, sehingga jika saja Hakim serta Penuntut Umum mau menggali dan
mengelaborasi lebih jauh mengenai pernyataan terdakwa ini, maka seharusnya dapat ditemukan adanya hubungan atasan -
bawahan dan keterkaitan antara terdakwa sebagai Komandan dengan tindakan pelanggaran HAM yang berat yang diduga
dilakukan oleh bawahannya .
C. Proses Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena
dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
Undang-Undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP maka
terdakwa harus dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, majelis hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan
mempertimbangkan masalalah pembuktian.
35
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang
sedang diperiksa. KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif seperti yang diatur dalam Pasal
183 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa maka 19:
a. kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
b. berdasarkan keterbuktian tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berikut ini akan diuraikan mengenai proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan JPU dengan cara
membandingkannya dengan semua alat bukti yang dihadirkan di persidangan (perbandingan ditulis dalam bentuk TABEL yang
dapat dilihat di lampiran). Selanjutnya, penulis berusaha untuk memberikan analisis mengenai terbukti atau tidaknya unsur
tindak pidana dengan dukungan alat bukti yang dihadirkan. Diharapkan dengan penguraian ini dapat memberikan gambaran
yang jelas sejauh mana JPU serta Hakim berusaha untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa Abepura tanggal 7 Desember
2000 dan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban terdakwa secara pidana.
a. Pembuktian Unsur-Unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Terdakwa Johny Wainal Usman, didakwa atas tindakan anak buahnya yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa pembunuhan dan penganiayaan. Dengan demikian, yang harus dibuktikan pertama kali adalah unsur-unsur dari
kejahatan terhadap kemanusiaan yakni serangan yang meluas atau sistematis, serta unsur-unsur dari pembunuhan dan
penganiayaan. Apabila dari unsur-unsur tersebut sudah terbukti, maka baru kemudian Hakim serta JPU harus membuktikan
bahwa terdakwa harus bertanggungjawab secara pidana berdasarkan unsur-unsur pertanggungjawaban komando.
19 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 801
36
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
1. Meluas (TABEL 1)20
Semua keterangan ahli sepakat bahwa untuk memenuhi unsur meluas, serangan tersebut harus mencakup lebih dari satu
lokasi, dan korbannya banyak (massive). Beberapa fakta yang terungkap dari keterangan para saksi khususnya saksi korban
adalah serangan tersebut jelas ditujukan ke lima lokasi yakni Asrama Ninmim, Asrama YAWA, pemukiman warga asal Kotalima
Memberamo dan Wamena Barat di Abepantai, daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan dan Asrama IMI. Jumlah korban
banyak, walaupun tidak ada definisi yang baku mengenai kata banyak tersebut, yang jelas berdasarkan alat bukti visum et
repertum yang dihadirkan di persidangan terdapat 17 korban, yang juga tidak dapat dikatakan sedikit. Walaupun beberapa
saksi dari anggota kepolisian menyatakan bahwa beberapa tindakan pemukulan dan penembakan yang mereka lakukan adalah
karena ada perlawanan, yang didukung barang bukti berupa senjata tajam yang dihadirkan Penasehat Hukum, namun
tindakan tersebut jelas tidak proporsional jika dibandingkan dengan jumlah korban. Hal ini cukup memberikan bukti bahwa
telah terjadi tindak penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive), berupa penyiksaan oleh anggota kepolisian / brimob
terhadap warga masyarakat. Banyak warga masyarakat yang ditahan dan di siksa kemudian dipulangkan kesesokan harinya
dengan alasan mereka tidak ada hubungannya dengan gerakan separatis.
Dari keterangan para saksi, khususnya saksi korban, terbukti adanya rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian dan Brimob secara berulang-ulang (lebih jelasnya bisa dilihat di pembuktian unsur penganiayaan) di mana
tindakan penyiksaan tersebut tidak hanya dilakukan pada saat penyisiran namun juga terus dilakukan hingga di tempat
penahanan. Bukti-bukti ini memenuhi unsur bahwa tindakan yang dilakuan adalah tindakan berganda dan bukan tindakan
tunggal.
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur meluas, sebagaimana yang disaratkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan telah
terpenuhi.
20 Keseluruhan TABEL dapat dilihat di LAMPIRAN
37
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
2. Sistematis (TABEL 2)
Berdasarkan keterangan ahli pada tabel, serangan yang sistematis adalah serangan yang merupakan kelanjutan dari kebijakan
negara. Tindakan tersebut biasanya terpola dan terencana, bukan tindakan yang sporadis. Tabel di atas memperlihatkan bahwa
tidak ada saksi korban yang memberikan keterangan yang mendukung pembuktian unsur-unsur sistematis. Sebagian besar
korban tidak mengetahui adanya rencana atau kebijakan yang melandasi tindakan pengejaran dan penyekatan yang dilakukan
anggota Polisi dan Brimob, bahkan mereka tidak mengetahui adanya penyerangan ke Polsek Abepura yang juga menjadi
penyebab dilakukannya pengejaran dan penyekatan. Hal ini dapat dipahami karena korban bukan bagian dari pelaku, namun
seharusnya yang dapat digali dari korban adalah mengenai kebijakan scara umum misalnya dalam menjaga keutuhan NKRI di
mana operasi tuntas Matoa merupakan pelaksanaannya.
Sebaliknya, keterangan para saksi yang diajukan Penasehat Hukum lebih mengungkapkan keadaan Papua pada saat itu di
mana seluruh warga masyarakat menginginkan merdeka terlepas dari Indonesia. Mereka juga menyatakan bahwa anggota OPM
tidak selalu tinggal di hutan tetapi adakalanya mereka bergabung dengan masyarakat sipil di tempat-tempat pemukiman.
Keadaan yang mencekam itulah yang menjadi latar belakang dibuatnya suatu rencana operasi yang dituangkan dalam Operasi
Tuntas Matoa 2000, di mana dalam persidangan ini diperlukan pembuktian bahwa operasi ini merupakan tindakan sistematis
Pemerintah yang ditujukan kepada apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis. Keterangan saksi di atas secara tidak
langsung menjelaskan pola pikir mereka terhadap apa yang mereka sebut sebagai kelompok separatis dan membenarkan
bahwa tindakan pengejaran yang dilakukan aparat kepolisian serta Brimob ke delapan lokasi penyerangan tersebut adalah
karena dugaan mereka bahwa terdapat anggota gerakan separatis yang menyatu dengan penduduk sipil. Tindakan penyisiran
yang mereka lakukan tidak hanya semata-mata untuk menemukan pelaku penyerangan Polsek tetapi juga sebagai bagian dari
Operasi Tuntas Matoa untuk memberantas apa yang mereka sebut gerakan separatis. Walaupun Operasi Tuntas Matoa
38
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
merupakan suatu kebijakan yang sah dan tidak melawan hukum, namun dalam melaksanakan kebijakan tersebut terjadi
tindakan-tindakan melanggar hukum berupa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kejahatan terhadap
kemanusiaan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan pengejaran dan penyekatan yang dilakukan oleh polisi dan
brimob adalah kelanjutan (furtherance) dari kebijakan negara yang sah yakni Operasi Tuntas Matoa 2000 sehingga memenuhi
unsur sistematis.
3. Pembunuhan (TABEL 3)
Tindakan pembunuhan yang harus dibuktikan Majelis Hakim berdasarkan dakwaan JPU adalah tindakan pembunuhan yang
dilakukan kepada korban Elkius Suhuniap, seorang warga suku Yali Anggruk di wilayah Skyline, Jayapura Selatan. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 sekitar pukul 09.30 pada saat Satuan Brimob Polda Irian Jaya/Papua dibawah pimpinan
Brigpol. John Frederik Kamodi mengepung rumah Elkius Suhuniap, dan seorang anggota Brimob langsung menembak Elkius
Suhuniap, yang mengakibatkan kematian.
Kesulitan dari pembuktian tindakan pembunuhan ini adalah tidak adanya saksi mata yang melihat pembunuhan tersebut, hanya
ada satu saksi yakni Agus Kabak yang pada saat terjadinya penembakan tersebut berada di lokasi. Walaupun ia menjadi salah
satu korban penembakan dan mengenali pelakunya adalah Brimob dari pakaian yang dikenakannya, namun sayangnya ia tidak
melihat tindakan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, dari keterangan para saksi korban, tidak didapatkan fakta yang
mendukung bahwa pelaku penembakan tersebut adalah Brimob/Polisi.
Fakta-fakta yang mendukung bahwa korban dibunuh didapatkan dari keterangan saksi adik korban yang menyadari kakaknya
meninggal setelah dilemparkan ke truk polisi, dan beberapa saksi lain misalnya saksi Abraham Soplanit yang menunggu kamar
39
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
jenasah dan menerima 3 jenasah dari polisi untuk buat visum et repertumnya. Keterangan saksi lainnya juga membenarkan
bahwa mereka mengetahui adanya orang yang meninggal.
Keterangan saksi dari kepolisian khususnya Saksi John Frederic Komodi, yang pada saat itu menjabat sebagai Dan Ton dan
bertugas mengawasi daerah Skyland sangat tidak jelas. Walaupun ia mengakui bahwa ia melakukan pengawasan di daerah
Skyland, namun mengelak bahwa anak buahnya melakukan tindakan pembunuhan itu. Di samping itu, terdapat perbedaan
keterangan yang diberikan Saksi John Frederic Komodi di Berkas Perkara dengan di persidangan. Di berkas perkara, Saksi
mengaku bahwa dirinya hanyalah petugas pengawas satwa dan tidak memiliki anak buah, tujuan saksi pergi ke daerah Skyland
adalah untuk mencari jejak satwa bersama 5 orang anggota dan membawa senjata, namun saksi tidak tahu siapa yang
memerintahkannya. Sementara di persidangan saksi mengaku sebagai komandan pleton dengan anak buah 5 orang. Saksi
pergi ke daerah Skyland karena diperintahkan oleh perwira piket untuk melakukan pengawasan dan menjaga keamanan.
Namun, perbedaan keterangan ini tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Hakim, Penuntut Umum ataupun Penasehat Hukum.
Seharusnya keterangan saksi digali lebih jauh lagi sampai menemukan fakta siapa yang menjadi pelaku langsung pembunuhan
tersebut, dan mencari mendalami keterkaitannya dengan pertanggungjawaban terdakwa sebagai Dan Sat.21
Kesulitan lain dalam membuktikan tindakan pembunuhan ini adalah tidak adanya keterangan ahli yang memberikan definisi
tentang pembunuhan. Jika mendasarkan pada unsur-unsur pembunuhan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan
yang diatur dalam Pasal 9 (a) Undang-Undang 26/2000 di mana mensyaratkan bahwa tindakan pembunuhan tersebut harus
21 Jika keterangan yang diberikan saksi berbeda dengan yang terdapat dalam berkas perkara maka kewajiban Majelis Hakim adalah mengingatkan terdakwa akan perbedaan tersebut, ketika saksi bersikuku pada keterangan yang dikemukakan di muka persidangan maka hakim meminta keterangan mengenai perbedaan antara kedua keterangan yang dimaksud, dan dicatat dalam berita acara persidangan, M.Yahya Harahap,...op.cit, hlm. 700, jiga lihat Pasal 163 KUHAP.
40
-
Ekspose hasil eksaminasi putusan pengadilan HAM Abepura dan Timor Timur. ELSAM, November 2007
terdapat rencana karena mendasarkan pada Pasal 340 KUHP22, maka tindakan pembunuhan terhadap Elkius Suhuni