makalah-alfarabi

12
A. Pendahuluan Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf muslim, diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang terbesar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka banyak terjadi perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetap sama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan pada al-Quran dan as-Sunnah. Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang filsuf muslim besar yang terkenal dengan sebutan “Guru Besar Kedua setelah Aristoteles”, beliau adalah Abu Naser atau al-Farabi. Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al- Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. 1 B. Kehidupan, Karya, dan Garis Besar Pemikiran Al-Farabi 1. Kehidupan Al-Farabi 1 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, 2002, hal.32. 1

Upload: bagus-putra-budiarto

Post on 28-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Ilmuan Muslim

TRANSCRIPT

Page 1: makalah-alfarabi

A. Pendahuluan

Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh

beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles

dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf muslim, diantaranya adalah

al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang

terbesar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka banyak terjadi

perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetap

sama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan

pada al-Quran dan as-Sunnah. Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada

sejarah pemikiran salah seorang filsuf muslim besar yang terkenal dengan sebutan

“Guru Besar Kedua setelah Aristoteles”, beliau adalah Abu Naser atau al-Farabi.

Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,

kreatifitas, kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-

Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-

Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam

Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru

Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.1

B. Kehidupan, Karya, dan Garis Besar Pemikiran Al-Farabi

1. Kehidupan Al-Farabi

Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab

(Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih

akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya

Muhammad Auzlagh adalah seorang panglima perang Persia yang kemudian

menetap di Damsyik. Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut

orang Persia atau orang Turki.2

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah

mendapat pendidikan awal, Al-farabi belajar logika kepada orang Kristen

Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa

kekhalifahan Al-Muta'did tahun 892-902M, Al-farabi dan Yuhanna ibn Hailan

pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya

banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa

1 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, 2002, hal.32.2 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pustaka Setia: Bandung, 2009, hal.80.

1

Page 2: makalah-alfarabi

Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi tahun 902-908M dan awal kekhalifahan Al-

Muqtadir pada tahun 908-932M Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad

menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di

sana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat. pada umur

80 tahun Al-Farabi wafat pada tahun 950 M.3

2. Karya-karya Al-Farabi

Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat

dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain.

Tentang logika, al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal

pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama,

baik ditinjau dari sudut waktu atau temporal maupun dari sudut logika. Sedang

karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat,

fisika, matematika, dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh

al-Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato

dan Aristoteles. Dianatara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah:

1) Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah

2) Ihsha’ al-Ulum

3) Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah

4) Kitab Tahshil al-Sa’adah

5) ‘U’yun al-Masa’il

6) Risalah fi al-Aql

7) Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain

8) al-Aflatun wa Aristhu

9) Risalah fi Masail Mutafariqah

10) Al-Ta’liqat

11) Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.4

3. Garis Besar Pemikiran Al-Farabi

Secara garis besar pemikiran al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema,

yaitu: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan

yang berisi sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Namun disini hanya

akan dikupas tiga pemikiran besar yakni emanasi, kenabian dan politik (system

pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-

3 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1995, hal.264 Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, CV.Rosda: Bandung, 1988, hal.133

2

Page 3: makalah-alfarabi

Fadhilah. Buku ini terdiri atas dua bagian besar, (1) membahas persoalan

metafisika dan (2) persoalan sosial politik. Pembahasan tentang metafisika. Antara

lain, membahas tentang Tuhan, malaikat, penghuni-penghuni langit, alam indera,

binatang dan lainnya. Disini juga membahas cara penurunan (emanasi atau faidl)

dari Tuhan Yang Maha Ghaib sampai terwujudnya alam indera. Juga membahas

tentang akal (rasio), macam-macamnya dan tingkatannya. Sedangkan tentang

politik. Antara lain, membahas kehendak sosial dari manusia, persyaratan sebagai

seorang pemimpin, pemimpin negara utama, dan lainnya.5

C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi

1. Filsafat Emanasi

Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak timbul dari Yang

Satu. Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak,

Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kemudian bagaimana terjadinya

alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu, Al-Farabi menjelaskannya

melalui filsafat emanasi/pancaran.

Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul

suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu

timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama yang

tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dar

pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal

Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama.

Wujud/Akal Tuhan Dirinya

Wujud III/Akal Kedua Wujud ke IV/Akal Ketiga Bintang-bintang

Wujud IV/Akal Ketiga Wujud V/Akal Keempat Saturnus

Wujud V/Akal Keempat Wujud VI/Akal Kelima Jupiter

Wujud VI/Akal Kelima Wujud VII/Akal Keenam Mars

Wujud VII/Akal Keenam Wujud VIII/Akal Ketujuh Matahari

Wujud VIII/Akal Ketujuh Wujud IX/Akal Kedelapan Venus

Wujud IX/Akal Kedelapan Wujud X/Akal Kesembilan Mercury

Wujud X/Akal Kesembilan Wujud XI/Akal Kesepuluh Bulan

5 Thawil akhyar dasuki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama Semarang: Semarang, 1993, hal.26

3

Page 4: makalah-alfarabi

Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau

timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh

dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan

tanah. Sehingga ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langi

(sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal Kesepuluh mengatur dunia yang

ditempati manusia ini. Tentang qidam atau barunya alam. Al-Farabi menentang

teori Aristoteles bahwa alam adalah kekal. Al-Farabi berpendapat bahwa alam

terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara

berangsur-angsur, namun sekaligus dengan tak berwaktu.

Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat

bahwa bagi Al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari

alam memancar dari wujud Allah dan Pemancaran itu terjadi dari qidam.

Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali

bersifat qidam. Akal Kesepuluh memancarkan jiwa manusia sebagaimana halnya

dengan materi asal.6

Adapun Akal Kesepuluh dinamakan akal yang aktif bekerja, yang oleh orang

Barat disebut active intelect), yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala

yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan

hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari

matahari. Akal Manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena

mendapat cahaya dari Akal Aktif.

2. Filsafat Kenabian

Akal yang sepuluh itu dapat disamakan dengan malaikat dalam faham islam.

Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui komunikasi

dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat menerima wahyu

karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.

Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena

Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam berkomunikasi

dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof

mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi,

kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal mustafad (acquired

intellect). Sedangkan Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad

untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya

6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1995, hlm 29.

4

Page 5: makalah-alfarabi

dengan imaginasi yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh

pancaindera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan

perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.7

Oleh karena filosof dan Nabi atau Rosul mendapat pengetahuan mereka dari

sumber yang satu yaitu akal kesepuluh, maka pengetahuan filsafat dan wahyu

yang diterima Nabi tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan

dengan akal kesepuluh, yang dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan

dengan kebiasaan.

3. Filsafat Politik

Al farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sultan saif Al-

Daulah. Al-Farabi paling banyak disibukkan dengan masalah-masalah sosial.

Meskipun dia tidak pernah memangku jabatan resmi dalam pemerintahan,

pemikiran filsafatnya tidak bersifat khayalan semata. Al-Farabi menuangkan

pemikiran filsafatnya tentang politik dalam berbagai karangannya, dan dua

karangannya yang funda mental adalah al-siyasah al madinah (politik negeri) dan

Aro’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beberapa Pemikiran Tentang Negeri Utama).

Melalui buku itu cukuplah jika Al-farabi ditempatkan dalam klasifikasi orang-

orang yang berfikir secara sistematis tentang teori-teori politik.8

Menurut al-farabi, manusia adalah makhluk yang bersifat sosial yaitu mahluk

yang hidupnya berkelompok dan bermasyarakat. Karena, kehidupannya selalu

bergantung satu sama lain sehinggal tidak mungkin untuk hidup individualistis.

Kehidupan bermasyarakat ini dimaksudkan untuk kepentingan bersama dalam

mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Kemudian, alfarabi membagi

masyarakat menjadi dua macam yaitu:

1. Masyarakat Sempurna

Yaitu masyarakat dalam kelompok besar seperti masyarakat kota. Bisa juga

masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan bekerja sama

dalam hubungan internasional.

2. Masyarakat tidak Sempurna

Yaitu kelompok masyarakat yang hidup dalam jumlah kecil, sperti masyarakat

dalam satu keluarga, atau dalam satu desa.

7 Ibid, hal.328 Oemar Amien Husein, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964, hal.88.

5

Page 6: makalah-alfarabi

Dalam kitab Aro’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beberapa Pemikiran Tentang

Negeri Utama). Al-Farabi membagi negara atau pemerintahan menjadi lima9:

1. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)

2. Negara Jahil (al-Madinah al-Jahilah)

3. Negara Sesat (al-Madinah al-Dhalah)

4. Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqoh)

5. Negara Berubah (al-Madinah al-Mustabadilah)

Akan tetapi pembahasan hanya terfokus pada masalah yang pertama yaitu

Negara Utama. Masyarakat negara utama adalah masyarakat sempurna yang

bagian-bagian pemerintahannya sudah lengkap dan pusat dari segalanya

adalah kepala negara yaitu subagai pengatur danpenggerak dalam setiap

bagian dalam pemerintahan.

Tampaknya pembagian Al-Farabi mengenai bagian-bagian kota utama

merupakan perkembangan yang terjadi kemudian, yang lebih teknis dan yang

disesuaikan dengan realitas politik dizamannya. Yang paling unggul diantara

yang paling bajik adalah tentu saja golongan yang melahirkan penguasa.

Namun sesungguhnya para raja dan pangeran merupakan bagian dari situasi

yang telah ada, bahkan siap berspekulasi bahwa Al-Farabi kiranya siap

menerima Saif Al-Daulah sebagai “raja yang sesuai dengan hukum”.10

Oleh karena itu syarat yang diberikan al-Farabi untuk menjadi kepala

negara bisa dibilang cukup tinggi yaitu: bertubuh sehat, berani, kuat, cerdas,

pecinta pengetahuan, serta keadilan dan memiliki akal mustafid yang dapat

berkomunikasi dkengan aksi kesepuluh, pengatur bumi dan penyampai wahyu.

Sehingga orang yang paling cocok untuk menjadi kepala negara yang sesuai

syarat diatas adalah nabi atau rasul. Sehingga, apabila syarat untuk menjadi

kepala negara yang diajukan alFarabi tidak dimiliki oleh seseorang tetapi

dimiliki oleh beberapa orang, maka mereka secara bersama harus bersatu

dalam memimpin dan mengatur negara sebagai kepala negara.

Meskipun kepala negara adalah pusat dari pemerintahan tetapi diantara

pelaksanaan pemerintahan antara negara dan warganya harus saling membantu

dan bekerja sama serta rela berkorban untuk kepentingan bersama dan

9 Ibid, hal.8310 Yamani, Antara Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, MIZAN: Bandung, 2003, hal.70.

6

Page 7: makalah-alfarabi

kepentingan negara. Dilihat dari sisi ini berarti al-Farabi menepiskan bentuk

negara kapitalisme dan sosialisme komunis.

Sebenarnya dalam penetapan kriteria sifat kepala negara al-Farabi

terpengaruh oleh pemikiran plato. Tetapi ada perbedaan yang mendasar antara

pemikiran keduanya dari sisi kejasmanian saja, sedangkan al-Farabi dalam

pemikirannya menekankan kejasmanian dan spiritualan dan dia juga

menambahkan bahwa kepala pemerintahan harus bisa berhubungan dengan

akal kesepuluh. Sehingga, bisa disebut bahwa Al-Farabi adalah plato dalam

mantel Nabi Muhammad.

D. Penutup

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok

pembahsan dalam makalah ini. tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan

karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada

hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan

kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini

dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khusunya

dan bagi pembaca pada umumnya.

7

Page 8: makalah-alfarabi

DAFTAR PUSTAKA

Amien Husein , Oemar. 1964. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Hasyimsah, Nasution. 2002. Filsafat Islam. Gaya Media Pratama: Jakarta

Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Bulan Bintang: Jakarta

Poerwantana dkk. 1988. Seluk-Beluk Filsafat Isla., CV.Rosda: Bandung

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Pustaka Setia: Bandung

Thawil akhyar dasuki. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Dina Utama Semarang:

Semarang

Yamani. 2003. Antara Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam. MIZAN: Bandung

8