makalah asas pembuktian terbalik
TRANSCRIPT
i
MAKALAH
TINDAK PIDANA UMUM
ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KUHAP
Oleh:
ERIK SOSANTO
EAA 110 039
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2012
ii
HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH
Diajukan kepada I GUSTI KOMANG DION IRAWAN SATRIADI, SH.,MH
Selaku dosen pengasuh TINDAK PIDANA UMUM
Untuk memenuhi salah satu syarat pemenuhan nilai
Nama : ERIK SOSANTO
Nim : EAA 110 039
Jurusan : ILMU HUKUM
Kelompok : A
Judul Makalah : ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KUHP
Ttd : . . . . . . . . . . . . . . . . .
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2012
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-
Nya dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan
kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas
dan pedoman yang berjudul asas pembuktian terbalik dalam KUHAP.
Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber
buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan asas pembuktian terbalik
dalam KUHAP yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali
kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat
dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis
miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.
Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
iv
Palangka Raya, 26 November 2012
Penulis,
ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penulisan ....................................................................................... 3
1.5. Metode Penulisan ........................................................................................ 4
1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 5
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP ................................................. 7
2.2 Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 11
2.3 Problematik Beban Pembuktian Terbalik .................................................... 15
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 17
3.2. Saran ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menutup rapat kabinet terbatas
bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, pada hari
Senin tanggal 17 Januari 2011 yang lalu mengeluarkan 12 Instruksi Presiden
terkait dengan kasus mafia hukum dan mafia pajak oleh Gayus HP Tambunan.
Adapun 2 Instruksi Presiden tersebut yang menarik untuk dikaji dalam rangka
pelaksanaan penegakan hukum saat ini adalah : Pertama, Guna meningkatkan
efektivitas, penanganan kasus Gayus HP Tambunan agar metode pembuktian
terbalik dapat dilakukan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, untuk mengamankan dan mengembalikan aset negara, termasuk
dilakukan perampasan terhadap uang yang diduga didapat dari hasil korupsi.
Dikatakan Presiden, tekad pemerintah dan aparat penegak hukum adalah
menuntaskan penindakan hukum terhadap mereka yang bersalah dalam kasus
Gayus Tambunan dengan tiga sasaran. Pertama, hukum benar-benar ditegakkan,
dan mereka yang bersalah diberikan sanksi yang sesuai. Kedua, dilakukan
penataan organisasi, posisi, dan jabatan di sejumlah lembaga yang diduga
terdapat penyimpangan. Ketiga, menutup atau memperbaiki titik lemah atau
lubang hukum agar kasus serupa pada masa mendatang tak terulang. Bahwa
tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama
dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian uang, yang sudah ada sejak
manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Yang menjadi masalah adalah
meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi.
2
Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju
pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong
orang untuk melakukan korupsi. Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara. Dengan
demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara
yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian
yang dibebankan kepada terdakwa. Namun di dalam KUHP kewajiban
pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai
dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHP Bab XVI bagian ke
empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP), sehingga asas pembuktian terbalik di
dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia tidak di atur. Pada hakikatnya
asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum pidana Indonesia
dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU
No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Jika
menginginkan pembuktian terbalik bisa diandalkan menjerat,
mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi
penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system), sistem
pembuktian terbalik wajib diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak
hukum seperti jaksa, hakim, polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang
menjadi pilar bekerjanya law enforcement. Teori pembuktian yang selama ini
diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak
bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),
tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi.
Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah,
'pembuktian negatif' tidak mudah diterapkan.
3
1.2 Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu
hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP ?
b. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ?
c. Problematik Beban Pembuktian Terbalik ?
Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan
dengan mengacu pada perspektif asas pembuktian terbalik dalam KUHAP.
1.3 Tujuan Penulisan
Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia
dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari
suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis
hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang
ingin dicapai yaitu sebagi berikut :
a. Mengetahui pengaturan dan muatan asas pembuktian terbalik dalam
KUHAP.
b. Mengetahui dan memahami Problematik Beban Pembuktian Terbalik.
1.4 Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan isu hukum yang diangkat dalam tulisan hukum ini, maka
diharapakan nantinya dapat memberikan suatu manfaat sebgai berikut :
a. Secara teoritis, bahwa penulisan makalah ini merupakan sumbangan
pemikiran penulis, dalam kerangka pembinaan dan pengembangan
pendidikan dan pengetahuan bidang hukum kedepan, khususnya untuk telaah
hukum yang sifatnya normatif.
4
b. Secara praktis, penulisan makalah ini diharapakan dapat menjadi bahan
masukan bagi semua pihak yang membacanya, khususnya Sebagai media
untuk menambah wawasan serta Bahan referensi aktual dan Bahan bacaan
serta pengetahuan.
c. Secara akademik, penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi tugas dari dosen pengasuh mata kuliah pada fakultas hukum
universitas palangka raya.
1.5 Metode Penulisan
1.5.1 Metode pendekatan
Dalam rangka menjadikan analisis rumusan masalah menjadi terarah
dan sesuai dengan tujuan penulisan, maka diperlukan suatu metode
pendekatan, yang dalam konteks penulisan ini penulis menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode dengan instrumen
penekanan analisis pada asas-asas hukum berupa peraturan perundang-
undangan yang memberikan pengaturan terkait isu hukum yang diangkat
dalam tulisan hukum ini dan merupakan bagian bahan hukum primer,
dimana selajutnya diperjelas dan didukung berdasakan pendapat para ahli
atau sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum, maupun
karya tulis yang telah ada sebelumnya, sehingga didapat penjelasan bersifat
komprehensif sehubungan dengan judul dari makalah ini.
1.5.2 Bahan-bahan hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang terdiri dari
sejumlah peraturan perundang-undangan yaitu.
1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
2) UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
5
4) KUHP dan KUHAP.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum berupa pendapat para ahli
atau sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum,
maupun karya tulis yang telah ada sebelumnya, dengan fungsi
memberikan penjelasan terhadap hal yang diatur dalam peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan
arti terhadap istilah-istilah hukum yang terdapat dalam tulisan ini,
berupa kamus-kamus bahasa baik bersifat umum(kamus bahasa
indonesia) maupun bersifat khusus (kamus hukum belanda-indonesia).
1.5.3 Sumber Bahan Hukum
Keberadaan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan
makalah ini bahan hukum primer,sekunder dan tersier diperoleh melalui
penulisan kepustakaan serta diperlukan untuk mencari landasan teoritis
bagi analisa permasalahan yang telah dirumuskan, dengan mendasarkan
pada konsep-konsep, teori-teori dan prinsip-prinsip maupun kaidah-kaidah
hukum.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis
besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk
dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman
bersifat komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
6
Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang ditujukan
untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal) permasalahan
yang dirumuskan pada bab I yaitu :
1) Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP.
2) Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
3) Problematik Beban Pembuktian Terbalik
BAB III PENUTUP
Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah
dideskripsikan pada BAB I - BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan
dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP
Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau
menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.” Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam
Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi :
a. Alat Bukti yang sah ialah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk, Keterangan terdakwa.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama
dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi
bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh
jaksa penuntut umum dan penasehat hukum. Alat-alat bukti yang dapat
dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi,
surat-surat dan keterangan tersangka (pasal 188 ayat 2 KUHAP). Alat bukti
petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga
alat bukti dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP, melainkan dapat diperluas di luar tiga
alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 26 A
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan.
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain
8
kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi
yang dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang
No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada
dalam KUHAP. Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan
sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan
pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183
sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas
pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP)
tidak diatur. Sesuai dengan pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan
asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada
umumnya, melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam
peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan
undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim. Istilah pembuktian
terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah
dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah
ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het
bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas
menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang
akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian
terbalik. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu
pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya
sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan
tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan
beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
“pembuktian terbalik” Kalimat tersebut sungguh tepat karena tanpa meletakan
kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa
9
kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa
sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja. Dikaji dari
perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang
beban pembuktian, yaitu:
a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-
undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki
hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.
Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan
delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab
penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut
umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Konsekuensi logis teori
beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat
bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah
meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban
pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak
bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban
pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal 66 KUHAP
dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan
beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.
b. Beban Pembuktian pada Terdakwa
Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku
tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang
akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,
terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori” Pembalikan
Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of
10
Proof/ Onus of Proof”). Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa
dalam menggunakan haknya, yaitu:
a. Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana
didakwakan oleh Penuntut Umum.
Syarat ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHP, yang
menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak
pidana, bukan terdakwa. Terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
b. Ia berkewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya sendiri, harta benda isterinya, atau suami (jika terdakwa adalah
perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada
kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Ia berkewajiban memberi
keterangan tentang asal usul perolehan hak atau asal usul pelepasan hak.
Perolehan/ pelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana; dan siapa-siapa
saja, yang terlibat dalam perolehan/ pelepasan hak itu serta mengapa dan
sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi.
Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat
diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat
murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya,
pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan
hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap
tindak pidana korupsi.
c. Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau
Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya
Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan
sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya
bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
11
melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini
dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.
Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak ukur
Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi
menjadi 2 (dua) kategorisasi yaitu:
a. Sistem beban pembuktian “biasa” atau konvensional”, Penuntut Umum
membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti
sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat
menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai
ketentuan Pasal 66 KUHAP.
b. Teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi
menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau
“murni” bahwa terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya membuktikan
ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian
yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut
saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa.
2.2 Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut
sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat dalam Pasal 37 yang
memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap harta
benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun
1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori
pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih
jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B. Dasar hukum
12
munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan : ketentuan dari
delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang
dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada
undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene maatregelen van
bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain. Jadi, dalam hal ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di
dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah
mengesampingkan aturan umum (Lex specialis derogate Legi Generali). Dengan
kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan
di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam KUHP. Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan
perbuatan korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya
terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP),
membuat palsu atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau
janji (Pasal 418, 419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP). Pada
hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata kurang
efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan
yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap
pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem
pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum
(Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem
Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap
membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam
“certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan
mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau
dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun
tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal
13
mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan
penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.
Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan
pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni :
“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”. Kata-
kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila
terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak
pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan
korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa
ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa
dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang
tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.
Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output
tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar
dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana
korupsi yang didakwakan. Jadi, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori
pembuktian, yakni :
a. Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta
berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun
1999, sebagai berikut:
1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
14
2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.
3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya,
maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaaannya.
b. Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.
Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183
KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana
beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya
berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya
dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di
persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari
tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak
15
pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana
atau ahli warisnya.
2.3 Problematik Beban Pembuktian Terbalik
Ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang
beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban
pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoritis dan praktik.
Menurut penulis, tidak secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan
norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU
31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi : “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : (a) yang
nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
(b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama,
dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan tersebut
menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian
terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada
penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi,
“yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada
penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas
mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan
16
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka
adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas
dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban
Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang
bersangkutan. Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran
ketentuan UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi
merumusan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga
yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kedua, terdapat pula
kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20
Tahun 2001 sepanjang redaksional “….dianggap pemberian suap”. Apabila
suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “…dianggap pemberian
suap” akan tetapi sudah termasuk tindakan “penyuapan”. Eksistensi asas beban
pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada
gratifikasi dengan redaksional “...dianggap suap” akan tetapi harus kepada dua
unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan
dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang
bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn plicht). Ketiga, Hakikatnya,
dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan
orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bertentangan
dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga
menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah
(presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).
Selain itu berlawanan dengan ketentuan hukum acara pidana yang mensyaratkan
terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal
66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2). Dari apa yang telah diuraikan di atas maka
sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia
“ada” ditataran kebijakan legislasi akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa”
dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
a. Istilah pembuktian terbalik sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal
sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila
diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”.
Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila
diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.
b. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber
panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.
c. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik
adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses
pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan
dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika
dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa
yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum
18
didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang
diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan
gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.
d. Terdapat problematik bersifat krusial dalam UU Tindak pidana Korupsi yang
menjadikan kesalahan fundamental. Pertama, dikaji dari perumusan tindak
pidana (materiele feit) ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan
ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban
pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi. Kedua,
terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma tentang suatu
gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara
Negara. Ketiga, dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang
terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM), yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian
menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga
korupsi (presumption of corruption).
e. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian
atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap
(gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU
No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban
pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38
b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
f. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan
harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus
berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya
bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.
19
3.2 Saran
Pembuktian terbalik diharapkan dapat diandalkan menjerat,
mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi
penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system),jika
diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak hukum seperti jaksa, hakim,
polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law
enforcement. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dapat
diterapkan pada tindak pidana memperkaya diri sendiri dengan merugikan
keuangan Negara dengan kata lain pembalikan beban pembuktian tindak pidana
korupsi dapat digunakan untuk mengetahui apakah harta benda yang dimiliki
berasal dari sumber yang halal atau tidak.
20
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Refrensi :
http://ditpolairdajambi.blogspot.com/2011/07/pembalikan-beban pembuktian_04.html
Peraturan Perundang-Undangan :
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
KUHP dan KUHAP.