makalah biofarmasetika
DESCRIPTION
farmasiTRANSCRIPT
1. Pendahuluan
Latar Belakang Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling
umum dalam penelitian dan pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi
pemberian oral tidak selalu menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat
diterima oleh pasien. Obat yang absorpsinya tidak baik di saluran gastrointestinal
dan tidak stabil oleh enzim proteolitik merupakan beberapa masalah pada
pemberian obat pada rute oral. Beberapa obat menyebabkan iritasi lokal pada
lambung atau saluran gastrointestinal atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500
mg. Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak, orang tua dan pasien yang
sulit menelan, seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tablet dan kapsul oral.
Sebagai tambahan, pengobatan beberapa penyakit paling baik dilakukan dengan
pemberian langsung pada tempat yang sakit, umumnya pada penyakit di mata,
mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal. Pemberian oral dapat
digunakan untuk tujuan drug targeted
untuk jaringan yang terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh kompartemen
tubuh pada pemberian obat melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek yang
tidak diinginkan. Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran
obat lokal dan sistemik. Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati
penyakit local pada area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai
alternatif dari pemberian oral. Obat-obat yang mengalami metabolismee lintas
pertama ketika diberikan oral, masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat
tersebut melalui rute rektal. Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat
dalam berbagai bentuk sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa ( foam),
krim maupu controlled release.
Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian yang
umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk
penggunaan tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute
penghantaran obat alternatif yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI REKTUM
Kolon dan rektum adalah bagian dari sistem pencernaan tubuh, yang
menghilangkan nutrisi dari makanan dan toko-toko limbah sampai lolos keluar
dari tubuh. Bersama-sama, kolon dan rektum bentuk panjang, tabung berotot yang
disebut usus. Panjang rektum kira-kira 15 cm, berakhir di anus. Tanpa adanya
bahan fekal, rektummempunyai sejumlah kecil cairan (kurang lebih 2 ml) dengan
pH sekitar 7. Rektum diperfusioleh vena hemorrhoid superior, tengah dan inferior.
Vena hemorrhoid inferior (dekat dengansfinkter anal) dan vena hemorrhoid
tengah masuk ke dalam vena kava dan kembali ke jantung. Vena hemorrhoid
superior bergabung dengan sirkulasi mesenterika, masuk ke dalamvena porta
hepatika dan kemudian ke liver.
Pemberian obat rektal adalah obat yang cara pemberiannya melalui dubur
atau anus. Maksudnya adalah mempercepat kerja obat serta bersifat lokal dan
sistematik. Biasanya adalah obat pencahar atau obat agar bia buang air besar.
Biasanya dalam lingkup rumah sakit pada pasien yang akan operasi besar ataupun
sudah lama tidak bisa buang air besar. Dan pemberian obat yang benar juga harus
diperhatikan.
Dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan
ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek
terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar.
Contoh pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac supositoria
yang berfungsi secara lokal untuk meningkatkan defekasi dan contoh efek
sistemik pada obat aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus.
Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat pada dnding rektal yang
melewati sfingter ani interna. Kontra indikasi pada pasien yang mengalami
pembedahan rektal.
Obat rektal adalah obat yang ditujukan untuk pengobatan local atau
keadaan-keadaan yang dibutuhkan seperti:
1. penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
2. bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam
atau oleh enzim usus.
3. bila zat aktif mengalami kerusakan pada perlintasan pertama melalui hati.
4. Kerugian pemberian obat melalui rektum adalah :
tidak menyenangkan
absorpsi obatnya tidak teratur
Onset of action lebih lama
Jumlah total zat aktif yg dapat diabsorbsi kadang - kadang lebih kecil
dari rute pemberian yang lain
dosis dan posisi absorbsi dapat menimbulkan peradangan bila
digunakan secara terus menerus.
Rektum dialiri oleh tiga jenis haemorrhoidales :
1. venae haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum inferior,
selanjutnya masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah langsung ke
peredaran umum.
2. venae haemorrhoidales medialis dan vena haemorhoidales inferior yang
bermuara ke venae cava inferior dengan perantara venae iliaca interna selanjutnya
membawa darah ke peredaran umum (kecuali hati)
persarafan rektum terdiri dari:
1. anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus harmorrhoidales
superior)
2. anyaman haemorrhoidales yang keluar dari plexus hipogastricum
3. saraf haemorhoidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari
plexus sacralis.
4. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja supositoria dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
1. supositoria berefek mekanik
bahan dasar supositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan. Supositoria
mulai berefek bila terjadi kontak yang menimbulkan refleks defikasi, namun pada
keadaan konstipasi refleks tersebut lemah. Pada efek kontak tersebut terutama
pada supositoria gliserin terjadi fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas
gliserin terhadap air. Hal tersebut menimbulkan gerakan peristaltik
2. supositoria berefek setempat
termasuk dalam kelopok ini adalah supositoria anti wasir. Yaitu senyawa yang
efeknya disebabkan oleh adanya sifat astringen atau peringkas pori. Ke dalam
basis supositoria yang sangt beragam kadang-kadang ditambahkan senyawa
peringkas pori baik dengan cara penyempitan maupun hemostatik. Dalam formula
supositoria sering terdapat senyawa penenang. Obat tersebut bekerja secara
rangkap baik terhadap perifer maupun sentral yang terakhir ini sepenuhnya
berefek sistemik.
3. supositoria berefek sistemik
adalah supositoria yang mengandung senyawa yang diserap dan berefek pada
organ tubuh selain rektum. Pada kelompok ini termasuk supositoria nutritif,
supositoria obat.
Supositoria Nutritif
Digunakan pada penyakit tertentu dimana saluran cerna tidak dapat
menyerap makanan. Jumlah senyawa yang diserap tentu saja sedikit,
namun sudah cukup untuk mempertahankan hidup.
Supositoria Obat
Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai
efek sistemik dan bukan efek stempat. Bila supositoria obat dimasukan ke
dalam rektum pertama-tama akan timbul efek refleks, selanjutnya
supositoria melebur atau melarut dalam cairan rektum hingga zat aktif
tersebar dipermukaan mukosa, lalu berefek setempat dan selanjutnya
memasuki sistem getah bening. Obat yang masuk ke peredaran darah akan
berefek spesifik padda organ tubuh tertentu sesuai dengan efek
terapetiknya.
B.RUTE REKTAL
Lima puluh persen aliran darah dari rektum memintas sirkulasi portal
(melalui hati biasanya pada rute oral), sehingga biotransfortasi obat oleh hati
dikurangi. Bagian obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung
mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Keuntungan pemberian
melalui rektal (juga sublingual) dl mencegah penghancuran obat oleh enzim usus
atau pH dalam lambung.
Supositoria, yang dipakai secara rektal mengandung zt aktif yang
tersebarkan (terdispersi) di dalam lemak yang berupa padatan pada suhu kamar
tetapi meleleh pada suhu sekitar 35ºC, sedikit di bawah suhu badan. Jadi setelah
disisipkan ke dalam rektum sediaan padat ini akan meleleh dan melepaskan zat
aktifnya yang selanjutnya terserap dalam aliran darah.
Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat
diserap oleh mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat,
karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi
darah, serta terhindar dari pengrusakan obat dari enzim didalam saluran gastro-
intestinal dan perubahan obat secara biokimia didalam hepar.
Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati
dahulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
1. lewat pembuluh darah secara langsung
2. lewat pembuluh getah bening
3. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Menurut Ravaud Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara
langsung lewat inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat
aktif melalui vena iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund
bahwa penyerapan dimulai dari vena haemorrhoidalles inferior terutama vena
haemorrhoidalles superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior.
Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui saluran
toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier
pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeable sempurna.
Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu
penyerapan juga tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak
dapat diberlakukan secara umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh
mukosa rektum.
Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum,
sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada rektum
kososng, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih
kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rektum
tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran
darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect).
Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rectalis
superior disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya
thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat didalam rektum yang tergantung
dari basis supositoria yang digunakan, dapat menentukanrutenya kesirkulasi
darah. Supositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal pada
gangguan poros-urus, misalnya wasir.
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal :
1. Faktor Fisiologis
Rektum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas daparnya
rendah. Epitel rektum keadaannya berlipoid, maka diutamakan permiabel terhadap
obat yang tak terionisasi. Jumlah obat yang diabsorpsi dan masuk keperedaran
darah umumnya tergantung dimana obat itu dilepas direktum.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
Urutan peristiwa yang menuju absorpsi obat melalui daerah anorektal
secara diagram adalah sebagai berikut :
Obat dalam pembawa → Obat dalam cairan – cairan kolon → Absorpsi melalui
cairan rektal.
Bila jumlah obat dalam cairan renal ada diatas level yang menentukan laju
maka peningkatan konsentrasi obat yang nyata tidak mempunyai peranan dalam
mengubah laju absorpsi obat yang ditentukan. Tetapi konsentrasi obat
berhubungan dangan laju penglepasan obat dari basis supositoria. Adanya
surfaktan dapat atau tidak dapat mempermudah absorpsi tergantung pada
konsentrasi dan interaksi obat yang mungkin terjadi. Ukuran partikel obat secara
langsung berhubungan dengan laju absorpsi.
absorpsi obat dari daerah anorektal dipengaruhi oleh faktor fisiologis :
• isi kolon
• sirkulasi
• pH
Karakteristik fisika kimia obat yang mempengaruhi absorpsi :
• koefisisn partisi lemak atau air
• derajat ionisasi.
Faktor yang berhubungan dengan laju absorbsi :
• Kelarutan obat
Pelepasan obat tergantung koefisien partisi lipid air dari obat. Artinya obat
yang larut dalam basis lipid dan kadarnya rendah mempunyai tendensi kecil untuk
cairan rektal. Dan obat yang sedikit larut dalam basis lipid dan kadarnya tinggi
akan segera masuk didalam cairan rektal.
a. Kadar obat dalam basis
b. Difusi obat dari basis supositoria merupakan fungsi kadar obat dan sifat
kelarutan obat dalam basis. Pengangkutan melewati mukosa rektum adalah
proses difusi sederhana, maka bila kadar obat dalam cairan renal tinggi
maka absorpsi obat akan menjadi cepat dan kecepatan absorpsi makin
tinggi bagi bentuk obat yang tidak terdisosiasi.
a. Ukuran partikel
c. Bila kelarutan obat dalam air terbatas dan tersuspensi didalam basis
supositoria maka ukuran partikel akan mempengaruhi kecepatran larutan
dari obat ke cairan renal.
a. Basis supositoria
d. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan dilepas
segera kecairan renal bila basis cepat melepas setelah masuk kedalam
rektum, dan obat akan segera diabsorpsi serta kerja awal dari aksi obat
akan segera nyata. Bila obat yang larut dalam air dan berada dalam basis
larut air kerja awal dari aksi obat akan segera nyata apabila basis tadi
segera larut dalam air.
Kenyataan bahwa rektum atau kolom merupakan tempat absorpsi obat
yang dapat diandalkan terbukti dengan baik. Untuk menjaga keefektifan terapis
obat dalam suatu sediaan harus dilakukan pemilihan garam obat dan basis yang
sesuai.
.C. KINETIKA PRE-DISPOSISI ZAT AKTIF
Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan, pemindahan,
pelarutan dan penembusan ke cairan rektum dan keseluruhan proses itu
dirangkum dalam istilah ”kinetik pelepasan atau kinetik predisposisi” (A)
sedangkan fenomena difusi dan penyerapan disebut ” Kinetika penyerapan” (B).
Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling dipisahkan
dan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada berbagai tahap tersebut.
• pelelehan/peleburan; suppo melunak→leleh → zat aktif berpindah ke cairan
rektum → proses difusi →abs.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINETIK PRE-DISPOSISI ZAT AKTIF
Karena pemberiannya secara khusus ada kemumgkinan terjadi refleks penolakan
melebihi cara pemberian bentuk sediaan lain maka supositoria harus melepaskan
zat aktifnya agar segera menimbulkan efek seefektif cara pemberian oral.
Kecepatan dan keefektifan sediaan supositoria sangat ditentukan oleh afinitas
basis terhadap zat aktif, parameter yang harus diperhatikan pada semua keadaan.
Kinetik predisposisi terdiri atas dua tahap yaitu:
1. penghancur sediaan
ini ditujukan untuk pemberian lavement yang mengandung larutan zat aktif yang
menimbulkan efek farmakologi jauh lebih cepat dari pemberian supositoria yang
mengandung zat akti yang sama. Ini telah dibuktikan bahwa semakin tinggi suhu
lebur zat pembawa maka efek farmakologik yang ditimbulkan semakin lambat,
dan tentu saja tidak terjadi untuk supositoria yang melebur pada suhu 42-430 C.
2. pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum diikuti difusi
menuju membran yang akan dibacanya (untuk efek setempat) atau berdifusi
melintasi embran agar dapat mencapai siste peredaran darah( efek sistemik).
Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada
mukosa rektum ( merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang terkait)
tidak hanya sebagai fungsi dari sifat lapisan yang terpapar namun juga
keadaannya dalam supositoria dan beberapa sifat fisiko kimianya.
• Sifat zat aktifnya
• Kelarutan zat aktif
• Koefesien partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum.
D.FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINETIKA PENYERAPAN ZAT
AKTIF YANG DIBERIKAN PER-REKTUM
Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga
mempengaruhi proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intra vena
dan intaarteri. Penyerapan perrektum dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
• Kedudukan supositoria setelah pemakaian
• Waktu-tinggal supositoria didalam rektum
• pH cairan rektum
• konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum
KETERSEDIAAN HAYATI
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan
respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
F.OPTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI SUPOSITORIA
Kemampuan penembusan dan penyerapan obat dengan pemberian secara
rektal terutama tergantung pada sifat fika kimianya. peranan bahan pembawa pada
peristiwa ini sangat kompleks sehingga dengan pemilihan bahan pembawa yang
sesuai maka kemungkinan ketersediaan hayati dari zat aktif dapat diperbaiki.
Faktor Fisika Kimia
1. Konsentrasi zat aktif
konsentrasi zat aktif dlm cairan rektum → kelarutan; - semakin besar konsentrasi,
laju abs.>; bentuk garam lbh cepat di abs. daripada btk asam (Na tolbutamid, Na
Salisilat, Na Barbiturat); peningkatan kelarutan dgn mengubah konst.dielketrik zat
aktif atau basis (PEG), - dosis kecil lbh cepat di abs. dibanding dosis besar
pembentukan kompleks zat aktif dgn pembawa dpt menghambat abs.
2. Pemilihan pembawa
Sebagai bahan dasar supositoria digunakan lemak yang meleleh pada suhu tubuh
(36,80 C) yakni oleum cacao dan gliserida sintesis. Demikian pula zat-zat hidrofil
yang melarut dalam getah rektum, misalnya campuran carbowax dan
gliserin+gelatin.
Telah dibuktikan bahwa semakin tinggi sehu lebur zat pembawa maka efek
farmakologiknya yang ditimbulkan lam. Jelaslah bahwa laju pelehan zat pembawa
merupakan langkah penting dalam pelepasan zat aktif. Pelepasan ini terjadi
sempurna hanya jika zat pembawa mencapai suhu lebur. Jadi pada proses
peleburan maka masa kental akan melapisi permukaan mukosa. Dari lapisan inilah
zat aktif akan berpindah ke cairan rektum. Sifat lapisan tersebut sangat tergantung
pada sifat fisika zat pembawa :
• Konsistensi : masa yang keras lebih sulit pecah dibandingkan masa yang agak
lunak seperti kapsul rektum atau gelatin lunak yang dapat menyebabkan pelepasan
yang lebih cepat. Tetapi faktor tersebut dapat diabaikan bila suhu lebur masa
dibawah 370 C
• Kekentalan setelah peleburan : Moes membuktikan bahwa laju pelepasan zat
aktif dari supositoria lebih lambat bila kekentalan zat yang melebur lebih tinggi.
• Kemampuan pecah : zat pembawa yang kental akn menyulitkan pemecahan dan
pembentukan lapisan dari sebagian permukaan yang kontak dengan mukosa akan
memperlambat pelepasan. Pengamatan sejenis telah dilakukan pada zat pembawa
yang larut dalam rektum dan terbukti adanya hubungan antara laju pelepasan zat
aktif ( in vitro ) dan modul elastisitasnya.
3. Kelarutan
Bila zat aktif sangat larut lemak dan dalam dosis kecil maka kecil kemungkinan
untuk menembus cairan rektum yang sedikit. Sebaliknya zat aktif yang larut
lemak tetapi konsentrasinya mendekati jenuh akan menembus cairan rektum
dengan mudah. Tetapi hal tersebut juga tergantung dari koefesien partisi zat aktif
dalam fase lemak dan cairan rektum
ditenJumlah total abs. dpt tukan menurut pers. Higuchi dgn ketentuan sbb :
a. Zat aktif larut dalam pembawa
juml Q zat aktif yg diserap per satuan waktu ditentukan oleh : ketebalan lapisan
leburan suppo., konsentrasi zat aktif terlarut, koof.difusi zat aktif dlm pembawa,
waktu stlh pemakaian suppo.
- juml terserap (%) ; R = 100 Q/h.C₀
SurfaktanPada tahun 1945 MacKee G, M, dkk, memperlihatkan adanya
pengaruh surfaktan pada penyerapan. Untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan dan daya adhesi zat pembawa berlemak untuk supositoria dapat
ditambahkan surfaktan dengan HLB antara 4-9.
Koeefesien Partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum Seperti
yang telah dibuktikan pada percobaan in-vitro zat aktif larut lemak mula-mula
akan larut dalam basis supositoria sebelum melewati permukaan fil cair dengn
berbagai mekanisme difusi sederhana.
Zat aktif yang larut air harus dapat mencapai permukaan film cairan
dengan berbagai mekanisme transpor, misalnya pengendapan setelah mencapai
permukaan tersebut zat aktif selanjutnya akn dibasahi oleh fase air dan lepas dari
basis dengan proses pelarutan, bila senyawa semakin larut maka pencapaian
permukaan tersebut semakin cepat.
Koefesien partisi zat aktif diantara basis berlemak dan cairan rektum lebih
besar dibandingkan koefesien partisi zat aktif dalam fase lemak dan air karena
terlebih dahulu terjadi keseimbangan antara dua kelarutan.
G>EVALUASI KETERSEDIAAN SUPOSITORIA
Evaluasi yang harus dipertimbangkan yaitu:
• zat aktif yang terserap
• komponen pembawa yang digunakan
• proses pabrikasi dan cara penyimpanan sediaan obat
TINJAUAN PUSTAKA
fiLza Pharmacist: bioavailabilitas sediaan rektal
http://cha-farmasis.blogspot.co.id/2009/12/bioavailabilitas-sediaan-rektal.html
http://www.scribd.com/doc/251444090/Makalah-Biofarmasi-Rectal-DDS-3-
61214