makalah cryptogame-kikok
TRANSCRIPT
MAKALAH CRYPTOGAMAE
“ALGAE COKLAT (PHAEOPHYTA) SEBAGAI SUMBER
ALGINAT”
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Cryptogamae yang dibimbing oleh
Bapak Dr. M. Agus Salim, Drs. MP.
Nama : Rifki Muhammad Iqbal
NIM : 1211702067
Kelas/Semester : IV B
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang ditentukan. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas kuliah yang diberikan yaitu mata kuliah Cryptogamae.
Tersusunya makalah ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah mendukung dan
membantu, sehingga saya ucapkan terima kasih. Penulis berharap makalah ini bermanfaat
bagi semua pembaca.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis selalu mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca. Atas kritik dan saran kami sampaikan terima kasih
banyak.
Bandung, 6 Maret 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………...…………………………………………………….................... i
Daftar Isi ………………………………………...……….……….......….……...................… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………...……………………...................... 1
1.1 . Latar Belakang ………………………………...................…………...……………..…...1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………..................…………………...…..........2
1.3 Tujuan …………………………………………………….....................................…….....2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………….…………..................... 3
2.1 Komposisi Kimia Dunaliella sp .........................................................................................3
2.2 Ekstraksi Senyawa Antibakteri ....................................................................................4
2.3 Aktivitas Antibakteri ..............................................................................…………...…..... 8
BAB III PENUTUP …………………………………………..................………………….. 13
3.1 Kesimpulan ……………...………………………………...................…..……………... 13
3.2 Saran ……………………………………………………..................…..……………..... 14
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….....................……………... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Keanekaragaman sumberdaya di perairan Indonesia merupakan kekayaan alam yang
kemungkinan besar masih sangat sedikit dimanfaatkan oleh manusia. Wilayah perairan
Indonesia mencapai sekitar 5,8 juta km2 serta mempunyai garis pantai yang panjangnya
sekitar 81.000 km, sehingga pemanfaatan sumberdaya laut selayaknya dilakukan secara
optimal. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di
dunia. Tingginya keanekaragaman hayati di laut dapat merefleksikan potensi ekonomi
perairan pesisir dan lautan tersebut, dalam artian bahwa semakin tinggi keanekaragaman
hayati yang terkandung, semakin besar potensi yang dapat dikembangkan (Dahuri 2003).
Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi
alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan.
Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi sel
termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga dikelompokkan dalam filum
Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen
klorofil yang mampu melakukan fotosintesis. (Kabinawa 2001). Selain itu, air dan karbon
dioksida dengan adanya energi surya dari matahari dan garam-garam hara dapat
menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat
organik dari zat anorganik, maka disebut sebagai produsen primer. (Nontji 1993).
Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian mulai ditujukan
untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi diantaranya sebagai sumber
bahan kimia yang dapat menghasilkan produk seperti gliserol, vitamin, protein, pigmen,
enzim, dan bahan-bahan bioaktif lain. Bahan-bahan bioaktif yang telah diketahui dapat
dihasilkan dari mikroalga yaitu antioksidan, toksin, bahan obat-obatan, dan zat pengatur
pertumbuhan. (Kabinawa 1994).
Aplikasi bioteknologi sumberdaya perairan berperan dalam mengetahui sekaligus
menghasilkan bahan aktif termasuk antimikroba sehingga diperoleh bahan aktif yang dapat
dimanfaatkan untuk manusia dan lingkungan. Spesies biota laut yang memiliki potensi
menghasilkan obat-obatan diperkirakan lebih dari 35.000 dan yang dimanfaatkan baru sekitar
1
5.000 spesies (Dahuri 2003). Jumlah yang besar tersebut seyogyanya dimanfaatkan
seoptimal mungkin. Potensi sumber daya alam terutama mikroalga belum banyak diungkap
dan diteliti, sehingga informasi yang dapat diperoleh masih sangat terbatas. Penelitian
tentang aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga masih sedikit (Matsueda et al. 1988;
Shklar dan Schwartz 1988 diacu dalam Chang et al. 1993). Berbagai hasil penelitian
mengenai bahan aktif termasuk antimikroba dari mikroalga telah dilaporkan oleh para pakar.
Pratt (1942) menemukan bahwa Chlorella sp. diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri,
Chlorella vulgaris mengandung zat antibakteri yang disebut chlorellin. (Hashimoto 1979
diacu dalam Indhira 2004).
Dunaliella merupakan salah satu mikroalga yang cukup banyak diteliti terutama
sebagai sumber β-karoten dan gliserol. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam mulai dari
sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di negara-negara maju. Dunaliella
salina juga dapat dimanfaatkan sebagai jasad pakan yang cukup baik (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Chang et al. (1993) telah melakukan pemurnian sebagian komponen
antibiotik Dunaliella primolecta yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Enterobacter aerogenes.
Ekstrak Dunaliella tertiolecta menunjukkan hasil positif sebagai antibakteri (Becker 1994).
I.2. Rumusan Masalah
- Komposisi kimia apa yang terdapat pada Dunaliella sp?
- Bagaimana mendapatkan senyawa antibakteri dari Dunaliella sp?
- Bagaimana pengaruh antibakteri ekstrak Dunaliella sp terhadap bakteri patogen?
-
I.3. Tujuan
- Mengetahui komposisi kimia Dunaliella sp.
- Mendapatkan senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. pada umur panen yang
berbeda.
- Mempelajari aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1. Komposisi Kimia Dunaliella sp.
Kandungan kimia tiap mikroalga berbeda-beda yang dipengaruhi oleh zat hara,
kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya, lama pencahayaan, suhu, dan lain-lain.
Kandungan kimia suatu mikroalga dapat dilihat dari kandungan protein, lemak, karbohidrat,
vitamin, dan mineral. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Manfaat Dunaliella cukup
beragam mulai dari sebagai antibakteri, jasad pakan yang cukup baik, sumber gliserol dan β-
karoten hingga sebagai makanan kesehatan seperti halnya dengan Chlorella karena
kandungan proteinnya yang tinggi. Hasil analisis proksimat Dunaliella sp. dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia Dunaliella sp.
Senyawa kimia Jumlah (%)
Air 65,22
Abu 6,17
Protein 18,12
Lemak 1,60
Karbohidrat 8,89
Kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22
%, 18,12 %, 1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Protein mempunyai peranan penting untuk
pertahanan fungsi jaringan secara normal, perawatan jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang
rusak dan pembentukan sel-sel baru. Komponen penyusun protein adalah asam amino.
Beberapa mikroalga dianggap sebagai sumber protein karena kandungannya yang tinggi
seperti Chlorella vulgaris (35,30 %), Tetraselmis sp. (49,75 %), Dunaliella salina (57 %).
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kandungan protein Dunaliella sp. adalah 18,12 % dan
asam amino menentukan kualitas protein. Pembentukan asam amino Dunaliella sp. diperoleh
dari unsur hara yang terdapat pada medium tumbuhnya.
Lemak merupakan sumber energi paling tinggi. Satu gram lemak dapat menghasilkan
9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. (Winarno
1997). Lemak disusun atas beberapa asam lemak yang merupakan komponen pembentuk.
Kandungan lemak Dunaliella sp. senilai 1,60%. Kualitas lemak pada Dunaliella sp. juga
3
ditentukan oleh asam lemak pembentuknya. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Unsur hara
dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak. Beberapa mikroalga
seperti Dunaliella sp., Tetraselmis suecica akan menghasilkan kandungan lemak yang
rendah dan terus memproduksi karbohidrat bila lingkungannya terganggu. (Becker 1994).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan
abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada
hubungannya dengan mineral suatu bahan. (Sudarmadji et al. 1989). Kandungan abu yang
dimiliki Dunaliella sp. sebesar 6,17 %. Peningkatan kadar abu seiring dengan meningkatnya
kandungan mineral. Mineral berperan dalam menjaga tekanan osmosis, komponen penting
pembentuk struktur tulang dan gigi, menjaga keseimbangan asam dan basa tubuh. Kadar
karbohidrat Dunaliella sp. adalah 8,89 % yang dilakukan secara by difference.
Kadar karbohidrat ini tergantung pada faktor pengurangannya yaitu kadar air, abu,
protein dan lemak. Oleh karena itu, karbohidrat sangat dipengaruhi oleh kandungan zat gizi
lainnya. Kandungan senyawa kimia Dunaliella sp. berkaitan dengan medium tumbuhnya.
Medium tumbuh Dunaliella sp. yang digunakan dalam penelitian ini masih terdiri dari unsur
teknis seperti pemakaian vitamin B12. Unsur hara dan faktor lingkungan seperti diketahui
memiliki pengaruh terhadap kandungan senyawa Dunaliella sp.
2.2. Ekstraksi Senyawa Antibakteri
Penelitian ini menggunakan pelarut heksana, etil asetat, metanol dalam mengekstrak
senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen
yang diinginkan dari suatu bahan ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang
diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Pada fase log dihasilkan produk
metabolit primer yang dapat berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak, polisakarida,
dan golongan senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga diketahui terdiri
dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid,
polisakarida, alkohol (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000). Pada
fase stasioner terjadi akumulasi produk toksik yang merupakan inhibitor (Mckane dan
Kandel 1985). Kultur Dunaliella sp. dipanen pada hari ke-7 yang mewakili fase log dan hari
ke-14 yang mewakili fase stasioner.
Pemisahan biomassa sel dengan filtrat dilakukan menggunakan sentrifuse. Teknik
pemisahan biomassa dan filtrat dengan menggunakan sentrifuse merupakan salah satu cara
4
yang sangat efisien (Vonshak 1990). Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah
di dalam selnya yang disebut metabolit intraseluler, sedangkan produk yang diekskresikan ke
medium tumbuhnya disebut metabolit ekstraseluler (Stewart 1974). Metabolit intraseluler
tersebut terdapat pada biomassa sedangkan metabolit ekstraseluler terdapat pada filtrat.
Biomassa dan filtrat dikeringbekukan untuk menghilangkan komponen air dan
menghindari kerusakan komponen bioaktif yang terkandung dalam bahan. Pengeringan beku
dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -75 ºC agar komponen bioaktif yang
terkandung tidak rusak. Hasil dari proses pengeringan beku tersebut berupa filtrat dan
biomassa kering. Filtrat dan biomassa kering Dunaliella sp. disajikan pada Gambar 13.
Kemudian biomassa kering dilakukan proses pemecahan sel dengan menggunakan glass
bead.
Selanjutnya dilakukan pengadukan (stirring) menggunakan pengaduk magnet
(magnetic stirrer) dengan tujuan memecah sel sehingga komponen yang diinginkan dapat
keluar, memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel sehingga komponen yang telah
keluar dapat terikat dan larut dalam pelarut, serta memperbesar pengikatan komponen dengan
pelarut yang digunakan. Maserasi ini dilakukan secara terus menerus selama 24 jam untuk
memperbesar kemungkinan reaksi antara senyawa yang diinginkan dengan pelarut.
Tahap selanjutnya adalah evaporasi yang bertujuan menguapkan pelarut dan
memperoleh senyawa hasil ekstraksi yang diinginkan. Penguapan pelarut ini dengan
menggunakan rotary evaporator vacuum pada suhu 35 ºC. Penggunaan rotary evaporator
vacuum untuk memekatkan larutan dalam volume kecil sebaiknya menggunakan suhu antara
30-40 ºC agar komponen bioaktif yang terkandung tidak rusak. (Harborne, 1987).
Ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut yang berbeda
yang diawali dari pelarut heksana (pelarut non polar), kemudian pelarut etil asetat (pelarut
semi polar), dan terakhir pelarut metanol (pelarut polar). Penggunaan berbagai pelarut ini
dilakukan agar zat aktif yang terkandung dan belum diketahui sifatnya dapat terekstrak secara
optimal sesuai kepolarannya. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner (1,54 gram)
lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Hal ini disebabkan oleh jumlah sel
Dunaliella sp. pada fase stasioner lebih tinggi dibandingkan pada fase log, meskipun laju
5
pertumbuhan pada fase stasioner mengalami penurunan. Jumlah sel pada fase stasioner
cenderung tetap karena sel stelah mencapai titik jenuh.
Tabel 2. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut
Umur
panen
Volume
(liter)
Berat
biomassa
basah
Berat
biomassa
kering
Jenis
pelarut
Berat
ekstrak
Rendemen
ekstrak
kering (%)
Fase log 10 liter 3,78 gram 1,10 gram
Heksana 0,02 gram 1,81 %
Etil asetat 0,05 gram 4,54 %
Methanol 0,06 gram 5,45 %
Fase
stasioner10 liter 5,04 gram 1,54 gram
Heksana 0,02 gram 1,29 %
Etil asetat 0,03 gram 1,94 %
Methanol 0,04 gram 2,59 %
Rendemen ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut
metanol (5,45 %) lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak dari ekstraksi pelarut
etil asetat (4,54 %) dan pelarut heksana (1,81 %). Hal yang sama juga terjadi pada fase
stasioner, dimana rendemen ekstrak kering yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut
metanol (2,59 %) lebih besar dibandingkan rendemen ekstrak dari ekstraksi dengan pelarut
etil asetat (1,94 %) dan juga pelarut heksana (1,29 %). Hal ini menunjukkan bahwa
Dunaliella sp. lebih banyak mengandung senyawa yang dapat larut dalam pelarut polar.
Selain itu, pelarut metanol diketahui sebagai pelarut yang mampu mengekstraksi kelompok
senyawa gula, asam-asam amino, glikosida, juga dapat melarutkan kelompok senyawa yang
larut dalam petroleum eter, heksana, kloroform, etil asetat, etanol, air dalam jumlah dan
proporsi berbeda-beda sehingga diperoleh hasil ekstraksi metanol cukup besar. (Houghton
dan Raman 1998).
Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh pada fase
log berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,05; 0,06 gram. Pada fase log terjadi metabolisme
primer dimana polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat merupakan produk metabolit
primer. Komponen-komponen tersebut merupakan penyusun utama suatu makhluk hidup
(Manitto 1992). Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh
pada fase stasioner berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,03; 0,04 gram. Pada fase stasioner
terjadi metabolisme sekunder yang merupakan keseluruhan proses sintesis dan perombakan
6
produk metabolit primer (Herbert 1995), terjadinya penumpukan produk beracun dan
kehabisan nutrien (Pelczar dan Chan 2005), serta menghasilkan komponen-komponen yang
berfungsi untuk pertahanan hidup . Produk senyawa metabolit sekunder seperti senyawa
fenol, alkaloid, dan terpenoid.
Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi Dunaliella sp. berbentuk pasta dengan
warna yang berbeda-beda. Ekstraksi dengan pelarut heksana menghasilkan ekstrak-heksana
berwarna coklat kekuningan, ekstraksi dengan pelarut etil asetat menghasilkan ekstrak-etil
asetat berwarna kecoklatan, dan ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak-
metanol berwarna hijau tua.
Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi menghancurkan membran sel
dan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan sehingga menghasilkan warna tersebut
(Shahidi dan Naczk 1995). Pelarut non polar misalnya heksana mampu mengekstrak
hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan terpen. Pelarut semi polar misalnya etil asetat
mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid. Pelarut polar misalnya metanol mampu
mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne
1987). Ekstrak-heksana yang berwarna kuning kecoklatan diduga karena kandungan
karotenoid. Karotenoid adalah pigmen berwarna kuning, jingga, atau merah yang terdapat di
berbagai macam plastid berwarna (kromoplas) (Salisbury dan Ross 1995). Pigmen warna ini
mudah diekstraksi dalam pelarut lipid seperti heksana, kloroform. Demikian juga ekstrak-etil
asetat yang berwarna kecoklatan diduga karena kandungan karotenoid.
Ekstrak-metanol yang berwarna hijau tua diduga disebabkan oleh klorofil yang
terekstrak. Penelitian Sugiastuti (2002) mendapatkan ekstrak-etanol daun sirih berwarna
hijau kehitaman yang juga disebabkan oleh kandungan klorofil dari daun sirih. Klorofil
merupakan zat hijau daun yang penting dalam fotosintesis. (Salisbury dan Ross 1995). Hasil
dari ekstraksi tahap awal ini masih berupa ekstrak kasar dan umumnya ekstraksi dengan
pelarut tidak dapat menghasilkan komponen yang diinginkan secara sempurna kecuali
dilanjutkan dengan pemurnian.
2.3. Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram positif, yaitu
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif, yaitu Escherichia coli
7
dan Vibrio harveyi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri pada
ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol dari metabolit intraseluler (biomassa)
dan metabolit ekstraseluler (filtrat). Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif.
Konsentrasi masing-masing ekstrak yang diteteskan pada paper disc adalah 300 µg/disc.
Optical Density (OD600) masing-masing bakteri adalah Staphylococcus aureus (0,64),
Bacillus cereus (0,68), Escherichia coli (0,65), dan Vibrio harveyi (0,67). Hasil uji
aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. disajikan pada Tabel 3.
Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap bakteri uji walaupun kemampuannya tergolong lemah. Besarnya aktivitas
antibakteri ditunjukkan oleh besarnya zona bening yang terbentuk di sekitar paper disc.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.
Tabel 3. Hasil uji aktivitas antibakteri Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen
Umur panen Ekstrak Diameter zona hambat (mm) pada bakteri uji
S. aures B. cereus E. coli V. harveyi
Fase log Heksana 3 4 3 5
Etil asetat 2 2 2 3
Methanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Fase
stasioner
Heksana 2 2 1 4
Etil asetat 2 3 2 4
Methanol - - - -
Ekstraseluler - - - -
Kloramfenikol 19 20 24 26
Pengujian ekstrak-heksana pada fase log terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus,
Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi menghasilkan diameter zona bening di
sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, dan 5 mm. Diameter zona bening dari
ekstrak-etil asetat dengan bakteri uji tersebut, berturut-turut adalah 2, 2, 2, dan 3 mm.
Berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan, ekstrak-heksana dan etil asetat termasuk
kategori yang memiliki aktivitas lemah (rata-rata diameter zona hambat < 5 mm). (Davis dan
Stout 1971).
8
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase
stasioner terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan
Vibrio harveyi juga termasuk dalam kriteria lemah (rata-rata diameter zona hambat < 5 mm)
dengan diameter zona hambat masing-masing sebesar 2, 2, 1, dan 4 mm, serta 2, 3, 2, dan 4
mm.
Komponen aktif yang dapat diekstrak dari suatu bahan tergantung pada kepolaran
pelarut yang digunakan. Senyawa yang terikat pada pelarut non polar misalnya heksana
antara lain hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan terpen. (Riguera 1997). Ekstrak-
heksana diduga mengandung asam lemak dan terpen. Beberapa jenis asam lemak bebas yang
terbukti memiliki daya hambat antibakteri diantaranya linoleat, arakhidonat, linolenat
terhadap Clostridium welchii. (Kabara, 1983). Senyawa terpen contohnya triterpenoid
merupakan golongan yang berpotensi sebagai antimikroba terutama banyak digunakan untuk
menyembuhkan penyakit kulit. (Robinson 1995).
Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan
terpenoid (Harborne 1987). Senyawa yang berperan sebagai antibakteri dalam ekstrak-etil
asetat diduga adalah fenol dan terpenoid tersebut. Sejumlah komponen penyusun antibiotik
dari alga laut diketahui diantaranya terdiri dari terpenoid dan penghambat fenolat. (Metting
dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000). Kelompok fenolik merupakan aneka
ragam senyawa yang terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen flavonoid,
antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, stilbena, tanin, serta pigmen
kuinon. (Harborne 1987).
Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak kelompok senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin. (Harborne 1987). Ekstrak-metanol pada
penelitian ini tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Hal ini dapat diduga bahwa
senyawa aktif yang terdapat pada Dunaliella sp. adalah senyawa yang bersifar non polar dan
semi polar. Selain itu, polaritas pelarut metanol berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri.
Hiserodt et al. (1998) diacu dalam Parhusip (2006) menyatakan bahwa polaritas suatu
senyawa mempengaruhi aktivitas antibakteri seperti 6-gingerol yang mempunyai rantai alkil
lebih polar daripada 10-gingerol memberikan penghambatan lebih rendah terhadap
Mycobacterium avium. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa polar seperti metanol juga
cenderung mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih rendah.
9
Ekstraseluler tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hal ini diduga bahwa metabolit
ekstraseluler yang terdapat pada filtrat menguap karena perlakuan freeze drying dan pada
penelitian ini, hasil ekstraseluler tidak dilakukan maserasi. Selain itu , Dunaliella sp. diduga
tidak mensekresikan substansi organik yang berfungsi sebagai komponen aktif ke medium
tumbuhnya.
Ekstrak Dunaliella sp. yang dipanen pada umur 7 hari yang mewakili fase log dan
umur 14 hari yang mewakili fase stasioner memiliki aktivitas antibakteri walaupun tergolong
lemah. Senyawa antibakteri pada Dunaliella sp. dihasilkan pada fase log dan stasioner.
Selama fase log dihasilkan produk metabolit primer seperti polisakarida, asam amino, asam
lemak, gula, asetil koenzim, asam mevalonat, dan nukleotida. (Manitto 1992). Beberapa
produk metabolit primer ini dapat berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak,
polisakarida, dan golongan senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga
diketahui terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat,
tannin,terpenoid, polisakarida, alkohol. (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et
al. 2000). Produk antibakteri alami sering juga berasal langsung dari senyawaan pembangun
metabolit primer seperti golongan senyawa dipeptida. (Quinn 1988 diacu dalam Lailati
2007). Panen Dunaliella sp. dilakukan pada hari ke-7 yang waktunya mendekati fase awal
stasioner sehingga selain dihasilkan produk metabolit primer juga mulai dihasilkan produk
metabolit sekunder.
Selama fase stasioner, senyawa antibakteri diproduksi karena sel bertahan untuk
hidup dengan nutrien semakin berkurang dan populasi yang padat. Selain itu, terjadi
akumulasi produk toksik yang merupakan inhibitor. Metabolit sekunder yang diproduksi
selama fase stasioner misalnya senyawa terpen, alkaloid, pigmen. (Manitto 1992). Pigmen
Dunaliella sp. juga dapat berpotensi sebagai antibakteri. Banyak mikroorganisme berpigmen
yang memiliki sifat-sifat antibiotik. (Schlegel dan Schmidt 1994). Produk antibakteri alami
umumnya berasal dari hasil senyawaan metabolit sekunder dari berbagai kelompok yaitu
senyawa fenol, alkaloid, terpenoid, flavonoid. (Quinn 1988 diacu dalam Lailati 2007).
Perbedaan-perbedaan aktivitas antibakteri dapat disebabkan oleh sifat kerentanan dari
masing-masing bakteri. Bakteri memiliki kerentanan terhadap sarana fisik dan bahan kimia
yang berbeda. Resistensi mikroorganisme terhadap beberapa jenis antibiotik dapat
disebabkan oleh sifat yang dimiliki oleh mikroorganisme itu sendiri. (Pelczar dan Chan
2005). Beberapa hal yang dapat menyebabkan mikroorganisme dapat rentan terhadap
10
antibiotik adalah struktur sel yang kurang lengkap, dinding sel yang impermeabel, dan jenis
antibiotik. (Brock dan Madigan 2003).
Zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak heksana dan etil asetat terhadap bakteri
Escherichia coli lebih kecil bila dibandingkan dengan zona hambat terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Ketahanan Escherichia coli diduga karena
menghasilkan protease serin yang aktivitasnya berkorelasi dengan tingkat infeksi yang
ditimbulkan. (Budiarti dan Suhartono 1999). Selain itu, bakteri Escherichia coli juga
termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki susunan dinding sel lebih kompleks (berlapis
tiga) dibandingkan dengan dinding bakteri Gram positif yang berlapis satu. Menurut
Nikaido dan Vaara (1985) diacu dalam Parhusip (2006), bakteri Escherichia coli termasuk
golongan bakteri enterik dan mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam
mempertahankan dirinya dibandingkan bakteri Gram negatif lainnya. Membran luar sel
Escherichia coli merupakan protein asam yang dibuat bila lingkungannya tidak mendukung
pertumbuhan terutama jika bakteri keluar dari saluran pencernaan. Escherichia coli sensitif
terhadap antibiotik jenis kloramfenikol, kanamisin, penisilin, dan sulfonamid. (Tortora et al.
1989).
Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif yang peka terhadap ekstrak non
polar karena bakteri ini mempunyai lapisan peptidoglikan yang mengandung asam amino
dan bersifat hidrofobik sehingga lebih mudah ditembus senyawa non polar. (Franklin dan
Snow 1989 diacu dalam Parhusip 2006). Staphylococcus aureus juga tidak memiliki molekul
reseptor spesifik dan susunan matrik sistem dinding selnya relatif terbuka sehingga penetrasi
oleh senyawa antibakteri akan lebih mudah. (Russel 1991 diacu dalam Parhusip 2006).
Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan
kloramfenikol tetapi resisten terhadap polimiksin dan polynes. (Pelczar dan Chan 2005).
Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Bacillus cereus. Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif yang mampu menghasilkan enzim
protease. Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat diduga mampu menghambat aktivitas
enzim protease. Senyawa antibakteri dapat merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan
cara menghambat sintesis protein bakteri dan menghambat kerja enzim intraseluler. (Kim et
al. 1995; Rawel et al. 2001 diacu dalam Parhusip 2006). Sistem enzim yang terpengaruh
akan mengakibatkan gangguan pada produksi energi penyusun sel dan sintesis komponen sel
secara struktural. Bacillus cereus termasuk bakteri yang peka terhadap minyak atsiri
11
(cinnamon, oregano, thyme, karvakrol, perilaldehyde, resorcyclic acid dan dopamine) dan
antibiotik streptomisin, penisilin G. (Friedman et al. 2004 diacu dalam Parhusip 2006).
Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat mempunyai aktivitas yang spesifik terhadap
Vibrio harveyi dengan terbentuknya zona hambat yang lebih besar daripada bakteri lainnya.
Vibrio harveyi menghasilkan enzim protease, gelatinase, lipase, elastase, dan urease yang
berperan dalam proses metabolisme . (Masini et al. 2007). Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil
asetat diduga dapat menghambat enzim yang dihasilkan Vibrio harveyi sehingga
menyebabkan metabolisme bakteri tersebut terganggu. Setiap enzim yang terdapat di dalam
sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu senyawa antibakteri yang akan
bersaing dengan substrat sehingga enzim tidak aktif. Penghambatan ini dapat mengakibatkan
terganggunya metabolisme atau matinya sel. (Pelczar dan Chan 2005). Vibrio harveyi
sensitif terhadap antibiotik rifampisin, kloramfenikol, oksitetrasilin, dan hampir semua
antibiotik. (Greenwood et al. 1995).
Kloramfenikol sebagai kontrol positif menghasilkan diameter zona hambat lebih besar
daripada diameter zona hambat masing-masing ekstrak dengan konsentrasi yang sama. Hal
ini disebabkan kloramfenikol merupakan zat antibakteri murni sedangkan ekstrak
Dunaliella sp. masih berupa ekstrak kasar (crude extract) yang mengandung bahan organik
lain selain antibakteri. Senyawa organik lain dapat menurunkan aktivitas zat antibakteri
dengan cara menginaktivasi dan mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel bakteri
sehingga dapat melindungi bakteri dari zat antibakteri tersebut. (Pelczar dan Chan 2005).
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesa protein sel bakteri yang berlangsung
di ribosom. (Setiabudy dan Ganiswara 1995). Ekstrak Dunaliella sp. perlu dimurnikan untuk
mendapatkan aktivitas antibakteri yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
12
3.1. Kesimpulan
Pada penelitian ini, pola pertumbuhan Dunaliella sp. dimulai dari fase log (hari ke-0
sampai ke-8), fase penurunan laju pertumbuhan (hari ke-9 sampai ke-11), fase stasioner (hari
ke-12 sampai ke-29), serta fase menuju kematian (hari ke-30 sampai ke-34). Berdasarkan uji
proksimat, kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah
65,22 %, 18,12 %, 1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %.
Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner (1,54 gram)
lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Rendemen ekstrak kering pada fase log
yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan pelarut metanol
berturut-turut sebesar 1,81 %, 4,54 %, dan 5,45 %. Rendemen ekstrak kering pada fase
stasioner yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut heksana, pelarut etil asetat, dan
pelarut metanol berturut-turut nilainya adalah 1,29 %, 1,94 %, dan 2,59 %.
Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase log terhadap
bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi
menghasilkan diameter zona bening di sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, 5
mm, serta 2, 2, 2, 3 mm. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat
pada fase stasioner terhadap bakteri uji yang sama berturut-turut nilainya adalah 2, 2, 1,
4 mm, serta 2, 3, 2, 4 mm. Ekstrak-heksana dan etil asetat dari Dunaliella sp. yang dipanen
pada umur 7 hari (fase log) dan umur 14 hari (fase stasioner) menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri walaupun kemampuannya tergolong lemah. Pengujian KLT menunjukkan bahwa
jumlah komponen aktif yang terdapat pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat sebanyak 4
dan 3 komponen.
DAFTAR PUSTAKA
13
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. USA: Cambridge
University Press.
Brock TD, Madigan MT. 2003. Biology of Microoganisms. Sixth edition. Mexico: Prentice
Hall International.
Budiarti S, Suhartono MT. 1999. Peranan protease pada bakteri patogen. Makalah
dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi
Indonesia. Padang, 3-4 Agustus 1999.
Chang T, Ohta S, Ikegami N, Miyata H, Kashimoto T, Kondo M. 1993. Antibiotic
substances produced by a marine green alga, Dunaliella primolecta. Bioresource
Technology. 44: 149-153.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darusman LK Sajuthi D, Komar, Pamungkas. 1995. Naskah seminar: Ekstraksi komponen
bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan ganggang laut di
perairan pulau Pari kepulauan Seribu. Buletin Kimia. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.IPB.
Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal
of Microbiology. 22(4): 659-665.
Greenwood D, Slack RCB, Peutherer JF, editor. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-14.
Hongkong: ELBS.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar
Laboratorium. Jakarta: UI Press
Harborne JB. 1987. Metode Kimia. Kosasih P, Iwang S, penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Bambang Srigandono, penerjemah.
Edisi kedua. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: The
Biosynthesis of Secondary Metabolites.
14
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural
Extracts. London: Chapman and Hall.
Indhira TA. 2004. Prospek Bioteknologi Sumberdaya Akuatik dalam Industri Farmasi.
Jurnal Perikanan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Univ Hang Tuah
Surabaya. 1(1): 27-30.
Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan
Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius
Kabara JJ. 1993. Medium-chain fatty acids and esters. Di dalam: Branen AL, Davidson
PM. Antimicrobial in Foods. Second edition. New York: Marcel Dekker, Inc
Kabinawa INK. 1994. Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek. Prosiding Seminar
Nasional Bioteknologi Mikroalga. Bogor: Puslitbang-Biotek.LIPI.
___________. 2001. Mikroalga Sebagai Sumber Daya Hayati Perairan Dalam Perspektif
Bioteknologi. Bogor: Puslitbang-Biotek. LIPI.
Karger BL, Synder L, Hosvarth C. 1973. An Introduction to Separation. Brisbane: John dan
Sons.
Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros
gracilis [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Manitto P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Koensoemardiyah, penerjemah. Semarang:
IKIP Press. Terjemahan dari: Biosynthesis of Natural Products.
Masini et al. 2007. Research and characterization of pathogenic vibrios from bathing water
along the conera Riviera (Central Italy). Water Research. 10:1016.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Jakarta: Djambatan.
Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC) terhadap bakteri patogen pangan. [disertasi]. Bogor:
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pelczar MJ, Reid RD. 1979. Microbiology. Tokyo: Kogusha Co. Ltd.
15
Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2. Hadioetomo RS,
Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology.
Probert I, Klaas C. 1999. Microalga culturing.http://www.nhm.ac.uk/hosted
sites/ina/CoDENET/documents/culture.rtf (1 Desember 2007).
Robinson. 1995. Phyto-chemistry in plants. Di dalam: Naidu AS. Natural Food Mycrobial
System. USA: CRC Press.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah.
Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology.
Schlegel, Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Tedja Baskara, penerjemah. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Setiabudy R, Ganiswara VHS. 1995. Pengantar antimikroba. Di dalam: Ganiswara SG,
Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi.
Edisi ke-4. Jakarta: FKUI
Setyaningsih I, Suptijah P, Ibrahim B, Suwandi R. 2000. Extraction of bioactive compound
from Chlorella sp. and its application on fresh fish. Di dalam: Proceeding of
International Symposium on Marine Biotechnology (ISMB). Jakarta: Indonesia,
29-31 May 2000
Shahidi F, Naczk M. 1995. Food Phenolic. Lancester: Technomic Publishing Co.Inc
Stewart WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. London: Blackwell Scientific
Publ.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta: Liberty
Vonshak A. 1990. Recent Advances in Microalgal Biotechnology. Biotechnology adv. Vol
8. Britain: Pergamon Press
Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan Elektroforesis.
Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
16