makalah fadmi sustiwi (skh kedaulatan rakyat)

5
Mensinergikan Kekuatan Perempuan untuk Kesejahteraan FADMI SUSTIWI SAYA ingin memulai tulisan ini dengan hal yang kecil. Sebuah pemandangan yang biasa terlihat di wilayah Sleman. Penambangan pasir yang terjadi di Kali Gendol dan sungai lain di lereng Merapi. Bagi penambang tradisional, kadangkala terlihat ada perempuan buruh yang ikutserta di belantara pasir tersebut. Mereka ikut mengeruk dan mewadahi pasir-pasir yang dikategorikan sebagai tambang galian C ini ke dalam keranjang untuk dinaikkan ke truk. Namun pada penambang yang sudah menggunakan beck-hoe, keterlibatan perempuan akan sangat minim sekali. Bukan hanya perempuan yang terpinggirkan namun tenaga buruh laki-laki pun sudah lebih banyak digantikan dengan tenaga alat berat yang kehadirannya juga seringkali diprotes karena merusak lingkungan. Apakah kemudian ada proses Amdal atau tidak dalam industri yang mengeksploitasi muntahan Merapi itu, wallahu ‘alam. Secara tradisional maupun sebagai sebuah industri besar, kegiatan itu akan berlangsung lancar, jika sedang tidak ada masalah. Namun sulit untuk dibayangkan jika tiba- tiba banjir apalagi banjir bandang. Pastilah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Ketika langkah perempuan tidak selebar langkah laki-laki, jika terjadi banjir, maka perempuan akan lebih dulu mendapatkan bahaya. Persoalan akan menjadi semakin rumit ketika terjadi kecelakaan kerja dalam situasi seperti itu. Pasalnya, asuransi bagi para buruh itu bukan asuransi kecelakaan sebagaimana lazimnya sebuah kecelakaan kerja tetapi asuransi pemerintah daerah. Maksudnya akhirnya nanti yang membiayai adalah pemda dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM) serta jamkesos propinsi (Hadikusumo, Afnan dalam sebuah wawancara). Pasalnya, para buruh itu tidak mendapatkan

Upload: feriawan-agung-nugroho

Post on 08-Jun-2015

771 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

SAYA ingin memulai tulisan ini dengan hal yang kecil. Sebuah pemandangan yang biasa terlihat di wilayah Sleman. Penambangan pasir yang terjadi di Kali Gendol dan sungai lain di lereng Merapi. Bagi penambang tradisional, kadangkala terlihat ada perempuan buruh yang ikutserta di belantara pasir tersebut. Mereka ikut mengeruk dan mewadahi pasir-pasir yang dikategorikan sebagai tambang galian C ini ke dalam keranjang untuk dinaikkan ke truk. Namun pada penambang yang sudah menggunakan beck-hoe, keterlibatan perempuan akan sangat minim sekali. Bukan hanya perempuan yang terpinggirkan namun tenaga buruh laki-laki pun sudah lebih banyak digantikan dengan tenaga alat berat yang kehadirannya juga seringkali diprotes karena merusak lingkungan. Apakah kemudian ada proses Amdal atau tidak dalam industri yang mengeksploitasi muntahan Merapi itu, wallahu ‘alam...

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH FADMI SUSTIWI (SKH Kedaulatan Rakyat)

Mensinergikan Kekuatan Perempuan untuk Kesejahteraan

FADMI SUSTIWI

SAYA ingin memulai tulisan ini dengan hal yang kecil. Sebuah pemandangan yang biasa terlihat di wilayah Sleman. Penambangan pasir yang terjadi di Kali Gendol dan sungai lain di lereng Merapi. Bagi penambang tradisional, kadangkala terlihat ada perempuan buruh yang ikutserta di belantara pasir tersebut. Mereka ikut mengeruk dan mewadahi pasir-pasir yang dikategorikan sebagai tambang galian C ini ke dalam keranjang untuk dinaikkan ke truk. Namun pada penambang yang sudah menggunakan beck-hoe, keterlibatan perempuan akan sangat minim sekali. Bukan hanya perempuan yang terpinggirkan namun tenaga buruh laki-laki pun sudah lebih banyak digantikan dengan tenaga alat berat yang kehadirannya juga seringkali diprotes karena merusak lingkungan. Apakah kemudian ada proses Amdal atau tidak dalam industri yang mengeksploitasi muntahan Merapi itu, wallahu ‘alam.

Secara tradisional maupun sebagai sebuah industri besar, kegiatan itu akan berlangsung lancar, jika sedang tidak ada masalah. Namun sulit untuk dibayangkan jika tiba-tiba banjir apalagi banjir bandang. Pastilah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Ketika langkah perempuan tidak selebar langkah laki-laki, jika terjadi banjir, maka perempuan akan lebih dulu mendapatkan bahaya.

Persoalan akan menjadi semakin rumit ketika terjadi kecelakaan kerja dalam situasi seperti itu. Pasalnya, asuransi bagi para buruh itu bukan asuransi kecelakaan sebagaimana lazimnya sebuah kecelakaan kerja tetapi asuransi pemerintah daerah. Maksudnya akhirnya nanti yang membiayai adalah pemda dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM) serta jamkesos propinsi (Hadikusumo, Afnan dalam sebuah wawancara). Pasalnya, para buruh itu tidak mendapatkan perlindungan sama sekali dalam bekerja. Dapat dikatakan, kondisi pekerja tambang pasir ini memang rentan, bahkan sangat rentan.

Padahal, penghasilan yang mereka peroleh seringkali tidak pasti dan dalam waktu yang tidak menentu. ILO (1986) memperkirakan 60 persen penduduk dunia digolongkan sebagai pekerja yang tidak dilindungi secara sosial. Di Asia, jumlah mereka mencapai 77 persen. (Mayling Oey et all penyunting, 1996: 278). Dalam situasi krisis global seperti sekarang ini, kondisinya belum tentu lebih baik dibanding kondisi 20 tahun silam.

Ilustrasi di atas sebenarnya muncul sangat terkait dengan sistem yang ada. Sistem pewarisan menyebabkan lahan pertanian kian menyusut dan bahkan terjadi perubahan fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lain mulai perumahan, pertokoan bahkan industri. Keadaan ini membuat para petani itu terpaksa mencari ‘lahan baru’ untuk hidup dan kehidupannya.

***

Page 2: MAKALAH FADMI SUSTIWI (SKH Kedaulatan Rakyat)

BAGI perempuan, ilustrasi di atas kian menggambarkan betapa sulitnya hidup dan kehidupan yang dilalui. Di kerja penambangan pasir itupun perempuan hanya mendapatkan tempat paling bawah, buruh keruk. Di industri batu coral, perempuan juga hanya sebagai tukang pemecah batu. Sebuah pekerjaan yang konon bisa dilakukan sebagai sebuah kegiatan sampingan. Mengingat kerja bagi perempuan lebih dianggap sebagai upaya penghasilan tambahan. Betapapun perempuan merupakan penopang utama kehidupan keluarga, statusnya sebagai pencari nafkah tambahan – terlebih bila ia berstatus isteri seseorang -- belum bisa dihilangkan.

Di sektor industri perempuan adalah kelompok yang termarjinalkan. Pandangan yang masih menganggap bahwa perempuan hanyalah pencari nafkah tambahan membuat pengusaha menerima perempuan karena bisa dibayar murah. Perempuan juga lebih menurut dan tidak banyak menuntut. Dengan kemampuannya, biasanya perempuan ‘diberi’ pekerjaan yang memang sangat khas perempuan seperti di industri garmen, elektronik.

Harus diakuii sektor industri ekstraktif seperti ini memang kurang akrab dan dekat dengan perempuan. Jika melihat kondisi di DIY dengan potensi tambang (galian C) yang tidak begitu besar, ‘pemandangan’ ini akan semakin jelas bagaimana perempuan terlibat di sektor itu. Seperti misal pada pertambangan pasir yang cukup besar di Sleman dan sebagian di Bantul, kapur di Gunungkidul, dan pasir besi serta emas di Kulonprogo.

Sekalipun potensi tersebut kecil dan diakui telah dapat menghidupkan perekonomian desa, sekalipun mungkin keterlibtan perempuan di situ kecil. Mengingat sumberdaya itulah yang dapat diolah dan menjadi sumber hidup dan kehidupan masyarakat ketika lahan pertanian sudah semakin menyusut dan berubah fungsi. Betapapun dalam sebuah industri seringkali risiko kerjanya lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Sayangnya, kepedulian Negara terhadap peranserta di sektor yang dinilai dapat mengangkat perekonomian desa itu masih sangat minim. Amdal yang kadang tidak dapat diandalkan, tidak dilakukannya analisis dampak (pembangunan) industri bagi perempuan menjadikan industri tersebut seakan jauh bahkan tidak ramah perempuan.

Pasalnya, di dalam industri termasuk industri ekstraktif, bias laki-laki masih sangat terasa. Artinya, di sector ini tetap saja, tidak banyak perempuan yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Perempuan lebih banyak masuk dan terlibat sebagai buruh dengan penghasilan yang tidak tetap dan yang paling mengerikan berada dalam posisi rentan serta tidak terlindungi. Kenyataan bahwa di sektor ini, perempuan kurang terwakili di pasar tenaga kerja telah diakui ILO sejak Konferensi 1976 di Nairobi (Saptara, Ratna dan Holzner, Brigitte, 1997 : 174). Sehingga industri seringkali justru dianggap sebagai penyebab kemiskinan perempuan.

Bagaimana industri akan dapat meningkatkan dan mewujudkan kesejahteraan perempuan?

Jika pendekatan kesejahteraan yang menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan fisik keluarga melalui penyediaan perumahan, sandang atau pangan serta melalui pelatihan tatalaksana rumahtangga, maka proyek ini hanya akan mendapatkan kritik. Sebab di sini tidak menjadi perhatian mengenai pembagian

Page 3: MAKALAH FADMI SUSTIWI (SKH Kedaulatan Rakyat)

kerja secara seksual bahkan memperkuat ideology bahwa perempuan adalah di dalam rumahtangga. Dengan kata lain, pendekatan ini hanya akan menciptakan ketergantungan.

Ketika kemiskinan adalah problem maka tindakan diskriminatif dalam ketenagakerjaan ssesungguhnya merupakan kebijakan yang membantu langgengnya pemiskinan perempuan. Disinilah sebenarnya diperlukan kekuatan politik untuk melakukan tawar menawar agar kebijakan yang diambil bebas dari praktik diskriminatif dalam ketenagakerjaan. Sehingga bukan hanya perlindunan di tempat kerja yang diperoleh perempuan pekerja namun juga perlindungan terutama bagi kesehatan reproduksinya.

Persoalan inilah yang seringkali terabaikan dalam dunia kerja. Padahal para perempuan yang sedang dalam masa produktif kerja, biasanya juga dalam masa produktif reproduksinya. Sehingga memang sangat diperlukan kebijakan atau strategi yang sesuai dengan keadaan lokal dengan memberikan kesempatan perempuan terlibat dalam dunia kerja industri. Bukankah ketika industri ekstraktif ‘merusak lingkungan’ maka perempuan pekerjanya yang akan mendapatkan dampak berkelanjutan terkait dengan kesehatan reproduksinya?

Untuk memulai kegiatan itu perlu dilakukan penilaian termasuk dalam hal ini sumberdaya perempuan dan partisipasi aktifnya. Hal ini perlu dilakukan bukan hanya untuk melihat potensi daerah namun juga bagaimana upaya yang hendak dilakukan agar perempuan bisa terlibat aktif di dalamnya, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup dan kehidupan.

Jika industri termasuk industri ekstraktif sebagai kegiatan yang menghasilkan pendapatan untuk mengurangi kemiskinan perempuan, maka upaya ini tidak bisa hanya dilakukan para perempuan miskin. Artinya, keterlibatan mereka para perempuan yang terlibat dalam politik dan ekonomi menjadi sangat penting artinya dalam perjuangannya mengurangi kemiskinan perempuan. Karena disinilah letak dari kekuatan tawar menawar yang ada. Karena pada hakikatnya, sinergi antara mereka menjadi sangat penting artinya dalam meningkatkan kesejahteraan.

Mungkin, ini hanya pemikiran kecil. Bahkan ini tak sebanding dengan persoalan yang dihadapi Indonesia yang luas dengan aneka industri ekstraktifnya. Tetapi persoalan kecil ini sering dilupakan. Padahal dari sini kelangsungan generasi ditumpukan.