makalah farmasetika baru.doc
TRANSCRIPT
LATAR BELAKANG
Warna kulit seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam tubuh,
misalnya genetik, hormon, maupun luar tubuh misalnya sinar matahari, makanan
ataupun obat-obatan yang diminum. Kebanyakan orang berpendapat bahwa warna kulit
putih dan cerah adalah kulit yang cantik. Hal ini menjadi tolok ukur, terutama pada
wanita untuk tampil cantik. Menjadikan kulit tampak lebih putih dan cerah dapat
dilakukan dengan cara mengkonsumsi vitamin-vitamin tertentu yang berfungsi untuk
mencerahkan kulit.
Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang dapat berfungsi untuk
memutihkan dan mencerahkan kulit. Mekanisme vitamin c dalam memutihkan dan
mencerahkan kulit adalah dengan berperan sebagai antioksidan, dengan cara melindungi
kulit dari stress oksidatif yang terjadi akibat paparan sinar UV. Selain berperan sebagai
antioksidan, vitamin c dapat berperan pula dalam sintesis kolagen (Vitamin C in
Dermatology, 2013). Aplikasi vitamin c pada kulit dapat dilakukan dengan membuat
vitamin c dalam bentuk sediaan kosmetika atau sediaan injeksi. Vitamin C yang dibuat
dalam bentuk sediaan injeksi adalah vitamin c dalam bentuk terlarut. Larutan vitamin c
harus dalam kondisi stabil agar aktifitasnya tetap terjaga. Untuk mempertahankan
stabilitas vitamin c, maka diperlukan formula yang mampu menjaga kondisi pH,
mencegah kontaminasi, dan mencegah terjadinya oksidasi.
Dalam makalah ini telah di formulasikan injeksi vitamin c dengan
memperhatikan hal – hal yang dapat mempengaruhi stabilitas vitamin c. Stabilitas
vitamin c dapat dipengaruhi oleh kondisi pH yang terlalu asam atau basa, kemungkinan
adanya kontaminasi bakteri saat proses pembuatan, dan sifat vitamin c yang mudah
teroksidasi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan dapat dibuat vitamin c
yang stabil dan efektif.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara memformulasikan sediaan injeksi vitamin c yang stabil sehingga
efektif digunakan untuk mencerahkan kulit ?
1
TINJAUAN PUSTAKA
1. Asam Askorbat (Ascorbic Acid)
Asam askorbat merupakan vitamin yang larut air. Asam askorbat berupa hablur
atau serbuk putih atau agak kuning dengan rasa sedikit asam. Oleh pengaruh cahaya
lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara, dalam
larutan cepat teroksidasi. Melebur pada suhu lebih kurang 190. Asam askorbat
memiliki kelarutan mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, tidak larut
dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzene. Nama kimia asam askorbat adalah L-
ascorbic acid. Formula empiris C6H8O6, dan berat molekul 176,13 (USP, 1997).
Gambar 1. Struktur Asam Askorbat
2. Natrium Askorbat (Sodium Ascorbat)
Berbentuk kristal atau serbuk putih atau kekuningan. Mudah larut dalam air,
sedikit larut dalam alkohol, praktis tidak larut dalam dichloromethane. Larutan 10%
dalam air memiliki pH 7,0 - 8,0. Penyimpanan dalam wadah non logam dan
terlindung dari cahaya. Formula empiris C6H7O6, dan berat molekul 198,1
(Martindale, 36thed).
Gambar 2. Struktur Natrium Askorbat
2
3. Stabilitas Vitamin C
Asam askorbat merupakan ester siklik. Larutan vitamin c dalam air mudah
teroksidasi membentuk asam dehidroaskorbat (C6H7O6 - ), yang kemudian
melepaskan proton yang ketika berpasangan dengan elektron akan membentuk
oksidan. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar
yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, pH, oksigen, enzim, dan katalisator
logam. Asam dehidroaskorbat dapat mengalami hidrolisis lebih lanjut membentuk
produk degradasi yang bersifat reversibel, asam diketoglukonat dan asam oksalat.
Asam askorbat juga mudah mengalami degradasi di bawah kondisi anaerob,
membentuk furfural dan karbon dioksida. Profil laju-pH bagi keduanya baik
degradasi aerob maupun anaerob akan mencapai maksimal pada sekitar pH 4.
Larutan asam askorbat 5% dalam air memiliki pH 2.1-2.6, pH dari 10% larutan
kalsium askorbat dalam air adalah antara 6.8 dan 7.4, dan pH dari larutan natrium
askorbat dalam air antara 7.0 dan 8.0. Stabilitas maksimum terjadi dekat pH 3 dan
pH 6. Stabilitas asam askorbat dalam bentuk sediaan padat cukup baik, asal
kelembabannya dikendalikan (Connors, dkk., 1986).
4. Farmakodinamik dan farmakokinetika Vitamin C
Vitamin C berperan sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan
amidasi dengan memindahkan elektron ke enzim yang ion logamnya harus berada
dalam keadaan tereduksi dan dalam keadaan tertentu bersifat sebagai antioksidan.
Vitamin C dibutuhkan untuk mempercepat perubahan residu prolin dan lisin pada
prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin pada sintesis kolagen.
Perubahan asam folat menjadi asam folinat, metabolisme obat oleh mikrosom dan
hidroksilasi dopamine menjadi norepinefrin juga membutuhkan vitamin C. Asam
askorbat meningkatkkan aktivitas enzim amidase yang berperan dalam pembentukan
hormon oksitosin dan hormon diuretik. Vitamin C juga meningkatkan absorpsi besi
dengan mereduksi ion feri menjadi fero di lambung.Peran vitamin C juga
didapatkan dalam pembentukan steroid adrenal (Kamiensky, Keogh 2006; Dewoto
2007).
3
Fungsi utama vitamin C pada jaringan adalah dalam sintesis kolagen,
proteoglikan zat organik matriks antarsel lain misalnya pada tulang, gigi, dan
endotel kapiler. Peran vitamin C dalam sintesis kolagen selain pada hidroksilasi
prolin juga berperan pada stimulasi langsung sintesis peptide kolagen. Gangguan
sintesis kolagen terjadi pada pasien skorbut. Hal ini tampak pada kesulitan dalam
penyembuhan luka, gangguan pembentukan gigi, dan pecahnya kapiler yang
mengakibatkan petechiae dan echimosis. Perdarahan tersebut disebabkan oleh
kebocoran kapiler akibat adhesi sel-sel endotel yang kurang baik dan mungkin juga
karena gangguan pada jaringan ikat perikapiler sehingga kapiler mudah pecah oleh
penekanan (Kamiensky, Keogh 2006; Dewoto 2007).
Vitamin C mudah diabsorpsi, 70% - 90% diabsorbsi melalui saluran cerna.
Ikatan dengan protein sangat kecil yaitu sebesar 25%. Kadar dalam lekosit dan
trombosit lebih besar daripada dalam plasma dan eritrosit. Distribusinya luas ke
seluruh tubuh dengan kadar tertinggi dalam kelenjar dan terendah dalam otot dan
jaringan lemak. Vitamin C di metabolisme di hati. Ekskresi melalui urin dalam
bentuk utuh dan bentuk garam sulfatnya terjadi jika kadar dalam darah melewati
ambang rangsang ginjal yaitu 1,4 mg% (Dewoto 2007). Beberapa obat diduga dapat
mempercepat ekskresi vitamin C misalnya tetrasiklin, fenobarbital, dan salisilat.
5. Peran Vitamin C untuk kulit
Vitamin C dapat berperan sebagai antioksidan, yaitu dengan cara melindungi
kulit dari reactive oxygen species (ROS). Ketika kulit terpapar oleh sinar UV, ROS
akan menghasilkan ion superoksida, peroksida dan oksigen tunggal. Vitamin C akan
melindungi kulit dari stress oksidatif dengan cara menyumbang elektron untuk
menetralisir radikal bebas. Vitamin C juga sangat penting untuk biosintesis kolagen.
Vitamin C berperan sebagai kofaktor untuk enzim lysyl pro, sebuah hydroksilase
lysyl yang bertanggung jawab untuk menstabilkan dan menghubungkan ikatan
molekul kolagen. Mekanisme lain dari Vitamin C dalam mempengaruhi sintesis
kolagen adalah dengan stimulasi perokdisasi lipid, dan produk dari proses ini adalah
malondialdehis yang merangsang ekspresi gen kolagen (Vitamin C in
Dermatology, 2013).
4
Selain berperan sebagai antioksidan dan stimulasi sintesis kolagen, vitamin c
pada kulit juga berperan dalam mengatasi pigmentasi. Mekanisme aksi dari Vitamin
C adalah dengan mengahmbat proses melangenesis. Melanin, merupakan pigmen
polimer sebagai photoprotection dari kulit terhadap radiasi ultraviolet. Gangguan
hiperpigmentasi seperti melasma dapat disebabkan oleh sintesis melanin berlebihan.
Melanogenesis terdiri dari banyak tahapan reaksi enzimatik dimana tirosin
dikonversi menjadi eumelanin dan pheomelanin.
Dalam sebuah penelitian, membandingkan efek dalam menghambat melanin
oleh vitamin C dibandingkan dengan multivitamin. Multivitamin mengandung
vitamin A 10 IU, vitamin D 1000 IU, vitamin E 5 IU, vitamin B1 50 mg, vitamin B2
12,7 mg, vitamin B6 15 mg, vitamin C 500 mg, 100 mg nicotinamide, dan
dexpanthenol (vitamin B5) 25 mg, sedangkan vitamin C yang digunakan dosis
500mg. Hasilnya pada penelitian secara in vitro vitamin C memiliki efek
antioksidan dan penghambat enzim tirosinase lebih tinggi dibandingkan
multivitamin, sedangkan penelitian in vivo multivitamin memiliki efek menghambat
melanogenesis lebih baik dibandingkan vitamin C, namun untuk efek sebagai
penghambat enzime tirosin dan antioksidan vitamin C memiliki aktivitas lebih baik
dibandingkan multivitamin. Dalam studi ini, menurunnya aktivitas tirosinase oleh
vitamin C disebabkan oleh aktivitas antioksidan, dan bukan oleh inhibisi langsung
sehingga baik vitamin C maupun multivitamin dapat digunakan sebagai pengobatan
hiperpigmentasi (Effect of vitamin C vs. Multivitamin on Melanogenesis:
Comparative study in vitro and in vivo,2010).
5
Gambar 3. Foto hasil pengamatan kondisi kulit sebelum dan sesudah pemberian multivitamin dibandingkan dengan vitamin c
6. Ketentuan Sterilisasi Filtrasi menurut CPOB
Produk yang ditujukan untuk menjadi steril, bilamana memungkinkan,
hendaklah diutamakan disterilisasi akhir dengan cara panas dalam wadah akhir. Bila
sterilisasi cara panas tidak memungkinkan karena stabilitas dari formula produk
hendaklah dipakai metode sterilisasi akhir yang lain setelah dilakukan filtrasi
dan/atau proses aseptis (CPOB, 2012).
Filtrasi saja dianggap tidak cukup apabila sterilisasi dalam wadah akhir dapat
dilakukan. Merujuk pada metode yang ada saat ini, sterilisasi dengan uap adalah
cara yang diutamakan. Bila produk tidak dapat disterilkan dalam wadah akhirnya,
larutan atau cairan dapat difiltrasi ke dalam wadah yang telah disterilkan
sebelumnya melalui filter steril dengan ukuran pori nominal 0,22 mikron (atau lebih
kecil), atau paling tidak melalui filter yang mempunyai kemampuan menahan
mikroba yang ekuivalen. Filter tertentu dapat menghilangkan bakteri dan kapang,
tapi tidak menghilangkan semua virus atau mikoplasma. Hendaklah
dipertimbangkan untuk melakukan pemanasan pada suhu tertentu sebagai pelengkap
proses filtrasi. Karena metode filtrasi memiliki potensi risiko tambahan
dibandingkan dengan proses sterilisasi lain, dianjurkan untuk melakukan filtrasi
kedua dengan filter yang sudah disterilkan, yang mampu menahan mikroba, segera
sebelum pengisian. Filtrasi steril akhir hendaklah dilakukan sedekat mungkin ke
titik pengisian.
Karakteristik filter hendaklah yang seminimal mungkin melepaskan serat
(bahkan nol). Filter yang mengandung asbes sama sekali tidak boleh digunakan.
Integritas filter yang telah disterilisasi hendaklah diverifikasi sebelum digunakan
dan dikonfirmasikan segera setelah digunakan dengan metode yang sesuai, seperti
uji bubble point, diffusive flow atau pressure hold. Waktu yang dibutuhkan untuk
memfiltrasi larutan ruahan dengan volume tertentu dan perbedaan tekanan yang
digunakan untuk melewati filter hendaklah ditetapkan pada saat validasi dan
perbedaan yang signifikan pada proses pembuatan rutin hendaklah dicatat dan
diinvestigasi. Hasil pemeriksaan ini hendaklah dicantumkan dalam catatan bets.
Integritas filter ventilasi udara dan gas yang kritis hendaklah dikonfirmasi sesudah
digunakan. Integritas filter lain hendaklah dikonfirmasi pada interval waktu yang
sesuai. Hendaklah dipertimbangkan untuk meningkatkan pemantauan integritas
6
filter pada proses yang melibatkan kondisi berat, misal sirkulasi udara bersuhu
tinggi. Filter yang sama hendaklah tidak digunakan lebih dari satu hari kerja kecuali
telah divalidasi. Filter hendaklah tidak memengaruhi mutu produk dengan
menghilangkan bahan produk atau dengan melepaskan bahan filter ke dalam produk
(CPOB, 2012).
FORMULASI SEDIAAN
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan Formulasi Pembatasan yang dilakukan1. Zat aktif mudah teroksidasi 1. Wadah (ampul) berwarna gelap
2. Wadah gelap memungkinkan pelepasan logam
2. Penambahan Chelating Agent
3. Zat aktif tidak tahan pemanasan 3. Pembuatan dengan teknik aseptis dan sterilisasi dengan filtrasi
4. Kemungkinan kontaminasi saat proses pembuatan
4. Penambahan pengawet
5. pH yang dibutuhkan agar stabil antara 7,0 – 8,0
5. Dilakukan adjust pH
2. Formulasi
Bentuk Sediaan Ampul
Volume Sediaan 10 ml/ Ampul
Rute Pemberian Subcutan
Dosis 50 mg/ml
3. Formula
Tiap ml mengandung :
Vitamin C 50 mg
Disodium Edetate 0,025 %
Benzalkonium chloride 0,01 %
Sodium Bicarbonate 84 mg
Aqua pro injeksi ad 1 ml
pH sediaan yang diharapkan 7,0 – 8,0; bila perlu ditambahkan pH adjuster. pH
adjuster yang digunakan adalah NaOH.
4. Preformulasi Zat Aktif
7
Asam Askorbat (Martindale 36, p. 1983)
Pemerian Kristal atau serbuk kristal
Rasa Tidak berasa
Warna Putih, hampir putih, warna berubah saat terpapar oleh udara dan
kelembaban.
Bau Tidak berbau
Kelarutan Mudah larut dalam air, larut dalam alkohol
pH larutan larut 5% dalam air dengan memiliki pH 2,1-2,6.
Titik lebur 190o
Stabilitas Simpan pada kemasan asli tertutup di suhu ruangan (max. 25°C),
Ascorbic Acid serbuk stabil selama paling sedikit 18 bulan.
Ascorbic Acid Kristal Medium dan Mesh standar stabil selama
paling sedikit 36 bulan. Ascorbic Acid kuat menurunkan bagian
mereduksi. Sensitif terhadap kelembaban, oksigen atmosfir dan
panas. Sukar larut dalam larutan aqueous daripada dalam sediaan
kering.
Inkompatibilita
s
Tidak bercampur dengan basa, ion logam berat terutama tembaga
dan besi, bahan pengoksidasi, metenamin, fenileprin HCl, pirilamin
maleat, salisilamid, Natrium nitrit, Natrium salisilat, Teobromin
salisilat dan Pikotamid. Asam askorbat ditemukan berlawanan
dengan kolorimeti pada pengujian kadar logam dengan mengurangi
intensitas warna pada produk
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
Penggunaan Antioksidan, Pencerah kulit
8
5. Preformulasi Bahan Tambahan
a. Disodium Edetate (Handbook of Pharmaceutical Excipients. Ed 5th, p. 255)
Pemerian : Dinatrium edetat berbentuk Kristal putih atau serbuk.
Rasa : Sedikit asam
Warna : Putih
Bau : Tidak berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam kloroform dan eter, sedikit larut
dalam etanol (95%), larut dalam 11 bagian air.
Stabilitas : Garam edetat lebih stabil dibandingkan asam edetat. Bersifat
higroskopis dan tidak stabil dalam keadaan lembab.
Penyimpanan : Dalam wadah bebas alkali, tertutup, dan disimpan ditempat
yang kering.
Kegunaan : Chelating Agent
b. Benzalkonium chloride (Martindale 36, p. 1629)
Pemerian Serbuk
Rasa -
Warna Putih atau putih kekuningan
Bau Khas aromatik
Kelarutan Sangat mudah larut dalam air dan alkohol. Dalam bentuk
anhydrous larut dalam 1 : 100 dan 1 : 6 dalam benzene.
Stabilitas Higroskopis (menyerap kelembapan dan karbon dioksida),
peka cahaya
Penyimpanan Dalam wadah kedap udara dan tidak tembus cahaya
Kegunaan Pengawet
Pemerian Kristal (pelet), batang atau lempengan
9
Rasa -
Warna Putih atau hampir putih
Bau Khas
Kelarutan Sangat larut dalam air 1:1, mudah larut dalam alkohol
pH larutan Larutan 0,01% dalam air pH > 11
pKa -
Stabilitas Higroskopis (menyerap kelembapan dan karbon dioksida),
peka cahaya
Inkompatibilitas -
Penyimpanan Dalam wadah kedap udara dan tidak tembus cahaya
Kegunaan Untuk menyesuaikan pH larutan
c. Natrium Hidroksida (NaOH) (Ph Eur 6.2 ; USNF 26)
d. Sodium Bicarbonate (Martindale 36, p. 1673)
Pemerian Serbuk atau Kristal
Rasa -
Warna Putih atau hampir putih
Bau Khas
Kelarutan Larut dalam air, praktis tidak larut dalam alcohol
pH larutan Larutan 5 % dalam air pH tidak lebih dari 8,6
Penyimpanan Dalam wadah kedap udara dan tidak tembus cahaya
Kegunaan Untuk menyesuaikan pH larutan
e. Aqua Pro Injection (DepKes, 1979:97 dan Rowe, R. C., 2009:766)
Pemerian Cairan jernih
10
Bau Tidak berbau
Warna Tidak berwarna
Rasa Tidak berasa
Berat molekul 18,02
Stabilitas Stabil pada tempat yang kering. Dapat stabil dalam semua
keaadaan fisika (es, cair dan uap). Air dari hasil sistem
pemurnian secara farmasi harus disimpan secara spesifik.
Rancangan dan operasi dari sistem distribusi penyimpanan
adalah untuk menjaga air dari kelebihan batas bisa diijinkan
selama penyimpanan. Khususnya, penyimpanan dan distribusi
sistem harus memastikan bahwa air dilindungi dari pencemaran
organik dan bersifat ion, yang akan mendorong kearah suatu
peningkatan di dalam daya konduksi dan total karbon organik,
secara berturut-turut. Sistem harus pula dilindungi dari phisik
masuknya jasad renik dan partikel asing sehingga dapat
mencegah pertumbuhan mikrobial.
Inkompatibilitas Dalam formulasi dapat bereaksi dengan obat dan bahan
tambahan lainnya yang mudah terhidrolisis dalam lingkungan
pada temperatur tinggi.
Penyimpanan Dalam wadah tertutup kedap. Jika disimpan dalam bertutup
kapas, berlemak maka harus digunakan dalam waktu 3 hari
setelah pembuatan
Penggunaan Untuk pembuatan injeksi
6. Perhitungan Penimbangan
Volume yang dibuat = (Banyaknya vial + 2) x (Volume + 0,5)
= (4 + 2) x (10 + 0,5)
= 63 ml
Nama Bahan Perhitungan Penimbangan
11
Vitamin C 50 mg x 63 ml = 3,15 g 3,15 g
Disodium Edetate 0,025% x 63 ml = 157,5 mg 157,5 mg
Bezalkonium chloride 0,01% x 63 ml = 6,3 mg
(pengenceran)
50 mg
Sodium Bicarbonate 84 mg x 63 ml = 5,29 g 5,29 g
Aqua pro injeksi ad 63 ml ad 63 ml
Pengenceran Benzalkonium chloride :
Timbang Bezalkonium chloride = 50 mg
Aqua pro injection ad = 10 ml
Jumlah larutan yang diambil = 6,3 mg / 50 mg x 10 ml = 1,26 ml
(mengandung 6,3 mg Benzalkonium chloride)
Perhitungan tonisitas :
Acidum ascorbicum e = 0,18
EDTA e = 0,2
Benzalkonium chloride e = 0,16
Sodium bicarbonate e = 0,65
Sodium hidroksida e = 1,445 (e = (3,4/40) x 17 = 1,445)
NaCl yang ditambahkan agar isotonis
= 0,9 – (0,18 + 0,2 + 0,16 + 0,65 + 1,445)
= - 1,735 (Hipertonis, maka tidak perlu penambahan NaCl)
METODE PEMBUATAN
Pembuatan sediaan injeksi Vitamin C dilakukan dengan teknis aseptis. Proses
pembuatan sediaan injeksi Vitamin C dilakukan sesuai skema berikut :
12
Skema Prosedur Pembuatan Injeksi Vitamin C
13
Menyiapkan alat dan bahan
Vitamin C
sebanyak 3,5 gram
Sodium bikarbonat 5,29 gram
Benzalkonium chlorid
Disodium Edetate 157,5 mg
NaOH Aqua pro injeksi
Dicampur sampai habis bereaksi yang ditandai dengan
hilangnya CO2 .
Pengenceran : ditimbang
benzalkonium chlorid 50 mg, adkan aqua pro injeksi ad 10 ml. jumlah
larutan yang bisa diambil 1,26 ml.
Dilarutkan dengan aqua pro injeksi 10 ml
Dilarutkan dengan aqua pro injeksi 10 ml
Dilarutkan dengan aqua pro injeksi 10 ml
Dicampur ad homogen, dilakukan cek pH, jika pH kurang dari 7,0-8,0, dilakukan adjust pH menggunakan NaOH
p
H
Ad
j
us
t
Jika pH sudah sesuai (7,0-8,0) maka di ad kan dengan aqua pro injeksi ad 63 ml, dikemas ke dalam ampul @10 ml.
Dilakukan evaluasi uji produk sediaan injeksi vitamin c
PEMBAHASAN
Pada proses penyusunan formulasi injeksi Vitamin C terdapat beberapa masalah
yang menjadi pertimbangan khusus. Masalah yang pertama adalah sifat Vitamin C yang
mudah teroksidasi. Vitamin C dalam sediaan ini merupakan bahan aktif yang mudah
teroksidasi apabila terkena cahaya matahari. Untuk mengatasi masalah ini, maka dipilih
wadah yang tidak dapat ditembus oleh cahaya yaitu ampul kaca berwarna coklat.
Pemilihan wadah berwarna gelap, menimbulkan masalah baru, yaitu ampul coklat yang
memiliki kemungkinan pelepasan logam-logam yang dapat mempengaruhi stabilitas
sediaan, karena Vitamin C dapat membentuk ikatan dengan logam-logam, sehingga
diperlukan penambahan Chelating Agent yaitu Disodium Edetate.
Sediaan injeksi wajib dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan darah
atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak
seperti pada saluran cerna (gastrointestinal). Diharapkan dengan kondisi steril dapat
menghindari terjadinya infeksi sekunder. Dalam pembuatan sediaan steril tidak berlaku
relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
Terkait dengan sterilitas sediaan injeksi, permasalahan yang kedua dalam proses
formulasi injeksi Vitamin C adalah sifat Vitamin C yang tidak tahan terhadap
pemanasan, ini menjadi pertimbangan dalam menentukan metode sterilisasi sediaan.
Terdapat berbagai macam metode sterilisasi, maka untuk mengatasi masalah ini perlu
dipilih metode sterilisasi yang tidak menggunakan pemanasan. Metode sterilisasi yang
dipilih adalah filtrasi. Proses pembuatan injeksi Vitamin C dilakukan dengan metode
aseptis, dan sterilisasi akhir menggunakan filtrasi, akan tetapi pada saat proses
pembuatan dikhawatirkan adanya kontaminasi bakteri. Untuk mencegah adanya
kontaminasi maka perlu ditambahkan pengawet, pengawet yang dipilih adalah
Benzalkonium Klorida.
Selain sterilitas yang menjadi persyaratan mutlak sediaan injeksi, terdapat pula
persyaratan lain yaitu persyaratan tonisitas. Sediaan parenteral sebisa mungkin isotonis,
untuk mengetahui sediaan yang akan dibuat isotonis atau tidak maka dilakukan
perhitungan isotonis. Terkadang keadaan isotonis sulit dicapai. Oleh karena itu apabila
sediaan parenteral tidak memungkinkan dibuat isotonis, maka lebih baik hipertonis dari
pada hipotonis. Keadaan hipertonis akan menyebabkan sel mengkerut, tetapi bersifat
reversible dimana keadaan sel dapat kembali seperti semula. Dalam proses formulasi
14
injeksi Vitamin C telah dilakukan perhitungan isotonis menggunakan cara kesetaraan
NaCl, hasil yang diperoleh adalah – 1,735 (hipertonis) sehingga tidak diperlukan
penambahan NaCl. Volume sediaan yang dibuat dalam formulasi ini adalah 10 ml,
dengan kekuatan 50 mg/ml.
Masalah yang ketiga adalah terkait dengan pH sediaan. Asam askorbat yang
terlarut memiliki sifat asam, apabila larutan asam diinjeksikan akan terasa perih. Maka
untuk mengatasi masalah ini, Vitamin C yang digunakan dalam sediaan ini adalah
bentuk garam dari asam askorbat. Garam Vitamin C terbentuk dari hasil reaksi antara
asam askorbat dan sodium bikarbonat, menghasilkan sodium askorbat. Sodium askorbat
memiliki pH yang lebih basa yaitu 7,0 – 8,0.
C6H8O6 + NaHCO3 → NaC6H7O6 + CO2 ↑ + H2O
Pada proses formulasi, diharapkan pH sediaan yang terbentuk setelah semua
bahan di tambahkan adalah basa. Selain untuk memberikan rasa nyaman pada pasien
pada saat injeksi, diharapkan dapat menjaga stabilitas sodium askorbat yang terbentuk
dari hasil reaksi antara asam askorbat dan sodium bikarbonat. Untuk itu setelah semua
komposisi sediaan telah dicampurkan, dilakukan pengukuran pH. Apabila diketahui pH
sediaan masih asam, maka ditambahkan pH adjuster yaitu NaOH.
15
UJI PRODUK
1. Kadar Bahan Aktif
Alat: HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
Prinsip Kerja:
Dengan bantuan pompa fase gerak dialirkan melalui kolom ke detektor. Sampel
yang dilarutkan dalam solvent, dimasukkan ke dalam aliran fase gerak dengan
cara injeksi. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen2 campuran
perbedaan kekuatan interaksi antara analit (solut-solut) dengan stationary phase
pada kolom. Solut-solut yang kurang kuat interaksinya dengan fase diam akan
keluar dari kolom terlebih dahulu. Sebaliknya, solut2 yang kuat berinteraksi
dengan fasa diam maka solut2 tsb akan keuar dari kolom lebih lama. Setiap
komponen campuran yang keluar dari kolom dideteksi oleh detektor kemudian
direkam dalam bentuk kromatogram.
Kromatogram HPLC serupa dengan kromatogram GC jumlah peak
menyatakan jumlah komponen; luas area peak menyatakan konsentrasi dalam
campuran
Sistim HPLC dapat dihubungkan dengan software pada komputer dan
dioperasikan secara computerize. Dosis yang ada tidak boleh kurang dari 90%
dari yang tertera dalam label
Contoh: L-ascorbic acid
16
2. Derajat Keasaman (pH)
Alat: pH meter
Prinsip kerja pH meter:
Pada prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada potensial
elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat didalam elektroda gelas
(membrane gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat diluar elektroda
gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca
akan berinteraksi dengan ion hydrogen yang ukurannya relative kecil dan aktif,
elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hydrogen
atau diistilahkan dengan potential of hydrogen. Untuk melengkapi sirkuit elektrik
dibutuhkan suatu elektroda pembanding. Sebagai catatan, alat tersebut tidak
mengukur arus tetapi hanya mengukur tegangan. pH meter akan mengukur potensial
listrik (pada gambar alirannya searah jarum jam) antara merkuri Cloride (HgCl)
pada elektroda pembanding dan potassium chloride (KCl) yang merupakan larutan
didalam gelas electrode serta potensial antara larutan dan elektroda perak. Tetapi
potensial antara sampel yang tidak diketahui dengan elektroda gelas dapat berubah
tergantung sampelnya, oleh karena itu perlu dilakukan kalibrasi dengan
menggunkan larutan yang equivalen yang lainya untuk menetapkan nilai dari pH.
17
3. Uji Kekeruhan
a. Alat: Turbidimeter
Prinsip kerja Turbidimeter:
Alat akan memancarkan cahaya pada media atau sampel, dan cahaya
tersebut akan diserap, dipantulkan atau menembus media tersebut. Cahaya yang
menembus media akan diukur dan ditransfer kedalam bentuk angka.
b. Secara visual
Sediaan diterawang dan dilihat di bawah lampu UV 254 nm dengan latar putih.
4. Uji Sterilitas
a. Inokulasi Langsung
Pada uji inokulasi langsung, sediaan atau bahan yang diperiksa di inokulasikan
ke dalam media uji secara langsung. Prosedur dari inokulasi langsung yaitu sampel
langsung ditambahkan pada larutan media kemudian diinkubasi ± 14 hari. Media
yang digunakan mempunyai sifat merangsang pertumbuhan bagi mikroba yaitu
Fluid Thioglycolate Medium (FTM) dan atau Alternative Thioglycolate Medium
(ATM), Soybean-casein Digest Medium (SCDM). Mikroba yang digunakan adalah
Staphylococcus aureus atau Bacillus subtilis, Clostridium sp. Dan Candida
albicans. (Farmakope Indonesia, 1995)
Prinsip pengujian:
1. pindahkan cairan dari wadah uji menggunakan pieta tau jarum suntik steril
2. secara aseptic inokulasikan sejumlah tertentu bahan dari tiap wadah uji ke
tabung media
3. campur cairan dengan media tanpa aerasi berlebihan
18
b. Filtrasi membrane
Fungsi filtrasi membrane untuk cairan yang dapat larut yang bersifat
bakteriostatik atau fungistatik, untuk memisahkan mikroba kontaminan dari
penghambat pertumbuhan
Prosedur filtrasi membrane:
1) Sampel cairan dilewatkan penyaring membrane steril dengan diameter pori-
pori tidak lebih besar dari 0,45 µm, dengan diameter lebih kurang 47 mm,
dan kecepatan penyaringan air 55 ml sampai 75 ml per menit pada tekanan
70 cmHg
2) Cuci dengan larutan yang sesuai misal: larutan pepton 0,1%.
Prinsip tekhnik filtrasi membran ini adalah dengan menyaring cairan sampel
melewati saringan yang sangat tipis dan yang terbuat dari bahan sejenis selulosa.
Membran ini memiliki pori-pori berukuran mikroskopis dengan diameter lebih
kecil daripada ukuran sel mikroba pada umumnya. Jadi selama proses
penyaringan berlangsung, sel-sel yang terdapat pada sempel akan terjebak dari
peralatan filtrasi kedalam cawan petri berisi media. Kertas membran ini bersifat
solid sehingga dapat menahan sel yang terjebak tetap pada posisinya dan
kemudian dapat berkembang tanpa bercampur dengan sel lain yang ikut terjebak
juga. Nutrisi yang terdapat pada media akan berdifusi dan terserap kedalam
kertas membrane sehingga sel-sel yang tersebar acak dan kasat mata itu dapat
tumbuh menjadi koloni yang dapat dihitung dengan mata telanjang setelah
melewati masa waktu inkubasi tertentu. Bentuk, warna dan sifat lain dari
masing-masing koloni tergantung kepada jenis mikroba yang berada pada kertas
membran. (Lachman, Leon., 1989)
5. Uji Kebocoran
Prinsip pengujian kebocoran yaitu untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk
menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan. Prosedur uji kebocoran yaitu
direndam seluruh sediaan dalam larutan Metilen Blue 0,0025% b/v (ampul dalam
19
keadaan terbalik) kemudian jika ampul berwarna biru menandakan ampul tersebut
bocor.
6. Keseragaman Volume
Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih. Ambil isi tiap wadah
dengan alat suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang
akan diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kurang dari
2,5 cm. keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik kemudian
pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa menggosokkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur
kering volume tertentu yang telah dibakukan. Volume tidak kurang dari volume yang
tertera pada wadah bila diuji satu persatu (FI IV hal 1044).
20
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1994. Farmasetika. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Connors, K.A., et al. (1986). Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi II. Jilid
Kedua. Jakarta: Jhon willey and Sons.
Day, R.A., A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1978). Formularium Nasional, Edisi
II, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi
III, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi
IV, Jakarta.
Dewoto HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi
kelima.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Percetakan Gaya Baru, Jakarta.
Badan POM, 2012, Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Badan POM RI, Jakarta
Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals.In: Pharmacology
Demystified.Mc.GrawHill Companies Inc.,USA.
Hendayana, Sumar. (2006) . KIMIA PEMISAHAN Metode Kromatografi dan
Elektroforensis Modern. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
21
Oyetade, O.A., Oyeleke, G.O., et al. Stability Studies on Ascorbic Acid (Vitamin C)
From Different Sources. 2012. IOSR Journal of Applied Chemistry (IOSR-JAC)
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. C.V Andi Offset. Yogyakarta.
Rowe, Raymon C., Paul J. Sheskey., and Marian, E. Quinn. Handbook of
Pharmaceutical Excipients,5th edition, London: The Pharmaceutical Press
Telang, P. S. Vitamin C in Dermatology. Indian Dermatol Online J. 2013 Apr-Jun;
4(2): 143–146. DOI 10.4103/2229-5178.110593
Tim Kimia Analitik Instrumen. (2009). Penuntun Praktikum Kimia Analitik
Instrumen (KI 512). Bandung : Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.
Yang Kyu Choi, Yong Kwan Rho, Kwang Ho Yoo, et al. Effect of vitamin C vs.
Multivitamin on melanogenesis: comperative study in vitro and in vivo.
International Journal of Dermatology 2010 ; 49: 218 – 226.
22
LAMPIRAN 1. Rancangan Kemasan Produk
LAMPIRAN 2. Rancangan Brosur Produk
LAMPIRAN 3. Penelitian Terkait Vitamin C
23