makalah filsafat ilmu dan logika - tuhan
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 1
Makalah
Filsafat Ilmu dan Logika
Tuhan
Dosen : JUNAIDI, S.H.I., M.Hum
Oleh : NAMA : NASRUDDIN. ASN
NIM : 601131010020
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 1435 H/ 2014 M
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa dihaturkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan
nikmatnya, saya dapat menyusun makalah Filsafat Ilmu dan Logika dengan sub bahasan
“Tuhan” Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai pelopor
pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.
Ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi serta
dukungan moral agar selalu belajar dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Rekan-rekan
mahasiswa yang selalu memberi semangan dan dukungan. Sebagai bentuk kecintaan terhadap
bangsa dan upaya sebagai warga Negara yang baik untuk terus berupaya memajukan bangsa
dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Sangat disadari banyak terdapat kekungan baik dari segi penulisan, pemahanan serta
keterbatasan literature sehingga diharapkan kritik serta saran sebagai bahan evaluasi bagi
penulis dan perbaikan pada masa yang akan datang.
Harapan saya makalah ini mampu memberikan kontribusi positif bagi kemajuan pola
pikir dan berkembangan sumber daya manusiauntuk Indonesia yang lebih baik.
Tembilahan, 05 Oktober 2014
Penyusun,
NASRUDDIN. ASN
NIM : 601131010020
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
A. Latar belakang ..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Pengertian Tuhan ................................................................................................ 5
B. Konsep Tentang Tuhan ....................................................................................... 7
C. Keberadaan Tuhan .............................................................................................. 11
D. Tuhan dalam Sudut Pandang Nonteistis ............................................................. 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 15
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan akan Tuhan adalah hal yang telah dilakukan manusia sejak zaman
dahulu. Manusia mencari pemilik dan pencipta alam semesta ini. Bagaimana proses
terjadinya dan bagaimana sehingga terdapat kehidupan makhluk didalamnya. Berawal
dari hal itulah manusia coba mengkajinya dengan nalar dan pengetahuan yang dimilik.
Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman primitif sudah
mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang disebut dengan Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini disebabkan
karena perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Dengan akalnya manusia mampu
mempercayai adanya Tuhan. Tokoh lain juga berpendapat bahwa mengetahui Tuhan
dapat diketahui melalui akal.
Mengingat kepercayaan terhadap Tuhan berbeda-beda, lantas apakah semua
Tuhan yang dipercayai oleh manusia merupakan Tuhan yang Haq (benar), dan
bagaimana cara mengetahui Tuhan yang Haq (benar) tersebut?
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang
“Tuhan”. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya
pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Pengertian Tuhan;
2. Konsep Tentang Tuhan;
3. Keberadaan Tuhan;
4. Tuhan dalam Sudut Pandang Nonteistis; dan
5. Presentasi kepercayaan akan Tuhan.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai materi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu dan Logika dengan sub bahasan Tuhan agar dapat memahami lebih dalam
tentang Tuhan.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuhan
Tuhan dipahami sebagai zat Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak
ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep
ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme,
Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta.
Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut campur
dalam kejadian di alam semesta.
Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para
cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep ketuhanan
yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah Mahatahu (mengetahui
segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Mahaada (hadir di mana
pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang
setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi.
Penganut monoteisme percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud
(tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar
yang dapat direnungkan". Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka yang
mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.
Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat
pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya.
Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama monoteistis
tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta
alam semesta, yang disebut Aten. Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab Ibrani, dan
"Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan Yahweh, dan
Yehuwa kadangkala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil vokalisasi dari
YHVH.
Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena predominansi Islam di
antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan
kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal “Asmaul Husna” 99 nama
suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar
Elohim atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari
bahasa Mesir Kuno, Aten). Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 6
Tuhan monistis. Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya:
Baha dalam agama Baha'i, Waheguru dalam Sikhisme, dan Ahura Mazda dalam
Zoroastrianisme.
Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal
sifat, maksud, dan tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-
pemikiran seperti omniteisme, pandeism, atau filsafat Perennial, yang menganggap
adanya satu kebenaran teologis yang mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai
agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda, maka sesungguhnya agama-agama di
dunia menyembah satu Tuhan yang sama, namun melalui konsep dan pencitraan mental
yang berbeda-beda mengenai-Nya.
Secara Etimologi dan Terminologi. Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini
berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata
tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ
(1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu
tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau
hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula
untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang
yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan
dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah"
atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks
selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Ahli bahasa Remy Sylado menemukan bahwa perubahan kata "tuan" yang
bersifat insani, menjadi "Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Melayu karya Melchior Leijdecker yang terbit pada tahun 1733. Dalam
terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin
terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa
Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang diperuntukkan bagi Isa Almasih ini
diterjemahkannya menjadi "tuan."
Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai "Tuan"—sama dengan bahasa
Portugis Senhor, Perancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere—melalui Leijdecker
beruah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab bahasa Melayu
melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang awalnya ditemukan
oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi
Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 7
Kata "Tuhan" pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu zat abadi dan
supernatural. Bagi rumpun agama samawi, kata Tuhan sendiri biasanya mengacu pada
Allah, yang diyakini sebagai zat yang Mahasempurna, pemilik langit dan bumi yang
disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan kata rabb. Menurut
Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur,
pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali
dalam Al-Qur'an, sementara di dalam Alkitab kata Tuhan disebutkan sebanyak 7677
kali.
Dalam monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan
memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan
untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah
bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-
Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan
tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau
dijelaskan.
Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang
berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan dewa. Penganut monoteisme
biasanya menolak menggunakan kata dewa, karena merujuk kepada entitas-entitas
dalam agama politeistis. Meskipun demikian, penggunaan kata dewa pernah digunakan
sebelum penggunaan kata Tuhan. Dalam Prasasti Trengganu, prasasti tertua di dalam
bahasa Melayu yang ditulis menggunakan huruf Arab (huruf Jawi) menyebut Sang
Dewata Mulia Raya. Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata devata,
sebagai hasil penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara. Bagaimanapun, pada
masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal,
sementara dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga
cenderung mengacu kepada politeisme.
B. Konsep Tentang Tuhan
Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam
agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi,
pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-agama
dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan
dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 8
panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui
oleh Gautama Buddha, terutama Śakra dan Brahma.
a. Monoteisme dan henoteisme
Penganut monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan
beberapa ajaran monoteistis mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang
dipuja oleh semua agama dengan nama yang berbeda-beda. Pandangan bahwa
seluruh pemuja Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda) sesungguhnya memuja
satu Tuhan yang sama—entah disadari atau tidak disadari oleh umat tersebut—
terutama diajarkan dalam agama Hindu dan Sikh.
Agama samawi atau dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena
meyakini Abraham/Ibrahim sebagai nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk
menunjuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama-agama ini dikenal sebagai
agama monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan. Yahudi
dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada
sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini
menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan
bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering disebutkan yaitu:
Yahweh dalam agama Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen; Allah dalam
Islam.
Agama Kristen mengenal konsep Tritunggal, yang maksudnya Tuhan
memiliki tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep ini terutama dipakai
dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini merupakan paham
monoteistis yang dipakai sejak Konsili Nicea I pada tahun 325 M. Kata
"Tritunggal" sendiri tidak ada dalam Alkitab. Di dalam Ulangan 6:4 ditulis bahwa
Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah "kesatuan dari
berbagai satuan". Contohnya, pada Kejadian 2:24 ditulis "keduanya (manusia dan
istrinya) menjadi satu (ekhad) daging" berarti kesatuan dari 2 manusia. Di
Kejadian 1:26 Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti "Kita", mengandung
kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi ketuhanan,
namun terdiri dari tiga pribadi.
Di samping monoteisme yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada ajaran
henoteisme yang meyakini dan memuja satu Tuhan, namun juga meyakini
keberadaan dewa-dewi lainnya dan bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi
istilah tersebut adalah "monoteisme inklusif" dan "politeisme monarkis", dipakai
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 9
untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme mirip namun
kurang eksklusif daripada monolatri (pemujaan satu Tuhan) karena monolator
hanya memuja satu Tuhan (menolak keberadaan dewa-dewi untuk disembah),
sedangkan penganut henoteisme dapat memuja dewa-dewi dari panteon yang
mereka yakini, tergantung keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan
memuja satu Tuhan saja sepanjang hidup mereka (kecuali ada konversi tertentu).
Dalam beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa dalam kerangka henoteistis
dapat saja terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis, bahkan politis.
b. Teisme, deisme, dan panteisme
Teisme pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis,
objektif, dan independen. Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala
hal; mahakuasa dan kekal abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta
melalui pengalaman religius dan doa-doa umat-Nya. Teisme menegaskan bahwa
Tuhan sukar dipahami oleh manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan
bersifat tak terbatas sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia. Meski
demikian, tidak seluruh penganut teisme mengakui dalil tersebut.
Teologi Katolik menyatakan bahwa Tuhan Mahakuasa sehingga tidak akan
terikat pada waktu. Banyak penganut teisme percaya bahwa Tuhan Mahakuasa,
Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini memicu timbulnya
pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan dan
penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan diri
meskipun memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang.
Sebaliknya, menurut teisme terbuka, karena adanya sifat asasi waktu, atribut
Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan juga dapat memprediksikan masa depan.
"Teisme" kadangkala digunakan untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap
adanya Tuhan dan dewa/dewi secara umum, contohnya monoteisme dan
politeisme.
Deisme mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia.
Menurut penganut deisme, Tuhan itu ada, namun tidak ikut campur dalam urusan
kejadian di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta. Menurut
pandangan ini, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta
menjawab doa umatnya dan tidak menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 10
meyakini bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu
mengenai apa yang diperbuat manusia. Dua cabang deisme, pandeisme dan
panendeisme mengkombinasikan deisme dengan panteisme dan panenteisme.
Pandeisme dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam
semesta kemudian mengabaikannya, sebagaimana panteisme menjelaskan asal
mula dan maksud keberadaan alam semesta.
Panteisme mengajarkan bahwa Tuhan adalah alam semesta dan alam
semesta itu Tuhan, sedangkan panenteisme menyatakan bahwa Tuhan meliputi
alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan
pandangan dalam ajaran Gereja Katolik Liberal, Theosophy, beberapa mazhab
agama Hindu, Sikhisme, beberapa divisi Neopaganisme dan Taoisme. Kabbalah,
mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan yang panteistis/panenteistis—
yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik, khususnya dari pendiri
mereka, Baal Shem Tov—namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan
Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang
menolak batas-batas persona Tuhan.
c. Konsep ketuhanan lainnya
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang
mengajarkan bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya
jahat sebagai konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi
pandangan ini berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara.
Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan,
misalnya teologi proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel
Henry menyatakan suatu pendekatan fenomenologi dan pengertian Tuhan sebagai
esensi fenomenologis dari kehidupan.
Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang
berkepribadian, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat
direnungkan". Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog Yahudi, Kristen awal,
dan muslim, yang terkemuka di antaranya adalah: Maimonides, Agustinus dari
Hippo, dan Al-Ghazali.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 11
C. Keberadaan Tuhan
Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi
Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang
saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe
metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori
evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan
Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan induktif.
Ada banyak pendapat yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan
Tuhan. Beberapa pendapat terkemuka adalah Quinque viae, argumen dari keinginan
yang dikemukakan oleh C.S. Lewis, dan argumen ontologis yang dikemukakan oleh St.
Anselmus dan Descartes. Bukti-bukti tersebut diperdebatkan dengan sengit, bahkan di
antara para penganut teisme sekalipun. Beberapa di antaranya, misalnya argumen
ontologis, masih sangat kontroversial di kalangan penganut teisme. Aquinas menulis
risalah tentang Tuhan untuk menyangkal bukti-bukti yang diajukan Anselmus.
Pendekatan yang dilakukan Anselmus adalah untuk mendefinisikan Tuhan
sebagai "tidak ada yang lebih besar daripada-Nya untuk bisa direnungkan". Filsuf
panteis Baruch Spinoza membawa gagasan tersebut lebih ekstrem: "Melalui Tuhan aku
memahami sesuatu yang mutlak tak terbatas, yaitu, suatu zat yang mengandung atribut-
atribut tak terbatas, masing-masing menyiratkan esensi yang kekal dan tidak terbatas".
Bagi Spinoza, seluruh alam semesta terbuat dari satu zat, yaitu Tuhan, atau
padanannya, yaitu alam. Bukti keberadaan Tuhan yang diajukannya merupakan variasi
dari argumen ontologis.
Fisikawan kondang, Stephen Hawking, dan penulis Leonard Mlodinow
menyatakan dalam buku mereka, The Grand Design, bahwa merupakan hal yang wajar
untuk mencari tahu siapa atau apa yang membentuk alam semesta, namun bila
jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya berbalik menjadi siapa atau apa yang
menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah terdengar bahwa ada sesuatu yang
tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu disebut Tuhan. Hal ini dikenal
sebagai argumen sebab pertama untuk mendukung keberadaan Tuhan. Akan tetapi,
kedua penulis tersebut mengklaim bahwa pasti ada jawaban masuk akal secara ilmiah,
tanpa mencampur keyakinan tentang hal-hal gaib.
Beberapa teolog, misalnya ilmuwan sekaligus teolog A.E. McGrath, berpendapat
bahwa keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan metode
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 12
ilmiah. Agnostik Stephen Jay Gould berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama
tidak bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung
dan menentang keberadaan Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" (ateisme kuat); "Tuhan
hampir tidak ada" (ateisme de facto); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau tidak"
(agnostisisme); "Tuhan ada, namun tidak bisa dibuktikan atau dibantah (teisme lemah);
dan "Tuhan ada dan dapat dibuktikan" (teisme kuat).
D. Tuhan dalam Sudut Pandang Nonteistis
Menurut ajaran nonteisme, alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-
hal gaib atau sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep
ketuhanan, sementara menurut yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya
memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-nilai dan aspirasi manusia. Ateis asal
Inggris, Charles Bradlaugh menyatakan bahwa ia menolak untuk berkata "Tuhan itu
tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan untuk maksud yang
tidak jelas atau tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini
Tuhan menurut agama Kristen.
Stephen Jay Gould melakukan pendekatan dengan membagi dunia filosofi
menjadi "non-overlapping magisteria" (NOMA). Menurut pandangan tersebut,
pertanyaan seputar hal-hal gaib/supernatural, seperti halnya keberadaan dan sifat-sifat
Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih layak diulas dalam bidang teologi. Metode ilmiah
seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan mengenai dunia nyata, dan teologi
dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan sejati dan nilai-nilai moral. Menurut
pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang kekuatan supernatural terhadap
kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi pilihan pokok dalam
menjelaskan fenomena di dunia.
Menurut pandangan lainnya, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins,
dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah pertanyaan empiris, dengan alasan bahwa
"alam semesta dengan tuhan akan sungguh berbeda dengan yang tanpa tuhan, dan itu
tentu merupakan perbedaan ilmiah." Carl Sagan berpendapat bahwa doktrin Pencipta
Alam Semesta sulit dibuktikan maupun dibantahkan, dan penemuan ilmiah yang dapat
menyangkal keberadaan Sang Pencipta tentu menjadi penemuan bahwa usia alam
semesta tidak terbatas.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 13
Tuhan antropomorfis. Pascal Boyer berpendapat bahwa dalam dunia yang
dipenuhi oleh berbagai konsep seputar hal gaib yang berbeda-beda, secara umum,
makhluk gaib tersebut cenderung bertindak selayaknya manusia. Penggambaran dewa-
dewi dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia adalah ciri yang mudah dikenali
dari suatu agama. Sebagai contoh, mitologi Yunani, yang menurutnya cenderung
menyerupai opera sabun masa kini daripada suatu sistem kepercayaan. Bertrand du
Castel dan Timothy Jurgensen mendemonstrasikan melalui formalisasi bahwa
penjelasan Boyer cocok dengan epistemologi fisika dalam memosisikan entitas yang
diamati sebagai intermedian tidak secara langsung. Antropolog Stewart Guthrie
berpendapat bahwa masyarakat memproyeksikan ciri manusia kepada aspek-aspek non-
manusia di dunia karena itu akan membuat aspek-aspek tersebut lebih familier.
Sigmund Freud juga menyatakan bahwa konsep ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah
bagi seseorang.
Émile Durkheim adalah salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan
merepresentasikan ekstensi kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-unsur
gaib. Mengimbangi pernyataan tersebut, psikolog Matt Rossano berpendapat bahwa
ketika manusia mulai hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, mereka
menciptakan sosok tuhan sebagai penegakan atas moralitas. Dalam kelompok yang
lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan kekuatan sosial seperti penyebaran gosip atau
penjagaan nama baik. Akan tetapi, lebih sulit untuk menjaga moralitas dalam kelompok
besar dengan menggunakan kekuatan sosial. Rossano menyatakan bahwa dengan
menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk gaib yang mahatahu, maka
manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan keegoisan dan membangun
kelompok yang lebih kooperatif.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuhan dipahami sebagai zat Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak
ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep
ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme,
Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta.
Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut campur
dalam kejadian di alam semesta.
Secara Etimologi dan Terminologi. Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini
berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata
tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ
(1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu
tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau
hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula
untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang
yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan
dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah"
atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks
selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
B. Saran
Sebagai Manusia, makhluk ciptaan tuhan sudah semestinya kita memahami akan
Tuhan. Bagaimana keberadaannya dan bagaimana sehingga terdapat kehidupan
makhluk didalamnya. Sehingga kita dapat memahami dan mensyukuri sebagai makhluk
ciptaannya dan menjalankan kewajiban ibadah kepada-Nya.
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI 2014/2015 | 15
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen.2001.Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh
Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam.Bandung:Penerbit Mizan
http://id.wikipedia.com/tuhan/