makalah fraktur

104
A. FRAKTUR 1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smelter&Bare,2002). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi (Soelarto, Reksoprodjo. ?) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000). Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang 1

Upload: imamezy

Post on 28-Sep-2015

33 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

WWW.MAKALAH FRAKTUR.COM

TRANSCRIPT

A. FRAKTUR1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smelter&Bare,2002). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi (Soelarto, Reksoprodjo. ?) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000). Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung.Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma ( Apley & Solomon, 1993; Rasjad, 1998;Armis, 2002).Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.2. Klasifikasi a. Menurut Penyebab terjadinya Faktur Traumatik : direct atau indirect Fraktur Fatik atau Stress : kerusakan tulang karena kelemahan yang terjadi sudah berulang-ulang ada tekanan berlebihan yang tidak lazim. Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan Fraktur patologis : karena adanya penyakit local pada tulang, maka kekerasa yang ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat menyebabkan fraktur. Contoh : osteoporosis dll.b. Menurut hubungan dengan jaringan ikat sekitarnya Fraktur Tertutup/ Closed/ Fraktur Simplex : Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, atau patahan tulang tidak mempunyai hubungan dengan udara terbuka. Fraktur Terbuka/ Open : Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Kulit robek dapat berasal dari dalam karena fragmen tulang yang menembus kulit atau karena kekerasan yang berlangsung dari luar. Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera dan persendian juga ikut terkena. Fraktur seperti ini dapat berbentuk fraktur tertutup atau fraktur terbuka. Contoh : fraktur pelvis tertutup+rupture vesica urinaria, fraktur costa+luka pada paru-paru, fraktur corpus humerus+paralisis nervus radialis c. Menurut bentuk Fraktur Komplet :Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblique, spiral. Fraktur Inkomplet Fraktur Kominutif Fraktur Kompresi / Crush fracture Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak3. EtiologiFraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan trauma. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang. 4. Diagnosis Faktor trauma kecepatan rendah atau trauma kecepatan tinggi sangat penting dalam menentukan klasifikasi fraktur karena akan berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga. Penting adanyadeskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan juga (Apley & Solomon, 1993; Brinker, 2001).5. Pemeriksaan fisikDimulai dengan inspeksi (look, deformitas), palpasi (feel, nyeri tekan (tenderness), Krepitasi) dan pemeriksaan gerakan ( movement). Pemeriksaan yang harus di lakukan adalah identifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dari lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut. Bila disertai trauma kepala atau tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.6. Pemeriksaan radiologisPemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridemen. Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala klasik dalam menentukan diagnosis harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standard.Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu: Two views : (proyeksi AP/Anteroposteriordan Lateral, karena proyeksi yang salah akan dapat memberikan informasi yang salah maka pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan lateral), Two joints : (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur) Two limbs : ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri) Two injuries : ( biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan trauma di tempat lain dalam tubuh).Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang terjadi, gaya berat maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa : Aposisi (pergeseran kesamping / sideways, tumpang tindih dan berhimpitan / overlapping, bertubrukan sehingga saling tancap/ impacted); Angulasi (penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur); Panjang / length(pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping antar fragmen fraktur) atau terjadi Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang).

Tabel 1. Hubungan garis fraktur dengan energi traumaGaris FrakturMekanisme traumaEnergi

Transversal, oblik, spiral, (sedikit bergeser / masih ada kontak)Angulasi / memutarRingan

Butterfly, transversal (bergeser), sedikit kominutifKombinasiSedang

Segmental kominutif (sangat bergeser)VariasiBerat

7. Komplikasi FrakturKomplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenic.1) Komplikasi umumSyok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan.Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren2) Komplikasi Lokala.Komplikasi diniKomplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Pada Tulang 1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka. 2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi Pada Jaringan lunak 1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993). Pada pembuluh darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis Pada saraf Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).b.Komplikasi lanjutPada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan. Delayed union Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan OsteotomiLebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu) Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis) Mal unionPenyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi . Osteomielitis Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot Kekakuan sendi Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).8. Penatalaksanaan FrakturMengikuti prinsip 4 R yaitu Recognition(diagnosis dan penilaian fraktur), Reduction, Retaining ( retention of reduction ) dan Rehabilitation (Chairudin Rasjad). Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada penanganan agar terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi sesuai indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan tersangka mati dengan debridemen, pemberian antibiotik pada sebelum, selama dan sesudah operasi, pemberianantitetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitifdihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi / infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca traumaa. Penatalaksanaan secara umumFraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto rontgen.

b. Penatalaksanaan kedaruratanSegera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.1Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

c. Penatalaksanaan bedah ortopediBanyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan : Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam. Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit. Amputasi : penghilangan bagian tubuh. Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis. Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia.

d. Prinsip Penanganan FrakturPrinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi :a. Reduksi Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomic normalnya. Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.Metode reduksi :1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan Manipulasi dan Traksi manual. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.12. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.13. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.1b. Imobilisasi Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.1 Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan.1 Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat eksternal bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat internal (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll).

c. Rehabilitasi Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit. Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler (misalnya; pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan), mengontrol ansietas dan nyeri (mis; meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi / reposisiatau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak,bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihanPada fraktur terbuka derajat III dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi penggunaan gipsuntukstabilisasifraktur cukup beralasan untukmempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secundary bone healing dengan pembentukan kalus.ORIF ( Open Reduction and Internal Fixations )A. Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:1). Fraktur dengan tak ada pergeseran,2). Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi,3). Fraktur pada anak-anak,4). Cedera dengan luka minimal5). Trauma berenergi rendah. B. Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:1). kagagalan dalam penanganan secara reduksi tertutup,2). fraktur yang tidak stabil,3). fraktur intraartikuler yang mengalami pergeseran dan4). fraktur yang mengalami pemendekan.Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu:

1. Pemasangan plate and screwsPemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembenrukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ).Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan ototkarena dapat mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksisuperfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi2. Pemasangan screwsorwiresUntuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil. Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996).3. Pemasangan external fixationdevicesAkhir-akhir ini para pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar dari pada pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat dibanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerlukan operasi berulangkali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulsi. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang idealpada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996).Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat populer di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42%, dan resiko terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pada fraktur diafisis tibia pemasangan fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi tetapi pada fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih tepat. (Court-Brownet al., 1996).9. Tahap-Tahap Penyembuhan FrakturSecara ringkas tahap penyembuhan tulang adalah sebagai berikut :1. Stadium Pembentukan Hematom : Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh darah yang robek Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot) Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam2. Stadium Proliferasi Sel / Inflamasi : Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah fragmen tulang Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang Terjadi setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi3. Stadium Pembentukan Kallus : Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus) Kallus memberikan rigiditas pada fraktur Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatu Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi4. Stadium Konsolidasi : Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah menyatu Secara bertahap menjadi tulang mature Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan5. Stadium Remodeling : Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda penebalan tulang

10. Proses Penyembuhan Tulang Fase inflamasi Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material nekrotik disingkirkan. Fase reparatif Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak berubah menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak. Fase remodelingMembutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).

B. Fraktur Terbuka1. Definisi Fraktur TerbukaFraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung.Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma ( Apley & Solomon, 1993; Rasjad, 1998;Armis, 2002).Fraktur terbuka adalah fraktur yang terjadi hubungan dengan dunia luar atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi.Semua faktur terbuka harus dianggap terkontaminasi sehingga mempunyai potensi untuk terjadi infeksi. Penting untuk diketahui bahwa diagnosis, klasifikasi dan pengelolaannya dapat berbeda dari fraktur tertutup. Penanganan fraktur terbuka dapat mengikuti pengelolaan trauma lain jika merupakan suatu trauma multiple2. Klasifikasi Fraktur TerbukaDikenal beberapa klasifikasi fraktur terbuka seperti menurut Byrd et al.(1981) yang menekankan pentingnya vaskularisasi tulang, kemudian menurut Oestern dan Tscherne (1984) yang menekankan pentingnya tingkat kerusakan jaringan lunak dan luas kontusio otot, serta menurut AO group oleh Muller et al. (1990) yang menekankan berat ringannya cedera kulit, cedera otot dan tendon serta cedera neurovaskuler. (cit. Court-Brown et al, 1996).Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I,II dan III

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )TipeBatasan

ILuka bersih dengan panjang luka < 1 cm

IIPanjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat

IIIKerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Tipe Iberupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau inout. Tipe IIterjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tidak kominutif. Pada tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatik.Klasifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau high velocity,traumadidaerah pertanian, fraktur terbuka yang memerlukan repair vaskular, fraktur terbuka lebih 8 jam setelah kecelakaanKemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan Anderson (1976) menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC (tabel 3).IIIAterjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.IIIB fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masifdan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka.IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.Klasifikasi lanjutfraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976)oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):TipeBatasan

IIIAPeriosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

IIIBKehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau terjadi bone expose

IIICDisertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak.

Armis (2001) membuat klasifikasi fraktur terbuka dengan sistim skoring yang dinamakan Sistem Skoring Sardjito (SSS) yang dilakukan dengan memberikan skoring pada setiap variabel yang meliputi kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskulerdan derajat kontaminasi kemudian skor dijumlahkanKlasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (Khairuddin &Armis, 2002).BatasanSkor

I. Skin DamageA.Wound:1. < 5 cm long ( in-out)2. 5-10 cm3. 10 cm longB. Condition of Skin: No devitalized edge of wound without contussion Contused edge of wound/ subcutan or with small area of degloving Large area of degloving or skin loss or skin avulsion123123

II. Muscle Damage No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial rupture Total rupture of one compartement muscle Muscle defect with extensive muscle crush123

III. Bone Damage Simple Fracture: Transverse, Oblique, Spiral, butterfly or with little comminution. Simple Fracture with gross displacement, segmental fracture (little displaced) or moderate comunition Gross comminution, boneloss / defect123

IV. Neurovascular Damage No Neurovascular trauma Isolated or localized neurovascular trauma Extensive neurovascular trauma123

V. Contamination No particle Only syperficial particle Deep particle51015*)

Note: * Add one for public watering accident or from farm accident or treated after gol den period (deep particle score =15+1=16)Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III atau berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah vital sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan tindakan repair. (Khairuddin & Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).C. FRAKTUR SKAPULA1. Pengertian Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi pergeseran akibat tarikan otot-otot yang melekat disitu.

Mayo Classification Scapula Fracture

Trauma sendi akromioklavikularisSendi ini kurang stabil dan mudah terjadi Subluksasi. Dislokasi komplet terjadi akibat ruptur total ligamentum akromioklavikularis dan korakoklavikularis.2. Klasifikasi a. Sratin, Ligamen intakSubluksasi : Robekan ligamen (+) klavikula tidak terangkat karena ligamn Korako-klavikuler utuhDislokasi : Robekan kedua ligamen dan klavikula terangkat

Dislokasi sendi sternoklavikularisTerbagi menjadi anterior dan posterior. Dislokasi posterior akan menekan organ-organ dalam sehingga perlu tindakan emergencyTrauma Otot-otot Rotator / Rotator CuffOtot Rotator terdiri dari : Supraspinatus ( atas ) Infraspinatus ( belakang ) teres minor Subskapula ( depan )Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus menimbulkan Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi

D. FRAKTUR CLAVICULAPenyebabbiasanyatraumalangsung/directatautidaklangsung / indirect ,misaljatuh dengan tangan/sikumenumpu.1. Diagnosis a. Riwayat:waktujatuhposisitanganmenumpub. Deformitas:menonjol,udem,fraktur1/3 lateraltanparupturligamentumkorakoklavikularedeformitastidakjelasc. Nyeritekan(tenderness)d. Krepitasie. Pemeriksaanpenunjang:radiologidanlaboratorium2. Penatalaksanaan Konservatif :Pasangranselverban(Figure of eight) sampairasasakithilang Operatif:Indikasi dilakukantindakanoperatif:1. Frakturterbuka2. Rupturligamentum korakoklavikulare3. Gangguanneurovaskuler4. Delayed / nonUnion5. KosmetikE. FRAKTUR HUMERUS1. Klasifikasi NEERa. Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 45b. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cmc. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasid. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmene. Fraktur tuberkulum majus dengan lebi 2 fragmenf. Fraktur dislokasi2. Macam-macam fraktur humerus :a. Fraktur Kollum Chirrugikum humerib. Fraktur Shaft humerusSetiap fraktur humerus tengah dapat mengenai saraf radial, karena saraf ini melewati sulkus nervi radialis yang terletak dibagian tengah dan belakang humerus.c. Fraktur Suprakondilaris humeriBerdasarkan pergeseran fragmen distal ada 3 type :1) Fragmen tanpa pergeseran2) Fragmen dengan pergeseran tetapi masih ada kontak3) Fragmen distal dan proksimal tidak ada kontak3. Anatomi humerusSendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus medianus dan arteri brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan bursa minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus ekstensor communis dan muskulus supinator terletak di lateral.Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii. Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang kurang bila dibanding dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis, muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus triceps dan muskulus anconeus.Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis longitudinal humerus dan garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut bowman sebesar 80 89, bila didapatkan sudut ini kurang dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut tidak aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara diaphisis dan metaphisis sebesar 90 derajat.

Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat osifikasi pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut ke anterior sebesar 40 derajat.

4. Mekanisme dan Patofisiologi 1. TIPE EKSTENSI Akibat trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku, lengan bawah dalam posisi supinasi dengan siku hiperekstensi dengan tangan yang terfiksasi, olekranon terdorong ke depan sehingga terjadi fraktur. Garis fraktur selalu melewati fossa olekranon dan pada kolum medial dan lateral metaphise. Fragmen distal dari fraktur akan terdorong ke arah posterior dan proksimal, hal ini karena gaya fraktur yang diteruskan ke atas melalui tulang lengan bawah dan disebabkan tarikan muskulus biceps, sehingga fragmen ini akan miring ke lateral atau medial dan berotasi ke medial. Dari proyeksi anterior, ujung distal dari fragmen proksimal akan menembus periosteum dan mengenai muskulus brachialis dan muskulus biceps brachii. Akibatnya akan terjadi perdarahan local dan pembengkakan. Nervus dan pembuluh darah akan mengalami laserasi karena fragmen tulang.2. TIPE FLEKSIAnak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami pergeseran sehingga pada fragmen distal akan ke anterior pada bidang sagital, dan pada bidang coronal, fragmen distal akan bergeser ke lateral. Sehingga fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah anterior dan proksimal. jarang terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna biasanya karena terkena ujung dari fragmen proksimal.5. Klasifikasi fraktur humerusPada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal.Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :I. Undisplaced or minimally displacedIA : non displacedIB : medial impactionPada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis.II Displaced with angulasi and rotationIIA : posterior angulasiIIB : malrotation with or without posterior angulation.III Displaced complete IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedialIIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral6. Diagnosis Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat jatuh dengan lengan sebagai tumpuan. Bila traumanya baru saja terjadi atau frakturnya tidak mengalami pergeseran atau sedikit bergeser, anak akan mengeluhkan nyeri dan bengkak yang minimal, dan temuan yang paling khas adalah perlunakan pada ujung humerus bagian distal.Pada trauma ringan kedudukan fragmen distal tidak akan bergeser atau undisplaced. Siku akan terlihat sedikit bengkak dibanding siku yang sehat, dan kadang kadang terlihat akan terlihat normal bila jumlah perdarahan sedikit.Pada trauma yang lebih berat dapat menimbulkan angulasi ke posterior, bahkan sampai mengalami pergeseran fragmen distal ke posterior, namun hubungan kedua fragmen sebagian masih terlihat, atau pada trauma yang lebih hebat lagi maka fragmen distal akan terlepas dari fragmen proksimal dan berada di posterior dan migrasi ke proksimal.Sewaktu jatuh pada umumnya lengan dalam keadaan pronasi, ini akan menyebabkan fragmen distal mengalami rotasi ke dalam. Akibatnya kortek sebelah medial dari fragmen distal relatif akan berada di arah posterior dari fragmen proksimal, sementara sisi lateral masih dalam kedudukan semula. Dengan demikian kedudukan fragmen distal akan mengalami adduksi, rotasi ke dalam sehingga fragmen distal akan mengalami pergeseran ke arah posteromedial akibatnya ujung dari fragmen proksimal akan mencederai nervus radialis. Dan bila pergeseran fragmen ke arah posterolateral aakan mencederai arteri radialis dan nervus medianus.Ujung fragmen proksimal akan berada di anterior dan dapat mencederai muskulus brakhialis, arteri brakhialis, nervus radialis nervus medianus atau nervus ulnaris. Dengan adanya trauma yang keras dan terjadi pergeseran dari fragmen, maka pembengkakan dan deformitas pada siku akan menjadi lebih jelas. Besarnya pembengkakan tergantung pada keparahan dari fraktur dan lama terjadinya trauma.Pada pemeriksaan fisik yang penting adalah menilai fungsi dari neuromuskuler pada sebelah distalnya. Tanda tanda gangguan vaskulus meliputi nyeri, pucat, sianotik, tidak ada pulsasi atau paralysis, ini merupakan tanda terjadinya volkmans ischemi.Pemeriksaan radiologis penting untuk konfirmasi diagnosis. Sebelumnya lengan harus diimobilissasi dengan posisi ekstensi, kedudukan fleksi yang berlebihan harus dihindari karena ada kemungkinan gangguan dari neurovaskulernya. Pada anteroposterior, dinilai garis fraktur apakah transversal atau oblik, fragmen distal angulasi ke lateral atau medial. Posisi lateral akan menunjukkan fragmen distal akan bergeser ke anterior atau posterior.7. Penatalaksanaan Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi.Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan bidai. Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak dibuat immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama melakukan tindakan reposisi. Penanganan fraktur suprakondilar tergantung tipe dari fraktur tersebut.Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi :Tipe I Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 90. Bila terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan posisi siku fleksi.Fleksi dilakukan sampai 120 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi umum, operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 30 dan supinasi.Fleksi 30 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan fragmen proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada pada posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari jari lain yang berada di humerus proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.

Posisi dipertahankan selama 3 sampai 4 minggu, dengan pemeriksaan radiologis pada satu minggu pertama dan minggu terakhir.

Tipe II : Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan pronasi dan fleksi tidak lebih dari 120,Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen tercapai menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus. Pemasangan pinning yang paling stabil dapat dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral dan kondilus medial. Kontra indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain oedem hebat, reposisi tertutup yang tidak tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur terbuka.Tipe III : 1. reposisi2. percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire3. reposisi terbuka Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan pada reposisi tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah tersebut, maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan berkurang. Kejelekan dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada tempat pertumbuhan tulang dan adanya resiko infeksi.Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis.Secara klinis dikatakan baik bila :1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan sudut antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau adanya interposisi jaringan lunak antara kedua fragmen.2. setelah hiperfleksi secara hati hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan dengan sisi yang sehat.Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral. Untuk posisi lateral dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai apakah ada crescent sign, yang berarti terjadi kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai sudut bowman, sudut diaphisis metaphisis. Bila fragmen distal terjadi rotasi tampak gambaran fish tail.8. Komplikasi Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera pembuluh darah dan saraf.1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya volkmans iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkmans iskemi adanya pain, pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis. 2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis, nervus median dan nervus ulna. 3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan. 4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat. Sedangkan pada fraktur suprakondilar tipe fleksi 1. Cedera nervus ulna merupakan komplikasi yang sering terjadi. 2. Malunion dapat juga terjadi pada fraktur ini yaitu terjadi kubitus varus.Iskhemik Volkman : klinis 5P1. Pulseless (denyut nadi lemah hilang )2. Pallor (warna biru / pucat )3. Pain 4. Paresthesia (rasa tebal )5. Parese atau Paralise (kekuatan otot lemah sp lumpuh)Kontraktur VolkmanAkibat musculus Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous. Jari-jari posisi fleksi : CLAW HAND

E. FRAKTUR ANTEBRACHII1. AnatomiTulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun tangan tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna. Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum anulare yang melingkar kapitupulum radius dan di distal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna yang mengandung fibrokartilago triangularis. Membran interosea memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya mengenai satu tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir selalu disertai dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah tersebut.Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus supinator, musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang lengan bawah disertai dislokasi angulasi dan rotasi terutama radius.Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan sebelah distal dua persendian. Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian proksimal dan distal radio-ulnar joint yang bersifat rotator. Antara kedua tulang ini juga dihubungkan oleh membran interroseus, suatu jaringan fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke radius. Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius terhadap os ulna, yang menghasilkan gerakan pada lengan bawahMuskuli antebrachii dapat dikelompokan, muskuli kompartemen antrior dan posterior. Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor sedangkan kompartemen posterior di isi oleh muskuli ekstensor. Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi dan gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut adalah :NOFUNSIMUSKULUS

1Fleksor elbowm. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis

2Ekstensor elbowm. triceps, m. Anconeus

3Supinator elbowm. supinator, m. Biceps

4Pronator elbowm. pronator teres, m. Pronator guadratus

5Fleksor pergelangan tanganm. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi ulnaris

6Ekstensor pergelangan tanganm. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,m. Ekstensor carpi ulnari

Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan antebrachii berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.2. Terapi manipulasi Fraktur antebrachii Bila garis fraktur di proksimal dilakukan gips posisi supinasi Bila garis fraktur di tengah Gips posisi netral Bila garis fraktur di distal Gips posisi pronasi

3. Fraktur MONTEGGIA Fraktur ULNA 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior / posteriorPemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon4. Fraktur GALEAZZI Fraktur RADIUS 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi. Untuk menjaga panjang antomi tulang radius.

5. Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme : Lengan bawah mempunyai dua tulang, yang radius dan ulna yang ke distal berakhir dan membentuk persendian radioulnaris distal dan persendian dengan tulang carpalia. Stabilitas persediaan ini dipertahankan oleh 5 struktur :1. ligamentum radio ulnaris volaris 2. ligamentum radio ulnaris dorsalis 3. tendon m. extensor carpi ulnaris dalam fibro osseus tunnelnya 4. fibro cartilage disc. 5. ligamentum collateralis ulnaris. Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai persendian dengan tulang carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan cancellous bone pada bagian distal merupakan bagian yang sangat lemah dan mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii kedudukan anatomis yang normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal radius.Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama :1. Radial height :

Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna. Diukur dari jarak antara garis horizontal yang ditarik melalui ujung procesus styloideus radii dan melalui ujung distal ulna. Ukuran normalnya kira-kira 1 cm.2. Derajat ulna tilt atau ulna deviation dari permukaan sendi ujung distal radius pada posisi anterior posterior.Normal, permukaan sendi ini letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya diukur dari besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 15 30 derajat, rata-rata 23 derajat.3. Derajat volar tilt (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada posisi lateral.Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah dan kedepan. Besarnya diukur dengan sudut antara garis horizontal tegak lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 1 23 derajat, rata-rata 11 derajat.

Alat-alat gerak yang meliputi ini ialah :1. Posterior : Berbentuk cembung dan terdapat sekumpulan tendon/otot extensor yang mempunyai fungsi ekstensi.2. Anterior : Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang mempunyai fungsi fleksi lengan bawah dan tangan. Dan pada bagian dalam ada: m. pronator quadratus yang berjalan menyilang dan berfungsi terutama untuk pronasi.3. Lateral : Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus radii yang mempunyai fungsi utama sebagai supinasi.6. Fisiologi dan mekanisme terjadinya fraktur : Biasanya disebabkan karena trauma langsung, atau sebagai akibat jatuh dimana sisi dorsal lengan bawah menyangga berat badan. Secara ilmu gaya dapat diterangkan sebagai berikut :Trauma langsung dimana lengan bawah dalam posisi supinasi penuh yang terkunci dan berat badan waktu jatuh memutar pronasi pada bagian proximal dengan tangan relatif terfixir pada tanah. Putaran tersebut merupakan kombinasi tekanan yang kuat dan berat, akan memberikan mekanisme yang ideal dari penyebab fraktur Smith. Trauma lain diduga disebabkan karena tekanan yang mendadak pada dorsum manus, dimana posisi tangan sedang mengepal. Ini biasanya didapatkan pada penderita yang mengendarai sepeda yang mengalamii trauma langsung pada dorsum manus.

F. FRAKTUR SMITH1. DefinisiFraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya 1 inch dari ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan ke atas disertai pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini jarang terjadii dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di Philadelpia (1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior dan posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah fraktur posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu tipe dari fraktur Smith.Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur barton jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari fraktur Smith.

2. Pembagian fraktur Smith secara klinis dan radiologi :I fraktur Smith yang comminutive dan obliqueII fraktur Barton, yang disebut anterior fraktur tipe fleksi marginal i dengan dislokasi pergelangan tangan.III fraktur transversal yang disebut juga fraktur radius bagian distall yang tidak dengan tipe fleksi kominutif.3. Penatalaksanaan Konservatif :1. Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith dengan mengembalikan arah persendian seperti semula. Mills dan Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan posisii supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama 5 6 minggu.2. Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya cepat, sebab kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi yang terbatas dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.3. De Palma menganjurkan sebagai berikutType I :Fraktur Smith dengan comminutive yang oblique dilakukan reduksii dengan traksi, manipulasi dan transfiksasi dengan pin.Type II :Fraktur Barton atau disebut pula fraktur marginal anterior tipe fleksi. Disini dilakukan reduksi dengan traksi dan menipulasi dengan anestesi umum. Penderita tidur telentang dan posisi siku tegak lurus, lengan bawah pada posisi pertengahan (mid position). Dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan ke bawah meja. Selama traksi, dengan dua tangan diletakkan pada pergelangan tangan, lalu pergelangan tangan diletakkan dalam posisi dorsoflexi ringan dan lengan bawah dalam mid position, kemudian dipasang circuler gips dari bawah siku sampai tangan setinggi persendian metacarpo phalangeal. Sesudah itu alat traksi dilepas. Kontrol foto AP dan Lateral untuk melihat kedudukan tulang tersebut.Type III :Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi : Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi dengan anestesi umum dan lengan bawah posisi supinasi. Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan di bawah meja. Dengan dua tangan dimana jari-jari II V diletakkan pada fragmen proximal sebelah dorsal dan dua ibu jari menekan ke atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi kearah ulnar. Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai setinggii persendian metacarpo phalangeal dan kemudian alat traksi dilepas.Sesudah reposisi, dilakukan : Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.Operatif :Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur Smith dengan fiksasi dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada fragmen proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai sekrup.

Tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :1. Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah bagian distal dan incisi diperdalam sampai m. pronator quadratus antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral dan m. palmaris longus dan medianus pada sisi medial.2. M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor digitorum sublimis ke medial, dan m. pronator quadratus tampak pada sisi inferior dari tulang radius bagian bawah.3. Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk menyesuaikan dengan permukaan dari tulang, lalu dipasang sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga yang kuat dari fragmen yang telah dilakukan reposisi.4. Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana pada fragmen tulang yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian vertikal. 5. Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan dipasang bebat tekan. Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan pergelangan tangan, lengan bawah dimulai segera setelah bebab tekan dilepas.

Keuntungan : Hasilnya cukup memuaskan. Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa terjadi redisplacement dari fragmen yang mengalami fraktur. Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling memuaskan pada pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada tipe yang lain cukup memuaskan.2.7.4 Komplikasi :1. Kerusakan jaringan lunak :Yang penting disini adalah kerusakan n. medianus karena tekanan dari fragmen radius yang fraktur. 1. Malunion : Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.2. Non union 3. Osteoarthritis4. Gangguan pronasi dan supinasi

Fraktur radius sepertiga distalFraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi pada bagian proksimal radius. Fragmen fraktur akan terdislokasi. Dan fraktur ini sulit direposisi secara tertutup atau akan mengalami redislokasi bila reposisi berhasil, oleh karena itu dianjurkan reposisi terbuka dan biasanya dipasang fiksasi interna dengan jenis plat jenis kompresiFraktur ulna sepertiga distalFraktur ulna biasanya disebabkan oleh trauma langsung misalnya menangkis pukulan dengan lengan bawah relatif sering terjadi fraktur yang tidak berubah posisinya. Pengobatan biasanya dengan pemasangan gips, kadang juga terjadi fraktur yang terdislokasi dalam hal ini harus diteliti. Apakah ada juga fraktur tulang radius atau dislokasi sendi radioulnar. Pada fraktur yang kominutif dapat terjadi pergeseran lambat atau pseudoartrosis ini memerlukan tindakan operatif.

Fraktur radius distalis pada anakFraktur radius distalis pada anak sering juga disebut juvenile colles fracture Pembagian fraktur daerah ini sesuai dengan klasifikasi Salter-Harris

Type 1. Garis Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysisType 2. Garis fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke metafisisType 3. Garis Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut ke epifisial plate (intra artikuler)Type 4. Garis Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di metafisis (intra artikuler)Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi5. Diagnosis.Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis anterior posterior dan lateral.Penilaian Keberhasilan Penanganan Fraktur CollesDalam melakukan penilaian terhadap keberhasilan penanganan fraktur Colles banyak ahli menggunakan sistem Demerit untuk mengevaluasi hasil akhir penyembuhan fraktur Colles yang dikemukakan oleh Gartland dan Werley (1951).

G. FRAKTUR COLLESFraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan insidensi yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur pada ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali adalah fraktur Colles.Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya disebabkan oleh gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. Hal ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti gaya jatuhnya atlit atau penerjun payung.Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama dengan 2,5 cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon, 1987.Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal radius, biasanya terjadi pada 3 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi volar dari apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari fragmen distal dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat atau tidak disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan radioulnaris.Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai fraktur dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973).1. Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme Trauma Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan navikulare ke arah distal, dan dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial. Bagian distal sendi radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan ulna selain terdapat ligamentum dan kapsulal yang memperkuat hubungan tersebut, terdapat pula diskus artikularis yang melekat pada semacam meniskus yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamentum koleteral ulnar. Ligamentum kolateral ulnar bersama dengan meniskus homolognya dan diskus artikularis bersama ligamentum radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya menghubungkan radius dan ulna, disebut Triangular fibro cartilage complex (TFCC) (Sjamsuhidajat, 1997), berguna untuk menstabilkan artikulatio radioulnaris distal (Zabinski dan Weiland, 1999). Gerakan pergelangan tangan sangatlah luas (mobile) dan kemampuannya mencapai 160 untuk fleksi dan ekstensi dan 180 untuk rotasi lengan bawah. Kurang dari 80% dari transmisi beban melaluii pergelangan tangan lewat artikulatio radiocarpal sementara 20% sisanya melalui artikulatio ulnocarpal lewat Triangular fibro cartilage complex. (Zabinski dan Weiland, 1999).Fraktur Colles terjadi pada penderita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang (Apley dan Solomon, 1987). Trauma yang terjadii merupakan trauma langsung yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping menyerupai garpu terbalik.2. Diagnosis Fraktur Colles : Diagnosis fraktur Colles ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Kita dapat mengenal fraktur ini dengan adanya deformitas dinner fork seperti telah disebutkan diatas, dengan penonjolan pada punggung pergelangan tangan (ke arah dorsal) dan depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan digerakkanDari pemeriksaan radiologis posisi anteroposterior dan lateral dapat dijumpai suatu fraktur transversal pada tulang radius kurang dari 2,5 cm dari pergelangan tangan, dan sering disertai patahnya processus stiloideus ulnae.Fragmen distal (1) bergeser dan miring ke dorsal (2) bergeser dan miring ke radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami kerusakan dan kominutif yang hebat.3. Klasifikasi : Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi trauma distal radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular. Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau radioulnar serta ada tidaknya fraktur styloideus ulnae.Klasifikasi Fraktur Colles menurut FrykmanTipeUraian

IFraktur radius ekstra artikuler

IIFraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna

IIIFraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal

IVFraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal disertai fraktur ulna distal.

VFraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal

VIFraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal disertai Fraktur ulna distal

VIIFraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal dan radio ulnaris distal.

VIIIFraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai fragmen ulnaris

Klasifikasi anatomi yang paling komprehensif dan lengkap adalah sistem AO (Zabinski dan Weiland, 1999). Sistem ini membagi trauma menjadi tipe A (ekstra artikuler), tipe B (artikular simpel) dan tipe C (artikuler komplek).Lidstrom cit Roysam (1993), berdasarkan gambaran radiologis membagi fraktur Colles kedalam empat tingkatan derajat keparahan pergeseran fragmen fraktur (derajat anatomis) dan kualitas reduksi yaitu derajat I, II, III dan IV sesuai beratnya deformitas meliputi angulasi ke dorsal dan pemendekan (shortening) tulang radius )Derajat Keparahan Fraktur Colles Menurut Lidstrom.DerajatDeformitas

I.Tidak ada atau tidak bermakna. Angulasi dorsal < 0 atau shortening < 3 mm

II.Ringan, Angulasi dorsal 1 10 dan / atau shortening 3 6 mm

III.Sedang, Angulasi dorsal 11 14 dan / atau shortening 7 11 mm

IV.Berat, Angulasi dorsal > 15 atau shortening > 11 mm.

4. Penanganan Fraktur Colles :Penanganan fraktur Colles umumnya dilakukan rawat jalan yaitu setelah terdiagnosis diberikan tindakan reposisi tertutup. Bila tidak ada pergeseran, cukup di imobilisasi dengan gip bawah siku. Bila terjadii pergeseran atau sedikit pergeseran perlu tindakan reposisi dengan anestesi lokal, regional atau umum, kemudian dilakukan gip bawah siku dengan posisi fragmen distal fleksi dan pronasi. Pada hari berikutnya anggota gerak atas elevasi. Adapun jari-jari sesegera mungkin melakukan latihan. Seminggu kemudian dilakukan pemotretan dengan sinar X kontrol untuk menilai apakah terjadi pergeseran kembali (redisplacement). (Armis, 1994).Imobilisasi dengan gip bertujuan mencegah pergeseran kembali fragmen fraktur paska reposisi. Sebagai tulang kanselus, maka penyembuhan tulang radius distal diperkirakan tuntas kurang lebih 6 minggu dari saat terjadinya trauma. Oleh sebab itu pada fraktur Colles gip dapat dilepas umumnya 5 6 minggu (Mc Rae, 1992; Apley dan Solomon, 1987; Gartland dan Werley, 1951).Mengenai imobilisasi gip bawah siku atau atas siku masih terdapat perbedaan pandangan. Apley dan Solomon (1987), serta Mc. Rae (1992), menyatakan penanganan fraktur Colles cukup dengan gip bawah siku sedangkan ahli lain menyatakan harus dengan gip atas siku (Way, 1994). Sheikh dan Murthy (2000) menganjurkan imobilisasi kombinasi yaitu gip atas siku pada minggu-minggu awal dilanjutkan gip bawah siku kecuali pada penderita di atas 60 tahun harus dipasang gip bawah siku untuk mencegah kekakuan sendi siku.

H. FRAKTUR ASTABULUM1. Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 :1. Pilar anterior2. Posterior3. Transversal4. Komposit

IIIIIIIV

Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi, adduksi, internal rotasi dan Shortening.Klasifikasi radiologis, Epstein 1973 Dislokasi Coxae :I : tanpa fraktur dilakukan skin traksi, hemispika (3 minggu)II: dengan fraktur segmenIII: dengan fraktur comminutif bibir asetabulumIV : fraktur dasar asetabulumV : dislokasi posterior dengan fraktur head femur

2. Komplikasi ;a. Trauma saraf skiatikab. Osteoarthritisc. Nekrosis avaskuler kaput femoris3. Anatomy of the lower Extremity

I. FRAKTUR PELVISCincin pelvisdibentukoleh:1. OsIleumkanankiri2. Os Sacrum (belakang)3. Os PubiskanankiriFrakturpelvisditimbulkan olehtrauma yanghebatkecualipadawanitatua dengan osteoporosis. Bilaterjaditraumadaerahpelvisjangan lupaevaluasivesikaurinaria, urethra, rektum, anus, pembuluhdarahbesardangangguan neurologis (pleksuslumbalis, pleksussacralis).

1. KlasifikasiKlasifikasi TILE danPENNAL(1980)A:StabilA1:FrakturisolatedtanpafrakturcincinpelvisA2:Frakturcincinpelvistanpapergeseran

A1: Avulsion fractureA2: Non-displaced pelvic ring fractureA3: Transverse sacral or coccyx fractures

B:Rotasi(tidakstabil)danVertikal(stabil)B1: Open bookStage 1Symphisiolisis< 2,5cmterapidenganbed restStage 2Symphisiolisis> 2,5cmterapidenganOREFStage 3BilateralLessioterapidenganOREFB2:Kompresilateral /ipsilateralB3:Kompresi lateral / kontralateral (bucker handleterapi dengan OREF)

B1: Stage 1B1: Stage 2B1: Stage 3

Symphysispubis disruption less than 2.5 cmSymphysispubis disruption more than 2.5 cmSymphysispubis disruption more than 2.5 cm with bilateral posterior ring injury

B2: lateral compression injury (ipsilateral)B3: lateral compression (contralateral/ Buckle Handle)

C:Rotasidanvertikal(tidakstabil)C1: UnilateralC2::BilateralC3:denganfrakturasetabulum

C1:Ipsilateralanterior and posterior pelvic injuriesC2: Bilateral hemipelvic disruptionC3 :Any pelvic fracturewith anassociated acetabularfracture

2. Management :a. EvaluasiA, B, CSyokakibatperdarahan,infusdantransfusi4-6 U (24-36jampertama),bilaperdarahanmenetaptransfusi10-12U(24-36jampertama) ,perdarahanhebatlakukan laparotomi danrepair danpikirkanuntukdilakukanartrografi.b. KonservatifIstirahat sampai nyeri hilanguntuk tipe APelvik sling untuk tipe B stage 2c. OperatifHentikan perdarahan,Stabilkan fraktur untuktipe C,CytostomiRepair arteri

B. Konsep KeperawatanDi dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data1) Anamnesa a) Identitas KlienMeliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.b) Keluhan UtamaPada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit SekarangPengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d) Riwayat Penyakit DahuluPada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang e) Riwayat Penyakit KeluargaPenyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f) Riwayat PsikososialMerupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup SehatPada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).(2) Pola Nutrisi dan MetabolismePada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.(3) Pola EliminasiUntuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan IstirahatSemua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).(4) Pola AktivitasKarena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).(5) Pola Hubungan dan PeranKlien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).(6) Pola Persepsi dan Konsep DiriDampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).(7) Pola Sensori dan KognitifPada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Reproduksi SeksualDampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan StressPada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.11) Pola Tata Nilai dan KeyakinanUntuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan FisikDibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran UmumPerlu menyebutkan:(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin(a) Sistem IntegumenTerdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.(b) KepalaTidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.(c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.(d) MukaWajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.(e) MataTidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)(f) TelingaTes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.(g) HidungTidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.(h) Mulut dan FaringTak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.(i) ThoraksTak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.(j) Paru(1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.(2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.(3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.(4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.(k) Jantung(1) InspeksiTidak tampak iktus jantung.(2) PalpasiNadi meningkat, iktus tidak teraba.(3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.(l) Abdomen(1) InspeksiBentuk datar, simetris, tidak ada hernia.(2) PalpasiTugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.(3) PerkusiSuara thympani, ada pantulan gelombang cairan.(4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit.(m) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.b) Keadaan LokalHarus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:(1) Look (inspeksi)Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).(b) Cape au lait spot (birth mark).(c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)(2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 5 (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)3) Pemeriksaan Diagnostika) Pemeriksaan RadiologiSebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:(1) Bayangan jaringan lunak.(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.b) Pemeriksaan Laboratorium(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.c) Pemeriksaan lain-lain(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna D, 1995)

1

b.

3. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut:a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada(Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatana. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATANRASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai perkembangan masalah klien.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler p