makalah gagasan penerapan restorative justice

34
GAGASAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE BAGI WHISTLE BLOWER DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH H.M. ARSYAD SANUSI Page | 1

Upload: yudhi-handoyo

Post on 14-Aug-2015

182 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

restorative justice

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

GAGASAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE 

BAGI WHISTLE BLOWER 

DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH

H.M. ARSYAD SANUSI

Page | 1

Page 2: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

ABSTRAK

Korupsi layaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu pejabat dengan pejabat lain.Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga perlu ada seseorang yang ada dalam sistem tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan korupsi dan yang bersangkutan harus menyandang predikat sebagai whistle blower.Namun menjalankan peran sebagai whistle blower bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah mekanisme pemberian protection and achievemen tterhadap whistle blower.

Stagnannya upaya pemberantasan korupsi dewasa ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunyakurangnya peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.Harus ada sebuah upaya yang dilakukan agar masyarakat bersedia berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Salah satu awalan yang baik adalah dengan memberikan protection and achievement terhadap whistle blower.Dengan adanya jaminan pemberian protection and achievementtersebut maka peningkatan peran serta masyarakat, khususnya individu yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut, dalam upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan.

Whistle blower merupakan sebuah harapan besar dalam mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Namun peran whistle blower tersebut tidak ditunjang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap whistle blower. Meskipun telah ada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai regulasi yang menjadi instrumen perlindungan, tetapi undang-undang tersebut tidak dapat mengakomodirpemberian protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh karena itu,diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih spesifik dan khusus terkait whistle blower karena hal tersebut belum diatur secara tegas dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Page | 2

Page 3: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

I. PENDAHULUAN

Permasalahan korupsi sudah menjadi penyakit kronis di negeri

ini.Seakan keberadaan Indonesia diidentikkan dengan adanya korupsi itu

sendiri.Saat ini permasalahan korupsi sudah mencapai titik kulminasi yang

sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan sebuah upaya serius untuk

memberantasnya.Dalam kenyataannya korupsi merupakan extraordinary

crime, sehingga diperlukan extraordinary treatment untuk memberantasnya.

Keberadaan whistle blower merupakan instrumenpenting yang dapat

memutus mata rantai dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum yang

terbentuk dalam sebuah lingkaran setan yang terorganisir, sehingga menjadi

sesuatu yang wajar jika whistleblower mendapatkan protection and

achievement.Yang dimaksud dengan protection and achievementbagi

whistleblower dapat berupa perlindungan fisik maupun perlindungan dalam

bentuk penghargaan.

UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak

mengakomodir protection and achievement terhadap whistleblower. Selain itu

peraturan perundang-undangan a quo berlaku untuk saksi, sedangkan saksi

dan whistleblower merupakan hal yang berbeda. Saksi merupakan orang

yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami

sendiri.[1]Sedangkan whistleblower merupakan seorang yang memberikan

bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting,

bukti-bukti yang kuat, atau keterangan dibawah sumpah yang dapat

mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan

tersebut atau suatu kejahatan lainnya.[2]

Keberadaan whistleblower menjadi sebuah hal yang nyata di Indonesia.

Sebagai contoh dalam kasus penahanan mantan Kepala Badan Reserse

Kriminal Mabes Polri KomjenPol.SusnoDuadji yang selanjutnya Susno

Page | 3

Page 4: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

menjadi whistle blower antara lain dalam kasus GayusTambunan dan PT

Salmah Arwana Lestari sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes

Polri.Oleh karena itu protection and achievement menjadi hal yang mutlak

untuk diatur demi menstimulasi munculnya whistle blower yang akan

membantu pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.

Torehan sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih

pemikiran guna solusi atas maraknya kasus korupsi di Indonesia dengan

menerapkan sebuah sistem baru yang bernama restorative justice bagi

whistle blower. Selain itu, tentunya dengan diberlakukannya restorative

justice ini juga diharapkan agar terbangunnya pola pikir pemerintah bahwa

diperlukan suatu mekanisme atau cara-cara baru untuk memberantas korupsi

di Indonesia yang akan lebih banyak memberikan manfaat bagi bangsa ini.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

a. Restorative Justice

Tony F.Marshall menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu proses yang

mempertemukan seluruh pihak yang berkepentingan dalam suatu

pelanggaran hukum untuk menyelesaikan secara bersama-sama akibat

pelanggaran hukum itu dan akibatnya.[3] Dalam pengertian lain, restorative

justice merupakan sebuah teori yang menekankan pada pemulihan kerugian

yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Pemulihan

kerugian ini dicapai dengan adanya proses kooperatif yang mencakup semua

pihak yang berkepentingan.[4]

Dalam hal ini PBB mendorong pelaksanaan restorative justiceterkait

penuntasan masalah-masalah pidana dengan UN Declaration on The Basic

Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal

Matters, yang, antara lain berisi:[5]

Page | 4

Page 5: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

a.   Restorative Justiceadalah pelaksanaan program yang menggunakan

proses restorative justiceatau dengan maksud untuk mencapai

restorative justice.

b.   Restorative Justice Outcome adalah kesepakatan yang dicapai sebagai

hasil proses restorative justice, seperti restitution (restitusi), community

service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan

masyarakat serta mengembalikan pelaku.

c.   Proses Restorative Justiceadalah proses bertemunya korban, pelaku dan

masyarakat secara aktif dalam penyelesaian akibat perbuatan kejahatan

tersebut dengan campur tangan pihak ketiga, seperti restorative

mediation, conferencing dan circle.

d.   Pihak terkait (parties) adalah korban, pelaku dan individu dalam

masyarakat yang dilibatkan dalam proses restorative justice.

e.   Fasilitator, adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi

keikutsertaan pihak terkait.

Prinsip keadilan restoratif diantaranya adalah (a) Membuat pelanggar

bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh

kesalahannya; dan (b) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk

membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa

bersalahnya secara konstruktif.[6]

b. Whistle Blower

Secara historis, istilah whistle blower sering digunakan untuk seseorang

yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan anggaran

yang terjadi di mana ia bekerja.[7] Dalam usulan definisi whistleblower,

whistle blower didefinisikan sebagai seorang yang memberikan bantuan

kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-

bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap

Page | 5

Page 6: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau

suatu kejahatan lainnya.[8] Whistle blower juga biasa diartikan peniup peluit

dan pengungkap fakta.[9] Dalam pengertian lain whistle blower adalah

seorang informan (bisa dari dalam atau luar institusi/perusahaan) yang

mengungkapkan kesalahan kebijakan atau pelanggaran hukum yang terjadi

pada suatu institusi/perusahaan dengan harapan untuk menghentikan

kesalahan tersebut agar tidak berulang.[10]

Berdasarkan penelitian di Amerika, yang dilakukan Glazer dan Glazer

terhadap 55 whistle blower untuk mengungkapkan motif mereka, mayoritas

whistle blower mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk meniup

peluit berdasar keyakinan individual. Mereka berasumsi, “suatu sistem yang

korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan sistem itu juga

korup”. Secara umum bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para

whistle blower bersumber pada tiga hal: nilai- nilai keagamaan (religious

values), etika profesional (professional ethics), dan rasa tanggung jawab

terhadap masyarakat (social responsibility).[11]

Ada dua tipe whistle blower, yaitu internal whistle blower dan external

whistle blower. Internal whistle blower yaitu seorang pekerja atau karyawan di

dalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan

pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada

didalam perusahaan tersebut. Sedangkan tipe external whistle blower adalah

pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau organisasi

yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak di luar institusi,

organisasi atau perusahaan tersebut.[12]

c. Tindak Pidana Korupsi

Het rechthinkachter de feitenaan, sebuah ungkapan dalam Bahasa

Belanda yang berarti hukum itu selalu ketinggalan dari jamannya. Makna dari

ungkapan tersebut secara implisit juga disebutkan dalam substansi Pasal 103

Page | 6

Page 7: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

KUHP dan Pasal 284 KUHAP yang pada pokoknya memberi peluang bagi

pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi. Maksudnya adalah dalam

mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan

timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada

saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang.

Demikian juga dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan

konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga

dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk

mengungkapkan suatu kejahatan.[13]

Kesempatan yang diberikan oleh Pasal 103 KUHP dan Pasal 284

KUHAP, merupakan dasar hukum munculnya suatu Undang-Undang baru di

luar KUHP terhadap pelanggaran atau kejahatan yang sebelumnya belum

pernah diatur dalam KUHP tersebut. Salah satu contohnya adalah tindak

pidana korupsi. Karena tindak pidana korupsi bersumber dari peraturan

perundang-undangan di luar KUHP, maka tindak pidana korupsi masuk ke

dalam tindak pidana khusus.[14]

Selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan

sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang juga

membutuhkan penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada

mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa

terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida, dan pelanggaran berat

hak asasi manusia. Dikatakan extraordinary atau luar biasa karena hal-hal

sebagai berikut:[15]

1.    Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Negara atau

perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.

2.    Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

3.    Korupsi merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi

kehidupan nasional.

Page | 7

Page 8: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

4.    Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak

dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis.

Sesuai dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, penulis

berpendapat korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu

extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan

penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya.

Berdasarkan Pasal 3 UUNomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi merupakan

suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,

kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan

keuangan negara.[16]

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU

Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa

korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[17]

Faktor penyebab atau variabel pendukung adanya korupsi seperti

dinyatakan dalam Teori Korupsi yang dikemukakan oleh Klitgaard antara lain

adalah sebagai berikut:[18]

C = M + D – A C = Korupsi

M= Monopoly of Power

D= Discretion of official

A= Accountability

Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly

of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang

(discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat

Page | 8

Page 9: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi.Perubahan pola

pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya

otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya

didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah.Hal ini

selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasaan.

III. GAGASAN

a. Restorative Justice, Whistle-blower dan Upaya Pemberantasan

Korupsi

Berdasarkan teori korupsi yang telah dikutip dalam kerangka teori

tersebut di atas, yang disampaikan oleh Klitgaard bahwa dengan adanya

monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan

tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa

adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus

accountability), maka akan terjadi korupsi dan hal itulah yang banyak terjadi

di Indonesia sekarang.

Korupsi selayaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu

pejabat dengan pejabat lain, korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir,

sehingga perlu ada seorang yang ada dalam sistem atau lingkaran setan

tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan

korupsi tersebut dan mau tidak mau harus menyandang predikat sebagai

whistle blower.[19] Namun menjalankan peran sebagai whistle blower

bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah protection and

achievement yang diberikan kepada whistle blower. Dengan adanya

protection and achievement, whistle blower diharapkan tidak ragu dan takut

untuk membantu mengungkap semua fakta tindak pidana korupsi yang

terjadi.

Peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yaitu UU Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat diberlakukan

Page | 9

Page 10: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

pada whistle blower karena UU Nomor 13 Tahun 2006 berlaku terhadap

saksi sedangkan whistle blower bukan saksi. Menurut usulan pengertian

whistle blower yang diajukan oleh Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas

Pemberantasan Mafia Hukum Unit Kegiatan Presiden Republik Indonesia,

seperti yang telah dikutip dalam penulisan ini, whistle blower adalah seorang

yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian

informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah

yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat

dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya, sedangkan saksi

dalam pengertian menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban Pasal 1 point (1) saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri,

sehingga apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak berlaku terhadap whistle

blower.

UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Pasal 10 ayat (2) juga menyatakan bahwa “Seorang saksi yang juga

tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan

pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,

tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan

pidanayang akan dijatuhkan”.[20] Namun hal ini pun tidak cukup menjamin

adanya protection and achievement terhadap whistle blower.

Protection and achievement tersebut dapat direalisasikan dengan

penerapan restorative justice terhadap whistle blower. Berdasarkan landasan

teori yang telah disampaikan di awal penulisan ini, konteks restorative justice

yang berlaku di Indonesia saat ini, adalah proses yang mempertemukan

seluruh pihak yang berkepentingan dalam suatu pelanggaran hukum untuk

Page | 10

Page 11: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

menyelesaikan secara bersama-sama akibat pelanggaran hukum itu dan

akibatnya. Restorative Justicediberlakukan untuk menyelesaikan perkara

pidana yang dilakukan anak namun ada beberapa prinsip yang dapat

diterapkan terhadap whistle blower dalam upaya pemberantasan korupsi.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a.    Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian

yang ditimbulkan oleh kesalahannya.

b.    Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya

secara konstruktif.

Penerapan dua prinsip di atas terhadap whistle blower dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dengan memberikan kesempatan

pada whistle blower untuk memberikan informasi penting, bukti-bukti yang

kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap suatu

kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu

kejahatan lainnya, sehingga dengan demikian whistle blower dapat

memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan

kapasitas/kualitasnya dalam hal berpartisipasi dalam upaya pemberantasan

korupsi.

Selain hal tersebut di atas menurut restorative justice outcome, atau

biasa disebut kesepakatan yang dicapai sebagai hasil proses restorative

justice yang dinyatakan dalam UN Declaration on The Basic Principles on

The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hasil proses

restorative justice tersebut adalah berupa restitusi (restitution), community

service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan

masyarakat serta mengembalikan pelaku juga dapat diterapkan terhadap

whistle blower.

Page | 11

Page 12: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

Dalam hal restitusi (restitution) adalah dengan memberikan

achievement jika informasi/keterangan yang diberikan oleh whistle blower

terbukti, sedangkan terkait community service dalam upaya pemberantasan

korupsi whistle blower mempunyai tanggung jawab untuk membantu upaya

pemberantasan korupsi. Restorative justice yang dimaksud dalam upaya

pemberantasan korupsi adalah proses dimana whistle blower memberikan

informasi/keterangan untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi sebagai

bentuk pemberian kesempatan pada whistle blower untuk memperbaiki

kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan

kapasitas/kualitasnya untuk membongkar suatu tindak pidana korupsi yang

belum terungkap.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dengan adanya

pemberlakuan restorative justice terhadap whistle blower dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan semakin banyak tindak

pidana korupsi yang akan terungkap dan terselesaikan sehingga upaya

pemberantasan korupsi semakin progresif.

b. Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

hadir sebagai instrumen perlindungan Saksi dan Korban, namun undang-

undang tersebut tidak dapat mengakomodir perlindungan terhadap whistle

blower. Kekurangan dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 adalah definisi saksi

kurang memadai sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap

whistleblower.Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 13 Tahun 2006, saksi

adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau

ia alami sendiri.[21] Berdasarkan pengertian ini maka UU secara tegas

Page | 12

Page 13: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

menyatakan bahwa aturan dalam undang-undang ini hanya berlaku bagi

saksi dalam lingkup perkara pidana.

Selain itu tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap

kedudukan saksi yang jugatersangka, yang tercantum dalam Pasal 10 ayat

(2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

sehingga hal tersebut menimbulkan multi tafsir dan berpotensi menimbulkan

tafsir inkonstitusional dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta

bertentangan dengan HAM dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)

UUD 1945.[22] Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan whistle blower

tidak diakui secara tegas dalam undang-undang a quo.

Selanjutnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Korupsi maupun dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi juga tidak dijamin tentang perlindungan (protection) dan

penghargaan (achievement) terhadap whistle blower sehingga terkait

perlindungan terhadap whistle blower belum dijamin kepastian hukumnya

dalam peraturan perundang-undangan manapun.

  

c. Implementasi Konsep Restorative Justicedan Whistle Blower

Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan beberapa pokok bahasan sebelumnya telah menjadi

sebuah fakta jika peraturan perundang-undangan yang ada tidak

mengakomodir perlindungan (protection) dan penghargaan (achievement)

terhadap whistle blower. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan kepastian hukum terhadap

kedudukan dan protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh

karena hal tersebut protection and achievement perlu dimasukkan dalam

peraturan perundang-undangan.

Berangkat dari korupsi masuk dalam tindak pidana khusus dan

berdasarkan Pasal 103 dan Pasal 284 KUHAP dimungkinkan adanya

Page | 13

Page 14: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP (Kitab Undang-undang

Hukum Pidana) yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut.

Peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut adalah UU Nomor 31

Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi masuk dalam klasifikasi extraordinary crime dibutuhkan

extraordinary treatment dalam upaya pemberantasan korupsi sehingga

berdasarkan hal tersebut dimungkinkan adanya sebuah peraturan yang

mengatur kekhususan-kekhususan dalam upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi, yaitu memasukkan restorative justice dalam peraturan

perundang-undangan yang khusus mengatur tentang korupsi, yaitu UU

Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi.

Bentuk protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle

blower untuk dimasukkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, antara lain: [23]

a.    Perlindungan Fisik (protection)

b.    Perlindungan dalam bentuk penghargaan (achievement) kepada whistle

blower.

Perlindungan dalam bentuk (achievement) secara umum dapat terbagi

menjadi dua kategori, yang pertama yaitu yang menghapuskan kewenangan

penuntutan dan yang tidak menghapuskan kewenangan penuntutan.

1.    Penghapusan Penuntutan

Apabila mengacu pada UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

khususnya Pasal 10 ayat (2) memang terkesan bahwa seorang saksi

yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari

tuntutan pidana. Namun, apabila mengacu pada UU Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan secara filosofis penghapusan penuntutan masih

Page | 14

Page 15: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan kewenangan

Pengesampingan Perkara atau yang lebih dikenal dengan seponeering.

[24]Kewenangan seponeeringatau asas oportunitas ini dapat

dimanfaatkan untuk dijadikan dasar pengaturan penghapusan

penuntutan terhadap whistle blower yang berjasa dalam membongkar

suatu kejahatan khususnya kejahatan yang terorganisir. Terlebih dengan

telah diratifikasinya UNTOC melalui UU Nomor 5 Tahun 2009 dimana di

Pasal 26 ayat (3) memang dianjurkan agar setiap negara anggota

UNTOC memungkinkan agar pengampunan terhadap whistle blower

dapat diberikan.

2.    Tanpa Penghapusan Penuntutan

Pemberian sanksi yang lebih ringan tersebut tidak harus dalam bentuk

pengurangan hukuman atau ancaman hukuman, namun dapat juga

dalam bentuk-bentuk lainnya yang pada pokoknya masih bersifat

penghukuman seperti penjatuhan hukuman percobaan maupun

penjatuhan bentuk hukuman yang lebih ringan.

a.    Penjatuhan hukuman percobaan

Hukuman percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14huruf a

sampai dengan 14huruf f KUHP dapat juga dijadikan pilihan dalam

memberikan achievement kepada whistle blower. Dengan hukuman

percobaan ini maka whistle blower yang juga pelaku tindak pidana

dapat tidak menjalani hukuman kecuali jika dalam masa percobaan

yang ditetapkan hakim whistle blower tersebut melakukan suatu

tindak pidana. Untuk itu maka apabila pemberian hukuman

percobaan ini ingin diterapkan sebagai bentuk achievement kepada

whistle blower maka diperlukan pengaturan khusus mengenai hal ini

Page | 15

Page 16: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

dalam revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001

tentang Tindak Pidana Korupsi.

b.    Perubahan/pengalihan bentuk hukuman

     Yang dimaksud dengan pengalihan jenis hukuman di sini yaitu

pengalihan dari bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang

lebih ringan.Misalnya perubahan dari bentuk hukuman penjara

menjadi kurungan atau denda.

c.     Pengurangan hukuman

Selain penghapusan penuntutan achievement yang dapat diberikan

pada whistle bloweryaitu pengurangan hukuman yang akan

dijatuhkan.

Dasar hukum yang dapat digunakan sebagai dasar dari pemberian

protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle blower antara

lain adalah sebagai berikut:

a.    Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang samadi hadapan

hukum.[25]

b.    UNCAC Pasal 32 Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban

Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat

sesuai dengan sistem hukum nasionalnya dan dalam

kewenangannyauntuk memberikan perlindungan yang efektif dari

kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi para saksi dan ahli yang

memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan

sesuai dengan konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, bagi keluarga

mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka.[26]

Page | 16

Page 17: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

c.    United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC) Resolusi PBB

No. 55/25 15 Nopember 2000 melalui UU No. 5 Tahun 2009

Dalam Pasal 26 khususnya ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa setiap negara

anggota UNTOC harus mempertimbangkan untuk dapat memberikan

kemungkinan pengurangan hukuman hingga impunitas kepada pelaku

yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam

membongkar suatu kejahatan yang terorganisir.[27]

d.   Undang-undang No.13 Tahun 2006 Pasal 10

Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana

maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikan nya.[28]

Dalam hal mekanisme pemberian perlindungan (protection) dapat

dilaksanakan oleh lembaga perlindungan khusus whistle blower dalam kasus

tindak pidana korupsi yang dapat dibentuk berdasarkan peraturan

perundang-undangan seperti halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pemberian protection and

achievement dapat sekaligus dilaksanakan oleh KPK yaitu dalam hal KPK

dapat memberikan perlindungan secara fisik maupun perlindungan dalam

bentuk penghargaan.Terkait achievement yang berupa penghapusan

penuntutan dapat dilaksanakan oleh KPK dan Kejaksaan. Sedangkan

achievement yang berupa penjatuhan hukuman percobaan,

perubahan/pengalihan bentuk hukuman, dan pengurangan hukuman dapat

diberikan oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada saat

penjatuhan putusan. Namun dalam hal pemberian achievement harus

menunggu bahwa informasi/keterangan whistle blower terkait tindak pidana

korupsi yang diungkap oleh whistle blower terbukti di pengadilan.

Page | 17

Page 18: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan keterangan, uraian dan pembahasan di atas dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1.    Tindak pidana korupsi adalah extraordinary crime yang membutuhkan

extraordinary treatment. Korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan

melibatkan para penguasa serta kalangan elit politik. Korupsi telah

menjadi sebuah sistem yang sulit untuk ditembus dari luar. Sehingga

perlu kehadiran whistle bloweryang ada dalam sistem tersebutuntuk

mempermudah upaya pemberantasan korupsi.

2.    Bahwa whistle blower mempunyai peran penting dalam upaya

pemberantasan korupsi. Namun perlu ada sebuah jaminan kepastian

hukum terkait kedudukannya sebagai whistle blower selayaknya

kepastian hukum yang diberikan kepada saksi dalam UU Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga dengan

adanya kepastian kedudukan hukum yang diejawantahkan dalam

peraturan perundang-undangan dapat menjadi dasar pemberlakuan

restorative justice dan pemberian protection and achievement terhadap

whistle blower.

3.    Pemberian protection and achievement terhadap whistle blower

merupakan upaya untuk meningkatkan progresivitas pemberantasan

tindak pidana korupsi sehingga semakin banyak tindak pidana korupsi

yang terungkap. Selain itu diharapkan partisipasi berbagai pihak

semakin meningkat dalam hal upaya pemberantasan korupsi,

khususnya pihak-pihak yang terlibat atau menjadi bagian dari suatu

sistem yang korup, dalam hal ini whistle blower.

Page | 18

Page 19: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

b. Rekomendasi

1.   Perlu diberikan kepastian kedudukan bagi whistle blower terkait

kedudukannya selayaknya kepastian hukum yang diberikan kepada saksi

dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Kepastian hukum terkait kedudukan whistle blower ini adalah

sebuah pengakuan yang dapat diberikan dengan merevisi UU Nomor 31

Tahun 1999 jo. UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Korupsi

dalam hal memasukkan restorative justice serta pemberian protection

and achievement terhadap whistle blower. Dimana peraturan perundang-

undangan tersebut memberikan pengakuan tentang keberadaan whistle

blowerserta memberikan perlindungan (protection) dan penghargaan

(achievement) terhadap whistle blower karena dua hal tersebut tidak

terakomodir dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

2.   Perlu memperluas fungsi LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban) agar memungkinkan untuk memberikan perlindungan kepada

whistle blower atau dengan membentuk lembaga perlindungan khusus

untuk whistle blower terkait whistle blower rawan terhadap intimidasi,

ancaman, serta risiko lain yang lebih berbahaya dibandingkan dengan

saksi karena whistle blower lebih mengetahui semua sistem dalam tindak

pidana korupsi. Selain itu juga rekomendasi untuk memberikan

kewenangan kepada KPK, Kejaksaan, serta Hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi untuk dapat melaksanakan pemberian penghargaan

(achievement).

Page | 19

Page 20: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

DAFTAR PUSTAKA

A.   BUKU

Chazawi, Adami, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni,

Bandung.

Dempster, Quentin, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta,

Impresum, Jakarta.

Krisnawati, Dani, et.al., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena

Pundi Aksara, Jakarta.

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang.

B.   MAKALAH

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group Discussion

Divisi Kajian dan Riset”, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas

Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011.

C.   ARTIKEL INTERNET

Masguh, “Teori-Teori Korupsi”,

http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html, diakses

11 Pebruari 2013.

Portal UII, “Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan Perlindungan

Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,

http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensi-

whistle-blower.html, diakses 11 Pebruari 2013

Page | 20

Page 21: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

Sinaga, “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistle

Blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban”,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf,

diakses 11 Pebruari 2012

D.    PERATURAN PERUNDANGAN/DOKUMEN LAIN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC).

United Nations Convention against Corruption (UNCAC).

Page | 21

Page 22: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

END NOTES

[1]     Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

[2]     Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group

Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan

Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011.

[3]     ZahruArqom, 2011, Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap

Delikuen Anak dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta dan

Pengembangan Konsep Keadilan Restoratif dengan Cara Diversi dalam

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak di Indonesia, Tesis,

Magister Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.

39.

[4]     Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 125.

[5]     Zahru Arqom, Op.cit., hlm. 39-40.

[6]     Unicef, 2010, Analisis Situasi Sistem Pidana Anak di Indonesia,

Unicef Indonesia, Jakarta, hlm. 7.

[7]    Achmad ZainalArifin, “Fenomena ‘Whistleblower’ dan

Pemberantasan Korupsi”, Kompas, 6 Februari 2008.

[8]     Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group

Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Loc.cit.

[9]     Quentin Dempster, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta,

Impresum, Jakarta, hlm.1.

[10]    Portal UII, “Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan

Perlindungan Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,

Page | 22

Page 23: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensi-

whistle-blower.html, diakses 2 Maret 2011.

[11]  Sinaga, “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta

(Whistle blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban”,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf,

diakses 2 Maret 2011.

[12]    AchmadZainalArifin, Loc.cit.

[13]    DaniKrisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus PriyoGunarto,

SigidRiyanto, Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena

Pundi Aksara, Jakarta, hlm. 1-3.

[14]    AdamiChazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana

Korupsi, Alumni, Bandung, hlm. 1

[15]    Jenti Okatavia S., 2009, Kewenangan Mengeluarkan Surat

Penghentian Penyidikan (Sp3) oleh Penyidik pada Perkara Tindak Pidana

Korupsi (Tinjauan terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Skripsi, Fakultas

Hukum UI, Depok, hlm. 18-19.

[16]    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Korupsi.

[17]    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi.

[18]    Masguh, “Teori-Teori Korupsi”,

http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html, diakses 2

Maret 2011.

[19]   Ramelan, “Penerapan Hukum dan Studi Kasus Korupsi”,Makalah,

disampaikan Penyuluhan Hukum di lingkungan PT. PLN(Persero), Distribusi

Unit Bisnis Sulawesi Selatan, Makassar, 27 Juni 2002.

Page | 23

Page 24: Makalah Gagasan Penerapan Restorative Justice

[20]    Pasal 10 ayat (2)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

[21]    Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

[22]    Eddy O.S.Hiariej, “Legal Opinion Pengujian Pasal 10 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban”.

[23]    Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group

Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Loc.cit.

[24]    Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia.

[25]  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[26]  United Nations Convention against Corruption (UNCAC).

[27]    United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC).

[28]    Pasal 10Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

Page | 24