makalah gagasan penerapan restorative justice
DESCRIPTION
restorative justiceTRANSCRIPT
GAGASAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
BAGI WHISTLE BLOWER
DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH
H.M. ARSYAD SANUSI
Page | 1
ABSTRAK
Korupsi layaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu pejabat dengan pejabat lain.Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga perlu ada seseorang yang ada dalam sistem tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan korupsi dan yang bersangkutan harus menyandang predikat sebagai whistle blower.Namun menjalankan peran sebagai whistle blower bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah mekanisme pemberian protection and achievemen tterhadap whistle blower.
Stagnannya upaya pemberantasan korupsi dewasa ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunyakurangnya peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.Harus ada sebuah upaya yang dilakukan agar masyarakat bersedia berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Salah satu awalan yang baik adalah dengan memberikan protection and achievement terhadap whistle blower.Dengan adanya jaminan pemberian protection and achievementtersebut maka peningkatan peran serta masyarakat, khususnya individu yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut, dalam upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan.
Whistle blower merupakan sebuah harapan besar dalam mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Namun peran whistle blower tersebut tidak ditunjang dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan terhadap whistle blower. Meskipun telah ada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai regulasi yang menjadi instrumen perlindungan, tetapi undang-undang tersebut tidak dapat mengakomodirpemberian protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh karena itu,diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih spesifik dan khusus terkait whistle blower karena hal tersebut belum diatur secara tegas dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Page | 2
I. PENDAHULUAN
Permasalahan korupsi sudah menjadi penyakit kronis di negeri
ini.Seakan keberadaan Indonesia diidentikkan dengan adanya korupsi itu
sendiri.Saat ini permasalahan korupsi sudah mencapai titik kulminasi yang
sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan sebuah upaya serius untuk
memberantasnya.Dalam kenyataannya korupsi merupakan extraordinary
crime, sehingga diperlukan extraordinary treatment untuk memberantasnya.
Keberadaan whistle blower merupakan instrumenpenting yang dapat
memutus mata rantai dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum yang
terbentuk dalam sebuah lingkaran setan yang terorganisir, sehingga menjadi
sesuatu yang wajar jika whistleblower mendapatkan protection and
achievement.Yang dimaksud dengan protection and achievementbagi
whistleblower dapat berupa perlindungan fisik maupun perlindungan dalam
bentuk penghargaan.
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak
mengakomodir protection and achievement terhadap whistleblower. Selain itu
peraturan perundang-undangan a quo berlaku untuk saksi, sedangkan saksi
dan whistleblower merupakan hal yang berbeda. Saksi merupakan orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri.[1]Sedangkan whistleblower merupakan seorang yang memberikan
bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting,
bukti-bukti yang kuat, atau keterangan dibawah sumpah yang dapat
mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan
tersebut atau suatu kejahatan lainnya.[2]
Keberadaan whistleblower menjadi sebuah hal yang nyata di Indonesia.
Sebagai contoh dalam kasus penahanan mantan Kepala Badan Reserse
Kriminal Mabes Polri KomjenPol.SusnoDuadji yang selanjutnya Susno
Page | 3
menjadi whistle blower antara lain dalam kasus GayusTambunan dan PT
Salmah Arwana Lestari sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes
Polri.Oleh karena itu protection and achievement menjadi hal yang mutlak
untuk diatur demi menstimulasi munculnya whistle blower yang akan
membantu pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Torehan sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih
pemikiran guna solusi atas maraknya kasus korupsi di Indonesia dengan
menerapkan sebuah sistem baru yang bernama restorative justice bagi
whistle blower. Selain itu, tentunya dengan diberlakukannya restorative
justice ini juga diharapkan agar terbangunnya pola pikir pemerintah bahwa
diperlukan suatu mekanisme atau cara-cara baru untuk memberantas korupsi
di Indonesia yang akan lebih banyak memberikan manfaat bagi bangsa ini.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
a. Restorative Justice
Tony F.Marshall menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu proses yang
mempertemukan seluruh pihak yang berkepentingan dalam suatu
pelanggaran hukum untuk menyelesaikan secara bersama-sama akibat
pelanggaran hukum itu dan akibatnya.[3] Dalam pengertian lain, restorative
justice merupakan sebuah teori yang menekankan pada pemulihan kerugian
yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Pemulihan
kerugian ini dicapai dengan adanya proses kooperatif yang mencakup semua
pihak yang berkepentingan.[4]
Dalam hal ini PBB mendorong pelaksanaan restorative justiceterkait
penuntasan masalah-masalah pidana dengan UN Declaration on The Basic
Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal
Matters, yang, antara lain berisi:[5]
Page | 4
a. Restorative Justiceadalah pelaksanaan program yang menggunakan
proses restorative justiceatau dengan maksud untuk mencapai
restorative justice.
b. Restorative Justice Outcome adalah kesepakatan yang dicapai sebagai
hasil proses restorative justice, seperti restitution (restitusi), community
service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan
masyarakat serta mengembalikan pelaku.
c. Proses Restorative Justiceadalah proses bertemunya korban, pelaku dan
masyarakat secara aktif dalam penyelesaian akibat perbuatan kejahatan
tersebut dengan campur tangan pihak ketiga, seperti restorative
mediation, conferencing dan circle.
d. Pihak terkait (parties) adalah korban, pelaku dan individu dalam
masyarakat yang dilibatkan dalam proses restorative justice.
e. Fasilitator, adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi
keikutsertaan pihak terkait.
Prinsip keadilan restoratif diantaranya adalah (a) Membuat pelanggar
bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh
kesalahannya; dan (b) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk
membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa
bersalahnya secara konstruktif.[6]
b. Whistle Blower
Secara historis, istilah whistle blower sering digunakan untuk seseorang
yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan anggaran
yang terjadi di mana ia bekerja.[7] Dalam usulan definisi whistleblower,
whistle blower didefinisikan sebagai seorang yang memberikan bantuan
kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-
bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap
Page | 5
suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau
suatu kejahatan lainnya.[8] Whistle blower juga biasa diartikan peniup peluit
dan pengungkap fakta.[9] Dalam pengertian lain whistle blower adalah
seorang informan (bisa dari dalam atau luar institusi/perusahaan) yang
mengungkapkan kesalahan kebijakan atau pelanggaran hukum yang terjadi
pada suatu institusi/perusahaan dengan harapan untuk menghentikan
kesalahan tersebut agar tidak berulang.[10]
Berdasarkan penelitian di Amerika, yang dilakukan Glazer dan Glazer
terhadap 55 whistle blower untuk mengungkapkan motif mereka, mayoritas
whistle blower mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk meniup
peluit berdasar keyakinan individual. Mereka berasumsi, “suatu sistem yang
korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan sistem itu juga
korup”. Secara umum bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para
whistle blower bersumber pada tiga hal: nilai- nilai keagamaan (religious
values), etika profesional (professional ethics), dan rasa tanggung jawab
terhadap masyarakat (social responsibility).[11]
Ada dua tipe whistle blower, yaitu internal whistle blower dan external
whistle blower. Internal whistle blower yaitu seorang pekerja atau karyawan di
dalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan
pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada
didalam perusahaan tersebut. Sedangkan tipe external whistle blower adalah
pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau organisasi
yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak di luar institusi,
organisasi atau perusahaan tersebut.[12]
c. Tindak Pidana Korupsi
Het rechthinkachter de feitenaan, sebuah ungkapan dalam Bahasa
Belanda yang berarti hukum itu selalu ketinggalan dari jamannya. Makna dari
ungkapan tersebut secara implisit juga disebutkan dalam substansi Pasal 103
Page | 6
KUHP dan Pasal 284 KUHAP yang pada pokoknya memberi peluang bagi
pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi. Maksudnya adalah dalam
mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan
timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada
saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang.
Demikian juga dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan
konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga
dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk
mengungkapkan suatu kejahatan.[13]
Kesempatan yang diberikan oleh Pasal 103 KUHP dan Pasal 284
KUHAP, merupakan dasar hukum munculnya suatu Undang-Undang baru di
luar KUHP terhadap pelanggaran atau kejahatan yang sebelumnya belum
pernah diatur dalam KUHP tersebut. Salah satu contohnya adalah tindak
pidana korupsi. Karena tindak pidana korupsi bersumber dari peraturan
perundang-undangan di luar KUHP, maka tindak pidana korupsi masuk ke
dalam tindak pidana khusus.[14]
Selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan
sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang juga
membutuhkan penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada
mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa
terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida, dan pelanggaran berat
hak asasi manusia. Dikatakan extraordinary atau luar biasa karena hal-hal
sebagai berikut:[15]
1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Negara atau
perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.
2. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
3. Korupsi merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi
kehidupan nasional.
Page | 7
4. Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak
dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis.
Sesuai dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, penulis
berpendapat korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu
extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan
penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya.
Berdasarkan Pasal 3 UUNomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi merupakan
suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan
keuangan negara.[16]
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU
Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa
korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[17]
Faktor penyebab atau variabel pendukung adanya korupsi seperti
dinyatakan dalam Teori Korupsi yang dikemukakan oleh Klitgaard antara lain
adalah sebagai berikut:[18]
C = M + D – A C = Korupsi
M= Monopoly of Power
D= Discretion of official
A= Accountability
Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly
of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang
(discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat
Page | 8
pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi.Perubahan pola
pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya
otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya
didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah.Hal ini
selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasaan.
III. GAGASAN
a. Restorative Justice, Whistle-blower dan Upaya Pemberantasan
Korupsi
Berdasarkan teori korupsi yang telah dikutip dalam kerangka teori
tersebut di atas, yang disampaikan oleh Klitgaard bahwa dengan adanya
monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan
tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa
adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus
accountability), maka akan terjadi korupsi dan hal itulah yang banyak terjadi
di Indonesia sekarang.
Korupsi selayaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu
pejabat dengan pejabat lain, korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir,
sehingga perlu ada seorang yang ada dalam sistem atau lingkaran setan
tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan
korupsi tersebut dan mau tidak mau harus menyandang predikat sebagai
whistle blower.[19] Namun menjalankan peran sebagai whistle blower
bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah protection and
achievement yang diberikan kepada whistle blower. Dengan adanya
protection and achievement, whistle blower diharapkan tidak ragu dan takut
untuk membantu mengungkap semua fakta tindak pidana korupsi yang
terjadi.
Peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yaitu UU Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat diberlakukan
Page | 9
pada whistle blower karena UU Nomor 13 Tahun 2006 berlaku terhadap
saksi sedangkan whistle blower bukan saksi. Menurut usulan pengertian
whistle blower yang diajukan oleh Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum Unit Kegiatan Presiden Republik Indonesia,
seperti yang telah dikutip dalam penulisan ini, whistle blower adalah seorang
yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian
informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah
yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat
dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya, sedangkan saksi
dalam pengertian menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban Pasal 1 point (1) saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri,
sehingga apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak berlaku terhadap whistle
blower.
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 10 ayat (2) juga menyatakan bahwa “Seorang saksi yang juga
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,
tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidanayang akan dijatuhkan”.[20] Namun hal ini pun tidak cukup menjamin
adanya protection and achievement terhadap whistle blower.
Protection and achievement tersebut dapat direalisasikan dengan
penerapan restorative justice terhadap whistle blower. Berdasarkan landasan
teori yang telah disampaikan di awal penulisan ini, konteks restorative justice
yang berlaku di Indonesia saat ini, adalah proses yang mempertemukan
seluruh pihak yang berkepentingan dalam suatu pelanggaran hukum untuk
Page | 10
menyelesaikan secara bersama-sama akibat pelanggaran hukum itu dan
akibatnya. Restorative Justicediberlakukan untuk menyelesaikan perkara
pidana yang dilakukan anak namun ada beberapa prinsip yang dapat
diterapkan terhadap whistle blower dalam upaya pemberantasan korupsi.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahannya.
b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya
secara konstruktif.
Penerapan dua prinsip di atas terhadap whistle blower dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dengan memberikan kesempatan
pada whistle blower untuk memberikan informasi penting, bukti-bukti yang
kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap suatu
kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu
kejahatan lainnya, sehingga dengan demikian whistle blower dapat
memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan
kapasitas/kualitasnya dalam hal berpartisipasi dalam upaya pemberantasan
korupsi.
Selain hal tersebut di atas menurut restorative justice outcome, atau
biasa disebut kesepakatan yang dicapai sebagai hasil proses restorative
justice yang dinyatakan dalam UN Declaration on The Basic Principles on
The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hasil proses
restorative justice tersebut adalah berupa restitusi (restitution), community
service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan
masyarakat serta mengembalikan pelaku juga dapat diterapkan terhadap
whistle blower.
Page | 11
Dalam hal restitusi (restitution) adalah dengan memberikan
achievement jika informasi/keterangan yang diberikan oleh whistle blower
terbukti, sedangkan terkait community service dalam upaya pemberantasan
korupsi whistle blower mempunyai tanggung jawab untuk membantu upaya
pemberantasan korupsi. Restorative justice yang dimaksud dalam upaya
pemberantasan korupsi adalah proses dimana whistle blower memberikan
informasi/keterangan untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi sebagai
bentuk pemberian kesempatan pada whistle blower untuk memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan
kapasitas/kualitasnya untuk membongkar suatu tindak pidana korupsi yang
belum terungkap.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dengan adanya
pemberlakuan restorative justice terhadap whistle blower dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan semakin banyak tindak
pidana korupsi yang akan terungkap dan terselesaikan sehingga upaya
pemberantasan korupsi semakin progresif.
b. Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
hadir sebagai instrumen perlindungan Saksi dan Korban, namun undang-
undang tersebut tidak dapat mengakomodir perlindungan terhadap whistle
blower. Kekurangan dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 adalah definisi saksi
kurang memadai sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap
whistleblower.Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 13 Tahun 2006, saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.[21] Berdasarkan pengertian ini maka UU secara tegas
Page | 12
menyatakan bahwa aturan dalam undang-undang ini hanya berlaku bagi
saksi dalam lingkup perkara pidana.
Selain itu tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap
kedudukan saksi yang jugatersangka, yang tercantum dalam Pasal 10 ayat
(2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
sehingga hal tersebut menimbulkan multi tafsir dan berpotensi menimbulkan
tafsir inkonstitusional dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta
bertentangan dengan HAM dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945.[22] Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan whistle blower
tidak diakui secara tegas dalam undang-undang a quo.
Selanjutnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi maupun dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi juga tidak dijamin tentang perlindungan (protection) dan
penghargaan (achievement) terhadap whistle blower sehingga terkait
perlindungan terhadap whistle blower belum dijamin kepastian hukumnya
dalam peraturan perundang-undangan manapun.
c. Implementasi Konsep Restorative Justicedan Whistle Blower
Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan beberapa pokok bahasan sebelumnya telah menjadi
sebuah fakta jika peraturan perundang-undangan yang ada tidak
mengakomodir perlindungan (protection) dan penghargaan (achievement)
terhadap whistle blower. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan kepastian hukum terhadap
kedudukan dan protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh
karena hal tersebut protection and achievement perlu dimasukkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Berangkat dari korupsi masuk dalam tindak pidana khusus dan
berdasarkan Pasal 103 dan Pasal 284 KUHAP dimungkinkan adanya
Page | 13
peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut.
Peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut adalah UU Nomor 31
Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi masuk dalam klasifikasi extraordinary crime dibutuhkan
extraordinary treatment dalam upaya pemberantasan korupsi sehingga
berdasarkan hal tersebut dimungkinkan adanya sebuah peraturan yang
mengatur kekhususan-kekhususan dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, yaitu memasukkan restorative justice dalam peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang korupsi, yaitu UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Bentuk protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle
blower untuk dimasukkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, antara lain: [23]
a. Perlindungan Fisik (protection)
b. Perlindungan dalam bentuk penghargaan (achievement) kepada whistle
blower.
Perlindungan dalam bentuk (achievement) secara umum dapat terbagi
menjadi dua kategori, yang pertama yaitu yang menghapuskan kewenangan
penuntutan dan yang tidak menghapuskan kewenangan penuntutan.
1. Penghapusan Penuntutan
Apabila mengacu pada UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
khususnya Pasal 10 ayat (2) memang terkesan bahwa seorang saksi
yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana. Namun, apabila mengacu pada UU Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan secara filosofis penghapusan penuntutan masih
Page | 14
dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan kewenangan
Pengesampingan Perkara atau yang lebih dikenal dengan seponeering.
[24]Kewenangan seponeeringatau asas oportunitas ini dapat
dimanfaatkan untuk dijadikan dasar pengaturan penghapusan
penuntutan terhadap whistle blower yang berjasa dalam membongkar
suatu kejahatan khususnya kejahatan yang terorganisir. Terlebih dengan
telah diratifikasinya UNTOC melalui UU Nomor 5 Tahun 2009 dimana di
Pasal 26 ayat (3) memang dianjurkan agar setiap negara anggota
UNTOC memungkinkan agar pengampunan terhadap whistle blower
dapat diberikan.
2. Tanpa Penghapusan Penuntutan
Pemberian sanksi yang lebih ringan tersebut tidak harus dalam bentuk
pengurangan hukuman atau ancaman hukuman, namun dapat juga
dalam bentuk-bentuk lainnya yang pada pokoknya masih bersifat
penghukuman seperti penjatuhan hukuman percobaan maupun
penjatuhan bentuk hukuman yang lebih ringan.
a. Penjatuhan hukuman percobaan
Hukuman percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14huruf a
sampai dengan 14huruf f KUHP dapat juga dijadikan pilihan dalam
memberikan achievement kepada whistle blower. Dengan hukuman
percobaan ini maka whistle blower yang juga pelaku tindak pidana
dapat tidak menjalani hukuman kecuali jika dalam masa percobaan
yang ditetapkan hakim whistle blower tersebut melakukan suatu
tindak pidana. Untuk itu maka apabila pemberian hukuman
percobaan ini ingin diterapkan sebagai bentuk achievement kepada
whistle blower maka diperlukan pengaturan khusus mengenai hal ini
Page | 15
dalam revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi.
b. Perubahan/pengalihan bentuk hukuman
Yang dimaksud dengan pengalihan jenis hukuman di sini yaitu
pengalihan dari bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang
lebih ringan.Misalnya perubahan dari bentuk hukuman penjara
menjadi kurungan atau denda.
c. Pengurangan hukuman
Selain penghapusan penuntutan achievement yang dapat diberikan
pada whistle bloweryaitu pengurangan hukuman yang akan
dijatuhkan.
Dasar hukum yang dapat digunakan sebagai dasar dari pemberian
protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle blower antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang samadi hadapan
hukum.[25]
b. UNCAC Pasal 32 Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban
Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat
sesuai dengan sistem hukum nasionalnya dan dalam
kewenangannyauntuk memberikan perlindungan yang efektif dari
kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi para saksi dan ahli yang
memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan
sesuai dengan konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, bagi keluarga
mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka.[26]
Page | 16
c. United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC) Resolusi PBB
No. 55/25 15 Nopember 2000 melalui UU No. 5 Tahun 2009
Dalam Pasal 26 khususnya ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa setiap negara
anggota UNTOC harus mempertimbangkan untuk dapat memberikan
kemungkinan pengurangan hukuman hingga impunitas kepada pelaku
yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
membongkar suatu kejahatan yang terorganisir.[27]
d. Undang-undang No.13 Tahun 2006 Pasal 10
Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikan nya.[28]
Dalam hal mekanisme pemberian perlindungan (protection) dapat
dilaksanakan oleh lembaga perlindungan khusus whistle blower dalam kasus
tindak pidana korupsi yang dapat dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan seperti halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pemberian protection and
achievement dapat sekaligus dilaksanakan oleh KPK yaitu dalam hal KPK
dapat memberikan perlindungan secara fisik maupun perlindungan dalam
bentuk penghargaan.Terkait achievement yang berupa penghapusan
penuntutan dapat dilaksanakan oleh KPK dan Kejaksaan. Sedangkan
achievement yang berupa penjatuhan hukuman percobaan,
perubahan/pengalihan bentuk hukuman, dan pengurangan hukuman dapat
diberikan oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada saat
penjatuhan putusan. Namun dalam hal pemberian achievement harus
menunggu bahwa informasi/keterangan whistle blower terkait tindak pidana
korupsi yang diungkap oleh whistle blower terbukti di pengadilan.
Page | 17
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan keterangan, uraian dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi adalah extraordinary crime yang membutuhkan
extraordinary treatment. Korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan
melibatkan para penguasa serta kalangan elit politik. Korupsi telah
menjadi sebuah sistem yang sulit untuk ditembus dari luar. Sehingga
perlu kehadiran whistle bloweryang ada dalam sistem tersebutuntuk
mempermudah upaya pemberantasan korupsi.
2. Bahwa whistle blower mempunyai peran penting dalam upaya
pemberantasan korupsi. Namun perlu ada sebuah jaminan kepastian
hukum terkait kedudukannya sebagai whistle blower selayaknya
kepastian hukum yang diberikan kepada saksi dalam UU Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga dengan
adanya kepastian kedudukan hukum yang diejawantahkan dalam
peraturan perundang-undangan dapat menjadi dasar pemberlakuan
restorative justice dan pemberian protection and achievement terhadap
whistle blower.
3. Pemberian protection and achievement terhadap whistle blower
merupakan upaya untuk meningkatkan progresivitas pemberantasan
tindak pidana korupsi sehingga semakin banyak tindak pidana korupsi
yang terungkap. Selain itu diharapkan partisipasi berbagai pihak
semakin meningkat dalam hal upaya pemberantasan korupsi,
khususnya pihak-pihak yang terlibat atau menjadi bagian dari suatu
sistem yang korup, dalam hal ini whistle blower.
Page | 18
b. Rekomendasi
1. Perlu diberikan kepastian kedudukan bagi whistle blower terkait
kedudukannya selayaknya kepastian hukum yang diberikan kepada saksi
dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Kepastian hukum terkait kedudukan whistle blower ini adalah
sebuah pengakuan yang dapat diberikan dengan merevisi UU Nomor 31
Tahun 1999 jo. UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Korupsi
dalam hal memasukkan restorative justice serta pemberian protection
and achievement terhadap whistle blower. Dimana peraturan perundang-
undangan tersebut memberikan pengakuan tentang keberadaan whistle
blowerserta memberikan perlindungan (protection) dan penghargaan
(achievement) terhadap whistle blower karena dua hal tersebut tidak
terakomodir dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
2. Perlu memperluas fungsi LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban) agar memungkinkan untuk memberikan perlindungan kepada
whistle blower atau dengan membentuk lembaga perlindungan khusus
untuk whistle blower terkait whistle blower rawan terhadap intimidasi,
ancaman, serta risiko lain yang lebih berbahaya dibandingkan dengan
saksi karena whistle blower lebih mengetahui semua sistem dalam tindak
pidana korupsi. Selain itu juga rekomendasi untuk memberikan
kewenangan kepada KPK, Kejaksaan, serta Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi untuk dapat melaksanakan pemberian penghargaan
(achievement).
Page | 19
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Chazawi, Adami, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni,
Bandung.
Dempster, Quentin, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta,
Impresum, Jakarta.
Krisnawati, Dani, et.al., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena
Pundi Aksara, Jakarta.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
B. MAKALAH
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group Discussion
Divisi Kajian dan Riset”, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011.
C. ARTIKEL INTERNET
Masguh, “Teori-Teori Korupsi”,
http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html, diakses
11 Pebruari 2013.
Portal UII, “Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan Perlindungan
Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,
http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensi-
whistle-blower.html, diakses 11 Pebruari 2013
Page | 20
Sinaga, “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistle
Blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban”,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 11 Pebruari 2012
D. PERATURAN PERUNDANGAN/DOKUMEN LAIN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC).
United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Page | 21
END NOTES
[1] Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
[2] Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group
Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan
Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011.
[3] ZahruArqom, 2011, Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap
Delikuen Anak dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta dan
Pengembangan Konsep Keadilan Restoratif dengan Cara Diversi dalam
Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak di Indonesia, Tesis,
Magister Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.
39.
[4] Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 125.
[5] Zahru Arqom, Op.cit., hlm. 39-40.
[6] Unicef, 2010, Analisis Situasi Sistem Pidana Anak di Indonesia,
Unicef Indonesia, Jakarta, hlm. 7.
[7] Achmad ZainalArifin, “Fenomena ‘Whistleblower’ dan
Pemberantasan Korupsi”, Kompas, 6 Februari 2008.
[8] Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group
Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Loc.cit.
[9] Quentin Dempster, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta,
Impresum, Jakarta, hlm.1.
[10] Portal UII, “Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan
Perlindungan Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,
Page | 22
http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensi-
whistle-blower.html, diakses 2 Maret 2011.
[11] Sinaga, “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta
(Whistle blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban”,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 2 Maret 2011.
[12] AchmadZainalArifin, Loc.cit.
[13] DaniKrisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus PriyoGunarto,
SigidRiyanto, Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena
Pundi Aksara, Jakarta, hlm. 1-3.
[14] AdamiChazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana
Korupsi, Alumni, Bandung, hlm. 1
[15] Jenti Okatavia S., 2009, Kewenangan Mengeluarkan Surat
Penghentian Penyidikan (Sp3) oleh Penyidik pada Perkara Tindak Pidana
Korupsi (Tinjauan terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Skripsi, Fakultas
Hukum UI, Depok, hlm. 18-19.
[16] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
[17] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
[18] Masguh, “Teori-Teori Korupsi”,
http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html, diakses 2
Maret 2011.
[19] Ramelan, “Penerapan Hukum dan Studi Kasus Korupsi”,Makalah,
disampaikan Penyuluhan Hukum di lingkungan PT. PLN(Persero), Distribusi
Unit Bisnis Sulawesi Selatan, Makassar, 27 Juni 2002.
Page | 23
[20] Pasal 10 ayat (2)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
[21] Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
[22] Eddy O.S.Hiariej, “Legal Opinion Pengujian Pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban”.
[23] Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Focus Group
Discussion Divisi Kajian dan Riset”, Loc.cit.
[24] Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
[25] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[26] United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
[27] United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC).
[28] Pasal 10Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Page | 24