makalah gbs

15
MAKALAH FARMAKOLOGI GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS) OLEH KELOMPOK 3 KELOMPOK 4 TUTORIAL ANGKATAN 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: belda-evina

Post on 02-Jan-2016

195 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

description of GBS

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah GBS

MAKALAH FARMAKOLOGI

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

OLEH

KELOMPOK 3

KELOMPOK 4

TUTORIAL ANGKATAN 2011

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2013

Page 2: Makalah GBS

Guillain-Barre Syndrome (GBS)

DEFINISI

Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang

mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang

biasanya timbul setelah suatu infeksi. Definisi lain juga menyebutkan bahwa GBS adalah sebuah

neuritis autoimun inflamatorik akut yang disebabkan oleh respon imunitas seluler yang dimediasi

sel T terhadap struktur mielin pada saraf perifer.

ETIOLOGI

GBS dinggap sebagai penyakit dengan perantara sistem imun yang terjadi setelah adanya infeksi,

yang akan menyerang saraf perifer. Sekitar dua per tiga pasien mengeluhkan adanya penyakit

infeksi bakteri atau virus yang mendahuluinya. Infeksi pernapasan adalah yang paling sering

dilaporkan, diikuti dengan infeksi saluran pencernaan.

Infeksi

Dalam beberapa studi yang dilakukan, Campylobacter jejuni adalah patogen yang paling sering

ditemukan menjadi penyebab GBS. Penelitian serologi pada sebuah pusat GBS di Belanda

menemukan bahwa 32% dari pasien menderita infeksi yang disebabkan C. jejuni beberapa saat

sebelum terdiagnosa GBS, sedangkan penelitian di Cina bahkan menyebutkan hingga 60%

pasien terjadi hal tersebut.

Infeksi Citomegalovirus (CMV) adalah penyebab kedua tersering yang dilaporkan dan

merupakan virus tersering yang memicu terjadinya GBS. Dalam penelitian disebutkan bahwa

pengaruh CMV sebagai pemicu GBS sebanyak 13% dari seluruh pasien.

Infeksi lain yang cukup signifikan walaupun jarang ditemukan adalah infeksi Epstein-Barr Virus

(EBV), Mycoplasma pneumoniae, dan Virus Varisela Zoster (VVZ).

Page 3: Makalah GBS

Infeksi Haemophilus influenzae, Borrelia burgdoferi, para-influenza virus tipe 1, influenza A

virus, influenza B virus, adenovirus, dan virus herpes simpleks juga ditemukan pada pasien GBS,

walaupun kejadiannya tidak sesering infeksi lain.

Vaksin

Pemberian vaksin juga terkadang dikaitkan dengan GBS, walaupun jarang. Dalam kebanyakan

kasus masih belum bisa dipastikan hubungan antara GBS dan pemberian vaksin. Dari survey

yang dilakukan tidak ditemukan peningkatan signifikan antara pemberian vaksin dan angka

kejadian GBS.

Hal ini juga didukung dengan adanya studi yang dilakukan oleh Chinese Centers for Disease

Control dimana 89,6 juta dosis vaksin H1N1 yang diberikan antara 21 September 2009 hingga

21 Maret 2010 tidak meningkatkan angka kejadian GBS.

Pengobatan

Dalam sebuah studi terkontrol, pasien GBS dilaporkan kebanyakan adalah pengguna obat

Penisilin dan Antimotilitas ataupun yang lebih jarang adalah Kontrasepsi oral. Namun, tidak

diketahui hubungan sebab-akibat dari hal tersebut.

EPIDEMIOLOGI

Ras

GBS telah dilaporkan secara luas di seluruh dunia, tidak ditemukan jumlah yang lebih besar pada

ras tertentu.

Jenis kelamin

Rasio laki-laki dan perempuan dalam kejadian GBS adalah 1,5:1 dimana ditemukan lebih banyak

pada pria terutama yang umurnya lebih tua. Walaupun begitu, sebuah penelitian di Swedia

menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya GBS menurun pada saat kehamilan dan kembali

naik setelah melahirkan.

Page 4: Makalah GBS

Usia

GBS dilaporkan dapat terjadi pada semua usia, namun terdapat dua titik risiko tertinggi yaitu

pada dewasa muda usia 15-35 tahun, dan lebih tinggi pada orang tua usia 50-75 tahun.

IMUNOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Walaupun masih belum diketahui jenis virus atau bakteri apa yang memicu terjadinya GBS,

infeksi dari Campylobacter jejuni sering ditemukan dari penderita GBS. C. jejuni memiliki

suatu glikoprotein pada kapsulnya (diwakilkan dengan bentuk segitiga pada gambar) yang mirip

atau hampir sama dengan glikosida GM1 dan glikosida lain yang berada pada sel Schwann di

saraf. Pada saat infeksi, C. jejuni akan memasuki tubuh terutama melalui makanan karena C.

jejuni merupakan salah satu penyebab terbanyak infeksi yang berasal dari maknan pada negara-

negara yang telah berkembang.

Setelah memasuki tubuh, C. jejuni akan menginfeksi di usus atau tepatnya di Peyer’s patch. Saat

itu akan terjadi respon imun terhadap glikoprotein yang berada di kapsul C. jejuni yang sekarang

menjadi antigen. APC akan mempresentasikan antigen tersebut kepada sel T dan sel CD4 dengan

Page 5: Makalah GBS

bantuan MHC II. Kemudian, sel T akan aktif dan terjadi sensitisasi. Sel T yang telah

tersensitisasi akan merangsang sel B untuk mengeluarkan IgM dan IgG yang akan berikatan

dengan antigen dan mengeluarkan sitokin berupa IL 3, 4, 5, dan 10 yang akan menyebabkan

reaksi inflamasi pada usus halus (enteritis).

Sel B akan keluar dari usus menuju KGB regional ataupun ke sirkulasi. Sel T yang juga telah

aktif akan berperan untuk membuka blood-nerve barrier, dan memungkinkan IgG yang

diproduksi sel B yang keluar tersebut memasuki saraf perifer atau ganglia. Pada fase keluarnya

sel B ke sirkulasi ini merupakan masa kritis dari GBS.

Setelah IgG memasuki saraf perifer atau ganglia, IgG akan mengenali gangliosida GM1 dan

gangliosida lainnya pada sel saraf sebagai antigen C. jejuni dan akan berikatan dengan

ganagliosida tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan awal pada miein berupa

edema antara lapisan mielin yang paling luar juga terjadi gangguan vesikuler seperti pusing.

Selain itu, ikatan IgG dengan gangliosida ini juga akan mengaktivasi C5b-C9 komplemen dan

merusak mielin.

GEJALA KLINIS

Page 6: Makalah GBS

Dari mulai infeksi sampai timbulnya gejala neurologi lamanya bervariasi dari 1-28 hari dengan

rata-rata 9 hari. Kebanyakan pada mulanya, pasien mengeluhkan paresthesia pada ekstremitas

bawah, tetapi 1/3 kasus juga menggambarkan kelemahan otot sebagai gejala awal. Kelemahan

otot, biasanya diikuti dengan cepat paralisis flaksid yaitu paralisis disertai penurunan tonus otot

pada otot perifer ekstremitas.

Kelumpuhan yang terjadi simetris, dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar naik ke badan,

dan ekstremitas atas. Juga dapat melibatkan saraf kranial. Saraf kranial yang banyak terkena

yaitu saraf VII, biasanya bilateral. Selain itu juga dapat menyerang nervus 1,2,3,4,6 dan saraf

perifer. Papiledema mungkin ditemukan ketika terjadi peningkatan yang nyata kadar protein

dalam LCS. Gangguan otonom, terlihat pada 25% kasus, biasanya terjadi retensio urin dengan

distensi vesica urinaria, takikardi, tekanan darah yang tidak beraturan.

Gejala sensoris biasanya tidak begitu berat bila dibanding dengan gejala motorik, dan biasanya

terdiri dari paresthesia pada kedua tungkai yang kemudian menyebar ke ekstremitas atas. Juga

dijumpai adanya rasa nyeri tekan otot dan sensitivitas saraf terhadap tekanan. Pada keadaan yang

berat, bisa terjadi kegagalan respirasi sebagai komplikasi yang utama, yang memerlukan

tracheostomi dan bantuan pernafasan.

Pada perjalanan penyakitnya terdapat 3 periode yaitu:

1. Periode progresif dimana gangguan fungsi motorik berlangsung progresif, baik distribusi

maupun derajat kelumpuhannya, keadaan klinis ini berlangsung lebih kurang 9 hari.

2. Periode stabil selama 2-4 minggu, dimana tidak ada gangguan yang signifikan lagi.

3. Periode penyembuhan bisa berlangsung 3-4 minggu bahkan lebih. Penyembuhan sempurna

terjadi bila tidak ada kerusakan yang berat dan terjadi pada usia muda.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk GBS diantaranya:

Botulism

Cauda Equina dan Conus Medullaris Syndrome

Page 7: Makalah GBS

Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Emergent management of Myasthemia Gravis

Heavy Metal Toxicity

Lyme Disease

Metabolic Myopathies

Multiple Sclerosis

Nutritional Neuropathy

Vasculitic Neuropathy

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk GBS dibagi menjadi penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi.

Penatalaksanaan nonfarmakologi diantaranya:

Penanganan intensif posisi istirahat yang sesuai untuk membebaskan jalan napas sangat

dibutuhkan, karena kebanyakan kematian pada pasien GBS biasanya berhubungan dengan

komplikasi karena kegagalan ventilasi atau gagal napas dan disfungsi otonom. Penanganan

intensif ini termasuk pula terapi pernapasan, cardiac monitoring, suplemen nutrisi,

monitoring untuk komplikasi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan septikemia.

Rehabilitasi yang disesuaikan dengan keadaan pasien, yang mencakup:

o Terapi fisik dengan latihan ROM dan posisi yang benar untuk menghindari

pemendekan otot dan kontraktur sendi.

o Terapi okupasi dan rekreasi memperbaiki fungsional tubuh semaksimal mungkin.

o Terapi bicara untuk pasien dengan kelemahan orofaringeal.

Penatalaksanaan farmakologi diantaranya:

Agen Imunomodulator (Imunoglobulin Intravena)

o Contoh: Carimune NF, Gammaplex, Privigen.

Page 8: Makalah GBS

o Obat-obatan ini digunakan untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologi dari pasien

GBS.

o Mekanisme kerja : dapat mengganggu reseptor pada sel-sel di sistem

retikuloendotelial sehingga produksi antibodi berkurang dan meningkatkan solubilitas

dan pembersihan dari kompleks imun.

o Farmakokinetik

Half-life : 14-40 hari (bervariasi pada masing-masing pasien)

Onset : langsung

Durasi : 1-3 bulan

o Dosis : 400mg/kgBB/hari intravena selama 5 hari atau 1gr/kgBB/hari selama 2 hari

o Pemberian secara IV:

Carimune NF dimulai dengan 10-20 tetes per menit, setelah 15-30 menit

dapat dinaikkan menjadi 30-50 tetes per menit.

Gammaplex 0,01ml/kbBB/menit selama 15 menit kemudian bisa dinaikkan

menjadi 0,08/kgBB/menit.

Privigen dimulai dengan 0,5mg/kgBB/menit kemudian dapat dinaikkan

perlahan menjadi 8mg/kgBB/menit.

o Efek samping : panas dingin (89%), sakit kepala (54%), nyeri pada seluruh tubuh

(36%), hipotensi, reaksi anafilaksis yang berhubungan dengan kecepatan infus.

o Interaksi obat :

Hindari digunakan bersama Baciracin karena efeknya akan meningkatkan

nefrotoksisitas.

Sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan vaksin hidup BCG, vaksin

hidup rubella, karena akan mengurangi efek dari vaksin tersebut.

Penggunaan bersama Fenitoin akan berisiko terjadi miokarditis karena

hipersensitivitas.

o Penggunaan pada kehamilan : kategori C.

Low Molecular Weight Heparin

o Contoh : Enoxaparin (Lovenox), Dalteparin.

Page 9: Makalah GBS

o Obat ini digunakan sebagai profilaksis atau pencegahan terjadinya deep vein

thrombosis (DVT).

o Mekanisme kerja : menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin.

o Dosis:

Enoxaparin : 40mg/hari subkutan

Dalteparin : 200IU/kgBB/hari subkutan

o Efek samping : perdarahan, demam, nausea, anemia, trombositopenia.

o Interaksi obat : Enoxaparin dan Dalteparin tidak boleh digunakan bersama

Mifepristone karena dapat menyebabkan perdarahan berlebihan.

o Penggunaan dalam kehamilah : kategori B.

Analgesik untuk mengurangi rasa sakit pasien karena adanya gangguan pada sistem

sarafnya.

Page 10: Makalah GBS

DAFTAR PUSTAKA

Baravelli M, Fantoni C, Rossi A, et al. Guillain-Barré syndrome as a neurological complication

of infective endocarditis. Is it really so rare and how often do we recognise it? . Int J

Cardiol. Jan 10 2008.

Kang JH, Sheu JJ, Lin HC. Increased risk of Guillain-Barré Syndrome following recent herpes

zoster: a population-based study across Taiwan. Clin Infect Dis. Sep 1 2010;51(5):525-30.

Kasper, D.L, et al. 2012. Harrison's Principle of Internal Medicine 18th Edition. New

York:McGraw-Hill

Kuitwaard K, Bos-Eyssen ME, Blomkwist-Markens PH, van Doorn PA. Recurrences,

vaccinations and long-term symptoms in GBS and CIDP. J Peripher Nerv Syst. Dec

2009;14(4):310-5.

Liang XF, Li L, Liu DW, Li KL, Wu WD, Zhu BP, et al. Safety of influenza A (H1N1) vaccine in

postmarketing surveillance in China. N Engl J Med. Feb 17 2011;364(7):638-47.

Nelson L, Gormley R, Riddle MS, Tribble DR, Porter CK. The epidemiology of Guillain-Barré

Syndrome in U.S. military personnel: a case-control study. BMC Res Notes. Aug 26

2009;2:171.

Souayah N, Nasar A, Suri MF, Qureshi AI. Guillain-Barré syndrome after vaccination in United

States: data from the Centers for Disease Control and Prevention/Food and Drug

Administration Vaccine Adverse Event Reporting System (1990-2005). J Clin Neuromuscul

Dis. Sep 2009;11(1):1-6.