makalah ilmu kalam final!
TRANSCRIPT
KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN AL-‘ASY’ARIYAH
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu dalam Mata Pelajaran Ilmu Kalam
Disusun oleh:
ALIEF AINURRAFIEQ AKHYAR
NIS: 1314. 10.004
PESANTREN PERSATUAN ISLAM 84
Jl. CIGANITRI NO.2
BANDUNG
2014M/ 1435H
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanyalah milik Allah Swt Tuhan semesta alam yang dengan qudrah dan
inayah-Nya kita dapat memahami segala syarat ilmu pengetahuan yang ditujukan oleh-Nya kepada
kita. Serta dengan qudrah dan inayah-Nya pula kita dikaruniai akal sebagai alat untuk memahami
segala ayat-ayat tentang kekuasaan-Nya yang semata-mata digunakan untuk ketaatan kita kepada-
Nya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabiyyina wa Habibina Muhammad
Saw. Sebagai khatamun nabiyyin dan usawah hasanah bagi kita.
Alhamdulillah, penulis telah menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Setelah
menempuh berbagai kesulitan khususnya dalam menemukan sumber dan referensi materi mengenai
Al-‘Asy’ariyah. Makalah ini berisi penjelasan dan pembahasan mengenai Al-‘Asy’ariyah yang
didasarkan atas berbagai sumber-sumber berupa buku-buku yang penulis temukan di perpustakaan
dan media internet.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Serta penulis
berharap pula mudah-mudahan makalah ini bermanfaat baik bagi penulis dan umumnya bagi pembaca
di lingkungan Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri.
Bandung, 23 September 2014
Alief Ainurrafieq A.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PEMBAHASAN ....................................................................................................... 1
A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah .................................................................................. 1
B. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah ........................................................... 6
C. Tokoh-tokoh Dan Ajaran-ajaranya ............................................................................ 8
D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari .......................................................................... 9
BAB II PENUTUP .............................................................................................................. 12
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 13
1
BAB I PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia
Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-
argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok
Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah
yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa
mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.1[1]
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim
bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga
dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.2[2]
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-
Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu
kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata
baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli
Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah
1[1] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indones ia Press , 2002.
2[2]http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/
2
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya
dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat
terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia
mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia
gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak
sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia
sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal
dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.3[3]
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar
dari paham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia
menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah,
misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa
Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan
Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i,
menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan,
misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.4[4]
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan
adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa
jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan
dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-
Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu
sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang
ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya. Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu
adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia
untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia
3[3] Montgomery Watt, 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta: Tiara Wacana,
4[4] Rozak, Abdul . 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference
3
hukumnya wajib bagi Allah. Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham
Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan.
Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran
Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi
setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn
Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun
teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul
pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah
karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi
lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain,
tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka
ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah
dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi
penganut setia aliran Mu’tazilah.
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali,
yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari
yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada
madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian
Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat,
tabi’in, serta imam ahli hadits.
Al-Hafiz Ibn `Asakir meriwayatkan di dalam kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari dan
al- Hakim meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak sebab turun QS. al-Ma’idah: 54, lalu
Rasulullah saw bersabda: “Mereka kaummu wahai Abu Musa”, dan Rasulullah saw
4
menunjukkan dengan tangan baginda kepada Abu Musa al Asy`ari”. Al-Hakim
menghukumkan hadis di atas sebagai hadis sahih `ala shahih Muslim. Hadis di atas juga
diriwayatkan oleh al-Tabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Abi Hatim, Ibn Sa`d dalam kitabnya
al-Tabaqat al-Kubra dan al-Tabrani dalam kitab al-Mu`jam al-Kabir. Al-Hafiz al-Haythami
berkata di dalam kitabnya Majmu` al-Zawa’id bahawa rijal hadis tersebut adalah rijal al-
sahih. Al-Imam al-Qurtubi berkata di dalam kitab tafsirnya (al-Tafsir al-Qurtubi) jilid. VI,
halaman. 220: “Al-Qushayri berkata: “Maka para pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah
termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan di dalamnya oleh suatu kaum
kepada seseorang nabi maka maksudnya ialah para pengikut”.5[5]
Berkaitan dengan hadis yang mempunyai maksud yang sama dengan hadis di atas
yaitu dengan lafaz yang mafhumnya: “Mereka adalah kaum lelaki ini” sambil Nabi
sallallahu`alaihi wasallam mengisyarat tangannya kepada Abu Musa al-Asy`ari.” Rasulullah
sallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Maksudnya:“Mereka adalah kaum orang
ini.”[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]. Apabila negara Islam
berkembang luas, berlaku perbincangan antara saudara-saudara baru mengenai agama. Antara
topik yang terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Hasil daripada beberapa
perbincangan, lahir berbagai-bagai fahaman yang berpandukan logik. Akibatnya, ada yang
terpesong dalam memahami teks al-Quran yang sebenar. Walau apapun berlaku, Allah
berjanji memelihara agamanya dengan melahirkan sarjana yang mempertahankan akidah
yang tulen. Antara sarjana-sarjana itu adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah
berpegang pada fahaman Muktazilah dan berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai.
Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran matang dan tekun mengkaji secara mendalam.
Pada suatu hari, beliau berdebat dengan ayah tirinya dalam mengenai kehidupan selepas mati.
Selepas berdebat dengan ayah tiri beliau, Abu Hasan al-Asy” ari bangun berucap di Masjid
Basrah lalu mengisytiharkan dirinya keluar daripada fahaman Muktazilah dan berpegang
pada Ahli Sunnah wal Jamaah. Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran
Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan
hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah
Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai
murid dan pengikut. Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagai
Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al Asy’ari.
5[5] Ros ihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
5
Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi
Allah secara terperinci yaitu:
1. Ada
2. Bersedia
3. Kekal
4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru
5. Berdiri dengan sendirinya
6. Satu
7. Berkuasa
8. Berkehendak
9. Mengetahui
10. Hidup
11. Mendengar
12. Melihat
13.Berkata-kata
Beliau juga menguraikan perkara taklid yaitu mengambil pendapat orang lain tanpa
hujah yang menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu.
Beliau menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-
rukun iman. Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia
berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin
Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan
Uthmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga didokong oleh sarjana-sarjana di
kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -
Qafal, aljarjani dan lain-lain sehingga sekarang. Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan
al-Asy’ ari adalah dengan mengemukakan hujah logik dengan disertakan hujah teks al-Quran
dan hadis Nabi Muhammad. Hujah-hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal
Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat berkembang dan mendapat
sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan Abbasiah. Akhirnya, golongan
Muktazilah bukan sahaja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya
memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan fahaman
Asya’ irah. Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran fahaman ini
seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al Bakilani,
Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad aljuwaini, Abu Mazfir al-
6
Asfaraini, Imam al-Haramain aljuwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin
al-Razi.6[6]
Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan
yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku
ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan
didera oleh kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Begitu juga
dalam buku AJ-Luma ‘ Fir Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid ‘i beliau mendedahkan hujah
logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul
dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah.
Buku Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah
mereka yang mengharamkan ilmu Kalam. Walaupun ada di kalangan sarjana Islam
terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang
dibawa oleh Abu Hasan Asy’ ari, ia tidak menafikan jasanya mempertahankan fahaman Ahli
Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang
terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai kata-kata Allah yang kekal, isu melihat
Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan
lain-lain dan menjadi golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di
tengah-tengah kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya. Imam Abu Hasan Asy’ari
meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri
daripada buku-buku karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya.
Akhirnya, ia meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat
Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya.
Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah
kontemporari bagi mempertahankan akidah yang sebenar.7[7]
B. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan
ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai
menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun.
6[6] http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/
7[7] Harun Nasution, 2002 Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
7
Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada
titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah
yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan
mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga
beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah
muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya8[8].
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
8[8] http://www.dakwatuna.com/2008/asy’ariyah/
8
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku,
menurut satu sumber sekitar tiga ratus.9[9]
C. Tokoh-tokoh Dan Ajaran-ajaranya
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid
Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada
tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari,
misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham
dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia
adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai
sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah
gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan
oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat
dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah
disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar.
Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari
berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen
yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan
pemikiran yang dihasilkannya.
2. Abd al-Malik al-Juwaini Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah.
Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang
bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan
Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan,
sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha
Tinggi.
9[9] Ros ihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
9
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-
Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan
efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada
daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai
pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111
Masehi. Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari.
Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat
Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.10[10]
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang
mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan
tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran
kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang
tidak mungkin dikerjakan manusia.
D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari. Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya,
pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampak
sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalh berikut ini: a. Tuhan dan sifat-sifatNya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat
dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa menesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok
Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat
yang disebutkan dalam Al-qur’andan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti
harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat
10[10] http://www.dakwatuna.com/2008/asy’ariyah/
10
bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensiNya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau
Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secra harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memang
memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kakidan ini tidak bolwh diartikan secra
harfiah, melainkan secra simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat
Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya
mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya
tidak terpisah dari esensiNya.
b. Kebebasan dalam berkehendak Dalam ghal apakah manusia memiliki kemampuan untuik memilih, menentukan, serta
mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yangb ekstrim, yakni Jabariyah yang
fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut
faham kebebasan mutlak dan berpendaat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Al-Asyari membedakan antaa khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya
Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan wahyu dan ritria baik dan buruk
Walapun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan
wahyu, mereka berbrda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutanakan wahyu, sementara Mu’tazilah
megutamakan akal. Dala menentukan bak burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara
mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapka pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-
Rur’an mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (mkhluk) sehingga tidak qadim
serta pandangan madzab hambali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua
huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dala rangka mendamaikan kedua pandangan
yang saling berama tentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya
tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat:
11
“ Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.”(Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah,
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan muktazilah yang mengingkari
ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di
akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atu bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah
yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa
mu’tazilah mengartikan keadilan dari visimanusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-
Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu
diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufr.11[11]
11[11] Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference
12
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah
yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan. Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim
bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga
dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun,Nasution. 2002. Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan,
Jakarta; Universitas Indonesia Press.
2. Http://Www.Dakwatuna.Com/2008/Asy’ariyah/ 3. Http://Andaleh.Blogsome.Com/2006/03/17/P4/
4. Montgomery,Watt. 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta:
Tiara Wacana,
5. Rosihan Anwar, Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
6. Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam).
Surakarta: Annual Conference