makalah kewarganegaraan semester 2 euthanasia
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
MAKALAH KEWARGANEGARAAN
EUTHANASIA DITINJAU DARI SEGI KODEKI,
HUKUM, DAN AGAMA
KELOMPOK 23D
Anggota Kelompok :
- Raysa Ramayumi (1010311023)
- Fido Arief (1010312026)
- Karolin Trisnawelda (1010312054)
- Wiwie Bakti Kemampa (1010312082)
- Fitria Novita (1010312110)
- Inez Amelinda (1010313029)
- Ahmad Giffar Danto (1010313065)
- Mulfa Satria Asnel (1010313109)
- Yelsa Yulanda Putri (1010313111)
- Amanda Besta Rizaldy (1010313119)
FAKULTAS KEDOKTERAN JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ANDALAS
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya pada penulis sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Judul makalah adalah “Euthanasia ditinjau dari segi Kodeki, Hukum, dan
Agama”.
Dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Mardenis sebagai Dosen MKDU Pendidikan
Kewarganegaraan serta seluruh anggota kelompok 23 D. Semoga bimbingan dan bantuan
yang telah diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan
dan kelemahan. Dengan dasar ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
mendukung dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap mudah-
mudahan makalah ini berguna bagi penulis dan pembaca semua.
Padang, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Pengertian Euthanasia
B. Euthanasia Menurut KODEKI
C. Euthanasia Menurut Hukum
D. Euthanasia Menurut Agama
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................10
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan perkembangan tekhnologi yang terjadi, telah menyebabkan timbulnya
pergeseran nilai dari berbagai kemanusiaan. Di antara sekian banyak persoalan yang
timbul dan memerlukan jawaban dari berbagai macam sudut pandang adalah masalah
euthanasia. Euthanasia adalah pengakhiran hidup manusia berhubungan adanya suatu
penderitaan berat yang dialaminya, dengan berbagai macam pertimbangan untuk
kebaikan si penderita sendiri agar tidak terlalu lama menderita, untuk meringankan beban
keluarga atau masyarakat, baik perasaan, tenaga maupun materi serta pertimbangan-
pertimbangan lainnya.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah lama menjadi perdebatan di negara-
negara dunia, tetapi belum semua negara bersedia melegalkan , termasuk di dalamnya
Indonesia. Dalam beberapa kasus dan keadaan yang diperlukan euthanasia dapat
dilegalkan, tetapi dilain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama. Oleh karenanya euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual.
Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas dan mengkaji
euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, sosial,
agama dan yuridis masih menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan belum dapat menjawab
secara tepat dan objektif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka dapat
dikemukakan perumusan masalah dari makalah ini. Sebagai perumusan masalah
makalah, yaitu: ”Bagaimana euthanasia dilihat dari segi KODEKI, Hukum, dan
Agama ?.”
C. Pembatasan Masalah
Agar pembuatan makalah ini lebih terarah serta keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis, maka penulis merasa perlu membatasi masalah dalam penelitian ini
yaitu euthanasia yang dibahas lebih merujuk pada kejadian di wilayah Sumatera Barat
khusunya Padang.
D. Tujuan Penulisan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui euthanasia yang dilihat dari segi asas KODEKI
2. Mengetahui euthanasia yang dilihat dari segi hukum
3. Mengetahui euthanasia yang dilihat dari segi agama
E. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan memberikan manfaat pada mahasiswa fakultas
kedokteran, program studi pendidikan dokter yang akan menjadi seorang dokter nantinya.
Bagi penulis sendiri, sebagai tugas dari MKDU Pendidikan Kewarganegaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Asal istilah euthanasia bermula dari bahasa Yunani, yaitu “euthanatos”. Eu berarti
baik tanpa derita dan Thanatos artinya adalah mati. Ada seorang penulis Yunani bernama
Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum menjelaskan anti euthanasia seba¬gai ”mati
cepat tanpa derita”.
Dari euthanasia dikenal berbagai perumusan dan dari sekian banyak perumusan tersebut
penulis memilih yang di¬buat oleh Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan
Dokter Belanda) yang sebagai berikut: ”Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan
sesualu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini
dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
B. EUTHANASIA DARI SEGI KODEKI
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasn bahwa
seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter
harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan
dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia.Jadi
dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan; menggugurkan
kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Menurut asas KODEKI, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan menyebut nama Tuhan
b. Waktu hidup berakhir, diringankan penderitaan si pasien dengan memberi obat
penenang;
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari ketiga jenis euthanasia tersebut di atas, pada jenis ketiga atau butir c yang
mirip dengan euthanasia yang dilarang dalam KUHP (Pasal 344). Dengan demikian
euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu:
a. Euthanasia aktif; tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan
untuk mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah
karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia
pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia aktif, misalnya
ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga
pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan.
Banyak yang tidak sependapat dengan alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter
memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau
manusia.
b. Euthanasia pasif; perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara
menghentikan terapi.
Euthanasia pada saat sekarang ini mempunyai suatu motif dan pengertian yang lebih
luas, akan tetapi motif euthanasia tetaplah sama yaitu pertolongan untuk
mempercepat waktu tibanya meninggal dunia sebagai upaya menghindari penderitaan
yang berkepanjangan yang tidak layak bagi manusia, sehingga pengertian euthanasia
dipergunakan untuk maksud menolong dan tidak dapat diartikan sebagai pemusnahan
hidup yang tak berguna Tindakan ini dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien
Disamping hal tersebut, Prof Leenen menyatakan bahwa ada bebarapa tindakan
yang sebenarnya tidak termasuk euthanasia, yaitu pseudo euthanasia. Pseudo euthanasia
ini adalah :
a. Gejala mati otak atau batang otak, dimana otak mutlak tidak berfungsi dan fungsi
otak mutlak tidak dapat dipulihkan
b. Pasien menolak untuk diberikan perawatan medis. Dalam hal ini bersesuaian
dengan KUHP pasal 1320 yang menyatakan sahnya sebuah perjanjian adalah
kehendak bebas. Dan dalam pasal 351 KUHP, dinyatakan bahwa apabila tetap
dilakukan tanpa izin, maka akan termasuk kedalam penganiayaan.
c. Dalam keadaan darurat, misalnya kekurangan alat untuk pasien.
d. Penghentian pemberian perawatan medis karena diketahui tidak ada gunanya lagi.
Oleh karena itu dorongan untuk euthanasia dapat dikenal sebagai belas kasihan
dan rasa solidaritas terhadap yang sedang menghadapi kematian dengan kesukaran yang
hebat. Jadi euthanasia merupakan suatu pertolongan terhadap pasien yang sedang dalam
keadaan menderita penyakit yang sangat parah pada waktu menjelang kematian sehingga
euthanasia membawa suatu pertolongan dan memperingan penderitaan pasien menjelang
kematian. Dari berbagai macam pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian
tentang euthanasia, yang pada prinsipnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
o Adanya suatu tindakan yang diambil baik secara aktif yang mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain;
o Perbuatan tersebut dilakukan karena terdorong oleh suatu keinginan untuk
membebaskan orang lain dari penderitaan yang dialaminya, misalnya sakit yang tidak
mungkin dapat disembuhkan, dimana hal ini dapat dibuktikan oleh seorang dokter;
o Perbuatan tersebut dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan atau
keluarganya yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.
C. EUTHANASIA DARI SEGI HUKUM
Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk, lebih-lebih
bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan umum hak-hak manusia
(Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak akan hidup, akan kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan
dengan pasal tersebut ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang
memuat hak-hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak ketentuan UUD 1945 yang
mengatur hak-hak manusia.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, maka akan terlintas dalam pikiran
kita bahwa hak untuk hidup adalah termasuk di dalamnya. Seorang dokter, umumnya
tenaga kesehatan memang menghadapi peristiwa yang menempatkan seorang pasien
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Misalnya saja seorang penderita
kanker pada stadium yang sudah parah yang kondisinya sangat menderita, baik secara
fisik, batin maupun materi. Melihat kondisi demikian ini, baik keluarga pasien maupun
dokter yang merawatnya terkadang tidak tega, sehingga akhirnya sama-sama sepakat
untuk mempercepat kematiannya yaitu dengan jalan memberikan obat dengan dosis yang
berlebihan. Keadaan demikian inilah yang disebut dengan euthanasia.
Di Indonesia, dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia dalam bentuk
apapun adalah dilarang, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 344 KUHP yang
menyatakan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Dengan demikian, apabila terjadi seorang dokter atau tenaga kesehatan lain yang ingin
membantu pelaksanaan euthanasia atas permintaan atau desakan berdasarkan rasa
kemanusiaan atau perasaan kasihan yang mendalam ataupun berdasarkan prinsip-prinsip
etika kedokteran, maka tindakan dokter atau tenaga medis tersebut dapat diancam dengan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Dari rumusan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat dilihat unsur-unsur yang
terkandung untuk dapat diancamnya seseorang dengan dakwaan melakukan euthanasia,
yaitu “atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Unsur
tersebut di atas pada akhirnya menjadikan sulitnya dalam hal pembuktian. Hal tersebut
dikarenakan orang yang atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan
hati tersebut harus sudah meninggal, sehingga tidak dapat dimintai keterangan atau
kesaksiannya. Dengan demikian pada dasarnya Pasal 344 KUHP sangat sulit diterpkan
untuk menjerat pelaku euthanasia di Indonesia, karena unsur “atas permintaan sendiri
yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” tersebut adalah merupakan syarat mutlak,
sedangkan untuk membuktikan hal tersebut sangatlah sulit karena yang menyatakan telah
meninggal dunia. Dan pada pasal 388 KUHP, dikatakan barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. Pada pasal 340 KUHP menjelaskan tentang pembunuhan
berencana.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan
dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun
D. EUTHANASIA DARI SEGI AGAMA
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-
dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang
melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut
hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah telah menyatakan dalam firman-Nya : “Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan” (Qs. Asy-syuara : 80). Dan Rasulullah bersabda “ Setiap penyakit ada
obatnya, jika obat itu tepat mengenai sasaran, maka dengan izin Allah penyakit itu
sembuh”(HR. muslim dan ahmad). Dan juga didalam HR. Tarmidzi, Rasulullah bersabda
“Berobatlah kalian, maka sesungguhnya Allah tidak akan mendatangkan penyakit kecuali
mendatangkan juga obatnya, kecuali penyakit tua”. Dari firman Allah dan hadits tersebut
jelas dinyatakan bahwa semua penyakit yang diturunkan-Nya pasti ada obatnya, namun
teknologi kita kadang-kadang belum mencapainya.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian
yaitu euthanasia aktif atau tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan
untuk mempercepat kematian pasien, dan euthanasia pasif, yaitu perbuatan membiarkan
pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi. Pengaturan euthanasia dalam praktek
kedokteran ditinjau dari hukum pidana adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 344
KUHP. Namun penerapannya sangat sulit, karena pasal tersebut menghendaki adanya
kesaksian dari yang meninggal dalam hal membuktikan adanya “atas permintaan sendiri
yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. Disamping itu juga telah ditekankan dalam
Al-quran bahwa bagaimana pun bentuk dari euthanasia itu diharamkan.
B. SARAN
Karena makalah ini belum sepenuhnya membahas mengenai euthanasia, oleh
karena itu diharapkan peneliti selanjutnya untuk membahas hal ini yang lebih lengkap
dan terbaru.
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, M Chrisdiono. 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman. Jakarta : EGC.
Guwardi, J.2008. Hukum dan Dokter. Jakarta : -
Hawari, Dadang. 2008. Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI