makalah korupsi
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan karuniaNya kami dapat menyelesaikan tugas mengenai Korupsi.
Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas semester mata kuliah
Patologi dan Rehabilitas Sosial dan juga sebagai sarana dalam memperluas
wawasan mengenai ilmu yang terkait.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan tugas makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dalam segi bahasa maupun sistematika penyusunannya
sehingga makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
sebagai motivasi kami untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya dan guna
evaluasi kami selanjutnya.
Akhir kata kami berharap semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
Semarang, September 2010
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan jiwa banyak berkaitan dengan sejarah politik suatu bangsa.
Apa yang selama ini disebut sebagai krisis multidimensional sebenarnya
bertolak pada krisis kesehatan jiwa bangsa, yang harus ditelusuri akarnya dari
perjalanan sejarah bangsa ini. Budaya korupsi, jalan pintas, manipulasi dan tidak
ada rasa malu, konflik horizontal dan kekerasan, serta narkoba, adalah manifestasi
adanya gangguan kesehatan jiwa, yang selama ini nyaris dianggap biasa oleh
kebanyakan orang, termasuk para birokrat.
Perilaku korupsi oleh para pejabat, pegawai, bahkan sampai pada pamong
desa pun dari jaman Indonesia belum merdeka hingga saat ini masih terus terjadi
dan bahkan semakin menjamur di Indonesia. Bahkan menurut survey
Transparansi Internasional, Indonesia termasuk 13 negara di dunia yang paling
banyak praktek korupsi di dalamnya. Korupsi merupakan perilaku dan mungkin
sudah menjadi tradisi yang mendarah-daging dan berkembang biak di setiap
sektor kehidupan masyarakat di Indonesia. Baik jabatan di lembaga negeri
maupun swasta. Mulai dari pejabat paling rendah di tingkat kelurahan sampai di
tingkat yang paling tinggi yakni lembaga eksekutif dan legislatif Negara hingga
masyarakat umum pun turut berperilaku yang bisa dikatakan termasuk kategori
korupsi.
Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak
korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan
tetapi, pemahaman yang mendalam dan lebih fundamental juga diperlukan, agar
menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tak mengulang dan
membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan kita, sehingga tidak
terjadi apa yang dikatakan "patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh
seribu" seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah meluas, maka semakin
dibabat semakin cepat penyebarannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Korupsi
Kata “Korupsi” berasal dari bahasa latin “Corruptio” (Fockema Andreae :
1951) atau Corruptus (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
disebutkan bahwa “Corruptio” itu berasal pula dari kata asal “Corrumpere”
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa
Eropa seperti Inggris: Corruption, Corrupt; Perancis: Corruption dan Belanda:
Corruptie (korruptie).
Dapat kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun
ke bahasa Indonesia “Korupsi”. Arti harfiah dari kata itu ialah: kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Meskipun
kata Corruptio itu luas sekali artinya namun sering “Corruptio” dapat
dipersamakan artinya dengan “penyuapan”.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam “Kamus Umum
Bahasa Indonesia”: Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta:
1976).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang negera atau perusahaan dsb) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Sebenarnya dari asal kata yang mengandung
banyak definisi, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Termasuk ke
dalam makna korupsi adalah suap.
Menurut dalam buku Patologi Sosial, korupsi merupakan tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keutungan
pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
3
Menurut ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan
dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri
maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi,
sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan dan pribadi
lainnya.
Menurut para ahli ekonomi, korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang
menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau non
materi), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela yang melanggar norma-
norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau
wewenang yang dimiliki oleh salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum
dan swasta.
Menurut Brooks, korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau
melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa keuntungan yang
sedikit banyak bersifat pribadi.
Menurut Haryatmoko (Etika Politik dan Kekuasaan, 2003), korupsi adalah
upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya
untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan
demi kepentingan keuntungan dirinya.
Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri
atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pengertian korupsi yang banyak tersebut dilihat dari sudut pandang fiqih Islam
juga mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena
beberapa definisi tentang korupsi merupakan bagian-bagian tersendiri dari fiqih
Islam. Adapun pengertian yang termasuk makna korupsi dalam fiqih Islam adalah
sebagai berikut :
4
- Pencurian
- Penggunaan hak orang lain tanpa izin
- Penyelewengan harta negara (ghanimah)
- Suap
- Khianat
- Perampasan
II. Ciri-ciri dan Karakteristik Korupsi
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan jabatan dan adminstrasi, ekonomi
atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri atau orang lain untuk
memperoleh keuntungan pribadi sehingga menimbulkan kerugian masyarakat
umum atau pribadi lainnya. Korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu
memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Pengkhianatan terhadap sebuah kepercayaan.
b. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum.
c. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus
d. Dilakukan dengan rahasia.
e. Melibatkan lebih dari satu pihak.
f. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang
lain.
g. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk – bentuk
pengesahan umum.
h. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan
korupsi.
i. Melibatkan lebih dari satu orang,
j. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota
birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
5
k. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel,
uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun
wanita,
l. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
m. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu
berupa uang,
n. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik
atau masyarakat umum,
o. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
p. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.Karakteristik Korupsi
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi, apabila tindakan tersebut
berbentuk :
a. Merugikan keuangan Negara
b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuataan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi
h. Merintangi proses pemeriksaan korupsi
i. Tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan tidak benar
j. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
k. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu.
6
l. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak diberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu.
m. Saksi yang membuka identitas pelapor.
Gerald E. Caiden (1998) yang dikutip Jeremy Pope (2003) menjelaskan secara
rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara antara lain adalah :
a. Berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan.
b. Menggelapkan barang milik lembaga, Negara, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri.
c. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/ Negara, dan
surat izin pemerintah.
III. Pendapat Tentang Kasus Korupsi
Saya sangat setuju bahwa aktor korupsi harus diproses sesuai hukum yang
berlaku. Dalam hal ini menurut saya ada beberapa hal yang harus dicermati
khususnya oleh penegak hukum yaitu jenis korupsinya apakah perorangan atau
berjamaah. Untuk yang perorangan mungkin mudah dalam hal penanganannya,
namun untuk korupsi yang berjamaah dalam suatu sistem tentunya tidak mudah
dan dalam hal ini tentunya tidak adil apabila hanya pada lini atas saja yang
dipangkas. Contoh kasus yang terjadi pada departemen xxx yang sekitar 6 bulan
lalu marak ditampilkan di layar televisi, saya melihat korupsi yang terjadi adalah
suatu bentuk korupsi yang tersistem dan sangat tidak sesuai apabila yang dihukum
hanya lini top manajemen, karena hal itu tidak akan mematikan korupsi yang ada.
Menurut saya ada beberapa hal yang dapat dilakukan supaya dapat
meminimalisasi terjadinya kasus korupsi, yaitu :
1. Bentuk sistem dengan blue print tugas pokok, fungsi dan aturan yang jelas
2. Bentuk suatu badan yang memiliki legalitas untuk melakukan audit
7
3. Berikan reward dan punishment yang jelas mulai dari bawah sampai lini
atas.
4. Perhatikan tingkat kesejahteraan pegawai sesuai dengan besar
tanggungjawab yang diembannya, tanpa adanya kesejahteraan yang memadai
kemungkinan terjadinya korupsi sangat besar.
Tentang penanganan terhadap pelaku korupsi, tentunya uang hasil korupsi harus
dikembalikan secara penuh dan proses hukum terus berjalan.
IV. Korupsi Akibat Iklim Politik yang Tidak Sehat
Revolusi fisik tahun 1945-1950 disusun kemudian oleh periode parlementer di
tahun-tahun 1950-1958. Partai-partai politik memegang peranan penting dalam
penentuan haluan Negara dan jalannya pemerintahan pada saat itu. Sayangnya
perjuangan antar partai dilakukan tidak wajar dan tidak sehat. Kehidupan politik
yang tidak sehat itu menyuburkan berkembangnya praktek-praktek penyuapan,
intimidasi, taktik kekerasan dan pemalsuan hasil pemilihan umum, agar bisa
mendudukkan wakil-wakil partainya menjadi pejabat yang bisa dijadikan sumber
kekayaan. Tujuan utama menduduki fungsi dan jabatan ialah menambah kas partai
dan kekayaan pribadi.
Situasi semakin meruncing, penuh pertentangan, dan perang konsepsi diantara
partai-partai politik, sehingga menimbulkan krisis nasional pada tahun 1957-
1965. Sebagai akibatnya, praktek-praktek korupsi menjadi semakin merajalela.
Ringkasnya, sistem multi-partai pada tahun-tahun lima puluhan sampai
tahun1965 itu memperlihatkan kelemahan total dari sistem kepartaian di
Indonesia. Efek buruk dari multi-partai ini antara lain sebagsi berikut :
1. Sistem multi-partai tidak mampu membangun kelembagaan
pemerintah yang efektif dan stabil, dan memberi banyak insentif untuk praktek-
praktek korupsi.
8
2. Partai-partai politik menjadi wahana bagi para politisi muda
dan ambisius untuk mengembangkan karier politik pribadi, memperjuangkan
kepentingan dan interest-interest pribadi, juga bertingkah laku korup
3. Partai-partai menjadi agen-agen pemecah belah bagi rakyat.
Yaitu rakyat menjadi terbelah dalam kelompok-kelompok sosial yang saling
bertentangan dan perpecahan ini mendominir sistem kepartaian. Perpecahan-
perpwcahan yang mendalam mengakibatkan instabilitas dan kelemahan politik.
4. Loyalitas partai dan kepentingan diri sendiri ada di atas
loyalitas terhadap Negara dan bangsa. Ada banyak identitas agama, etnis dan
ke daerah personal (pada pribadi pemimpin tertentu). Sebagai akibatnya
terjadilah banyak perpecahan. Serikat buruh, kelompok kaum pengusaha,
petani, kelompok religious, dan kelompok sosial lainnyamenggunakan praktek-
praktek politik sendiri-sendiri, untuk mencapai tujuan masing-masing, dalam
waktu sesingkat mungkin. Terjadilah banyak ketegangan dalam masyarakat,
juga korupsi semakin merajalela.
5. Partai-partai dijadikan alat yang efektif bagi demagog politik
untuk mengekspolitir “kebodohan rakyat demi interest-interest pribadi para
pemimpin. Mereka bertindak korup, baik korupsi politik, ekonomi financial
maupun moril atau susila.
6. Partai-paratai politik yang sangat banyak jumlahnya itu
membuka pintu Negara untuk pengaruh-pengaruh peneratif dan subversive dari
kekuatan luar. Dengan kata lain parati-partai yang menyeripih dan tidak
mempunyai konsepnasional yang tegas itu mudah disuap oleh agen-agen asing
dan dijadikan instrument oleh kekuatan-kekuatan asing.
Gagalnya demokrasi parlementer dengan system multi-partai dicoba diatasi
dengan system Demokrasi Terpimpin oleh presiden Soekarno pada tahun 1959-
1965, dengan harapan mampu menciptakan kehidupan demokrasi dan mekanisme
pemerintahan yang sehat. Akan tetapi dalam realitasnya, Demokrasi Terpimpin itu
tidak bisa menenangkan keadaan, karena presiden Soekarno mempraktekkan
system balance of power, guna mempertentangkan partai-partai yang satu
9
melawan lainnya. Sebagai akibatnya, bukannya persatuan dan pembangunan yang
dicapai, akan tetapi justru semakin meruncingnya rivalitas antar-partai, dan
semakin membesarnya aspirasi-aspirasi politik yang tidak sehat.
Kekuasaan mutlak dari presiden Soekarno pada saat itu tidak ada batasnya,
tidak ada orang yang berani mengontrol dan mengajukan kritik terhadap
keputusan-keputusan tokoh “setengah dewa” Soekarno itu. Timbul kemudian
system favoritism dengan jalan menghadiahkan jabatan kedudukan tinggi kepada
anak-anak emas yang disukai. Grant (izin-izin khusus) banyak diberikan kepada
orang-orang dalam dari ingroup, kepada kawan-kawan politik dan teman-teman
pribadi, guna menduduki jabatan-jabatan vital, tanpa mengikutsertakan kualitas
intelektual, keterampilan/skill teknis dan martabat kepribadiannya. Semua ini
diberikan dengan maksud mendapatkan dukungan yang kuat sekaligus bisa
dijadikan sumber-sumber keuangan khusus.
Praktek-praktek pengangkatan pegawai di pusat pemerintahan yang tidak
wajar, memunculkan system nepotisme yaitu pemerintahan keluarga dengan jalan
menempat keluarga dan kawan sendiri sebagai pejabat-pejabat. Pengangkatan
sedemikian ini kemudian ditiru oleh daerah-daerah. Timbullah system keluarag
“kanca dewe” (teman sendiri). Dan sampai pada periode “neo-feodalisme” pada
saat itu. Jabatan-jabatan diduduki oleh kawan separtai dan keluarga sendiri yang
pada umumnya kurang mempunyai kemampuan teknis dalam bidangnya. Tujuan
penempatan ini adalah agar oknum-oknum tersebut bisa menjadi “bendaharawan
partai”. Dengan sendirinya, praktek sedemikian itu mengakibatkan administrasi
Negara menjadi kacau, karena dikendalikan oleh tangan-tangan yang bertanggung
jawab, dan tidak mempunyai keterampilan teknis.
Akibat dari kehidupan politik multi-partai yang tidak sehat sampai tahun 1958
itu masih dirasakan pada waktu sekarang. Antara lain berupa administrasi Negara
yang masih kusut dan birokrasi yang terlalu ketat kaku. Kabinet berganti-ganti
tanpa kesinambungan/kebijaksanaan dan kurang adanya koordinasi antar
departemental. Disiplin masih tampak menurun. Banyak orang bekerja tanpa
gairah, tanpa dedikasi (pengabdian) kepada bangsa dan Negara. Bahkan lebih
10
mengutamakan kepentingan golongan kecil dan ingroup, atau mendahulukan dan
interest-interest pribadi. Mental mereka cenderung menjadi korup.
V. Infiltrasi Businnes ke Dalam Pemerintahan
Korupsi itu berkembang pararel dengan pesatnya kemajuan-kemajuan di
bidang ekonomi, usaha, dan perdagangan. Tambahan lagi, kebutuhan-kebutuhan
yang menanjak di sektor transport, pertanian dan irigasi, pendidikan dan
kesejahteraan rakyat, pembangunan perumahan, industri-industri berat, yang
semuanya memerlukan budget milyar dan dolar, memberikan kesempatanbagi
kaum koruptor dan profiteur untuk ikut menangguk keuntungan dalam kesibukan
pembangunan tersebut (vide peristiwa Haji Taher di Pertamina, 1980)
Kontrak-kontrak berhadiah dengan komisi-komisi tinggi, akan tetapi dengan
prestasi kerja minim merupakan bentuk penipuan terselimut, berlangsung dimana-
mana. Hal ini merugikan negara dan rakyat banyak, namun menguntungkan sekali
oknum-oknum dan golongan-golongan penguasa tertentu. Izin pemberian kontrak
dan lisensi-lisensi dengan bermacam-macam fasilitas dan pembebasan, banyak
sekali diperdagangkan. Monopoli-monopoli dan previlege-previlege diberikan
oleh pejabat-pejabat atau penguasa kepada para kontraktor, dengan imbalan
bayaran uang dalam jumlah besar. Semua itu adalah penghasilan tambahan illegal
yang dilegalkan.
Konsentrasi jumlah uang yang sangat besar di tangan beberapa orang atau
sindikat perdagangan sering dipergunakan untuk menggoyahkan iman para
pejabat/fungsionaris melalui praktek penyuapan. Bahkan tidak sedikit pejabat,
penegak hukum dan oknum angkatan bersenjata bisa dibeli dengan rupiah atau
dolar. Sebagai contoh terdapat pengadministrasian secara hukum praktek-praktek
prostitusi dan perjudian (casino, lotto, jackpot dan black pot sekitar tahun 1970,
shatan paykiu, dji-it dan koprok macao) di kota-kota besar. Juga terdapat
perdagangan minuman keras dalam bentuk industri kecil setengah legal.
Semuanya menjadi sumber yang bisa dieksploitir oleh golongan-golongan
tertentu, misalnya oleh oknum polisi, oknum angkatan bersenjata dan pejabat-
11
pejabat lokal. Bahkan, di samping pembayaran pajak-pajak biasa, banyak pula
merajalela pajak serta iuran-iuran liar di luar ketentuan resmi. Juga banyak
intimidasi dan pemerasan dilakukan oleh orang-orang dalam, gerombolan-
gerombolan pemuda liar dan penjahat-penjahat. Pemerasan untuk ini dilakukan,
baik terhadap rakyat biasa, maupun terhadap para penguasa dan pedagang-
pedagang.
Sangat menarik ialah upacara gubernur Jawa barat Solichin G.P dalam
pembukaan rapat IWAPI dan IKAHI Jawa Barat, yang mengemukakan banyaknya
penyelewengan besar, dan kemudian diselesaikan di luar hokum, sehingga
undang-undang negara atau kekuatan hukum tidak punya arti lagi. Juga bekas
ketua Mahkamah Agung, Profesor Subekti S.H. menyatakan adanya perkara-
perkara korupsi secara besar-besaran yang diselesaikan di luar pengadilan (berita
Kompas, 10 Maret 1970). Antara lain menyangkut masalah korupsi COOPA. Hal
ini merefleksikan permainan “licin” yang dilakukan oleh pejabat-pejabat, penegak
hukum dan penguasa setempat. Dengan demikian, rule of law ditundukkan oleh
rule of trade (aturan hokum ditundukkan oleh aturan dagang).
Tindakan-tindakan penyelewengan di bidang politik dan ekonomi itu jelas
menurunkan derajat moralitas politik dan moralitas bisnis. Kedua-duanya sama
buruknya. Menurunnya kedua moralitas itu menambah berkembangnya praktek-
praktek korupsi. Maka berlangsunglah rangkaian interrelasi dia antara kekuatan-
kekuatan politik-ekonomi-moralitas-korupsi dalam wujud lingkaran setan atau
vicious circle yang sulit dipecahkan.
Di samping itu, ada usaha-usaha untuk mengendalikan dan mengontrol
perdagangan secara intensif oleh pemerintah dan pejabat-pejabat formal, sehingga
ikhtiar ini menumbuhkan etatisme (ikut campurnya pihak Pemerintah secara
berlebih-lebihan). Peristiwa inilah justru menyuburkan praktek-praktek
penyelundupan, penyuapan dan korupsi, yang didalangi oleh kaum koruptor,
yaitu: pejabat-pejabat dan para penegak hukum yang korup. Jelas relasi “akrab”
antara sector bisnis dan pemerintah akrab namun sifatnya deviatif/ menyimpang
12
dalam periode modernisasi dan pembangunan dewasa ini, membuka banyak
kesempatan bagi kaum koruptor untuk menangguk keuntungan pribadi.
Penanaman modal asing dan hadirnya pengusaha-pengusaha asing di tanah air
juga ikut merangsang berkembangnya korupsi. Kekuasaan memberikan perizinan,
fasilitas usaha dan monopoli ekonomi tertentu. Di samping itu juga membuka
kesempatan bagi pejabat-pejabat eksekutif dan tokoh-tokoh politik kunci untuk
berbuat korup, dengan dalih berhak mendapatkan imbalan jasa dalam bentuk
jutaan rupiah atau milyaran dolar. Maka, para penanam modal dan pengusaha
asing itu harus pandai-pandai mengikat pertalian/ aliansi dengan para policy
makers dan decision makers, baik yang lokal maupun yang ada di Pusat. Lalu
terbinalah dwialisasi di antara bidang politik eksekutif dengan.
VI. Dampak Korupsi
Korupsi memiliki beberapa dampak yang sangat membahayakan kondisi
perekonomian sebuah bangsa. Dampak-dampak tersebut antara lain :
1. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan
investasi. Baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta
business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen. Maksudnya, 1
dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan
ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa.
Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang
dari 5 persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan
Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya
setiap tahun juga akibat korupsi.
Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro
(2002). Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan
bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan
mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et
al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per
13
kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan
kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.
Tidak hanya itu. Gupta et al (1998) pun menemukan fakta bahwa
penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi
yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa
korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi
dan pertumbuhan ekonomi.
2. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam
menjalankan program pembangunan.
Akibatnya, kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami
penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang 'pungli' terhadap rakyat.
Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan
pemerintahan pasti berbiaya mahal. Sebaliknya, pada institusi pemerintahan
yang memiliki angka korupsi rendah, maka layanan publik cenderung lebih
baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan
Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan
memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka
putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.
3. Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat
upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi
justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa
peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar
5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin
akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran
dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin
kepada kelompok kaya akibat korupsi.
4. Korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak. Baik
individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan
14
ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi
juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap
sesama.
Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama
akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat
yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap
institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman
(insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai
libaasul khauf (pakaian ketakutan).
Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa
negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan
dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.
VII. Saran-saran Penanggulangan Korupsi
Dalam memberantas korupsi, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan
masyarakat. Partisipasi sangat diperlukan karena korupsi sudah berurat dan
berakar di dalam sendi-sendi masyarakat kita. Segala usaha, undang-undang dan
komisi-komisi akan terhambat jika tanpa adanya partisipasi dan dukungan dari
masyarakat. Adapun beberapa saran yang dikemukakan untuk memberantas
budaya korupsi, antara lain dengan cara :
1. Rakyat harus memiliki kesadaran untuk ikut memikul tanggung jawab
dalam berpartisipasi politik maupun dengan kontrol sosial dan tidak bersikap
apatis acuh tak acuh. Kontrol sosial baru bisa efektif apabila bisa dilaksanakan
oleh dewan-dewan perwakilan yang benar-benar representatif dan otonom,
pada taraf desa sampai taraf pusat/nasional.
2. Mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada
bangsa dan negara, melalui sistam pendidikan formal, non formal dan
pendidikan agama.
15
3. Para pemimpin dan pejabat harus bisa memberikan teladan yang baik
dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab
susila.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan
menghukum tindak korupsi. Tanpa adanya kekuatan riil dan berani bertindak
tegas, maka semua undang-undang dan komisi-komisi akan menjadi mubazir
dan tidak ada artinya.
5. Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik dengan melakukan
reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui
penyerdehanaan jumlah departemen disertai sistem kontrol yang teratur
terhadap administrasi pemerintah pusat maupun daerah.
6. Dalam penerimaan pegawai harus didasari dengan prinsip achievement
atau keterampilan teknis, dan bukan berdasarkan ascription, sehingga
memberikan keleluasan bagi berkembangnya nepotisme.
7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non politik, demi
kelancaran administrasi pemerintah dengan ditunjang oleh gaji yang memadai
bagi para pegawai serta ada jaminan di hari tua.
8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur. Kompleksitas hierarki
administrasi harus disertai disipilin kerja yang tinggi. Sedangkan jabatan dan
kekuasaan didistribusikan melalui norma-norma teknis.
9. Menyelenggrakan sistem pemungutan pajak dan bea cukai yang efektif
dan ada supervisi yang ketat , baik di pusat maupun daerah.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang
menyolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya
tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi, disita oleh negara.
Tindakan korup itu merupakan tindak pidana yang sangat merugikan bangsa
dan negara dan menjadi hambatan utama bagi pembangunan. Walaupun demikian,
korupsi juga memiliki fungsi positif yaitu :
1. Mencegah meluasnya ketidakpuasan karena adanya distribusi kekuasaan
dan kekayaan yang tidak merata.
16
2. Sekaligus juga menjadi pengaman bagi munculnya revolusi sosial,
khususnya mencegah keresahan dan revolusi urban.
BAB III
KESIMPULAN
a. Simpulan
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan jabatan dan adminstrasi, ekonomi
atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri atau orang lain untuk
memperoleh keuntungan pribadi sehingga menimbulkan kerugian masyarakat
umum atau pribadi lainnya. Intervensi yang dilakukan untuk memberantas korupsi
dilakukan oleh semua kalangan dalam masyarakat untuk mendukung
pemberantasan korupsi yang berkembang di Negara kita.
b. Saran
Dalam memberantas korupsi, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan
masyarakat. Partisipasi sangat diperlukan karena korupsi sudah berurat dan
berakar di dalam sendi-sendi masyarakat. Dukungan dari semua lapisan
masyarakat sangat membantu mengatasi bahkan membantu memberantas tindakan
korupsi.
17
BAB IV
DAFTAR ISI
Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial Jilid I Edisi Baru. Jakarta: Rajawali.
http://www.transparansi.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=48&Itemid=16
http://zainuddin-dikmenjur.tripod.com/Pendapat_Ttg_Kasus_Korupsi.htm l
http://www.transparansi.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=48&Itemid=16
http://www.blogtopsites.com/outpost/e27c6f691ee0e7e0f2172e66849d4fb1
18