makalah literasi sains final
TRANSCRIPT
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Literasi Sains untuk Semua1
Oleh Dian R. Basuki
Seberapa jauh sains dan teknologi memasuki hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini
sampai kepada kita sekurang-kurangnya melalui dua cara: informasi yang dibawa oleh media dan
pengalaman langsung berinteraksi dengan fenomena di sekitar kita. Setiap hari kita dibombardir
oleh informasi yang dicetak di suratkabar dan majalah, serta disiarkan melalui televisi, mengenai
pemanasan global, rekayasa genetika pada benih, wabah meningitis yang disebabkan oleh
penggunaan obat tercemar, dan seterusnya. Kita juga merasakan sendiri ketidaknyamanan akibat
polusi asap kendaraan bermotor, banjir karena air hujan tak terserap oleh tanah yang tertutup
jalan beton, pendengaran yang makin terganggu karena terlampau sering menggunakan telepon
seluler.
Nyaris setiap hal yang dapat kita sentuh, lihat, rasa, ataupun dengar memiliki koneksi
dengan sains (natural sciences) dan teknologi dalam satu dan lain cara. Sains-teknologi adalah
bagian dari kehidupan manusia, tidak peduli apakah manusia itu tidak suka atau tergila-gila,
mengerti atau tidak paham bagaimana keduanya berfungsi, peduli atau tak acuh terhadap
bagaimana ilmuwan dan insinyur bekerja. Setiap orang juga mengetahui betapa Internet memberi
kemudahan akses kepada informasi yang luar biasa membanjir dari segala penjuru Bumi.
Di balik ketakjuban terhadap keajaiban itu, kita dihadapkan pada konsekuensi dari
informasi yang tidak akurat atau menyesatkan perihal isu-isu sains-teknologi. Begitu banyak
berita dan klaim yang dibuat atas nama sains-teknologi yang di baliknya berdiri kekuatan politik,
ekonomi, bisnis, maupun kekuasaan. Bagaimana kita menyikapi semua itu, kebaikan dan
kejahatan yang mungkin tersembunyi di dalam sains-teknologi, bila kita tidak memiliki
pengetahuan sedikit pun mengenai mengapa banjir mengepung rumah kita, mengapa pergantian
musim semakin tidak teratur, mengapa orang ada yang setuju dan ada yang menentang
pembangkit listrik tenaga nuklir, dan seterusnya.
1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Membangun Literasi Sains, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, 30 Oktober 2012.
1
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Ketidakterelakan kita dari merasakan interaksi dengan fenomena alam yang berusaha
dipahami oleh manusia melalui pengetahuannya (natural sciences) maupun fenomena buatan
manusia yang direkayasa secara teknologis merupakan alasan awal mengapa kita perlu berbicara
tentang literasi sains-teknologi. Di era sekarang, literasi sains-teknologi semestinya bukan lagi
kemewahan bagi setiap bangsa. Persoalannya, bagaimana mengubah yang normatif ini menjadi
faktual.
Pengertian literasi sains
Akar-akar historis dari apa yang disebut sebagai scientific literacy (literasi sains,
keberaksaraan sains, melek sains), menurut Hurd (1997), dapat ditelusuri hingga ke masa
pengenalan sains modern ke dalam peradaban Barat pada tahun 1500an. Namun, sebagai sebuah
isu tersendiri, literasi sains memperoleh perhatian luas setelah Hurd menggunakan untuk pertama
kali istilah scientific literacy dalam tulisannya, Science Literacy: Its meaning for American
Schools, yang terbit pada 1958. Ia mengaitkan tujuan pendidikan sains dengan literasi sains
(Hodson, 2008).
Hurd menguraikan tujuh dimensi yang harus dimiliki oleh seseorang untuk disebut literat
secara keilmuan (scientifically-literate person). Tujuh dimensi itu mencakup: (1) mengerti watak
pengetahuan ilmiah; (2) menerapkan konsep, prinsip, hukum, dan teori sains yang tepat dalam
berinteraksi dengan semestanya; (3) menggunakan proses sains dalam memecahkan persoalan,
membuat keputusan, maupun melanjutkan pemahamannya mengenai semesta; (4) berinteraksi
dengan nilai-nilai yang mendasari sains; (5) memahami dan mengapresiasi perpaduan sains dan
teknologi serta keterhubungannya satu sama lain maupun dengan aspek-aspek lain masyarakat;
(6) memperluas pendidikan sains di sepanjang hidupnya; (7) mengembangkan sejumlah
keterampilan manipulatif terkait dengan sains dan teknologi.
Istilah literasi sains kemudian diadopsi oleh penulis-penulis berikutnya dengan
pengertian yang mereka kembangkan. Pella et al. (1966), umpamanya, mengusulkan definisi
literasi sains sebagai pemahaman atas konsep-konsep dasar sains, watak sains, etika yang
mengendalikan para ilmuwan dalam bekerja, kesalinghubungan antara sains dan masyarakat,
kesalinghubungan antara sains dan kemanusiaan, serta perbedaan di antara sains dan teknologi.
2
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Sembari menekankan pentingnya tiga unsur pertama dalam definisi ini, Pella tidak memasukkan
unsur keterampilan manipulatif sebagaimana dirumuskan oleh Hurd.
Kira-kira seperempat abad kemudian, proyek Science for All Americans (AAAS 1989)
mendefinisikan seseorang yang literat secara keilmuan (scientifically literate person) sebagai
‘orang yang menyadari bahwa sains, matematika, dan teknologi berkaitan dengan manusia secara
interdependen beserta kekuatan dan keterbatasannya; memahami konsep-konsep kunci dan
prinsip-prinsip sains; akrab dengan dunia alam dan mengakui keragaman dan kesatuannya; serta
menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah untuk tujuan-tujuan individu maupun
sosial.’
Butir terakhir ini merupakan unsur yang sangat penting yang ditambahkan oleh proyek
ini terhadap rumusan sebelumnya. Kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara
berpikir ilmiah akan sangat bermanfaat ketika individu dihadapkan pada persoalan sehari-hari
maupun dalam konteks memberi kontribusi terhadap pengambilan keputusan mengenai
kebijakan publik.
Definisi lain yang disumbangkan oleh Organization for Economic Co-Operation and
Development (OECD) menyerap semangat serupa. Disebutkan bahwa scientific literacy adalah
‘kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, untuk mengidentifikasi persoalan dan
menarik kesimpulan berbasis-bukti dalam rangka memahami dan membantu membuat keputusan
mengenai dunia alam (natural world) dan perubahan-perubahan yang dibuat terhadap dunia
tersebut melalui kegiatan manusia’. Definisi inilah yang digunakan oleh OECD dalam
pengembangan Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah program yang
ditujukan untuk menilai tingkat literasi siswa sekolah menengah di negara-negara yang
tergabung dalam OECD maupun bukan. Setiap tiga tahun sekali, sejak tahun 2000 OECD
menerbitkan laporan mengenai tingkat literasi tersebut.
Secara umum dapat dipahami bahwa literasi sains berarti pemahaman yang luas
mengenai konsep-konsep dasar. Kita tidak perlu mampu mensintensiskan obat baru untuk
mengapresiasi pentingnya kemajuan medis, atau mampu menghitung orbit stasiun angkasa luar
untuk memahami perannya dalam eksplorasi angkasa luar. Warga yang literat secara keilmuan
memiliki fakta dan kosakata yang memadai untuk memahami konteks informasi yang diterima
3
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
sehari-hari. Apabila kita dapat memahami isu-isu ilmiah yang dipublikasikan di majalah dan
suratkabar, jika Anda bisa membaca artikel rekayasa genetik atau lubang ozon sama mudahnya
dengan kita membaca sepakbola, politik, atau seni, itu berarti kita literat secara keilmuan. Miller
(2007) menggunakan pengertian ini ketika melakukan survei terhadap orang dewasa Amerika
Serikat mengenai pemahaman mereka terhadap isu-isu sains. Tolok ukurnya ialah kemampuan
responden dalam memahami artikel dan berita sains yang diterbitkan di harian New York Times.
Seseorang yang literat secara keilmuan, menurut US National Science Education
Standards, dapat mengajukan pertanyaan, menemukan, atau menentukan jawaban atas
pertanyaan yang berasal dari keingintahuan mengenai pengalaman sehari-hari. Artinya, orang
tersebut memiliki kemampuan untuk menguraikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena
alam. Ia mampu membaca dengan pemahaman artikel mengenai sains di media populer dan
terlibat dalam percakapan sosial mengenai isu sains. Ia mampu mengevaluasi kualitas informasi
ilmiah berdasarkan sumbernya dan metoda yang digunakan untuk menghasilkan informasi
tersebut. Literasi sains berimplikasi bahwa seseorang mampu mengidentifikasi isu-isu sains yang
mendasari keputusan nasional dan lokal serta mengungkapkan posisinya berdasarkan informasi
ilmiah.
Pentingkah Literasi Sains?
Begitu pentingkah literasi sains sehingga OECD merasa perlu mengadakan survei secara
teratur? Terbitnya buku Unscientific America: How Scientific Illiteracy Threatens Our Future
karya Sheril Kirshenbaum dan Chris Mooney (2011) barangkali dapat menyediakan ilustrasi
mengenai kecemasan mereka terhadap tingkat literasi sains bangsa Amerika. Ketertinggalan
warga Amerika dalam literasi sains dibandingkan sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan
Singapura, dalam pandangan Kirshenbaum dan Mooney, menjadi ancaman bagi masa depan
Amerika.
Dalam risetnya yang dipublikasikan pada 2007, Miller menyebutkan bahwa hanya sekitar
28 persen warga dewasa Amerika Serikat dapat dikualifikasikan sebagai scientifically literate.
Angka ini merupakan peningkatan dari semula sekitar 10 persen pada awal 1990an. Miller,
Direktur International Center for the Advancement of Scientific Literacy, mendefinisikan ‘civic
4
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
scientific literacy’ sebagai (1) pemahaman mengenai konsep-konsep keilmuan dasar; (2)
pemahaman mengenai watak pencarian ilmu; dan (3) pola konsumsi informasi reguler, seperti
membaca dan memahami buku-buku sains populer.
Hasil tes PISA 2009, yang menilai pengetahuan siswa dari 65 negara, menunjukkan
bahwa AS menempati peringkat ke-23 di antara seluruh negara dan berada di peringkat 17 di
antara 34 negara anggota OECD. Skor yang dicapai AS adalah 502, sedangkan skor rata-rata
internasional adalah 500. Baik Miller maupun Kirshenbaum dan Mooney mengkhawatirkan
tingkat literasi sains warganya yang lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Tatkala
kehidupan sekarang dan masa depan semakin bergantung pada penguasaan sains dan teknologi,
literasi sains yang rendah merupakan penghambat serius bagi AS untuk mempertahankan
supremasinya. Di saat yang sama, Cina tengah berusaha mendongkrak jumlah penduduknya
yang melek sains untuk mengimbangi peningkatan jumlah doktor di negara tersebut.
Pandangan yang lebih jelas mengenai pentingnya literasi sains dapat dibaca dari sikap
Royal Society (1985) yang menyatakan bahwa “memperbaiki pemahaman publik mengenai sains
merupakan investasi untuk masa depan; bukan kemewahan yang sekedar memperturutkan kata
hati”. Argumen yang disampaikan Royal Society ialah bahwa scientific literacy “dapat menjadi
unsur utama dalam mempromosikan kemakmuran nasional, dalam meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan publik dan privat, serta dalam memperkaya kehidupan individual”.
Mengingat pandangan tersebut, hasil survei untuk mengukur pengetahuan dan sikap
ilmiah di kalangan orang awam yang diadakan di Inggris pada 1988 mengejutkan banyak pihak.
Di samping mengangkat isu-isu yang terkait dengan proses-proses ilmiah, survei ini juga
memuat pertanyaan seperti “Manakah yang benar, ‘Matahari mengelilingi Bumi’ atau ‘Bumi
mengelilingi Matahari’?” Dari survei yang dipublikasikan di majalah Nature diketahui bahwa
meski kebanyakan warga Inggris mengatakan sangat berminat terhadap sains, ternyata lebih dari
30% responden masih meyakini bahwa Matahari mengelilingi Bumi.
Data itu mengonfirmasi dugaan para ilmuwan Inggris waktu itu bahwa kebanyakan orang
memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai sains. Situasi ini menggambarkan apa yang
mereka sebut ‘defisit pengetahuan’ untuk menggambarkan menurunnya tingkat pengetahuan
warga mengenai sains. Kesenjangan yang tajam antara pengetahuan yang dimiliki ilmuwan dan
5
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
yang dipunyai publik menjadi isu yang menarik perhatian pengambil kebijakan publik.
Sebagaimana di AS, pemahaman publik Inggris mengenai sains menjadi isu kritis di negeri
tersebut.
Mengapa demikian? Terdapat keyakinan, seperti disebutkan dalam laporan Royal Society
tentang The Public Understanding of Science (1985), bahwa pemahaman publik mengenai sains
memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan bangsa. Ekonomi yang kuat hampir sepenuhnya
bergantung kepada industri yang berbasis sains dan teknologi. Bisnis berskala kecil juga tidak
lagi dapat mengabaikan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, perkembangan sains
dan teknologi—serta unsur lain yang terkait, seperti etika dan nilai-nilai sosial—semestinya
menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Seberapa bagus kebijakan
publik ini dibuat, itu bergantung kepada seberapa bagus pemahaman pembuat kebijakan publik
dan warga mengenai sains dan teknologi.
Banyak pendapat diajukan mengenai mengapa literasi sains dan teknologi itu penting
(Herinksen dan Froyland, 2000), namun secara umum argumen-argumennya dapat diringkaskan
sebagai berikut:
Pertama, argumen praktis. Orang membutuhkan pemahaman tentang sains dan (terlebih
lagi) teknologi untuk menangani kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang
didominasi oleh sains dan teknologi;
Kedua, argumen demokratis. Orang memerlukan pemahaman tentang sains untuk dapat
berpartisipasi dalam berbagai isu yang terkait sains-kompleks yang dihadapi oleh
warga demokrasi modern;
Ketiga, argumen kultural. Sains adalah bagian dari warisan kultural kita dan sangat
memengaruhi pandangan kita tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya;
Keempat, argumen ekonomi. Tenaga kerja yang literat secara keilmuan (scientifically
literate) merupakan kebutuhan untuk mengembangkan ekonomi di kebanyakan
negara, tak terkecuali untuk bisnis berskala kecil dan menengah. Belum pernah
pembangunan ekonomi suatu bangsa demikian bergantung kepada kemajuan dalam
sains dan teknologi yang menciptakan permintaan akan tenaga kerja teknis dan
populasi yang melek sains (Liu, 2009).
6
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Bagaimana Indonesia meletakkan isu literasi sains-teknologi di dalam kerangka besar
pembangunan manusianya? Untuk menjawab pertanyaan ini, lebih baik kita mengetahui terlebih
dahulu di mana posisi Indonesia di antara bangsa-bangsa lain dalam hal literasi sains.
Posisi Indonesia
Dari argumen-argumen mengenai pentingnya literasi sains-teknologi tadi, terlihat bahwa
dibutuhkan populasi yang cukup besar, yang mencakup warga secara luas, untuk mendorong
kemampuan bersaing suatu bangsa. Karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana tingkat
literasi sains-teknologi warga dewasa Indonesia. Namun, sejauh ini, pengukuran literasi yang
sudah dilakukan secara teratur baru pada tingkat siswa sekolah menengah, yakni oleh OECD
melalui proyek PISA.
Pengukuran ini mencakup tiga jenis literasi, yakni membaca, matematika, dan sains.
Kerangka literasi sains PISA 2006 terdiri atas empat aspek yang saling berkaitan, yakni konteks,
kompetensi, ranah pengetahuan, dan sikap (lihat bagan, Ekohariadi, 2009). Bagan ini
menggambarkan perihal bagaimana situasi kehidupan yang memerlukan sains dan teknologi
menuntut orang agar menguasai sejumlah kompetensi, dan penguasaan kompetensi ini
dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orang tersebut.
Gambar 1. Bagan literasi sains versi PISA
7
Konteks
Situasi kehidupan yang memerlukan sains dan teknologi
Kompetensi
Mengidentifikasi masalah sains
Menjelaskan fenomena secara ilmiah
Memanfaatkan data sains
Pengetahuan
Apa yang mereka ketahui:Alam dan teknologi
(knowledge of science)Sains (knowledge about
science)
Sikap
Bagaimana mereka merespons sains: MinatDukungan terhadap
penyelidikan ilmiahTanggung jawab terhadap
lingkungan
Menuntut orang agar mampu Dipengaruhi
oleh
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Dalam hal tingkat literasi, bagaimana posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-
negara lain? Tabel berikut dapat memberikan gambaran mengenai tingkat literasi rata-rata siswa
sekolah menengah Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain berdasarkan empat hasil
survei PISA yang dipublikasikan dalam rentang tahun 2000-2009. Dalam ketiga bidang yang
diukur, yakni membaca, matematika, dan sains, Indonesia selalu menempati posisi jauh di bawah
skor rata-rata internasional (500).
Tabel 1. Posisi Indonesia berdasarkan studi PISA
Tahun StudiMata
Pelajaran
Skor rata-rata
Indonesia
Skor rata-rata internasional
Peringkat Indonesia
Jumlah negara
peserta studi
2000Membaca 371 500 39
41Matematika 367 500 39Sains 393 500 38
2003Membaca 382 500 39
40Matematika 360 500 38Sains 395 500 38
2006Membaca 393 500 48 56
Matematika 391 500 5057
Sains 393 500 50
2009
Membaca 402 500 57
65Matematika 371 500 61
Sains 383 500 57
Sumber: Tim PISA Indonesia, Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang Kemdiknas
Posisi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan banyak negara Asia. Korea Selatan,
terutama, menempati posisi teratas dalam beberapa kesempatan survei PISA. Negeri Ginseng ini
berebut tempat teratas bersama Finlandia, dan kemudian dengan Shanghai-Cina dan Singapura,
serta meninggalkan negara-negara Barat lain yang selama ini dianggap maju, seperti Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, ataupun Prancis (PISA Report, OECD).
Apa masalah kita?
Dalam ayat 6 PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional disebutkan bahwa
lingkup sains dalam kurikulum ialah mengenali, merespons, dan mengapresiasi sains dan
8
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
teknologi, serta mengembangkan kebiasaan ilmiah dalam berpikir seperti berpikir kritis dan
kreatif, independen, dan bersikap positif. Pendidikan sains diharapkan menjadi sarana bagi siswa
untuk mempelajari diri mereka sendiri dan lingkungan mereka, serta menerapkan pengetahuan
untuk memecahkah persoalan kehidupan sehari-hari. Proses-proses belajar harus difokuskan
pada menyampaikan pengalaman nyata melalui proses pencarian ilmiah.
Rendahnya tingkat literasi baca, sains, dan matematika siswa Indonesia itu
memperlihatkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam kurikulum tersebut belum terpenuhi.
Permanasari (2011) menyebutkan, terdapat kesenjangan antara apa tercantum di dalam
kurikulum sains dengan praktik pembelajaran sains di sekolah. Mengutip kajian yang dilakukan
oleh pusat kurikulum pada tahun 2010, Permanasari menyatakan bahwa terdapat sejumlah
kelemahan, baik dalam standar kandungan maupun dalam proses pembelajaran sains.
Kekakuan silabus dan kelangkaan panduan kurikulum, menurut Yulaelawati (2000),
menimbulkan keterbatasan terhadap kreativitas guru dan merintangi spontanitas dalam
pengajaran sains. Silabus mencakup tujuan, uraian mengenai topik dan sub-topik, alokasi waktu,
metoda, sumberdaya dan metoda penilaian atau evaluasi. Terlampau rincinya silabus dianggap
membatasi fleksibilitas bagi guru-guru yang kreatif untuk mengembangkan aktivitas pengajaran
sains yang seiring dengan situasi kehidupan nyata. Di sisi lain, panduan kurikulum tidak
menyediakan cukup material untuk membantu guru mengembangkan riset ilmiah.
Sebagaimana dikatakan oleh Permanasari, Yulaelawati juga menyebutkan bahwa kualitas
pengajaran dan pembelajaran sains terhambat oleh kurikulum dan beban penilaian yang sangat
banyak. Ini menyebabkan siswa tidak mendapatkan pemahaman yang mendalam dan tidak
menguasai keterampilan berpikir kritis. Standar yang ada juga tidak menyertakan pembangunan
sikap dan karakter sebagai bagian literasi sains. Kemampuan guru untuk menafsirkan model-
model pembelajaran sains di ruang kelas merupakan kelemahan lain. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang telah digariskan sebagai tujuan
dengan implementasi di lapangan.
Akan tetapi patut diingat bahwa literasi sains seyogyanya tidak dibatasi dalam konteks
sekolah-siswa-guru. Berbagai survei terhadap publik secara luas, antara lain di Inggris dan AS,
maupun upaya Cina untuk mendongkrak literasi sains warganya, memperlihatkan bahwa
9
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
semakin disadari pentingnya mengembangkan masyarakat yang scientifically literate untuk
mengimbangi gerak langkah para ilmuwan di negara masing-masing. Dalam konteks ini,
Indonesia belum memperlihatkan suatu wawasan strategis untuk mengembangkan literasi
warganya. Indonesia belum menjadikan literasi sains dan matematika sebagai rencana strategis
jangka panjang. Cina, di dalam ikhtiarnya mengejar ketertinggalan dalam sains, matematika, dan
teknologi, telah memasukkan literasi di bidang ini ke dalam rencana strategis jangka panjang
dengan sasaran yang jelas. Di luar ikhtiar yang tampak jamak, seperti mendongkrak jumlah
ilmuwan di banyak bidang, Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan literasi
sains sebagai program negara. Cina telah memulainya sejak 2006 dengan mencanangkan
Rencana 15 Tahun untuk meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains. Cina kini tengah
berusaha keras mendongkrak tingkat literasi sains warganya agar mampu mengimbangi
pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.
Setidaknya terdapat dua tujuan utama yang hendak dicapai dengan program tersebut.
Pertama, mendongkrak kekuatan Cina dalam sains maupun peran yang dimainkan sains dalam
pembangunan di negara tersebut. Kedua, memberikan pada warga Cina ketrampilan yang
diperlukan untuk menerapkan pemahaman mengenai sains dan teknologi dalam kehidupan
sehari-hari.
Korea Selatan merupakan contoh sebuah negara yang mengetahui harus berbuat apa dan
memutuskan untuk melangkah ke arah mana. Dalam konteks berkembangnya kehidupan
manusia dari personal ke global, Korea mengembangkan visi baru mengenai literasi sains yang
diperlukan untuk mengarungi abad ke-21. Mereka melakukan rekonseptualisasi dengan
mengembangkan kerangka kerja untuk literasi sains yang mencakup lima dimensi, yakni content
knowledge, habits of mind, character and values, science as a human endeavor and
metacognition, dan self-direction (Kyunghee Choi, et al.).
Perspektif baru tersebut dibuat dengan mengembangkan dan memperbaiki masing-
masing dimensi, menekankan pemahaman yang terintegrasi mengenai gagasan besarnya dan
pentingnya karakter serta nilai-nilai, menambahkan metakognisi untuk memahami informasi
ilmiah yang kompleks, dan menekankan global citizenship. Unsur terakhir ini penting dalam
konteks kompetisi maupun kooperasi di tingkat global mengingat banyak persoalan yang
10
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
dihadapi bersama sebagai umat manusia yang tinggal di Bumi yang sama, misalnya saja isu
perubahan iklim.
Amerika Serikat sebenarnya sudah lebih dulu berusaha memperbaiki diri dengan
menjalankan program reformasi pendidikan guru sains. Secara umum, terkait pendidikan tinggi,
American Association for the Advancement of Science telah memprakarsai Project 2061:
Blueprints for Reform (Rutherford, 2001). Proyek ini dtujukan untuk mereformasi pendidikan
sains di sekolah-sekolah yang tidak bisa dicapai hanya dengan upaya-upaya kecil. Proyek 2061
menetapkan sejumlah hal, yakni (1) mendefinisikan literasi sains dengan melibatkan sejarah dan
filsafat sains; (2) mempromosikan adopsi sasaran pembelajaran yang mengalir dari konsepsi
mengenai literasi sains; dan (3) menciptakan alat-alat bagi sistem sekolah, kolese dan universitas,
penerbit dan badan pembiayaan, serta badan-badan federal dan negara bagian untuk melakukan
upaya reformasi pendidikan sains yang berfokus pada sasaran pembelajaran.
Indonesia, dihadapkan pada upaya-upaya yang dijalankan oleh berbagai negara lain,
sesungguhnya berada pada posisi kritis dalam hal literasi sains. Ketika penguasaan sains dan
teknologi menjadi faktor dominan dalam kompetisi antarbangsa, literasi baca tidaklah memadai
untuk membuat kita cukup mampu ikut berbicara. Untuk mencapai tingkat literasi sains, di mana
orang menyadari, berminat dan terlibat dalam membentuk opini mengenai isu-isu sains, kita
mesti melewati tahapan pemahaman lebih dulu tentang kontennya, prosesnya, dan faktor sosial
yang mengonstruksi sains dan teknologi. Persoalannya, Indonesia belum menjadikan literasi
sains sebagai program strategis bangsa.
Membangun Literasi Sains
Sebelum mencari jalan keluar dari situasi yang kita hadapi, perlu didengar lebih dulu apa
yang dipersepsikan dan dirasakan oleh siswa kita berkaitan dengan sains. Berikut ini beberapa
kutipannya:
“Pelajaran sains membuatku takut sebab aku harus belajar begitu banyak rumus.”
“Aku tidak mengerti apapun mengenai sains karena aku tidak pintar matematika.”
“Sains menyebabkan bencana, seperti Chernobyl dan Hiroshima, atau menyebabkan
kerusakan, seperti lubang ozon, polusi, dan penyakit.”
11
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
“Mengapa para ilmuwan tidak berkonsentrasi pada apa yang benar-benar diperlukan:
mengembangkan obat-obatan untuk memerangi penyakit, bahan-bahan untuk mengatasi polusi,
atau mengembangkan mekanisme keselamatan yang lebih bagus pada mobil untuk mengurangi
jumlah kecelakaan?”
Persepsi mengenai sains dan ilmuwan serta pengalaman berinteraksi dengan sains, seperti
yang disampaikan sebagian siswa tersebut, niscaya dapat dijumpai di banyak negara. Pendekatan
yang digunakan dalam pembelajaran sains di sekolah memberikan kontribusi penting terhadap
persepsi dan pengalaman tersebut. Dengan mengambil fokus pada pengajaran fisika, beberapa
watak yang melekat pada pendekatan tersebut patut memperoleh perhatian (Neves, 2000), di
antaranya:
1. Bersifat dogmatis, dalam pengertian semua hal yang dipelajari tentang fenomena harus
‘dimengerti’ oleh memori dan dalam konteks ‘kebenaran mutlak’;
2. Bersifat non-human, dalam pengertian bahwa dogma ilmiah dilihat sebagai
independen dari eksistensi manusia;
3. Bersifat matematis, dalam pengertian fenomena tersebut hanya dijelaskan oleh bahasa
matematika yang rumit;
4. Bersifat simbolis, dalam pengertian istilah-istilah matematisnya, yang ditunjukkan
dalam sejumlah formula, tidak dipahami makna riilnya;
5. Bersifat ethereal, dalam pengertian bahwa fisika tidak mempunyai kontak langsung
dengan dunia nyata.
Kelima persoalan yang muncul dalam pengajaran fisika di kelas berpotensi men-
demotivasi siswa sehingga enggan mengeksplorasi penjelasan mereka sendiri mengenai
serangkaian fenomena yang membentuk dunia nyata. Oleh karena itu, mengajarkan lebih banyak
fakta sains kepada siswa bukanlah jawaban. Menambah jumlah aktivitas laboratorium juga
bukan jawaban. Guru-guru pendidikan sains dari lima negara yang pendidikan sainsnya terbaik
di dunia, yakni Finlandia, Singapura, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Kanada, memberi
rekomendasi terhadap pendekatan pembelajaran sains: selalu libatkan siswa dan jadikan sains
relevan dengan kehidupan mereka (Slate Magazine, 2011).
12
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Apa yang perlu ditambahkan ialah penekanan ‘pikiran yang terang’ dalam pembelajaran
sains. Pentingnya kemampuan untuk memahami dan menjelaskan dalam bahasa yang terang
makna konsep-konsep ilmiah yang fundamental merupakan hal yang sentral bagi literasi sains.
Ilmuwan-ilmuwan mashur sering menyampaikan hal ini. Erwin Schrodinger, misalnya,
mengomentari karyanya tentang fisika kuantum (Shawn M. dan Muth, 1994): “Jika Anda tidak
mampu—dalam jangka panjang—menceritakan kepada setiap orang tentang apa yang sedang
Anda kerjakan, pekerjaan Anda tersebut tidak bernilai.” Werner Heisenberg juga menulis: “Bagi
fisikawan sekalipun, uraian dalam bahasa yang jelas menjadi kriteria dari derajat pemahaman
yang telah dicapai.”
Diperlukan upaya-upaya yang lebih strategis dan mencakup wilayah yang lebih luas dari
hanya sekolah, sehingga revitalisasi kurikulum sains, penguatan kompetensi guru, maupun
perbaikan kualitas proses pembelajaran sains harus dipandang sebagai bagian dari strategi
peningkatan literasi sains secara umum yang melibatkan seluruh warga negara. Komitmen
terhadap peningkatan literasi sains warga semestinya ditunjukkan secara konkret dalam
perencanaan jangka panjang dan implementasi yang konsisten pada tingkat nasional.
Peningkatan literasi sains dan teknologi harus menjadi agenda bangsa yang menjangkau jauh ke
depan.
Dalam tataran praktis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan, baik dalam
konteks pembelajaran sains di dalam sekolah maupun di luar sekolah, yang melibatkan pula
warga masyarakat. Keterlibatan subyek dan kontekstualitas materi menjadi prinsip yang harus
dikedepankan agar siswa dan warga tidak sekedar menjadi pendengar serta tidak merasakan
relevansi sains dengan persoalan kehidupan mereka sehari-hari.
Pemikiran ini didasarkan atas sejumlah studi dan pengalaman yang dijalankan di berbagai
negara:
1. Pemanfaatan film-film science fiction sebagai media belajar yang mengasyikkan
(Noves, 2000). Sejumlah sarjana di Brazil telah menggunakan film-film semacam ini,
seperti Star Wars, A Space Odyssey, Star Trek, dan sebagainya, dalam aktivitas
pembelajaran bagi mahasiswa dan guru. Materi ini bersifat ekstra-kurikuler dan tidak
dievaluasi. Para fasilitator pembelajaran mengembangkan atmosfer informal yang
13
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
menyenangkan di ruang pertemuan. Di samping mempelajari fenomena ilmiah yang
menjadi tema film, peserta pembelajaran diharapkan dapat menemukan representasi
mental dari konsepsi-konsepsi fisika di dalamnya.
2. Sejarah sains dikembangkan sebagai sarana untuk mempelajari bagaimana sebuah
konsepsi sains tertentu mengalami pertumbuhan. Wang dan Marsh (2000)
melaporkan bahwa rekomendasi untuk menyertakan sejarah sains ke dalam bagian
dari reformasi pengajaran sains didasarkan atas alasan spesifik, yakni menyediakan
konteks bagi isu-isu tertentu. Dengan mempelajari sains sejarah, misalnya sebagai
latar belakang untuk memahami konsepsi sains tertentu, pembelajar dapat memahami
relevansi konsepsi tersebut dengan kehidupan nyata.
3. Komunikasi ilmuwan dengan masyarakatnya seyogyanya ditingkatkan melalui
berbagai kegiatan. Kompleksitas perkembangan sains dan teknologi saat ini maupun
di masa mendatang semakin memperkuat kebutuhan untuk menghubungkan
komunitas ilmiah dengan masyarakat luas. Sejumlah studi tentang pemahaman publik
mengenai sains memperlihatkan bahwa kesenjangan di antara dua kelompok tersebut
cenderung menimbulkan masalah serius pada saat kebijakan publik tertentu harus
diambil. Berkomunikasi kini dianggap sebagai fungsi strategis oleh mayoritas
organisasi yang berinteraksi di dalam sistem sosial kita (Testa, 2006), tak terkecuali
komunitas ilmiah. Bagi komunitas ilmiah, dalam pandangan Testa, komunikasi
diperlukan untuk survive, melindungi diri, memperoleh sumber daya, serta untuk
tumbuh.
Tulisan sains populer memang tidak dapat bertindak sebagai model penulisan
ilmiah. Namun, tulisan sains populer menjadikan sains lebih dapat diakses oleh
publik yang lebih luas, dan karena itu dapat memainkan peran yang bermanfaat dalam
peningkatan literasi sains. Menulis di media massa semestinya dapat menjadi cara
yang mudah bagi ilmuwan dalam mengomunikasikan pikirannya kepada publik
awam. Penggunaan bahasa yang lebih populer membuka peluang yang lebih lebar
bagi khalayak yang lebih luas untuk mengakses gagasan ilmuwan tersebut tanpa
mengurangi bobot gagasannya. Sejumlah ilmuwan dunia, seperti Albert Einstein,
14
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Stephen Hawking, Richard Dawkins, Richard Feynman, Paul Davis, bahkan menulis
buku yang diapresiasi oleh masyarakat.
Komunikasi dengan publik melalui ceramah (public lecture) dapat mendekatkan
masyarakat dengan isu-isu sains maupun dengan sosok ilmuwan. Para ilmuwan kita
jarang memberikan ceramah publik mengenai berbagai isu sains. Komunikasi
biasanya dilakukan dengan perantaraan media seperti suratkabar, majalah, dan
televisi yang memiliki keterbatasan karena sudah dimediasi.
4. Lembaga-lembaga riset, museum, maupun kampus dapat berperan serta
meningkatkan literasi sains. Kebun Raya Bogor, Observatorium Bosscha, Museum
Geologi, Lembaga Eijkman, LIPI, dan banyak lagi dapat berbagi dengan masyarakat
mengenai apa yang mereka kerjakan dan pengetahuan yang mereka miliki.
Keterbukaan lembaga-lembaga ini untuk dikunjungi oleh masyarakat dapat
mengurangi hambatan komunikasi antara ilmuwan dan publiknya (Burns, 2003). Dari
hasil eksplorasinya, Henriksen dan Frøyland () mengungkapkan potensi museum
untuk menyediakan informasi dan pengalaman bagi pengunjung yang relevan dengan
isu-isu terkait sains yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik individual
maupun sosial.
5. Keterbatasan produksi buku-buku sains populer harus segera ditanggulangi
mengingat buku merupakan sarana penyebaran pengetahuan yang relatif mudah
diakses. Namun keterbatasan ini dapat diatasi untuk sebagian melalui pemanfaatan
Internet. Hanya saja masyarakat harus bersikap lebih selektif dalam menyaring
informasi yang membanjir melalui Internet. Dalam konteks ini, hubungan antara
literasi sains dan membanjirnya informasi di Internet bersifat timbal-balik.
6. Pembentukan klab-klab sains dapat menjadi ajang pembelajaran yang mengasyikkan,
terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar dan menengah. Dengan mengerjakan
proyek sains, anggota klab memperoleh pengalaman langsung bagaimana ‘doing
science’ dan bukan hanya ‘using science’. Anggota klab dapat merasakan ‘bagaimana
menjadi ilmuwan’. Dari aktivitas ini, minat terhadap sains dapat dipupuk secara
berkelanjutan dan apresiasi terhadap ilmuwan dapat meningkat. Cara berpikir sains
15
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
dan hasrat untuk mencari dan menemukan sesuatu (scientific inquiry) dapat ditularkan
melalui kegiatan klab.
KESIMPULAN
Literasi sains tidak cukup hanya menjadi tujuan kurikulum sains di sekolah,
melainkan harus diperluas dengan melibatkan warga masyarakat dewasa.
Ikhtiar membangun literasi sains harus menjadi kepedulian bersama yang diwujudkan
dalam program strategis nasional jangka panjang.
Penggunaan cara dan sarana inovatif, yang tidak hanya bertumpu pada
pengajaran/pembelajaran di kelas, dapat mendorong peningkatan literasi sains di
masyarakat.
Para ilmuwan dan publik harus meningkatkan komunikasi di antara mereka.
KEPUSTAKAAN
1. Burns, T.W., D.J. O’Connors, dan S.M. Stocklmayer. 2003. “Science communication: a
contemporary definition”. Public Understanding of Science, 12.
2. Chancellor of the Duchy of Lancaster. 1993. Realising Our Potential: A Strategy for
Science, Engineering and Technology.
3. Cooper, Jean dan Roger Miles. 1992. Much may be made if she be caught young: How
Museums Can Best Effect Public Understanding of Science. London: The Natural History
Museum.
4. DeBoer, George E. 2000. ‘Scientific Literacy: Another Look at Its Historical and
Contemporary Meanings and Its Relationship to Sciencen Edcuation Reform’. Journal of
Research in Science Teaching Vol. 37, No. 6, pp. 582-601.
5. Dillon, Justin. 2009. “On Scientific Literacy and Curriculum Reform”. International
Journal of Environmental & Science Education, Vol. 4, No. 3, July 2009, 201-213.
6. Ekohariadi. 2009. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Literasi Sains Siswa Indonesia
Berusia 15 Tahun”. Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 10, No. 1.
7. Galili, Igal. History of Physics as a Tool for Teaching.
16
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
8. Glynn, Shawn M. dan K. Denise Muth. 1994. “Reading and Writing to Learn Science:
Achieving Scientific Literacy”. Journal of Research in Science Teaching, Vol. 31, No. 9.
9. Henriksen, Ellen K. dan Merethe Frøyland. 2000. “The contribution of museums to
scientific literacy: views from audience and museum professionals”. Public
Understandingof Science, 9.
10. Hodson, Derek. 2008. Towards Scientific Literacy. Rotterdam: Sense Publishers.
11. Hurd, Paul deHart. 1998. “Scientific Literacy: New Minds for a Changing World”. Issues
and Trends. Stanford: John Wiley & Sons, Inc.
12. Kim, Minkee, Jari Lavonen, and Masakata Ogawa. 2009. “Experts’ Opinions on the High
Achievement of Scientific Literacy in PISA 2003: A Comparative Study in Finland and
Korea”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5 (4), 379-
393.
13. Kyunghee Choi, et al. “Re-conceptualization of scientific literacy in South Korea for the
21st century”.
14. Laugksch, Rudiger C. 2000. “Scientific Literacy: A Conceptual Overview”. Science &
Education, 8.
15. Liu, Xiufeng. 2009. “Beyond Science Literacy: Science and the Public”. International
Journal of Environmental & Science Education. Vol. 4, No. 3, July.
16. Mamlok-Naaman, Rachel. 2010. “Enhancing the Scientific Literacy of Students by
Exposing Them to a Historical Approach to Science”. Contemporary Science Education
Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science. Ankara: Pegem Academi.
17. Miller, John. Februari 2007. “Scientific Literacy: How Do Americans Stack Up?”.
Science Daily.
18. Nair, Indira. 2011. “New Scientific Literacies for an Interdependent World”. Diversity
and Democracy, Vol. 14, No. 2.
19. Neves, Marcos Cesar Danhoni, et al. Jan/Jun 2000. “Science fiction in physics teaching:
improvement of science education and history of science via informal strategies of
teaching”. Revista Ciencias Exatas e Naturais, Ano 1, No. 2.
17
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
20. OECD. 2007. PISA 2006 Science Competencies for Tomorrow’s World: Volume 1 –
Analysis. Paris: OECD.
21. Permanasari, Anna. 2011. Improving Student’s Science Literacy: Between Written and
Implementation Curriculum. Presented in the 4th International Seminar on Science
Education, Science Education Program School of Post-Graduate, UPI.
22. Rutherford, F. James. 2001. “Fostering the History of Science in American Science
Education”. Science & Education, 10.
23. The Royal Society. 1985. The Public Understanding of Science. London: The Royal
Society.
24. Testa, Annamaria. 2006. “Why Engage in Science Communications?”. Communicating
Science: A Scientist’s Survival Kit. European Commission.
25. Wang, Hsingchia A., and William H. Schmidt. 2001. ‘History, Philosophy and Sociology
of Science in Science Education: Results from the Third International Mathematics and
Science Study’. Science & Education 10: 51-70, 2001.
26. Yulaelawati, Ella. 2000. “Report: Indonesia”. Education for Contemporary Society:
Problems, Issues and Dilemmas.
18
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
Literasi Sains dan Teknologi untuk UKM
1. Teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam kehidupan kita sehari-hari.
Rentangnya sangat lebar, mencakup kebutuhan manusia untuk hidup lebih sehat, lebih
produktif, untuk berbisnis, dsb.
2. Dua buah lembaga di AS, National Academy of Engineering (NAE) dan National
Research Council (NRC), mendefinisikan literasi teknologis sebagai ‘kemampuan untuk
menggunakan, mengelola, menilai, dan memahami teknologi’.
3. Seseorang yang literat secara teknologis memahami, dengan cara yang semakin
meningkat seiring perjalanan waktu, apa itu teknologi, bagaimana teknologi diciptakan,
dan bagaimana teknologi membentuk masyarakat, dan bagaimana teknologi dibentuk
oleh masyarakat. Seseorang yang literat secara teknologis akan merasa nyaman dengan
dan bersikap obyektif terhadap teknologi, tidak takut dan tidak pula tergila-gila pada
teknologi.”
4. Teknologi tidak terpisahkan dari konteks sosial dan kultural. Dimensi sosial memainkan
peran sentral dalam penciptaan pengetahuan dan perilaku. Literasi teknologis
dimaksudkan untuk menyediakan alat bagi manusia agar mampu berpartisipasi secara
cerdas dalam dunia di sekelilingnya.
5. Seperti halnya literasi sains, terdapat alasan yang kuat bagi pentingnya literasi teknologis:
Alasan praktis
Alasan kultural
Alasan demokratis
Alasan ekonomi
19
Literasi Sains/Dian/LIPI/Bandung Okt 2012
6. Karakteristik warga yang melek teknologi ditunjukkan dari unsur: pengetahuan, cara
berpikir dan bertindak, serta memiliki kapabilitas tertentu dalam penggunaan teknologi.
7. Nahapiet dan Ghoshal mendefinisikan kapital sosial sebagai “penjumlahan sumber daya
aktual dan potensial yang melekat di dalam, tersedia melalui, dan berasal dari jejaring
hubungan yang dimiliki oleh individu atau unit-unit sosial. Burt mendefinisikan kapital
sosial sebagai “aset yang melekat di dalam hubungan individu-individu, komunitas-
komunitas, jejaring-jejaring, dan masyarakat-masyarakat”.
8. Dimensi-dimensi di dalam kapital sosial meliputi:
a. Dimensi struktural, yang terletak pada jejaring itu sendiri
b. Dimensi relasional, yang menekankan ikatan yang menguatkan jejaring, dan
c. Dimensi kognitif, yang merupakan kandungan di dalam kapital sosial.
9. Membangun jejaring:
a. Peneliti dan ilmuwan, yang menghasilkan produk pengetahuan dan teknologi.
Misalnya, membuat pisang tidak lekas membusuk.
b. Jurnalis, yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan akurat.
c. Teknologi internet dan media sosial, untuk menjalin interaksi di antara pelaku bisnis
d. Bank Pengetahuan: KM untuk UKM knowledge management untuk menghimpun
pengalaman para pelaku bisnis berskala kecil.
10. Memperkuat kemampuan membangun model bisnis, yakni bagaimana memanfaatkan
segenap potensi sains dan teknologi untuk menciptakan nilai bagi pelanggan.
11. Pentingnya memadukan Literasi sains dan teknologi – Kapital sosial – Manajerial
20