makalah mpkt fungsi otak
DESCRIPTION
abcTRANSCRIPT
I. Fungsi Otak
A. Tiga Serangkai Otak
Otak manusia merupakan hasil evolusi terakhir yang paling canggih.
Berdasarkan penelitiannya, Paul D. MacLean, seorang ahli neorusains asal
Amerika, mencetuskan sebuah konsep yang disebut Tiga Serangkai Otak (The
Triune Brain/Three-layered Brain). Otak manusia telah melalui tahapan evolusi
dalam tiga periode besar yang membentuk tiga lapisan otak (MacLean: 1990).
Ketiga lapisan penyusun otak adalah R-Complex, Limbic System, dan Neo Cortex.
Masing-masing lapisan memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi
fungsi satu sama lain dalam menentukan perilaku suatu individu.
1. R-Complex
R-Complex merupakan lapisan pertama dan tertua dalam proses
evoulsi otak. R-Complex terdiri dari batang otak dan cerebellum. R-
Complex sering disebut juga sebagai otak reptile karena memiliki fungsi
yang dominan pada hewan jenis reptile.
Bagian R-Complex mengatur gerakan-gerakan involunter dari
manusia yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, beberapa
diantaranya adalah gerak jantung, peredaran darah, reproduksi, dan
bernafas. R-Complex bekerja secara autopilot atau otomatis. Otak ini
akan melaksanakan fungsinya tanpa harus diperintah atau berpikir.
Selain mengatur tentang gerakan involunter, R-Complex juga mengatur
perilaku pertahanan diri atau “Fight or Flight” behavior.
Kerusakan pada bagian R-Complex dapat berakibat fatal bagi
kelansungan hidup seseorang. Dengan ilmu medis yang ada sekarang
dapat diketahui apakah batang otak seseorang masih bekerja atau tidak.
Oleh karena itu alih-alih memeriksa apakah jantung seseorang masih
berdetak atau tidak, tenaga medis akan memeriksa fungsi batang otak
untuk menentukan apakah seseorang masih hidup atau tidak.
2. Limbic System
Lapisan otak kedua yang terbentuk dalam tahapan evolusi otak
manusia adalah sistem limbik atau otak Paleomammalia. Bagian ini
memegang peranan penting dalam mengatur emosi, motivasi, kebiasaan,
proses pembelajaran, dan pembentukan memori. Sistem limbik terdiri
dari dua struktur penting, yaitu amygdala dan hippocampus.
a. Amygdala
Amygdala pada suatu organisme memiliki fungsi untuk mengenali
situasi. Amygdala akan berusaha mengenali situasi apakah sesuatu
berbahaya atau tidak, apakah sesuatu penting atau tidak. Amygdala
akan merespon keadaan-keadaan atau situasi-situasi tertentu dengan
cara melepaskan senyawa-senyawa kimia yang disebut hormon
untuk disalurkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh akan bereaksi
terhadap keadaan yang sedang dihadapi.
Pada manusia, amygdala tidak hanya untuk mengenali situasi,
tetapi juga untuk memahami ekspresi dan emosi orang yang sedang
dihadapinya. Dengan pemahaman ini seseorang dapat memberikan
respon yang tepat terhadap emosi yang diberikan.
Kerusakan pada bagian amygdala dapat menyebabkan buta afektif
atau ketidakmampuan menangkap emosi. Hal ini disebabkan hilang
atau berkurangnya fungsi amygdala dalam mengerti emosi yang
diberikan lawan bicara seseorang sehingga menyebabkan salah
persepsi terhadap emosi tersebut. Buta afektif dapat berpengaruh
buruk dalam hubungan interpersonal seseorang.
b. Hippocampus
Hippocampus merupakan bagian yang memiliki peran khusus
dalam pembentukan ingatan jangka panjang. Hippocampus berfungsi
untuk membentuk ingatan mengenai fakta-fakta yang dialami dan
didapat suatu individu walaupun hanya mengalami sekali saja. Oleh
karena itu bagian ini memiliki peranan penting dalam proses
pembelajaran.
3. Neo Cortex
Neo Cortex atau otak Neomammalian merupakan lapisan terakhir
yang dihasilkan oleh proses evolusi otak. Neo Cortex merupakan lapisan
teratas yang menyelubungi otak. Bagian otak ini hanya dimiliki oleh
mamalia dan hanya mamalia kelas tinggi (primata dan lumba-lumba)
yang memiliki neo cortex dengan ukuran yang sangat besar. Berbeda
dengan amygdala yang bekerja dengan sistem intuitif dan primitif, neo
cortex bekerja dengan sistem analitis yang lebih canggih sehingga sering
disebut sebagai otak berpikir atau otak logika. Neo cortex pada manusia
memberikan kemampuan untuk berpikir abstrak, transendens, dan tidak
terbatas pada hal-hal yang dialami saat ini saja.
Ketiga serangkai otak tidak bekerja secara terpisah, melaikan bekerja secara
bersama-sama dan saling berkaitan satu sama lain. Tiga lapisan otak bekerja
layaknya suatu komputer biologis (MacLean: 1990). Secara konseptual, hubungan
ketiga bagian otak memiliki sistem kerja sebagai berikut: R-Complex memberikan
respon terhadap ransangan yang didapatkan dari panca indera. Respon ini
kemudian diteruskan kepada sistem limbik untuk menentukan perasaan terhadap
rangsangan tersebut. Dari respon perasaan yang muncul, neo cortex berperan
untuk menentukan tindakan apa yang diambil oleh suatu individu.
B. Dua Hemisfer Otak
Kemampuan berpikir manusia merupakan hasil kontribusi dari bagian terluar
Cerebral Cortex. Cerebral cortex milik manusia memiliki ketebalan dua kali li[at
dari mamalia lainnya sehingga memiliki fungsi yang lebih kompleks. Secara
fisiologis, otak manusia terbagi menjadi dua hemisfer yang mengendalikan tubuh
secara silang. Bagian otak kanan mengendalikan hemisfer tubuh bagian kiri dan
begitu juga sebaliknya.
Penelitian tentang kedua belahan otak ini kemudian berlanjut hingga pada
tahun 1960, seorang ahli neuropsikologi dan neurobiologi bernama Roger
Wolcott Sperry mencetuskan bahwa selain mengatur hemisfer tubuh yang
berbeda, kedua hemisfer otak juga memiliki fungsi yang berbeda. Sperry pada
kala itu sedang meneliti tentang epilepsi dan cara mengurangi efeknya pada
manusia. Beliau menemukan bahwa dengan memotong sebagian dari corpus
collosum (struktur penghubung dua hemisfer otak) efek kejang epilepsi pada
pasien dapat berkurang. Namun terdapat efek samping yang terjadi pada pasien
yang diteliti. Beberapa pasien yang diobati dengan metode ini mengalami
penurunan kemampuan berbicara dan kehilangan sebagian kemampuan dalam
mengenali objek. Dari temuannya ini lah, Sperry mencetuskan bahwa kedua
hemisfer otak memiliki fungsi yang berbeda.
1. Belahan Otak Kiri
Sistem pendidikan pada umumnya lebih menitikberatkan pada
kemampuan otak kiri, sehingga kecerdasan otak kiri seringkali dikaitkan
dengan keberhasilan seseorang. Otak kiri memiliki spesialisasi dalam
menghadapi masalah sekuensial, analitikal, bahasa lisan, operasi aritmatika,
penalaran, dan operasi rutin (Sousa: 2003). Orang-orang yang memiliki otak
kiri yang kuat cenderung berpikir secara sistematis dan taat pada aturan.
2. Belahan Otak Kanan
Belahan otak kanan memiliki sifat bebas dan terlepas dari aturan, sehingga
seringkali dikaitkan dengan kreativitas. Otak kanan bersifat heuristic, sangat
bebas, dan melompat-lompat. Otak kanan berperan dalam menghadapi
masalah holistic, abstrak, bahasa tubuh, pencerahan, dan operasi baru (Sousa:
2003). Otak kanan bertanggung jawab atas kecerdasan emosional dan ingatan
jangka panjang.
Dalam proses keratif, otak kanan berperan dalam menciptakan ide-ide baru.
Namun, karena sifatnya yang bebas dan tidak taat aturan, seingkali ide-ide
tersebut sulit direalisasikan. Dalam proses mewujudkan ide tersebut, diperlukan
otak kiri yang lebih teratur dan taat peraturan. Oleh karena itu, kreativitas dapat
dikatakan sebagai hasil kerja sama kedua belahan otak.
C. Peta Otak
Teori perbedaan fungsi kedua hemisfer otak bertahan cukup lama hingga
ditemukannya beberapa fakta terbaru mengenai fungsi otak. Studi terbaru
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan fungsi antara otak kiri dan otak kanan.
Dalam studi kemampuan berbahasa diteliti mengenai bagian otak yang aktif pada
manusia ketika menggunakan kemampuan berbahasa. Hasil yang didapat adalah
97% dari subjek aktif pada bagian otak kiri ketika menggunakan kemampuan
berbahasa. Akan tetapi 19% dari subjek yang merupakan orang kidal mengalami
keaktifan di hemisfer kanan otaknya, dan 68% dari subjek yang kidal mengalami
keaktifan di kedua belahan otaknya secara bersamaan. Hal ini membuktikan
bahwa kemampuan berbahasa tidak termonopoli di bagian otak kiri.
Fungsi otak tidak terbagi berdasarkan hemisfer otaknya, melainkan
berdasarkan sisi aktifnya. Kedua belahan otak bekerja secara bersamaan dalam
mengolah informasi dan menghasilkan ide.
Gambar 1. Peta Fungsi Otak Berdasarkan Sisi Aktif
(Sumber: http://www.dana.org/uploadedImages/Images/neuroanatomy_large.jpg)
II. Jenis Kecerdasan
Perilaku manusia diregulasi oleh otak, hal ini dapat dilihat dari hasil-hasil
penelitian yang menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara perilaku
seseorang dengan aktifitas otaknya. Dari premis tersebut, kecerdasan seseorang
menjadi sesuatu yang diperbincangkan pada awal abad kedua puluh. Adanya
pengaruh kecerdasan dengan perilaku yang menghasilkan keberhasilan seseorang
menarik perhatian banyak ilmuwan. Secara umum kecerdasan dibagi menjadi tiga
bagian yang terdiri dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual.
A. Kecerdasan Intelektual
Konsep mengenai intelegensi didasari pada teori Darwin mengenai survival of
the fittest yang berpandangan bahwa spesies yang dapat bertahan adalah spesies
yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Dari pemikiran ini para ahli
menyimpulkan bahwa manusia yang unggul adalah manusia yang dapat
beradaptasi dengan lebih baik. Oleh karena itu penelitian mengenai kemampuan
intelegensi seseorang dan metode pengukurannya mulai dilakukan.
Secara umum kecerdasan intelektual adalah kemampuan untuk menggunakan
kognisi (penalaran) guna menyelesaikan permasalahan dan beradaptasi dengan
lingkungan. Menurut King dalam bukunya The Science of Psychology,
intelegensi adalah kemampuan multiguna untuk melaksanakan perintah kognitif,
menyelesaikan masalah, dan untuk belajar dari pengalaman.
Pengukuran intelegensi pertama kali dilakukan pada masa Perang Dunia I.
Pengukuran intelegensi dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat guna
merekrut tentara-tentara terpilih untuk menjalankan misi-misi tertentu. Intelegensi
manusia diukur menggunakan suatu skala yang disebut Intelligence Quotient atau
IQ.
Pada tahun 1904, Charles Spearman, psikolog asal Inggris, mencetuskan
sebuah konsep yang disebut sebagai kecerdasan tunggal atau the G Factor.
Spearman melakukan beberapa tes mental kepada beberapa subjek untuk
mengetahui tingkat kecerdasan orang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa subjek yang memiliki perforam baik dalam suatu tes kognitif akan
memiliki performa yang baik di dalam tes yang lain. Begitu juga sebaliknya. Dari
penelitian ini, Spearman menyimpulkan bahwa manusia memiliki kecerdasan
tunggal yaitu kemampuan kognitif umum yang dapat diukur dan dinilai.
Kecerdasan tunggal ini sering kali disebut sebagai kemampuan analitikal.
Permasalahan yang muncul di masyarakat adalah mengapa seseorang yang
memiliki kemampuan analitikal tinggi masih mengalami kegagalan di dalam
kegiatan bermasyarakat. Louis L. Thurstone pada tahun 1938 mencetuskan teori
mengenai tujuh kemampuan mental dasar atau primary mental abilities.
Thurstone membagi kecerdasan intelegensi menjadi 7 kemampuan mental dasar,
yaitu kemampuan verbal, penalaran, kemampuan numeric, kelancaran berkata-
kata, mengasosiasikan memosi, visualisasi spasial, dna kecepatan perseptual.
Teori mengenai kemampuan mental dasar kemudian dikembangkan oleh
Howard Gardner, seorang ilmuwan dari Harvard, menjadi sebuah teori yang
dikenal dengan nama Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence). Gardner
dalam bukunya yang berjudul Frame of Mind membagi kecerdasan intelektual
menjadi delapan macam yang didasarkan pada kemampuan yang dihargai dalam
berbagai budaya yang ada di dunia. Gardner membagi kecerdasan intelektual
menjadi visual-spasial, verbal-linguistik, kinestetik, logika-matematika, inter
personal, musical, intra personal dan naturalistik.
Sedikit berlawanan dengan teori Gardner, Robert Sternberg berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan intelegensi adalah aktivitas mental yang bertujuan
unutk beradaptasi dengan lingkungan yang relevan dengan kehidupan seseorang.
Sternberg berpendapat bahwa beberapa macam intelgensi yang diajukan Gardner
lebih menjurus kepada bakat seseorang, bukan kecerdasan intelegensi secara
umum. Sternberg membagi kecerdasan intelektual menjadi tiga macam, yaitu
analitikal (kemampuan memecahkan masalah), praktikal (kemampuan
beradaptasi), dan kreatif (kemampuan menggunakan pengalaman dan kemampuan
untuk mengatasi hal baru). Teori ini dikenal dengan nama Triarchic Theory of
Intelligence atau Trias Intelegensi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan intelegensi antara lain:
a. Umur
Seiring bertambahnya usia, IQ berubah mengikuti individu tersebut. Hal
ini bisa disebabkan karena masih terlalu muda untuk mengerti soal tes IQ,
atau sudah terlalu tua sehingga mengalami kepikunan atai kesulitan
berpikir.
b. Genetik
Tingkat kecerdasan orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan
keturunan-keturunannya.
c. Lingkungan
Lingkungan tempat tumbuh seseirang berpengaruh dengan kecerdasan
intelegensinya. Lingkungan yang berisi orang-orang yang mengutamakan
logika dibanding takhayul akan menghasilkan orang-orang yang lebih
mampu berpikir logis.
d. Intervensi
Beberapa proyek pemerintah, terutama pemerintah Amerika Serikat untuk
meningkatkan kecerdasan orang-orang berpengaruh terhadap IQ
seseorang. Seseorang yang diberi asupan obat-obatan peningkat
kemampuan otak akan memiliki IQ yang lebih tinggi dibanding orang
yang tidak mendapat treatment apapun.
e. Musik
Pelajaran music pada masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang besar
terhadap perkembangan kecerdasan seseorang.
f. Anatomi Otak
Rasio otak dengan berat badan, ukuran, bentuk, ketebalan korteks, laju
darah ke otak, hormon yang sedang bekerja, metabolisme glukosa di otak
dan ukuran serta bentuk lobus frontal berpengaruh terhadap kemampuan
orang tersebut untuk berpikir.
g. Kesehatan
Kondisi kesehatan seseorang ketika mengambil tes IQ berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh.
h. Pendidikan
Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, cenderung semakin tinggi
IQ nya
i. Seks
Perbedaan antara jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap nilai IQ
seseorang.
j. Ras dan Etnik
B. Kecerdasan Emosional
Secara umum, orang-orang yang memiliki intelegensi yang tinggi lah yang
disebut sebagai orang cerdas. Kemampuan kognitif yang tinggi ini yang dianggap
membuahkan keberhasilan bagi seseorang. Pada praktiknya banyak ditemui
orang-orang yang cerdas mengalami kegagalan. Didasari pada fenomena ini, Peter
Salovey dan John D. Mayer mengajukan teori mengenai kecerdasan emosional
dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkan
pada tahun 1990. Di dalam artikelnya, Salovey dan Mayer mengajukan definisi
kecerdasan emosional sebagai suatu set dari kecerdasan sosial yang terdiri dair
kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain,
membedakannya, dan menggunakan informasi yang didapat untuk membimbing
seseorang dalam berpikir dan melakukan sesuatu.
Terdapat beberapa model mengenai kecerdasan emosional, yaitu ability
model, trait model,dan ability-trait model. Ability model adalah model kecerdasan
emosional yang didasari oleh kemampuannya dalam hal-hal terkait emosi. Model
ini dipopulerkan oleh Peter Alovey dan John D. Mayer. Salovey dan Mayer
membagi kecerdasan emosional menjadi 4 tipe kemampuan, yaitu mengenali
emosi, menggunakan emosi, memahami emosi, dan mengatur emosi. Kecerdasan
emosional model kemampuan dapat diukur dengan Mayer-Salovey-Caruso
Emotional Intelligence Test (MSCEIT), sebuah tes kecerdasan emosional yang
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan pada tes IQ yang sesuai dengan setiap cabang
kecerdasan emosional.
Trait Model adlah model kecerdasan emosional yang dipopulerkan oleh
Kontantinos Vasilis Petrides. Petrides mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai persepsi atas kemampuan emosional dari diri sendiri. Kecerdasan
emosional trait model dapat diukur menggunakan Swinburne University
Emotional Intelligence Test (SUEIT) dan Trait Emotional Intelligence
Questionnaire (TEIQue). SUEIT berbentuk self-report dan TEIQue berbentuk
kuisioner yang diisi oleh kerabat dari yang bersangkutan. Tujuan dari
dilakukannya dua test ini adalah untuk mengtahui kemampuan emosional dari
seseorang dan membandingkannya dengan pendapat orang lain.
Model ketiga adalah Model Goleman yang merupakan kombinasi dari kedua
model kecerdasan emosional diatas. Daniel Goleman mempepulerkan kecerdasan
emosional melalui bukunya yang berjudul Emotional Intelligence: Why It can
Matter More Than IQ yang diterbitkan pada tahun 1996 dan dalam buku What
Makes A Leade yang diterbitkan pada tahun 1998. Goleman berpendapat bahwa
kecerdasan emosional adalah kompetensi serta kemampuan seseorang yang
berpengaruh terhadap performanya sebagai seorang pemimpin. Goleman
membagi kecerdasan emosional menjadi lima macam, yaitu:
Memahami emosi diri sendiri
Mengendalikan emosi diri sendiri
Memotivasi diri sendiri
Mengenali emosi orang laing
Menjalin hubungan dengan orang lain
Kecerdasan emosional model Goleman dapat diukur dengan Emotional and
Social Competency Inventory (ESCI) dan The Emotional Intelligence Appraisal
(EIA). ESCI merupakan bentuk pengembangan dari ECI, metode penilaian yang
dikembangkan oleh Goleman dan Boyatzis.
C. Kecerdasan Spiritual
Cassirer (1944) dalam bukunya yang berjudul An Essay on Man menjelaskan
bagaimana sejak pertama kali menjejakkan kakinya dibumi, manusia dengan
instingnya memiliki kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih besar dari
dirinya. Menusia memiliki kemampuan untuk berpikir transendental.
Kecenderungan ini menenujukkan selain sebagai mahluk individual dan mahluk
sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan mahluk spiritual. Kecerdasan
spiritual erat kaitannya dengan keagamaan, tetapi tidak identik dengan
keberagamaannya. Bisa saja seseorang yang beragama memiliki kecerdasan
spiritual yang rendah dan begitu juga sebaliknya. Penekanan dalam konsep
kecerdasan spiritual lebih pada titik spiritual, bukan agama.
\Robert Emmons mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai penggunaan
informasi spiritual untuk memfasilitasi pemecahan masalah sehari-hari dan
pencapaian tujuan. Cindy Wiggleswort mendefinisikan kecerdasan spiritual
sebagai kemampuan untuk bertindak secara bijak dengan menjaga kedamaian diri
tanpa terpengaruh keadaan. Wigglesworth membagi SQ menjadi 21 kompetensi
dasar yang dibagi menjadi 4 quadran, yaitu kesadaran ego, kesadaran universal,
penguasaan ego, dan penguasaan rohani/sosial.
Frances Vaughan mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan pikiran dan jiwa, dan hubungannya dengan dunia.
David B. King mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai suatu set kemampuan
mental adaptif yang berlandaskan aspek non-material dan transenden dari realita
yang berkontribusi terhadap kesadaran, inegrasi, dan aplikasi aspek non-material
dan transenden seseorang yang mengarah ke hasil seperti refleksi eksistensial
yang mendalam, pendalaman maksan, pengakuan diri, dan penguasaan mental
spiritual. King membagi kecerdasan spiritual menjadi empat kemampuan utama,
yaitu berpikir kritis tentang eksistensi, produksi makna personal, kesadaran
transcendental, dan kesadaran tingkat tinggi.
Kecerdasan spiritual dapat diukur dengan berbagai macam tes. Beberapa
diantaranya adalah Spiritual Intelligence Self-Report Inventory (SISRI-24) yang
dikembangkan oleh David King dan Teressa L. DeCicco, SQ21 yang
dikembangkan oleh Wiggleswort, dan Scale for Spiritual Intellingece yang
dikembangkan oleh Vineeth V. Kumar dan Mahju Mehta.
DAFTAR PUSTAKA
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic
Books.
Spearman, C. (1904). "General intelligence," objectively determined and measured. American
Journal of Psychology 15, 201-293.
Sternberg, R. J. (1985). Beyond IQ: A Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge: Cambridge
University Press.
Thurstone, L.L. (1938). Primary mental abilities. Chicago: University of Chicago Press.
Goleman, Daniel (1996). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam
Books.
Salovey, Peter; Mayer, John; Caruso, David (2004), "Emotional Intelligence: Theory, Findings,
and Implications", Psychological Inquiry: 197–215
Goleman, Daniel (1998), What Makes a Leader?, Harvard Business Review
Salovey, P., & Mayer, J. (1990). Emotional intelligence. Imagination, cognition, and personality,
9(3), 185-211.
Goleman, D. (n.d.). Emotional intelligence. Diakses melalui
http ://danielgoleman.info/topics/emotional-intelligence /
Cherry, Kendra. (n.d.). Theories of Intelligence. Diakses melalui
http :// psychology.about.com/od/cognitivepsychology/p/intelligence.htm
Cherry, Kendra. (n.d). 7 Myths About the Brain. Diakses melalui
http:// psychology.about.com/od/biopsychology/a/myths-about-the-brain.htm
Cherry, Kendra. (n.d.). What Is Emotional Intelligence?. Diakses melalui
http:// psychology.about.com/od/personalitydevelopment/a/emotionalintell.htm
Ananya, Mandal. (2014). The Human Brain. Diakses melalui
http:// www.news-medical.net/health/The-Human-Brain.aspx
Ananya, Mandal. (2014). Human Brain Structure. Diakses melalui http:// www.news-
medical.net/health/Human-Brain-Structure.aspx
Ananya, Mandal. (2013). Language and the Human Brain. Diakses melalui http:// www.news-
medical.net/health/Language-and-the-Human-Brain.aspx
Anonim. (n.d). What are the regions of the brain and what do they do?. Diakses melalui
http:// askabiologist.asu.edu/what-your-brain-doing
Anonim. (n.d.) Parts of the Brain and Their Functions. Diakses melalui http://www.md-
health.com/parts-of-the-brain-and-function.html
King, David B. (2008). A Viable Model of Spiritual Intelligence. Diakses melalui
http:// www.davidbking.net/spiritualintelligence/model.htm
King, David B. (2008). The Spiritual Intelligence Self-Report Inventory (SISRI-24). Diakses
melalui http:// www.davidbking.net/spiritualintelligence/sisri.htm
Wigglesworth, Cindy. (2006). Why Spiritual Intelligence Is Essential to Mature Leadership.
Diakses melalui
http:// www.godisaserialentrepreneur.com/uploads/2/8/4/4/2844368/spiritual-intelligence-
n-mature-leadership.pdf
Wigglesworth, Cindy. (2002). Spiritual Intelligence and Why It Matters. Diakses melalui
http://www.godisaserialentrepreneur.com/uploads/2/8/4/4/2844368/spiritual_intelligence
__ emotional_intelligence_2011.pdf
Wigglesworth, Cindy. (2012). Spiritual Intelligence: Living as Your Higher Self. Diakses
melalui http:// www.huffingtonpost.com/cindy-wigglesworth/spiritual-
intelligence_b_1752145.html
Vaughan, Frances. (2002). What Is Spiritual Intelligence?. Diakses melalui
http:// www.francesvaughan.com/files/Spiritualintell.pdf