makalah nunu
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU EDIBLE
FILM
ABSTRAK
Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah
mengalami penurunan kualitas. Salah satu cara untuk mencegah
atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan
pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak
digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan
perlindungan yang baik dalam pengawetan. Penggunaan material
sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan,
sehingga dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang
dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat
diuraikan adalah dengan menggunakan edible film. Edible Film
didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang
ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, dapat
memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak
pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang
dapat diperbaharui dan harganya murah. Polisakarida seperti pati
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film
menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui,
dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film
sering menggunakan metode casting dan pada pembuatannya
menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan
plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian
yang mengenai pembuatan edible film memberikan kesimpulan tidak
ada metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat
menghasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang
diinginkan akan berbeda. Edible film berbasis pati singkong dapat
diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat
mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan
umur simpan dodol durian hingga 25-44 hari. Kata Kunci: Pati
singkong, Edible Film, Metode Casting, Hidrokoloid, Plasticizer
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film” yang
disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti lomba karya
tulis Beswan Djarum 2009 dengan tepat waktu. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak makalah ini
tidak akan dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. PT. Djarum yang telah memberikan beasiswa melalui Djarum
Bakti Pendidikan.
2. Ke dua orang tua yang telah memberikan dukungan baik
moril maupun materil.
3. Ibu Popi dan Bapak Tedi yang selalu memberikan semangat
kepada penulis.
4. Teman-teman Beswan Djarum angkatan 2008-2009 yang
telah memberikan informasi dan saran dalam pembuatan
makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala
perhatiannya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Bandung, Juli 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRA
K................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR..............................................................................
iii
DAFTAR
ISI............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................
vi
DAFTAR
TABEL..................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN......................................................................... 1
II. SINGKONG
2.1 Botani
Singkong............................................................................. 4
2.2 Komposisi Kimia............................................................................
6
2.3 Pati
Singkong.................................................................................. 7
III. EDIBLE COATING
3.1 Definisi Edible Film dan Fungsi..................................................... 9
3.2 Bahan Baku Edible Film.................................................................
10
3.2.1
Hidrokoloid..................................................................................... 11
3.2.2
Lipida..............................................................................................
12
3.2.3
Komposit........................................................................................ 13
IV. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG
4.1 Metode
Pembuatan......................................................................... 14
4.2 Karakteristik Film...........................................................................
16
4.3
Aplikasi........................................................................................... 19
V. KESIMPULAN............................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
21
BAB I
PENDAHULUAN
Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah
mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia,
biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas tersebut dapat
dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan temperatur.
Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena
tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert,
2006 dalam Hui, 2006). Pengemasan makanan yaitu suatu proses
pembungkusan makanan dengan bahan pengemas yang sesuai.
Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan yang memiliki
kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan
dan melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga
kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert,
2006 dalam Hui, 2006). Menurut Robertson (1993), bahan
pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam,
dan kaca.
Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan
pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik
dalam pengawetan. Sekitar 60% dari poliethilen dan 27% dari
polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas yang
digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan
material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan
(Alvin dan Gil, 1994 dikutip Henrique, Teofilo, Sabino, Ferreira,
Cereda, 2007). Oleh karena itu pada saat ini dibutuhkan penelitian
mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan (biodegradable)
(Henrique et. al., 2007).
Pengembangan edible film pada makanan selain dapat
memberikan kualitas produk yang lebih baik dan memperpanjang
daya tahan, juga dapat merupakan bahan pengemas yang ramah
lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan pengemas yang
tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena
menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah
(Tharamathan, 2003 dikutip Bourtoom, 2007). Pengaplikasian edible
film pada produk makanan bukan merupakan konsep yang baru dan
telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film dapat
memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari
berbagai produk makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan
sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena
ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik
yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-
polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian
yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan
singkong (Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong sering
digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan
industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang cukup
tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006). Kandungan pati pada beberapa
bahan pangan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan
Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)
Biji gandum
Beras
Jagung
Biji sorghum
Kentang
Ubi jalar
67
89
57
72
75
90
Singkong 90
Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005)
Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi
kayu di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat
kandungan pati pada singkong sebesar 90%, maka pada tahun
tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati singkong.
Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah
didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial
dijadikan sebagai bahan dasar edible film.
BAB II
PEMBAHASAN
I. SINGKONG
1.1 Botani Singkong
Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari
Amerika Selatan dengan lembah sungai Amazon sebagai
tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983).
Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang
ditanam untuk diambil patinya yang sangat layak cerna.
Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1 – 4 meter dengan
daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar
daun. Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang
keragamannya tergantung pada kultivar (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Pohon Singkong
(Sumber: Grahito, 2007)
Bagian dari ubi singkong yang dapat dimakan mencapai
80-90%. Bentuknya dapat berupa silinder, kerucut, atau oval
(Wankhede, Satwadhar, dan Sawate, 1998 dalam Salunkhe
dan Kadam, 1998). Panjang ubi berkisar 15 hingga 100 cm
dan diameternya 3 hingga 15 cm. Bobot ubi kayu berkisar
beberapa ratus gram hingga 15 kg. Tanaman singkong
umumnya menghasilkan sekitar 5-10 ubi (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1995). Ubi singkong yang matang terdiri atas tiga
lapisan yang jelas yaitu; peridermis luar, cortex, dan daging
bagian tengah (Odigboh, 1983 dalam Chan 1983). Ubi
singkong dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ubi singkong (Sumber: Grahito, 2007)
Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies
dari singkong dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu
jenis pahit (Manihot esculenta Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis
(M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi Pohl.)
2.1Komposisi Kimia
Menurut Wankhede et. al. (1998) dalam Salunkhe dan
Kadam (1998), singkong merupakan salah satu sumber kalori
bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi singkong kaya
akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati
sebagai komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam
Klasifikasi Singkong:Kingdom : PlantaeDivisi : SpermatophytaSub Divisi : AngiospermaeKelas : DicotyledoneaeOrdo : EuphorbialesFamili : EuphorbiaceaeGenus : ManihotSpesies : Manihot utilissima
(Prihatman, 2000)
Chan (1983), singkong relative kaya akan kalsium dan asam
askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat langsung
dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan
pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air,
penghancuran, atau beberapa proses tradisional lainnya
dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang
bersifat mematikan yang dikandung dari semua varietas
singkong. Kandungan kalori dan komposisi zat gizi dalam 100
gram singkong disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram
Singkong
Komposisi Kimia Jumlah
Air (g)Karbohidrat (g)Protein (g)Lemak (g)Ca (mg)Fe (mg)Thiamin B1 (mg)Riboflavin B2 (mg)Niacin (mg)Vitamin C (mg)Energi (kal)
62,534,71,20,333,00,70,060,030,636146,0
Sumber : Odigboh (1983) dalam Chan (1983).
3.1 Pati Singkong
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-
glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan
dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi
tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Struktur
amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-
glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan
ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin
Umbi Bakar
Pencucian, Pengupasan, Disintegrasi
Sedimentasi, Pencucian
Sentrifugasi
Pati
merupakan ikatan α-(1,6). Berat molekul amilosa dari
beberapa ribu hingga 500.000, begitu pula dengan
amilopektin (Lehninger, 1982). Pati dapat diekstrak dengan
berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari
pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari
ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi.
Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH
yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti
perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi
dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu,
2005 dalam Cui, 2005).Diagram alir ekstraksi pati dari umbi
akar dapat dilihat pada diagram berikut:
Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang
mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan
kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman,
1950; Gliksman, 1969 dikutip Odigboh, 1983 dalam Chan,
1983).
Menurut Murphy (2000) dalam Phillips dan Williams
(2000), ukuran granula pati singkong 4 – 35 μm, berbentuk
oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti kettle
drum. Suhu gelatinisasi pada 62-73OC, sedangkan suhu
pembentukan pasta pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra,
dan Pambayun (2004), pati singkong relative mudah didapat
dan harganya yang murah. Bentuk granula pati singkong
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Granula Pati Singkong (Niba, 2006 dalam Hui, 2006)
II. EDIBLE FILM
II.1 Definisi Edible Film dan Fungsi
Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible
packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi
tiga jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan
enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan
edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating
langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film
pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang
akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging
yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk
serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat
dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen
makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan
uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan
aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan
karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film
yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer)
ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau
polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai
penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible
film yang terbuat dari protein dan polisakarida dikarenakan
lebih bersifat hidrofobik (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,
2006).
Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak
dengan produk merupakan salah satu yang harus
diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan akan
berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang
terbuat dari protein dan polisakarida pada umumnya sangat
baik sebagai penghambat perpindahan gas, sehingga efektif
untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang
hilang atau yang diserap oleh produk dapat diatur dengan
melakukan pelapisan edible coating atau film (Lee dan Wan,
2006 dalam Hui, 2006).
Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan
makanan dan substansi lain untuk mempertinggi kualitas
warna, aroma, dan tekstur produk, untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan seluruh
kenampakan.
Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat,
potasium sorbat, dan asam propionate merupakan beberapa
antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk
menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam
askorbat, dan ester lainnya, Butylated Hydroxyanisole (BHA),
Buthylated Hydroxytoluen (BHT), Tertiary Butylated Hydroxyquinone
(TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang ditambahkan
pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan
mempertahankan komposisi gizi dan warna makanan dengan
mencegah oksidasi ketengikan, degradasi, dan pemudaran
warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin,
Dan Nisperos-Carriedo, 1994).
II.2 Bakan Baku Edible Film
Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi
tiga macam yaitu; hidrokoloid, lipida, dan komposit.
Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein, turunan
selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida
yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak.
Sedangkan komposit merupakan gabungan lipida dengan
hidrokoloid (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et.
al., 1994).
Edible film dan coating dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai,
yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating
Penggunaan Jenis film yang sesuai
Menghambat penyerapan uap
air
Lipida, komposit
Menghambat penyerapan gas Hidrokoloid, lipida, atau
komposit
Menghambat penyerapan
minyak dan lemak
Hidrokoloid
Menghambat penyerapan zat-
zat larut
Hidrokoloid, lipida, atau
komposit
Meningkatkan kekuatan
struktur atau memberi
kemudahan penanganan
Hidrokoloid, lipida, atau
komposit
Menahan zat-zat volatile Hidrokoloid, lipida, atau
komposit
Pembawa bahan tambahan
makanan
Hidrokoloid, lipida, atau
komposit
Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et. al. (1994).
II.2.1Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan
edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang
dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum
(seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati
yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film
berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan
gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten
gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari
hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat
perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta
memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,
sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki
struktur film agar tidak mudah hancur (Dohowe dan
Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat
dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan
memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan
edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai
panjang ini sangat penting karena tersedia dalam
jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat
nontoksik (Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al.,
1994).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein
tanaman dan hewan dapat membentuk film seperti zein
jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang,
keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey
susu, karena sifat dari protein tersebut yang mudah
membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai
bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan
dengan gluten gandum, dan protein kedelai (Gennadios,
McHugh, Weller, dan Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,
1994).
II.2.2Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan
seagai penghambat uap air, atau bahan pelapis untuk
meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula.
Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas
dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang
kurang baik (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam
Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk
oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase
hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan
polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film
antara lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba,
kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin (Lee
dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Jenis lilin yang masih
digunakan hingga sekarang yaitu carnauba. Alasan
mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah
untuk memberi sifat hidrofobik (Hernandez, 1994 dalam
Krochta et. al., 1994).
II.2.3Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan
hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat dalam
lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan
lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan
hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari
hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil
keuntungan dari komponen lipida dan hidrokoloid.
Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap
penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya
tahan. Film gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini
dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan
sayuran yang telah diolah minimal (Dohowe dan
Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
III. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG
III.1 Metode Pembuatan
Metode casting merupakan salah satu metode yang
sering digunakan untuk membuat film. Pada metode ini
protein atau polisakarida didispersikan pada campuran air
dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan
dilakukan pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran
tadi dipanaskan dalam beberapa waktu dan dituangkan pada
casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan
mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan
waktu tertentu. Film yang telah mengering dilepaskan dari
cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan pengujian
terhadap karakteristik yang dihasilkan. (Lee dan Wan, 2006
dalam Hui, 2006).
Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya
menggunakan prinsip gelatinisasi. Dengan adanya
penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang
tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi
mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling
berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses
pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai
akibat dari lepasnya air, sehingga gel akan membentuk film
yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz, dan Vicentini,
2000).
Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al. (2000),
suhu dimulainnya gelatinisasi pati yang digunakan pada
suhu 60,5OC hingga 65,8OC, dan pada suhu 61,2OC hingga
66,5OC merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu
pendinginan hingga 50OC akan sedikit menaikkan
kekentalan, kecenderungan untuk terjadi retrogradasi kecil,
dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan
film dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan
dengan larutan edible film yang digunakan. Pembuatan larutan
edible film komposit antara bahan bersifat hidrofobik dengan
hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan akan
lebih stabil (Santoso dkk., 2004). Proses pembuatan edible film
dari pati singkong dapat dilihat pada digram berikut;
Larutan Pati Singkong 3%
Pemanasan dan pengadukan pada suhu 70
OC selama 15-20 menit
Pendinginan pada suhu 25 OC
Pencetakan pada Polystyrene plates berdiameter 10 cm
Larutan edible film
Pengeringan pada suhu 50
OC selama 24 jam
Edible Film
Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati Singkong
(Careda et. al., 2000)
III.2 Karakteristik Film
Pati yang digunakan sebagai edible film dapat pati
singkong murni atau pati yang telah dimodifikasi. Dari setiap
bahan tersebut akan mengasilkan karakteristik film yang
berbeda-beda. Menurut Careda et. al. (2000), konsentrasi 3%
pati singkong tanpa modifikasi akan menghasilkan pori-pori
yang kecil, yang mungkin disebabkan gelembung-
gelembung kecil dari udara terlarut ketika pemanasan. Pori-
pori yang kecil mengakibatkan edible film dari pati singkong
memiliki laju transmisi rendah terhadap uap air dan gas
(Santoso dkk., 2004). Sedangkan pati yang diestrifikasi
(CMA) dengan konsentrasi 3% menunjukkan adanya granula-
granula pati dengan struktur yang kecil yang saling
berdempetan. Pati singkong yang dioksidasi (Amilum 320)
dengan konsentrasi 3% menunjukkan struktur granula yang
utuh dan tidak hancur dalam air (Careda et. al., 2000).
Perbedaan ketiga jenis film tadi yang dianalisis menggunakan
SEM (Scaning Electron Microscopy) dapat dilihat pada Gambar 6.
(a) (b)
(c)
Gambar 4. (a) Permukaan film dari 3% pati singkong tanpa modifikasi dengan
pembesaran SEM 372x,
(b) Permukaan film dari 3% CMA dengan pembesaran SEM 463x, (c) Permukaan
film dari 3% amilum
320 dengan pembesaran SEM 405x (Careda et. al, 2000)
Menurut Henrique et. al. (2007), film dari CMA dengan
konsentrasi 5% sulit larut dan cenderung lebih permeabel
dan lebih tebal. Sedangkan dengan konsentrasi 3%
cenderung memiliki ketebalan yang kecil dan lebih larut.
Permebilitas, kelarutan, dan ketebalan film merupakan
karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh
konsentrasi bahan keringnya.
Menurut Flores et. al. (2006) dalam Bourtoom (2007),
tidak ada metode standar dalam pembuatan edible film
sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi dan
karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam pembuatan
edible film berbasis pati seringnya dilakukan penambahan
hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film
yang baik. Hidrokoloid berfungsi untuk membentuk struktur
film agar tidak mudah hancur.
Plasticizer berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dari
film dengan mengurangi derajat ikatan hidrogen dan
meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Lee dan
Wan, 2006 dalam Hui 2006). Penggunaan plasticizer yang
terlampau banyak akan meningkatkan permeabilitas
terhadap uap air (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam
Krochta et. al., 1994; Lee dan Wan 2006 dalam Hui, 2006 ).
Menurut Santoso dkk. (2004), pembuatan larutan edible film
komposit antara bahan bersifat hidrofobik dengan hidrofilik,
harus ditambahkan emulsifier agar larutan lebih stabil. Film
dari pati dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer
memiliki permebilitas yang rendah terhadap uap air
dibandingkan dengan glikol, gliserol, polietilen glikol,
maupun sukrosa pada konsentrasi yang sama (McHugh et.
al., 1994 dikutip Bourtoom, 2007). Jenis dan konsentrasi dari
plasticizer akan berpengaruh terhadap kelarutan dari film
berbasis pati. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka
akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan
penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga akan
meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan
kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible
film berbasis pati (Bourtoom, 2007).
Suhu pemanasan yang digunakan ditentukan
berdasarkan bahan dasar yang digunakan dan akan
berpengaruh terhadap elastisitas, persentase pemanjangan,
permeabilitas terhadap uap air, dan kelarutan edible film atau
coating. Edible film dari pati singkong menggunakan suhu
pemanasan 95OC selama 5 menit akan menghasilkan kuat
tarik (tensile strength) yang maksimum. Peningkatan suhu
pemanasan juga akan menurunkan perentase pemanjangan
dari edible film. Permeabilitas terhadap uap air dan kelarutan
akan cenderung menurun seiring dengan naiknya suhu
pemanasan (Bourtoom, 2007).
III.3 Aplikasi
Edible film berbasis pati singgkong dapat diaplikasikan
untuk mengemas apel yang telah dipotong-potong untuk
meminimalkan susut bobot dan menghambat reaksi
pencoklatan. Formulasi 1% pektin(b/v), CaCl2 1,6% (b/b
pektin), gliserol 1% (b/v), 2% (b/v) pati singkong, dan 0,04%
(b/v) asam palmitat dapat mempertahan kecerahan warna
apel sama dengan apel yang dikemas menggunakan plastik
polietilen. Akan tetapi penurunan berat pada apel yang
dikemas dengan menggunakan edible film pati singkong-pektin
tersebut lebih besar dibandingkan dengan apel yang
dikemas dengan plastik polietilen. Hal ini disebabkan karena
edible film pati singkong-pektin memiliki nilai laju transmisi
uap air yang besar, sehingga tidak mampu menahan
transmisi uap air dari dalam wadah ke luar dan selanjutnya
terjadi pula transmisi uap air dari dalam ke permukaan buah
(Layuk, Djagal, dan Haryadi, 2002)
Edible film komposit dari gliserol, CMC, beeswax, dan pati
singkong dapat digunakan sebagai bahan pengemas primer
dodol durian. Dodol durian yang tidak dikemas hanya
memiliki umur simpan hingga tiga hari yang kemudian
ditumbuhi jamur. Penggunaan kemasan tradisional (kertas
minyak) hanya tahan hingga hari penyimpanan selama tujuh
hari, selain itu juga kertas minyak lengket dengan bahan
yang dikemas. Penggunaan edible film komposit pati singkong-
CMC-beeswax menghasilkan ketebalan film sebesar 1,12 mm
dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian
hingga 25-44 hari (Harris, 2001).
BAB III
KESIMPULAN
Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan
yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan,
berfungsi sebagai penghambat
perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah
kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan
karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Bahan baku
pembentuk edible film dapat berasal dari pati singkong. Pati singkong
dapat membentuk pasta yang bening dan kecil kemungkinan untuk
terjadi retrogradasi. Kelebihan lain dari pati ini adalah mudah
didapatkan dan relatif murah.
Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu
metode casting, yaitu dengan mendispersikan bahan baku edible film,
pengaturan pH larutan, pemanasan larutan, pencetakan,
pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada metode
standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film
dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan
berbeda. Namun pada umumnya dilakukan penambahan
hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang tidak mudah hancur
dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas.
Lapisan film yang dibentuk memiliki pori-pori yang lebih kecil
sehingga laju transmisi terhadap uap air dan gas juga rendah. Edible
film berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas
apel potong sehingga dapat mempertahan kecerahan warna apel
dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga 25-
44 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia; Harvested Area,
Yield Rate and Production of Cassava by Province.
http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,
com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid,165 (diakses pada
tanggal 26/03/2012)
Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The
Properties of Edible Film Prepared From Starch.
Department of Material Product Technology, Songkhala.
(on line) http://vishnu.sut.ac.th/at/food_innovation/up/rice
%20starch%20film.doc (diakses pada tanggal
26/03/2012)
Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel
Dekker Inc., New York and Bassel.
Cui, S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical
Properties, and Aplications. CRC Press, Boca Raton,
London, New York, Singapore
Grahito, A. 2007. Root And Tuber Crops. Available at:
http://indonesian-foodforage.blogspot.com/2007/12
(diakses tanggal 27/03/2012)
Layuk, P., Djagal W. M., Haryadi. 2002 Karakteristik Komposit
Film Edible Pektin Daging Buah Pala (Myristica fragrans
Houtt) dan Tapioka. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XIII
(2).
Lehninger, A., L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M.
Thenawijaya. Erlangga, Jakarta
Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima
Pohl). Available at: http://www.ristek.go.id (diakses
tangga 26/03/2012)
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.