makalah osper
DESCRIPTION
FisheriesTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan dan
letaknya sangat strategis karena diapit oleh dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) serta dua
samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Banyak sumber daya alam yang dapat
dimaanfatkan dari lautan Indonesia, salah satu contohnya adalah biota laut dari berbagai macam jenis
ikan, dan jenis crustacea (kerang, udang, kepiting). Untuk mengelola sumber daya alam tersebut
dibutuhkan suatu manajemen daerah penangkapan ikan yang sering disebut dengan fishing ground.
Fishing Ground atau daerah penangkap ikan merupakan suatu daerah perairan dimana ikan yang
menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat
dioperasikan serta ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah
penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan
dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan
bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan
tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain
keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan
demikian pula jika terjadi sebaliknya. Pada makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
pemilihan fishing ground untuk alat tangkap bersifat pasif.
Selektivitas alat merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat keramahan suatu alat.
Kriteria lain yang termasuk ramah lingkungan pada alat yang dioperasikan di perairan adalah sifat
aktif dan pasif alat terhadap ikan. Alat yang pasif dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan
karena saat dioperasikan alat ini diam di tempatnya menunggu datangnya ikan sehingga benturan
dengan terumbu karang dapat diminimalkan. Akan tetapi pada alat penangkap ikan pasif lainnya
seperti trap dan pot dalam pengoperasiannya dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan tetapi
apabila alat terebut dioperasikan dalam jumlah besar dan dirangkaikan satu sama lain dengan
menggunakan tali maka pada saat alat tersebut diangkat dari dasar perairan dapat terjadi benturan
dengan terumbu karang hingga dapat merusak karang (Valdemarsen dan Suuronen 2003).
1.2 TUJUAN DAN MANFAAT
1.2.1 Tujuan
1.2.1.1 Mengetahui pengertian tentang fishing ground
1.2.1.2 Mengetahui tentang macam-macam alat tangkapan ikan
1.2.1.3 Mengetahui sifat-sifat dari alat tangkapan ikan
1.2.2 Manfaat
1.2.2.1 Agar mahasiswa mengetahui dan memahami aspek-aspek daerah penangkapan ikan
1.2.2.2 Agar mahasiswa mengetahui dan memahami jenis alat tangkapan ikan beserta sifat-
sifatnya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FISHING GROUND
Suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah
yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.
Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi
interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan
ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu
areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak
dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya.
Sebab-Sebab Utama Jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan.
a. Ikan-Ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk hidupnya.
b. Mencari makanan.
c. Mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya.
2.1.1 Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan
a. Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-
sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut.
Kepadatan dari distribusi ikan tersebut berubah menurut musim, khususnya pada ikan
pelagis. Daerah yang sesuai untuk habitat ikan, oleh karena itu, secara alamiah diketahui
sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi yang diperlukan sebagai daerah penangkapan
ikan harus dimungkinkan dengan lingkungan yang sesuai untuk kehidupan dan habitat
ikan, dan juga melimpahnya makanan untuk ikan. Tetapi ikan dapat dengan bebas
memilih tempat tinggal dengan kehendak mereka sendiri menurut keadaan dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu, jika mereka tinggal untuk waktu yang
agak lebih panjang pada suatu tempat tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah
penangkapan ikan.
b. Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan peralatan
penangkapan ikan bagi nelayan. Umumnya perairan pantai yang bisa menjadi daerah
penagkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan untuk ikan. Tetapi
terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan pengoperasian alat tangkap,
khususnya peralatan jaring karena keberadaan kerumunan bebatuan dan karang koral
walaupun itu sangat berpotensi menjadi pelabuhan. Terkadang tempat tersebut memiliki
arus yang menghanyutkan dan perbedaan pasang surut yang besar. Pada tempat tersebut
para nelayan sedemikian perlu memperhatikan untuk menghiraukan mengoperasikan alat
tangkap. Terkadang mereka menggunakan trap nets, gill nets dan peralatan memancing
ikan sebagai ganti peralatan jaring seperti jaring trawl dan purse seine.
Sebaliknya, daerah penangkapan lepas pantai tidak mempunyai kondisi seperti itu, tapi
keadaan menyedihkan datang dari cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi. Para nelayan
juga harus mengatasi kondisi buruk ini dengan efektif menggunakan peralatan
menangkap ikan.
c. Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis. Ini sangat alamiah di
mana manajemen akan berdiri atau jatuh pada keseimbangan antara jumlah investasi dan
pemasukan. Anggaran dasar yang mencakup pada investasi sebagian besar dibagi menjadi
dua komponen, yakni modal tetap seperti peralatan penangkapan ikan dan kapal
perikanan, dan modal tidak tetap seperti gaji pegawai, konsumsi bahan bakar dan biaya
perbekalan. Para manajer perikanan harus membuat keuntungan pada setiap operasi. Jika
daerah penagkapan tersebut terlalu jauh dari pelabuhan, itu akan memerlukan bahan
bakar yang banyak. Jika usaha perikanan tersebut benar-benar memiliki harapan yang
besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh pergi ke tempat yang lebih jauh. Nelayan
yang dalam kasus demikian dapat memperoleh keuntungan dengan manajemen usaha
perikanan. Jika kita dapat membuat alat untuk meningkatkan efisiensi usaha perikanan
seperti menggunakan mesin perikanan yang lebih efisien, kemudian kita dapat juga
memperbesar kapasitas kita untuk menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh.
d. Daerah penangkapan ikan juga dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan. Permintaan
untuk produk ikan akan dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari tempat tersebut,
sebagai contoh, adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan. Jadi,
daerah penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang relatif, berhubungan dengan
keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan lainnya, efisiensi usaha perikanan dan
permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah, harus selalu berusaha menemukan daerah
penangkapan ikan yang ekonomis dan efektif dari metode penangkapan ikan yang
dimodernisasi.
2.2 ALAT PENANGKAP IKAN
Dalam bagian ini kita akan membahas tentang alat penangkapan ikan pasif,maksud alat
penangkap pasif adalah jenis alat penangkapan ikan yang dipasang (setting) sementara di suatu
perairan dan diangkat kembali setelah selang waktu tertentu (gill net, trammel net, drift net, pancing,
perangkap, dll). Alat tangkap ini bersifat menunggu ikan dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan
ikan, jadi kerusakan ikan cenderung minim.
Dari beberapa pustaka didapatkan beberapa kriteria untuk alat yang dianggap ramah bagi
lingkungan yaitu alat yang tidak termasuk kedalam “Destructive Fishing Practice” (Pet-Soede and
Erdmann 1998). Alat yang dianggap sebagai Destructive Fishing Practices (DFP) adalah sebagai
berikut :
(1) Secara langsung dapat merusak habitat ikan atau organisme pembentuk habitat utama ikan,
misalnya: penggunaan bahan peledak, sianida pada kegiatan penangkapan ikan, pukat pantai
(Pet-Soede and Erdmann 1998), pengoperasian bottom gill net pada malam hari (Kushima and
Miyasaka 2003).
(2) Secara tidak langsung dapat merusak habitat ikan atau organisme pembentuk habitat ikan,
misalnya: benturan jangkar perahu pada pengoperasian pancing, benturan alat pengusir ikan
pada pengoperasian muro-ami dan benturan kaki nelayan pada terumbu karang saat
pemasangan dan pengambilan bubu (Pet-Soede and Erdmann 1998).
(3) Bersifat tidak selektif yang menangkap bukan ikan target atau ikan yang belum masuk ke
dalam rekrutmen, misalnya penggunaan jaring bermata kecil (Mascia 2001). Berbagai upaya
penyesuaian dan perubahan pada konstruksi alat tangkap terutama pada trawl yaitu
mengurangi hasil tangkapan sampingan dengan penambahan lubang pelolosan “Turtle
Excluder Device” untuk mencegah tertangkapnya penyu atau pemasangan alat pemancar
signal untuk mengusir lumba-lumba agar tidak tertangkap oleh alat tangkap (Königson 2007).
(4) Bersifat sangat mematikan sehingga ikan non target yang tertangkap tidak dapat dilepaskan
kembali untuk dapat tetap hidup, misalnya hasil tangkapan pada trawl, dan purse seine.
Menurut Valdemarsen dan Suuronen (2003) khususnya bagi alat sejenis trap dan pot, masih
banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan agar lebih ramah terhadap lingkungan, yaitu :
(1) Beratnya harus tidak jauh melebihi berat yang diperlukan untuk menjaga agar alat ini tetap
dalam posisi tegak pada saat mendarat dan menjaga agar posisinya mantap (tidak bergeser)
sehingga alat ini pada saat mendarat tidak merusak obyek didasar perairan.
(2) Potensi tertagkapnya hewan yang bukan target penangkapan perlu menjadi perhatian agar
dapat dilakukan modifikasi pada alat tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
dimensi alat yang tepat, ukuran mata jaring yang digunakan sebagai dinding, desain jalan
masuk, jenis umpan dan perangkat untuk pelolosan (excluder devices).
Oleh karena banyaknya hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah suatu alat
penangkap ikan tergolong ke dalam alat yang ramah atau tidak maka digunakan alat bantu RAPFISH
(The Rapid Appraisal of Fisheries Status) (Pitcher and Preikshot 2001) yang selama ini digunakan
untuk memberi penilaian pada status keberlanjutan suatu kegiatan perikanan. Dalam analisis ini
digunakan penilaian dari beberapa bidang yaitu ekologi, ekonomi, sosial/budaya, teknologi dan etika
namun atribut yang digunakan disesuaikan dengan atribut keramahan lingkungan pada lingkungan
terumbu karang.
2.2.1. Gill Net
Gill net atau sering disebut juga sebagai “jaring insang”. Istilah gill net di dasarkan pada
pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap “gill net” terjerat di sekitar operculumnya pada mata
jaring. Dalam bahasa jepang, gill net disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan
pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa ikan-ikan
tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di indonesia, penanaman gill net ini ber
aneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring karo, jaring
udang, dan sebagainya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang bayeman), dan
sebagainya (Ayodhyoa, 1981).
Pengertian dari jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah satu jenis
alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring
dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah horisontal
(Mesh Length (ML)) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah
dalam (Mesh Dept (MD)), pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats)
dan di bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua
gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam
keadaan tegak (Sadhori, 1985).
Warna jaring pada gill net harus disesuaikan dengan warna perairan tempat gill net
dioperasikan, kadang dipergunakan bahan yang transparan seperti monofilament agar jaring
tersebut tidak dapat dilihat oleh ikan bila dipasang diperairan (Sadhori, 1985).
2.2.2.1 Klasifikasi Gill Net
Menurut Sudirman, (2004) berdasarkan kontruksinya, jaring insang dikelompokkan
menjadi 2 (dua), yaitu berdasarkan jumlah lembar jaring utama dan cara pemasangan tali ris.
Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar jaring utama ialah sebagai berikut:
Jaring insang satu lembar (Single Gill Net)
Jaring insang satu lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari hanya
satu jaaring, tinggi jaring ke arah dalam atau mesh depth dan ke arah panjang atau
mesh length disesuaikan dengan target tangkapan, daerah penangkapan, dan metode
pengoperasian.
Jaring insang double lembar (Double Gill Net atau Semi Trammel Net)
Jaring insang dua lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari dua
lembar jaring, ukuran mata jaring dan tinggi jaring dari masing-masing lembar jaring,
bisa sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Jaring insang tiga lembar (Trammel Net)
Jaring insang tiga lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari tiga
lembar jaring, yaitu dua lembar jaring bagian luar (outter net) dan satu lembar jaring
bagian dalam (inner net).
Penamaan gill net berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jaring dalam perairan
maka Ayodhyoa (1981))membedakan antara:
1. Surface Gill Net
Pada salah satu ujung jaring ataupun pada kedua ujungnya diikatkan tali jangkar,
sehingga letak (posisi) jaring jadi tertentu oleh letak jangkar. Beberapa piece
digabungkan menjadi satu, dan jumlah piece harus disesuaikan dengan keadaan fishing
ground. Float line (tali pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air (sea
surface). Dengan begitu arah rentangan dengan arah arus, angin dan sebagainya akan
dapat terlihat.
Gerakan turun naik dari gelombang akan menyebabkan pula gerakan turun naik dari
pelampung, kemudian gerakan ini akan ditularkan ke tubuh jaring. Jika irama gerakan ini
tidak seimbang, juga tension yang disebabkan float line juga besar, ditambah oleh
pengaruh-pengaruh lainnya. Kemungkinan akan terjadi peristiwa the rolling up of gill net
yaitu peristiwa dimana tubuh jaring tidak lagi terentang lebar, jaring tidak berfungsi lagi
sebagai penghalang/penjerat ikan.
2. Bottom Gill Net
Pada kedua ujung jaring diikatkan jangkar, sehingga letak jaring akan tertentu. Hal ini
sering disebut set bottom gill net. Jaring ini direntangkan dekat dengan dasar laut,
sehingga dinamakan bottom gill net, berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan
penangkapan ialah ikan-ikan dasar (bottom fish) ataupun ikan-ikan demersal. Posisi
jaring dapat diperkirakan pada float berbendera/bertanda yang diletakkan pada kedua
belah pihak ujung jaring.
3. Drift Gill Net
Sering juga disebut dengan drift net saja, atau ada juga yang memberi nama lebih jelas
misalnya ”salmon drift gill net”, atau ”salmon drift trammel net”, dan ada pula yang
menerjemahkannya ”jaring hanyut”.
Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas
mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan tali, dan tali ini
dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit banyak juga dapat
mempengaruhi posisi jaring. Selain dari gaya-gaya arus, gelombang, maka kekuatan
angin juga akan mempengaruhi keadaan hanyut jaring.
4. Encircling Gill Net atau Surrounding Gill Net
Gerombolan ikan dilingkari dengan jaring, antara lain digunakan untuk menghadang
arah lari ikan. Supaya gerombolan ikan dapat dilingkari/ditangkap dengan sempurna,
maka bentuk jaring sewaktu operasi ada yang berbentuk lingkaran, setengah lingkaran,
bentuk huruf V atau U, bengkok-bengkok seperti alun gerombolan dan masih banyak
jenisnya lagi.
Ikan setelah terkurung dalam lingkaran jaring, dikejuti, sehingga ikan-ikan akan
terjerat pada mata jaring. Tinggi jaring diusahakan sesuai dengan kedalaman perairan.
Oleh sebab itu pada saat operasi keadaan pasang/surut perlulah diperhatikan.
2.2.2. BUBU
Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan,
dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “guiding
barriers”. Alat ini berbentuk kurungan seperti ruangan tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar.
Bubu merupakan alat tangkap pasif, tradisional yang berupa perangkap ikan tersebut dari bubu,
rotan, kawat, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang
masuk tidak dapat keluar. Prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan sehingga
ikan tersebut terperangkap di dalamnya, alat ini sering diberi nama ftshing pots atau fishing
basket.(Brandt, 1984).
Klasifikasi Bubu menurut cara operasinya
Dalam operasionalnya, bubu terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots).
2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
2.2.3. PERAWAI DAN TUNA LONG LINE
Perawai dan tuna longline adalah suatu jenis pancing. Pancing merupakan salah satu jenis
alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya
pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu “tali” (line) dan “mata pancing” (hook). Tali
pancing biasa dibuat dari bahan benang katun, nilon, polyethilin, plastik (senar), dan lain-lain.
Mata pancingnya dibuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata
pancing tersebut umumnya ujungnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah
mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing itu bisa tunggal maupun ganda
(dua-tiga buah) bahkan banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya.
Ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap
(Subani, 1989).
Menurut Sadhori (1985), perawai merupakan salah satu alat penangkap ikan yang terdiri
dari rangkaian tali-temali yang bercabang-cabang dan pada tiap-tiap ujung cabangnya dikaitkan
sebuah pancing. Secara teknis operasional rawai termasuk dalam jenis perangkap, karena dalam
operasionalnya tiap-tiap pancing diberi umpan yang tujuanya untuk menarik ikan sehingga ikan
memakan umpan tersebut dan terkait oleh pancing. Secara material ada yang mengklasifikasikan
rawai termasuk dalam golongan penangkapan ikan dengan tali line fishing karena bahan utama
untuk rawai ini terdiri dari tali-temali.
Alat penangkapan ikan ini disebut rawai karena bentuk alat sewaktu dioperasikan adalah
rawe-rawe (rawe = bahasa Jawa) yang berarti sesuatu yang ujungnya bergerak bebas. Rawai
disebut juga dengan longline yang secara harfiah dapat diartikan dengan tali panjang. Alat ini
konstruksinya berbentuk rangkaian tali-temali yang disambung-sambung sehingga merupakan tali
yang panjang dengan beratus-ratus tali cabang (Sadhori, 1985).
Menurut Mulyono (1986), Perawai terdiri dari sejumlah mata kail yang di pasangkan
pada panjangnya tali yang mendatar. Tali yang mendatar ini merupakan tali pokok atau utama
(main line) dari suatu rangkaian pancing-pancing perawai. Pada tali utama terdapat tali-tali
pendek yang disebut tali cabang (branch line). Menurut bentuk, sasaran dan cara penangkapannya
perawai termasuk dalam jenis “Bottom Set Longline“. Cara penangkapannya pancing ini dilepas
atau dilabuhkan sampai posisinya dapat mendasar. Menurut Sadhori (1985), ada berbagai macam
bentuk rawai yang secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam berbagai kelompok yaitu :
1. Berdasarkan letak pemasangannya di perairan rawai dapat dibagi menjadi :
a. Rawai permukaan (Surface longline);
b. Rawai pertengahan (Midwater longline);
c. Rawai dasar (Bottom longline).
2. Berdasarkan susunan mata pancing pada tali utama :
a. Rawai tegak (Vertikal longline);
b. Pancing ladung;
c. Rawai mendatar (Horizontal longline).
3. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap :
a. Rawai Tuna (Tuna longline);
b. Rawai Albacore (Albacore longline);
c. Rawai Cucut (Shark longline), dan sebagainya.
Perawai terdiri dari sejumlah mata kail yang di pasangkan pada panjangnya tali yang
mendatar. Tali yang mendatar ini merupakan tali pokok atau utama (main line) dari suatu
rangkaian pancing-pancing perawai. Tali utama terdapat tali-tali pendek yang disebut tali
cabang (branch line). Menurut bentuk, sasaran dan cara penangkapannya perawai termasuk
dalam jenis “Bottom Set Longline“. Cara penangkapannya pancing ini dilepas atau
dilabuhkan sampai posisinya dapat mendasar (Mulyono, 1986).
Menurut Sadhori (1985), persyaratan daerah operasi perawai yaitu :
1. Pantai yang keadaannya landai;
2. Kedalamanya merata;
3. Bersih dari tonggak atau kerangka kapal yang rusak;
4. Terhindar dari kesibukan lalu-lintas.
2.2.4. BAGAN TANCAP
Menurut Mulyono (1986), bagan merupakan salah satu jaring angkat yang dioperasikan
diperairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai faktor penarik
ikan. Bagan atau ada juga yang menyebutnya dengan branjang, yaitu suatu alat tangkap yang
wujudnya seperti kerangka sebuah bangun piramida tanpa sudut puncak.
Diatas bangunan bagan ini pada bagian tengah terdapat bangunan rumah kecil yang
berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan, dan tempat untuk melihat dan
mengawasi ikan. Di atas bangunan ini terdapat roller yang terbuat dari bambu yang berfungsi
untuk menarik jaring.
Selama ini untuk membuat daya tarik ikan sehingga berkumpul di bawah bagan,
umumnya nelayan masih menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi 2-5 buah.
Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada malam hari (Light Fishing) terutama pada hari
gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Sudirman dan Achmar
Mallawa, 2000).
Tertariknya ikan pada cahaya karena terjadinya peristiwa phototaxis. Antara lain hal
disebutkan bahwa cahaya merangsang ikan dan menarik (attrack) ikan berkumpul pada sumber
cahaya itu atau juga disebutkan karena rangsangan cahaya (stimulus), kemudian ikan memberikan
responnya. Penangkapan dengan bagan menggunakan bantuan lampu dinamakan light fishing.
Peristiwa phototaxis dimanfaatkan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan dalam
light fishing, penangkapan ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk
menangkap ikan tetapi menyalurkan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap.
Fungsi cahaya pada penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada
sesuatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan jaring. Dengan alat jaring ini
dapat dikatakan bahwa jaring bersifat pasif, cahaya berfungsi untuk menarik ikan ke tempat
jaring. Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah cahaya ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
peristiwa langsung dan peristiwa tidak langsung. Peristiwa langsung yaitu ikan tertarik oleh
cahaya lalu berkumpul. Sedangkan peristiwa tidak langsung yaitu dengan adanya cahaya maka
sebagai tempat plankton berkumpul lalu banyak ikan yang berkumpul untuk memakan plankton
tersebut (Ayodhyoa, 1981).
Menurut Sudirman dan Achmar Mallawa (2000), klasifikasi bagan ada 3, yaitu :
1. Bagan Tancap
Bagan tancap merupakan rangkaian atau susunan bambu berbentuk persegi empat yang di
tancapkan sehingga berdiri kokoh di atas perairan, dimana pada tengah bangunan tersebut
dipasang jaring. Dengan kata lain, alat tangkap ini bersifat inmobile. Hal ini karena alat
tangkap tersebut ditancapkan pada dasar perairan, yang berarti kedalaman laut tempat
beropesinya alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada perairan dangkal.
2. Bagan Rakit
Jenis bagan lain yang sangat sederhana dan biasa digunakan oleh nelayan khususnya di
sungai atau muara-muara sungai yaitu sebagai rakit. Bagan ini terbuat dari bambu, dimana
operasinya berpindah-pindah. Proses operasi penangkapannya sama dengan bagan tancap.
3. Bagan Perahu (Bagan Rambo)
Bagan ini disebut pula sebagai bagan perahu listrik. Ukurannya bervariasi tetapi di
Sulawesi Selatan umumnya menggunakan jaring dengan panjang total 45 m dan lebar 45 m,
berbentuk segi empat bujur sangkar dengan ukuran mata jaring 0,5 cm dan bahannya terbuat
dari waring. Dalam pengoperasiannya bagan ini dilengkapi dengan perahu motor yang
berfungsi untuk menggandeng bagan rambo menuju daerah penangkapan. Selain itu, bagan
tersebut berfungsi sebagai pengangkut hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base.
2.3 DAERAH TANGKAPAN BERDASARKAN ALAT TANGKAPAN (PASIF)
2.3.1 Gill Net
Surface Gill Net
berfungsi sebagai penghalang/penjerat ikan dibagian permukaan perairan
Bottom Gill Net
Pada umumnya yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, muara yang
mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis, misalnya hering,
cod, flat fish, halbut, mackerel, yellow tail, sea bream, udang, lobster dan sebagainya.
Drift Gill Net
Drift gill net juga dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan, dan merupakan alat
penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan
oleh jangkar, maka pengaruh dari kekuatan arus terhadap tubuh jaring dapat diabaikan.
Gerakan jaring bersamaan dengan gerakan arus sehingga besarnya tahanan dari jaring
terhadap arus dapat diabaikan. Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain
saury, mackarel, flying fish, skip jack, tuna, salmon, hering, dan lain-lain.
Sorrounding Gill Net
Alat tangkap ini juga banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan yang
hidup di perairan karang, yaitu dengan memasang alat tangkap di sekitar atau melingkari
karang.
2.3.2 Bubu
Bubu Dasar (Ground Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau
diantara karang-karang atau bebatuan (Anonim, 2006)
Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu apung dihubungkan dengan tali yang disesuaikan
dengan kedalaman tali, yang biasanya dipasang pada kedalaman 1,5 kali dari kedalaman
air (Anonim, 2006).
Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu hanyut ini sesuai dengan namanya yaitu dengan
menghanyutkan ke dalam air (Anonim, 2006).
Bubu Jermal dan Bubu Apolo
Dalam operasi penangkapan, kedua bubu di atas diletakkan pada daerah pasang surut
(tidal trap). Umumnya dioperasikan di daerah perairan Sumatera (Anonim, 2006).
Bubu Ambai
Lokasi penangkapan dengan bubu ambai dilakukan pada jarak antara 1-2 mil dari pantai
(Anonim, 2006)
2.3.3 Perawai dan Tuna Long Line
Menurut Mulyono (1986), jenis ikan yang menjadi sasaran/tujuan penangkapan adalah
untuk penangkapan ikan tuna. Ikan tuna termasuk ikan pelagis-oceanis, artinya ikan pelagis lepas
pantai yang bila sudah mendekati mencapai kedewasaannya menurut hasil-hasil penelitian tempat
kehidupannya dari dekat permukaan berpindah ke lapisan yang lebih dalam, sehingga alat-alat
penangkapan yang dioperasikan di dekat permukaan tidak akan pernah memperoleh
2.3.4 Bagan Tancap
Daerah penangkapan bagan atau daerah operasi untuk pemasangan bagan adalah
diperairan pantai yang berairkan jernih, mempunyai kedalaman 7 – 10 meter. Jarak jauhnya dari
pantai adalah 2 mil. Antara bagan yang satu dengan bagan yang lain adalah sekitar 200 – 300
meter. Dasar perairan dipilih daerah yang berlumpur campur pasir (untuk memudahkan dalam
pemancangan tiang bagan (Mulyono, 1986).
Menurut Mulyono (1986), hasil tangkapan yang umumnya tertangkap dengan alat
tangkap bagan ini adalah jenis-jenis ikan pelagis yang umumya bergerak cepat dan berada di
permukaan. Misalnya, ikan teri, tembang, ikan terbang, jambrung, cumi dan udang.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Banyaknya jenis ikan dengan segala sifatnya yang hidup di perairan yang lingkungannya
berbeda-beda, menimbulkan cara penangkapan termasuk penggunaan alat penangkap yang
berbeda-beda pula.
3.2 Dengan mengetahui berbagai macam alat penangkapan ikan kita bisa mengaplikasikannya
terhadap daerah berbeda-beda sesuai kategori fishing ground yang telah ditentukan
3.3 Pemilihan fishing ground dengan alat tangkap bersifat pasif dapat dilihat dari berbagai macam
alat yang digunakan untuk menangkap ikan pada wilayah perairan tertentu
DAFTAR PUSTAKA
http://kapi.kkp.go.id/blog/2011/11/jenis-jenis-alat-penangkap-ikan-types-of-fishing-equipment
http://kapi.kkp.go.id/blog/2011/11/pengelolaan-alat-penangkapan-ikan-di-indonesia-indonesia-fishing-
gears-managemen
http://carantrik.blogspot.com/2010/11/set-net-alat-penangkapan-ikan.html
http://nurulmuhtar21.blogspot.com/2012/08/ikan-dan-alat-tangkapnya.html
http://edimardiyantosmkn4.blogspot.com/2012/10/klasifikasi-alat-tangkap-ikan.html
http://lananewakatobi.blogspot.com/2012/01/kriteria-alat-tangkap-ikan-yang-ramah.html
http://mukhtar-api.blogspot.com/2010/05/daerah-penangkapan-fishing-ground.html
http://informasidanteknolodiperikanan.blogspot.com/2011/04/teknologi-set-net.html
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM OSEANOGRAFI PERIKANAN
KELOMPOK 5
OSEANOGRAFI B
Pratama Bijak L
Dionisia Dini N
M.Hanif Rasyda
Rezha Khayan
Putri Radiyanti
Gabella Oktaviora
Bagus Rahmatullah
Irwan Hidayatullah
Daniel Jackson
Didi Adisaputro
Afrisha Catur
26020210130112
26020210130100
26020210141001
26020210130073
26020210141014
26020210130093
26020210130167
26020210130077
k2E 009 038
k2E 009 059
k2E 009 085
PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012