makalah pbl 28 (ctd)
TRANSCRIPT
Mengenali Gejala Cumulative Traua Disorder
Akibat Kerja
Novia Chrystina (102011346)
Kelompok F2
e-mail: [email protected]
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510. Telephone: (021) 5694206
Pendahuluan
Ergonomi adalah satu ilmu yang peduli akan adanya keserasian manusia dan pekerjaannya.
Arti kata cumulative trauma disorder (CTD) merupakan gangguan kronis yang melibatkan
kerusakan tendo, otot, sendi, dan saraf, sering disebabkan oleh aktivitas fisik terkait-kerja. CTD,
termasuk gangguan gerakan repetitive dan curpal tunnel syndrome, terjadi bila tubuh terkena
tekanan, vibrasi, atau gerakan repetitive langsung untuk jangka waktu lama.1,2
Biasanya CTDs mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan. Tubuh bagian atas terutama punggung dan lengan adalah bagian yang paling rentan
terhadap risiko terkena CTDs. Jenis pekerjaan seperti perakitan, pengolahan data menggunakan
keyboard komputer, pengepakan makanan dan penyolderan adalah pekerjaan-pekerjaan yang
mempunyai siklus pengulangan pendek dan cepat sehingga menyebabkan timbulnya CTDs.1
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara
penyakit akibat kerja, dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai working diagnosis, different
diagnosis, etiologi, epidemiologi, gejala klinis, penatalaksanaan, dan pencegahan dari penyakit
tersebut.
Skenario
Seorang perempuan berusia 30 tahun datang ke klinik dengan keluhan nyeri pada tangan
kanan.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis umum
Selain keluhan yang telah diutarakan pasien, ada beberapa hal berikut yang penting
ditanyakan untuk menegakan diagnosis, hal-hal tersebut antara lain:
- Mengetahui identitas pasien yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan. Hal ini penting
karena penyakit yang berhubungan dengan musculoskeletal berkaitan dengan faktor-faktor
diatas.
- Keluhan utama
- Jika ada nyeri, tanyakan lokasi spesifik nyeri, sejak kapan, intensitas, dan waktu serangan.
- Kemungkinan adanya faktor pencetus (seperti makanan, aktivitas, obat, dll)
- Perkembangan/perburukan penyakit (contoh: sudah pernah minum obat atau belum? Kalau
sudah, bagaimana hasilnya?)
- Keluhan penyerta (seperti panas, mual, pusing, dll).
- Riwayat penyakit dahulu (contoh: apakah dulu juga pernah sakit seperti ini? Atau ada trauma
di bagian tubuh yang sakit?).
- Riwayat pribadi pasien (seperti kebiasaan makan, merokok, alkohol, dll).
- Riwayat sosial pasien (seperti lingkungan tempat tinggal, sosial ekonomi, pekerjaan).3
Anamnesis pekerjaan
Untuk memeperoleh anamnesis pekerjaan yang terarah maka pertanyaan harus difokuskan pada
hal-hal yang penting secara sistematik, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Memastikan kemunculan gejala dalam hubungannya dengan pekerjaan; apakah gejala
yang timbul membaik pada saaat istirahat atau liburan? Apakah terdapat pekerjaan lain yang
menderita gejala yang sama di lingkungan kerja? Apakah terjadi pajanan debu, uap, atau
partikel-partikel zat kimia yang beracun di lingkungan kerja?
Pertanyaan kronologis tentang pekerjaan terdahulu sampai yang sekarang, mengenai:
deskripsi lingkungan tempat kerja; lama bekerja; adanya pekerjaan lain disamping pekerjaan
utama.
Pertanyaan spesifik yang ada hubungan dengan pajanan penyakit akibat kerja
Riwayat kesehatan lingkungan.3
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien muskuloskeletal biasanya yang dilihat adalah kelainan berikut:
deformitas, nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan disfunctio laesa. Untuk mengetahui kelainan
tersebut pemeriksaan yang dilakukan adalah:3
1. Inspeksi (look)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dengan melihat secara umum dan khusus. Melihat
secara keseluruhan dan postur jalan pasien. Kemudian melihat lebih teliti pada bagian lokal yang
dikeluhkan oleh pasien. Dilihat apakah ada deformitas dan pembengkakan atau kulit memerah.
2. Palpasi (feel)
Pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memegang dan menekan bagian-bagian
tertentu. Dirasakan apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan deformitas.
3. Gerak (move)
Pada pemeriksaan gerak, kita melihat gerakan-gerakan pada pasien baik gerak yang
secara aktif maupun pasif. Kita melihat apakah adanya kelainan gerak dan mengganggu pada
saat pasien melakukan gerakan tersebut.
Pemeriksaan fisik khusus dilakukan untuk melihat/menilai bagian tubuh pasien yang sakit
(contoh: apakah ada bengkak, nyeri tekan, dll).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
Faktor rematoid
Merupakan immunoglobulin dari kelas IgM dalam sirkulasi yang merupakan antibody
terhadap IgG pasien sendiri. Factor rematoid positif pada: 50-70% pasien rawat jalan yang
menderita penyakit artritis rematoid; 15% pada pasien artritis rematoid juvenile; 4% pada
populasi umum, meningkat sejalan bertambah usia. Factor rematoid negatif pada spondylitis,
ankilosa, sindrom Reiter, artropati psoriatic, dan artropati kolitis.
Diagnosis Klinis
Cumulative Trauma Disorders (CTDs)
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) adalah sekumpulan gangguan pada sistem
muskuloskeletal (musculosceletal disorders) berupa cedera pada syaraf, otot, tendon, ligamen,
tulang dan persendian pada titik-titik ekstrim tubuh bagian atas (tangan, pergelangan, siku dan
bahu), tubuh bagian bawah (kaki, lutut dan pinggul) dan tulang belakang (punggung dan leher).
Biasanya CTDs mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan. Tubuh bagian atas terutama punggung dan lengan adalah bagian yang paling
rentan terhadap risiko terkena CTDs. Jenis pekerjaan seperti perakitan, pengolahan data
menggunakan keyboard komputer, pengepakan makanan dan penyolderan adalah pekerjaan-
pekerjaan yang mempunyai siklus pengulangan pendek dan cepat sehingga menyebabkan
timbulnya CTDs.
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) juga dikenal dengan nama lain, diantaranya:
Repetitive Strain Injuries (RSIs); Musculoskeletal disorders (MSDs); Overuse Injuries;
Repetitive Motion Disorders; Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs).
Seringkali CTDs tidak terlihat dan sangat jarang memperlihatkan tanda awal yang nyata.
CTDs terjadi di bawah permukaan kulit dan menyerang jaringan-jaringan lunak seperti otot,
tendon, syaraf dan lain-lain. Oleh karenanya CTDs sering disebut juga musculoskeletal disorders
(MSDs). Sikap tubuh yang dipaksakan adalah salah satu penyebab umum CTDs.
Kemunculannya sering tidak disadari sampai terjadinya inflamasi, syaraf nyeri dan mengerut,
atau aliran darah tersumbat. CTDs biasanya muncul dalam bentuk sindrom terowongan carpal
(carpal tunnel syndrome), tendinitis, tenosinovitis dan bursitis.2
Diagnosis banding
De quervain syndrome
De Quervain syndrome (juga dikenal sebagai washerwoman's sprain, Radial styloid
tenosynovitis, de Quervain disease, de Quervain's tenosynovitis, de Quervain's stenosing
tenosynovitis or mother's wrist), adalah sebuah peradangan dari tendon-tendon otot exstensor
policis brevis serta otot abductor policis longus yang keduanya bersama – sama masuk dalam
satu selubung tendon.
De Quervain syndrome pada umumnya dikenal sebagai kondisi peradangan atau
tedosynovitis, tetapi evaluasi histologi khusus menunjukkan tidak adanya peradangan yang
terlihat dan yang lebih nampak adalah adanya proses degenerasi myxoid yang konsisten dengan
proses degenerasi yang kronik. dan patologi kasus ini sering teridentifikasi pada seorang wanita
yang baru saja menjadi ibu. de Quervain syndrome umumnya terjadi pada wanita, karena rata-
rata wanita mempunyai prosesus styloideum yang lebih besar daripada laki-laki
Peran fisioterapi dalam kasus ini adalah memberikan splint atau pembidaian, tujuan
adalah mengistirahatkan sendi dan mengurangi gerakan yang memunculkan nyeri terutama
ketika melakukan aktivitas yang melibatkan tangan terutama ibu jari. Pengaplikasian paraffin-
bath atau hot pack membantu mengurangi nyeri yang terjadi, karena dengan efek termal yang
terjadi membantu meningkatkan proses vaskularisasi darah pada sendi. Kombinasi dengan
ultrasound terkadang memberikan efek yang bermakna bagi pasien.4
Terapi Latihan
Aktif yaitu pasien diminta untuk melakukan gerak aktif pada ibu jari kanan dan kiri ke
arah fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi. Pasif yaitu gerak pasif ini dilakukan oleh terapis,
dimana terapis menggerakan ibu jari pasien kanan dan kiri ke semua arah fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi. Isometrik, terapis memberikan tahanan yang berlawanan dengan arah gerakan
yang dilakukan pasien (fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi). Stretching, posisi pasien: duduk
senyaman mungkin dengan tangan kiri disuport bantal. Posisi Terapis : terapis berada didepan
pasien. Tangan kiri terapis memfiksasi di sendi wrist dan tangan terapis yang kanan
menggenggam ibu jari kiri dari persendian carpometacarpal. Terlebih dahulu pasien diberikan
penjelasan mengenai manfaat latihan yang diberikan. Pelaksanaan: ini dilakukan oleh batuan
terapis dalam posisi ini pasien dan terapis yang telah dibahas, maka pelaksanaan terapi di
mulai dengan terapis memberikan contoh terlebih dahulu, satu persatu dari 2 gerakan yang akan
diberikan. Selanjutnya pasien mengikuti dan mulai melakukan gerakannya satu persatu. Terapis
memberikan dorongan ke arah fleksi dan adduksi pada persendian carpometacarpal sebanyak
sepuluh kali pengulangan dengan bertahan pada posisi meregang selama 10 detik.
Etiologi
Penggunaan sendi yang berlebihan atau overuse (terutama pada ibu jari).
Gangguan ini biasanya terjadi setelah menggunakan pergelangan tangan berulang-ulang. Gejala
utama adalah rasa nyeri pada samping ibu jari pada pergelangan tangan dan dasar ibu jari, saat
menggenggam atau melakukan apapun dengan pergelangan tangan.
Luka langsung pada pergelangan tangan atau tendon.
Bekas luka menimbulkan bekas yang dapat membatasi pergerakan tendon.
Penyakit reumatoid arthritis.
Penyakit reumatoid arthritis juga merupakan penyebab dari de quervain syndrome karena banyak
pekerjaan yang melibatkan banyak pergerakan tangan seperti misalnya tukang kayu, pekerja
kantoran, dan pemain alat musik.
Posisi pergelangan tangan dan tangan yang tidak biasa.
Posisi pergelangan tangan dan tangan yang tidak biasa seperti pada orang tua baru yang
menggendong anaknya juga dapat memicu kondisi ini. Gejala yang sering muncul adalah nyeri
tekan, bengkak pada ibu jari dan kesulitan dalam aktivitas menggenggam. Beberapa gejala yang
dapat terjadi akibat penyakit De Quervain Syndrome menurut (Prasetya Hudaya) diantaranya
adalah : Jika ditekan terasa tidak nyaman pada daerah tersebut; Terkadang terasa adanya
hambatan gerak pada ibu jari; Adanya nyeri tekan pada proccesus styloideus radii; Gerakan aktif
menimbulkan nyeri yang hebat.
Mekanisme terjadinya De Quervain Syndrome adalah karena adanya kelelahan /trauma
kecil yang berulang-ulang secara perlahan dan makin lama semakin menjadi berat. De Quervain
Syndrome ini dapat menimbulkan degenerasi dini pada jaringan yang tertekan. Dimana terjadi
rasa sakit yang timbul dari otot yang overuse. Diagnosis untuk menegakkan apakah ini adalah de
Quervain syndrome adalah dengan menggunakan finkelstein's test. Tes ini dilakukan dengan cara
pasien mengepalkan tangannya dimana ibu jari diliputi oleh jari-jari lainnya selanjutnya
dilakukan deviasi ulner plus ekstension. Hasilnya positif jika pasien merasakan nyeri hebat
sehingga menolak untuk melanjutkan gerakan tersebut.5
Sumber: http://www.eorthopod.com/cumulative-trauma-disorder/topic/154
Carpal Tunnel Syndrome
Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan pergelangan tangan yang
diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas berulang yang
menyebabkan penekanan pada nervus medianus. Keadaan berulang ini antara lain seperti
mengetik, arthritis, fraktur pergelangan tangan yang penyembuhannya tidak normal, atau
kegiatan apa saja yang menyebabkan penekanan pada nervus medianus.1
Reumatoid Atritis
Atritis reumatoid (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan
degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan
pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada RA, inflamasi tidak berkurang
dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi
fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon mengalami inflamasi.
Inflamasi ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis
ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami
hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis
sel dan respons inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular
inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga menyebabkan
inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara lambat merusak tulang
dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas.6
Awitan RA ditandai oleh gejala umum inflamasi, berupa demam, keletihan, nyeri tubuh, dan
pembengkakan sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi, mula-mula karena inflamasi
akut dan kemudian akibat pembentukan jaringan parut. Sendi metakarpofalangeal dan
pergelangan tangan biasanya adalah sendi yang pertama kali terkena. Kekakuan terjadi lebih
parah pada pagi hari dan mengenai sendi secara bilateral. Dapat terjadi penurunan rentang gerak,
deformitas sendi, dan kontraksi otot. Nodulus reumatoid ekstrasinovial terbentuk pada sekitar
20% individu yang mengalami RA. Pembengkakan ini terdiri atas sel darah putih dan debris sel
yang terdapat di daerah trauma atau peningkatan tekanan. Nodulus biasanya terbentuk di
jaringan subkutan di atas siku dan jari tangan.6
Pajanan yang dialami
Secara garis besar, faktor-faktor ergonomi yang menyebabkan resiko MSDs dapat dipaparkan
sebagai berikut:
Repetitive Motion
Repetitive Motion atau melakukan gerakan yang sama berulang-ulang. Resiko yang timbul
bergantung dari berapa kali aktivitas tersebut dilakukan, kecepatan dalam
pergerakan/perpindahan, dan banyaknya otot yang terlibat dalam kerja tersebut. Gerakan yang
berulang-ulang ini akan menimbulkan ketegangan pada syaraf dan otot yang berakumulatif.
Dampak resiko ini akan semakin meningkat apabila dilakukan dengan postur/posisi yang kaku
dan penggunaan usaha yang terlalu besar.
Awkward Postures
Sikap tubuh sangat menentukan sekali pada tekanan yang diterima otot pada saat aktivitas
dilakukan. Awkward postures meliputi reaching, twisting, bending, kneeling, squatting, working
overhead dengan tangan mauoun lengan, dan menahan benda dengan posisi yang tetap. Sebagi
contoh terdapat tekanan/ketengan yang berlebih pada bagian low back seperti aktivitas
mengangkat benda yang dilakukan pada gambar.
Contact stresses
Tekanan pada bagian tubuh yang diakibatkan karena sisi tepi atau ujung dari benda yang
berkontak langsung. Hal ini dapat menghambat fungsi kerja syaraf maupun aliran darah. Sebagai
contoh kontak yang berulang-ulang dengan sisi yang keras/tajam pada meja secara kontinu.
Vibration
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau seluruh tubuh kontak dengan benda
yang bergetar seperti menggunakan power handtool dan pengoperasian forklift mengangkat
beban.
Forceful exertions (termasuk lifting, pushing, pulling)
Force adalah jumlah usaha fisik yang digunakan untuk melakukan pekerjaan seperti mengangkat
benda berat. Jumlah tenaga bergantung pada tipe pegangan yang digunakan, berat obyek, durasi
aktivitas, postur tubuh dan jenis dari aktivitasnya.
Duration
Durasi menunjukkan jumlah waktu yang digunakan dalam melakukan suatu pekerjaan. Semakin
lama durasinya dalam melakukan pekerjaan yang sama akan semakin tinggi resiko yang diterima
dan semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk pemulihan tenaganya.
Static Posture
Pada waktu diam, dimana pergerakan yang tak berguna terlihat, pengerutan supplai
darah, darah tidak mengalir baik ke otot. Berbeda halnya, dengan kondisi yang dinamis, suplai
darah segar terus tersedia untuk menghilangkan hasil buangan melalui kontraksi dan relaksasi
otot.
Pekerjaan kondisi diam yang lama mengharuskan otot untuk menyuplai oksigen dan
nutrisi sendiri, dan hasil buangan tidak dihilangkan. Penumpukan Local hypoxia dan asam latic
meningkatkan kekusutan otot, dengan dampak sakit dan letih (grandjean, 1980)
Sifat yang khusus dari gangguan statik termasuk didalamnya menjaga usaha dalam level yang
tinggi dalam 10 menit atau lebih, level menengah 1 menit atau lebih, atau usaha dengan level
rendah 4 menit atau lebih (grandjean 1980)
Contoh dari ganguan statik termasuk didalamnya: meningkatkan bahu untuk periode yang
lama, menggenggam benda dengan lengan mendorong dan memutar benda berat, berdiri di
tempat yang sama dalam waktu yang lama dan memiringkan kepala kedepan dalam waktu yang
lama.
Diperkirakan semua pekerjaan itu dapat di atur dalam beberapa jam per hari tanpa gejala
keletihan dalam jika menggunakan gaya yang besar tidak boleh melebihi 8 % dari maksimum
gaya otot (Graendjean, 1980)
Physical Environment; Temperature & Lighting
Pajanan pada udara dingin, aliran udara, peralatan sirkulasi udara dan alat-alat pendingin
dapat mengurangi keterampilan tangan dan merusak daya sentuh. penggunaan otot yang
berlebihan untuk memegang alat kerja dapat menurunkan resiko ergonomik. tekanan udara
panas dari panas, lingkungan yang lembab dapat menurunkan seluruh tegangan fisik tubuh dan
akibat di dalam panas kelelahan dan heat stroke. Begitu juga dengan pencahayaan yang
inadekuat dapat merusak salah satu fungsi organ tubuh, seperti halnya pekerjaan menjahit yang
didukung oleh pencahayaan yang lemah mengakibatkan suatu tekanan pada mata yang lama-
lama membuat keruasakan yang bisa fatal.
Other Condition
Kekurangan kebebasan dalam bergerak adalah dipertimbangkan sebagai faktor resiko, ketika
pekerjaan operator dengan sepenuhnya telah di perintah oleh orang lain. kandungan kerja dan
pengetahuan dipertimbangkan faktor resiko yang lain, ketiha operator hanya melakukan satu
tugas dan tidak memeliki kesempatan untuk belajar satu macam kemampuan ataun tugas.
Faktor tambahan dimasukkan organisasi asfek sosial, tidak dikontrol gangguan, ruang kerja,
beratnya bagian kerja, dan sift kerja.4
Hubungan Pajanan dengan Diagnosis Klinis
Faktor Penyebab CTDs
Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya CTDs sulit untuk
dijelaskan. Namun ada beberapa faktor resiko tertentu yang selalu ada dan berhubungan atau
memberikan kontribusi terhadap timbulnya CTDs. Faktor-faktor resiko tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pekerjaan, lingkungan dan manusia/pekerja.
Faktor pekerjaan
Beberapa faktor yang berhubungan dengan pekerjaan penyebab timbulnya CTDs adalah :
Gerakan berulang
Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang terutama pada saat
bekerja mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya CTDs. Tingkat risiko akan
bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar, dalam waktu yang sangat cepat dan
waktu pemulihan kurang.
Sikap paksa tubuh
Sikap tubuh yang buruk dalam bekerja baik dalam posisi duduk maupun berdiri akan
meningkatkan risiko terjadinya CTDs. Posisi-posisi tubuh yang ekstrim akan meningkatkan
tekanan pada otot, tendon dan syaraf.
Manual handling
Salah satu penyebab terjadinya cedera muskuloskeletal adalah pekerjaan manual
handling. Manual handling adalah pekerjaan yang memerlukan penggunaan tenaga yang besar
oleh manusia untuk mengangkat, mendorong, menarik, menyeret, melempar, dan membawa.
Peralatan kerja tidak sesuai
Penggunaan alat-alat yang menekan tajam ke telapak tangan dan menimbulkan iritasi
pada tendon bisa menyebabkan terjadinya CTDs. Cara memegang alat atau benda dengan
menekankan jari-jari ke ibu jari atau membawa benda dengan posisi pegangan pada titik yang
jauh dari pusat gravitasinya juga bisa menimbulkan CTDs.
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja yang statis sangat berpotensi mempercepat
timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat. Jika kondisi seperti ini berlangsung
tiap hari dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot,
sendi, tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain. Semua gangguan akut dan kronis tersebut
merupakan bentuk dari gangguan muskuloskeletal yang biasanya muncul sebagai : Arthritis pada
sendi akibat tekanan mekanis; Inflamasi pada sarung pelindung tendon (tendinitis,
peritendinitis); Inflamasi pada titik sambungan tendon; Gejala-gejala arthrosis (degenerasi sendi
kronis); Kejang dan nyeri otot; Gangguan pada diskus intervertebral pada tulang belakang.
Kelelahan/Fatique
Setelah pekerja melakukan pekerjaannya maka umumnya terjadi kelelahan, dalam hal ini
kita haruswaspada dan harus kita bedakan jenis kelelahannya, beberapa ahli
membedakan/membaginya sebagai berikut :kepala, bahu, tangan, punggung dsbnya. Beban yang
terlalu berat
Kelelahan fisik
Kelelahan fisik akibat kerja yang berlebihan, dimana masih dapat dikompensasi dan
diperbaikiperformansnya seperti semula. Kalau tidak terlalu berat kelelahan ini bisa hilang
setelah istirahat dantidur yang cukup.
Kelelahan yang patologis
Kelelahan ini tergabung dengan penyakit yang diderita, biasanya muncul tiba-tiba dan
berat gejalanya
Psikologis dan emotional fatique
Kelelahan ini adalah bentuk yang umum. Kemungkinan merupakan sejenis “mekanisme
melarikan diri dari kenyataan” pada penderita psikosomatik. Semangat yang baik dan motivasi
kerja akan mengurangi angka kejadiannya di tempat kerja.
Upaya kesehatan kerja dalam mengatasi kelelahan, meskipun seseorang mempunyai batas
ketahanan, akan tetapi beberapa hal dibawah ini akan mengurangi kelelahan yang tidak
seharusnya terjadi : Lingkungan harus bersih dari zat-zat kimia. Pencahayaan dan ventilasi harus
memadai dan tidak ada gangguan bising· Jam kerja sehari diberikan waktu istirahat sejenak dan
istirahat yang cukup saat makan siang.7
Patofisiologi
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah kelainan yang disebabkan penumpukan cedera
atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem musculoskeletal akibat trauma berulang yang setiap
kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk
menimbulkan rasa sakit. (Humantech, 1995). Trauma jaringan timbul karena kronisitas atau
berulang-ulangnya proses penggunaan tenaga yang berlebihan (overexertion), perengangan
berlebihan (overstretching), atau penekanan lebih (overcompression) pada suatu jaringan.
Jaringan yang bisa terkena, yaitu : tendon sarung tendon saraf pembuluh darah ligamen dari
tangan pergelangan tangan, siku bahu leher pinggang pangkal paha lutut pergelangan kaki.
Gerakan yang berulang-ulang ini akan menimbulkan ketegangan pada syaraf dan otot
yang berakumulatif. Dampak resiko ini akan semakin meningkat apabila dilakukan dengan
postur/posisi yang kaku dan penggunaan usaha yang terlalu besar.4,7
Sumber: http://www.sportdc.com/art/leahy_art.shtml
Epidemiologi
Di banyak negara frekuensi CTD cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sehingga
menjadi masalah kesehatan kerja yang penting. Penetilian di Prancis mengenai perhitungan
statistic resmi tuntutan jaminan asuransi, menyatakan bahwa jumlah pekerja dengan kelainan ibi
pada tahun 1994 ternyata 6 kali lebih tinggi dibandongkan tahun 1885 dan mencapai 50% dari
seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan saat itu. Banyak diantara penderita tersebut
menjadi cacat dan kehilangan banyak jam kerja.
Pada awal tahun 1980-an pernah terjadi epidemic penyakit ini di Australia, Jumlah
pekerja wanita yang mendapat tuntutan jaminan asuransi pada tahun 1984-1985 ternayat 5 kali
lebih tinggi dibanding tahun 1980-1981. Insiden kumulatif pada tahun 1984-1985 mencapai 343
per 1000 pekerja. Tetapi adanya intervensi ergonomis maka terdapat perbaikan dari tahun ke
tahun. Sampai saat ini belum ada angka yang signifikan jumlah penderita CTD diakibatkan
belum adanya kesesuaian pemahaman para peneliti tentang defines dan sistem klasifikasi
penyakit ini dan sangat variasi perilaku aktivitas subjek penetilian, serta bermacam-macam
metode dan kriteria diagnosis.
Penyakit ini lebih banyak menderita pada awanita usia 20-50 tahun. Prevalensi CTD
pada komunitas pekerja 5-20%. Pada pekerja industry prevalensi leonyakit ini 37,7%, pengolah
ikan kemasan 28%, karyawan bank 22%, pengemas produk bubur detergen 19,7%. 7
Manifestasi klinis
Gejala Musculoskeletal disorders (MSDs) dapat menyerang secara cepat maupun lambat
(berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada 3 tahap terjadinya MSDs yang dapat
diidentifikasi yaitu:
Tahap 1: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini biasanya
menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada performance kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat
Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja. Tidak
mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya performance kerja
Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak
secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak
sesuai kapasitas kerja.8
Faktor individu yang berperan
Umur
Pada umumnya keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada umur 30 tahun dan
semakin meningkat pada umur 40 tahun ke atas. Hal ini disebabkan secara alamiah pada usia
paruh baya kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga resiko terjadinya keluhan pada
otot meningkat.
Jenis kelamin
Otot-otot wanita mempunyai ukuran yang lebih kecil dan kekuatannya hanya dua pertiga
(60%) daripada otot-otot pria terutama otot lengan, punggung dan kaki. Dengan kondisi alamiah
yang demikian maka wanita mempunyai tingkat risiko terkena CTDs lebih tinggi. Perbandingan
keluhan otot antara wanita dan pria adalah 3 dibanding 1.
Ukuran tubuh / antropometri
Meskipun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan massa tubuh
mempengaruhi terjadinya keluhan otot. Misalnya wanita yang gemuk mempunyai risiko keluhan
otot dua kali lipat dibandingkan wanita kurus. Ukuran tubuh yang tinggi pada umumnya juga
sering menderita sakit punggung. Kemudian orang-orang yang mempunyai ukuran lingkar
pergelangan tangan kecil juga lebih rentan terhadap timbulnya CTDs.
Kesehatan / kesegaran jasmani
Pada umumnya keluhan otot lebih jarang ditemukan pada orang yang mempunyai cukup
waktu istirahat dalam aktivitas sehari-harinya. Laporan dari NIOSH menyebutkan bahwa tingkat
kesegaran tubuh yang rendah mempunyai tingkat keluhan 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang
3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi sebesar 0,8%.
Tanyakan juga kepada pasien:
- Apakah pasien ada riwayat alergi/atopi?
- Apakah adanya riwayat pajanan serupa sebelumnya sehingga resikonya meningkat?
- Apakah ada riwayat penyakit dalam keluarga yang mengakibatkan penderita lebih
rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami?.4
Faktor lain di luar pekerjaan
Faktor lingkungan
Getaran mekanis
Getaran atau vibrasi adalah suatu gerakan osilatoris dalam area frekuensi infrasonik dan
sebagian dalam rentang frekuensi suara yang bisa didengar manusia. Respon tubuh manusia
terhadap getaran sangat bergantung pada bagian atau anggota-anggota tubuh yang terpapar.
Semakin kecil bentuk anggota tubuh maka semakin cepat gerakan atau getaran yang ditimbulkan
dan semakin tinggi frekuensi resonansinya.
Mikroklimat
Paparan suhu dingin maupun panas yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,
kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak dan
kekuatan otot menurun.7
Diagnosis Okupasi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu Ergon (kerja) dan Nomos (hukum alam)
dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya
yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, dan desain/perancangan.
Ergonomi berhubungan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan
manusia di tempat kerja, di rumah ataupun di tempat rekreasi. Ergonomi juga disebut
sebagai human factor yang berarti menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya.
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain)
ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software). Perangkat keras berkaitan dengan mesin (perkakas kerja/tools, alat
peraga/display, conveyor dan lain-lain) sedangkan perangkat lunak lebih berkaitan dengan sistem
kerjanya seperti penentuan jumlah istirahat, pemilihan jadwal pergantian shift kerja, rotasi
pekerjaan, prosedur kerja dan lain-lain.4,7
Putz-Anderson (1988) menulis mengenai pedoman mengenai keadaan ini dan
memperkenalkan istilah Cumulative Trauma Disorder yaitu merupakan gangguan akibat ruda
paksa berulang. Faktor yang memperbesar perkembangan kelainan akibat ketegangan berulang
meliputi hal berikut: (1) pekerjaan yang sangat berulang (2) pekerjaan yang membutuhkan
sejumlah tenaga kerja atau menggunakan tenaga pada lengan. (3) postur yang janggal sewaktu
melaksanakan tugas tertentu.(4) tidak cukup waktu istirahat sehingga menjadi sangat letih. (5)
tenaga kerja yang sudah berumur dengan daya tahan yang berkurang terhadap pemakaian yang
merusak. (6) kepuasan dalam bekerja.2
Penatalaksanaan
Untuk kasus akut, satu-satunya pengobatan yang terbaik adalah dengan mengurangi
aktivitas fisik pada anggota tubuh bagian atas yang sakit. Sedangkan untik kasus yang
menahun/kronis, diperlukan terapi dengan cara menggerakan lengan yang sakit tanpa/dengan
beban dengan meningkatkan kecepatan dan durasi secara perlahan-lahan, tetapi ini harus
dilakukan dibawah pengawasan petugas medis. Pemeberian obat-obatan analgesic dan
antiinflamasi sangat membantu untuk mengurangi rasa nyeri.
Tindakan pembedahan biasanya dilakukan dalam bentuk dekompresi saraf, umumnya
dilakukan pada kasus sindroma terjepitnya saraf tepi. Untuk kasus menahun, diperlukan
rehabilitasi medik dan vokasional, agar pasien dapat mengembalikan kapasita fisik dan
mentalnya.7
Pencegahan
Usaha menciptakan lingkungan kerja yang dapat:
Mengurangi angka cedera dan kesakitan dalam pekerjaannya
Menurunkan biaya kecelakaan kerja
Menurunkan kunjungan berobat
Mengurangi ketidakhadiran pekerja
Meningkatkan produktivitas, kualitas dan keselamatan kerja
Meningkatkan tingkat kenyamanan pekerja dalam bekerja
Selanjutnya, diperlukan intervensi ergonomi yang memadai seperti:
Memperbaiki lingkungan kerja, peralatan dan organisasi tugas kerja menurut prinsip-prinspi
ergonomi, seperti perubahan tinggi meja kerja, tempat duduk, desain mesin dan peralatan kerjam
banyaknya frekuensi dan variasi gerakan yang dilakukan agar sesuai dengan kapasitas fisik dan
mental para pekerja
Memberikan variasi untuk tugas-tugas yang berisiko menimbulkan hal ini. Sedapat
mungkin, dalam setiap pekerjaan harus terdapat kombinasi antara pekerjaan dengan gerakan
berulang/posisi tugas yang kurang nyaman dengan pekerjaan lain yang dapat memberikan
istirahat bagi otot-otot yang mengalami kelelalahan.
Fasilitas rekreasi dan istirahat harus disediakan di tempat kerja.· Waktu untuk liburan harus
diberikan pada semua pekerja· Kelompok pekerja yang rentan harus lebih diawasi misalnya;-
Pekerja remaja- Wanita hamil dan menyusui.- Pekerja yang telah berumur- Pekerja shift-
Migrant.· Para pekerja yang mempunyai kebiasaan pada alkohol dan zat stimulan atau
zat addiktif lainnya perludiawasi. Pemeriksaan kelelahan: Tes kelelahan tidak sederhana,
biasanya tes yang dilakukan seperti tes pada kelopak mata dan kecepatan reflek jari dan
mata serta kecepatan mendeteksi sinyal, atau pemeriksaan pada serabut otot secara elektrik dan
sebagainya.7
Kesimpulan
Cumulative trauma disorder (CTD) merupakan penyakit akibat kerja. Dimana pada
skenario ini diketahui bahwa pasien memiliki pekerjaan sebagai penjual rujak ulek yang
mengharuskan pasien melakukan gerakan berulang sepanjang hari dan tidak mempunyai jam
kerja yang pasti. Maka dapat ditentukan CTD adalah diagnosis okupasi yang merupakan
penyakit akibat kerja dikarenakan tidak ada faktor lain dan kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan penyakit ini selain pekerjaan pasien.
Daftar pustaka
1. Hartanto H. kamus ringkas kedokteran Stedman untuk profesi kesehatan. Edisi 4. Jakarta:
EGC; 2005.h.280.
2. Jeyaratnam J. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2010. H.199-200
3. Gleade J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga. 2007. h.40-41
4. Hiperkes. Cumulative trauma disorder. Diunduh dari:
http://konsulhiperkes.wordpress.com/2008/12/31/cumulative-trauma-disorers-ctds/
#respond. 17 Oktober 2014.
5. Sindroma de quervain. Diunduh dari
http://medicastore.com/penyakit/3091/Sindroma_De_Quervain.html. pada tanggal 17
Oktober 2014.
6. Corwin E.J. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. h. 167-9, 347-8.
7. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta: EGC. 2009. h. 223-38.
8. Suratun, dkk. Kelainan gangguan sistem musculoskeletal. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC. 2008. h. 110 – 14.