makalah pbl

91
BAB I PENDAHULUAN Pada banyak individu proses fisiologis tertentu menurun bersamaan dengan penuan (misalnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi, imunitas seluler). Meningkat dengan bertambahnya usia perbedaan yang jelas tentang bagaimana proses penyakit bermanisfestasi pada usia lanjut usia, di bandingkan dengan pasien muda, juga sangat penting. Sementara itu, gejala yang timbul pada lanjut usia, yang menyatakan bahwa pasien sakit, ,umgkin meyesatkan dalam dalam hal sifat dan lokasi proses penyakit primer. Pada pasien lanjut usia kita juga harus mempertimbangkan faktor lain seperti dehidrasi akibat berbagai etiologi, infeksi, gangguan jantung yang menghasilkan gagal jantung tersembunyi, dan sebagainya. Dengan meelihat kasus yang di berikan kelompok kami mendaptkan pasien seorang laki-laki berumur 77 th mengeluhan saat berjalan pandangan berputar putar, mual, lutut sakit bila berjalan dan bila bangun dari duduknya berbunyi kretek, saat berbicara sering cadel, sering lupa, dan punya riwayat kencing manis sejak 2 th lalu. 1

Upload: stefany-fany

Post on 08-Sep-2015

44 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

OA

TRANSCRIPT

BAB I

BAB IPENDAHULUANPada banyak individu proses fisiologis tertentu menurun bersamaan dengan penuan (misalnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi, imunitas seluler). Meningkat dengan bertambahnya usia perbedaan yang jelas tentang bagaimana proses penyakit bermanisfestasi pada usia lanjut usia, di bandingkan dengan pasien muda, juga sangat penting. Sementara itu, gejala yang timbul pada lanjut usia, yang menyatakan bahwa pasien sakit, ,umgkin meyesatkan dalam dalam hal sifat dan lokasi proses penyakit primer. Pada pasien lanjut usia kita juga harus mempertimbangkan faktor lain seperti dehidrasi akibat berbagai etiologi, infeksi, gangguan jantung yang menghasilkan gagal jantung tersembunyi, dan sebagainya.Dengan meelihat kasus yang di berikan kelompok kami mendaptkan pasien seorang laki-laki berumur 77 th mengeluhan saat berjalan pandangan berputar putar, mual, lutut sakit bila berjalan dan bila bangun dari duduknya berbunyi kretek, saat berbicara sering cadel, sering lupa, dan punya riwayat kencing manis sejak 2 th lalu.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum: baik

Kesadaran : Compos mentis : TD 110/65

NADI ; 72X/menit

Jantung : murmur (-)

Pulmo : ronkhi (-)

Hepar dan lien tidak teraba

Kulit ; berkerut turgor kurang

Extremita superior : tremor pada kedua tangan

Pemeriksaan lab:

GDS 275 mg/dl

GD puasa 80-105mg/dl

Dengan data diatas kelompok kami mendiagnosis bahwa pasien tersebut mengalami vertigo, osteoartitis, Parkinson,dementia, DM tipe II terkendali, dan hiperfusi ortosstatik.Maka di makalah ini saya akan membahas tentang keenam penyakit diatas.

BAB IIOESTEOARTITIS2.1 PENDAHULUAN

Oesteoartritis (OA) merupakan penyakit generatif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA, prevelansi OA lutut radiologis di indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh saat melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat di rasakan terus-menerus sehingga sangat menganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya kronik progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negar maju maupun di negara berkembang.

Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalya dengan pengendalian faktor-faktor resiko,latihan, intervensi fisioterapi, dan teraoi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurrangi keluhan nyeri OA, biasanya digunakan analgetik atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). 12.2 ANAMNESISAnamnesis difokuskan mengenai:

Profile pasien (umur, pekerjaan) Faktor resiko

Faktor yang memperberat dan meringankan

Onset dan durasinya (akut atau kronik)

Ada tidaknya inflamasi sendi

Lokasi/ distribusi sendi yang terkena

Riwayat trauma

Riwayat penyakit keluarga

Perjalanan keluhan nyeri sendi apakah bersifat akut atau kronik

Karakteristik nyeri apakah termasuk nyeri ringan, sedang atau berat2.3 PEMERIKSAAN 2.3.1 Pemeriksaan Fisik

Hambatan Gerak

Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).

Krepitasi

Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambahnya beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar samapi jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi.

Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat mengubah permukaan sendi.

Tanda-Tanda Peradangan

Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki, dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.

Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.

Perubahan Gaya Berjalan

Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada senid-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoarthtitis juga menimbulkan gannguan fungsi.22.3.2 Pemeriksaan PenunjangRadiografis

Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih cangih

Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :

Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menggung beban) Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral

Kista tulang

Oseofut pada pinggir sendi

Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, sevcara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.

2.3.3 Pemeriksaan LaboratoriumHsil pemeriksaan pada OA biasanya ak banyak berguna. Darah tepi (emoglobin,laju endap darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan immunologi (ANA, rematoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disetai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang peningkatan ringan sel peradangan ( 50 tahun

kaku sendi < 30 menit

krepitus pada gerakan aktif

pembesaran sendi

nyeri tulang

tidak hangat pada perabaan

2. berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan radiologi: nyeri lutu dan 1 diantara berikut ini

umur 50 tahun

kaku sendi < 130 menit

krepitus pada gerakan aktif dan osteofit

3. berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan labortorium nyeri lutut dan 5 diantara berikut ini:

umur >50tahun

kaku sendi < 30 menit

krepitus pada gerakan aktif

pembesaran sendi

nyeri tulang

tidak hangat pada perabaan

led < 40 mm/jam

rheumatoid faktor < 1:40

analisis cairan sendi menunjukan OA32.6 EPIDEMIOLOGI/FAKTOR RESIKO

OA adalah penyakit sendi yang paling sring ditemukan pada manusia. OA lutut merupakan penyebab utama hendaya (disability) kronik di negara-negara berkembang. Dibawah usia 55 tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan sama pada orang yang berusia lebih tua, OA panggul lebih sering pada laki-laki, sedangkan OA sendi antarflang dan pangkal jempol sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan prevalens OA dan pola kertelibatan sendi. OA sendi antarflang, dan terutama, OA panggul lebih jarang padaa orang berkulit hitam afrika selatan dari pada kulit putih pada populasi yang sama. Tidak di ketahui apakah karena keturunan genetik atau karena gaya hidup dan perkejaan.

Faktor tertinggi OA adalah usia. Peningkatan prigresif prevalensi OA dijumpai seiring dengan peningkatan usia. Pada survai radiografik terdapat perempuan berusia kurang dari 45 tahun hanya 2% menderita OA namun antara, usia 45 dan 65 tahun angkanya 68 %. Pada laki-laki, angkanya serupa tapi sedikit lebih rendah pada kelompok usia tua. Trauma besar dan pengunaan sendi berulang merupakan risiko untuk OA. Kerusakan tulang rawan atau sendi dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya, bahkan tulang rawan yang normal akan mengalami degenerasi bila sedikit tidak stabil.

Pola keterlibatan sendi dipengaruhi oleh beban yang berkaitan dengan perkejaan (vokasioanal) atau avokasioanl sebelumnya. Sementara keterkaitan antara kegemukan dan OA lutut telah lama diketahui, hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini di buktikan. Untuk orang yang memiliki masa tubuh berada di quintile teritmggi pada pemeriksaan dasar, risiko relatif mengalami OA lutut dalam 36 tahun mendatang adalah 1,5 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Untuk OA lutu yang parah, resiko relatif menibgkat menjadi 1,9 untuk laki-laki dan 3,2 umtuk perempuan, yamg mengisyaratkan bahwa kegemukan berperan besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. Sementara nyeri sendi merupakan utama yang menyebabkan pasien OA mencari pengobatan, hubungan antara keparahan patologik OA dan gejala tidak erat. Faktor resiko untuk nyeri dan kecacatan pada pasien belom diketahui. Untuk tingkat keparahan patologi yang sama, gejala lebih besar kemungkinannya timbul pada perempuan dari pada laki-laki, pada mereka yang mendapat santunan daripada yang bekerja.42.7 ETIOLOGIa) Usia lebih dari 40 tahunb) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria

c) Suku bangsa

d) Genetik

e) Kegemukan dan penyakit metabolik

f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga

g) Kelainan pertumbuhan

h) Kepadatan tulang2.8 PATOGENESISPatogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis dianggap suatu proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits didapatkan peran sitokin inflamasi dalam patogenesisnya.

OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara lain karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang berlebihan,defek anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan. Mikrofaktor pada permukaan rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis glikosaminaglikan serta poliferasi kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon suatu trauma rawan sendi dengan memproduksi sitokin antara lain interleukin Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi. OA sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder.

2.9 KOMPLIKASIPada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan

Nyeri SendiKeluahan ini merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih di bandingkan dengan gerakan yang lain. Hambatan Gerakan SendiGannguan ini niasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.

Kaku Pagi

Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama tau bahkan setelah bangun tidur

Krepitasi

Rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.

Pembesaran Sendi (Deformitas)Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya secara pelan-pelan membesar.

Perubahan Gaya Berjalan Geajala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki,tumit, lutut tau panggul berkembang menjadi pincang. Gannguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua. 2.10 PENATALAKSAAN OSTEOARTHTITIS Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi serta memperbaiki kualitas hidup penderita Langkah 1 : nonfarmakologi a. penyuluhan penderita b. bantuan tenaga sosial profesioanl

c. latihan aerobik

d. menurunkan berat badan

e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang nyaman.f. Diet yang bergizi

Langkah 2 :

Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih dari 4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal.

Langkah 3:

Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung. Pada penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat dosis 200-300 mg.Langkah 4 : Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi steroid intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).

Langkah 5 :

Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal misalnya metilsalisilat atau capsaicin.

Langkah 6 :

Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)4Nama generikNama dagangDosis hariancatatan

Ibuprofen

Ketoprofen

Naproksen

Diklofonak

Etodolak

Indometasin

Piroksikam

Meloksikam

Nabumeton

Celecoxib

etoricoxibAnafen,bufect

Profenid,kaltrofen

Naxen,synflex

Voltaren,altranac

Lodine

Dialon

Rexil,feldene

Atrilox,loxinic

Goflex

Celebrex

arcoxia5-40mg/kg

150-300mg

1000-2000mg

100-200mg

600-1200mg

75-200mg

20mg

7.5-15mg

1000-1500mg

200-800mg

60-120mgAman untuk anak >6thDosis pd gang,hati,ginjal,lansiaDosis pd gang,hati,ginjal,lansia

Dapat enz.tranaminase hati

Digunakan untik terapi PDA

Dosis pd gang hati dan lansia

Lansia: max 1000mg

Kl pada alergi sulfonamid

2.12 PROGNOSIS

Kita harus memutuskan apakah pengobatan osteoarthritis saja akan memperbaiki fungsi sendi yang sakit ataukah pengobatan tentang masalah yang lainnya juga diperlukan. Disamping itu keberadaan penyakit lain (misalnya penyakit renal,ulkus peptikum dan hipertensi ) dapat membuat pengobatan osteoartritis menjadi lebih berbahaya dan sulit dilaksanakan.

Pasien harus diberatahu dahulu mengenai sifat penyakitnya dan apa yang bisa diharapkan secara realistik dari pengobatan yang akan didapatkannya.harapan yang tidak realistik dapat menimbulkan frustasi dan depresi disamping kesalahpahaman antara pasien dan dokter.

Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun

BAB III

VERTIGO3.1 Pendahuluan

Dizziness merupakan gangguan yang seringkali membingungkan para ahlu dalam penanganannya secara tuntas, meskipun gangguan ini banyak dialami terutama pada usia lanjut, dan tidak mematikan. Hal ini berkaitan dengan akibat yang timbul yaitu fall yang dapat terjadi luka, patah tulang, atau takut untuk beraktivitas. Banyak pasien dengan dizziness kronis terutama lanjut usia tingkat rujukan untuk konsultasi ke spesialis masih rendah, sehingga terapi yang tepat terlambat diberikan.

3.2 Pembahasan

Dizziness adalah sensasi, kepala terasa ringan, seperti akan pingsan, berputar, perasaan mabuk, dan bisa juga tidak mengarah, seperti gangguan mental, pandangan kabur, pusing, atau perasaan perih.

Dizziness merupakan keluhan yang sering dijumpai pada lanjut usia, prevalensinya berkisar 30% pada individu yang berusia >65 tahun. Sebanyak 2% konsultasi di pelayanan primer menyangkut dizziness, dan dizziness merupakan penyebab utama nomor 14 penderita datang berobat ke spesialis dalam. Prevalensi sedikit, dari 1622 (>60 tahun) di masyarakat didapat Dizziness 29,3% dan dalam 1 tahun prevalensinya 18,2%. Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi tidak dikaitkan dengan risiko kematian, bahayanya besar, ada hubungan dengan kesehatan menurun.

3.3 Etiologi dan Akibat

Penyakit yang mengancam jiwa pada dizziness umumnya jarang. Tetapi dizziness berkaitan dengan banyak hendaya fungsional yang serius, seperti peningkatan risiko untuk roboh, ketakutan akan roboh, ansietas atau depresi, dan hilangnya kemandirian pada lansia.

Penyebab Dizziness Jonsson & Lipsitz (1994) secara ringkas dibagi 2, (1) berkaitan dengan usia dan (2) berkaitan dengan gangguan pada saraf, sistemik, psikiatrik dan gabungan dari hal tersebut. Sedangkan Kroenke dkk. (2000); Adelman (2001); Wasilah Rochmah & Probosuseono (2006) lebih rinci sesudah menganalisis, sebagai penyebab dizziness adalah :

a. vestibuolpati perifer (antara lain Benign Positional vertigo = BPV=VPB,Labirintis, Penyakit Meniere,dll) sebesar 38-44%.

b. vestibulopati sentral. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering siring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang baru terjadi disertai dengan simptom lain harus dipikirkan kemungkinan gangguan sistem saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya diperlukan sebesar 10-11%

Untuk menegakkan diagnose dizziness, ada beberapa algoritma tetapi secara ringkas umumnya berdasar orientasi penyakit, yaitu klinisi berusaha untuk mengeksklusi penyebab yang fatal, dan mungkin juga berusaha mencari penyebab yang spesifik lalu memberikan terapi yang sesuai.

Dizziness pada lanjut usia termasuk sindrom geriatric karena menggambarkan disfungsi pada satu atau lebih system tubuh, dan mempunyai berbagai macam factor risiko predisposisi yang beragam, antara lain : ansietas, depresi, menggunakan lima atau lebih macam obat, gangguan keseimbangan, infark miokard terdahulu, hipotensi postural.

3.4 Macam (SUBTIPE) Dizziness

Drachman dan Hart membagi dizziness menjadi empat tipe, yaitu :

Vertigo

Presinkop

Disekuilibrium

Kepala yang terasa ringan tapi samar-samar diluar vertigo, sinkop, atau disekuilibrium.

VertigoVertigo merupakan suatu sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya berputar. Seringkali vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat umumnya dibarengi mual, muntah, dan jalan yang terhuyung-huyung. Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer sebanyak 54 %.

Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal positional vertigo(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan (alcohol, aminoglikosida, antikejang, antidepresan, antihipertensi, barbiturate, kokain, diuretic, nitrogliserin, kuinin, salisilat, sedatif), penyakit serebrovaskular, migrain, labirinitis akut, multiple sklerosis, dan neoplasma intracranial. Penyebab vertigo bisa perifer atau sentral. Diagnosis banding dari vertigo adalah vestibular perifer (berasal dari system saraf perifer), vestibular sentral(berasal dari system saraf sentral), dan kondisi lain.

Penyebab Vertigo Perifer

A. Benign paroxysmal positional vertigo(BPPV)

Benign paroxysmal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat tidur. BPPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan symptom pada pasien. BPPV kadang kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis BPPV dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike (kadang disebut juga dengan tes Barany atau Nylen-Barany).

Terapi dari BPPV saat ini adalah maneuver Epley ataupun senam vertigo, yang bertujuan untuk merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkuler posterior kedalam vestibula dari vestibular laburun agar tidak vertigo lagi saat menggerakkn kepala, atau untuk desensitisasi.B. Labirintitis

Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibular perifer, kelainan ini sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari atau beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular.C. Penyakit Meniere

Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik burned out yang ditandai oleh hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang.

Penyebab Vertigo Sentral

Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang dari 10 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awalnya baru terjadi disertai dengan symptom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau symptom neurologis) harus dipikirkan kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan.

Riwayat Penyakit

Yang perlu diperhatikan pada riwayat penyakit adalah :

(1) Awitan, dan perjalanan dari symptom.

(2) Simptom dari dizziness dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan menurut perkataan pasien sendiri penting, karena penelitian yang dilakukan oleh Kwong dan Pimlott menunjukkan diagnosis umumnya dapat ditegakkan bila pasien menjelaskan dizzinessnya berdasarkan perkataanya sendiri.

(3) Subtipe dari dizziness

(4) Terapi/ obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.

3.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik, kardiovaskular,neurootologik, tajam penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem pemijatan sinus karotis, maneuver Hallpike, status kognitif, symptom depresi, dan ansietas.

Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup jantung, dan bruit karotis.

Pemeriksaan neurotologik mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf cranial, evaluasi telinga luar, dan tengah, dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke telinga dan dievaluasi terjadinya vertigo dan nistagmus. Hasil positif menunjukkan adanya fistula dari labirin bisa karena kolesteatoma, atau infeksi.

Tes Romberg dan tes langkah tandem ditujukan untuk mengevaluasi komponen vestibular, propioceptive, dan serebelar.

Pemijatan sinus karotis dilakukan dibawah pengawasan yang ketat, diperlukan monitoring elektrokardiograf (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat carotid bruit, mendapat digoksin, riwayat stroke, atau terdapat tanda stenosis aorta.\

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan penunjang lain juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan tersebut harus berdasarkan pendekatan sistematis. Audiogram lengkap harus dilakukan pada paisen dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat kelainan pada pemeriksaan neurootologik. Elektro- nistamografi (ENG) adalah pemeriksaan yang dapat membantu membedakan disfungsi vestibular sentral atau perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan keluhan vertigo atau terdapat temuan dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistagmus.

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses. Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses. CT dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.

Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness. Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan 24 jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop.

Cara terbaik untuk mengevaluasi dizziness pada lanjut usia yang melibatkan kelompok dizziness dan control. Hasil pemeriksaan darah, EKG, ENG, dan MRI tidak dapat membedakan antara kelompok dizziness dan control. Yang membedakan antara kedua kelompok adalah posturografi (suatu teknik yang dapat mendeteksi goyangan saat berdiri), dan assessment klinis. Assessment klinis meliputi pemeriksaan fisik, provokasi dizziness (seperti hiperventilasi, memutar kepala, tes Romberg, dan perubahan postural), dan assessment psikologis. Penelitian lain juga menunjukkan Pemeriksaan MRI rutin tidak dapat membedakan antara kelompok dizziness dengan control. 3.7 Penatalaksan

Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit yang mendasarinya, sebaiknya secara multi disiplin dan inter disiplin. Langkah penghentian obat atau penetusnya, aan dan atau segera merujuk lebih lanjut ke ahli yang lain yang kompeten dibidangnya. Pengobatan simptomatik dapat menggunakan sedative (efek sementara). Setiap pemberian medikasi pada usia lanjut harus dipertimbangkan untung ruginya ( memperhatikan efek samping, misalnya falls, bingung).

Apabila sebabnya vertigo perifer (BPPV) dapat diberikan desensitasi dengan latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo.BAB IV

DIABETES MELITUSDiabetes MellitusTipe II tidak tergantunginsulin/Non-Insulin Dependant Diabetes Mellitus (NIDDM).4.1 ANAMNESIS

Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat kencing manis diketahui sejak 2 tahun yang lalu.

4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

I. Glukosa darah sewaktu

II. Kadar glukosa darah puasa

III. Tes toleransi glukosa

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

4.3 WORKING DIAGNOSIS

Diabetes Mellitus tipe 2 terkendali.4.4 EPIDEMIOLOGI

Diabetes mellitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada decade ke 7 kekerapan diabetes mencapau 3 sampai 4 kali lebuh tinggi daripada rata-rata orang dewasa. Pada keadaan dengan kadar glukosa tidak terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit atau ke dokter. Ada juga yang didiagnosis sebagai diabetes tetapi karena kekurangan biasanya pasien tidak berobat lagi. Hal ini menyebabkan jumlah pasien diabetes yang tidak terdiagnosis lebih banyak daripada yang terdiagnosis.

Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat dengan disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak dan pola makan tidak sehat.

4.5 ETIOLOGI

Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia:1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin.2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskuler.3. Obesitas, banyak makan.4. Aktivitas fisik yang kurang5. Penggunaan obat yang bermacam-macam.6. Keturunan7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress4.6 GEJALA DAN TANDA KLINIS

Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatanlazim., gejala-gejala akibat DM pada lansua yang sering ditemukan adalah :

1. Katarak

2. Glaukoma3. Retinopati4. Gatal seluruh badan5. Pruritus Vulvae6. Infeksi bakteri kulit7. Infeksi jamur di kulit8. Dermatopati9. Neuropati perifer10.Neuropati viseral11.Amiotropi12.Ulkus Neurotropik13.Penyakit ginjal14.Penyakit pembuluh darah perifer15.Penyakit koroner16.Penyakit pembuluh darah otak17.Hipertensi

4.7 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related insulin resistance atau aged related insulin sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3

Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran.1Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:1,2

Penurunan aktifitas fisik

Peningkatan lemak

Efek penuaan pada kerja insulin

Obat-obatan

Genetik

Penyakit lain yang ada

Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2. Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi

perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebihtampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (350 m Osm/L)4.11 PROGNOSIS

Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10 tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia. Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak).

Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).BAB V

DIMENSIA5.1 PENDAHULUAN

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.

Demensia menyerang daya ingat seseorang yang umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada orang yang berusia > 65 tahun. Di Indonesia sering menganggap bahwa demensia ini merupakan gejala yang normal pada setiap orang tua. Namun kenyataannya, suatu persepsi yang mengatakan bahwa setiap orang tua mengalami gangguan atau penurunan daya ingat adalah suatu proses yang normal saja adalah salah. Anggapan ini harus dihilangkan dari pandangan masyarakat kita yang salah. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama makin parah. Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi penderita demensia bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.5.2 Faktor resiko yang sering menyebabkan lanjut usia terkena demensia adalah :

usia,

riwayat keluarga,

jenis kelamin perempuan.Demensia tidak selalu menyerang orang tua. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak.

5.3 Anamnesis

Karena pasien demensia kehilangan daya ingat, daya pikir, rasionalitas, kepandaian bergaul dan apa yang disebut sebagai reaksi emosi normal,maka anamnesis dilakukan kepada pemberi informasi (keluarga atau kerabat terdekat). Anamnesis terdiri dari :

menanyakan identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.

menanyakan keluhan utama: pernyataan tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Contoh : sering lupa dan mudah tersinggung

Riwayat penyakit sekarang (RPS): pastikan gejala dimensia dengan menjelaskan dimensia berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, lokasi anatomi dan penyebarannya, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan, intermitten. Riwayat keluarga dan psykososial yang berkaitan dengan keluhan utama atau masalah kesehatan lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): pengobatan yang dijalani sekarang, termasuk OTC, vitamin dan obat herbal. Menanyakan tentang pemeliharaan kesehatan pasien atau faktor pemicu dan keluhan penyerta.

5.4 Pemeriksaan

- Pemeriksaan fisis dan neurologis

Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan peglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut, defisit sensorik seperti ini sering terjadi.

- Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik

Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat diekrjakan, berupa 30 point test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata.

Sebagai contoh pasien dengan demensia vaskuler sering menunjukan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial.

Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga.

- Pemeriksaan penunjang

Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/ darah, dan Apolipoprotein E.

Selain itu pemeriksaan penunjang lain yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer/sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white matter yang luas. Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskuler. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam penelitian.

5.5 Diagnosis

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai dengan Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV). Adapun kriterianya adalah :

- munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut :

a. gangguan memori

b. satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif.

- defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

5.6 Epidemiologi

Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalansi dimensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih adalah 5,6 %. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body, demensia fronto temporal (FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson.

Proporsi perempuan yang mengalami Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan Alzheimer adalah hipertensi, atau diabetes melitus.

Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama mempunyai resiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer walaupun sebagian besrar pasien tidak mempunyai riwaya keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculny alel ini merupakan faktor utama yang mempermudh seseorang menderita Alzheimer.

5.7 Etiologi/penyebab

Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena penyakit ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau dipengaruhi oleh beberapa kelainan gen tertentu.

Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak.Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan mikroskopik yang terjadi di dalam otak.

Penyebab ke-2 tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut infark.Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.

Penyebab lain dari demensia adalah:

- Penyakit Pick

- Penyakit Parkinson

- AIDS

- Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Hidrosefalus bertekanan normal terjadi jika cairan yang secara normal mengelilingi otak dan melindunginya dari cedera, gagal diserap sebagaimana mestinya. Hidrosefalus ini menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi mental tetapi juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan.

Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali mengalami demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga menderita hidrosefalus.

Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami pseudodemensia. Mereka jarang makan dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan pada demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka.

5.8 Gejala

Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda. Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka).

Sering terjadi perubahan kepribadian. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya dimulai secara samar. Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi; tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya.

Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan penyakit dengan pola seperti menuruni tangga. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian agak membaik dan selanjutnya akan memburuk kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi. Mengendalikan tekanan darah tinggi dan kencing manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan kadang terjadi penyembuhan ringan.

Beberapa penderita bisa menyembunyikan kekurangan mereka dengan baik. Mereka menghindari aktivitas yang rumit (misalnya membaca atau bekerja). Penderita yang tidak berhasil merubah hidupnya bisa mengalami frustasi karena ketidakmampuannya melakukan tugas sehari-hari. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang penting atau salah dalam melakukan tugasnya.

BAB VIPARKINSON

6.1 Pendahuluan

Penyakit Parkinson dimulai secara samar-samar dan berkembang secara perlahan.

Pada banyak penderita, pada mulanya Parkinson muncul sebagai tremor (gemetar) tangan ketika sedang beristirahat, tremor akan berkurang jika tangan digerakkan secara sengaja dan menghilang selama tidur. Stres emosional atau kelelahan bisa memperberat tremor. Pada awalnya tremor terjadi pada satu tangan, akhirnya akan mengenai tangan lainnya, lengan dan tungkai. Tremor juga akan mengenai rahang, lidah, kening dan kelopak mata.

Pada sepertiga penderita, tremor bukan merupakan gejala awal; pada penderita lainnya tremor semakin berkurang sejalan dengan berkembangnya penyakit dan sisanya tidak pernah mengalami tremor.

Penderita mengalami kesulitan dalam memulai suatu pergerakan dan terjadi kekakuan otot. Jika lengan bawah ditekuk ke belakang atau diluruskan oleh orang lain, maka gerakannya terasa kaku. Kekakuan dan imobilitas bisa menyebabkan sakit otot dan kelelahan. Kekakuan dan kesulitan dalam memulai suatu pergerakan bisa menyebabkan berbagai kesulitan. Otot-otot kecil di tangan seringkali mengalami gangguan, sehingga pekerjaan sehari -hari (misalnya mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu) semakin sulit dilakukan.

Penderita mengalami kesulitan dalam melangkah dan seringkali berjalan tertatih-tatih dimana lengannya tidak berayun sesuai dengan langkahnya. Jika penderita sudah mulai berjalan, mereka mengalami kesulitan untuk berhenti atau berbalik. Langkahnya bertambah cepat sehingga mendorong mereka untuk berlari kecil supaya tidak terjatuh. Sikap tubuhnya menjadi bungkuk dan sulit mempertahankan keseimbangan sehingga cenderung jatuh ke depan atau ke belakang.

Wajah penderita menjadi kurang ekspresif karena otot-otot wajah untuk membentuk ekspresi tidak bergerak. Kadang berkurangnya ekspresi wajah ini disalah artikan sebagai depresi, walaupun memang banyak penderita Parkinson yang akhirnya mengalami depresi. Pandangan tampak kosong dengan mulut terbuka dan matanya jarang mengedip. Penderita seringkali ileran atau tersedak karena kekakuan pada otot wajah dan tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan. Penderita berbicara sangat pelan dan tanpa aksen (monoton) dan menjadi gagap karena mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan fikirannya. Sebagian besar penderita memiliki intelektual yang normal, tetapi ada juga yang menjadi pikun.

6.2 Patofisiologi Penyakot Parkinson

Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penuruna kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta ( SNc ) sebesar 40 50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies ) dengan penyebab multifactor.

Substansia nigra ( sering disebut sebagai Black substance ), adalah suatu regio kecil di otak( brain stem 0 yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel selnya yang menghasilkan neurotransmitter disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komun ikasi elektrokimia antara sel sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan reflex postural, serta kelancaran komunikasi ( bicara ). Pada PP sel sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun ], akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat menurun dan menghasilkan kelambanan gerak ( bradikinesia ), kelambanan bicara dan berfikir( bradifrenia ), tremor, dan kekakuan ( rigiditas ).

Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah Stress Oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamine quinon yang dapat beraksi dengan alfa sinuklein ( disebut protofibrils ). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain :

Efek lain dari stress oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.

Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosine trifosfat( ATP) dan akumulasi electron electron yang memperburuk stress oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu apoptosis sel sel SNc.

6.3 Penatalaksanaan Penyakit Parkinson

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan menjadi 3 hal yaitu :

Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit

Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit

Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut :

Menigkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan :

+ meningkatkan konsentrasi dopamine pada sinap (levodopa ),

+ memberikan agonis dopamine

+ meningkatkan pelepasan dopamine

+ menghambat degradasi dopamine

Manipulasi neurotrasmiter non dopaminergik dengan obat obat antikolinergik dan obat obat lain yang dapat memodulasi sistem non dopaminergik Memberikan obat obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP dengan mencegah kematian sel sel neuron.

Terapi pembedahan: ablasi, stimulasi otak dalam, brain grafting ( bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang mendasari).

Terapi pencegahan/preventif : menghilangkan faktor resiko atau penyebab PP

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat, perbaikan dengan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5 0,8 gram/Kg BB per hari, terapi fisik dengan latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan.

Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi dopamin ( DA ) di otak. Dopamine memiliki 2 reseptor yaitu D1 yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatrum akan merangsang D1 dan D2. Keberadaan DA bila tidak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai :

3-0-methyldopa oleh enzim cathecol -0- methyltransferase (COMT ).

3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine oxidase ( MAO ).

6.3.1 Terapi Medikamentosa

Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu :

Obat yang Mengganti Dopamin ( Levodopa, Carbidopa )+ Obat ini merupakan obat utama, hamper selalu digunakan untuk terapi PP. Di dalam badan levodopa akan diubah sebagai dopamine. Obat ini sangat efektif untuk menghilangkan gejala karena langsung mengganti DA yang produksinya sangat menurun akibat degenerasi SNc. Efek samping obat ini antara lain: mual, dizziness, muntah, hipotensi postural, dan konstipasi. Obat ini juga mempunyai efek samping jangka lama yaitu munculnya diskinesia ( gerakan involunter yang tidak dikehendaki seperti korea, mioklonus, distonia, akatisia). Ada kecenderungan obat ini memerlukan peningkatan dosis bila dipakai sendirian. Pada pemakaian obat ini dikenal juga fenomena on-off atau disebut fenomena wearing off. Oleh sebab itu pemakaian obat ini harus dipantau dengan baik.

Agonis Dopamin ( bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol )+ merupakan obat yang mempunyai efek serupa dopamine pada reseptor D1 maupun D2. Di dalam badan tidak akan mengalami konversi, sehingga dapat digunakan sebagai obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai kombinasi utama dengan levodopa- carbidopa agar dapat menurunkan dosis levodopa, sehingga dapat menghindari terjadinya diskinesia atau mengurangi fenomena on-off. Efek samping obat ini ialah : halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual,dan muntah. Sayangnya obat ini tidak dapat menghambat progresivitas PP.

Antikolinergik ( Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden )+ obat ini menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat ini antara lain mulut kering, dan mata kabur. Sebaiknya obat ini tidak diberikan pada penderita PP yang di atas 70 tahun; karena dapat menyebabkan penurunan daya ingat dan retensio urin pada laki laki.

Penghambat Monoamin Oxidase/MAO ( selegiline )+ Peranan obat ini untuk mencegah degradasi dopamine menjadi 3-4 dihydroxyphenilacetic di otak. Karena MAO dihambat maka umur dopamine menjadi lebih panjang. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa carbidopa. Selain itu obat ini bias berfungsi sebagai antidepresi ringan( merupakan obat pilihan dengan gejala depresi menonjol ). Efek samping obat ini berupa penurunan tekanan darah dan aritmia.

Amantadin+ Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja dibagian lain otak. Obat ini dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui ternyata dapat menghilangkan gejala PP yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan fatique pada awal PP dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik ( fenomena on/off ) dan diskinesia pada penderita PP lanjut. Dapat dipakai sendirian, atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek samping obat yang paling menonjol mengakibatkan mengantuk.

Penghambat catechol 0-methyl Transferase/ COMT( Tolcapone,Entacapone)+ Ini merupakan obat yang masih relative baru, berfungsi menghambat degradasi dopamine oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat effektivitas levodopa menurun. Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini dapat memperbaiki fenomena on/off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari hari ( AKS ). Efek samping obat berupa gangguan terhadap fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial pada penggunanya. Obat ini juga menyebabkan perubahan warna urin menjadi warna oranye.

Selain obat utama tersebut diatas sering juga diberikan obat obat neuroprotektif seperti antioksidan dan juga obat obat yang memperbaiki metabolism otak. Obat lain yang sering digunakan juga adalah obat anti depresi dan anti ansietas ( berdasarkan indikasi yang tepat)

6.3.2 Terapi Pembedahan

Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terapi medikamentosa seperti diatas, tetapi ada juga yang tidak bias dikendalikan oleh obat, terutama efek fluktuasi motorik ( fenomena on/off ). Pada saat on penderita dapat bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada saat off penderita akan sangat sulit bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat. Periode off ada kalanya muncul sejak awal pemberian levodopa dan tak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis, kejadian ini disebut wearing off dan diskinesia yang terjadi pada penderita PP kadang tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa dan memerlukan terapi pembedahan.

Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu :

Terapi ablasi di lesi otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy. Pada prosedur ini dokter bedah melakukan penghancuran di pusat lesi di otak dengan menggunakan kauterisasi. Tidak ada instrument apapun yang dipasang di otak setelah penghancuran tersebut. Efek operasi ini bersifat permanen seumur hidup, dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi di kedua tempat tersebut. Pembedahan thalamic saat ini secara umum diterima untuk terapi definitive penderita tremor esensial, dan tidak lagi diterima sebagai terapi pada PP.

Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/ DBS). Pada operasi ini dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di otakyang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang dibawah kulit dada seperti alat pacu jantung. Pada prosedur ini tidak ada penghancuran lesi di otak, jadi relatif aman. Prosedur ini termasuk baru jadi belum ada data tentang efek samping.

Transplantasi otak (brain grafting ). Prosedur ini menggunakan graft sel otak janin atau autologus adrenal. Tehnik operasi ini sering terbentur pada bermacam hambatan seperti ketiadaan donor, kesulitas prosedur baik teknis, maupun perijinan. Namun hasil hasil penelitian terhadap penderita yang telah menjalani prosedur ini memberikan harapan baik bagi penyembuhan PP.6.3.3 Terapi Rehabilitasi

Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari hari ( AKS ). Latihan yang diperlukan bagi penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi.

Latihan fisioterapi meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakan kaki pada tanda tanda di lantai, latihan isometric untuk latihan kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi.

Latihan okupasi yang memerlukan kajian AKS pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain :

Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda tanda verbal maupun visual dan hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.

Strategi gerak, seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dari lantai.

Strategi keseimbangan, melakukan AKS dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan berpegangan pada dinding. Hindari eskalator atau pintu berputar. Saat berjalan ditempat ramai atau lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.

Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status mental pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.

6.4 Pencegahan Penyakit Parkinson

- hindari pestisida

- hindari polusi

- menghindari penyalahgunaan obat( mis tetrahydro piridin, terkandung dalam narkoba )

- menjaga kesehatan jasmani mis. Berolahraga

6.5 Komplikasi Penyakit Parkinson

Gangguan keseimbangan pasien Dementia6.6 PROGNOSIS

PD tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya, tapi berkembang dengan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien PD pada umumnya lebih rendah daripada orang yang tidak memiliki penyakit. Pada tahap akhir penyakit, PD dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumonia, dan jatuh yang dapat menyebabkan kematian.

Perkembangan gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Pada beberapa orang, namun, penyakit berlangsung lebih cepat. Tidak ada cara untuk memprediksi apa saja penyakit akan mengambil untuk seorang individu. Dengan perawatan yang tepat, kebanyakan orang dengan PD dapat hidup produktif selama bertahun-tahun setelah diagnosis. Ada beberapa indikasi bahwa penyakit Parkinson memperoleh resistensi terhadap terapi obat oleh berkembang menjadi gangguan Parkinson-plus, biasanya Lewy Body Dementia, meskipun transisi ke Progresif supranuclear Palsy atau Multiple System Atrophy tidak diketahui.

Dalam setidaknya beberapa penelitian, telah diamati bahwa mortalitas meningkat secara signifikan, dan umur panjang mengalami penurunan antara pasien rumah jompo dibandingkan dengan pasien tinggal masyarakat.

Salah satu sistem yang biasa digunakan untuk menggambarkan bagaimana gejala kemajuan PD disebut Hoehn dan skala Yahr. Lain skala umum digunakan adalah Unified Parkinson's Disease Rating Scale (UPDRS). Ini skala yang jauh lebih rumit memiliki beberapa peringkat yang mengukur fungsi motorik, dan juga fungsi mental, perilaku, suasana hati, dan aktivitas hidup sehari-hari. Baik Hoehn dan skala Yahr dan UPDRS digunakan untuk mengukur bagaimana individu adalah faring dan berapa banyak perawatan membantu mereka. Perlu dicatat bahwa tidak skala khusus untuk penyakit Parkinson, bahwa pasien dengan penyakit lain skor bisa di kisaran Parkinson.

BAB VII

HIPOPERFUSI ORTOSTATIK

7.1 Pendahuluan Acute renal failure (ARF) merupakan suatu syndrome klinik yang ditandai dengan adanya gangguan fungsi ginjal secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (ureum-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya.Mortalitas penderita ARF masih cukup tinggi, 40 50 % pada ARF oliguri dan 15 20 % pada ARF non-oliguri. Sampai saat ini pengobatan ARF terbatas pada tindakan-tindakan suportif dan usaha-usaha preventif serta dialisis bila ada indikasi.Insiden ARF di populasi umum kurang dari 1 %, 5 7 % pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan 20 25 % dari penderita di ruang perawatan intensif. Secara garis besar, ARF dibagi atas ARF pre-renal yang diakibatkan oleh hipoperfusi ginjal, ARF renal (intrinsik) yang terjadi sebagai akibat dari gangguan pada struktur dari nefron (glomeruli, tubuli, pembuluh darah, dan interstitium), serta ARF post-renal yang terjadi sebagai akibat dari obstruksi saluran kemih, baik obstruksi intra-renal maupun ekstra-renal, mulai dari pelvis renalis hinARF uretra.7.2 KlasifikasiUntuk tujuan diagnosis dan penanganan, ARF dibagi dalam 3 kategori :141. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi renal tanpa melibatkan integritas parenkim ginjal (ARF pre-renal, azotemia pre-renal)2. Penyakit yang secara langsung mempengaruhi parenkim ginjal (ARF renal, azotemia renal)3. Penyakit yang berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius (ARF post-renal, azotemia)Secara laboratorik diagnosis ARF dapat ditegakkan apabila terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5 mg% pada penderita dengan kadar kreatinin awal 20 % bila kreatinin awal > 2,5 mg%. The Acute Dialysis Quality Initiative group membuat RIFLE system yang mengklasifikasikan ARF kedalam tiga kategori menurut beratnya (Risk, Injury dan Failure) serta dua kategori akibat klinik (Loss dan End-stage renal disease).14Tabel : 1. Klasifikasi ARF menurut The Acute Dialysis Quality Initiative group1Kriteria Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)Kriteria jumlah urine

RiskPeningkatan serum kreatinin 1,5 kali

InjuryPeningkatan serum kreatinin 2 kali

FailurePeningkatan serum kreatinin 3 kali atau kreatinin 355 mol/l

LossGagal ginjal akut persisten; kerusakan total fungsi ginjal selama lebih dari 4 minggu

ESRDGagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan

Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, ARF diklasifikasikan menjadi3 :1. ARF simpel / tanpa komplikasi (uncomplicated ARF)Tidak dijumpai adanya penyakit penyerta dan juga tidak terdapat komplikasi.2. ARF berat (complicated ARF)Umumnya dirawat di unit perawatan intensif karena mengalami penyulit seperti sepsis, perdarahan, penurunan kesadaran, dan gagal nafas. Angka kematian sangat tinggi, mencapai 50 80 %.7.3 PatogenesisARF Pre-RenalIstilah pre-renal ditandai dengan tidak adekuatnya perfusi ginjal yang disebabkan oleh penurunan volume intravaskular atau karena sirkulasi arteri yang tidak efektif. Penyebab paling sering dari gagal ginjal bentuk ini adalah dehidrasi karena kehilangan cairan pada ginjal ataupun di luar ginjal seperti karena diare, muntah, penggunaan diuretik, dll. Penyebab yang jarang seperti syok septik, penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan, yang menyebabkan pengurangan relatif atau absolut volume cairan intravaskular. Gagal jantung dengan penurunan cardiac output juga dapat mengurangi efektifitas aliran darah ginjal.18Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akut juga dapat dijumpai pada pasien dengan sirrosis (sindrom hepatorenal) atau pasien yang menggunakan Cyclosporine, Tacrolimus, NSAID, atau ACE (Angiotensin Converting Enzime) Inhibitor. Kondisi ini mengubah fungsi hemodinamik ginjal secara signifikan, hal ini diperantarai oleh prostaglandin dan renin-angiotensin seperti penurunan tekanan kapiler glomerulus secara tiba-tiba.18Pada ARF pre-renal aliran darah ginjal walaupun berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan terjadinya iskemia sel-sel tubulus yang berlanjut menjadi Nekrosis Tubular Akut (NTA). ARF pre-renal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron.19

ARF RenalARF renal merupakan 50 % dari keseluruhan ARF. Bilamana hipoperfusi ginjal berlangsung lama dan bertambah berat sehingga terjadi kematian sel, maka akan terjadi NTA. Selain oleh karena hipoperfusi ginjal (50 % dari kasus NTA), NTA juga disebabkan oleh paparan bahan/obat yang nefrotoksik (35 % dari kasus NTA). Penyebab lain ARF renal adalah penyakit glomerulus primer dan penyakit tubulointerstisial. Walaupun istilah ARF dan NTA tidak identik, namun demikian penggunaan kedua istilah ini sering dianARFp sebagai keadaan yang sama.14Banyak penyebab ARF renal yang disebabkan langsung atau dieksaserbasi oleh berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian ginjal. Penyebab kerusakan iskemik ini disebabkan keadaan pre-renal yang tidak teratasi. ARF iskemik dibedakan dari ARF pre-renal pada hipoperfusi yang menginduksi lesi iskemik pada sel-sel parenkim ginjal, khususnya epitel tubulus, dan pemulihan memakan waktu 1-2 minggu setelah normalisasi perfusi ginjal sebagai syarat perbaikan dan regenerasi sel-sel ginjal. Dalam bentuk paling ekstrem, iskemik mengarah pada nekrosis kortex ginjal bilateral dan gagal ginjal irreversibel. ARF iskemik paling sering terjadi pada pasien dalam masa pembedahan kardiovaskular atau mengalami trauma yang berat, perdarahan, sepsis dan atau pengurangan volume darah. ARF iskemik bisa merupakan bentuk penyulit yang ringan dari hipovolemia yang nyata atau pengurangan efektifitas volume darah arteri apabila hal itu terjadi akibat adanya sesuatu yang lain (seperti nefrotoxin atau sepsis).14,15Istilah nekrosis tubular akut sebetulnya tidak begitu tepat oleh karena ada beberapa hal yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan NTA tidak dibiopsi, dan diagnosis ditegakkan atas dasar gejala dan perjalanan klinis saja. Pada pemeriksaan mikroskopik pasien yang dibiopsi dengan klinis NTA ini amat jarang dijumpai gambaran nekrosis tubulus yang jelas. Walaupun biopsi ginjal dilakukan pada saat yang relatif terlambat, tetapi adanya defisit fungsional tetap tak dapat dijelaskan oleh nekrosis yang ekstensif. Pada NTA ini ternyata didapatkan kontribusi perubahan sel yang subletal seperti kehilangan membran plasma, polaritas membran dan terlepasnya sel dari membran basalis sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fungsional. Terbatasnya kerusakan pada tubulus dan adanya kemampuan regenerasi sel tubulus yang cepat menyebabkan kelainan ini reversibel. Oleh karena itu untuk keadaan ini cukup banyak istilah yang berusaha lebih tepat menjelaskan sindrom ini, antara lain hemodynamically mediated acute renal failure.18ARF Post-Renal 15Obstruksi traktus urinarius dapat terjadi kurang dari 5 % dari kasus ARF. Karena satu ginjal punya kapasitas pembersihan yang efektif untuk mengekskresikan sisa metabolisme nitrogen setiap hari, ARF dari akibat obstruksi dapat terjadi karena obstruksi pada aliran urine diantara meatus urethra eksterna dan meatus urethra interna, obstruksi ureter bilateral atau obstruksi ureter unilateral pada pasien dengan fungsi ginjal atau insufisiensi ginjal kronik. Obstruksi leher kandung kemih merupakan penyebab paling sering ARF post-renal dan biasanya karena penyakit prostat (hipertrofi, hiperflasi dan infeksi), neurogenik bladder, atau therapy dengan obat anti kolinergik. Penyebab yang jarang dari obstruksi akut traktus urinarius antara lain bekuan darah, kalkulus, dan uretritis dengan spasme.Penyebab obstruksi bilateral adalah :1. Pengaruh neoplasma peritoneal atau retroperitoneal, dengan massa atau nodus.2. Fibrosis retroperitoneal3. Penyakit kalkulus4. Post operasi atau traumaPada pasien yang hanya mempunyai satu ginjal, batu ureter dapat menyebabkan obstruksi total traktus urinarius dan ARF.7.4 DIAGNOSISKarena ARF mempunyai diagnosa banding yang banyak, didapatkan riwayat yang terarah dari patofisiologi ARF :ARF Pre-Renal : Pasien sering kali memperlihatkan gejala-gejala yang berhubungan dengan hipovolemia, termasuk haus, penurunan jumlah urine, pusing-pusing, hipotensi ortostatik. Adanya riwayat kehilangan cairan yang masif karena perdarahan, kehilangan cairan melalui gastrointestinal, keringat ataupun ginjal. Pada pasien gagal jantung tahap lanjut dengan penurunan perfusi ginjal, kemungkinan datang dengan orthopnue dan paroxysmal nocturnal dyspnue. Hilangnya cairan yang tidak terasa pada pasien-pasien dengan gangguan kesadaran dapat menyebabkan hipovolemia yang berat.ARF Renal Pasien dapat dibedakan berdasarkan penyebab ARF, dari glomerulus atau tubulus. Penyakit pada glomerulus : perdarahan pada sindrom nefritik, edema, dan hipertensi. Penyakit pada tubulus : harus dapat dipikirkan kemungkinan timbulnya NTA pada pasien setelah periode hipotensi sekunder karena henti jantung, perdarahan, sepsis, over dosis obat, atau pembedahan. Dapat diperhitungkan pula dugaan adanya paparan dari nefrotoxin dan juga dari pemeriksaan radiologis (seperti paparan zat kontras). Dugaan adanya pigmen yang diinduksi oleh ARF pada pasien-pasien dengan rhabdomyolisis atau hemolisisARF Post-Renal ARF post-renal biasanya tejadi pada laki-laki usia lanjut dengan obstruksi prostat dan adanya gejala-gejala berupa urgensi, frekuensi, dan hesitansi. Pasien dapat asimptomatis karena kronisitas gejala yang mereka alami. Riwayat operasi gynecologi atau keganasan sering dapat membantu dalam menentukan tingkat obstruksi. Bila terdapat nyeri pinARFng dan hematuria maka harus dipikirkan adanya pengapuran ginjal sebagai sumber obstruksi urine. Kemungkinan adanya obstruksi tubular oleh karena kristal dari obat-obatan pada pasien yang menggunakan asiklovir, metotrexat, triamteren, indinavir, atau sulfonamid.Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik bermanfaat dalam mengumpulkan bukti-bukti tentang penyebab ARF. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik pasien ARF diantaranya :Kulit : Pemeriksaan kulit untuk petechiae, purpura dan ekimosis dapat menARFmbarkan suatu inflamasi dan penyebab vaskular ARF. Penyakit infeksi, trombotik trombositopenia, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan fenomena emboli dapat menARFmbarkan adanya perubahan kulit yang khas.Mata : Adanya uveitis mengindikasikan nefritis interstisial dan nekrosis vaskulitis. Ocular palsy mengindikasikan adanya keracunan etilen glikol atau nekrosis vaskuler. Adanya hipertensi berat, penyakit atheroemboli, dan endokarditis dapat diketahui setelah pemeriksaan mata dengan seksama.Sistem Kardiovaskular : Pemeriksaan fisik harus mencakup denyut nadi dan tekanan darah baik posisi terlentang maupun berdiri; denyut vena jugularis; pemeriksaan jantung, paru, dan turgor kulit; dan penafsiran terhadap adanya edema perifer. Pencatatan yang akurat setiap hari akan intake cairan dan output urine, dan berat badan pasien adalah penting. Pemeriksaan tekanan darah bermanfaat untuk kepentingan diagnostik. Hipovolemia dapat mengindikasikan adanya hipotensi tetapi hipotensi tidak mengindikasikan adanya hipovolemia. Congestive Heart Failure (CHF) yang berat dapat menyebabkan hipotensi. Pada pasien CHF dengan tekanan darah yang rendah, pengisian volume dan efektifitas perfusi ginjal rendah. Hipertensi berat dengan gagal ginjal merupakan dugaan adanya penyakit renovaskuler, glomerulonefritis, vaskulitis atau penyakit atheroemboli.Abdomen : Pemeriksaan fisik abdomen dapat bermanfaat dalam mendeteksi adanya obstruksi pada leher buli-buli sebagai penyebab gagal ginjal, mungkin suatu kanker atau pembesaran prostat.Pemeriksaan laboratoriumAnalysis Urin14,15Pemeriksaan urin atau urinalisis dalam hal ini merupakan pemeriksaan yang penting, akan tetapi harus dinilai sebagai satu kesatuan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.Berat jenis (BJ) urin yang tinggi lebih dari 1,020 menunjukkan pre-renal, glomerulo nefritis (GN) akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmal (1,010) terdapat pada NTA, post-renal dan penyakit interstisial (tubulointerstisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalau dalam urin terdapat banyak protein, glucose, manitol, atau kontras radiologik. Adanya glucose pada urin (tes reduksi +) tanpa peningkatan gula darah menunjukkan kerusakan tubulus proksimal.Protein dalam urin biasanya amat meningkat pada penyakit glomerular, sedangkan pada penyakit lain sampai + 1 saja. Pada hipertensi maligna dan gagal jantung kongestif pada awalnya didapatkan protein yang banyak dalam urin. Perlu diingat pula bahwa pada pemeriksaan dengan tes celup (dipstick) protein mieloma tidak terdeteksi.Adanya sedimen eritrosit menunjukkan glomerulonefritis, atau vaskulitis pada glomerulus. Pada kelainan interstisial atau NTA dapat diketemukan silinder eritrosit. Apabila dengan tes celup terdapat darah, akan tetapi sel darah merah tidak ada atau sedikit perlu difikirkan hemoglobinuria atau mioglobulinemia. Gambaran yang khas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder yang besar (coarse granular broad casts). Silinder leukosit menunjukkan adanya infeksi, inflamasi pada interstisial. Apabila ditemukan eosinofil dalam urin maka dapat menunjukkan adanya nefritis interstisial alergi.Adanya kristal urat pada ARF menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering didapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukemia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada ARF akibat etilen glikol yang umumnya diakibatkan percobaan bunuh diri.Tabel 2. Diagnosa Urin yang menunjukkan perbedaan antara Pre-renal dan RenalIndeks DiagnosisHal-hal yang sering ditemukan pada ARF

PrarenalRenal

Fraksi ekskresi Natrium (%)UNa PCr 100 PNa UCr> 1

Kadar Natrium Urin (mmol/L)> 20

Kreatinin Urin : Kreatinin Plasma> 40

Ureum Nitrogen Urin : Ureum Nitrogen Plasma> 8

Berat Jenis Urin> 1,020~ 1,010

Osmolaritas Urin (mosmol/kg H2O)> 500~ 300

Plasma BUN : Kreatinin > 20

Indeks Gagal GinjalUNa UCr / PCr> 1

Sedimen UrinHyalinMuddy

Darah 7 Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin Serum Meski peningkatan kadar BUN dan kreatinin adalah tanda gagal ginjal, kecepatan peningkatan BUN dan kreatinin juga sangat penting. Hasil pemeriksaan BUN menunjukkan peningkatan yang tidak proporsional dari kreatinin yang mengarah pada dugaan ARF iskemik. Umumnya serum kreatinin meningkat 12 mg/dL, namun laju peningkatan yang > 5 mg/dL juga bisa ditemukan pada pasien dengan rhabdomyolisis karena otot merupakan sumber kreatinin yang utama yang menjadi prekursor kreatinin. Rasio perbandingan BUN dengan kreatinin juga merupakan hasil yang sangat penting karena ratio bisa > 20 : 1 pada kondisi dimana peningkatan reabsorbsi urea terjadi. Pada kondisi seperti perdarahan gastrointestinal bagian atas dan pada beberapa kasus uropati obstruktif, hasilnya mungkin menunjukkan peningkatan rasio yang lebih jauh. Kondisi lainnya yang menyebabkan peningkatan rasio BUN dan kreatinin > 20 : 1 adalah peningkatan intake protein enteral atau parenteral, penggunaan kortikosteroid, dan keadaan hiperkatabolisme. Hitung Darah Lengkap dan Apusan Darah Tepi Pemeriksaan ini dapat bermanfaat,dan hasil apusan darah tepi dapat menunjukkan skistosit pada kondisi seperti sindrom uremik hemolitik atau trombotik trombositopenic purpura. Temuan yang menunjukkan formasi rouleaux mengarah pada Multipel Mieloma, dan pemeriksaan selanjutnya sebaiknya diarahkan pada serum protein elektroforesis dan urin. Keberadaan skistosit myoglobin, atau hemoglobin, meningkatkan kadar asam urat serum, dan temuan lain yang berhubungan mungkin dapat membantu lebih jauh untuk menentukan etiologi ARF. Temuan dari tes serologi ANCA menunjukkan penyakit ginjal intrinsik akibat vaskulitis.Pemeriksaan Pencitraan19Pemeriksaan penunjang ini amat diperlukan untuk melihat anatomi ginjal. Pada ARF pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomi ginjal, dapat diperoleh informasi mengenai besar ginjal, ada atau tidaknya batu ginjal dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Dalam hal ini pemeriksaan USG cukup sensitif, cepat dan mudah dilakukan. Pemeriksaan foto polos dapat dilakukan akan tetapi informasi yang didapat tidak sebaik USG. Apabila pada USG jelas terdapat hidronefrosis dengan gambaran korteks ginjal yang masih baik, segera dikonsulkan ke urologi untuk sistoskopi, atau pielografi retrograde. Tindakan urologi diperlukan segera untuk mengatasi obstruksi agar tidak terjadi kerusakan ginjal yang permanen. Pemeriksaan USG dapat juga menentukan apakah gangguan fungsi ginjal ini sudah lama terjadi (GGK), yaitu apabila ditemukan gambaran ginjal yang sudah kecil. Tahanan euvolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperglikemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan SerologiWalaupun ARF bukan indikasi untuk melakukan biopsi ginjal, tetapi apabila diduga bahwa penyebab ARF adalah kelainan ginjal intrinsik, juga tidak ada kelainan lain seperti dari bedah atau kebidanan sebagai penyebab perlu dipertimbangkan biopsi ginjal. Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab ARF tidak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefritis atau nefritis interstisial. Pemeriksaan ini perlu ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal.7.5 Pengelolaan hiperperfusiTujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan penderita tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasikan pasien yang beresiko ARF (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab ARF, mempertahankan homeostasis, mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperglikemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.Pengelolaan Medis ARFKebanyakan pasien ARF berada dalam keadaan sakit berat dan prioritas utamanya adalah mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, baik masalah ini berkaitan atau tidak ada hubungannya dengan ginjal. Penanganan pasien harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya ginjalnya saja, oleh karena itu pada umumnya pasien ARF memerlukan penanganan yang multidisiplin. Pada ARF terdapat dua masalah yang sering didapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia.Edema paruKeadaan ini terjadi akibat ginjal tidak dapat mengekskresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Keadaan ini dapat iatrogenik setelah pasien sakit berat masuk ke bagian gawat darurat dan mendapat infus yang cukup banyak tanpa mengawasi produksi urin dan memeriksa kadar ureum kreatininnya. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, dipasang oksigen, dan diberikan diuretik kuat (furosemid inj.) walaupun pada ARF sering tidak memberikan respons. Morfin dosis kecil dapat menolong keadaan ini dengan cara vasodilatasi dan anti kecemasan. Pengobatan definitif adalah dengan mengeluarkan cairan melalui hemodialisis segera atau hemofiltrasi.HypercalemicPada ARF keadaan ini amat berbahaya oleh karena dapat mengakibatkan henti jantung (cardiac arrest) tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Kalium lebih dari 5,5 mEq/L sudah menunjukkan kelainan pada ECG seperti perubahan gelombang T dan pemendekan interval QT. Mula-mula diberikan kalsium intravena (Ca Glukonat) 10 % sebanyak 10 ml yang dapat diulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya. Kadar kalium tidak berubah, kerja obat ini pada jantung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini hanya sekitar 20 60 menit. Pemberian infus glucose dan insulin (50 ml glucose 50 % dengan 10 U insulin kerja cepat)selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1 2 mEq/L dalam waktu 30 60 menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium ke dalam sel. Glucose ditambahkan guna mencegah hipoglikemia. Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5 mg dalam 15 menit) atau inhalasi nebuliser (10 atau 20 mg) dapat menurunkan 1 mEq/L. Obat ini bekerja mengaktivasi pompa Na-K ATPase. Pemberian natrium bikarbonat walaupun dapat menurunkan kalium tidak begitu dianjurkan oleh karena penambahan jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaat apabila ada asidosis atau hipotensi.

Pemberian DiuretikPada ARF sering diberikan diuretik loop yang sering bermanfaat pada keadaan tertentu. Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorbsi Na sehingga mengurangi metabolisme sel tubulus, selain itu juga diharapkan aliran urin dapat membersihkan endapan, silinder sehingga menghilangkan obstruksi, selain itu furosemid dapat mengurangi oliguria.Dosis yang diberikan amat bervariasi dari mulai dengan dosis konvensional 40 mg intravena, kemudian apabila tidak ada respon dinaikkan bertahap dengan dosis tinggi 200 mg setiap 6 jam, selanjutnya infus 10 40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum ada respon dapat diberikan furosemid dengan albumin yang diberikan secara intravena selama 30 menit dengan dosis yang sama atau bersama dengan Hidrochlorotiazid (HCT). Dialisis atau hemofiltrasi dilakukan apabila semua tindakan diatas gagal untuk mengeluarkan cairan.NutritionKebutuhan nutrisi pada ARF amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi ARF amat berbeda dengan GGK dimana pada ARF kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasan-pembatasan.Dialysis atau Pengobatan Pengganti GinjalIndikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Apabila terdapat kenaikan terus ureum dan kreatinin darah pada pasien oliguria dan dengan pengobatan konservatif tidak ada tanda-tanda perbaikan (produksi urin bertambah, ureum dan kreatinin tetap atau menurun), maka sudah saatnya dipertimbangkan untuk didialisis.Pada pasien dengan sakit berat, dengan gangguan hemodinamik, yang sering memerlukan cairan agar kebutuhan energi dapat terpenuhi diperlukan pengeluaran cairan yang banyak tetapi secara lambat.7.6 komlikasi14Ada beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari ARF antara lain : Peningkatan volume cairan ekstraseluler Increase potassium serum level

Asidosis metabolic

Hyperphosphatemia Hypocalsemia Anemia systemic infection

congestive heart failure

myocard Infark cardiac arrest

gastrointestinal tract bleeding

Perubahan siklus tidur Somnolen seizure

memory loss

7.7 PROGNOSIS19 Tingkat kematian ARF sekitar 50 % walaupun diberikan dengan terapi Pengganti ginjal yang efektif. Kematian karena ARF sangat berhubungan langsung dengan proses perjalanan penyakit penderita itu sendiri (sepsis, CHF). Angka kematian pada penderita yang berusia diatas 80 tahun diperkirakan berkisar 40 %, sama seperti pada penderita di usia yang lebih muda. Umur tidak merupakan faktor penentu dalam terapi Pengganti ginjal. Sekitar 20 60 % pada penderita yang mengalami ARF perlu dilakukan hemodialisa selama mereka dirawat di rumah sakit. Pada umumnya penderita sembuh, hanya 25 % yang memerlukan terapi Pengganti ginjal jangka panjang.DAFTAR PUSTAKA1) Askandar tjokroprawin, poernmo boedi setiawan,djoko santoso, gatot soegiarto.2007. buku ajar ilmu penyakit dalam. Airlangga universitas press cetakan pertama. Hal 247-253

2) William b.abrams, robert berkow, andre j.fletcher.1997.the mercj manual of geriartric jilid dua. Edisi bahasa Indonesia.binarupa aksara. Hal 75-81 dan 179-181.

3) Dr halim mubin. Panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi.2008. Penerbit buku kedokteran EGC. Hal 645-646

4) Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.826-836.5) Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 1967-71

6) Suyono S. Patofisiologi diabetes mellitus.. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 7-15

7) Sukadji K. Pentalaksanaan gizi pada diabetes mellitus. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 43-668) Ilyas EI. Olahraga bagi diabetes. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 67-1129) Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 163-74

10) Prognosis penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.news-medical.net/health/Parkinsons-Disease-Prognosis-(Indonesian).aspx11) Penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=47912) Patofisiologi penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.news-medical.net/health/Parkinsons-Disease-Pathophysiology-(Indonesian).aspx13) Oxidative stress Penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.news-medical.net/health/Parkinsons-Disease-Pathophysiology-(Indonesian).aspx14) Komplikasi penyakit Parkinson diunduh dari. http://www.webmd.com15) Bakri, Syakib. Patogenesis Gagal Ginjal Akut. Edisi I. Cetakan I. PERNEFRI. Jakarta. 2005.16) Harison. Internal Medicine. Edition 16. Mc Graw Hill Company. New York. 2005.17) Suharyono, dkk. Terapi Cairan pada Gagal Ginjal Akut. Editor : Sudoyo W, Aru. Cetakan I. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 1999.18) Aninch, JW. Smith General Urology. Editor : Tanagho, EA. Mc Graw Hill Company. New York. 2000.19) Suhardjono. Suhakatya, Made. Parsoedi, Imam. Gagal Ginjal Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2000.Cek GDS

PAGE 43