makalah pbl blok 12 reg
DESCRIPTION
hsjTRANSCRIPT
Laki-laki dengan Keluhan Demam sejak 1 minggu yang lalu
Raymond Arianto Hendarwin Putra
102010065
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk – Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil
yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup
banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana.
Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat
ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak kecil, umur 5- 9 tahun dan
laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3:1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat
mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang
bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih
dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak
baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin
cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat
menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman
masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
Anamnesis1
1. Identitas Pasien
Nama, Usia, Pekerjaan, Tempat tinggal
2. Keluhan Utama :
Menanyakan keluhan utama pasien
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Sejak kapan mulai merasakan keluhan tersebut
Pada saat apa keluhaan tersebut dirasakan
Aktivitas sehari-hari yang di lakukannya
Adakah keluhan lain
Sudah pernah minum obat
Riwayat merokok?? Makanan berlemak??
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
Apakah pernah terkena penyakit berat sebelumnya
5. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.
Apakah pada keluarga ada yang pernah mengalami penyakit berat1
Dari hasil anamnesis diatas didapatkan informasi sebagai berikut:
Identitas Pasien :
Nama : Tn. D
Usia : 22 Tahun
Keluhan Utama :
Demam sejak 1 minggu yang lalu Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore hari.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam sejal 1 minggu yang lalu disertai keluhan dengan nyeri perut,mual, dan muntah
Belum BAB sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak mempunyai riwayat penyakit sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pandang
(inspeksi), periksa raba (palpasi), periksa ketok (perkusi) dan pemeriksaan dengar dengan
menggunakan stetoskop (auskultasi). Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap pasien
yang sedang diperiksa harus diperhatikan dengan baik oleh pemeriksa. Periksalah pasien
secara sistematik dan senyaman mungkin mulai dari melihat keadaaan umum pasien, tanda-
tanda vital, pemeriksaan jantung, paru, abdomen dan ekstremitas.1
a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang
atau sakit berat. Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai apakah
keadaan pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak. Selain itu kita juga
dapat melihat status gizi dari pasien kita. 1
b. Kesadaran
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien
yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang
sadar dapat tertidur, tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat
kesadaran dapat diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri. Kita dapat
mengetahui macam-macam tingkat kesadaran, yaitu:
Compos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
Apatis, yaitu keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
Somnolen, yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila
dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
Sopor, yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat
dibangunkan dengan kesadaran yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik.
Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respon terhadap rangsang verbal dan tidak dapat dibangunkan
sama sekali, tapi reflex (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap
rangsang nyeri tidak adekuat.
Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
c. Tanda-tanda vital
Suhu
Suhu tubuh normal adalah 36o-37o C. Pada keadaan demam suhu akan meningkat.
Suhu merupakan indikator penyakit, oleh sebab itu pengobatan demam tidak cukup
hanya membeerikan antipiretika, tetapi harus dicari apa etiologinya dan bagaimana
menghilangkan etiologi tersebut.1
Tekanan darah
Tekanan darah normal untuk orang dewasa yang sehat, sistolik 110-120 mmHg dan
diastolik 70-80 mmHg.1
Nadi
Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali permenit. Bila frekuensi nadi lebih
dari 100 kali permenit disebut takikardia, sedangkan bila frekuensi nadi kurang dari
60 kali permenit disebut bradikardia. Bila terjadi demam, maka frekuensi nadi akan
meningkat, kecuali pada demam tifoid, frekuensi nadi justru menurun dan disebut
bradikardia relative.1
Frekuensi pernapasan
Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali permenit. Bila
frekuensi pernapasan kurang dari 16 kali permenit disebut bradibpneu, sedangkan bila
lebih dari 24 kali permenit disebut takipneu.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan
kultur organism. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standart baku dalam penegakan
diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari
antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik.2
Hematologi
- Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan
usus atau perforasi.
- Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
- Hitung jenis leukosit, sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
- LED meningkat.
- Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan
adalanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). Aglutinin O ( dari kuman ) , b). Aglutinin H ( flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai
kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4, dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti
dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah
4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.2
Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan
pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah
endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer
aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi, dan faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.2
Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat ( beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex
yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic
latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau
tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil
negatif.2
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada prtotein membrane
luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella
typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98 %, spesifitas sebesar 76,6 % dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang
dilakukan oleh gopalakhrisnan. Pada kasus reinfeksi, respon imum sekunder ( IgG)
teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2
tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk
mengatasi masalah tersebtu, uji ini kemudian dimodifikasikan dengan menginaktivasi total
IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang
dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-m menunjukkan bahwa
uji ini bahkan lebih sensitive ( sensitivasnya mencapai 100 %) dan lebih cepat ( 3 jam )
dilakukan bila dibandingkan dengan kultur atau biakan.2
Uji IgM dipstick.
Uji ini khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi pada spesimen
serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida ( LPS) S.typhoid dan anti Igm ( sebagai control), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25o C ditempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan seru, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir
dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkan dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan baik.
Pemeriksaan ini mudah dan cepat ( dalam 1 hari ) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun,
namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya
gejala.2
Working Diagnosis
Demam Tifoid
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen.
Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama
seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah
kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau
dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium
kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang
kurang memuaskan.3,4
Differential Diagnosis
Demam Bedarah Dengue
Mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta demam. Akan tetapi demam pada demam
berdarah dengue bersifat bifasik yang naik turun tidak teratur, berbeda dengan demam
tifoid yang demamnya sepanjang hari. Demam berdarah dengue juga memiliki masa
waktu demam yang lebih cepat daripada demam tifoid. DBD diesebabkan oleh virus
dengue yang termasuk dalam flavivirus family dari flaviviridae. Pada DBD
mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh.4
Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam
darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali.dapat berlangsung akut dan kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung
tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai
malaria berat. sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria adalah infeksi
babesiosa yang menyebabkan babesiosis. Penyebab infeksi malaria adalah
plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti
golongan burung, reptile, dan mamalia. Plasmodium malaria yang sering dijumpai
ialah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertian dan plasmodium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika ( maligna malaria).4
Chikungunya
Chikungunya merupakan penyakit yang berjangkit pada suatu kawasan atau populasi
(endemik) yang disebabkan oleh virus keluarga Togaviridae (genus alphavirus) dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang sama juga menularkan penyakit
demam berdarah dengue. Meski masih "bersaudara" dengan demam berdarah,
penyakit chikungunya tidak mematikan. Virus chikungunya pertama kali
diidentifikasi di Tanzania, Afrika Timur tahun 1952. Tidak heran bila namanya pun
berasal dari bahasa Swahlii, artinya adalah "yang berubah bentuk atau bungkuk".
Postur penderita chikungunya memang kebanyakan akan membungkuk akibat nyeri
hebat pada persendian tangan dan kaki. Gejalanya adalah demam tinggi, sakit perut,
mual, muntah, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, serta bintik-bintik merah terutama di
badan dan tangan, meski gejalanya mirip dengan demam berdarah dengue, pada
chikungunya tidak terjadi perdarahan hebat, renjatan (shock) maupun kematian. Masa
inkubasinya dua sampai empat hari, sementara manifestasinya tiga sampai sepuluh
hari.4
Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
Leptospira interogans tanpa memandang bantuk spesifik serotipnya. Leptospirosis
disebabkan oleh genus letopspira, family treponemataceae, suatu mikroorganisme
spirochaeta. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air atau tanah, lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira, infeksi
tersebut terjadi jika terjadi luka atau erosi pada kulit ataupun selaput lender.
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Gejala awalnya
adalah sakit kepala biasanya difrontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada
paha, betis dan pinggang disertai tekan, demam tinggi disertai menggigil juga didapati
mual, dengan atau tanpa muntah.4
Etiologi
Demam Typhoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Infeksi berasal dari penderita atau
seseorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang mengandung kuman yang keluar
bersama faecesnya atau bersama kemih (carrier). Kuman–kuman ini mengkontaminasi
makanan, minuman, dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman typhus yang penting,
karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Infeksi selalu terjadi pada saluran
pencernaan. Porte d’entree ialah jaringan limfoid usus halus. Dari usus, kuman–kuman
menuju ke kelenjar getah bening mesenterium, disini mereka berpoliferasi lalau menuju ke
ductus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah. Banyak kuman musnah,
endotoksinnya keluar dan menyebabkan gejala–gejala penyakit.4,5
Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa.4 Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung
empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten
kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif
menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.5
Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup
umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat
mengurangi penyebaran penyakit ini.6
Manifestasi Klinis
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat yaitu 39-40 o C.
Sifat demam tifoid atau pola panas badan yang khas adalah tipe step ladder pattern dimana
peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari.
Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang diderita
kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika.3,4
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
( bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit), lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) atau
Lidah tifoid pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor pada
pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila dijulurkan, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,stupor, koma, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.4
Pada minggu ketiga terjadi gejala-gejala yaitu demam terus-menerus, delirium, mengantuk,
distensi, abdomen massif, diare pea soup, kemudian pada minggu ke-4 perbaikan bertahap
pada semua gejala. Setelah pemulihan, relaps dapat terjadi pada hingga 10% kasus ( jarang
terjadi setelah terapi fluorokuinolon). Kasus dapat berlangsung ringan atau tidak tampak.4
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah :
Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4x500 mg perhari oral atau
intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat
intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat
turun rata 5 hari.7
Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam
tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-
trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2
kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80
mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata
turun setelah 5-6 hari.7
Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi
mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang
dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas
demam.7
Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk
demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberika selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5
hari.7
Fluorokinolon : terdiri atas norfloksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin, dan
fleroksasin. Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama
pada trimester pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian
fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak
dianjurkan karena kemungkinan efek teratogenik yang belum dapat disingkirkan,
terutama pada trimester pertama. Demikian juga obat golongan fluorokuinon dan
kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksilin, dan seftriakson.7
Kombinasi obat antimikroba
Kombinasi 2 antibiotika atau lebih di indikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organism dalam kultur darah selain kuman Salmonella.7
Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya di indikasikan pada toksis tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.7
Nonmedikamentosa
Terapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta diet dan terapi
penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu dijaga.3,6
Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein,
tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, dan
makanan lunak diberikan selama istirahat. Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan
secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan
lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.3,6
Pencegahan
Perhatian terhadap kebersihan pribadi, pencucian tangan, serta tindakan sanitasi, merupakan
hal penting bagi semua personil yang terlibat dalam mempersiapkan makanan serta pada
perawatan penderita, terutama utnuk mencegah penyebaran dari orang ke orang dan dari
orang kemakanan. Air kemih dan tinja penderita sebaiknya ditangani secara hati– hati hingga
hasil biakan tinja 3 kali berurutan memberi hasil negatif. Perhatian terhadap penyediaan dan
pengolahan bahan makanan, penggunaan suhu yang sesuai dalam memasak serta
menghindari memegang makanan yang telah terinfeksi pada suhu hangat, merupakan
tindakan yang penting.3
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan sebelumnya, dan
tipe komplikasi yang terjadi. Penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika dapat
meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak – anak berusia lebih tua). Pengobatan
dengan kloramfenikol berhasil menurunkan angka kematian hingga 1% di berbagai daerah.
Adanya penyakit dasar yang melemahkan, perforasi saluran cerna atau perdarahan yang
hebat, akan meningkatkan kemungkinan kematian. Kekambuhan terjadi pada 10% penderita
yang tidak mendapat pengobatan antibiotika. Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2
minggu setelah penghentian obat dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut.
Tetapi, kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan
dapat terjadi berkali – kali pada orang yang sama.4
Komplikasi
Perforasi usus terjadi pada 0.5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid.
Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan biasanya di awali dengan
penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi
tanpa didahului perdarahan dan pada umumnya pada ileum bagian distal. Perforasi akan
disertai peningkatan nyeri abdomen, nyeri tekan, muntah–muntah, dan tanda–tanda
peritonitis. 3,4
Tifoid toksik dapat berupa delirium dengan atau tanpa sindrom, semi-koma atau koma,
Parkinson rigidit/transient parkinsonism,sidrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid
diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran
berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom
klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik. 4
Kesimpulan
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella
typhi. Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam,
sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, sulit buang air beberapa hari,
sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu
meningkat terutama sore dan malam hari. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi
dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit ini.
Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan juga menjadi penyebab terbanyak terjadinya demam tifoid.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: EGC; 2004. h.98-9.
2. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001.h. 405-36.
3. Widodo D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009. h. 2797-806.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 2767-993.
5. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran 2. Edisi 22. Jakarta:
Salemba Medika; 2005.h. 276-309.
6. Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h. 41-6, 64-6, 71-4, 157-
60.
7. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan
terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2009.