makalah-pbl-blok-15

19
Sindrom Stevens Johnson Akibat Alergi Obat Lili Novita Manen Sampel 102012311 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510 Pendahuluan Sindrom Stevens Johnson merupakan kelainan yang termasuk eritema multiforme mayor yang mengenai kulit, selaput lendir atau mukosa di orifisium dan mata serta organ-organ tubuh lain. Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Sindrom Stevens Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya kasus sindrom Stevens Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini berhubungan dengan kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu perlu pentalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong. 1

Upload: tuti-dam

Post on 05-Dec-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 15

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah-Pbl-Blok-15

Sindrom Stevens Johnson Akibat Alergi Obat

Lili Novita Manen Sampel

102012311

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Sindrom Stevens Johnson merupakan kelainan yang termasuk eritema multiforme mayor

yang mengenai kulit, selaput lendir atau mukosa di orifisium dan mata serta organ-organ

tubuh lain. Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai

berat. Sindrom Stevens Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan

kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai

hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya

kasus sindrom Stevens Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab

utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus

dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini

berhubungan dengan kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena

itu perlu pentalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong.

Di dalam makalah ini akan membahas sindrom Stevens Johnson dimulai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, penunjang, diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,

penatalaksanaan, prognosis dan sampai dengan pencegahan sindrom Stevens Johnson.

Pembahasan tersebut akan disetai dengan kasus anak laki-laki yang berusia 13 tahun dirawat

di RS dengan keluhan lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah

makan obat Sulfa sejak 2 hari yang lalu. Semoga makalah ini dapat menjadi sebuah referensi

baru bagi pembaca untuk memahami tentang sindrom Stevens Johnson.

Sindrom Stevens Johnson

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium

1

Page 2: Makalah-Pbl-Blok-15

serta mata disertai gejala umum berat. Nama lain dari penyakit ini adalah  sindrom de

Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom

muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai

sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki

dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan

rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih

tinggi pada jenis HLA tertentu.

Anamnesis

Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga

dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan

kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke

diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat

langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau

pengantarnya (alo-anamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien di bawah umur

atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari dokter. Anamnesis yang

baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit

dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi.

Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku

bangsa dan agama.

Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa

pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus

disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Seperti dalam

skenario anak laki-laki 13 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kaluhan lepuh pada kedua

lengan, badan atas, bokong dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang. Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis,

terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai

pasien datang berobat. Dalam melakukan anamnesis diusahakan mendapatkan data-data

sebagai berikut: 1) Sebelum timbul lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua

2

Page 3: Makalah-Pbl-Blok-15

paha, pernah mengkonsumsi obat atau sesuatu yang dicurigai sebagai pencetus timbulnya

lepuh tersebut. Hal ini perlu ditanyakan karena sindrom Stevens Johnson biasanya

disebabkan oleh alergi obat; 2) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali;

3) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, atau keluahan lain yang bersamaan dengan

serangan; 4) Bentuk efloresensi primer sebelum pasien dibawa ke rumah sakit.

Riwayat Penyakit Keluarga. Penting untuk mencari kemungkinan penyakit heredier, seperti

alergi.

Riwayat Pribadi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan

kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan kehidupan sehari-hari seperti

masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan

adalah kebiasaan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunnaan obat-obatan terlarang

(narkoba).1

Pemeriksaan Fisik

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu

berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat

kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat

disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri

tenggorok.

Pada SSJ ini dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi. Pasien akan menunjukkan trias kelainan

berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.

Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Eritema adalah kemerahan pada

kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel sedangkan vesikel

adalah gelembung berisi cairan serum beratap berukurab kurang dari 0,5 cm garis

tengah dan mempunyai dasar dan bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar.

Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu

dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

Kelainan selaput lendir di orifisium

3

Page 4: Makalah-Pbl-Blok-15

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah kelainan mukosa mulut (100%),

kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang

hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)

Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga terjadi erosi dan

ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk

pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta bewarna hitam

yang tebal.

Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas,

dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.

Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.

Kelainan mata

Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah

konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,

perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

Selain trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan

onikolisis.

Untuk memastikan kelainan yang diderita pasien perlu pula dilihat adanya epidermolisis.

Pada Nekrolisis Epidermolisis Toksik (bentuk parah dari SSJ) yang penting ialah terjadinya

epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, ini menunjukkan

kemungkinan penyebabnya adalah infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu

dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menentukan jenis kuman penyebabnya. Kalau

terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Di samping itu, juga

ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria dan gangguan

elektrolit serta adanya gambaaran gangguan fungsi organ tubuh yng terkena.2

Histopatologi

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan

dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal yang menyeluruh berupa :

Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.

4

Page 5: Makalah-Pbl-Blok-15

Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

Spongiosis dan edema intrasel epidermis.3

Diagnosis

Diagnosis Sindrom Stevens johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada

korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap

manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya

dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain

pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah

dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada

kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat

peningkatan eosinofil. Kadat IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit

menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan

bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung

ditegakkan diagnosis.4

Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas. Sebagai diagnosis banding dari

SSJ adalah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) karena NET dianggap sebagai bentuk parah

SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi

diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET.

Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ. Pada stadium dini NET tampak

vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di

dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis

eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh sub-epidermal. Epidermolisis yaitu

epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya

menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada

kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit kan terkelupas.

Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan. Pada sebagian pasien

kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula.

Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus

gstrointestinalis.

5

Page 6: Makalah-Pbl-Blok-15

Eksantema fikstum multipel generalisata juga dianggap sebagai diagnosis banding. Pada

penyakit ini lesi timbul pada tempat yang sama dan biasanya tidak menyeluruh. Jika sembuh

meninggalkan bercak hiperpigmentasi menetap. Kelainan eksantema fikstum multipel berupa

eritem atau hiperpigmentasi dengan vesikel atau bula berbentuk bulat tau lonjong, di atasnya,

berukuran lentikular, numular sampai plakat. Lesi dapat timbul di seluruh tubuh, paling

sering di sekitar mulut, penis. Lesi di bibir dan genitalia eksterna dapat berupa erosi. Bila

sembuh lesi akn meninggalkan warna hiperpigmentasi yang akan menghilang dalam jangka

waktu yang lama.

Diagnosis banding lainnya adalah Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome ( SSSS ). Penyakit

ini umumnya menyerang usia yang lebih mudah. Anak-anak merupakan faktor resiko pada

SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin

(toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS

masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal. SSSS merupakan bentuk

berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit yang berlepuh yang

disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaanya adalah impetigo bulosa

hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas

keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan SSS dengan TEN adalah

infeksi SSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan

epidermis (sampai membran basal).

Manifestasi Klinis

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan,

nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan

kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di :

Kulit; berupa eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh

tubuh. Bila bula kurang dari 10% disebut Sindrom Stevens Johnson, 10-30% disebut

Sindrom Stevens Johnson-Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ-NET), lebih dari 30%

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,

perdarahan dan krusta bewarna merah.

Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,

kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi

kornea.

6

Page 7: Makalah-Pbl-Blok-15

Epidemiologi

Insidens SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan

Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa

SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan

belum menurun seperti pada usia lanjut.

Etiologi

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat mengatakan, SSJ merupakan

eritema multiforme derajat berat dan disebut sebagai eritema multiforme mayor. Penyebab

utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit

graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 taun (1998-

2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgesik/antipiretik (45%), disusul

karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain

amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.

Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat

akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin

yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis sedangkat CD8 pda epidermis. Keratinosit

epidermal mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau

sedikit. TNF α di epidermis meningkat.2

Alergi Obat Sulfa

Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk

pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamid

kemudian terdesak oleh antibiotik. Sulfonamida bersifat mikrobiostatik untuk sejumlah besar

bakteri gram positif dan gram negatif, dan berbagai protozoa (seperticoccidia, Plasmodium

spp). Sulfonamida digunakan biasanya dengan kombinasi agen kemoterapi lainnya untuk

merawat infeksi saluran kencing, malaria, coccidiosis dll. Sulfonamida bertindak sebagai

analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA), yang menghambat PABA saat

pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam folat. Organisme yang membuat

sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan eksogen dari vitamin menjadi sensitif

7

Page 8: Makalah-Pbl-Blok-15

terhadap sulfonamida, karena selnya dapat menyerap obat ini, sementara organisme yang

memerlukan asam folat eksogen untuk pertumbuhannya tidak sensitif. Penundaan periode

beberapa generasi terjadi antara paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan

penghambatan pertumbuhan; pada saat ini sel menghabiskan pasokan asam folat endogen

yang telah dibuat sebelumnya. Efek penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai

bersama dengan antibiotik (misalnya penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang

tumbuh.

Efek samping penggunaan sulfonamid sering timbul (sekitar 5%) pada pasien. Reaksi ini

dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila

mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensititasi, pemkaiannya secepat mungkin

dihentikan. Mereka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut, untuk seterusnya tidak boleh

diberi sulfonamid. Efek samping penggunaan sulfonamid adalah :

Gangguan sistem hematopoetik. Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi

alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD. Kebanyakan pasien sembuh kembali

dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberian sulfonamid dihentikan.

Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal. Hal ini diduga

berdasarkan efek mielotoksik langsung. Trombositopenia berat jarang terjadi, jarang

terjadi pada pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ringan selintas lebih sering

terjadi. Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Eosinofilia dapat terjadi dan bersifat

reversibel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensitivitas terhadaap

sulfonamid. Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau

mendapatkan kemoterapi dengan mielosupresan sering menimbulkan hambatan

sumsum tulang yang bersifat reversibel.

Gangguan saluran kemih. Pemakaian sistemik dapat menimbulkan komplikasi pada

saluran kemih, meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulfa

yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol.

Reaksi alergi. Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa

kelainan morbiliform, skarlatiniform, urtikariform, erisipeloid, pemfigoid, purpura,

petekia, juga timbul eritema nodusum, eritem multiformis tipe Sindrom Stevens

Johnson, sindrom Behcet, dermatitis eksfoliativa dan fotosensitivitas. Gejala

umumnya timbul setelah minggu pengobatan terapi mungkin lebih dini pada pasien

yang telah tersensititasi. Kekerapan terjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin

dan 2% dengan sulfisoksazol. Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum

8

Page 9: Makalah-Pbl-Blok-15

(serum sickness) dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamid.

Hipersensitivitas sistemik difus kadang-kadang dapat pula terjadi. Sensitivitas silang

dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa. 5

Patogenesis

Patogenesis kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga terjadinya kelainan ini diperan

oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks

antigen-antibody yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem

komplemen akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan lisozim yang

menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi akibat sel limfosit

T yang telah tersensititasi terkontak ulang dengan antigen yang sama lalu sel T tersebut

melepaskan limfokin dan menimbulkan reaksi peradangan. Oleh karena proses

hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi : 1) kegagalan fungsi kulit

yang menyebabkan kehilangan cairan; 2) stres hormonal diikuti peningkatan tsistensi

terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria; 3) kegagalan termoregulasi; 4) kegagalan

fungsi imun; 5) infeksi.

Penatalaksanaan

Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat

adiktif. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan

prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus

diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunanaan obat

kortikosteroid merupakan tidakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara

intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi

dalam beberapa hari. Seorang pasien SSJ yang berat harus segera dirawat inap dan diberikan

deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari) masa kritis telah teratasi,

keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami

involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis

telah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid misalnya prednison yang

diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian obat tersebut

ditutunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan

kira-kira 10 hari.

9

Page 10: Makalah-Pbl-Blok-15

Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan

metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason

karena termasuk dalam golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan

kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam

waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek

sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah

eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen) misalnya pemfigus.

Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang

sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian

harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetpi

infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara

pengambilan sampel yng terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan

spirtus dilutus dengan kasa steril selma ½ jam untuk menghindari kontaminasi.

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul milaria kristalia yang sering

disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap

diturunkan.

Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasein akan berkurang, karena itu

harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopnemonia

yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang

menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit

nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang

rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi atau obat sulfa. Hal ini

untuk mencegah sensititasi silang. Obat yang memenuhi syart tersebut misalnya

siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas juga cukup

efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan

misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Untuk mengurangi efek samping

kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid

bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat

penurunan k dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per os.

Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi,

terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan

tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya

10

Page 11: Makalah-Pbl-Blok-15

dekstrose 5%, NaCl 0,9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan

8 jam sekali.

Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan selama 2 hari, maka dapat diberikan

transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole

blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk,

setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.

Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan.

Jadi indikasi pemberian transfusi darah SSJ dan NET adalah :

Bila terlah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum

ada perbaikan. Dosisi adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg

sehari.

Bila terdapat purpura generalisata.

Jika terdapat leukopenia.

Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian

darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat sedikit naik namun cepat turun.

Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000

mg sehari iv.2

Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pasien dimandikan dengan larutan

permananfan kalikus 1 : 10.000. Lesi pada bibir dioleskan dengan kanalog in orabase.

Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata

memberikan airmata artifisial atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.

Secara rutin pasien juga kita konsultasikan ke bagian kulit kelamin untuk perawatan yang

komprehensif. Konsultasi ke bgian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit

terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.6

Prognosis

Jika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat

purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Kematian berkisar antara 5-15%

pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.

11

Page 12: Makalah-Pbl-Blok-15

Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,

bronkopneumonia serta sepsis.

Pencegahan

Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat

adiktif lainnya.

Kesimpulan

Diagnosis Sindrom Stevens Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada

umumnya disebabkan reaksi terhadap obat terutama sulfa, β-lactam, imidazol dan NSAID,

kemungkinan infeksi juga harus dipikirkan. Lesi kulit terutama vesikel dan bula.

Penatalaksanaan lebih bersifat simtomatik dan konservatif, kecuali lesi terbuka perlu

kooardinasi dengan unti luka bakar.

Prognosis cukup baik dengan kemungkinan timbulnya simblefaron dan angk akematian

kurang dari 0,5%.

12

Page 13: Makalah-Pbl-Blok-15

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna

Publishing; 2009. h.2861-8.

2. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th Ed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h.163-7.

3. Darmstadt GL, Sidbury R. Stevens johnson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman

RM, Jenson HB: Textbook of pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.

h.2191-4.

4. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. 8th Ed. Jakarta: Erlangga

Medical Series; 2005. h.152-4.

5. Mariana Y, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2012. h.599-604.

6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity.

Immunol Allergy Clin N Am. 2004. h.357-71.

13