makalah pengembangan model pembelajaran ekspresi …€¦ · makalah pengembangan model...
TRANSCRIPT
MAKALAH PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN
EKSPRESI ESTETIKA INOVATIF UNTUK PENDIDIKAN DASAR
Disusun Oleh:
Tim Peneliti Balitbang Diknas
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL BALITBANG – PUSLITJAKNOV
2 0 0 8
1
MAKALAH
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN EKSPRESI ESTETIKA INOVATIF
UNTUK PENDIDIKAN DASAR
Disusun Oleh: Tim Peneliti Balitbang Diknas
A. Pendahuluan
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan
suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik,
maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina
dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun
sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang
cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk
membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju.
Sejak lama sebenarnya kita sering mendengar perlunya pendidikan sikap mental
atau watak. Bahkan dalam kumpulan surat-surat ibu Kartini yang dibukukan dengan judul
”Door Duisternis Tot Licht” menunjukkan bahwa hampir setiap tulisannya penuh dengan
kata-kata perlunya pengembangan watak dan pembentukan watak di atas pendidikan
otak, karena di dalam pembentukan watak ibu Kartini yakin manusia akan lebih mampu
2
untuk berdiri sendiri tidak tergantung dari kerabat dan dari siapapun. Berkali-kali
ditekankan perlunya kepercayaan pada diri sendiri. (Summahamijaya, tanpa tahun: 66)
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan
kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan
mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya
melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam
menghadapi tantangan global..
Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung
pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran Seni
Budaya masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat
pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah
informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif,
kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif.
Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia,
menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya
otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri
seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini
akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering
ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa.
Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat
untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan
Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas
intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009).
Pendidikan Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi atau sikap
mental peserta didik yang harmonis, sebab pendidikan seni budaya memfokuskan diri
pada kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai kecerdasan emosional dan
3
kecerdasan sosial . Kecerdasan emosional dicapai dengan beraktualisasi diri melalui
olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan
keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Kecerdasan
sosial dicapai melalui : membina dan memupuk hubungan timbal balik; demokratis;
empatik dan simpatik; menjunjung tinggi hak asasi manusia; ceria dan percaya diri;
menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan
kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara
Berdasar pengalaman di lapangan terdapat beberapa problem pendidikan seni
budaya di sekolah, antara lain: 1) pendidikan ekspresi estetika masih belum dianggap
penting oleh sebagian masyarakat maupun sekolah itu sendiri, seni budaya masih
dipandang sebagai mata pelajaran pelengkap; 2) Guru-guru seni budaya terbawa arus
oleh persepsi yang salah terhadap hasil pendidikan , sehingga menganggap bahwa siswa
yang berhasil adalah siswa yang serba tahu tentang seni budaya, pandai melukis, pandai
menyanyi, pandai menari dan seterusnya. Pada hal tujuan utama mata pelajaran ini
sebenarnya adalah pembentukan sikap mental siswa. Dengan sendirinya model
pembelajaran yang diterapkan sekarang ini jelas menjadi tidak sesuai dengan tujuan mata
pelajaran seni buaya yang sebenarnya tersebut. 3) lingkup kompetensi yang harus
dicapai cukup banyak yang meliputi: seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni drama,
sementara alokasi waktu sangat terbatas yaitu 2 jam per minggu; 4) terbatasnya
kemampuan guru untuk menyampaikan ke empat bidang seni tersebut. Kondisi ini di
perparah dengan banyaknya guru seni budaya yang bukan berlatar belakang pendidikan
seni budaya sehingga terjadi miskonsepsi tentang pendidikan ekspresi estetika; 5) selama
ini pendidikan seni budaya masih belum banyak diperhatikan, baik dalam aspek proses
belajar mengajar, media dan bahan ajar maupun bentuk penilaiannya. Kondisi ini
berdampak guru-guru tidak memiliki rujukan dalam pembelajaran ekspresi estetika; 6)
Terbatasnya kemampuan guru untuk mampu memberdayakan potensi lingkungan budaya
dan potensi sekolah untuk mendukung pembelajaran ekspresi estetika. Padahal setiap
daerah memiliki potensi budaya dan kesenian yang sangat kaya ragam sebagai media
pembelajaran. Berangkat dari berbagai kondisi di atas, mendesak dilakukan
4
pengembangan model pembelajaran ekspresi estetika yang berbasis budaya sebagai acuan
bagi guru di sekolah.
Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan saran dan kebijakan dalam
peningkatan mutu pelaksanaan Wajar dikdas 9 Tahun yang berkaitan dengan model
proses belajar mengajar ekspresi estetika agar terjadi iklim yang kondusif bagi
berkembangnya minat dan bakat siswa pada ranah afektif. Secara khusus tujuan tersebut
dijabarkan sebagai berikut: 1) mengembangkan model pembelajaran inovatif yang sesuai
dengan konsep-konsep teoretik dan memberdayakan lingkungan budaya lokal dan potensi
sumberdaya sekolah, 2) mengembangkan perangkat pembelajaran yang meliputi: (1)
silabus; (2) RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (3) buku Siswa, (4) LKS (Lembar
Kegiatan Siswa), dan (5) Lembar Penilaian; dan 3) mengembangkan media pembelajaran
pendidikan ekspresi estetika.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian pengembangan, karena salah satu
tujuan utama dari penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran inovatif,
diikuti dengan pengembangan perangkat pembelajarannya sebagai kelengkapan
penerapan di kelas yang terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (a) pengembangan model, (b)
pengembangan perangkat pembelajaran yang relevan dengan model, dan (c)
implementasi/ ujicoba di kelas.
Strategi yang digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran dalam
penelitian ini mengadaptasi model siklus pengembangan instruksional yang
dikembangkan oleh Fenrich (1997). Pengembangkan model pembelajaran meliputi fase
analisis, perancangan, pengembangan dan implementasi. Fase evaluasi dan revisi
merupakan kegiatan yang berkelanjutan dilakukan pada tiap fase disepanjang siklus
pengembangan tersebut. Kegiatan evaluasi diikuti dengan revisi sebagai rencana bagi
kegiatan fase berikutnya. Untuk mencapai tujuan dan menghasilkan luaran ditempuh
dengan menggunakan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: 1) Kajian teoretik dan
kajian empiric, 2) Penyusunan perangkat pembelajaran, 3) Validasi internal-eksternal, 4)
Uji coba terbatas, 5) Perbaikan perangkat pembelajaran, 6) Rekaman Video pembelajaran
5
& editing, 7) Uji coba secara lebih luas, 8) Perbaikan untuk menghasilkan perangkat
final.
Pengumpulan Data dilakukan menggunakan : 1) studi dokumen, 2) observasi:
dilakukan oleh pengamat menggunakan lembar pengamatan: lembar pengamatan
keterlaksanaan pembelajaran, lembar pengamatan kemampuan guru mengelola
pembelajaran, 3) Angket disebarkan kepada siswa setelah selesai pembelajaran untuk
menjaring tanggapan mereka terhadap psoses belajar mengajar yang telah mereka jalani
dan perangkat pembelajaran yang digunakan, 4) wawancara: dilakukan secara langsung
dengan guru setetah proses belajar mengajar.
Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif, dengan memaparkan karakteristik
aspek-aspek model menurut pakar dan praktisi. Data tentang perngkat pembelajaran
dianalisis secara deskriptif, dengan memaparkan karakteristik aspek-aspek perangkat.
Data tentang keterlaksanaan pembelajaran dianalisis secara deskriptif dengan menghitung
persentase keterlaksanaan tahapan pembelajaran, yaitu dengan jalan membagi banyak
tahapan yang direncanakan muncul di dalam pembelajaran di bagi dengan semua langkah
pembelajaran yang direncanakan. Data tentang respon siswa dianalisis dengan
menghitung presentase setiap jenis respon yang diberikan siswa.
C. Kajian Teori
1. Kecenderungan Baru dalam Pembelajaran
Pembelajaran didefinisikan sebagai penciptaan kondisi sehingga proses
belajar mengajar dapat berlangsung secara optimal. Sementara inovatif diartikan
sebagai idea atau gagasan baru. Dengan demikian pembelajaran inovatif adalah
implementasi idea atau gagasan baru dalam tataran mikro di kelas sehingga tercipta
kondisi yang memungkinkan siswa belajar secara optimal. Berdasarkan pada batasan
tersebut pembelajaran bukanlah penyajian informasi semata, di dalam pembelajaran
inovatif, proses belajar mengajar tidak lagi menggunakan paradigma pembelajaran
konvesional, peran guru dan siswa berubah. Paradigma pembelajaran yang semula
Teacher centered, subject based, disipline based, hopital based, standardized di ubah
ke arah model SPICES, yaitu Student Centered, Problem-based, integrated,
Community oriented, Electives, Systematic, continuing.
6
Pada strategi pembelajaran inovatif guru tradisional dan peran siswa di ubah,
tanggungjawab siswa untuk belajar harus ditingkatkan, memberi mereka motivasi dan
arahan untuk menyelesaikan program belajarnya dan menempatkan mereka pada pola
tertentu agar mereka sukses sebagai pembelajar sepanjang hayat. Pada pembelajaran
yang inovatif itu guru akan berperan sebagai sumber belajar, tutor, evaluator,
pembimbing dan pemberi dukungan dalam belajar siswa.
Prinsip yang mendasari strategi pembelajaran inovatif antara lain: (a)
pemahaman dibangun melalui pengalaman, (b) pengertian diciptakan dari usaha
untuk menjawab pertanyaan sendiri dan memecahkan masalah sendiri, (c)
pembelajaran seharusnya mengembangkan instink alami siswa dalam melakukan
penyelidikan dan berkreasi; (d) strategi berpusat pada siswa akan membangun
ketrampilan berfikir kritis, penalaran, dan selanjutnya kreativitas serta
ketaktergantungan.
a. Berpusat kepada siswa
Student centered mengandung pengertian pembelajaran menerapkan strategi
pedagogi mengorientasikan siswa kepada situasi yang bermakna, kontekstual, dunia
nyata, dan menyediakan sumber belajar, bimbingan, petunjuk bagi pembelajaran
ketika mereka mengembangkan pengetahuan tentang materi pelajaran yang
dipelajarinya sekaligus keterampilan memecahkan masalah.
Paradigma yang menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran dan siswa
sebagai objek, seharusnya diubah dengan menempatkan sisswa sebagai subjek yang
bernalar secara aktif membangun pemahamannya dengan jalan merangkai
pengalaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru yang dijumpai.
Pengalaman nyata dari negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi
siswa dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada
saat: mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan)
baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah dimiliki atau mereka kuasasi
(Direktorat PLP, 2000)
b. Berdasarkan masalah
7
Pembelajaran hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, otentik,
relevan, dan bermakna bagi siswa. Pembelajaran yang berbasis subyek seringkali
tidak relevan dan tidak bermakna bagi siswa sehingga tidak menarik perhatian siswa.
Pembelajaran yang dibangun berdasarkan subyek seringkali terlepas dari kejadian
aktual di masyarakat. Akibatnya siswa tidak dapat menerapkan konsep teori yang
dipelajarinya di dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah maka siswa belajar suatu
konsep atau teori dan prinsip sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian
sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang dicapai, yaitu jawaban terhadap
masalah (produk) dan cara memecahkan masalah (proses).
Kemanapun tentang pemecahan masalah lebih dari sekadar akumulasi
pengetahuan dan hukum/teori, tetapi merupakan perkembangan kemampuan
fleksibilitas, strategi kognitif yang membantu mereka menganalisis situasi tak terduga
dan mampu menghasilkan solusi yang bermakna. Bahkan Gagne mengatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang paling tinggi.
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi
ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.
c. Terintegrasi
Seseorang yang belajar seharusnya tidak menggunakan “kaca mata kuda”
yang hanya tahu secara mendalam disiplin ilmunya tapi sama sekali buta tentang
kaitan ilmu yang dipelajari dengan disiplin ilmu lain. Seorang yang belajar seni
wayang, dia tidak hanya harus belajar tentang seni sungging, tetapi juga harus tahu
tentang seni sastra, seni pertunjukan dan aspek budaya. Di dalam inovasi
pembelajaran pendekatan terintegrasi lebih diharapkan dari pada pendekatan disiplin
ilmu. Kelemahan pendekatan disiplin ilmu adalah siswa tidak dapat melihat sistem,
mereka akan terkotak pada satu disiplin.
d. Berorientasi masyarakat
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi
ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.
8
Pengalaman dari negara lain menemukan minat dan prestasi siswa dalam bidang
matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat mereka diajarkan
bagimana mereka memeplajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat
dipergunakan di luar kelas. Mengajak siswa untuk mengimplementasikan apa yang
dipelajari di dalam kelas ke konteks masyarakat atau sebaliknya mengambil masalah-
masalah yang terjadi di masayarakat sebagai stater untuk belajar keterampilan dan
pengetahuan yang lebih mendalam merupakan proses pembelajaran yang bermakna.
e. Menawarkan pilihan
Setiap orang bersifat unik, berbeda dengan orang lain. Siswa yang belajar juga
demikian. Mereka memiliki variasi pada gaya belajar, kecepatan belajar, pusat
perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan siswa selama proses mengajar akan
berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi perhatian pada
keragaman karakteristik siswa itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan dilakukan
seperti yang diinginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh siswa.
Untuk itu pembelajaran harus menyediakan alternatif yang dipilih oleh siswa.
Proses belajar adalah proses aktif yang harus dilakukan oleh siswa. Keharusan
menyediakan strategi yang digunakan terhadap retensi siswa. Keterampilan
psikomotor, keterampilan kognitif, keterampilan sosial serta keterampilan
memecahkan masalah serta sikap memiliki strategi pembelajaran yang berebda-beda
utnuk dapat mencapai tujuannya.
Menyamaratakan siswa selama proses belajar mengajar mungkin akan
berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi perhatian pada
keragaman karakteristik siswa itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan dilakukan
seperti yang diinginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan
sangat berpengaruh terhadap tingkat retensi siswa. Siswa yang hanya belajar melalui
membaca saja retensinya hanya 10% siswa yang belajar melalui membaca dan
mendengar saja retensinya 20 % sementara bila dia juga melihat retensinya
bertambah menjadi 30 %. Siswa yang mengucapkan apa yang dilakukan dan
9
mengajarkan kepada orang lain akan memiliki tingkat retensi paling tinggi yaitu 90-
95%.
f. Sistematik
Seringkali hasil belajar bersifat herarkhi, begitu pula substansi materi
pelajarannya. Materi tertentu membutuhkan pengetahuan lain sebagai prasayarat yang
harus dikuasasi terlebih dahulu sebelum seseorang dapat mempelajari materi tersebut.
Begitu pula keterampilan-keterampilan trettentu terutama psikomotorik bersifat
prosedural, memiliki langkah-langkah yang harus dilakukan secara sekuensial
sebelkum dapat menuntaskannya dengan baik. Suatu pengetahuan prosedural
mustahil dapoat dilakukan tanpa dilaksanakan secara berurutan. Setiap langkah
pengetahuan prosedural merupakan prasarat bagi langkah berikutnya. Uraian di atas
merupakan argumentasi mengapa pembelajaran harus dilakukan secara sistematik.
g. Berkelanjutan
Berkelanjutan mengandung pengertian never ending proses. Setiap proses
pembelajaran yang dilakukan meletakkan dasar bagi pembelajaran berikutnya. Setiap
konsep yang diperoleh pada pembelajaran sebelumnya harus dirangkai secara
ontunyu dengan konsep baru yang diperoleh sehingga membentuk jalinan konsep di
dalam benak seseorang.
2. Pertimbangan dalam mengembangkan Model Pembelajaran
Pemilihan strategi pembelajaran dalam rangka membelajarkan siswa harus di
bangun atas dasar asusmsi bahwa tidak ada satupun model/metode/strategi atau
apapun namanya yang dapat digunakan dengan baik untuk semua bahan kajian.
Semua model/strategi memiliki keunggulan dan kekurangan. Model/strategi tertentu
hanya baik untuk mencapai yujuan tertentu sementara model yang lainnya baik
digunakan untuk mencapai tujuan lain.
Beberapa pertimbangan lain yang mungkin perlu diperhatikan di dalam
pemilihan model/metode/ strategi pembelajaran adalah sebagai berikut.
10
a. Pembelajaran ilmu sangat tepat dilakukan dengan cara seperti bagaimana sains itu
ditemukan dan dikembangkan, siswa belajar melalaui hands-on activity dan
minds-on activity.
b. Karakteristik siswa sangat beragam, para pakar membagi siswa yang belajar
menjadi 5 kelompok, yaitu giffted, Conceptual, Contextual, slow leaner, dan
Disabilities. Penelitian Asian Development Bank (2000) menemukan 60 %
pembelajaran di Indonesia adalah contextual. Siswa kontektual adalah siswa yang
baru dapat belajar kalau guru membantu mengakitkan apa yang dipelajarinya
dengan kehidupan sehari-hari di sekitar pemebelajaran yang bersangkutan.
Pembelajaran harus dilakukan dengan cara memberi kesempatan untuk
mengalami sendiri dan berlangsung pada kondisi yang alami.
c. Karakteristik topik kajian dan tujuan belajar yang harus dicapai sangat beragam.
Unesco misalnya mencanagkan 4 tujuan belajar universal yaitu learning to be,
learning to know, learning to do, and learning to live together. Keempat tujuan
pemndidikan universal tersebut, sebenarnya sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional kita UU No. 20/2003 tentang SPN, PP Nomor 19/2005 tentang Standart
Nasional Pendidikan) yaitu kognitif, psikomotorik, dan sikap, untuk mencapai
tujuan tersebut pasti menggunakan model/metode/strategi yang berbeda-beda
Sementara itu menurut Undang-undang Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional strategi pembelajaran harus dilakukan dengan jalan olah pikir, olah hati,
olah rasa, dan olahraga, sementara uraian yang lebih rinci dan spsifik dinyatakan di
dalam Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Menurut PP tersebut, pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandiirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
3. Pendidikan Seni Kontekstual
Secara kodrati, ekspresi estetis merupakan sifat fitrah dari manusia disamping
sifat kodrat yang lain, yakni untuk mengetahui sesuatu yang benar dan menginginkan
11
sesuatu yang baik. Dalam sejarah kehidupan manusia ada tiga pokok nilai yang
senantiasa ingin dicapai yakni kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan
(beauty). Tiga nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan menjadi modal
untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna.
Tanpa estetika hidup akan menjadi kering, hampa bahkan tidak bermakna.
Belajar estetika hakekatnya adalah belajar menemukan dan memaknai nilai-nilai
kehidupan. Hal ini seperti yang dikemukakan Jelantik (1999) yang menyatakan
dengan belajar estetika akan memberikan banyak manfaat, antara lain: 1)
memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian
pada khususnya; 2) memperkokoh rasa cinta kepada kesenian dan kebudayaaan
bangsa pada umumnya serta mempertajam kemampuan untuk mengapresiasi
(menghargai) kesenian dan kebudayaan bangsa lain dan dengan demikian mempererat
hubungan antar bangsa; 3) memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia; 4)
memperkokoh keyakinan dalam masyarakat akan nilai kesusilaan, moralitas,
perikemanusiaan dan ketuhanan; dan 5) melatih diri untuk berdisiplin dalam cara
berfikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik, membangkitkan potensi untuk
berfalsafah, yang akan memberikan kemudahan dalam menghadapi segala
permasalahan, memberi wawasan yang luas dan bekal bagi kehidupan spiritual dan
psikologis (AAM Jelantik, Hal. 13-14).
Dijadikannya seni sebagai salah satu mata pelajaran dalam kegiatan
pendidikan karena seni menawarkan “sesuatu” yang tidak dapat dipenuhi oleh mata
pelajaran lain. Sesuatu tersebut adalah “pengalaman estetik”. Pengalaman estetik
dianggap penting karena manusia merupakan makluk estetikus, yakni makluk yang
berkeindahan. Karena pengalaman estetik yang ditawarkannyalah, maka pendidikan
seni hadir. Dengan demikian dapatlah dikatan bahwa esensi pendidikan seni terletak
pada pemberian pengalaman estetik.
Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan ekspresi estetika ialah
membimbing pertumbuhan pribadi manusia, disamping membuat harmonis
kepribadiannya dalam kelompok sosial. Dan untuk itu pendidikan estetika menjadi
12
sangat fundamental. Pendidikan estetis hakaketnya berfungsi : 1)
menjaga/memelihara kemampuan segala macam persepsi dan sensasi; 2)
mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang
lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan; 3) mengekspresikan perasaan dalam
bentuk yang dapat dikomunikasikan; 4) mengespresikan dalam wujud bentuk dari
segala macam pengalaman mental (Katjik, 1973 hal 7).
Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-
sifat imaginasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan
berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang
‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau
disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni
ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah
pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keangunggan jasmaniah dan
rohaniah, dan oleh karena itu seni seharusnya menjadi dasar pendidikan: ‘that art
should be the basic of education’, demikian kata Herbert Read mengutip thesis Plato
(Tjejep R, 2000, hal 33-34).
Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu
meyadarkan siswa bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu
mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/
masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan
ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu
peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, sehingga dengan
demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai
dengan potensi sumberdaya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya.
Dalam perkembangan global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit
diakomodasi dalam pendidikan seni budaya sekarang ini. Di satu sisi adalah kuatnya
minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya setempat
(lokal), dan diisi lainnya adalah sistem pendidikan seni yang berjalan belum
13
mengarah pada kepentingan tersebut. Ketidaksesuaian ini terjadi karena bahan ajar
pendidikan seni sejak semula tidak didasarkan pada keberagaman budaya lokal yang
tersebar di seluruh pelosok negeri.
Harus kita akui bahwa sistem pendidikan kita saat ini merupakan warisan
pemerintah kolonial. Karena itu pendekatan yang digunakan berdasarkan persepsi
Eropa Barat, kendatipun materinya berbeda. Dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum dan eksakta, hal ini tidak menjadi soal karena dasar ukuran keilmuannya
berasal dari Barat dan tidak culture spesific. Akan tetapi, dalam bidang kebudayaan,
persoalannya lebih sulit. Jika mata pelajaran seni budaya yang diajarkan di sekolah
berdasarkan kaidah seni Barat Modern (yang salah kaprah sering dianggap ’universal’
atau ’standart’ seperti bidang ilmu), maka kaidah itu akan berhadapan dengan nilai-
nilai spesifik yang terdapat dalam setiap budaya lokal. Hal ini dapat mengakibatkan
kesenian lokal dianggap ’seni yang kurang bermutu’ atau bahkan dianggap bukan
seni.
Akhirnya banyak seni budaya kita yang adi luhung dan dapat dimanfaatkan
dalam segala aspek kehidupan, tercerabut dari akarnya dan tumbang satu persatu.
Untuk itu, pendidikan seni budaya harus didudukkan kembali sesuai tempat dan
fungsi yang sebenarnya, didasarkan pada konteks kesenian dan kebudayaan
masyarakatnya dimana sekolah itu berada agar anak didik tidak tercerabut dari ’akar
budayanya’. Saat ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jati diri
karena tidak berkembang dari akar budaya yang kuat. Budaya-budaya lama sudah
pudar, budaya baru belum terbentuk kokoh. Yang ada hanya budaya ngambang tanpa
bentuk, kecualai budaya pop yang suka meniru (budaya imitasi dan konsumtif).
Dengan sendirinya apabila hal ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang rapuh. Gejala tersebut pada saat ini mulai
tampak, terutama bangsa ini sudah mulai tertinggal dengan bangsa-bangsa
berkembang disekitarnya.
Secara substansial pendekatan pendidikan seni budaya dalam Kurikulum
Nasional masih berdasar pada kaidah seni Barat. Titik tolak penggolongan seni,
14
seperti musik, tari, teather dan rupa adalah contoh mendasar. Ketika ketegori disiplin
seni itu berhadapan dengan fenomena lokal, akan ditemukan ketidaksesuaian. Seni
Wayang di Jawa (seni pertunjukan yang pemainnya mendongeng/ bercerita, kadang
menyanyi, main musik gamelan, bergurau dengan penonton, dan didukung dengan
karya wayang yang kaya dengan cita estetika), adalah salah satu contoh yang tidak
dapat dikelompokkan pada keempat katregori tersebut. Dengan demikian perlu
dilakukan sinkronisasi antar cabang seni dalam pendidikan seni budaya melalui
pendekatan secara terpadu melalui ’tema/ topik’ sehingga pemahanan seni dan
budaya menjadi lebih utuh (holistik) dan bermakna.
Bila kita cermati, sampai sekarang implementasi pendidikan seni dan budaya
kita di sekolah masih jauh dari acuan budaya lokal, yakni budaya yang berdasarkan
pada kenyataan. Karena kesenjangan itulah, perlu dilakukan terobosan pengembangan
model pendidikan seni dan budaya yang berbasis budaya.
Dalam pembelajaran ekspresi estetika, kontekstualisasi sangat mustahil
dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu
produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang berbasis
budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak tidak
tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya pendidikan seni kontekstual tersebut juga
dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya Artistic Developmen and
Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang menyatakan bahwa setiap
pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya, kegiatan pemberian
pengalaman esetetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks sosiokultural yang
melingkupinya.
Pembelajaran seni budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi atau
sikap mental peserta didik yang harmonis, sebab pembelajaran seni budaya
memfokuskan diri pada kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai
multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas,
kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
15
Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri
meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran seni budaya, aspek budaya
tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata
pelajaran seni budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis
budaya. Dalam kontek inilah konsepsi tentang seni harus dibangun/ dikonstruk
melalui bekal pengalaman anak yang dibentuk oleh konteks budayanya.
Pendidikan seni budaya juga memiliki sifat multilingual, multidimensional,
dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan
mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa
rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna
pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman,
analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis
unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna
pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi
terhadap beragam budaya nusantara dan mancanegara.
Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung
kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan
konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen,
prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.
Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-
sifat imaginasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan
berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang
‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau
disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni
ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah
pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keangunggan jasmaniah dan
rohaniah, dan oleh karena itu seni seharusnya menjadi dasar pendidikan: ‘that art
16
should be the basic of education’, demikian kata Herbert Read mengutip thesis Plato
(Tjejep R, 2000, hal 33-34).
Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu
meyadarkan peserta didik bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu
mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/
masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan
ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu
peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, sehingga dengan
demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai
dengan konteks sumberdaya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya.
Pendekatan kontruktivis dalam pembelajaran seni budaya sangat mustahil
dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu
produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang di konstruk
berbasis budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak
tidak tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya konstruktivis atau kontekstualisasi
pembelajaran seni tersebut juga dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya
Artistic Developmen and Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang
menyatakan bahwa setiap pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya,
kegiatan pemberian pengalaman estetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks
sosiokultural yang melingkupinya. Karena pengalaman estetik yang dimiliki peserta
didik akan dapat dijadikan modal awal bagi peserta untuk mengkonstruk pemahaman
tentang seni. Dengan terlibat mengkonstruk sendiri sebuah konsep, anak akan lebih
mudah memahami sesuatu konsep.
C. Hasil Penelitian
Seperti diungkapkan di atas, sejauh ini penelitian ini telah berhasil menghasilkan satu
model pembelajaran ekspresi estetika inovatif dan perangkat pembelajaran
pendukungnya. Adapun urian secara rinci tentang hasil sebagai berikut.
1. Sosok Model
17
Sosok model yang telah dikembangkan diuarikan meliputi: dukungan teori
tentang bagaimana siswa belajar, tujuan pengembangan model, asumsi yang
mendasari model pembelajaran yang dikembangkan, sintaks, faktor pendukung, peran
siswa dan guru dalam mengimplemntasikan model pembelajaran.
a. Dukungan teori
Model pembelajaran yang dikembangkan ini didukung oleh teori Bandura yang
terkenal dengan teori belajar sosial. Menurut teori ini, seseorang belajar melalui
pengamatan secara selektif perilaku orang lain (model) yang menarik. Di dalam
model pembelajaran, model yang akan di tiru oleh siswa berasal dari fenomen
atau proses atau perilaku masyarakat yang ada di sekitar siswa.
Sifat integratif pembelajaran ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
siswa dalam melihat sistem, bawa semua proses yang terjadi pada dasarnya tidak
sendiri, tapi kait mengkait satu sama lain. Dengan proses scaffolding siswa
mampu berkembang dari kemampuan aktualnya menjadi kemampuan
potensialnya. Dengan menggunakan contoh-contoh yang ada di sekitar siswa
sebagai model, pembelajaran menjadi bermakna, alami dan kontekstual dan sudah
tentu relevan dengan konteks budaya setempat. Pembelajaran bersifat integrative,
mengkait substansi yang akan dipelajari dengan nilai-nilai budaya dan kesenian
yang ada.
b. Tujuan pengembangan model
Tujuan umum: eksplorasi, optimalisasi, dan pemberdayaan seluruh potensi siswa
melalui olah hati, olah pikir, olahrasa, dan olah raga. Tujuan khusus adalah
pengembangan kecakapan hidup dan mengefektifkan capaian akademik siswa
(konsepsi, apresiasi, dan kreasi) penekanan pda kreasi
c. Asumsi
Asumsi yang mendasarsi model pembelajaran inovatif ini adalah: a) Siswa belajar
melalui pengamatan selektif terhadap perilaku yang menyenangkan; b) Siswa
belajar secara aktif merangkai pengalaman untuk membangun pengetahuannya
sendiri; c) Siswa belajar tidak bisa dilepaskan dari konteksnya (budaya,
lingkungan, kehidupan, sosial); d) siswa merupakan makluk sosial sekaligus
makluk individu; e) Belajar merupakan proses sosial sekaligus proses individual;
18
f) Belajar bukan hanya kerja otak tapi juga merupakan kerja melalui multi indria;
g) Belajar berlangsung dalam konteks menyenangkan;dan h) Belajar merupakan
proses membangun makna dan berlangsung kontinyu
d. Sintaks /langkah-langkah model ini adalah
a) mengorientasikan siswa pada masalah; b) merancang proses pemecahan
masalah atau menjawab pertanyaan; c) membimbing proses kreatif; d)
mengkomunikasikan hasil; e) apresiasi dan konfirmasi; dan f) evaluasi dan
refleksi
e. Faktor pendukung
Sistem pendukung adalah lingkungan belajar sekolah standar, SDM yang kreatif
untuk mendorong siswa melakukan proses kreatif dan mengimplementasikan
model-model serta mampu memberi contoh
f. Peran guru
Dalam mengimplementasikan model ini, peran siswa adalah sebagai subyek
belajar yang aktif merangkai pengalaman, meniru model dan sebagai tutor bagi
temannya yang lain. Sementara guru berperan sebagai model, memberi balikan,
memotivasi, menciptakan kondisi agar belajar berlangsung secara optimal.
2. Kajian Empirik dan Penyusunan Perangkat
a. Kajian empirik
Kajian empirik dilakukan dengan metode Fokus Group Discution. Metode
ini diterapkan untuk mengungkap bagaimana model-model pembelajaran ekspresi
estetika /seni budaya yang dilakukan guru di lapangan, permasalahan-
permasalahan yang dihadapi dan upaya penyelesaian yang telah dilakukan.
Fenomena empiric di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran
cenderung (1) lebih menekankan isi dari pada kompetensi (2) lebih menekankan
kegiatan praktek berkesenian dari pada penguasaan konsep seni (3) dalam praktek
berkarya lebih mengutamakan seni meniru alam dari pada pengembangan
imajinasi (4) lebih mengutamakan seni tradisional yang konteksnya kurang
dikenal siswa.
19
Kendala dalam pembelajaran (1) kurang didukung prasarana ruangan yang
berkarakter seni (2) kesulitan memperoleh sumber belajar seni local/seni daerah
setempat (3) mata pelajaran seni-budaya sebagai bidang marjinal yang kurang
berwibawa karena non-Unas (4) masih banyak guru bidang seni yang berasal dari
disiplin non-seni (5) sumber dan media pembelajaran seni sangat kurang.
b, Penyusunan perangkat pembelajaran
Perangkat pembelajaran Ekspresi-Estetika (Seni-Budaya) yang harus
disusun terdiri: (1) Silabus (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/RPP (3)
Lembar Kegiatan Siswa/LKS (4) Lembar penilaian (5) Buku Siswa (6) Media
Pembelajaran – masing-masing untuk kelas 1 – 9. Mengingat kompleksnya mata
pelajaran seni budaya (meliputi bidang seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater)
dan keterbatasan sumber daya, maka model pembelajaran yang dikembangkan
dibatasi lingkupnya sebagai berikut: a) hanya mencakup satu semester yakni
semester gasal tahun 2007/2008 sejalan dengan tahun ajaran di mana kegitan studi
ini berlangsung; b) Tidak semua bidang, SK, dan KD dikembangkan secara utuh
di seluruh kelas, namun dipilih bidang tertentu dengan mempertimbangkan aspek
representasi dan pemerataan
Hasil review internal merekomendasikan (1) perlunya solusi atas
terjadinya overlapping Standart kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)
pada beberapa kelas/semester. Kesamaan SK/KD tersebut diatasi dengan
menyesuaikan tingkat kesulitan materi, kesulitan bahasa ungkap, dan contoh-
contoh kasus (2) perlu penyederhanaan bahasa disesuaikan dengan kemampuan
siswa (3) perlu ilustrasi gambar yang cukup untuk mendukung pemahaman.
Kegiatan validasi eksternal dilakukan oleh reviewer di luar tim studi
inovasi pembelajaran Ekspresi-Estetika/Seni Budaya yang terdiri atas dua unsur,
yakni unsur akademisi, atau para dosen bidang seni dan unsur praktisi, atau para
guru pendidikan dasar. Materi yang divalidasi ialah (1) relevansi dengan KTSP
(2) konsistensi antara silabus, RPP, buku siswa, LKS, dan lembar penilaian (3)
proyeksi keterlaksanaan di lapangan/sekolah (4) aspek inovasi (5) keterbacaan.
20
Fakta empirik di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran cenderung
(1) lebih menekankan isi dari pada kompetensi (2) lebih menekankan kegiatan
praktek berkesenian dari pada penguasaan konsep seni (3) dalam praktek berkarya
lebih mengutamakan seni meniru alam dari pada pengembangan imajinasi (4)
lebih mengutamakan seni tradisional yang konteksnya kurang dikenal siswa.
Kendala dalam pembelajaran (1) kurang didukung prasarana ruangan yang
berkarakter seni (2) kesulitan memperoleh sumber belajar seni local/seni daerah
setempat (3) mata pelajaran seni-budaya sebagai bidang marjinal yang kurang
berwibawa karena non-Unas (4) masih banyak guru bidang seni yang berasal dari
disiplin non-seni (5) sumber dan media pembelajaran seni sangat kurang.
Rekomendasi yang dihasilkan antara lain: (1) KD memungkinkan untuk diubah
disesuaikan sikon, karena terjadinya tumpang tindih KD, (2) Alternatif untuk
mengatasi kesulitan sumber seni lokal ialah penyesuaian orientasi pada seni
populer yang konteksnya sangat dekat dengan siswa (pluralis), (3) Perlu
pengintegrasian pelajaran praktek dan teori, untuk lebih memahamkan siswa, (4)
Dibutuhkan pemetaan dan identifikasi kesenian tradisional/lokal, dan (6) Kegiatan
praktek perlu diarahkan ke eksplorasi (bentuk, bahan).
c. Hasil Implementasi
Dalam tahapan Uji coba terbatas perangkat pembelajaran ini mencakup (A)
persiapan (B) pelaksanaan dan hasil uji coba yang akan dipaparkan sebagai
berikut:
a. Persiapan
Persiapan ujicoba perangkat pembelajaran meliputi (1 ) menentukan sekolah
sasaran uji coba (2) kordinasi dengan sekolah ujicoba (3) penyamaan
persepsi/pembekalan guru (4) penyusunan instrumen keterbacaan dan
keterlaksanaan perangkat.
1. Penentuan sekolah sasaran ujicoba terbatas dengan mempertimbangkan
kondisi/mutu sekolah di Indonesia yang beragam mendapatkan tiga
sekolah, yakni SD Alam Insan Mulia untuk ujicoba mapel kelas rendah
21
(kelas 1, 2, 3); SD Laboratorium Unesa untuk uji coba mapel SD kelas
tinggi (kelas 4, 5, 6).
2. Kordinasi dengan sekolah ujicoba dimaksudkan untuk memperoleh ijin
dari kepala sekolah tentang pelaksanaan ujicoba dan memperoleh data
guru terkait serta jadual pelaksanaan ujicoba. Berkenaan dengan ini
diperoleh data nama guru dan jadual sebagai berikut:
3. Penyamaan persepsi antara peneliti/penyusun perangkat dengan guru
berkenaan dengan Silabus, RPP, LKS, Buku Siswa, media pembelajaran,
dan alokasi waktu. Di samping itu juga nuansa inovatif pembelajaran yang
menekankan (a) student centered (b) pendekatan kontekstual yang
ditandai dengan pemanfaatan sumber belajar yang ada di sekitar siswa,
pengembangan keterampilan bertanya yang mendorong siswa untuk
mengeksplorasi penalarannya, pengembangan learning comunity dengan
membentuk kelompok diskusi untuk memecahkan masalah, pemodelan
dengan menghadirkan berbagai media belajar yang sesuai (c)
mengembangkan soft skill dalam bentuk memaparkan hasil pengamatan/
diskusi di depan kelas (d) berbasis budaya yang bersifat plural, mencakup
seni budaya tradisional, modern, kontemporer, populer – yang dekat
dengan siswa (e) belajar dalam suasana yang menyenangkan (f)
menyisipkan pesan moral tentang pentingnya menyadari perbedaan,
terutama perbedaan pendapat sebagai modal untuk saling menghargai,
bukan sebagai modal untuk saling membenci (f) mengembangkan sikap
apresiatif, dengan cara sederhana yakni memberikan komentar dan
penghargaan terhadap karya seni teman.
b. Pelaksanaan dan Hasil Uji Coba
Ujicoba terbatas dan uji coba luas perangkat pembelajaran oleh guru
disertai dengan pantauan peneliti/penyusun perangkat untuk meninjau
kesesuaiannya dengan rancangan. Dalam tahap ini diperoleh masukan dari
guru pelaksana ujicoba untuk penyempurnaan model pembelajaran.
22
Dalam uji coba model pembelajaran, secara umum guru menerapkan
sesuai dengan rancangan, dalam arti mengikuti tahapan proses dan skenario
yang tertuang dalam RPP. Uji coba model juga didukung dengan media
pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran. Namun secara kasuistis, uji
coba di kelas 7, 8, dan 9 menurut pengamatan peneliti dijumpai sejumlah
kendala sebagai berikut: (1) Situasi kelas uji coba yang sering terganggu
pengumuman-pengumuman sekolah, (2) Guru sulit meninggalkan budaya
pembelajaran konvensional (teacher centered dan verbalistis), belum di setting
untuk kelas CTL yang lebih bernuansa student centered, (3) Belum ada kelas
khusus yang memiliki karakteristik bidang seni, (4) KTSP – yang didukung
oleh program ini kurang dipahami baik oleh guru, (5) Guru kurang mampu
mengkaitkan antara silabus, buku siswa, RPP, (7) Peran siswa sudah tampak
diaktifkan, tetapi guru masih saja terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran,
(8) Guru masih terpaku pada skenario pembelajaran, meskipun sudah tampak
ada inisiatif pengembangan, (9) Buku siswa belum dimanfaatkan secara
optimal, dan (10) Alokasi waktu (dua jam pelajaran) untuk pelajaran praktek
dan teori kurang mencukupi
Sementara itu, penilaian/komentar/masukan guru berdasar angket
tentang perangkat pembelajaran ( silabus, RPP, Buku Siswa) adalah sebagai
berikut:
1. Secara umum silabus telah memenuhi harapan guru. Artinya, silabus telah
memenuhi kriteria kedalaman cakupan, tingkat kesukaran, urutan materi
dan kesesuaian dengan perkembangan pisik, intelektual, sosial, emosional
siswa. Isi setiap komponen sudah saling terkait untuk menunjang
kompetensi. Isi setiap komponen dapat mengakomodasi keragaman
peserta didik, kondisi lingkungan, perubahan dan tuntutan sekolah dan
masyarakat. Cakupan indikator, materi pokok, KBM, sumber belajar,
sistem penilaian sudah mengikuti perkembangn IPTEKS mutakhir dalam
kehidupan dan peristiwa nyata dan sudah menunjang kompetensi dasar.
Setiap komponen silabus sudah mencakup seluruh ranah kompetensi
(kognitif, afektif, psikomotor). Isi setiap komponen sudah mengakomodasi
23
cakupan apresiasi dan kreasi yang menekankan pada multi kultural, multi
tafsir , multi media, dan multi kecerdasan. Isi setiap komponen sudah
dapat mengakomodasi pembentukan watak: meningkatkan kepekaan,
apresiasi, kratifitas, kejujuran, keberanian, kepercayaan diri, dan sikap
mental produktif. Setiap isi komponen sudah mengarah pada model
pembelajaran yang lebih mementingkan proses dari pada produk. Silabus
dapat dilaksanakan di lapangan. Aspek yang mendapat komentar
negatif atau kurang ialah kesesuaian alokasi waktu dengan yang
disediakan oleh kurikulum.
2. Secara umum RPP telah memenuhi harapan guru (sangat baik/baik).
Deskripsi lebih lanjut ialah : tujuan/indikator sudah jelas, cakupan
kompetensi sudah lengkap, sesuai dan mendukung kompetensi dasar.
Materi pembelajaran sesuai dengan indikator, sesuai dengan
karakteristik siswa, runtut/sistematis/hirarkis. Sumber/media sudah
mendukung indikator hasil pembelajaran, mendukung materi
pembelajaran, sesuai dengan kondisi/karakterisitik siswa, dapat
dioperasionalkan guru dengan mudah. Skenario pembelajaran sudah
mendukung tercapainya idikator. Model pembelajaran sesuai dan
mendukung penyampaian materidengan baik. Model pembelajaran sesuai
dengan kondisi/karakteristik siswa. Langkah-langkah pembelajaran jelas,
sistematis, hirarkis. Lebih mengutamakan proses dari pada hasil.
Mementingkan pembentukan watak dari pada sekedar penyampaian
materi. Sudah mengadopsi model pembelajaran CTL. Evaluasi sudah
mendukung tujuan/indikator, prosedurnya jelas, instrumen lengkap,
menilai semua aspek, menggambarkan penilaian model assesment,
menyertakan proses refleksi.
3. Secara umum Buku Siswa telah memenuhi harapan (sangat baik/baik).
Deskripsi lebih lanjut ialah : tujuan/indikator sudah sesuai dan
mendukung KD, cakupan kompetnsi sudah lengkap. Materi, sesuai dengan
indikator, sesuai dengan karakterisitik siswa, runtut, sistematis, hirarkis,
memenuhi kriteria kontekstual, sesuai dengan waktu yang disediakan oleh
24
kurikulum, setiap indikator diuraikan lengkap, mendalam sesuai dengan
karakteristik siswa, mendukung student centered, mengutamakan proses
dari pada hasil, dilengkapi rangkuman, KD, indikator, evaluasi, dan tugas
kelompok/perorangan, dilengkapi gambar/ilustrasi yang sesuai.
Beberapa catatan/komentar tentang buku siswa ialah (1) kurang jelas
menunjukkan materi pembelajaran yang bersifat multi kultural, multi
tafsir, multi media, dan multi kecerdasan (2) perlu penyerderhanaan
bahasa yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa (3) penempatan
gambar-gambar/ilustrasi sebaiknya berdekatan dengan teks yang terkait
agar memudahkan pembacaan.
4. Rekaman video pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 3-8 September
2007, dengan terlebih dulu dilakukan latihan sebanyak tiga kali. Kegiatan
ini dilakukan di dalam kelas nyata, dengan ruang kelas, jumlah siswa,
serta guru sesuai yang sebenarnya. Rekaman video pembelajaran dipandu
oleh naskah/skenario yang dissn oleh peneliti dengan durasi antara 30-45
menit. Kendala dalam kegiatan ini terutama dalam da hal. Pertama,
sulitnya mengendalikan siuasi kelas nyata, yang tidak dikondisikan seperti
ruang studio yang terbebas gangguan lingkungan, khususnya suara-suara
yang tidak dinginkan. Kedua, editing yang waktunya sangat pendek dan
tidak dapat melibatkan penulis skenario secara langsung, sehingga
berdampak pada hasil penyuntingan video yang kurang sesuai dengan
harapan penyusun skenario. Upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi
masalah ini ialah memperbaiki hasil suntingan dengan melibatkan
penyusun skenario dan menambahkan teks untuk memperjelas
sintaks/tahap-tahapan kegiatan. 5. Replikasi Uji Coba di Mataram
Secara umum, respon siswa dan guru dalam pembelajaran seni budaya
sesuai dengan hasil pengamatan adalah menunjukkan suasana hidup,
bersemangat dan menyenangkan. Analisis ini didasarkan pada pengamatan
peneliti, isian angket guru (observer), dan angket siswa. Isian angket
difokuskan pada (1) apakah pembelajaran yang diterapkan dapat dikatakan
25
baru (2) Dalam aspek apa nilai kebaruan tersebut (3) Apakah
pembelajaran yang dimaksud menyenangkan (4) aspek mana yang
menyenangkan (5) komentar terhadap pembelajaran dimaksud, baik yang
positif maupun yang negatif.
Dari angket siswa yang disebarkan secara acak di kelas 4 SD diperoleh
data sebagai berikut :
1. Pembelajaran seni rupa yang dilaksanakan, 100 % siswa menjawab baru
Hal-hal yang dirasakan baru adalah :
a. lKS
b. cara guru mengajar
c. Alat mengajar
d. Suasana pembelajarannya
2. Pembelajaran yang dilaksanakan menyenangkan anak, 100 % merasa senang dan
hal-hal yang menyenangkan berkaitan dengan LKS, cara guru mengajar, alat
mengajar dan suasanan pembelajarannya
3. Seluruh Siswa antusias dan ingin mengikuti pembelajaran seperti ini lagi
4. Komentar tertulis dari Siswa
a. Senang sekali karena memakai alat-alat gambar yang lengkap, cat air,
crayon dan pensil
b. Saya sangat senang karena saya bisa menggambar dan melukis
c. Suasana menyenangkan dan cara mengerjakannya merasa seru
d. Merasa dapat pengalaman yang belum pernah dirasakan
5. lembar Kerja Siswa, bisa terisi dengan lengkap artinya anak tidak mengalami
kesulitan, bahkan siswa mampu mengenal-nama-nama tumbuhan yang ada di
sekitar lingkungan mereka, dari nama, bentuk, warna , permukaa, serta sifatnya.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa inovasi pembelajaran Seni Budaya (seni
rupa) yang dilaksanakan berkategori baru dan menyenangkan anak. Mereka
26
melihat/merasakan bahwa nilai kebaruan pembelajaran dimaksud terletak pada beberapa
aspek, yaitu LKS dan media atau , cara, dan suasana pembelajaran.
Dalam option, aspek apa yang membuat siswa merasa senang mengikuti pembelajaran
dimaksud, karena didukung oleh alat/media yang komplit dan suasana pembelajaran yang
menyenangkan. Meskipun demikian, ada seorang siswa yang berpendapat bahwa suasana
ribut, penjelasan guru tidak didengarkan.
Dari angket siswa yang disebarkan secara acak di SMP, diperoleh data bahwa
pembelajaran seni budaya yang diterapkan terkategori baru. Sejumlah 15 siswa hanya dua
anak (14%) yang tidak menyebut baru. Tetapi dua siswa ini meskipun tidak menyebut
sebagai pembelajaran baru, merasa senang mengikutinya. Bagaimana gambaran pendapat
siswa tentang aspek kebaruan terpapar pada tabel berikut:
Tabel Pendapat Siswa tentang Model Pembelajaran Yang diterapkan
Aspek kebaruan Frekuensi
LKS 1
LKS dan alat/media pembelajaran 1
Alat/media pembelajaran 3
Suasana pembelajaran 4
Alat/Media dan Cara pembelajaran 2
Alat/Media, Cara, dan suasana pembelajaran 3
Cara dan suasana pembelajaran 1
15
Dari tabel tersebut diketahui bahwa sejumlah siswa memberikan lebih dari satu
option. Artinya mereka melihat/merasakan bahwa nilai kebaruan pembelajaran
dimaksud tidak hanya terletak pada satu aspek, melainkan pada dua atau lebih aspek.
Misalnya aspek LKS dan media ata media, cara, dan suasana pembelajaran.
Sementara jika dilihat secara parsial aspek yang paling tinggi frekuensinya ialah
alat, kemudian disusul secara berurutan oleh suasana pembelajaran, cara pembelajaran,
dan LKS. Dalam hal ini LKS memperoleh angka terendah, karena LKS tersebut tidak
27
diterapkan, melainkan hanya diberikan secara terlampir dalam buku siswa. Kegiatan
diskusi kelompok kecil, yang semestinya dipad dengan LKS, kurang dimanfaatkan secara
baik oleh guru. Siswa menggunakan lembaran kertas miliknya sendiri.
Jika tabel di atas menunjukkan di mana letak kebaruan yang dapat
dirasakan/dialami dalam pembelajaran seni budaya, gambaran yang serupa juga nampak
dalam option aspek apa yang membuat siswa merasa senang mengikuti pembelajaran
dimaksd. Artinya, siswa senang mengikuti pembelajaran seni budaya karena didukung
oleh alat/media yang menarik dan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Meskipun
demikian, ada seorang siswa yang berpendapat bahwa suasana pembelajaran ini terlalu
santai kurang khusyuk. Di samping itu ada pula satu siswa yang berpendapat kurang
tertarik dengan pembelajaran ini, karena tidak disertai praktek berkarya seni rupa.
Dengan demikian siswa kurang memahami bahwa standar kompetensi yang dicapai ialah
apresiasi, bukan ekspresi/berkarya. Berikut dituliskan komentar para siswa yang
mayoritas:
1. Saya sangat menyukai pelajaran seni budaya, karena seni budaya itu pelajarannya
gampang dan enak.
2. Menurut saya pelajaran seperti ini menarik, karena bisa membuat kita menjadi
semakin aktif,sehingga dapat memahami pelajaran lebih cepat.
3. Dapat menambah wawasan saya sebagai seorang siswa. Memberikan contoh dan
teknik cara pembuatannya.
4. Saya dapat mengetahui apa itu seni bdaya dan macam-macam seni lainnya.
5. Saya dapat mengetahui teknik-teknik pembuatannya dan tujuan pembuatan seni
tersebut dan dapat menambah wawasan saya untuk berkarya, serta dapat
mengasah pikiran saya.
6. Saya bisa cepat mengerti dan lebih jelas
7. Karena suasana mengajarnya menyenangkan dan alat-alatnya juga bagus-bagus.
Dan pelajaran ini sangat menyenangkan apabila dilengkapi dengan alat-alatnya.
8. Saya lebih mengerti dan lebih jelas karena dapat melihat media secara langsung,
juga mempresentasikannya menjadi lebih aktif.
28
9. Pertama menyenangkan apabila diikuti dengan praktek. Bila tidak diikuti dengan
praktek akan membosankan.
10. Saya berharap agar pembelajaran ini sering dilakukan karena dapat menambah
wawasan kita semua.
11. Saya merasa lebih senang, lebih mengerti yang telah diajarkan sama guru
tersebut. Supaya kita lebih mengenal akan seni budaya, karena guru saya
memperkenalkan budaya di sekitar saya.
D. Simpulan
1. Hasil Pengembangan
Penelitian ini telah berhasil mengembangkan (1) model pembelajaran ekspresi
estetika inovatif untuk menumbuhkan sikap apresiatif dan kreatif anak disamping
belajar kornitif dan psikomotorik; (b) Contoh perangkat pembelajaran; (c) Contoh
implementasi model dalam kelas; (e) Instrumen pengamatan belajar
2. Kesimpulan
Ada kecenderungan bahwa pembelajaran inovatif ekspresi estetika yang
dikembangkan ini telah mampu menimbulkan atmosfer pembelajaran yang lebih
kondusif dan baik dari pada pembelajaran sehari-harinya. Ini terlihat dari antusiasme
dan peran aktif seluruh siswa dalm kelompok-kelompok kerja pada saat proses
pembelajaran seni. Para siswa merasakan belajar ekspresi estetika yang jauh lebih
menyenangkan, bermakna dan merasakan keguanaannya dalam kehidupan. Terlebih
sentuhan afeksi yang ikut menunjang perwujudan penanaman perilaku.
Penilaian kognitif dan portofolio pada siswa peserta uji coba menunjukkan hasil
signifikan terhadap pencapaian indikator pembelajaran. Selain itu kegiatan apresiatif
dan kreatif secara berkelompok telah mampu menumbuhkan sikap kebersamaan,
saling menghargai, saling berbagi tangggungjawab. Kondisi ini terlihat sejak awal
kegiatan dalam kegiatan kerja kelompok maupun saat presentasi hail kerja kelompok.
Secara umum perangkat (silabus, RPP, media) telah memenuhi harapan guru
(sangat baik/baik). Artinya, perangkat telah memenuhi kriteria kedalaman cakupan,
29
tingkat kesukaran, urutan materi dan kesesuaian dengan perkembangan pisik,
intelektual, sosial, emosional siswa. Isi setiap komponen sudah saling terkait untuk
menunjang kompetensi yang akan dicapai.
Beberapa pengalaman dan temuan saat ujicoba di sekolah dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1. Respon siswa secara umum sangat baik terhadap proses, strategi, dan materi
pembelajaran.
2. Sebagian siswa bersedia dan merasa senang bila diberikan proses
pembelajaran sejenis ini pada materi lainnya
3. Perangkat pembelajaran yang digunakan pada ujicoba disambut baik dan
sangat membantu pemahaman konsep utama dalam pelajaran ekspresi
estetika.
E. Saran-Saran
Pembelajaran eksresi estetika mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan
kemampuan psikomotorik dan sikap kreatif kerena secara teoretis hasil belajar yang
demikian memerlukan waktu yang lama dalam pembentukannya. Hasil belajar
tersebut dicapai melalui perubahan perilaku dan perubahan sikap. Penelitian ini baru
sampai pada pengecekan apakah guru mampu mengeksplorasi kemampuan ekspresi
anak dan belum menjadikan kemampuan tersebut akan menjadi sikap anak.
Atas dasar itu perlu dilakukan penelitian yang sama dalam rentang waktu yang
lebih lama kemudian dapat mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan
sikap positif anak.
Guru disarankan dilatih terlebih dahulu untuk mengoperasionalkan perangkat
yang sudah dikembangkan mengingat ini model yang baru. Untuk melengkapi
contoh-contoh perangkat yang sudah ada perlu di kembangkan contoh lain yang lebih
kaya.
Rekomendasi
30
Dari hasil data dapat dianalisis, kecenderungan bahwa pembelajaran inovatif
ekspresi estetika/seni budaya yang dikembangkan ini telah mampu menimbulkan
atmosfer pembelajaran yang lebih kondusif dan baik dari pada pembelajaran sehari-
harinya. Ini terlihat dari antusiasme dan peran aktif seluruh siswa dalam kelompok-
kelompok kerja pada saat proses pembelajaran seni. Para siswa merasakan belajar
ekspresi estetika/seni budaya yang jauh lebih menyenangkan, bermakna dan merasakan
kegunaannya dalam kehidupan. Terlebih sentuhan afeksi yang ikut menunjang
perwujudan penanaman perilaku.
Pembelajaran ekspresi estetika/seni budaya, melatih anak mengkatualisasikan diri
lewat olah rasa hal ini akan meningkatkan sensitifitas dan apresiasi akan kehalusan, dan
bila hal ini dilatihkan secara terus menerus maka akan mencerdaskan emosional dan
sosial anak. Selain itu model ini juga mengukur dampak pembelajaran terhadap
perubahan kemampuan psikomotorik dan sikap kreatif. Secara teoretis hasil belajar yang
demikian memerlukan waktu yang lama dalam pembentukannya. Hasil belajar tersebut
dicapai melalui perubahan perilaku dan perubahan sikap. Penelitian ini baru sampai pada
pengecekan apakah guru mampu mengeksplorasi kemampuan ekspresi anak dan belum
menjadikan kemampuan tersebut akan menjadi sikap anak.
Atas dasar itu perlu dilakukan penelitian yang sama dalam rentang waktu yang
lebih lama kemudian dapat mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan sikap
positif anak.
Guru disarankan dilatih terlebih dahulu untuk mengoperasionalkan perangkat
yang sudah dikembangkan mengingat ini model yang baru. Sarana-prasarana minimal
perlu disediakan untuk memberi pengalaman seni pada anak, baik berupa ruangan yang
memadai, bahan-bahan yang dibutuhkan atau media audio visual, Untuk melengkapi
contoh-contoh perangkat yang sudah ada perlu di kembangkan contoh lain yang lebih
kaya.
E. Daftar Pustaka
AAM Jelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, 1999, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.
31
Bliss, Joan., Martin Monk and Jon Ogborn. 1983. Quatitative Data Analysis for Educational Research. London: Croom Helm.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Analisa Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua Tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Forum Koordinasi Nasional.
Dickie, George. Aesthetics an Introduction. Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, Inc, 1971.
Hartoko, Dick. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984
Isaac, Stephen & William B Michael. 1983. Handbook in Research and Evaluation. Second Edition. San Diego, California: Edits.
Johnson. E.B. (2000). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Kennick. W.E. 1979. Art and Philosophy Readings in Aesthetics. New York: St.Martin’s
Press, Inc.
Krathwohl, David R. 1998. Methods of Educational & Social Science Research: An Integrated Approach. New York: Longman.
Liang Gie, 1976, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Fakultas Filsafat Universitas gajah Mada, Yogyakarta.
Rohendi R, Tjejep, 2000, Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan, STSI, Bandung.
Summahamijaya, Suparman. tanpa tahun. Pembangunan Masyarakat Pancasila Melalui Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia dengan Sistim Pendidikan Sikap Mental Wiraswasta. Jakarta: Lembaga Bina Wiraswasta.
Sutrisno, Muji, 1993. Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius.
Sutjipto, Katjik, 1973, Seni Rupa sebagai Alat Pendidikan, sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran, IKIP Malang.
Undang-Undang Nomor 20, tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan.
32