makalah penyuluhan (blm edit dan print)
DESCRIPTION
makalah penyuluhanTRANSCRIPT
Makalah Penyuluhan
RHINITIS ALERGI
OlehAli Aufar Hutasuhut 030.09.008
Fathiya Maulida 030.09.083Henza Ayu Primalita 030.09.110Indrastiti Pramitasari 030.09.121
PembimbingDr. Farida Sp.THT-KL Mkes
Kepaniteraan klinik ilmu THT RSUD KOTA BEKASIPeriode 9 Desember 2013 – 11 Januari 2014
Fakultas Kedokteran TrisaktiJAKARTA
PENDAHULUAN
Rhinitis adalah kondisi dimana membran dari hidung menjadi meradang dan memiliki gejala
kompleks yang terdiri dari gabungan dari gejala-gejala seperti bersin, kongesti hidung,
hidung terasa gatal dan rhinorrhea. Selain gejala pada hidung, gejala pada rhinitis alergi ini
dapat timbul di mata, sinus, dan tenggorokan. Rhinitis alergi adalah penyebab paling banyak
pada rhinitis. Rhinitis alergi ini kondisi yang biasa terjadi, mempengaruhi sekitar 20 persen
dari populasi.
Meskipun begitu rhinitis alergi bukanlah sesuatu yang membahayakan nyawa, komplikasi
dapat timbul dan kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat
perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ
pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan
atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang
paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan
belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut
sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela
membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan
terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas
membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut
filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (Lubang
hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi
dan sebelah inferior oleh dasar hidung Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam
terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut dengan vibrise
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral
terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media
disebut meatus superior
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan
merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.
Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior
sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang
terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla
merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk
pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan
puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama
yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus
nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung
terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus
trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi
menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus
infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa
bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang
dan sedikit diatas ujung posterior konkha media (Maran,1990; Ballenger,
1994; Mangunkusumo, 2001).
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
2. Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi
agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu,
hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan
yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal
dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel
yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam
hidung dengan bantuan TMS
fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu
(1)Sebagai jalan nafas,
(2) Alat pengatur kondisi udara,
(3) Penyaring udara,
(4) Sebagai indra penghidu,
(5) Untuk resonansi suara,
(6) Turut membantu proses bicara,
(7) Reflek nasal
PEMBAHASAN
1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
2. Klasifikasi rhinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan
klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
Diatas.
3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan
penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca
4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan
reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar
dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau
bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan
infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi
antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
5. Gejala Klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan
gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di
hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak
dan edema pita suara.
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur
6. DiagnosisDiagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-
gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat
pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
7. Tata Laksana
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)
a. Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,
kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
· Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1
berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja
histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga
lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya
melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1
jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).
· Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara
topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
a. Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
b. Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama
seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan
untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan
dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem
saraf pusat.
· Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena
sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai
oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6,
tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation
normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein-
1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.
a. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat
ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan
karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan
tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis
steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali
sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan
hidung tersumbat yang menonjol.
b. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,
prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi
dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.
· Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang
dirangsang antigen melewati membran sel mast.
· Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).
· Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok
reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
c. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
d. Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat
dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer
antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi
dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi
tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.
· Bila ada konjungtivitis, tambahkan :
o Penghambat H1 oral
o Atau penghambat H1 Intra-okuler
o Atau kromolin intra-okuler
o (atau larutan garam fisiologis)
· Pertimbangkan Imunoterapi spesifik
Bila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap
berikutnya.
8. Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan
kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama
khususnya pada anak-anak.
5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
mendapat asma bronkial.
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah keadaan dimana mukosa hidung menjadi menebal dikarenakan seseorang
memiliki alergi terhadap paparan tertentu sehingga menimbulkan reaksi pada mukosa hidung
sehingga seseorang yang memiliki hal seperti ini mengalami hidung tersumbat, sekret yang
berlebih, hidung terasa gatal, dan lain-lain. Hidung sendiri adalah suatu organ yang memiliki
fungsi sebagai indra penciuman dan fungsi pernapasan juga. Oleh karena itu jika seseorang
mengalami gangguan di hidung maka fungsi-fungsi hidung tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu terdapat tata laksana untuk mengatasi hal tersebut mulai dari non
medikamentosa hingga yang medikamentosa. Namun, tatalaksana yang paling efektif adalah
menghindari paparan tersebut agar seseorang dengan rinitis alergi tidak kambuh penyakitnya.