makalah protokol kyoto berjalan

Upload: shin-vectra

Post on 10-Jan-2016

153 views

Category:

Documents


44 download

DESCRIPTION

protokol kyoto

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPemanasan global menjadi isu yang panas di tahun-tahun terakhir ini. Hal ini diperkuat dengan dirasakannya perubahan iklim akibat pemanasan global tersebut. Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang jumlahnya semakin banyak di atmosfer, diantaranya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya Matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombangpanjang atau radiasi-balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat.Secara prinsipil pemanasan global menyebabkan perubahan iklim terutama dalam hal perubahan temperatur, penguapan awan atau hujan, dan naiknya ketinggian air laut akibat mencairnya es di kedua kutub bumi. Hal ini akan berdampak secara tidak langsung pada kematian manusia akibat perubahan iklim dan infeksi penyakit. Dalam bidang pertanian berakibat berkurangnya produktifitas dan meningkatnya kebutuhan irigasi. Di bidang kehutanan berakibat berubahnya komposisi tanaman hutan, rentang geografis hutan, serta produktifitas hutan. Selain itu akan terjadi pengurangan suplai air, perubahan kualitas, dan kelangkaan air. Untuk perairan laut berakibat pada erosi pantai, peningkatan pemeliharaan spesies pantai, dan terkikisnya daratan akibat abrasi. Akibat yang paling buruk adalah punahnya habitat spesies yang tidak mampu beradaptasi. Sementara itu, negara industri yang menyebabkan hal tersebut tidak mampu mengatasinya karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Pada saat yang bersamaan, hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan perubahan iklim.Untuk mengatasi masalah pemanasan global tersebut, pada tahun 1972 diadakan konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) di Stockholm yang membahas lingkungan hidup secara global. Pada peringatan 20 tahun pertemuan Stockholm, digelarlah konferensi bumi di Rio de Jainero tahun 1992 yang kemudian ditandatangani Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). UNFCCC bertujuan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada pada tingkat aman.Kemudian pada Desember 1997 di Kyoto, UNFCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat mengenai perubahan iklim. Maka, ditandatanganilah perjanjian yang disebut Protokol Kyoto oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat gas rumah kaca (GRK) mereka tahun 1990.

B. TujuanMakalah ini dibuat untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah serta tujuan suatu perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Selain itu, makalah ini juga menelaah tentang isi, negara yang meratifikasi, dan cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini bermaksud supaya mahasiswa mengetahui secara detail tentang Protokol Kyoto dan implikasinya. Serta untuk memenuhi tugas Responsi Mata Kuliah Analisis Kualitas Lingkungan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Sejarah Terbentuknya Protokol KyotoProtokol Kyoto merupakan hasil dari Conference of Parties (CoP) 3 yang diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto menghasilkan keputusan utama berupa komitmen dari negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebesar rata-rata 5 % di bawah level emisi tahun 1990 pada periode 2008 2012 (artikel 3 Protokol Kyoto). Protokol ini juga mencakup 3 instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara-negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi melalui investasi dalam proyek-proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim.Protokol ini lahir dari adanya kekhawatiran berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim. Hal tersebut sebenarnya telah terlahir lebih dari seabad yang lalu. Svante Arrhenius, seorang ilmuwan Swedia pada tahun 1894 menyatakan bahwa CO2 adalah unsur terpenting yang mengontrol suhu bumi di atmosfer. Berakhirnya jaman es ditandai dengan mencairnya gunung-gunung es di lingkaran kutub sehingga membentuk topografi darat dan luas lautan seperti yang ada sekarang, menurut Arrhenius, terjadi karena penambahan konsentrasi CO2 di udara. Selanjutnya Arrhenius membuktikan bahwa kadar CO2 pada batuan es yang berasal dari jaman es hanya separuh dari konsentrasi yang terkandung di dalam salju dari jamannya. Karenanya, ia berpendapat kenaikan suhu atmosfer akan terjadi beriringan dengan naiknya konsentrasi CO2 yang akan membawa dampak konsumsi bahan bakar fosil, yang menjadi sumber emisi CO2, dapat menyebabkan lonjakan suhu bumi yang tidak terkontrol. Penumpukan karbon dioksida di atmosfer itu seperti selubung yang menghadang radiasi panas dari bumi seisinya keluar angkasa. Proses itulah yang menjaga keseimbangan panas. Dengan demikian, tabir CO2 dapat dianalogikan dengan atap serta dinding rumah kaca. Ia membiarkan radiasi matahari masuk, tapi mencegah radiasi panasnya kembali terpancar keluar, yang kemudian mengakibatkan suhu rumah kaca lebih tinggi dari sekitarnya. Gejala pemanasan bumi itu yang sering disebut sebagai efek rumah kaca. Lonjakan konsentrasi CO2 tersebut terjadi setelah era revolusi industri. Apabila tidak ada upaya kongkret untuk mereduksi emisi CO2 maka musibah perubahan iklim akan dimulai. Untuk itu Komisi Sedunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dan mengumumkan laporannya, dikenal dengan nama Laporan Brundtland, yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future). Laporan tersebut bertemakan tentang Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).Pembangunan berkelanjutan tersebut dimaksudkan sebagai pembangunan yang berwawasan jangka panjang yang meliputi jangka waktu antar generasi yang tidak bersifat serakah untuk kepentingan diri sendiri, melainkan memperhatikan juga kepentingan anak cucu dengan berusaha meninggalkan sumber daya yang cukup dan lingkungan yang sehat serta mendukung kehidupan umat manusia dengan sejahtera. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam hubungannya dengan lingkungan hidup tidaklah menyebabkan semakin bertambah baiknya kualitas lingkungan di dunia, sehingga masyarakat Internasional membutuhkan komitmen baru untuk mengelola lingkungan dengan lebih baik lagi.Kesadaran akan bahaya lingkungan hidup tersebut menyebar hingga ke tingkat PBB. Sidang umum PBB kemudian memprakarsai pembentukan INC (Intergovernmental Negotiating Committee). Tugasnya adalah untuk menegoisasikan draft materi untuk konvensi perubahan iklim. INC bertemu enam kali sebelum menghasilkan draft yang kemudian dibawa pada United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Jeneiro pada tahun 1992. Pertemuan itu dikenal juga dengan nama Earth Summit atau KTT Bumi. Hasil pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan penting, yaitu Konvensi PBB tentang keanekaragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim. Keduanya menjadi komitmen politik dari 155 negara untuk menjaga lingkungan bumi. Beberapa pertemuan antara Negara pendukung konvensi (CoP) menghasilkan beberapa mandat yang berkaitan dengan isu lingkungan. Pada CoP ketiga yang berlangsung di Kyoto, 1997, melahirkan dokumen penting Protokol Kyoto.

2. Definisi Protokol KyotoProtokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik.Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02C dan 0,28C pada tahun 2050.Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Persetujuan tersebut dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."(Anonim, 2010).Menurut Murdiyarso (2003), Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menandatangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.

3. Prinsip-prinsip Protokol KyotoAdapun prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu:1) Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB.2) Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:a. Negara-negara Annex I adalah Negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak revolusi industry, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara Asia yang masuk dalam kategori ini.b. Negara-negara non Annex I adalah Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui CDM.3) Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990.4) Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca (GRK) dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.5) Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada tahun 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam Annex I.6) Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli kredit pengurangan emisi dari Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara non-Annex I melalui mekanisme CDM. Dapat juga melalui pengerjaan proyek di sesame Annex I melalui program joint implementation (JI) atau membeli langsung dari Negara Annex I yang sudah berada di bawah target.7) Sebuah proyek baru dapat dijual dalam perdagangan emisi karbon apabila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.8) Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada Negara Annex I.

4. Mekanisme Protokol KyotoUntuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto mengatur mekanisme fleksibel. Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa:1) Implementasi Bersama (Joint Implementation)Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK. Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi.Konsep yang mendasari mekanisme Kyoto ini adalah teori ekonomi klasik yaitu dengan input yang sekecil mungkin diharapkan akan memperoleh output yang sebesar mungkin, karena itu JI akan mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan bagi yang menanamkan modalnya.kegiatan JI akan didanai oleh sektor swasta untuk menghasilakn ERU (Emission Reduction Unit).Pada awalnya perundingan tentang JI menimbulkan perdebatan yang sengit mengenai kemungkinan dimasukkannya negara berkembang dalam mekanisme ini. Negara-negara anggota OPEC menolak dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari kemungkinan menandatangani Protocol Kyoto. India dan Cina mengharapkan kekompakan G77+Cina dan akhirnya memutuskan bahwa negara berkembang tidak akan ikut dalam JI dibawah Protocol Kyoto. Dalam konsultasi internal dikemukakan 4 alasan mengapa negara berkembang harus menolak JI:a) Biaya transaksi yang tinggi, sehingga mengurangi keuntungan negara berkembang.b) Tidak jelasnya penentuan garis awal sebelum proyek dilaksanakan dan kemungkinan adanya kebocoran (leakage) yang mendorong terjadinya kolusi antara kedua belah pihak.c) Isu kesetaraan yang sulit dipertahankan karena negara maju akan mengubah strateginya jika biaya proyek JI sudah terlalu mahal, sementara negara berkembang belum siap memasuki industri rendah emisi yang teknologinya belum dikuasai.d) Menurut pandangan G77+Cina, JI adalah bentuk neokolonialisme yang harus ditolak karena negara-negara maju akan memiliki posisi tawar yang makin kuat karena kemampuan teknologinya semakin baik, sementara emisinya dibayar dengan murah di negara berkembang.Menjelang pelaksanaan CoP3 di Kyoto awal desember 1997 dalam pertemuan AGBM8 akhirnya di sepakati bahwa Ji hanya diselenggarakan di antara para pihak yang termasuk Annex I.

2) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism--CDM)Clean Development Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut.Negara-negara maju yang berkomitmen untuk membatasi atau menurunkan emisi diperbolehkan oleh Protokol Kyoto untuk bekerjasama dengan negara lain, termasuk dengan negara berkembang. Antar negara-negara maju, mekanisme kerjasama ini terjadi melalui Emissions Trading (ET) atau Joint Implementation (JI). Antara negara maju dan negara berkembang, melalui Clean Development Mechanism (CDM). Negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan emisinya harus mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga secara generik sebagai kredit karbon atau carbon credits. Untuk CDM, kredit karbon ini disebut Certified Emissions Reduction, CER. Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu. Mekanisme kerjasama ini melahirkan sebuah pasar yang biasa disebut sebagai pasar karbon (carbon market).Clean Development Mechanism (CDM) adalah satu-satunya mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk ikut serta. Interpretasi dari dua sisi tujuan CDM ini adalah bahwa untuk negara berkembang (negara yang tidak terdaftar dalam Annex I) mencapai pembangunan berkelanjutan dan bersumbangsih dalam pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim. Untuk negara industri (negara Annex I), mencapai ketaatan (compliance) pada komitmen terkuantifikasi mereka untuk membatasi dan menurunkan emisi sesuai dengan Pasal 3 Protokol Kyoto.

3) Perdagangan Emisi (Emission Trading)Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Skema ini selanjutnya dikenal dengan nama perdagangan emisi (Emission Trading,ET) dengan komoditas berupa unit jatah emisi (Assigned Amount Unit,AAU). Namun demikian, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi harus tetap memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protocol Kyoto. ET harus diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domestik tersebut.

5. Manfaat Protokol Kyoto Bagi IndonesiaIndonesia merasa perlu mengesahkan Protokol Kyoto mengingat Indonesia telah menjadi anggota Konvensi Perubahan Iklim dan dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta ikut serta dalam upaya menurunkan emisi GRK global. Disamping itu dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia telah menetapkan landasan dan sumber hukum internasional yang berlaku sebagai hukum nasional.Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dan manfaat dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat CDM, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan geoterma dan efisiensi energi untuk produksi di pabrik Indocement. Dengan mengesahkan Protokol Kyoto, Indonesia akan memperoleh manfaat antara lain:1) Menegaskan kembali pada komitmen prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan;2) Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan kontroversi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan iklim bumi;3) Mendatangkan peluang investasi tambahan dari negara industri ke negara berkembang;4) Mendorong kerjasama dengan negara industri melalui CDM guna memperbaiki dan memperkuat kapasitas hukum, kelembagaan dan alih teknologi dalam penurunan GRK;5) Mengembangkan teknologi yang rendah emisi dalam berbagai sektor industri yang menggunakan bahan bakar fosil;6) Memberikan insentif untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka meningkatkan kapasitas penyerapan GRK

6. Isi Protokol KyotoProtokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis pasar untuk memperdagangkan sisa kuota karbon atau Certified Emission Reduction (CERs). Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan yang menyebabkan polusi mencapai targetnya dengan membeli emisi karbon dari perusahaan lain yang belum menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek pengurangan emisi. Secara khusus, Protokol Kyoto menyetujui hal-hal berikut:1) Menentukan target emisi yang mengikat secara hukum untuk negara industri untuk mengurangi emisi CO2 kolektif hingga 5% di bawah level tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga tahun 2012.2) Menentukan periode komitmen lima tahun berikutnya dimana pengurangan emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar negara-negara anggota protokol Kyoto.3) Mendefinisikan sistem perdagangan internasional dimana sisa kuota emisi karbondioksida dan kredit dari komitmen dapat dibeli atau dijual.4) Menyetujui sistem akreditasi dimana kredit karbon dapat dikeluarkan pada negara non industri berdasarkan Clean Development Mechanism (CDM) atau pada negara industri berdasarkan Joint Implementation Mechanism (JI).5) Menentukan CO2 sebagai unit standar perdagangan, menentukan potensi pemanasan global pada setiap gas rumah kaca non-CO2.6) Promosi kerjasama antar pemerintah, meningkatkan efisiensi energi, reformasi energi dan kebijakan transportasi, energi terbarukan dan mengelola endapan karbon seperti hutan dan lahan pertanian.

7. Kontribusi Protokol Kyoto Dalam Mengurangi Efek Gas Rumah KacaPada dasarnya, tercetusnya Protokol Kyoto dilatarbelakangi oleh adanya efek gas rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Secara umum, pemanasan global dapat didefinisikan sebagai peningkatan suhu rata-rata bumi. Gas-gas rumah kaca yang tergolong sebagai kontributor terhadap pemanasan global di antaranya ialah CO2, CH4, N2O, CF4, dan lain-lain. Hingga saat ini telah diketahuui bahwa konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer terus mengalami peningkatan.Meskipun terasa lambat, hingga saat ini Protokol Kyoto telah berkontribusi terhadap penurunan kadar emisi gas-gas rumah kaca, terutama emisi karbon. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh berbagai negara, termasuk negara di Eropa. Sebagai contoh ialah Inggris. Negara tersebut telah mengeluarkan kebijakan dengan tujuan akhir berupa 15% kebutuhan energi disuplai oleh sumber terbarukan pada tahun 2020. Pelaksanaan kebijakan tersebut didasarkan pada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa energi berbasis fosil merupakan kontributor utama atas semakin meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer.Terkait dengan peningkatan emisi karbon yang melatarbelakangi dicetuskannya Protokol Kyoto, telah diketahui bahwa industri kertas berbasis kayu hutan merupakan kontributor kedua terhadap peningkatan emisi gas tersebut. Hal inilah yang mendorong berbagai negara untuk mengembangkan industri kertas berbasis non-kayu hutan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan rumput laut. Contoh negara yang telah menerapkan industri tersebut ialah Korea Selatan.Hingga saat ini telah diketahui bahwa Protokol Kyoto telah berhasil dalam melakukan penurunan gas-gas rumah kaca. Hal tersebut didasarkan pada Proposal Angka Agregat yang menargetkan penurunan emisi, yaitu 30% dari Uni Eropa, 40% dari Cina, India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia serta 32 negara lainnya sebesar 45%. Selain itu, beberapa negara telah menyebutkan angka nasional target penurunan emisi, yaitu Australia menargetkan untuk menurunkan 5-20% dari level emisi 2000 pada 2020. Sedangkan Kanada menargetkan sebesar 20% dari level emisi 2006 pada 2020.Berbagai capaian yang disampaikan dalam Proposal Angka Agregat merupakan bukti nyata Protokol Kyoto dalam menurunkan kadar gas rumah kaca di atmosfer. Salah satu bukti nyata lainnya ialah kebijakan yang dilaksanakan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004. Langkah tersebut dijalankan atas dasar kemampuan Indonesia dalam melakukan Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM (Clean Development Mechanism). Mekanisme tersebut merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.

8. Urgensi Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim duniaProtokol kyoto dirasa penting untuk mengurangi dampak-dampak yang dihasilkan dari berbagai masalah iklim dunia. Protokol Kyoto akan memberikan persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metana, Nitrogen dioksida, sulfur heksafluorida, HFC dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012.Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan itu. Sektor energi, khususnya kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi) merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2) dan oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. Dengan adanya pengurangan emisi tersebut akan sangat membantu dalam menstabilkan kondisi iklim di dunia yang cenderung semakin memburuk. Buruknya kondisi alam tersebut menjadikan banyaknya terjadi bencana alam akhir-akhir ini. Untuk itu, sangat penting untuk mengendalikan faktor-faktor penyebab bencana alam tersebut, di antaranya dengan mengatur banyaknya emisi GRK di negara-negara maju. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya Protokol Kyoto ini.

9. Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang terutama IndonesiaImplikasi Protokol Kyoto terhadap negara berkembang sudah banyak dibicarakan di Indonesia. Namun, masih mengalami hambatan dalam hal pemahaman masyarakat terhadap proses Kyoto, isi, dan maksud Protokol Kyoto. Hal ini dikarenakan rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia. Menurut Murdiyarso (2003), Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang dikategorikan ke dalam tiga aspek, yaitu politik dan hukum, bisnis, serta kelembagaan dan SDM.Pada aspek politik dan hukum, pengesahan Protokol Kyoto bagi Indonesia akan menguntungkan dalam menjalankan hubungan Intenasional dengan negara-negara lain terutama ASEAN. Selain itu, pengesahan tersebut menunjukkan kepedulian akan masalah global tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Dengan dasar hukum yang sudah tetap yaitu Undang-Undang No.17 tahun 2004 yang memberikan pengesahan ratifikasi Protokol Kyoto. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan Protokol tersebut agar mampu mencapai tujuan seperti yang diharapkan Protokol Kyoto.Pada aspek bisnis, dalam pencapaian target penurunan emisi gas negara-negara industri dapat dilakukan secara domestik walaupun akan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Oleh karena itu, negara industri akan beralih ke pasar karbon global melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor (energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik) dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, CDM, dan ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Dari segi investasinya, peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta ton CO2/tahun. Sector energi dan transportasi Indonesia memiliki peluang yang besar untuk mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi dengan mengaplikasikan CDM.Dari segi kehutanan, Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang mensuplai mayoritas Oksigen di dunia karena wilayah hutan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Brazil. Kelestarian hutan di Indonesia sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Ratifikasi Protokol Kyoto berdampak pada keikutsertaan Indonesia sebagai negara pendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup dan emisi karbon. Salah satu program yang penting dan telah diterapkan oleh Indonesia adalah alih teknologi dan koordinasi dalam penerapan biofuel untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, hutan dan sumber daya alam milik Indonesia juga merupakan lahan investasi, eksplorasi, dan eksploitasi modal negara-negara maju. Indonesia mendapatkan manfaat dari solusi-solusi yang ditawarkan oleh PK dengan meratifikasi Protokol Kyoto. Namun, pasca pelaksanaannya tercatat bahwa tingkat kerusakan atau kehilangan hutan Indonesia menjadi 2,8 juta ha/tahun pada tahun 2006-2007. Selain itu, Indonesia tidak perlu lagi merusak hutan yang memang sudah rusak untuk memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan masyarakatnya karena akan mendapat kompensasi dari negara-negara penghasil emisi karbon.Pada sektor pertanian, program ketahanan pangan yang terus dilanjutkan dapat berpartisipasi dalam penurunan emisi metana (CH4) dari budidaya padi sawah dan pengaturan pakan ruminansia. Terdapat suatu hal yang sangat penting, yaitu partisipasi dari masyarakat sangat diharapkan terjadi baik pada sektor publik maupun swasta. Partisipasi masyarakat tidak hanya terpaku pada satu sektor saja namun dapat pula berlaku pada sektor yang lainnya. Partisipasi masyarakat diharapkan akan menjamin keberlanjutan (sustainability) proyek terutama proyek yang jangka panjang.Agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan pada Protokol Kyoto, maka terlebih dahulu adalah melakukan pengesahan Protokol Kyoto. Oleh Karena itu peraturan sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum dalam mengambil tindakan. Kesadaran publik mengenai Protokol Kyoto sangat diperlukan agar implementasinya berlangsung dengan cepat. Selain itu, stakeholder dan kelembagaan menjadi landasan yang sangat baik dalam mencapai tujuan penurunan emisi karbon di dunia. Kelembagaan yang dibutuhkan adalah kelembagaan yang dirancang secara lintas sektor dan multi- stakeholder sehingga mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara efektif.Peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dan ikut dalam perdagangan karbon terbuka lebar. Mengingat peran signifikan Indonesia dalam Protokol Kyoto sebagai negara yang memiliki kekayaan hutan terbesar sudah sepantasnya kita menjaga hutan kita sebagai pereduksi emisi karbon. Di sinilah paradigma pembangunan berkelanjutan perlu terus dikampanyekan dan diimplementasikan dalam setiap kegiatan pembangunan. Saatnya kebijakan yang lebih sistematis mengenai keberlanjutan ekologi harus diwujudkan sebagai tempat hidup kita. Hal itu dapat terlaksana melalui upaya penyelamatan keutuhan hutan dan lingkungan yang ada dan mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada di alam.

BAB IIIPENUTUP

1. KesimpulanProtokol Kyoto adalah sebuah kesepakatan atau persetujuan Internasional mengenai pemanasan global yang merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Protokol Kyoto dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004 dan pada tanggal 3 Desember 2007, sebanyak 174 negara sudah meratifikasi Protokol tersebut termasuk Indonesia.Protokol Kyoto berisi aturan-aturan standarisasi mengenai emisi karbon dan gas efek rumah kaca yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.Pengendalian emisi karbon dan gas rumah kaca melalui Protokol Kyoto sangat diperlukan bagi semua negara. Hal ini dikarenakan, melalui pengendalian tersebut maka akan menurunkan dan mengatasi semakin hancurnya dunia yang timbul karena bencana-bencana yang terjadi. Dengan pengendalian yang tepat maka suhu bumi akan kembali segar dan kehidupan makhluk hidup akan kembali normal.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Protokol Kyoto. http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/1673.php. [02 Juni 2015].Anonim. 2010. Global Warming. http://priyadi.net/archives/2005/02/14/protokol-kyoto/. [02 Juni 2015].Anonim. 2010. Negara Maju dan Berkembang Debatkan Amandemen Protokol Kyoto. Dalam http://rullysyumanda.org/republik-bencana/climate-talk-only/411-negara-maju-dan-berkembang-debatkan-amandemen-protokol-kyoto.html. [02 Juni 2015].Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.Ngili, Yohanis. 2009. Peran Penting Indonesia dalam Protokol Kyoto. Dalam http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/lingkungan-hidup/3230-peran-penting-indonesia-dalam-protokol-kyoto.html. [02 Juni 2015].Suprihari. 2005. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah Dengan Pengelolaan Air. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.Widosari, Yavi. 2005. Protokol Kyoto: Solusi terhadap Pemanasan Global. Dalam http://www.chemistry.org/artikel_kimia/berita/protokol_kyoto_solusi_terhadap_pemanasan_global/. [02 Juni 2015].Protokol KyotoPage 3