makalah seminar kritik thdp balanced scorecard 2

8

Click here to load reader

Upload: andrias

Post on 20-Jun-2015

878 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 1

KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD

Oleh:

Abdul Syani

A. Pendahuluan

Pada awalnya manajemen perusahaan yang ideal memerlukan suatu alat ukur untuk mengetahui seberapa baik performa perusahaan. Objek yang selalu diukur adalah bagian keuangan, mengapa hanya bagian keuangan? karena keuangan berbicara mengenai angka, sesuatu yang mudah dihitung dan dianalisis. Namun dengan perkembangan ilmu manajemen dan kemajuan teknologi informasi, sistem pengukuran kinerja perusahaan yang hanya mengandalkan perspektif keuangan dirasakan banyak memiliki kelemahan dan keterbatasan. Sesungguhnya ada perspektif non keuangan yang lebih penting yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja perusahaan. Kenyataan inilah yang menjadi awal terciptanya konsep balanced scorecard. Menurut Irwan Rei (http://www.portalhr.com/) bahwa "Scorecard" itu arti harafiahnya adalah "rapot", atau laporan kinerja (performance), Sedangkan “Balanced” artinya berimbang. Jadi Balanced scorecard adalah laporan kinerja yang berimbang.

Sejarah Balanced scorecard yang diperkenalkan oleh David P Norton dan Robert Kaplan pada awal tahun 1990 di USA melalui suatu riset tentang “pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”. Istilah balanced scorecard terdiri dari 2 kata yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang diukur secara berimbang dari 2 sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal, sedangkan pengertian kartu skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang. Dengan demikian pengertian sederhana dari Balanced Scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan factor internal dan eksternal.

Berpijak dari definisi tersebut, maka pada sisi lain Balanced Scorecard dapat dikategorikan sebagai alat perencanaan strategik yang sangat berdayaguna untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam melipatgandakan kinerja keuangan berkesinambungan. Kaplan dan Norton menyatakan bahwa laporan kinerja keuangan perusahaan bukanlah alat prediksi yang baik bagi tingkat kinerja dan kelangsungan hidup perusahaan di masa depan. Studi yang mereka lakukan atas demikian banyak perusahaan memperlihatkan bahwa faktor-faktor non-finansial seperti tingkat kepuasan pelanggan, inovasi produk dan jasa, maupun efisiensi proses kerja mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.

Kemudian Kaplan dan Norton menganjurkan bahwa selain faktor-faktor finansial, perusahaan sebaiknya juga memperhatikan dan mengukur kinerja mereka di bidang non-finansial. Artinya, agar laporan kinerjanyapun seimbang ("scorecard" yang "balanced"); tidak hanya faktor finansial yang diperhatikan, namun juga yang non-finansial. Studi-studi mereka memperlihatkan bahwa faktor-faktor finansial dan non-finansial ini dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yang disebut perspektif, yaitu "customer perspective" (berhubungan dengan pelanggan), "internal business process perspective" (proses bisnis atau

Page 2: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 2

proses kerja di dalam perusahaan) dan "learning & growth perspective" (berhubungan dengan pembelajaran, SDM dan usaha-usaha organisasi untuk terus-menerus memperbaiki diri dan bertumbuh); "financial perspective " (berhubungan dengan keuangan).

Perspektif pelanggan menggunakan ukuran berapa “nilai” yang diberikan kepada pelanggan dilihat dari segi waktu, kualitas, performansi dan layanan, dan biaya. Contohnya ukuran kecepatan waktu mulai dari permintaan sampai dengan pengiriman sampai ditangan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk perusahaan, tingkat penjualan terhadap produk baru, dan atau banyaknya service call yang dilayani.

Pada perspektif internal dapat mengevaluasi ekspektasi yang diharapkan pelanggan dapat terpenuhi melalui perbaikan proses di internal organisasi tersebut. Disini juga kita dapat mengukur tingkat keahlian dan produktifitas karyawan, kualitas yang dihasilkan oleh organisasi tersebut, dan atau sistem informasi yang baik yang berjalan dalam organisasi.

Dari sisi perspektif inovasi dan pembelajaran dari suatu organisasi kita dapat mengukurnya melalui, peningkatan dan inovasi yang berkelanjutan terhadap produk-produk yang dimiliki. Kita harus garis bawahi bahwa produk disini tidak selamanya berupa barang, pelayanan dan hal-hal lain yang bersifat jasa pun adalah produk. Ukuran yang diberikan antara lain banyaknya produk-produk baru yang dihasilkan dan persentase kebrhasilan penjualannya, tingkat penestrasi terhadap market baru, atau implementasi SCM (Supply Chain Management), dll.

Apabila target-target di atas dapat terpenuhi, maka efeknya akan mengimbas pada perspektif finansial juga. Finansial disini termasuk mengukur pendapatan dan pengeluaran, lebih dalamnya lagi ROI (return on investment), tingkat penjualan, pertumbuhan market share, dll. Hal terpenting yang harus dipahami adalah bagaimana suatu organisasi mendefinisikan apa yang ingin dicapai serta membuat ukurannya yang selanjutnya terus memonitor progres yang telah dicapai. Selanjutnya bisa diketahui apakah tujuan akan tercapai atau tidak.

Kalau yang diukur dalam perspektif/bagian keuangan adalah sales, profit, net margin, maka pada perspektif customer, hal-hal yang diukur misalnya bisa tingkat kepuasan pelanggan, market share, dan untuk perspektif "business process", hal-hal yang diukur misalnya "volume produksi", dll. Semua perspektif ini saling berhubungan dalam hubungan "sebab-akibat" ("cause and effect") dan umumnya digambarkan dengan apa yang disebut dengan "strategy map" suatu peta yang menggambarkan strategi organisasi didalam menghasilkan nilai tambah.

Sebagai ilustrasi, perusahaan mendapatkan angka penjualan dan keuntungan yang tinggi ("akibat") karena berhasil memuaskan pelanggan ("sebab"). Kepuasan pelanggan ("akibat") bisa didapatkan karena perusahaan menghasilkan produk unggulan ("sebab") yang dihasilkan melalui proses kerja yang efisien, dan proses kerja yang efisien itu dihasilkan oleh pekerja-pekerja yang kompeten dan memiliki semangat kerja yang tinggi.

Sepanjang pengamatan terhadap berbagai artikel dan literature, bahwa keunggulan balanced scorecard adalah sebagai berikut:

1. Komprehensif

Sebelum konsep Balanced scorecard lahir, perusahaan beranggapan bahwa perspektif keuangan adalah perspektif yang paling tepat untuk mengukur kinerja perusahaan. Setelah balanced scorecard berhasil diterapkan, para eksekutif perusahaan baru menyadari bahwa perspektif keuangan sesungguhnya merupakan hasil dari 3 perspektif lainnya yaitu customer, proses bisnis, dan pembelajaran pertumbuhan. Pengukuran yang lebih holistic, luas dan menyeluruh (komprehensif) ini berdampak bagi perusahaan untuk lebih bijak dalam memilih strategi korporat dan memampukan perusahaan untuk memasuki arena bisnis yang kompleks.

2. Koheran

Page 3: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 3

Di dalam balanced scorecard dikenal dengan istilah hubungan sebab akibat (causal relationship). Setiap perspektif (Keuangan, costumer, proses bisnis, dan pembelajaran-pertumbuhan) mempunyai suatu sasaran strategik (strategic objective) yang mungkin jumlahnya lebih dari satu. Definisi dari sasaran strategik adalah keadaan atau kondisi yang akan diwujudkan di masa yang akan datang yang merupakan penjabaran dari tujuan perusahaan. Sasaran strategik untuk setiap perspektif harus dapat dijelaskan hubungan sebab akibatnya, sebagai contoh pertumbuhan Return on investmen (ROI) ditentukan oleh meningkatnya kualitas pelayanan kepada customer, pelayanan kepada customer bisa ditingkatkan karena perusahaan menerapkan teknologi informasi yang tepat guna. dan keberhasilan penerapan teknologi informasi didukung oleh kompetensi dan komitmen dari karyawan. Hubungan sebab akibat ini disebut koheren, kalo disimpulkan semua sasaran strategik yang terjadi di perusahaan harus bisa dijelaskan. Sebagai contoh mengapa loyalitas customer menurun, mengapa produk perusahaan menurun, mengapa komitmen karyawan menurun dan sebagainya.

3. Seimbang Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam 4 perspektif meliputi Jangka pendek dan panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal. Keseimbangan dalam balanced scorecard juga tercermin dengan selarasnya scorecard personal staff dengan scorecard perusahaan sehingga setiap personal yang ada di dalam perusahaan bertanggungjawab untuk memajukan perusahaan.

4. Terukur Dasar pemikiran bahwa setiap perspektif dapat diukur adalah adanya kenyakinan bahwa ‘if

we can measure it, we can manage it, if we can manage it, we can achieve it’. Sasaran strategik yang sulit diukur seperti pada perspektif customer, proses bisnis/ intern serta pembelajaran dan pertumbuhan dengan menggunakan balanced scorecard dapat dikelola sehingga dapat diwujudkan.

Untuk mendukung keunggulan balanced scorecard tersebut, maka yang (mungkin) harus

ditampilkan adalah before dan after BSC di instansi pemerintah atau swasta lainnya. Jika menggunakan metode lain, tampilkan kekurangannya dan apa yang bisa dilakukan oleh BSC utk mengatasi kekurangan dgn metode lain. Yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah corporate scorecard. Setelah dapat berjalan dengan baik baru kemudian diterapkan personal scorecard yang meliputi pengukuran kinerja pegawai. Namun kurang bijak jika corporate scorecard dan personal scorecard diterapkan pada saat yang bersamaan.

Konsep komprehensif, koheren, terukur, dan seimbang harus bisa mengakomdasi dari tingkat Top sampai bawah. Masalah ada indikasi terjadinya “reboisasi” jika di instansi pemerintah yang monitoringnya lemah. Beberapa masukan berikut ini bisa membantu:

1. Perspektif Keuangan: jelas dengan ratio keuangan; 2. perspektif customer: seberapa cepat pelayanan kepada masyarakat secara cepat menit),

banyaknya komplain ketidakpuasan (voice) dari customer; 3. Perspektif intenal: peningkatan sistem dan proses kerja yang lebih baik, kearsipan, hub antar

karyawan, persediaan kebutuhan masyarakat, efektivitas pembuatan barang/jawa yang dibutuhkan konsumen/cutomer;

4. Perspektif Pembelajaran: hubungannya dgn Kepusasan karyawan via survei, tingkat produktivitas karywan (jumlah sales/jumlah karywan), tingat pendidikan, ketersedian infrstruktur.

Page 4: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 4

Sebagai alat perencanaan strategik, implementasi Balanced Scorecard kemudian menuntut perubahan secara radikal dalam hal gaya manajemen (management style) yang meliputi: perubahan alat (toolset), perubahan pengetahuan manajemen (skillset), dan pergeseran sikap mental (mindset). Sebagai alat perencanaan, Balanced Scorecard dilandasi oleh falsafah perencanaan yang fit dengan jamannya dan diisi dengan pengetahuan manajemen yang dilandasi dengan paradigma manajemen baru. Di samping itu, perlu pula paradigma, keyakinan dasar, dan nilai dasar yang melandasi pengetahuan manajemen yang dituangkan ke dalam empat perspektif Balanced Scorecard. Pergeseran mindset dan perubahan pengetahuan manajemen (skillset) inilah yang menjanjikan efektivitas implementasi Balanced Scorecard sebagai alat perencanaan strategik untuk pelipatganda kinerja keuangan perusahaan. Empat perspektif Balanced Scorecard mencakup:

1. Implementasi Balanced Scorecard menuntut perubahan gaya manajemen (management

style); 2. Konsep perencanaan dan pergeseran falsafah perencanaan; 3. Perubahan lingkungan bisnis dan pergeseran paradigma manajemen; 4. Pengetahuan manajemen yang dituangkan ke dalam empat perspektif Balanced Scorecard. B. Kritik terhadap Perspektif Balance Scorecard

Jika BSC diterapkan pada perusahaan, dan kinerja diukur berdasarkan kinerja keuangan. Hal ini memang tidak salah, keuangan yang baik memberikan informasi bahwa perusahaan tersebut dalam kondisi yang sehat. Akan tetapi kinerja keuangan hanya memberikan penjelasan tentang kondisi keuangan perusahaan masa lalu, sementara kinerja di masa sekarang atau masa depan belum dapat diketahui.

Sering terjadi kesalahan dalam memahami makna balance di BSC, masih banyak yang berpikir bahwa yang dikatakan balance tersebut adalah seimbang dalam ukuran jumlah perspektif. Hal ini tentu saja merupakan sebuah kesalahan. Makna balance dalam BSC adalah dalam menilai sebuah kinerja harus seimbang, karena kinerja sebuah perusahaan tidak bisa dilihat dari kinerja yang telah lalu (financial) akan tetapi hal-hal yang menentukan kinerja masa depan (customer, internal business process dan learning & growth) juga harus diperhatikan. Boleh saja sebuah perusahaan memperoleh laba yang besar, namun jika customernya berpaling ke yang lain, maka dapat disimpulkan kinerjanya di masa depan akan berkurang.

Satu pemahaman yang sering tidak akurat terhadap konsep Balanced Scorecard, yaitu: bahwa hanya ada empat perspective di dalam Balanced Scorecard. Padahal "perspective" ini hanyalah pengelompokkan umum atas proses pertambahan nilai yang umumnya terjadi di dalam organisasi, yang jumlahnya tidak harus empat. Tulisan-tulisan awal dari Kaplan dan Norton bahkan memperlihatkan contoh-contoh scorecard yang terdiri dari lima atau lebih perspektif, walau empat sering menjadi norma umum. Namun dalam karya Sony Yuwono dkk. (2002), bahwa berapapun jumlah perspektif, yang penting scorecard yang dihasilkan secara keseluruhan ini menggambarkan strategi pertambahan nilai di dalam organisasi.

Walau BSC telah terbukti memiliki begitu banyak keunggulan, tapi masih banyak menuai kritik, misalnya mengenai hubungan kausalitasnya yang dianggap belum jelas. Dalam hal implementasinya pun BSC masih ditolak oleh beberapa perusahaan karena dianggap tidak memiliki dampak positif bagi perusahaan, demikian juga pemerintah karena kekhususan tujuannya pada keuntungan finansial (laba). Berdasarkan penelitian akademisi Austria yang melakukan survey terhadap 174 perusahaan Jerman yang hasilnya menunjukkan sebanyak 8% menyatakan menolak menggunakan BSC (Speckbacher et al, 2003). Selain itu hanya ada sedikit

Page 5: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 5

bukti bahwa BSC memberikan tambahan nilai ekonomis pada perusahaan yang mengimplementasikannya.

Dalam studi percobaan terhadap bank di Amerika Serikat Davis dan Albright (2004) dalam Hallman (2005) menemukan bukti kinerja keuangan yang superior ketika membandingkannya dengan cabang yang tidak mengimplementasikan BSC. Masih dalam Hallman (2005) juga diperoleh hasil dari penelitian Banker et al (2000) yang studinya pada hotel menunjukkan sebuah hubungan yang jelas antara pengukuran kinerja keuangan dan non-keuangan. Tapi banyak studi lain yang gagal menunjukkan hubungan langsung antara penggunaan BSC dan keuntungan ekonomis, terutama kasus-kasus penerapan BSC pada perusahaan patungan kekeluargaan, jenis usaha-usaha kecil, organisasi pemerintah, badan usaha pemerintah yang cenderung lebih banyak mempertimbangkan kepentingan sosial dan non kausalitas. Penerapan BSC untuk organisasi pemerintah dan perusahaan di Indonesia belum terbukti efektif.

Dalam analisis varian, kesulitan penerapan konsep BSC pada perusahaan di Indonesia secara tidak langsung banyak dipengaruhi desakan kepentingan jangka pendek, bersifat operasional, lebih berbasis keuangan konsumtif dan aji mumpung. Paradigma ini cenderung lebih banyak berpikir bagaimana nanti ketimbang nanti bagaimana; atau lebih kerap tidak hirau terhadap aspek non keuangan dalam jangka panjang. Menurut Sony dkk., bahwa penyebab utamanya adalah karena tidak memiliki sistem komunikasi strategis terhadap segenap jajaran manajemen, terlebih lagi terhadap seluruh bagian pegawai perusahaan. Penyebab kedua, adalah karena tidak ada hubungan antara sumber daya dengan strategi, misalnya insentif yang jamak ditemui dalam perusahaan (terutama instansi pemerintah). Penyebab ketiga, adalah tidak terhubungnya anggaran dengan strategi. Untuk Indonesia, dengan bahasa yang agak sinis dapat dikatakan bahwa aktivitas lembaga pemerintah lebih dimaksudkan untuk mengkonsumsi anggaran. Penyebab keempat, adalah kelemahan sistem pembelajaran strategis, di mana porsi pembahasan dan perbincangan tentang strategi yang amat minim dibanding dengan evaluasi atas kinerja operasional. Ini berarti, perusahaan tidak saja kehilangan momentum untuk mengevaluasi efektivitas strateginya secara kontinyu, dan yang lebih parah lagi perusahaan tidak mampu membuat skenario keunggulan di masa mendatang.

Sebagaimana dijelaskan dalam teori exit dan voice, di mana kenyataan customer tidak sedikit menggunakan hak exit-nya untuk memilih bekerjasama dengan perusahaan lain yang dianggap menguntungkan, terutama pada waktu perusahaan dalam keadaan kurang mampu memberikan perlayanan prima. Customer juga cenderung berani menggunakan haknya untuk melakukan protes dan bahkan sering terjadi unjuk rasa dan mogok kerja, terutama pada waktu perusahaan tidak siap melayani tuntutan peningkatan kesejahtaraan. Dalam kasus ini bertentangan dengan penerapan BSC yang sedikit memperdulikan pelayanan terhadap pengeluaran biaya untuk meningkatkan SDM yang notabene rendah, baik dari sisi mental dan semangat kerja maupun pada sisi personal skill. Lebih jauh lagi jika pihak perusahaan ditengah-tengah upaya memperhitungkan laba dengan prinsip efektivitas dan efisiensinya seringkali berseberangan dengan upaya pelayanan prima yang mengutamakan kepuasan pelanggan dan tuntutan kesejahteraan karyawan).

Ittner dan Larcker (2003) telah melakukan beberapa studi untuk mengidentifikasi keuntungan finansial dari penggunaan sistem Balance Scorecard (BSC). Dalam studinya di perusahaan jasa keuangan di Amerika Serikat mereka mengambil kesimpulan bahwa perusahaan yang menggunakan pengukuran non-keuangan secara umum memiliki tingkat pengembalian pasar yang tinggi. Walau begitu mereka tidak menemukan bukti BSC, pengukuran nilai ekonomi, dan model bisnis kausalitas memiliki asosiasi dengan kinerja ekonomi, meskipun secara jelas sekali itu berasosiasi dengan tingginya kepuasan sistem pengukuran.

Page 6: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 6

Contoh lain adalah penelitian Hoque dan James (2000) dalam Hallman (2005) pada perusahaan manufaktur di Australia yang bisa memperlihatkan relasi antara pengukuran non-keuangan dan kinerja ekonomi, tetapi mereka gagal membuktikan relasi antara model kausal dan/atau BSC dengan kinerja manajerial yang lebih baik. Jadi sangatlah sulit untuk merangkum bukti-bukti mengenai relasi antara kinerja manajerial, kinerja keuangan/finansial dan kinerja dengan menggunakan BSC. Keunggulan menggunakan BSC memang dapat dibuktikan, tetapi pada kondisi pengembangan kinerja non-keuangan timbul sedikit keraguan karena banyak perusahaan yang lebih puas dengan sistem pengukuran mereka yang non-kausalitas. Juga bisa dijadikan catatan bagi perusahaan yang memilih untuk mengimplementasikan BSC ini bukan masalah mudah. Olve et al (2004) memperingatkan dalam analisis terbarunya di Eropa Utara jika hanya separuh dari 15 organisasi yang sukses mengimplementasikan BSC.

Kritik lain tentang Balanced Scorecard adalah mengenai verifikasi dari cause-effect relationship yang hingga buku Balanced Scorecard generasi ketiga (BSC generasi pertama adalah tulisan Kaplan dan Norton tahun 1992 yang berjudul “The Balanced Scorecard : Measures that Drive Performance”. BSC generasi kedua adalah buku yang ditulis Kaplan dan Norton pada tahun 1996 berjudul “The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action”. Sedang buku ketiga oleh Kaplan dan Norton berjudul “Strategy Maps” adalah BSC generasi ketiga) tetap belum jelas. Selain itu dalam hasil penelitian Neely et al (2003) pada dua perusahaan, di mana satu perusahaan menggunakan metode pengukuran kinerja manajerial konvensional, yakni penilaian dan keuangan. Sementara yang lainnya menggunakan metode Balanced Scorecard, dalam hal laba kotor dan total penjualan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Pada awalnya BSC digunakan pada organisasi laba. Tetapi pada perkembangannya BSC juga mulai digunakan pada organisasi nirlaba. Tentu saja perubahan-perubahan ini membutuhkan penyesuaian dari konsep asli BSC. Pada organisasi laba perspektif finansial merupakan tujuan akhir. Sedang pada organisasi nirlaba, keuntungan bukanlah tujuan utama. Pada organisasi nirlaba kepuasan pelanggan merupakan tujuan akhir. Maka BSC yang hendak diaplikasikan harus disesuaikan dengan karakteristik organisasi nirlaba tersebut. Ada berbagai jenis organisasi nirlaba yang mengaplikasikan BSC, antara lain rumah sakit, pusat kesehatan (healthcare), organisasi pemerintahan, universitas, dan lain-lain.

Dalam penelitian mereka diketahui BSC tidak selalu diterapkan sebagai manajemen strategi, tapi terkadang hanya sebagai alat pengukuran kinerja. Selain itu perspektif dalam BSC bisa berubah, baik nama ataupun jumlahnya. Contohnya aplikasi BSC pada kota Seattle, ketiga nama perspektif berubah nama menjadi prioritas kota untuk pelanggan, manfaat dan nilai, perspektif pengiriman jasa dan operasi kota, sedang perspektif pertumbuhan dan pembelajaran tetap (Abbot et al; 2002 dalam Purwanto; 2003). Contoh lain adalah aplikasi pada perguruan tinggi oleh Stewart dan Hubin (2000-2001) yang menggunakan lima perspektif dengan nama yang berbeda pula, antara lain diversity (keanekaragaman), student learning experience (pengalaman belajar mahasiswa), academic excellence (kesempurnaan akademis), outreach and engagement (pencapaian melampaui target dan perikatan), dan resourse management (manajemen sumber daya).

Sebagaimana konsep awal yang sangat logis dirumuskan oleh Kaplan dan Norton, bahwa dalam penyelarasan strategi perusahaan menggunakan empat perspektif: Customer, Finansial, Internal Process dan Learning and Growth. Ke empat perspektif ini saling berhubungan dalam sebab akibat, sebagai cara untuk menterjemahkan strategi kedalam tindakan. Hal ini diharapkan dapat menjadi terobosan strategis dalam rangka mengendalikan organisasi secara efektif. Namun dalam implementasinya nampak terbatas pada tatanan praktis dalam ranah pengukuran kinerja yang condong pada kepentingan kekinian. Perkembangan terkini yang dicoba diaplikasikan oleh

Page 7: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 7

banyak organisasi adalah membawa Balanced Scorecard ke tatanan pengukuran kinerja individu. Padahal pengukuran kinerja tetaplah pengukuran kinerja, dan bukan Balanced Scorecard. Justeru Balanced Scorecard adalah sistem yang memerlukan keberadaan pengukuran kinerja, dan bukan sebaliknya berkutat pada pengukuran kinerja. Suatu organisasi pembelajaran yang efektif adalah organisasi di mana pegawai pada semua tingkatan organisasi secara terus menerus mengamati perubahan lingkungan. Mengindentifikasi masalah-masalah yang potensial dan peluang-peluang, saling bertukar informasi, dan melakukan percobaan model bisnis agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang muncul. Menurut pendapat Kaplan dan Norton (dalam Nanang Sasongko) dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ada tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu: • Kemampuan pekerja ( Employee capabilities ) • Kemampuan sistem informasi ( Information system capabilities ) • Motivasi, Pemberdayaan dan Penyetaraan ( Motivation, empowerment, and alignment)

Jika demikian akan banyak organisasi terjebak dalam menggunakan Balanced Scorecard

sebagai alat untuk pengukuran kinerja. Akibatnya, organisasi-organisasi ini bisa gagal melakukan proses penyelarasan Balanced) strategi, karena terlalu sibuk membuat sistim pengukuran kinerja. Benar bahwa pelaku organisasi di level individu juga harus mempunyai “nilai rapor” yang dapat dipresentasikan dalam bentuk Scorecard seperti raport sekolah. Tetapi itu tetap saja sebuah Scorecard (raport), dan tidak mencakup tataran konsepsi Balanced Scorecard dalam pengertian “scorecard” yang “balanced”, dengan empat perspektifnya. Menurut Efendi Arianto (2007), bahwa Balanced Scorecard hendaknya tetap berada di tatanan strategi organisasi di level atas, dan tidak perlu dielaborasi sampai pada level teknis terendah di organisasi. Elaborasi ke kompleksitas yang melebar, hanya didasari kepentingan konsultan-konsultan manajemen yang sengaja membawa konsepsi Balanced Scorecard ke arena kompleksitas demi kelangsungan proyek-proyek implementasi Balanced Scorecard.

C. Rekomendasi

Kendati pergeseran mindset dan perubahan skillset cukup menjanjikan efektivitas implementasi Balanced Scorecard untuk dapat melipatgandakan kinerja keuangan, namun tetap saja tak lepas dari kekurangan, kerugian. Menurut pemahaman kami bahwa BSC merupakan alat untuk membantu mengukur performance/keberhasilan suatu organisasi. Sebagai alat tentu memiliki kelemahan, mungkin tidak cocok, atau merugikan, atau bisa menjadi memperkeruh permasalahan dimana masalah yang sudah ada juga belum juga selesai. Disini diperlukan perspektif ke 5, yaitu STRONG LEADERSHIP (atau tegas konsisten dan sedikit kejam, tapi bukan otoriter) untuk merubah kultur perangkat yang ada dalam organisasi yang diketahui merugikan, diubah menjadi kondisi yang jauh lebih obyektif dan menguntungkan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam penerapan Balance Scorecard (BSC) sering terjadi kesalahpahaman, di mana balance diartikan seimbang dalam ukuran jumlah perspektif. Padahal makna balance dalam BSC adalah keseimbangan nilai kinerja. Kinerja sebuah perusahaan tidak semata dilihat dari kinerja yang telah lalu (financial,) akan tetapi menyangkut sumberdaya yang menentukan kinerja masa depan (customer, internal business process dan learning & growth) juga harus diperhatikan. Seringkali perusahaan terjebak dalam fokus peluang dan perolehan laba yang besar tanpa memperhatikan kepentingan customer dengan meninggalkan perspektif Human Resources. Akibatnya customer perusahaan berpaling ke

Page 8: Makalah Seminar Kritik Thdp Balanced Scorecard 2

Balanced Scorecard: 8

perusahaan yang lain, sehingga kinerja pelaku internal dalam proses pengembangan perusahaan di masa depan semakin berkurang.

Sebuah pengelolaan kinerja merupakan proses yang berjalan secara terus menerus. Oleh karena perspektif financial menampilkan kinerja perusahaan di masa lalu, sedangkan ketiga perspekrif lainya merupakan kinerja masa depan, maka untuk menjamin keseimbangan implementasi pendekatan BSC pada perkembangan sekarang , perlu penambahan perspektif yang ke 6 yaitu: Community Development (berhubungan dengan pembangunan sumber daya masyarakat).

Dalam mendukung keseimbangan hubungan kausalitas kinerja perusahaan perlu pengembangan SDM untuk menciptakan nilai-nilainya (Values) sistem implementasi strategi. Memaksimalkan value membutuhkan pemahaman dari berbagai sisi yang saling berhubungan. Bila Manajer SDM tidak memahami aspek bisnis, maka para manager tidak akan menghargai bagian SDM tersebut. Dalam hal ini menetapkan HR untuk mendukung kinerja perusahaan seperti yang ditentukan dalam Peta Strategi dimaksudkan agar perusahaan fokus pada tingkah laku yang dapat mempertajam keseimbangan fungsi kompetensi, reward dan tugas organisasi. Dengan adanya hubungan ini dapat dirancang kebijaksanaan, seperti meningkatkan gaji dan bonus, yang dapat mempertahankan karyawan R&D yang berpengalaman.

Hasil pengembangan HR Scorecard tersebut diwujudkan sebagai alat manajemen yang 'powerful'. Implementasi alat ini tidak lebih dari 'menjaga skor' pengaruh SDM terhadap kinerja perusahaan. Bila HR Scorecard disejajarkan dengan pentingnya strategi perusahaan, maka profesionalitas SDM akan menemukan inspirasi baru sebagai aset strategis tentang apa yang harus dilakukan untuk kemajuan perusahaan ke depan (future). Melaksanakan proses manajemen baru dengan SDM yang profesional ini tentu membutuhkan perubahan dan fleksibilitas. Kemudian, proses ini bukan hanya dilakukan 1 kali saja, tetapi para profesional SDM harus secara teratur mengkaji HR dalam rangka memastikan bahwa strategi HR tersebut masih dianggap relevan dan signifikan.

Dengan demikian untuk mengembangkan system pengukuran kinerja yang mendunia tergantung pada pemahaman yang jelas terhadap strategi bersaing, sasaran operasional perusahaan, dan pernyataan definitif tentang kompetensi karyawan dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan perusahaan. Lebih jauh lagi, sistem perspektif adalah prasyarat untuk menyesuaikan kesejajaran internal dan eksternal system SDM dan kemudian untuk menggeneralisasi keuntungan bersaing yang sebenarnya. Sistem pengukuran bagi perusahaan sebagai keseluruhan atau bagi fungsi SDM dapat menciptakan value, hanya bila mereka secara hati-hati menyesuaikannya dengan strategi bersaing dan sasaran operasional perusahaan tersebut. DAFTAR PUSTAKA

Arianto, Efendi, 2007, http://strategika.wordpress.com/ Rei, Irwan, (http://www.portalhr.com/) Sasongko, Nanang, (Tanpa tahun). Makalah: Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.

Fak.Ekonomi - Universita Jenderal Achmad Yani. Yuwono, Sony, dkk (2002) Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard, PT.Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.