makalah skenario 2 sistem digestif 1
DESCRIPTION
nbbTRANSCRIPT
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
BAB 1...................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN................................................................................................................................2
1.1. Skenario Kasus......................................................................................................................2
1.2. Analisi Kasus.........................................................................................................................2
1.2.1. Daftar pertanyaan...........................................................................................................2
1.2.2. Jawaban Pertanyaan.......................................................................................................2
1.2.3. Pohon Masalah....................................................................................................................3
1.2.4. Learning Objective........................................................................................................4
BAB 2...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1. Konsep Nyeri..............................................................................................................................5
2.1.1. Definisi Nyeri......................................................................................................................5
2.1.2. Klasifikasi Nyeri..................................................................................................................5
2.1.3. Mekanisme Nyeri................................................................................................................6
2.1.4. Sensasi Nyeri......................................................................................................................7
2.2. Pengkajian Persepsi Nyeri..........................................................................................................8
2.3. Pengkajian Karakteristik Nyeri Menggunakan PQRST............................................................11
2.4. Diagnosa Keperawatan.............................................................................................................12
2.5. Intervensi Nyeri........................................................................................................................13
2.5.1. Intervensi nyeri independen...............................................................................................13
2.5.2. Intervensi nyeri kolaboratif................................................................................................17
BAB 3..................................................................................................................................................21
PENUTUP..........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................23
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Skenario Kasus
Sakitnya tu Gimana?
Seorang wanita 27 tahun, mengeluh nyeri dibagian perut, pasien tersebut post op
appendiksitis. Wajah tampak meringis menahan nyeri pada angka 5, nyeri terasa seperti
disayat-sayat dan perih di daerah lukapost op dan sekitarnya, tampak luka post op dengan
panjang sekitar 7 cm di daerah abdomen kanan bawah, pemeriksaan tanda vital
didapatkan denyut nadi 90x/menit, TD 120/80 mmHg, frekuensi napas 24x/menit, suhu
37,5˚C, ketika perawat menganjurkan wanita tersebut untuk melakukan teknik relaksasi
napas dalam dan distraksi, wanita tersebut tampak lebih tenang dan mengatakan nyeri
berkurang.
1.2. Analisi Kasus
1.2.1. Daftar pertanyaan
2. Definisi Nyeri ?
3. Apa saja teknik distraksi ?
4. Bagaimana Mekanisme Nyeri ?
5. Cara pengkajian terhadap Nyeri ?
6. Intervensi lain untuk mengatasi Nyeri ?
7. Jenis-jenis skala Nyeri ?
8. Penatalaksaan Medis ?
1.2.2. Jawaban Pertanyaan
2. Nyeri merupakan rasa ketidaknyamanan dalam tubuh akibat berbagai macam
faktor yang menyebabkannya seperti benturan, adanya perlukaan yang
membuat rasa nyeri itu muncul.
3. Contohnya Menonton TV, mendengarkan musik, istirahat dan melakukan
sesuatu yang dapat mengurangi rasa nyeri
2
4. Mekanisme nyeri : karena adanya perlukaan pada bagian tubuh akibat post op
mengakibatkan munculnya rasa tidak nyaman seperti nyeri sebagai respon
dari bagian tubuh yang terluka dan respon dari sistem saraf yang bekerja.
5. Pengkajian nyeri yaitu PQRST ( Provoking Incident, Quality of pain,Region,
Scale of pain, Time )
6. Intervensi lain untuk mengatasi nyeri yaitu kompres, beristirahat, mengatur
posisi, dan menjaga lingkungan yang baik.
7. Skala nyeri : 1-10, 0-5, 0-4.
8. Pemberian obat Analgesik untuk mengatasi rasa nyeri atau mengurangi rasa
nyeri.
1.2.3. Pohon Masalah
3
Pasien post op apendiksitis
Nyeri dibagian Abdomen
Penanganan Medis
Pengkajian Keperawatan Intervensi Nyeri Teknik Distraksi
Nyeri berkurang
1.2.4. Learning Objective
1. Definisi Nyeri2. Mekanisme Nyeri3. Manifestasi Nyeri4. Pengkajian persepsi Nyeri5. Pengkajian Nyeri (PQRST)6. Intervensi Nyeri
4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosionl yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan
sensorik yang dinyatakan seperti, pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, cangkeul, dan
seterusnya dapat diaggap sebagai modalitas nyeri.
Walaupun rasa nyeri hanya salah satu rasa protopatik (primer), namun pada
hakekatnya apa yang tersirat dalam rasa nyeri itu adalah rasa majemuk yang
diwarnai oleh nyeri, panas/dingin, dan rasa tekan.
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi
diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan berubah.
Misalnya seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktifitas mengangkat barang
yang memberi beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut.
2.1.2. Klasifikasi Nyeri
a) Nyeri Akut
Nyeri akut berlangsung tiba-tiba dan umumnya berhubungan dengan
suatu trauma atau cedera spesifik. Nyeri akut mengidentfikasikan adanya suatu
kerusakan atau cedera yang baru saja terjadi.
Sensasi dari suatu nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan adanya
proses penyembuhan. Nyeri akut mempunyai suatu tujuan untuk
memperingatkan adanya suatu cedera atau masalah. Nyeri akut umumnya
berlangsung kurang dari 6 bulan.
Hal ini menarik perhatian perawat pada kenyataan bahwa nyeri ini
benar-benar terjadi dan mengajarkan kepada perawat untuk menhindari situasi
serupa yang secara potensial akan menimbulkan sensasi nyeri pada pasien.
b) Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan suatu keadaan yang berlangsung secara konstan
atau intermiten dan menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini
5
berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak
dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik.
Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan (onset) yang ditetapkan
dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberi respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Nyeri kronis adalah suatu keadaan ketidaknyamanan yang dialami
individu yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Suatu episode nyeri
dapat mempunyai karaktristik nyeri kronis sebelum enam bulan telah berlalu,
atau beberapa jenis nyeri dapat tetap bersifat akut secara primer selama lebih
dari enam bulan.
2.1.3. Mekanisme Nyeri
Konsep nyeri zaman dulu dapat disingkat sebagai teori perteleponan
(telephone exchange) dimana nasiseptor menerima inpuls nyeri yang diteruskan
oleh serabut saraf tepi kesusunan saraf pusat sampai ke korteks serebri yang
mampu mencinptakan kesadaran akan rasa nyeri. Hal itu dianggap bahwa apa
yang diterima oleh nesiseptor diperifer ditangkap pula oleh korteks serebri,
bagaikan suara halo yang diucapkan oleh sipenelpon dan terdengar pula sebagai
halo senada dan seirama oleh telinga orang yang menerima telpon itu (Priguna
Sidharta, 1990).
Secara ringkas fisiologis nyeri dimulai dengan adanya stimulus penghasil
nyeri yang mengirimkan inpuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri
memasuki medula spinalis dan menjalani beberapa dari salah satu rute saraf dan
akhirnya sampai didalam massa brwarna abu-abu (substansia grisea) di medula
spinalis.
Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah
stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke
korteks serebri. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebri, maka otak
menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproeses informasi tentang
pengalaman dan pengatahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya
mempersepsikan nyeri.
Pada saat inpuls nyeri sampai ke medula spinalis menuju kebatang otak
dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon
6
stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial
menimbulkn reaksi flight or fight yang merupakan sindrom adaptasi umum.
Stimulasi pada cabang simatis pada sistem saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan
secara tipikal melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard,
kolik akibat batu empedu atau batu ginjal), sistem saraf simpatis menghasilkan
suatu aksi.
Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu.
Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumtik yang berat, yang menyebabkan individu
mengalami syok, kebanyakan indiviu mencapai tingkat adaptasi seperti tanda-
tanda fisik kembali normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak
akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.
2.1.4. Sensasi Nyeri
Sensasi nyeri membutuhkan perhatian khusus karena sensasi ini memainkan
peranan penting dalam perlindungan tubuh. Kapan saja terjadi kerusakan jaringan
maka ujung-ujung saraf akan terstimulasi dan akan terasa sensasi nyeri.
Semua kerusakan seluler disebabkan oleh stimulus termal, mekanik,
kimiawi, atau listrik. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan substansi yang
menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan
zat-zat kimia menyebabkn pelepasan substansi seperti histamin, bradikinin, dan
kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang
berespons terhaadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi
neural yang dikaitkan dengan nyeri.
Tidak semua jaringan terdiri atas reseptor yang mentransmisikan tanda
nyeri. Otak dan alveoli paru merupakan contoh jaringan yang tidak
mentransmisikan nyeri. Beberapa reseptor hanya pada satu jenis stimulus nyeri
tapi reseptor yang lain dapat sensitif terhadap temperatur dan tekanan. Apabila
kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri, maka terjadilah
aktivitas neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh,
maka distribusi reseptor nyeri disetiap bagian tubuh bervariasi. Hal ini
menjelaskan subjektivitas anatomis terhadap nyeri. Bagian tubh tertntu pada
individu yang berbeda lebih atau kurang sensitif terhdap nyeri. Selain itu,
7
individu memiliki kapasitas produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-
beda, yang dikendalikan oleh en inividu (Potter, 2006).
2.2. Pengkajian Persepsi Nyeri
Pengkajian nyeri yang aktual dan akurat di butuhkan untuk menetapkan data dasar dan menegakkan diagnosis keperawatan yang tepat guna menyeleksi terapi yang cocok dan untuk mengevaluasi respons klien terhadap terapi.
Pengkajian nyeri yang benar memungkinkan perawat untuk menetapkan status nyeri klien,lebih bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap perawatan yang di berikan,serta lebih berorientasi pada sifat kemitraan dalam melakukan penatalaksanaan nyeri.
Saat mengkaji nyeri,perawat harus sensitif terhadap tingkat ketidaknyamanan klien.Apabila nyeri bersifat akut atau parah,ada kemungkinan klien dapat memberi penjelasan yang terinci tentang pengalaman nyerinya serta perilaku dari pengalaman nyeri dan pada riwayat nyeri tersebut atau konteks nyeri tersebut.
Perawat harus mengembanngkan hubungan terapeutik yang positif dan memberi waktu kepada klien untuk mendiskusikan nyeri.Memberi posisi yang nyaman pada klien sebelum perawat bertanya dapat membantu klien merasakan bahwa perawat peduli akan dirinya. Perawat menghindari nyeri yang semakin buruk karena melakukan pengkajian yang lama.
Perawat harus mempelajari cara verbal dan non verbal klien dalam mengomunikasikan rasa ketidaknyamanan.Meringios,menekuk salah satu bagian tubuh dan postur tubuh yang tidak lazim merupakan contoh ekspresi nyeri secara nonverbal. Klien yang tidak mampu berkomunikasi efektif sering kali membutuhkan perhatian khusus selama pengkajian.
Apabila klien berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda,maka akan sulit melakukan pengkajian nyeri. Dalam situasi,seorang penerjemah atau seorang anggota keluarga mungkin diperlukan untuk menjelaskan peasaan klien dan sensasi yang di rasakan.Sering kali klien yang merasakana nyeri mengutarakan perasaannya hanya pada satu orang.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Nyeri
a) UsiaUsia merupakan variabel penting yang memengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang di temukan di antara kelompok usia ini dapat memengaruhi bagaimana anak-anak dan lanmsia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan
8
prosedur yang di lakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan untuk mengucapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.
Secara kognitif, anak toddler dan prasekolah tidak mampu mengingat penjelasan tentang nyeri atau mengasosiasikan nyeri sebagai pengalaman yang dapat terjadi di berbagai situasi. Dengan memikirkan pertimbangan perkembangan ini, perawat harus mengadaptasikan pendekatan yang di lakukan dalam upaya mencari cara untuk mengkaji nyeri yang di rasakan anak-anak (btermasuk apa yang akan di tanyakan dan perilaku yang akan di observasi) dan bagaimana mempersiapkan seorang anak untuk prosedur medis yang menyakitkan.
Nyeri bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat di hindari. Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu di lakukan pengkajian, diagnosis, dan penaklasanaan secara agresif. Namun, individu yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi-situasi yang mermbuat mereka merasakan nyeri. Karena lansia telkah hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami kondisi patologis yang menyertai nyeri. Sekali klien yang berusia lanjut menderita nyeri, maka ia dapat mengalami gangguan status fungsi yang serius. Mobilisasi, aktivitas perawatan nyeri, sosialisasi lingkungan di luar rumah, dan toleransi aktivitas dapat mengalami penurunan.
Kemampuan klien lansia untuk menginterprestasikan nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit di sertai gejela samar-samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama. Jika klien lansia tersebut memiliki sumber nyeri lebih satu, maka perawat harus mengumpulkan pengkajian yang rinci. Menifestasi berbagai penyakit dapat menimbulkan kondisi-kondisi nyeri yang tidak khas. Dengan kata lain, penyakit yang berbada-beda dapat menimbulkan gejela yang sama. Misalnya nyeri dada tidak selalu mengindikasi serangan jantung. Nyeri dada juga dapat merupakan gejela artritis pada spinal. Tidak semua lansia mengalami gangguan kognitif. Namun, ketika lansia mengalami bingung, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mengingat pengalaman nyeri dan memberi penjelasan yang rinci.
b) Jenis KelaminSecara umun, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons
terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin (misalnya mengaggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menagis dalam situasi yang sama).
9
c) KebudayaanKeyakian dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini yang meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Contoh seorang klien berkebangsaan mexico-america yang menangis keras tidak selalu memersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharap.
d) Makna nyeriMakna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri individu akan memeresepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang sedang bersalin akan meresepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cidera.
e) PerhatianTingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mengaruhi
persepsi nyeri perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.
f) CemasHubungan antara nyeri dan cemas (ansietas) bersifat kompleks. Cemas sering
kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan cemas. Paice (1991) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya cemas. Klien yang mengalami cedera atau menderita penyakit kritis sering kali mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat cemas yang tinggi. Nyeri yang tidak kunjung hilang sering kali menyebabkan fsikosis yang mengganggu kepribadian.
g) KeletihanKelitahan meningkatkan presepsi nyeri. Rasa kelelahan yang menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada klien yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka presepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali semakin berkurang stelah klien mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan.
h) PengalamanSetiap klien belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri terdahulu tidak
selalu berarti bahwa klien tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada
10
masa yang akan datang apabila klien sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang hebat, maka cemas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila klien mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi nyeri tersebut berhasil dihilangkan, akan lebih mudah lagi bagi klien tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri.
i) Gaya kopingPengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat klien
merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri saat dalam perawatan kesehatan seperti di rumah sakit maka klien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau terhadap hasil akhir dari peristiwa yang terjadi.
j) Dukungan KeluargaFaktor yang bermakna mempengaruhi respons nyeri ialah orang-orang yang
terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Klien dari kelompok budaya yang berbeda-beda memiliki harapan yang berbeda-beda dari seseorang tempat mereka menumpahkan keluhan nyeri. Klien yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan.
2.3. Pengkajian Karakteristik Nyeri Menggunakan PQRST
Keluhan klien tentang nyeri yang dirasakan merupakan indikator utama yang
paling dapat dipercaya tentang keberadaan dan intensitas nyeri serta apapun yang
berhubungan ddengan ketidaknyamanan.
Nyeri bersifat individualistik. Pengkajian karakteristik nyeri membantu perawat
membentuk pengertian pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan utuk mengatasi nyeri.
Penggunaan instrumen untuk menghitung luas dan derajat nyeri bergantung pada
kesadaran klien secara kognitif dan kemampuan klien untuk memahami instruksi
perawat.
Pendekatan pengkajian karakteristik nyeri dengan menggunakan PQRST, dapat
mempermudah perawat dalam melakukan pengkajian nyeri yang dirasakan klien.
Ringkasan Pengkajian Karakteristik Nyeri dengan Pendekatan PQRST
Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri, apakah
nyeri berkurang apabila beristirahat, apakah nyeri bertambah berat bila beraktivitas
(agravation). Faktor-faktor yang dapat meredakan nyeri (misalnya gerakan, kurang
11
bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dsb) dan apa yang dipercaya
klien dapat membantu mengatasi nyeri
Quality or quality of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau menusuk.
Region : Radiation, relief : Dimana lokasi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat oleh
klien, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar , dan dimana
rasa sakit terjadi. Tekanan pada saraf atau akar saraf akan memberikan gejala nyeri yang
disebut radiating pain misalnya pada sklatika di mana nyeri menjalar mulai dari bokong
sampai anggota gerak bawah sesuai dengan distribusi saraf. Nyeri lain yang disebut nyeri
kiriman atau referred pain adalah nyeri pada suatu tempat yang sebenarnya akibat
kelainan dari tempat lain. Misalnya nyeri lutut akibat kelainan pada sendi panggu.
Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bila
berdasarkan skala nyeri deskriptif (tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat, nyeri tak tertahankan) dan klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
memengaruhi kemampuan fungsinya terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari (misalnya
tidur, nafsu makan. Konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan
aktivitas-aktivitas santai). Nyeri akut sering berkaitan dengan cemas dan nyeri kronis
dengan depresi.
Time : berapa lama nyeri berlangsung (bersifat akut atau kronis), kapan, apakah ada
waktu-waktu tertentu yang menambah rasa nyeri.
2.4. Diagnosa Keperawatan
Penegakan diagnosa keperawatan yang akurat untuk klien yang mengalami nyeri
dilakukan berdasarkan pengumpulan dan analisa data yang cermat. Seseorang perawat
diharapkan tidak mendiagnosa nyeri klien dengan sederhana hanya karena menyangka
klien mengalami ketidaknyamanan. Sering kali peraawat memilih diagnosa nyeri karena
yang menjalani pembedahan atau mengalami kondisi penyakit spesifik yang
mengimplikasi nyeri.
Diagnosis yang akurat dibuat setelah pengkajian lengkap semua variabel selesai
dilakukan. Dalam contoh diagnosa nyeri, perawat dapat mengkaji perilaku klien yang
menarik diri dari komunikasi, postur tubuh kaku, keluhan klien, dan ungkaapan verbal
mengenai ketidaknyamanan. Sebaliknya, diagnosa untuk cemas dapat ditegakkan dengan
mengobservasi ketegangan dan raut wajah klien, kontak mata minimal, gelisah, dan
12
ungkapan verbal mengenai perasaan takut. Kedua diagnosis tersebut memiliki batasan
karakteristik yang sama. Perawat menyeleksi pola data untuk mengidentifikasi nyeri
sebagai diagnosis yang tepat.
Masalah Keperawatan yang Berhubungan dengan Nyeri
1. Nyeri yang berhubungan dengan cedera fisik atau trauma, kerusakan
neuromuskuloskletal, penurunan suplai darah ke jaringan
2. Nyeri kronis yang berhubungan dengan kontrol nyri yang tidak adekuat
3. Resiko cedera yang berhubungan dengan penurunan resepsi nyeri
4. Hambatan mobilitas fisik yang b/d nyeri neuromuskuloskletal, nyeri pasca-insisi
5. Gangguan pola tidur yang b/d nyeri punggung bawah
6. Defisit perawatan diri yang b/d nyeri neuromuskuloskletal
7. Kecemasan yang b/d nyeri yang tidak hilang
8. Disfungsi seksual yang b/d nyeri panggul.
2.5. Intervensi Nyeri
Perawat membantu meredakan nyeri dengan memberikan intervensi penghilang
nyeri (termasuk pendekatan farmakologi dan nonfarmakologi), mengkaji keefektifan
intervensi tersebut, memantau efek yang merugikan, dan berperan sebagai advokat klien
apabila intervensi yang dianjurkan tidak efektif dalam meredakan nyeri.
2.5.1. Intervensi nyeri independen
a) Pengaturan posisi
Kebanyakan nyeri neurumuskuloskeletal dapat dikurangi dengan pengaturan
posisi optimal. Nyeri akan bertambah parah apabila posisi yang ada pada klien
tidak dalam posisi kesejajaran. Maka pengaturan posisi yang diberikan perawat
merupakan hal yang mendasar dalam melakukan intervensi.
b) Istirahat
Istirahat pada saat nyeri merupakan hal yang pertama dilakukan pada klien yang
sedang mengalami nyeri. Perawat perlu menekankan hal ini pada klien saat mulai
datangnya nyeri dengan harapan suplai darah dapat lebih banyak dikirimkan pada
jaringan yang nyeri, baik akibat iskemia jaringan atau sebab lain.
13
c) Atur posisi fisiologis
Pengaturan posisi secara fisiologis dengan prinsip back to nature sangat
membantu dalam menurunkan rasa nyeri. Pengaturan fisiologis akan membantu
meningkatkan aliran darah pada jaringan yang mengalami iskemia akibat
penekanan atau kesalahan posisi. Perawat perlu memahami hal yang mendasar
tentang pengaturan posisi fisiologis.
d) Atur posisi dengan fiksasi dengan fiksasi atau imobilisasi
Pada beberapa kondisi klinik, pengaturan posisi dengan melakukan fiksasi atau
imobilisasi harus dilakukan. Hal ini disebabkan apabila tidak dilakukan maka
respon nyeri akan bertambah parah.
e) Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal.Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri.Ada banyak bukti
menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung.
Relaksasi napas abdomen.Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas
abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Klien dapat memejamkan
matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi
(“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi(“hembuskan, dua, tiga”).
f) Kompres
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif
pada beberapa keadaan umum namun keefektifan dan mekanisme kerjanya
memerlukan studi lebih lanjut.Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang
sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang
memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedea
dengan menghambat psoses imflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada
tempat cedera terjadi.
g) Manajemen sentuhan
Stimulasi masase distraksi. Teori Gate Control Mechanism, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang
menstranmisikan sensasi tidak memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri.
14
Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologi, termasuk menggosok kulit
serta menggunakan panas dan dingin adalah berdasarkan mekanisme ini.
Masase terapeutik perkutaneus .masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara
umum yang dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik
tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang
tidak samaseperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem
kontrol desenden.Masase dapat membuat klien lebih nyaman karena masase
membuat otot berelaksasi.
Sentuhan terapeutik.Sentuhan terapeutik berasal dari praktik kuno “meletakkan
tangan”(potter, 2006).pendekatan itu menyatakan bahwa pada individu yang
sehat, terdapat ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh.
Penyakit mewakili ketidakseimbangan energi yang dihasilkan.Sentuhan
terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar memberikan dampak
distraksi dan dukungan prilaku pada klien yang mengalami nyer.Sifat analgesik
pada sentuhan terapeutik yaitu menciptakan respon relaksasi yang bersifat umum.
h) Distraksi.
RAS menghambat stimulus yag menyakitkan jika seseorang menerima
masukan sensorik yang cukup ataupun berlebihan. Stimulus sensorik yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin.
Klien yang merasa bosan atau diisolasi hanya memikirkan nyeri yang
dirasakan sehingga klien mempersepsikan nyeri tersebut ke hal lain dan dengan
demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan
toleransi terhadap nyeri. Namun, ada satu kerugian, yaitu apabila upaya distraksi
itu berhasil, perawat atau keluarga dapat menanyakan tingkat nyeri yang klien
rasakan.Distraksi memberikan pengaruh yang baik pada jangka waktu yang
singkat, untuk mengatasi nyeri intensif hanya berlangsung beberapa menit,
misalnya selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu kerja
analgesik.
i) Alih fokus perhatian.
Teknik distraksi dengan alih fokus perhatian pada saat sesuatu selain nyeri
dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme
yang bertanggungjawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya.
Klien yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit
perhatian pada nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi
15
terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli
nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung dari kemampuan klien untuk menerima
dan membangkitkan input sensorik selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum
meningkat dalam hubungan langung dengan partisipan aktif individu, banyaknya
modalitas sensorik yang dipakai, dan minat individu dalam stimuli. Karenanya,
stimulasi penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan lebih efektif
dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasisatu indra saja.
j) Dukungan orang tua atau terdekat
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan
aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari keluarga dan
teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Pada anak-anak peran
dukungan orang tua didekat klien sangat membantu dalam menurunkan reseptor
nyeri.
k) Manajemen Lingkungan
Menurunkan stimulasi eksternal selain dari stimulus nyeri merupakan intervensi
dalam manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan tersebut meliputi :
Lingkungan yang tenang dapat membantu klien dalam meningkatkan
pelaksaan metode distraksi secara efektif.
Pengaturan linen dan tempat tidur, dengan mengganti linen yang basah atau
kotor, meluruskan linen yang berkerut di tempat tidur dapat membantu
menurunkan stimulus nyeri.
Pengaturan selang (drainase0, dengan posisi yang tepat baik posisi klien
berbaring ataupun duduk akan mengurangi stimulus nyeri.
Pengaturan fiksasi dan balutan, dengan mengurangi fiksasi yang terlalu ketat
kecuali pada balutan atau fiksasi dengan indikasi untuk menekan dapat
mengurangi stimulus nyeri. Mengganti balutan yang basah atau kotor akan
mengurangi sensasi bau dan rasa yang kurang enak pada klien dengan adanya
kerusakan integritas jaringan.
Lingkungan kondusif tidak panas, menurunkan stimulus nyeri lainnya. Kondisi
ruangan yang panas akan memberikan dampak pada peningkatan pada laju
metabolisme basal yang pada saat klien nyeri sangat memerlukan energi
tersebut dalam mengatasi nyeri akibat dari iskemia lokal.
16
Lingkungan dengan privasi terkontrol, dapat membantu klien dalam
meningkatkan kemampuan distraksi efektif.
l) Dukungan perilaku
Dukungan perilaku atau biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan
dengan memberikan klien informasi tentang respons fisiologis (misalnya tekanan
darah atau ketegangan) dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respons
tersebut.
2.5.2. Intervensi nyeri kolaboratif
Menangani nyeri yang dialami klien melalui intervensi keperawatan nyeri
kolaboratif dilakukan dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya dan
klien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksaan nyeri mungkin diresepkan atau
kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Namun
demikian, perawat yang mempertahankan analgesik, mengkaji keefektifannya, dan
melaporkan jika intervensi tersebut tidak efektif atau menimbulkan efek samping.
Penatalaksaan nyeri memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif
diantara pemberi perawatan kesehatan.
Kolaboratif terapi nyeri farmakologi
Beberapa agen farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen
tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obat-
obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmmakologi, membantu
dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan.
a) Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri.
Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawat dan
dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan
nyeri karena informasi obat yang benar, adanya kekhawatirkan klien akan
mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam
menggunakan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang dari yang
diresepkan. Perawat harus mengetahui obat-obatan yang tersedia untuk
menghilangkan nyeri dan efek-efek farmakologi obat-obatan tersebut.
17
Analgesik terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1, Non-narkotik dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs)
1. Analgesik narkotik atau Oplat.
2. Obat tambahan (adjuvan) atau ko-analgesik.
NSAIDs non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri
sedang seperti nyeri yang terkait dengan artritis rheumatoid, prosedur
pengobatan gigi dan prosedur bedah monir, episiotomi, dan masalah pada
punggung bagian bawah. Satu pengecualian, yaitu ketorolac (toradol),
merupakan agen analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang
kemanjurannya dapat dibandingkan dengan Morfin.
Terapi pada nyeri pasca operasi ringan sampai dengan sedang harus
dimulai dengan menggunakan NSAIDs kecuali kontraindikasi. Walaupun
mekanisme kerja NSAIDs tidak diketahui secara pasti, NSAIDs diyakini bekerja
menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular selama
inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi dan rsepsi stimulus nyeri. Tidak seperti Opiat, NSAIDs
tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan, juga tidak mengganggu
fungsi berkemih atau defekasi.
b) Rute pemberian Analgesik
Rute untuk pemberian analgesik didasarkan pada kondisi klien dan efek obat
yang diinginkan. Analgesik dapat diberikan melalui rute parenteral (intravena,
intramuskular, atau subkutan), oral, rektal, transdermal (malalui kulit), dan
melalui kateter epidural atau instraspinal. Masing-masing dari metode
pemberian ini mempunyai keuntungan dan kerugian, jalur yang dipilih harus
didasarkan pada kebutuhan klien secara individual.
Rute Parenteral, Pemberian analgesik parenteral (rute intramuskular,
intravena, atau subkutan) menghasilkan efek yang lebih cepat dibanding
pemberian oral, tetapi durasi efeknya lebih pendek. Pemberian parenteral dapat
juga diindikasikan jika klien tidak diperbolehkan masukan per oral atau klien
mengalami muntah-muntah. Bila obat diberikan melalui rute intramuskular, obat
memasuki aliran darah secara perlahan dan dimetabolisme secara lambat.
18
Rute intravena, rute intravena (IV) adalah alternatif untuk suntikan analgesik
opiod intramuskular (IM). Rute IV adalah rute pemberian medikasi analgesik
yang lebih dipilih. Pemberian dengan rute ini lebih nyaman bagi klien dan
puncak kadar serum serta hilangnya nyeri terjadi lebih cepat. Karena mencapai
puncak lebih cepat (biasanya dalam beberapa menit) dan dimetabolisme dengan
cepat, dosis IV yang dibutuhkan akan lebih kecil dan diresepkan pada interval
yang lebih pendek dibanding dosis IM>
Opiod ( narkotik) IV mungkin diberikan melalui “dorongan” IV atau
“dorongan lambat” misalnya dalam periode 5-10 menit atau melalui infus
kontinu dengan pompa. Metode kontinu memberikan kadar analgesik yang tetap
dan diindikasikan bila nyeri terjadi lebih dari periode 24 jam, seperti
pascaoperasi untuk hari pertama/lebih atau pada klien dengan nyeri kanker
berkepanjangan yang tidak dapat memakai obat melalui jalur lain. Dosis
analgesik dihitung dengan cermat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghasilakn depresi pernapasan dan efek samping lain.
Rute subkutan, Rute subkutan untuk infus analgesik opioid digunakan untuk
klien dengan nyeri berat seperti nyeri kanker. Rute ini khususnya berguna bagi
klien dengan akses intravena yang tebatas yang tidak mampu menggunakan
medikasi oral dan klien-klien yang menangani nyerinya di rumah. Dosis opioid
yang dapat diinfuskan melalui jalur ini terbatas karena volume kecil yang dapat
diberikan pada satu waktu ke dalam jaringan subkutan. Bagaimanapun, rute ini
seringkali merupakan cara yang efektif dan tepat untuk menangani nyeri.
Rute Oral, Rute oral akan dipilih ketimbang pemberian parenteral jika klien
mampu untuk meminum obat melalui mulut. Cara pemberian seperti ini mudah,
non-invasif, dan tidak menyakitkan seperti pada injeksi. Nyeri berat dapat
dihilangkan dengan narkotik oral jika dosisnya cukup tinggi.
Agar efektif, bagaimanapun, dosis harus diubah karena obat-obat
diabsorbsi pada kecepatan yang berbeda tergantung dari rute pemberian.
Pada klien dengan penyakit terminal dan nyeri berkepanjang , dosis secara
bertahap dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan penyakit dan
menyebabkan lebih nyeri atau seperti bila individu membentuk toleransi
terhadap obat. Jika dosis yang lebih tinggi ini ditingkatkan secara bertahap, obat
19
ini biasanya memberikan peredaan nyeri tambahan tanpa menyebabkan depresi
pernapasan atau sedasi. Jika rute pemberian diganti dari rute parenteral menjadi
rute oral dengan dosis yang tidak sebanding kekuatannya (ekuianalgesik). Dosis
oral yang lebih kecil dapat mengakibatkan reaksi putus obat dan nyeri terjadi
lagi (kambuh).
Rute Rektal, Pemberian melalui rute rektal mungkin diindikasikan untuk klien
yang tidak mampu menggunakan obat0obat melalui rute lainnya. Supositoria
rektal 10 mg Oximorfon (Numorphan;dua supositoria, total 10 mg) memberikan
pereda nyeri sebanding dengan 10 mg Morfin IM atau 100 mg Meperidin IM.
Rute rektal mungkin juga diindikasikan bagi klien dengan masalah perdarahan
seperti hemofilia.
Rute Transdermal, Rute transdermal digunakan untuk mencapai kadar opioid
yang konsisten dalam serum melalui absorbsi obat melalui kulit.sistem
transdermal tersedia secara komersial terdiri dari atas wadah yang berisi obat
dan suatu membran. Ukuran dari areapermukaan membran mengatur kecepatan
pemberian obat. Apabila sistem transdermal digunakan pertama kali pada kulit,
obat diabsorbsi, tempat ikatan opioid meningkat dengan lambat. Absorbsi
lambat dari tempat ikatan ini setelah sistem dilepaskan menyebabkan penurunan
yang lambat pada kadar serum. Metode ini telah digunakan untuk menangani
nyeri pascaoperatif juga nyeri kanker.
Rute Intraspinal, Infus opioid atau agen anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid (ruang intratekal atau medula spinalis) atau ruang epidural efektif
dalam mengontrol nyeri pada klien pascaoperatif juga mereka dengan nyeri
kronis yang tidak reda melalui metode lain.
20
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosionl yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensorik yang dinyatakan
seperti, pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, cangkeul, dan seterusnya dapat diaggap sebagai
modalitas nyeri.
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri.
Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan berubah. Misalnya
seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktifitas mengangkat barang yang memberi
beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Klasifikasi Nyeri :
1. Nyeri Akut
2. Nyeri Kronis
Intervensi Nyeri :
1. Intervensi nyeri Independen
Pengaturan posisi
Istirahat
Atur posisi fisiologis
Atur posisi dengan fiksasi atau imobilitasi
Teknik relaksasi
Kompres
Manajemen sentuhan
Distraksi
Dukungan orang tua atau terdekat
Manajemen lingkungan
2. Intervensi nyeri Kolaboratif
Kolaboratif terapi nyeri farmakologi
- Analgesik
21
- Rute pemberian ( Rute parenteral,rute oral,rute rektal, rute transdermal,
ruteintrasspinal).
22
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin,Arif . (2011). “Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan Sistem
Persarafan “. Jakarta : Salemba Medika
23