makalah sunni dan syi'ah
DESCRIPTION
perbedaan sunni dan syi'ahTRANSCRIPT
SUNNI dan SYI’AH
Disusun Oleh :
1. Aris Hidayat (11650014)
2. . (116500xx)
3. . (116500xx)
4. . (116500xx)
5. . (116500xx)
6. . (116500xx)
7. . (116500xx)
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
PENDAHULUAN
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran
besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat
dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik
kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-
negara seperti Irak dan Lebanon.
Syiah, syiah ini berbeda pendapatnya dengan aliran lain di antaranya dalam
pendirian, bahwa penunjukan imam sesudah wafat Nabi di tentukan oleh Nabi
sendiri dengan nash. Nabi tidak boleh melupakan nash itu terhadap pengangkatan
khalifahnya, sehingga menyerahkan pekerjaan pengangkatan itu secara bebas
kepada umatnya dan halayak ramai. Selanjutnya syi'ah berpendirian bahwa
seseorang imam yang di angkat itu harus ma'sum atau terpelihara dari pada dosa
besar atau dosa kecil, dan bahwa Nabi Muhammad dengan nash meninggalkan
wasiatnya untuk mengangkat Ali bin Abi thalib menjadi khalifahnya, bukan orang
lain, dan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabatnya yang pertama dan
utama.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis,
Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus
mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana.
Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini
dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah,
yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.
1
PEMBAHASAN
I. SYI’AH
A. Pengertian Syiah
Syiah secara etimologi (kebahasaan) berarti pengikut, pendukung,
pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan
kepada ide atau individu dan kelompok tertentu.1 Sedangkan menurut Ahmad
Al-Waili dan Abd al-Qadir Syaib al-Hamdi Guru Besar pada Universitas
Islam Madinah, sebagaimana dikutip oleh Fadil, Syiah menurut bahasa adalah
pengikut atau pembantu.2
Muhammad Husayn Thabathaba’i dalam bukunya “Islam Syiah”,
menyebutkan bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap
pengganti Nabi saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka
yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab
Ahl al-Bayt.3
Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama beraliran Syiah,
sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, memberikan definisi tentang
kelompok Syiah, bahwa mereka adalah “kelompok yang meyakini bahwa
Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti)
tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali. Definisi ini
sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani
(1339-1413), seorang Sunni penganut aliran Asy’ariyah, yang menulis dalam
bukunya at-Ta’rifat (defenisi-defenisi) bahwa: Syiah adalah mereka yang
mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah imam sesudah
1 M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 60.
2 Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah, Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998, hlm. 80.
3Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syiah: Asal-Usul dan Perkembangannya, diterjemahkan dari, Shi’ite Islam, penerjemah, Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 32.
2
Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan
keturunannya.4
Sedangkan dalam pandangan Abu Zahrah,5 bahwa Syiah adalah
mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada
akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa Ali. Mereka mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya.
Sehingga mereka mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturunan
Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang
semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa Bani Umayyah,
rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka
memandang Ahl al-Bayt sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan
demikian semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan pendukungnya
semakin banyak.
Dari berbagai pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
Syiah adalah golongan yang lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari
sahabat lainnya, yang percaya bahwa Ahl al-Bayt lebih berhak untuk
memegang tampuk kekhalifahan sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw atas
dasar wasiat dari Rasul dan kehendak dari Allah.
Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah syiah-syiah atau
kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah,
sehingga saat itu tidak ada lagi kelompok-kelompok atau syiah. Hal mana
karena Rasulullah diutus untuk mempersatukan umat dan tidak diutus untuk
membuat kelompok-kelompok. Allah berfirman : Ali Imran 103
Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka
4 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah, hlm. 61.5 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj.
Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996), hlm. 34.
3
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
B. Sejarah Mazhab Syi’ah
Sebagaimana dipahami dari pengertian Syiah di atas, bahwa kelompok
Syiah adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib dan mereka percaya bahwa
kepemimpinan setelah Nabi wafat adalah hak Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya. Dari sinilah bermulanya persoalan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu polemik yang panjang diantara umat.
Ketika Nabi wafat, persoalan penggantian dipahami sebagai
penggabungan kepemimpinan politik dan religius, suatu prinsip yang dikenal
baik oleh orang Arab, meskipun tentu saja, dengan tingkat penekanan yang
berbeda pada salah satu dari dua aspek ini. Bagi sebagian orang politik lebih
diperhatikan dari pada religius, sedang bagi yang lain religius lebih
diperhatikan ketimbang politik.6
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah
gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak
pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut
sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah
pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari
pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang
yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
6 Sayyid H. Muhammad. Jafri, Origin And Early Development of Shi’a Islam (New York: Longman,1979). Terjemahan Indonesia oleh Meth Kieraha, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah dari Saqifah Sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 42.
4
Sebagaimana dijelaskan oleh Thabathaba’i dalam bukunya “Islam
Syiah”, setelah Nabi wafat, para pengikut dan sahabat Ali percaya bahwa
kekhalifahan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali. Kepercayaan ini
berpangkal pada pandangan tentang kedudukan dan tempat Ali dalam
hubungannya dengan Nabi, para sahabat dan kaum muslimin umumnya.
Namun sebelum jasad Nabi dimakamkan, para sahabat yang lain telah
berkumpul di suatu tempat dan bertindak lebih jauh dan tergesa-gesa
menetapkan seorang khalifah pengganti Nabi tanpa berunding dengan Ahl al-
Bayt, keluarga-keluarganya ataupun beberapa sahabatnya, yang sedang sibuk
mengurusi jenazah Nabi.
Setelah selesai pemakaman Nabi, Ali dan para sahabatnya – seperti
“Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar – mengetahui
tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Mereka mengajukan protes terhadap
cara musyawarah dan pemilihan dalam pengangkatan khalifah tersebut, dan
juga terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan
itu. Akibat protes yang mereka lakukan ini menjadikan mereka dikenal
sebagai kaum partisan atau syiah Ali.7
Mereka berpendapat bahwa penunjukan Ali sebagai pengganti Nabi
telah terjadi ketika Nabi Muhammad saw. dalam perjalanan pulang dari
ibadah haji pada waktu haji wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 11 H
bertepatan dengan tahun 632 M. Di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum
yang terletak antara Mekkah dan Madinah, dikisahkan bahwa Nabi telah
membuat sebuah proklamasi yang amat menentukan, yang telah diriwayatkan
orang dengan berbagai macam versi. Yang paling populer diantara berbagai
riwayat itu adalah perkataan Nabi yang berbunyi: “Barang siapa yang
menganggap saya sebagai pemimpinnya, maka harus pula menganggap Ali
adalah pemimpinnya.8
7 Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syiah, hlm. 39-40.8 A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia:
Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 40.
5
Hasyimi dalam bukunya “Syiah dan Ahlusunnah”9 menjelaskan bahwa
bibit partai Syiah yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Ali lah yang berhak
menjadi Khalifah dan untuk selanjutnya adalah para pendukung Ali. Partai
Syiah ini pada mulanya adalah partai politik yang bertujuan merebut
kekuasaan. Paham politik mereka yaitu bahwa khalifah haruslah turun-
menurun dari turunan Ali bin Abi Thalib.
Asas ajaran mereka, bahwa khalifah yang dalam istilah Syiah disebut
“imam”, adalah Saiyidina Ali , setelah wafat Muhammad, kemudian berturut-
turut imam itu telah ditetapkan oleh Allah dari keturunan Ali. Menurut
mereka, bahwa mengakui imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman.
Muhammad Abu Zahrah mengatakan, Syiah adalah mazhab politik
yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab ini tampil pada akhir masa
pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali.
Setiap kali Ali berhubungann dengan masyarakat, mereka semakin
mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu para
propagandis Syiah mengekploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Di antara
pemikiran itu ada yang menyimpang dan ada pula yang lurus.
Ketika keturunan Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat
perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada
masa Bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin
mendalam. Mereka memandang Ahl al-Bayt ini sebagai syuhada dan korban
kezaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan
pendukungnya semakin banyak.10
Partai Syiah ini kemudian pecah menjadi berpuluh-puluh sekte, yang
satu sama lain sangat berbeda. Ada sekte yang sangat ekstrim, yang
mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan dan ada sekte yang tidak perlu ibadat,
hanya ibadat batin saja. Diantara sekte-sekte yang banyak itu yang paling
9 A. Hasyimi, Syiah dan Ahlusunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara ( Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 39-40.
10 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 34.
6
masyhur adalah sekte Zaidiyah, Kisaniyah, Imamiyah yang juga mempunyai
cabang seperti Ithna Ashariyah, Ismailiyah, dan sebagainya.
Partai Syiah yang mulanya hanya bergerak dalam bidang politik,
kemudian lama kelamaan mereka juga mempunyai mazhab dalam fiqih,
pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf, dan keyakinan dalam aqidah.
Namun dari sekte-sekte partai Syiah yang ekstrimlah yang kemudian
banyak sekali menjelma paham-paham sesat menyesatkan, terutama dalam
bidang aqidah, filsafat dan tasawuf. Pengaruhnya meliputi seluruh dunia
Islam, sampai ke Indonesia, dan juga dalam kalangan mereka banyak lahir
ahli-ahli pikir, ulama-ulama, fuqaha-fuqaha, filosuf-filosuf, ahli-ahli tasawuf
dan penyair.11
C. Ajaran-ajaran Mazhab Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh
penganutnya. Kelima prinsip itu adalah al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, al-
imamah, dan al-ma’ad.
1. Al-Tauhid
Kaum syi’ah mengimani bahwa Allah itu ada, Maha Esa, tunggal,
tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, dan tidak
diperanakkan, dan tidak seorang pun serupa dengan-Nya.12 Keyakinan
seperti ini tidak berbeda dengan akidah kaum muslimin pada umumnya
2. Al-‘Adl
Kaum syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil.
Allah tidak menyukai perbuatan zalim dan perbuatan buruk seperti
berdusta dan memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia.
Allah juga bersih dari aib, cacat, dan celah.
11 A. Hasyimy, Syiah dan Ahlusunnah, hlm. 4012 Al-Sayyid Amir Muhammad al-Kazhimi al-Quzwini, Al-Syi’ah fi Aqa’idihim wa
Ahkamihim, Dar al-Zahra, Beirut, 1977, hlm. 26
7
3. Al-Nubuwwah
Kepercayaan syiah terhadap keberadaan Nabi-Nabi juga tidak
berbeda dengan kaum muslimin lain. Menurut mereka, Allah mengutus
sejumlah Nabi dan Rasul ke muka bumi untuk membimbing umat
manusia. Rasul-Rasul itu memberikan kabar gembira bagi orang yang
mentauhidkan Allah dan melakukan amal sholeh dan kabar siksa/ancaman
bagi orang yang mengingkari Allah dan durhaka.
4. Al-Imamah
Imamah merupakan masalah yang penting bagi kaum syi’ah. Bagi
mereka, imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia
sekaligus. Ia pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan
hudud (hak/hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan
kebaikan dan ketentraman umat.13
5. Al-Ma’ad
Secara harfiah Al-Ma’ad berarti tempat kembali. Yang dimaksud
di sini adalah hari akhirat. Kaum syi’ah percaya sepenuhnya akan adanya
hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti akan terjadi.
D. Sekte-sekte dalam Mazhab Syi’ah
Dari 22 sekte yang ada dalam tubuh Syi’ah, yang nampaknya masih
ada sampai sekarang ini hanya tiga: Imamiah, Ismailiah, dan Zaidiah.
1. Imamiah
Syi’ah ini dinamakan imamah karena kepercayaan mereka yang
kuat tentang imam bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah
imam. Yang berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin hanyalah Ali
bin Abi Thalib. Hak Ali atas kepemimpinannya itu bukan dilihat dari
13 Sayyid Mahbuddin al-Khatib, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah al-Imamah dan Perbedaannya Dengan Ahlussunnah, Ahli bahasa Munawwar Putera, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 25.
8
sudut kecakapan, sifat, atau lainnya, tapi yang terpenting adalah bahwa
hal itu sudah diwasiatkan oleh Nabi.14
2. Ismailiah
Syi’ah Islamailiah adalah sekte Syi’ah yang berpendapat bahwa
imam itu hanya tujuh. Penganut aliran Ismailiah sampai sekarang masih
ada, terutama di India. Pemimpinnya adalah Prince Karim Khan, cucu
Agha Khan, yang kini menetap di Jenewa.15
3. Zaidiah
Sekte Syi’ah pengikut Zaid bin Ali Husain bin Ali bin Abi Thalib
ini berkembang di daerah Yaman. Syi’ah ini lebih moderat disbanding
syi’ah lainnya. Kalau sekte syi’ah yang lain, khususnya Imamiah dan
Ismailiah secara tegas menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW.
Menunjuk Ali dan memberi wasiat kepadanya untuk menggantikan
beliau menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau wafat, Zaidiah tidak
berpendapat demikian.
Menurut kelompok Zaidiah, Nabi tidak menunjuk Ali secara tegas
dengan menyebutkan namanya, tapi hanya memberikan deskripsi atau
isyarat yang bersifat umum. Karena itu, kelompok ini tidak menganggap
Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai orang yang zalm yang merampas
atau merebut hak kekhalifahan Ali. Meskipun demikian, mereka tetap
beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama.16
E. Tokoh-Tokoh Mazhab Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer
seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua
tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam
pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin
dan Ja’far al-Shadiq.
14 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 13815 Ibid…, hlm 14016 Ibid…, hlm 142
9
Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya.
Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh
dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara
langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu,
tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di
kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut
memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari
Itsna ‘Asyariyah.17
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di
bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah
dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu
karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam
bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.18
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di
antaranya:
1. Nashr bin Muhazim2. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari3. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi 4. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi 5. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar6. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi7. Ali bin Babawaeh al-Qomi 8. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini 9. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani10. Muhammad bin Hamam al-Iskafi 11. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi 12. Ibn Qawlawaeh al-Qomi13. Ayatullah Ruhullah Khomeini 14. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i15. Sayyid Husseyn Fadhlullah 16. Murtadha Muthahhari 17. ‘Ali Syari’ati
17 Ibid …, hlm. 13-15.18 Ibid …, hlm. 15.
10
18. Jalaluddin Rakhmat19
19. Hasan Abu Ammar20
19 Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia.
20 Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
11
II. SUNNI
A. PENGERTIAN SUNNI
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ahDalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah
Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut:
“Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut “Salaf”, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yakni generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam”. (Ghorbal et.al., 1965:278).
Dari definisi ini, jelas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak
hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran.
Karena itu, Dr. Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan
mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini menjadi rebutan
banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah
Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “al-Jama’ah” dalam
istilah ini karena mereka menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil-
dalil syari’ah yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul.2 1
(Hasan, 2005: 3-4).
Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah
banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya.
Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari
21 Dengan merujuk kepada al-Syatibi, Saleh menjelaskan bahwa para penulis Muslim merumuskan lima definisi tentang jama’ah sebagai berikut: (1) Mayoritas umat Islam; (2) para Ulama terkemuka dari umat Islam; (3) para Sahabat Nabi; (4) semua umat Islam selama mereka sepakat dalam satu masalah; dan (5) semua umat Islam ketika mereka sepakat untuk mengikuti seorang Imam atau pemimpin. (Saleh, 2004: 100).
kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan
para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas,
Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh
Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi
sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah
pada abad ke-3 H.
Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah juga didasarkan pada beberapa hadis yang
menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah menjadi 73
golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu golongan yang
selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka yang
melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya.
Pada uraian diatas tentang definisi Ahlussunnah, mereka terbagi
menjadi dua generasi, yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut
memang terdapat banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang
berbeda. Perbedaan pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayat-
ayat mutasyabihat, utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata
“yad” (tangan), “ain” (mata),”istawa” (bersemayam).
Generasi Salaf, mempercayai kebenaran kata-kata tersebut dan
membenarkannya tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan
arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa Walid bin Muslim pernah bertanya
kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin
Saad, tentang ayat-ayat yang berisi sifat-sifat Allah. Mereka menjawab:
Artikan seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana!. Imam Malik
pernah ditanya tentang arti kata “istawa” bagi Allah. Dan Beliau menjawab:
“Duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya itu tidak diketahui;
mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan hal itu adalah
bid’ah”. (Hasan, 2005: 10).
Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah
maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa
pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan
fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi keislaman
yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam, Ilmu
Tasawwuf dan lain sebagainya. Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam
bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Sa’id Al-Kullab (w. 240 H)
yang dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255 H),
mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang muncul sebelum al-
Asy’ari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi Kholaf
menerima penggunaan dalil-dalil ‘aqli sebagai penyeimbang dalil naqli.
Dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11).
Generasi Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat
menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha
Sucian dan ke-Maha Agungan Allah. Penafsiran itu disebut “Ta’wil”, seperti
kata “Yadullah” diartikan dengan “kekuasaan Allah”, “Ainullah” diartikan
“pengawasan Allah”, kata “Istawa” diartikan “mengatur”.
B. Sejarah Perkembangan Kalam Sunni
Matoritas umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut
doktrin ini dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun
demikian, secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik
pada masa awal Islam. Ketegangan- ketegangan ini diekspresikan dalam
istilah teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau
kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah
sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai
penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syi’ah. (Saleh, 2004: 97).
Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi
Asy’ari, terdapat buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah
dipergunakan jauh sebelum masa al- Asy’ari.22 Istilah ini telah
22 Ibn Taimiyah, misalnya, menegaskan bahwa mazhab Ahl al-Sunnah adalah mazhab lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab Fiqh. Ia merupakan mazhab para Sahabat Nabi yang mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi. (Taimiyah, 1903: 256).
dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan
rujukan langsung dari al-Quran dan Sunnah dalam soal-soal agama. Orang-
orang tersebut, pada masanya lebih dikenal dengan Ahli Hadits dan
terutama terdiri atas para Sahabat Nabi dan Tabi’in.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam pertumbuhannya,
Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi, tetapi baru
berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya banyak
memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang
dikenal memiliki aliran masing-masing, sampai kemudian terdapat empat
mazhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. di dalam
keyakinanSunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti,
perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Dalam
masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum Sunni mengikuti Imam Asy’ari
(yang kemudian disebut Asy’ariyah) dan al- Maturidi (disebut Mauridiyah).
Berikut sedikit ulasan tentang kedua tokoh tersebut, pemikiran
mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut berperan dalam mengembangkan
ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut:
Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari
Lahir di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada
tahun 324 H / 935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab
dengan Sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Imam Asy’ari
semula menjadi pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh
besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan
paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang
anti Mu’tazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor
yang mejadikan Imam Asy’ari memisahkan diri dari paham Mu’tazilah
antara lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asy’ari pola pikir dan
metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa
dukungan wahyu atau nash.
Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang dilakukan para pejabat
pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, yang melakukan pemaksaan
faham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama yang
berpengaruh.
Ketiga, dalam pengasingan Imam Asy’ari selama lima belas hari
(ada yang mengatakan selama empat puluh hari) melakukan perenungan
dan istikharah. Konon beliau mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi
Muhammad SAW. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham
Mu’tazilah dan membela as-Sunnah.
Pemikiran-pemikiran Imam Asy’ari antara lain: beliau menolak
ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang
berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asy’ari juga menentang faham
“Keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa al-
wa’id). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun yang
wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18).
Aliran Asy’ariyah ini memperoleh pengikut terbanyak
dilingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua
mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu mazhab Syafi’i dan Maliki. Mengingat
Imam Asy’ari sendiri dalam hal fiqh menjadi pengikut mazhab Syafi’i,
sedangkan dukungan dari mazhab Maliki karena diantara sebagian tokoh-
tokoh besar Asy’ariyah menganut mazhab Maliki, diantaranya al- Baqillani
dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23). Ilmu Kalam Imam Asy’ari yang
sering juga disebut sebagai paham Asy’ariyah, kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam
sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian
besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa
“jalan keselamatan” hanya terdapat pada seseorang yang dalam masalah
Kalam menganut paham Asy’ariyah. Mengenai hal ini, terdapat pendapat
yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani
(tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan sebutan Kyai Saleh
Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat populer tentang
perpecahan umat. Beliau mengatakan:
Wus dadi prenca2 umat ingkang dihin2 ingatasé pitung puluh loro pontho, lan bésuk bakal pada prenca2 sira kabéh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabéh ing dalem neraka. Ana déné ingkang sewiji ingkang selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dén lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iyaiku ‘aqâ’idé Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah lan Mâturîdiyyah (Samarani, tt: 27-28).
Imam Asy’ari mendapatkan kehormatan besar karena solusi yang
ditawarkannya mengenai permasalahan klasik dibidang Ketuhanan antara
kaum “liberal” dari golongan Mu’tazilah dan kaum “konservatif” dari
golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori empat Imam Mazhab Fiqh). Salah
satu solusi itu adalah tentang masalah manusia dan perbuatannya, Imam
Asy’ari tidak bebas seperti paham Qadariyyah dan juga tidak terpaksa
layaknya paham Jabariyyah, tetapi diantara keduanya. Imam Asy’ari
mengajukan teori Kasb (al-Kasb, acquisition, perolehan). Menurutnya
perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak
dalam keadaan terpaksa. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan
ditentukan oleh Allah, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia
tetap bertanggungjawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan
Kasb, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak
bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan
diputuskan sendiri. (Madjid, 2000:210).
Ajaran-ajaran Imam Asy’ari dapat diketahui dari kitab-kitab yang
ditulisnya setelah keluar dari Mu’tazilah, terutama dari kitab Al-luma’ fi ar-
Raddi ‘ala Ahli az- Zaighi wa al-Bida’ dan kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-
Diyanah, serta kitab Maqalat al- Islamiyin.
Al-Baqillani
Dia adalah salah satu tokoh yang mempunyai andil penting dalam
penyebaran Asy’ariyah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib
bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia
mempelajari ajaran-ajaran Asy’ariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu
Hasan al-bahili, keduanya adalah murid langsung Imam Asy’ari.
Tetapi dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara Imam Asy’ari
dan al- Baqillani, diantaranya masalah “perbuatan Manusia”. Menurut
Imam Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia diberi
daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya tersebut tidak efektif jika
tanpa kehendak Allah. Imam Asy’ari menyebutnya sebagai “Kasab”.
Sedangkan menurut al-Baqillani manusia diberi oleh Allah daya dalam
dirinya dan manusia dengan daya tersebut mempunyai peran yang efektif
dalam mewujudkan perbuatannya. (Hasan, 2005: 19).
Al-Juwaini
Tokoh penting selanjutnya adalah al-Juwaini, yang dikenal
dengan Imam al- Haramain. Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali al-
Juwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini dikenal sebagai
pendukung dan pembela Asy’ariyah, namun dalam pandangan-pandangan
Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asy’ari, antara lain: masalah
antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia berpendapat bahwa
semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah harus dita’wilkan.
Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit berbeda dengan
al-Baqillani, menurutnya manusia diberi daya oleh Allah untuk
mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa
dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia
sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari
Allah (Hasan, 2005: 20).
Al-Ghazali
Pada awal abad ke-6 Hijriah, Kaum Sunni khususnya
kalangan Asy’ariyah mendapat tokoh besar, yakni Hujjatul Islam, Imam
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi23 (451-505
23 Disebut al-Ghazali karena pekerjaan ayahnya adalah “al-Ghazali”, pemintal wol.
H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan, persia utara, propinsi yang
telah banyak melahirkan orang-orang Islam yang jenius dalam berbagai
macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64).
Al-Ghazali pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam
Asy’ariyah terbesar pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika
dikemudian hari dia menjadi pengikut aliran Asy’ariyah. Dengan modal
logika yang diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang
dialektikus di bidang agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan
berpengaruh.
Meskipun al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang
berlebihan dalam menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan
ajaran aqidah Syari’ah maupun Tasawwuf24, tapi al-Ghazali dengan cerdas
membela ajaran Asy’ariyah yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam
menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah
dan secara proporsional.
Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui mujadalah
kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan
kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis,
karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi debat-
debat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang sia-sia
(Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu Khaldun
pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21).
Jasa al-Ghazali yang sangat besar adalah keberhasilannya
mempertemukan tiga dimensi kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan
Tasawwuf, dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya (Fuqaha’,
24 Mayoritas para ahli menganggap bahwa al-Ghazali adalah pengikut Asy’ariyah. Tetapi Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-islamiyyah, memberikan kesimpulan yang kontradiktif dengan mengatakan: “Sebenarnya, al-Ghazali bukan seorang pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi, tetapi dia seorang pemikir bebas, yang pemikirannya tak terikat dengan aliran apapun; karena dia banyak berbeda pendapat dengan kedua tokoh teolog tersebut, walaupun tetap sependapat dalam hal- hal yang dianggapnya sebagai agama yang harus diikuti”. Sayangnya, Zahrah pun tidak memberikan penjelasan bagaimana metode pemikiran yang digunakan al-Ghazali sebagai seorang pemikir bebas tersebut. (Zahrah, tt:202).
Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama berabad-abad saling
berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali diabadikan dalam karya
agungnya Ihya’ Ulumiddin, dan secara praktis figur al-Ghazali merupakan
teladan dan panutan.
Dikalangan Kaum Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah
Ilmu Kalam yang banyak dipakai adalah al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan
sebagai induknya adalah Ihya’ Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni
lebih menempatkan al-Ghazali sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai
Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin karena dalam dua disiplin ilmu
tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak bersifat analisa-analisa kritis
daripada berupa paparan-paparan diskriptif yang lebih gampang dicerna
(Jahja. 1996:260-261).
As-Sanusi
Pada abad ke-9 H lahir tokoh Asy’ariyah yang bernama
Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal
dengan Imam Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22).
Penyebaran konsep kalamnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya sangat
populer di Indonesia. Ia membaginya kedalam tiga macam, yaitu: Sifat
Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu
dikelompokkan menjadi:
Sifat Nafsiyah: Wujud
Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa’, Mukhalafah lil Hawadits,
Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat.
Sifat Ma’ani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor
dan Kalam.
Sifat Ma’nawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, ‘Aliman,
Hayyan, Sami’an, Bashiran dan Mutakalliman.
Karya-karyanya yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain:
Syarah Tijan ad-Darari, Kifayatu al-Awam, ‘Aqidah al-Awam, Ummi al-
Barahim dan lain-lain.
Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu
Manshur al- Maturidi25. Dialah pendiri aliran yang dikenal oleh kaum Sunni
dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi yang
belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin Muqatil ar-
Razi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w.228 H). Al-Maturidi
mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub al-
Anshori (Hasan, 2005: 24).
Sebagaimana Imam Asy’ari, sebagai Kaum Sunni al-Maturidi juga
menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah).
Namun apabila dibandingkan antara al-Maturidi dan Imam Asy’ari dalam
penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan kebenaran, maka al-
Maturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal itu dipengaruhi oleh visi dan
wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi yang dikenal sebagai
Mazhab Ahlu ar-Ra’yi. Para pengikut al-Maturidi lazim disebut aliran
Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini sebagian besar dari pengikut
mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh).Al-Maturidi memberikan dua argumen
mengapa kita perlu menggunakan dalil- dalil ‘aqli, yaitu: Pertama, al-Quran
banyak sekali menganjurkan manusia menggunakan akal dan nalarnya
secara kritis untuk memahami fenomena yang ada di alam ini atau pada
diri mereka sendiri, untuk menuju ma’rifatullah. Sebagai contoh, pada
surat an- Nahl yang berturut-turut disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14
dan 15 diakhiri dengan kalimat:
25 Lahir di Maturid Samarkand, tanggal kelahirannya sulit dilacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 H. Namun sebagian referensi menyebut pada tahun 333 Hijriyah.
Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata
bahwa sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam
tersebut dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai “berfikir” sampai
“mendapat petunjuk” adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan
memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas
wawasan dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus
disyukuri. Sebagai hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya
jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27).
Kedua, kondisi lingkungan yang dihadapi al-Maturidi, merupakan
tempat dan waktu dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan
yang sentral. Al-Maturidi mengatakan bahwa peranan akal untuk
melengkapi dalil / hujjah agama, membuat analisa kemudian
menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran dan
membela keyakinan agama dari orang-orang mengingkari atau
menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan, 2005: 28).
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid
al-Maturidi dan ia mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Walaupun al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia
tidak selalu sepaham dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut
al-Maturidi sendiri) dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika
Golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan
Mu’tazilah, maka Golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih
dekat dengan Asy’ariyah (Hasan, 2005: 29).
Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara Golongan
Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram maka
perbedaan itu akan seperti berikut:
Keterbukaan Terhadap
Peranan Akal
Samarkand Bukhara
C. Pemikiran Kalam Sunni
Sepanjang perjalanan aliran Asy’ariyah maupun Maturidiyah,
mereka selalu meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan
tasamuh (toleran), karena menyadari bahwa yang memegang “kebenaran
absolut” hanyalah Allah saja, sedangkan kebenaran yang diklaim
manusia hanya “kebenaran relatif” sebatas kemampuan akalnya dalam
memahami dan menafsirkan “kebenaran absolut” tersebut, manusia
harus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannya
dalam menagkap dan memahami suatu kebenaran.
Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis
hanya memproritaskan pada masalah-masalah yang banyak menjadi
pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-
samar dikalangan masyarkat awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., al-
Baghdadi, 1987: 300-303):
Tentang ke-Maha Esaan Allah
Dalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua
golongan dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang
lainnya. Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan
Allah itu dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan
lain-lain.
Dalam istilah Ilmu Kalam, ke-Maha Esaan Allah mencakup tiga
macam, yaitu:
Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Af’al.
Nama dan Sifat Allah
Dalam Asy’ariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu
mempunyai sifat-sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi
berada pada Dzat-Nya. Hanya saja menurut Asy’ariyah sifat-sifat
Allah itu dibagi menjadi Sifat Dzatiyah yang Qadim, Sifat Fi’liyah
yang tidak Qadim atau tidak Azali. Sedangkan Maturidiyah menganggap
semua sifat Allah itu Qadim atau Azali.
Al-Quran Firman Allah
Dalam pemahaman Ahlussunnah, Firman Allah dibedakan
dalam dua pengertian, yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang
abstrak tidak berbentuk) dan Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang
diturunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk huruf atau kata-kata).
Melihat Allah di Akhirat
Baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang
Mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya
adalah Surat al- Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena
melihat kepada Tuhannya”.
Tentang Perbuatan Manusia
Asy’ariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan
manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan Allah dan
dilimpahkan pada manusia sebagai “tempat perbuatan” tersebut. Teori
Asy’ariyah dikenal dengan al-Kasb, sedangkan menurut konsep
Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam, yakni perbuatan
Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia
(kholqu al-istitho’ati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaian
daya tersebut (isti’malu al-istitho’ati).
Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan
dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka
hukumnya terserah kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq,
tapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki iman. Pendapat ini
berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48 dan 116 :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...”
Tentang Kenabian dan Kewalian
Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi
Muhammad tidak ada Nabi lagi, karena Beliau adalah Nabi Terakhir.
Seperti Firman Allah dalam Surat al- Ahzab ayat 40 :
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".
Termasuk sifat para Nabi adalah ‘Ishmat al-Anbiya’ (keterjagaan
para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahlussunnah wa al-Jama’ah, yang
memperoleh hak “ishmah” atau “ma’shum” itu hanya para Nabi atau
Rasul saja, dan manusia lain tidak ada yang ma’shum, termasuk para wali,
paa Imam dan ulama maupun para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat
antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang
Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asy’ariyah
memndang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak
pendapat tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa
kecil, maka itu terjadi sebelum menjadi Nabi atau Rasul.
Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yang
mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak
seperti para Nabi, mereka adalah “Auliya’”. Para Wali itu tidak ma’shum
seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu dijaga (mahfudh) dari
perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukan
tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukan
kekeliruan atau kesalahan ringan.
Tentang Mukjizat dan Karomah
Ahlussunnah wa al-Jama’ah meyakini bahwa semua peristiwa dan
kejadian yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah.
Tetapi secara prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai
dengan “Sunnatullah”, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak
biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul
‘aadah), berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain
“Amrullah”.
Singkat kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali,
yang dianggap sebagian orang sebagai khariqul ‘aadah, adalah
merupakan Amrullah, bukan Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak
berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak Allah
sendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula.
Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan
kebenaran da’wahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan
publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu
untuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para
Wali tidak harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu
karomah bukan untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya,
malah banyak para Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena
khawatir menimbulkan fitnah.
Tentang Kepemimpinan Umat
Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui dan
membenarkan kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali bin Abi Thalib r.
anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-beda,
tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad.
Tentang Metafisika dan Keakhiratan
Dalam teologi Ahlussunnah, banyak masalah ghoib (metafisika)
ini yang wajib diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh
yang mempunyai sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama
jasadnya, Alam Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar
dan Nakir, Siksa Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Ba’ats,
Hari Mahsyar, adanya Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan
(neraca), Shirat, Syafa’at, Surga dan Neraka. Dan masih ada hal-hal lain,
seperti Malaikat, Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain
sebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu
semua.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu
aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya
adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad
saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 5
macam, yaitu al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, al-imamah, dan al-ma’ad. Dalam
Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu
sama lain dalam memandang ajaran-ajaran.
Kaum Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam
yang pandangan- pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah
disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar Kaum
Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak masa para
Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri sendiri. Dalam kajian
Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak
masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya
digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh;
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam
Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya
Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu
Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H.
Adalah Imam Asy’ari, seorang pengikut dan murid dari Abu Ali al-
Jubbai (seorang tokoh besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu
Kalam yang anti Mu’tazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa tokoh Mutakallimun
dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara lain: al-Maturidi, al-
Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan al-Bazdawi.
Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi pembicaraan
dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar
dikalangan masyarkat awam antara lain:
Tentang Ke-Maha Esaan Allah
Nama dan Sifat Allah Al-Quran Firman Allah Melihat Allah di Akhirat
Tentang perbuatan Manusia
Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar
Tentang Kenabian dan Kewalian Tentang Mukjizat dan Karomah
Tentang Kepemimpinan Umat Tentang Metafisika dan Keakhiratan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim.
Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah, Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996).
A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000),
Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
w w w . w i k i ped i a.c o m , Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas.