makalah teori differensial
DESCRIPTION
College ProjectTRANSCRIPT
[1]
PERKEMBANGAN
TEORI DIFFERENSIAL
1. POSTSTRUKTURALISME
1.1. Definisi
Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau
ketidak setujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme
dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa
sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single
temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan
berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam
pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Menurut David
dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari
Strukturalisme.
Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang
dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan-hubungan dan
ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu-
satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem
pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi
bagaimana laki-laki dapat menjadi perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi
emosional.
1.2. Sejarah
Post-strukturalisme dalam kesusasteraaan Strukturalisme dibangun atas prinsip
saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tehapan
tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa yakni bagaimana
bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang
penting. Dalam pemikiran post-strukturalis berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Post-strukturalisme berpendapat bahwa konsep “diri” sebagai entitas yang terpisah,
tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan
antara klaim-klaim pengetahuan yang saling bertentangan (misal jenis kelamin, ras,
kelas, profesi, dan lain-lain).
Beberapa tokoh yang mendukung atau condong pemikirannya kepada Post-
Strukturalisme diantaranya adalah seorang flusuf Prancis Jacques Derrida, pemikiran
psikoanalisis Jacques Lacan, ahli teori kebudayaan Michael Foucault dan Jean-Francois
Lyotard.
[2]
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa
makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk
pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan
produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam
menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Ciri dari
Derrida melampaui pemikiran Saussure adalah pemikiran Derrida yang percaya bahwa
penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam
praktek tindak tutur (act of speaking). Dan Derrida memandang bahwa Saussure tidak
bisa melepaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak Saussure lebih
mengunggulkan bahasa di atas tulisan.
Selain itu Derrida juga menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa
tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi.
Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan
yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Pemikiran post-strukturalis juga berkembang di Amerika pada tahun 1970-an,
khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstruksionis
Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra
telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
Jadi secara garis besarnya pemikiran post-strukturalisme adalah pemikiran yang
tidak hanya terpaku kepada tulisan ataupun bahasa yang dituliskan akan tetapi selain
tulisan, post-strukturalis juga tidak meninggalkan maksud dari sang penulis yang
membuat sebuah tulisan. Lebih jelasnya selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan
beberapa tokoh post-strukturalisme serta pemikiran-pemikirannya.
1.3. Tokoh
Meskipun banyaknya para pemikir post-strukturalisme, akan tetapi dalam makalah
ini penulis hanya akan menyampaikan dua tokoh dari post-strukturalisme, yaitu Jacques
Derrida dan Jacques Lacan.
a. Jacques Derrida
Jacques Derrida lahir di al-Jazair pada tanggal
15 Juli 1930, dan ia adalah seorang Filusuf Prancis
keturunan Yahudi. Pada tahun 1949 Ia pindah ke
Prancis dan menetap di Prancis hingga akhir
hayatnya. Beliau kuliah dan belajar di Prancis hingga
akhirnya dia menjadi maitre-assistant, dosen tetap di bidang Filsafat. Selain dosen
tetap di bidang filsafat, beliau juga dalam beberapa waktu sebagai dosen tamu di Yale
[3]
University, Amerika Serikat. Dan pada masa mudanya Derrida pernah menjadi
anggota Partai Komunis Prancis.
Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya
utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena).
Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of
Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of
Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-
tulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada
pemikiran Barat. Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas
sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks
penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The
Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat,
dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam
konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa dibidang kritik sastra,
dan kajian budaya, dimana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi
kepada ahli teori, seperti Paul de Man.
Salah satu pandangan Derrida yaitu tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, bagi
Derrida filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan
ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hal sama, karena kedua-duanya berakar
dalam rasionalitas yang sama. Yaitu bahwa rasionalitas itu tidak lain daripada
pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung sampai hari ini.
Pemikiran Barat yang pada waktu itu berpandangan bahwa yang ADA itu
dimengerti sebagai “kehadiran”, maka menurut Derrida pemikiran tentang ada
sebagai “kehadiran” itu disebut juga kedalam “metafisika”. Dan pandangan ini
selanjutnya berpengaruh terhadap pandangan tentang tanda. Dalam tradisi metafisis
tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir.
Derrida juga berpendapat bahwa kehadiran tidak merupakan sesuatu instansi
independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan
dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita pakai.
Pandangan ini adalah pandangan yang berbalik dari apa yang disebutnya
“Logosentrisme” : pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Dan pandangan ini juga
yang menjadi analisis terhadap pandangan tentang tanda yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure, perintis besar linguistik modern, yang memperlihatkan
bahwa di situ pun masih ada sisa-sisa logosentrisme.
Kemudian Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas), suatu
kata yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada
plotinus misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heiddeger dan terutama Levinas.
[4]
Bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas
tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi
hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu
sebelumnya bukan efek, melainkan terutama penyebab, kata Derrida. Sehingga bisa
dikatakan bahwa tanda secara definitive (dan tidak untuk sementara saja) mendahului
kehadiran; tanda selalu sebelum objek.
b. Jacques Lacan
Jacques lacan adalah tokoh yang sangat berpengaruh
didalam psikoanalisa dengan teorinya yang menafsirkan
ulang karya-karya freud, selain dianggap memberikan
terobosan di dalam psikoanalisa lacan juga dianggap
mengacaukan teori psikoanalisa konvensional. Jacques
lacan adalah seorang terapis perancis yang memiliki latar
belakang filsafat dan surealisme. Lacan menganggap
psikoanalisa khususnya amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan
freud karena lacan menganggap para terapis telah menjadikan pasien-pasiennya
sebagai obyek penelitian dan para terapis telah melakukan interupsi dalam porsi
besar-besaran terhadap perkembangan pasiennya karena lacan beranggapan bahwa
psikoanalisa adalah ilmu pengobatan yang didalam prakteknya seorang terapis tidak
boleh ikut campur dalam perkembangan pasiennya dan hanya membuka jalan kepada
wilayah tidak sadar pasiennya dan membiarkan pasiennya yang menemukan jalan
keluar permasalahannya sendiri.
Lacan juga menyadari bahwasanya pemikiran freud yang dipelajarinya selama
ini adalah pemikiran yang keliru karena freud yang dipelajariya adalah freud
berdasarkan pemahaman Freudian perancis dan freud yang mendominasi amerika.
kemudian ia memutuskan untuk membaca ulang karya freud dan berusaha untuk
memahami pemikiran freud yang sesungguhnya. Secara garis besar pengaruh yang
dominan dalam teori lacan adalah pemikiran freud, filsafat hegel dan filsafat
strukturalis dan post strukturalis.
Jacques Lacan (1901 – 1981) mengambil ide Saussure dan menerapkannya
dalam psikoanalisa. Lacan berargumen bahwa alam bawah sadar terstruktur seperti
bahasa, yaitu bahwa alam bawah sadar adalah sebuah sistem semiotik yang
mempunyai arti secara arbiter. Lacan juga mempostulasikan bahwa setiap manusia
selalu melewati tahap berkaca (mirror stage) di mana manusia mengkonstruksi
diri yang koheren dengan melihat diri sendiri di sebuah kaca. Akan tetapi diri dan
[5]
koherensinya berdasar pada pengenalan diri yang salah (misrecognition) karena
bayangan yang ada di cermin nampak lebih menyatu dan terpisah dari diri kita.
Seperti dalam teori linguistik Saussure, diri (self) tidak mempunyai ontology, tetapi
lebih merupakan sebuah konstruksi, sebuah tanda, yang diciptakan melalui hubungan
dan perbedaan.
Dalam pemikiran lacan dengan mengacu pada pemikiran freud tentang fase
perkembangan manusia lacan menjabarkan bahwasanya ada tiga fase didalam diri
manusia yaitu the real, imajiner, dan simbolik. Didalam fase the real adalah masa
seorang subyek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam artian
segala sesuatu yang ia butuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, contohnya
adalah bayi yang berada didalam rahim sang ibu dimana sang bayi berada dalam
kenyamanan dan serba berkepenuhan yang disuplai oleh tubuh ibunya serta
keduanya menyatu didalam satu tubuh. Kemudian dilanjutkan kedalam the imajiner
atau fase cermin. Yaitu satu kondisi dimana subyek telah menyadari bahwa ia
terpisah dari tubuh ibunya dan memiliki satu keutuhan yang berbeda dari ibunya
yang digambarkan dengan seorang anak dihadapkan didepan cermin yang kemudian
sang anak mengidentifikasi bahwa citra cermin yang dihadapannya adalah “dia”
padahal disisi lain citra yang dipantulkan hanyalah sekedar pantulan cermin yang
kemudian terjadilah keterplesetan dalam proses pengidentifikasian diri oleh subyek.
Selain itu dalam pemikiran lacan dalam fase cermin telah terjadi alienasi didalam diri
subyek yaitu citra yang dipantulkan dan diidentifikasikan oleh subyek tidak lain
adalah sebuah pengharapan “the other” terhadap diri subyek itu sendiri. Jadi alienasi
didalam pemikiran lacan adalah masuknya pengharapan “the other” kedalam diri
seorang anak. Contohnya seorang anak yang bersekolah, apakah mengikuti
pendidikan formal merupakan keinginan murni dari anak tersebut? Apakah tidak ada
kontribusi keinginan “the other” terhadap si anak yang kemudian ia memutuskan
untuk masuk sekolah? The other dalam lacan adalah orang lain yang ada disekeliling
subyek. Yaitu keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain.
2. POSTKOLONIALISME
2.1. Definisi
Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan
kata kolonial itu sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah
pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti
penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Konotasi
[6]
negatif kolonial timbul sesudah terjadi intraksi yang tidak seimbang antara penduduk
pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa. Dikaitkan
dengan Pengertian kolonial terakhir (Ania Loomba, 2003: 2-3), maka Negara-negara
eropah modern bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan terhadap suatu
wilayah tertentu telah dilakukan jauh sebelumnya misalnya, tahun 1122 SM dinasti
Shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke 2 M
menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, tahun 712 lembah sungai Indus
ditaklukkan oleh Muhammad bin al- Qassim, bangsa Mongol menguasai Timur
tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke 14 dan kerajaan Inca abad ke 15 menaklukkan
bangsa-bangsa lain disekitarnya, dan sebagainya. Aksi kolonialisme Negara-negara
Eropah modern baru mulai sekitar abad ke 16.
2.2. Sejarah
Post kolonialisme merupakan periode setelah kolonialisme berakhir. Post-
kolonialsme mulai dikenal pada tahun 1961 melalui tulisan Orientalism karya
Edward Said dan The Wretched of The Earth karya Frantz Fanon, yang merupakan
bentuk aspirasi dalam memberantas kolonialisme. Post-kolonialisme tumbuh subur
ketika pergerakan anti kolonialisme begitu marak dilakukan. Dalam konteks
Hubungan Internasional, post-kolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan
terhadap teori mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik dan
negara. Ada aspek-aspek penting selain ketiga hal tersebut yakni aspek kultural dan
kemanusiaan, terutama pasca kolonialisme. Post-kolonialisme menyatakan bahwa
kebodohan dan kemiskinan merupakan akibat kolonisasi, kemajuan negara koloni
tidak terlepas dari sumbangsih negara jajahan (Wardhani 2013). Tujuan
pengembangan teori postkolonialisme ini sendiri adalah untuk melawan sisa-sisa
dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi budaya
(Grovogui 2007). Kaum post-kolonialisme mendambakan adanya tatanan dunia yang
lebih baik setelah kolonialisme berakhir. Tatanan dunia yang lebih baik ini didorong
melalui adanya self determination dan decolonization.
Kolonialisme meninggalkan warisan budaya di negara jajahan. Contohnya
adalah penggunaan jas di Indonesia sebagai pakaian resmi dalam berbagai acara. Jas
adalah pakaian dari Eropa yang kerap digunakan karena cuaca di Eropa memang
dingin. Sayangnya di Indonesia ini diaplikasikan mentah-mentah. Dalam kondisi
tropis pun jas tetap dipakai. Warisan budaya ini tidak hanya dalam cara berpakaian,
[7]
tapi juga dalam cara makan, life style bahkan pola pikir. Warisan kolonialisme
semacam inilah yang ingin dihapuskan oleh post-kolonialisme.
Pada masa penjajahan Eropa muncul istilah The Man dan The Native. The
Manmerujuk pada ras kaukasoid bangsa Eropa, sedangkan The Native merujuk pada
bangsa yang bukan merupakan ras kaukasoid. The Man menganggap diri mereka
adalah ciptaan terbaik sehingga berhak untuk menguasai The Native. Post-
kolonialisme menolak pembagian golongan ini karena hal pembagian ini dianggap
sebagai penyelewengan kekuasaan oleh Eropa dan merupakan suatu tindakan tidak
manusiawi melalui marginalisasi golongan tertentu.
2.3. Tokoh
a. Edward W.Said
Edward W. Said merupakan salah seorang
tokoh postkolonial yang terkenal adalah Edward W.
Said, lahir di Palestina, kemudian mengembangkan
karirnya di Amerika Serikat. Sesuai dengan riwayat
hidupnya, berpindah-pindah dari suatu Negara
kenegara lain, maka tema-tema karyanya khususnya
Orientalism, melukiskan tentang perpisahan, marginalitas, hibriditas, dan ciri
keterasingan lainnya. Oleh karena itu ia menganggap bahwa tanah airnya adalah
seluruh dunia
Di dunia Anglo Amerika dirintis oleh Edward W. Said dengan bukunya
yang berjudul Orientalism (1978). Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebut
terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia timur, yang ditulis oleh
para orientalis., yang disebut sebagai teks-teks oriental( dari kata orien yang
berarti timur). Meskipun demikian, sebagai akibat dominasi intelektualis barat,
banyak juga karya-karya yang melukiskan ketidakseimbangan hubungan antara
masyarakat Timur yang ditulis oleh intelektual pribumi yang telah terkontruksi
oleh pemikiran barat. Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah
sosial politis secara praktis. Dalam analisis, khususnya dalam karya sastra, tidak
mesti dikaitkan dengan intense pengarang. Kebesaran; demikian juga kegagalan
sebuah karya tidak disebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental, melainkan
bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis. Visi postkolonial
menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun
[8]
superioritas Barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur. Oleh
karena itu, sasaran visi postkolonial adalah subjek kolektif intelektual barat,
kelompok oriental menurut pemahaman Edward Said.
b. Bill Ashcroft
Secara defenitif (Bill Ashcroft, dkk 2003: xxii-
xxiii ) teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan
Negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya.
Teori postkolonial mencakup seluruh khazanah sastra
nasional yang pernah mengalami imperial sejak awal
kolonisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksudkan, diantranya Afrika,
Austalia,Bangladesh, Canada,Karibia, India, Malta, Selandia Baru, Pakistan,
Singapura, kepulauan fasifik Selatan, Srilangka, Malaysia, dan Indonesia. Sastra
Amerika justru dimasukkan sebagai prototipe postkolonial sebab sejak abad ke-
18 telah mengembangkan konsep sastra nasional Amerika yang dibedakan
dengan sastra Inggris.
Postkolonial dengan demikan sangat relevan untuk menyebutkan kritik
lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang perlu
dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan,
diantaranya : politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi,
kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di
lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan
bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.meskipun demikian,
keberagaman permasalahan tersebut dipersatukan oleh tema yang sama, yaitu
kolonialisme.
c. Frantz Fanon
Proyek postkolialisme pertama kali dikemukakan
oleh Frants fanon dengan bukunya yang berjudul Black
Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967).
Fanon adalah wseorang psikiater yang mengembngkan
analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis
dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon
menyimpulkan bahwa melalui diktomi kolonial, penjajah –terjajah, wacana
oriental telah melahirkan alienasi dan menganalisasi psikologis yang sangat
dahsyat.
[9]
3. POSTFEMINISME
3.1. Latar Belakang dan Sejarah
Posfeminisme merupakasuatu istilah yang saat inir amai diperbincangkan.
Istilah ini dapat merupakan reaksi buruk (back lash) dari media massa terhadap
perlawanan kepada perjuangan feminism. Selama ini secara tradisional, kehidupan
masyarakat masih bersifat patriarchal dan memarginalkan peranan kaum perempuan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, wanita sudah mulai melakukan
pergerakan maju dan mulai meniggalkna kesan bahwa wanita itu lemah dan hanya
bias “nurut” kepada keputusan pria.
Judith Stacey, seorang kritikus feminis mengungkapkan bahwa istilah
“posfeminis” merupakan sebuah istilah atau term yang menarik untuk diperdebatkan
atau di bahas. Sampai saat ini belum banyak literature yang membahas masalah ini
dan bagaimana awalnya istilah ini bisa muncul. Apakah istilah ini muncul hanya
karena pengaruh media dan bagaimana hubungannya dengan “feminism”?
Posfeminisme bukannya anti feminis, tetapi hanya untuk membuktikkan
asumsi yang dipercaya oleh para feminis gelombang kedua bahwa ada penindasan
patriarki terhadap kaum perempuan. Perkembangan feminism gelombang kedua
muncul sekitar tahun 1960 setelah berakhirnya Perang Dunia II dan bermunculannya
banyak Negara-negara baru dengan pemikiran-pemikiran mereka sendiri. Momen ini
menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang
pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Ann Brooks menyatakan bahwa posfeminisme adalah mengenai berbagai
tantangan yang ditujukan pada apa yang telah diidentifikasikan sebagaimana
feminism ‘hegemonik’ (Sandoval, 1991) yang akarnya jelas berada dalam pengaruh
Anglo-Amerika yang begitu kuatnya mempengaruhi konseptualisasi feminism
gelombang kedua.
Posfeminisme disini hanyalah sebagai penggerak perubahan pola berpikir
kaum perempuan. Bukan berarti anti feminis, tetapi hanya menunjukkan bahwa ada
perlawanan dari kaum perempuan atau feminis di segala bidang, yang selam ini
dianggap hanya dikuasai oleh pria.
3.2. Tokoh
a. Benhabib (1986:342)
[10]
Benhabib Mengatakan “Hal ini mengakibatkan
ketidakmampuan yang dapat disamakan dengan
memperlakukan kebutuhan, hasrat, dan emosi manusia di
dalam cara yang lain ketimbang drngan mengabstrasikannya
dari mereka dan dengan menghukum mereka dalam kebisuan.
Keadilan konstitusional dengan demikian dipandang
merepresentasikan suatu tahapan perkembangan moral yang
lebih tinggi daripada tanggung jawab, kepedulian, cinta dan solidaritas
interpersonal; respek atas hak dan kewajiban dianggap sebagai hal yang pertama
untuk mempedulikan dan memperhatikan mengenai kebutuhan orang lain;
kognisi moral mendahului afeksi moral; pikiran, bias kita simpulkan, adalah
kedaulatan tubuh dan nalar, penilai sifat dasar batin.”
Beberapa Gerakan Perempuan yang muncul pada tahun 1960-an sampai
1970-an memungkinkan para penulis perempuan dan feminis untuk
mengungkapkan ide-ide dan gagasan mereka untuk wacana yang berbau politik,
ekonomi dan budaya. Peran perempuan yang muncul ini sekaligus untuk
“mematahkan” anggapan bahwa wanita hanya bisa bisu dan mengikuti apa saja
yang diungkapkan oleh para penulis pria.
Kemudian bagaimana posfeminisme bisa mempresentasikan unsur-unsur
dari budaya pop? Banyak para penulis atau peneliti yang memakai Madonna
sebagai contoh kasus dalam hal posfeminisme dan budaya. Madonna sebagai
seorang public figure dikenal sebagai seorang wanita yang maju, berani, dan
banyak membawa perubahan pandangan khalayak terhadap wanita.
b. Morris (1988: 14)
Morris mengungkapkan “Kegigihan figure perempuan sebagai budaya
massa (ironi modernism), bukanlah kecelakaan bahwa perdebatan tentang suatu
yang dianggap bisu dan absen dari perempuan telah berlangsung dalam
hubungannya dengan karya tentang budaya pop yang pada gilrannya merupaka
komponen posmodernisme.”
4. POSTDEVELOPEMENTALISM
Di Indonesia, kata dan konsepsi ‘pembangunan’ teramat keramat. Padahal,
maknanya tidak pernah dimengerti, apalagi digugat. Pembangunan sebenarnya
memiliki arti yang bersayap. Ia tidak semestinya dianggap berkesudahan, alias
[11]
final. Sebagai sebuah kata kerja, dan aktifitas, membangun juga menyiratkan
sebuah kelanjutan. Coba gunakan kata memelihara, merawat atau pun
membongkar, merusak, menghancurkan, atau merubuhkan sebagai tindak lanjut
membangun. Logikanya, secara konseptual, dalam risalah ‘pembangunan’, perlu
ada cara pandang alternatif yang menanggapi stagnasi gagasan pembangunan.
Hal ini terlebih relevan, jika pembangunan yang kita kenal ternyata hanya
membangun, tetapi tidak menghidupi. Lebih-lebih jika pembangunan hanya
berlaku untuk segelintir, dan tidak sesama, apalagi semua. Di sinilah makna kata
membangun perlu dibongkar, atau setidaknya ditinjau kembali.
Dalam khasanah akademik global, istilah post development kemudian muncul
sebagai antitesis dari development: pembangunan. Ia –post development- bukan
barang baru yang dijual dengan mantra-mantra lama, ataupun barang lama yang
dibungkus dalam kemasan baru. Perdebatan yang melahirkan gagasan ini mengular
dari perdebatan soal aplikasi teori neoklasik (pertumbuhan ekonomi),
strukturalisme (Import Substitution Industry-ISI) dan teori dependensi
(ketergantungan negara ketiga pada kemajuan ekonomi negara pertama) hingga ke
ketimpangan globalisasi, yang berujung pada pertanyaan yang paling fundamental,
yakni makna, lantas masa depan pembangunan itu sendiri.
Karena nyatanya, pembangunan justru kerap menjadi pemicu kemiskinan dan
keterbelakangan, hingga pada kerusakan lingkungan. Selain itu, dusta terbesar
pembangunan adalah klaim soal meningkatnya kesejahteraan, dimana yang
sesungguhnya terjadi adalah pemusatan kekayaan, dimana segelintir orang
menguasai hajat hidup orang banyak dan berujung pada ketimpangan dan
ketidakadilan. Hal ini berlaku baik di tingkat global maupun di sebagian besar
negara dunia pertama dan sisanya.
Syahdan, tidak ada saat yang lebih tepat untuk memikirkan kembali
pembangunan secara keseluruhan ketimbang saat ini. Dengan iklim dunia yang
berada di ambang kehancuran, dan nyatanya peminggiran masyarakat lokal dengan
segenap kekayaan dan identitasnya, jalan utama pembangunan tiap negara masih
tidak berubah. Dipandu oleh gurita kapitalisme, negara terus memaksakan dirinya
sebagai aktor utama pembangunan dengan menggunakan peta yang sama sekali
tidak menyertakan aspek lingkungan hidup, partisipasi masyarakat, efek sosial,
kedaulatan komunitas dan keberlanjutan. Di Indonesia, hal ini sangat terasa melalui
[12]
MP3EI, proyek yang digadang-gadang sebagai katalis pertumbuhan ekonomi
nasional.
Sebaliknya, bukankah kita sudah kenyang mendengar kasus-kasus yang
terjadi di Papua, Minahasa, Bima, Danau Toba, dan tak terhingga cerita lainnya
mengenai ayam yang mati di lumbung padi? Ditopang dengan cara pandang
developmentalist, kisah seperti ini akan terus berulang. Iman pada pertumbuhan lah
yang mendorong kita untuk merelakan kekayaan (alam, finansial, akses) pada
segelintir orang demi ilusi akan kesejahteraan bersama. Benar, pertumbuhan pada
aras global telah berhasil menurunkan persentase kemiskinan global, namun angka
mutlaknya telah bertambah. Seperti diungkapkan Arturo Escobar, pembangunan
pada akhirnya hanya mereproduksi relasi kuasa yang timpang. Jangan heran jika
banyak lara pertumbuhan yang tidak disuarakan, memungkinkan para pendukung
Structural Adjustment memenangi perang ideologis dalam hal kebijakan ekonomi
dan pembangunan melalui institus-institusi strategis nan dogmatis (IMF, WB,
OECD, WTO, dll).
Post development sejatinya menawarkan solusi baru, yakni cara pandang
melampaui pembangunan yang mengukur keberhasilan negara dalam hal produksi
dan konsumsi ekonominya (post growth). Post development dalam beberapa aspek
sejalan dengan perkembangan pemikiran teori sosial yang banyak merujuk pada
gagasan post-strukturalis, post modernis dan post colonial, yang menyangkal
keabsahan narasi besar serta universalitas pengetahuan. Yang lebih utama, post
development paling tepat sebagai gagasan emansipasi negara dunia ketiga dalam
menulis naskah dan narasi pembangunan mereka sendiri. Hal lain yang perlu
dicatat, post development tidaklah sama dengan gagasan human development atau
people centered development. Ia justru sudah mencakup dan melebur kesemuanya.
Dalam hal ini, jalan yang hendak ditempuh adalah dengan mendengarkan aktor-
aktor pinggiran yang selama ini hanya menjadi penonton pembangunan, dan
mencari jalan keluar yang sesuai dengan kaidah koeksistensi, pencarian makna
kebebasan yang melekat pada individu serta komunitasnya, untuk membiarkan
narasi kecil menjadi pelantun kehidupan yang berarti.
Sekilas, post development terdengar seperti romantisasi yang berlebih.
Membayangkan dunia yang lebih baik tanpa tuntutan materiil atau modernisasi.
Memang, tanpa praksis atau bukti keberhasilan, inilah kritik terbesar terhadap
gagasan tersebut. Namun, pengejawantahan Post Development tidak sesempit dan
[13]
sepicik yang kita, atau mereka para pendukung faham laissez faire growth,
bayangkan. Ada banyak cara untuk mengartikulasikannya dalam wujud yang
realistis: green growth, sustainable growth, pembangunan berbasis komunitas
adalah beberapa contohnya. Post development juga tidak berarti subsistensi,
ketiadaan atau penghentian pembangunan, melainkan perencanaan yang tidak lagi
berlandaskan pertumbuhan, tetapi pada pluralisme tujuan, kebutuhan dan
keberlanjutan.
5. POSTMODERNISME
5.1. Definisi
Untuk memudahkan memahami postmodernisme, ada baiknya kita
mengkontraskan ‘isme’ ini dengan lawan sejarah dan nuansa berpikirnya, yakni
modernisme. Mengkontraskan kedua ‘isme’ tersebut dipandang perlu karena
postmodernisme, dalam banyak hal, bisa dikatakan sebagai reaksi dan kritik terhadap
modernism.
a. Modernisme
Secara etimologis modern (adj.) bermakna, ‘pertaining to recent or present
time’. Dalam sub bab yang bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob
mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir
serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian
transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai
tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci
kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Di samping Kant, sejarah
kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich Hegel. Melalui
kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah
dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan
filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi
kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek,
identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi,
emansipasi serta oposisi biner.
Dalam perspektif seorang postmodernis yang berasal dari traadisi filsafat,
modernisme bisa disebut sebagai ‘semangat yang diandaikan ada pada
masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad ke-18) hingga paruh
pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress -
[14]
-meraih kemajuan—dan untuk humanisasi manusia’. Semangat ini dilandasi oleh
keyakinan yang sangat optimistik dari kamum modernis akan kekuatan rasio
manusia.
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia
untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi,
moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal
yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti
pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu
saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu
arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk
dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme,
eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan
menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial.
Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk
menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari
kenyataan.
b. Postmodernisme
Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan
modern. Kata post, dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix,
diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern
maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba
menjawab pertanyaan pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern
yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline
Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang
berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga
postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah
industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam
jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier,
jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi,
humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur
[15]
netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern
cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world
view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan
(realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak
bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam
bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada
dengan definisi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900) dikenal
sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang
rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen
pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan
Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran,
dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua
arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang
kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering
ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau
yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke
arah sekularisme.
5.2. Sejarah
Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi.
Wacana postmodern ini pada awalnya muncul dalam arsitektur dan kemudian juga
dalam sastra. Arsitektur dan sastra ‘postmodern’ lebih bernafaskan kritik terhadap
arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis
dan kurang human. Akhirnya, kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini
menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai
era postmodern.
Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks
dengan bukunya The Language of Postmodern Architecture (1975) menyebut post
modern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitekture setelah ratusan terkukung
satu gaya. Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore.
Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap
sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran
modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia
[16]
demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu
dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan
tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore
hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles
Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh,
peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran
postmodernisme.
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang
kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi.
Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang
dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang
rendah, sekarang justru dihargai.
Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-
an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi
legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti
rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi.
Seperti yang telah diterangkan diatas, pada awalnya lahir dari kritik terhadap
arsitektur modern, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai
bagian dari modernitas. Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post
dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi
lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Konsep
postmodernitas yang sering disingkat sebagai postmodern ini merupakan sebuah
kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek
pencerahannya.
Nafas utama dari postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang
muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan
mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam
untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
C.S. Lewis ketika ia berkata, ketika memperjelas pandangan Nietzsche sche
“My good is my good, and your good is your good” (kebaikanku adalah kebaikanku,
dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue,
lo ya lo”. Jadi di sini tidak ada standar absolut tentang benar atau salah dalam
postmodern. Mungkin Anda juga pernah mendengar orang berkata “Mungkin itu
benar bagimu, tetapi tidak bagiku” atau “Itu adalah apa yang kamu rasa benar.”
Kebenaran, bagi generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut.
[17]
5.3. Tokoh
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir
yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih
banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir
Perancis itu antara lain: Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, ean Francois Lyotard,
Jacques Derrida, Michel Foucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard ,dan Richard
Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis
Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya
dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.
1.) Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900)
Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884. Pada masa
sekolah dan mahasiswa, ia banyak berkenalan dengan orang-
orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap
pemikirannya, seperti John Goethe, Richard Wagner, dan
Fredrich Ritschl. Karier bergengsi yang pernah didudukinya
adalah sebagai Profesor di Universitas Basel.
Menurutnya manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap
kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal
dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika
orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka
akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
2.) Jacques Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930–Paris, 9 Oktober 2004)
Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan
dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme,
sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya
di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua
kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada
kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida
dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21. Istilah-ilstilah
falsafinya yang terpenting adalah dekonstruksi, dan différance.
a. Dekonstruksi
Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-
tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi
metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung
[18]
untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari
konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida
sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek
filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa
filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi
mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
b. Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan
bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih
tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri
(presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan
atau ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan
kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya
sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar
jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses
perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak
akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian “tulisan” yang
ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni
tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan
yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan
mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa,
dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih
“istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari
unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan
makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar
jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus
kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita
anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan
berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai
differance.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya
persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-
[19]
differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena
pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak
keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa
tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,”
makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De
Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya
penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut
sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah
atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya.
Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah
“kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di
depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian
tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa
dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata
adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau
ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan
(to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah
permainan dengan ketidakpastian.
[20]
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................. i
TEORI PERKEMBANGAN DIFFERENSIAL ............................................................ 1
1. POSTRUKTURALISME ............................................................................................ 1
1.1. Definisi ................................................................................................................ 1
1.2. Sejarah ................................................................................................................. 1
1.3. Tokoh ................................................................................................................... 2
2. POSTKOLONIALISME ............................................................................................. 5
2.1. Definisi ................................................................................................................ 5
2.2. Sejarah ................................................................................................................. 6
2.3. Tokoh ................................................................................................................... 7
3. POSTFEMINISME ...................................................................................................... 9
3.1. Latar Belakang dan Sejarah .................................................................................. 9
3.2. Tokoh ................................................................................................................... 9
4. POSTDEVELOPEMENTALISM ............................................................................... 10
5. POSTMODERNISE .................................................................................................... 13
5.1. Definisi ................................................................................................................ 13
5.2. Sejarah ................................................................................................................. 15
5.3. Tokoh ................................................................................................................... 17
i
[21]
TUGAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
PERKEMBANGAN TEORI DIFFERENSIAL
DISUSUN OLEH :
NAMA : MIFTAHUL KHAERY
NIM : 1408205028
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015