makalah undang-undang
DESCRIPTION
kriminalisasi dokterTRANSCRIPT
MALPRAKTEK DALAM KAJIAN HUKUM PIDANAKASUS DR. SETYANINGRUM , PATI, JAWA TENGAH
Pembimbing:
Oleh :
Ibrahim Achmad 030.09.117
Winski
Marelno
Tami
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR.ESNAWAN
UNIVERSITAS KEDOKTERAN TRISAKTI
FEBRUARI 2014
PENDAHULUAN
Istilah “malpraktek” tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan merupakan
istilah yuridis, istilah “malpraktek” hanya digunakan untuk menyatakan adanya tidakan yang
salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi; baik dibidang kedokteran maupun dibidang
hukum.
Tindakan yang salah secara yuridis diartikan setalah melalui putusan pengadilan.
Tindakan salah yang dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan kerugian baik
nyawa, maupun harta benda.
Malpraktek menyangkut pelaksanaan profesi yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan yang diperoleh secara sistematika dana dlam waktu
relatif lama
2. Orientasi utama lebih pada kepentingan umum
3. Ada mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi, melalui
kode etik oleh organisasi profesi
4. Ada rewaroad-sistem yang tidak didasarkan pada tujuan komersial.
Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis
terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang
diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus
menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri.
Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai
karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh
hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam
upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh
manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai
tindak pidana.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya
tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan
kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan dokter gigi. Sebaliknya apabila
tindakan medis yang dilakukan dapat berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dan
dokter gigi dengan perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya
berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.
KRONOLOGIS KASUS
Pembahasan malpraktek dari segi hukum pidana dianalisa dengan mengemukakan
kasus dokter setyaningrum yang oleh Mahkamah Agung RI telah membebaskan terdakwa
dalam putusannya No.600k/Pid/1983. Selengkapnya kasus sebagai berikut:
Pada sore hari,di puskesmas,Pati, Jawa tengah. dokter Setyaningrum menerima
pasien, Nyonya Rusmini (28 tahun). Nyonya Rusmini ini merupakan istri dari Kapten Kartono
(seorang anggota Tentara Nasional Indonesia). Nyonya Rusmini ini menderita
pharyngitis (sakit radang tenggorokan). “Orang dahulu” jika belum disuntik maka ia belum
merasa sembuh. Jadi, pada zaman dahulu banyak orang yang dalam sakit apapun, diminta
untuk disuntik baik dalam sakit ringan maupun berat.
Pada saat itu, dokter Setyaningrum langsung menyuntik/menginjeksi pasiennya
(Nyonya Rusmini) dengan Streptomycin. Streptomycin adalah obat yang termasuk
kelompok aminoglycoside. beberapa menit kemudian, Rusmini mual dan kemudian
muntah. Dokter Setyaningrum sadar bahwa pasiennya itu alergi dengan penisilin. Oleh
karena itu, ia segera menginjeksi Nyonya rusmini dengan cortisone. Cortisone merupakan
obat antialergi. Tapi, hal itu tak membuat perubahan. Tindakan itu malah memperburuk
kondisi Nyonya Rusmini. Dalam keadaan yang gawat, dokter Setyaningrum meminumkan
kopi kepada Nyonya Rusmini. Tapi, tetap juga tidak ada perubahan positif. Karena itu, sang
dokter kembali memberi suntikan delladryl (Dipenhydramine HCl)
Nyonya Rusmini semakin lemas, dan tekanan darahnya semakin rendah. Dalam
keadaan gawat itu, dokter Setyaningrum segera mengirim pasiennya ke RSU R.A.A.
Soewondo, Pati, sekitar 5 km dari desa itu untuk mendapat perawatan. Pada saat itu,
kendaraan untuk mengantarkan ke rumah sakit, belum semudah yang dibayangkan
sekarang. Untuk mencari kendaraan saja memerlukan waktu beberapa menit. Setelah lima
belas menit sampai di RSU Pati, pasien tidak tertolong lagi. Nyonya Rusmini meninggal
dunia. Kapten Kartono kemudian melaporkan kejadian itu kepada polisi.
PEMBAHASAN
Pengadilan Negeri Pati di dalam Keputusan P .N. Pati No.8/1980/Pid.B./Pn.Pt tanggal 2
September 1981 memutuskan bahwa dokter Setyaningrum bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada “pasal 359 KUHP yakni karena kealpaannya menyebabkan orang lain
meninggal dunia dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara 3 bulan dengan masa
percobaan 10 bulan”. Pertimbangan hakim hal ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menimbang, bahwa dari pengakuan/keterangan terdakwa dan saksi-saksi: Tamirah,
Imam Suyudi, Dr. Imam Parsudi dipersidangan ternyata: bahwa terdakwa telah
menyuntik pasien Rusmini (korban) empat kali:
a) Streptomycin 1 gram
b) Cortisone 2 cc
c) Delladryl 2 cc
d) Adrenalin 0,5 cc
2. Bahwa terdakwa untuk keamanan Tindakan (suntikannya) tidak menyatakan:(Inform
Consent) apa pasien mengerti ciri-ciri/kegunaan obat Streptomycin, kapan suntikan
itu pernah diterimanya, siapa yang menyuntiknya, bagaimana reaksinya, apa
sakitnya dulu sama dengan di deritanya ini, apakah penderita pernah mempunyai
penyakit lain yang berhubungan dengan alergi, dan tidak memeriksa tekanan darah
guna menegakkan diagnosanya.
3. Bahwa penderita Rusmini setelah menerima suntikan I, Streptomycin merintih
kesakitan merasa tidak kuat, mual, muntah-muntah, gelisah, pucat, lemas, kulitnya
dingin, sesak nafas, nadi kecil, tekanan darah rendah, dan bersuara grok-grok/klek-
klek seperti orang akan mati.
4. Bahwa tanda-tanda tersebut menunjukkan pasien telah menderita ketidaktahanan
obat Streptomycin (alergi), sehingga pasien Rusmini saat itu telah mengalami
anaphylactic-shook.
5. Menimbang, bahwa terdakwa dituntut atas tuduhan melanggar pasal 359 . 361
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menimbang, bahwa pasal 359 KUHP,
menentukan: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun. Menimbang, bahwa pasal 359 KUHP, unsur-unsurnya adalah:
a. Barang siapa: siapa berarti siapapun juga orangnya tanpa terkecuali
termasuk seorang dokter yang dapat menjadi subyek hukumnya
b. Karena kealpaanya : Bahwa undang-undang sendiri tidak memberikan
definisi tentang pengertian alpa/culpa/schuld, hal mana diserahkan pada
ilmu pengetahuan hokum, akibat kelalaiannya itu.
c. Menyebabkan orang lain mati
6. Menimbang, bahwa terdakwa sebagai dokter umum sebelum
menyuntik Streptomycin , seharusnya dapat menduga ada kemungkinan pasiennya
tidak tahan obat itu, sebab menurut teori ilmu kedokteran ketidak tahanan obat
(alergi) seseorang bisa timbul karena bawaan/alami ataupun pengaruh obat yang
diterimanya/dapatan, sehingga diperlukan ketelitian dan kewaspadaan terhada
pasiennya (Saksi Dr. Imam Parsudi, Dr. Moch Prihadi, Dr. Goesmoro Suparno, Dr.
Likas Susiloputro). sebagi dokter umum dapat mengadakan kewaspadaan/penelitian
secara menanyakan apakah pasien mempunyai riwayat alergi lain
7. Menimbang, kurang hati-hatinya terdakwa: bahwa sebelumnya untuk keamanan
penyuntikannya ia tidak meneliti dengan menanyakan riwayat, sakitnya si pasien
yang berhubungan dengan alergi (annamesis), melainkan hanya percaya saja katanya
pasien yang berpendidikan rendah dan awam obat-obatan, tanpa meneliti kapan,
dimana, siapa dulu yang menyuntiknya, apa jenis sakitnya dulu sama dengan yang
diderita sekarang, bagaimana reaksinya. Bahwa sebelumnya, terdakwa juga tidak
memeriksa tekanan darahnya pasien, tidak melakukan test kulit untuk menyelidiki
apakah pileknya merupakan manifestasi dari keadaan alergi dan juga untuk
mengungkapkan enis alergi penyebab (bandingkan dr. Ichsan M.D.M. Sc.).
Bahwa terdakwa baru kemudian, setelah penyuntikan ke 3 memeriksa nadinya
ternyata kecil dan cepat, tekanan darah rendah, kesadarannya menurun, sehingga
baru ia mengerti terjadinya anaphylactic shook bukan anaphylaxia ringan, sehingga
ia terlambat memberikan Adrenalin, yang semestinya didahulukan penyuntikannya
setelah Streptomycin, dan diulanginya bila yang pertama belum berhasil.
Bahwa terdakwa juga tidak mencoba melakukan: vena saksi untuk pemberian cairan
per-infus, pemberian oksigen (O2), dan pemberian obat-obatan lain sebagai ulangan
serta pemjatan jantung merangsang geraknya.
8. Menimbang, bahwa kekurangan hati-hatinya terdakwa tampak juga dari
keterlambatannya memberikan suntikan Adrenalin (suntikan yang ke 4). Yang
menurut terdakwa, ke 4 suntikan itu dilakukan dalam waktu 3 menit, hal mana
kurang dapat diterima karena di antara suntikan – suntikan itu diselingi pengurusan
9. Bahwa terdakwa mengaku kemungkinan matinya Rusmini karena tidak tahan
obat Streptomycin yang diterimanya (alergi), bukan karena hal lain, kemungkinan
mana juga dibenarkan saksi-saksi: dr. Goesmoro Suparno, dr. Lukas Susiloputro, Dr.
Imam Parsudi, dr. Moch. Prihadi, dr. Mualip Muchiya. Bahwa berdasarkan
pengakuan terdakwa, visum et repertumnya, keterangan saksi-saksi (Imam Suyudi,
dr. Goesmoro Supartni, dr. Lukas, Dr. Imam Parsudi, Dr, Moch, Prihadi) cukup
petunjuk matinya Rusmini, karena ketidak tahanan obat yang diterimanya.
(bandingkan: dr. A, Mun’im Idris”Majalah bantuan hukum I/1981).
10. Menimbang bahwa, bedah mayat untuk menentukan secara pasti sebab kematian
tidak dapat dilakukan karena perkara baru masuk pengadilan Negeri setelah selang
lama kira-kira setahun dari kejadiannya dan menurut saksi ahli bila kini
diperinyahkan bedah mayatnya Rusmini, sudah tidak ada gunanya
11. Menimbang bahwa, selanjutnya untuk menegakkan diagnosis kematian (Rusmini)
akibat anaphylactic-shock yang terjadi setelah pemberian obat (suntikan) cukup
petunjuk-petunjuk juga yakni:
a. Sebelum kematiannya pasien telah menunjukkan gejala-gejala anaphylactic
shock.
b. Sebelum kematian tidak terdapat proses patologik lain, yang dapat
menyebabkan kematiannya yang mendadak itu: sakit keras/sakit jantung,
sakit paru-paru dan lain-lain.
c. Di tempat suntikan terdapat obat-obatan yang telah
disuntikkan;Streptomycin, cortisone, delladryl , Adrenalin.
12. Menimbang bahwa, karenanya dapat disimpulkan ada hubungan causal antara
perbuatan terdakwa/penyuntikannya dengan kematiannya Rusmini.
13. Menimbang bahwa, kekurangan-kekurangan yang sering dihadapi dalam
penanganan anaphylactic shock bagi dokter-dokter Puskesmas bisa juga karena
pengetahuan/ketrampilan yang kurang memadai, di samping kurangnya
sasaran/peralatan, sehingga perlu lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan
14. Menimbang bahwa, berdasarkan pengakuan terdakwa, keterangan saksi-saksi,
barang-barang bukti serta pertimbangan di atad dipandang dari hubungan dan
persesuaiannya, maka kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sah dan
meyakinkan menurut undang-undang, yakni karena kealpaannya menyebabkan
orang lain meninggal dunia.
Atas dasar keputusan Pengadilan Negeri Pati tersebut Pengadilan Tinggi di Semarang
melalui Putusan No. 203/1981/Pid/P.T. Semarang tanggal 19 Mei 1982 telah memperkuat
putusan Pengadilan Negeri Pati tertanggal 2 September 1981 No. 8/1980/Pid.B/Pn.Pt, dan
sekaligus menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum.
Selanjutnya berdasarkan kasasi yang diajukan (kuasa) terdakwa, Mahkamah Agung
telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang tanggal 19 Mei
1982 No. 203/1981 No. 8/1980/Pid.B/PT. Semarang dan putusan Pengadilan Negeri Pati
tertanggal 2 September 1981 No. 8/1980/Pid.B/Pn.PT. dan menyatakan, bahwa kesalahan
terdakwa dokter Setyaningrum binti Siswoko atas dakwaan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut. Dalam hal ini sepanjang
menyangkut unsur kealpaan dan elemen-elemen malpraktik. Mahkamah Agung
mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa sepanjang mengenai penafsiran unsur kealpaan keberatan ini dapat
dibenarkan, oleh karena kurang tepat dalam menetapkan tolak ukur untuk
menentukan ada tidaknya unsur kealpaan dalam perbuatan terdakwa dalam arti
sejauh mana terdakwa berusaha secara maksimal untuk menyelamatkan nyawa jiwa
pasiennya, sesuai dengan kemampuan yang sewajarnya harus dimiliki dan sarana
yang tersedia padanya.
2. bahwa untuk memberikan keterangan dari segi ilmu pengetahuan medis yaitu yang
berkenaan dengan apa yang seharusnya dilakukan terdakwa sebelum melakukan
penyuntikan Streptomycin terhadap pasien dan tindakan penanggulan apa pula yang
dilakukan jika ternyata setelah disuntik itu pasien menunjukkan tanda-tanda reaksi
tidak tahan terhadap obat yang disuntikkan, Pengadilan telah mendengar kesaksiaan
6 (enam) orang dokter sebagai saksi ahli
3. bahwa dari keterangan keenam dokter itu, terkecuali keterangan saksi dr. Imam
Parsudi, Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa tindakan terdakwa menanyakan
kepada pasiennya apakah sudah pernah mendapat suntikan Streptomycin dan
kemudian berturut-turut memberikan suntikan cotisone, delladryl , dan Adrenalin,
setelah melihat ada tanda-tanda penderita mengalami alergi
terhadap Streptomycinmelakukan upaya yang sewajarnya dapat dituntut dari
padanya sebagai dokter dengan pengalaman kerja sama 4 (empat) tahun dan yang
sedang melaksanakan tugasnya pada Puskesmas dengan sarana yang serba terbatas.
4. Bahwa dari terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja selama 4
(empat) tahun yang sedang bertugas di Puskesmas yang serba terbatas sarananya
tidaklah mungkin untuk diharapkan melakukan hal-hal seperti yang dikehendaki saksi
dr. Imam Parsudi, misalnya melakukan penyuntikan Adrenalin langsung ke jantung
atau pemberian cairan infus, pemberian zat asam dan lain tindakan yang
memerlukan sarana yang lebih rumit.Bahwa dengan demikian salah satu unsur yaitu
unsur kealpaan yang dikehendaki oleh pasal 359 KUHP tidak terbukti ada dalam
perbuatan terdakwa, sehingga karenanya terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan
yang ditimpakan padanya.
Berdasarkan kronologis diatas, ada beberapa hal yang dilakukan oleh dokter yang
tidak sesuai dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran no. 29 tahun 2004, yaitu langsung
menyuntikan streptomycin pada pasien tanpa menanyakan terlebih dahulu tentang riwayat
penyakit pasien. Dimana disebutkan pada pasal 50 tentang hak dokter dan dokter gigi untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. Dan pada
pasal 52 tentang hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan medis yang setidaknya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Dokter yang
bersangkutan pun tidak meminta persetujuan untuk dilakukannya tindakan berupa
penyuntikan streptomycin baik kepada pasien atau keluarganya. Karena hal tersebut juga
telah dicantumkan dalam Undang-Undang no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada
Pasal 37 Ayat (1) Setiap tindakan kedokteran harus memperoleh persetujuan dari pasien
kecuali pasien tidak cakap atau pada keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan
secara lisan atau tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan kedokteran
berisiko tinggi.
KESIMPULAN
Malpraktek yang dibahas dalam makalah ini ada pada bidang medis dengan fokus
dokter sebagai pelakunya. Dari pembahasan yang dikemukakan di atas dengan
mengemukakan studi kasus dr.setyaningrum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Malpraktek bidang medis dalam kajian hukum pidana, merupakan kealpaan yang
dilakukan dalam profesi medik . dokter sebagai pelaksana profesi medik
dipertanggung jawabkan karena kealpaanya menyebabkan orang lain meninggal
dunia atau luka-luka pasal KUHP yang dilanggar adalah 359 atau 360 KUHP
2. Kajian hukum pidana terhadap malpraktek bidang medis ini membahas masalah
kealpaan bidang medis yang dilakukan dokter. Penentuan kealpaan seorang
harus memenuhi persyaratan : pertama diukur dengan orang pada umumnya
yang berapa pada kondisi yang sama dengan pelaku, kedua apakah ada
kewajiban berbuat lain.
TINJAUAN PUSTAKA
1. dahlan,Sofan. Soponyono, E . Hukum kedokteran. Universitas diponegoro,
Semarang.1992.
2. Undang-undang No.23 tahun 1992 Tentang kesehatan