makalah ushul qawaid fiqh 2

Download Makalah Ushul Qawaid Fiqh 2

If you can't read please download the document

Upload: syamsul-arif

Post on 28-Sep-2015

32 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

ushul Fiqh

TRANSCRIPT

35

PENDAHULUAN

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabiiyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri, diantaranya yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Sad al-dzariah, dan Urf.

PEMBAHASAN

Ijma

Pengertian Ijma

Secara etimologi, ijma () berarti kesepakatan atau konsesnsus. Ijma juga berarti ( ) ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Perbedaan antara pengertian pertama dengan yang kedua terletak apada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.

Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, Abu Zahrah dan Wahhab Khalaf merumuskan ijma dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya beliau terhadap suatu hukum syara, dan Abu Zahra menambahkan diakhir definisinya dengan yang bersifat amaliyah. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 51-52.

Rukun dan Syarat-Syarat terjadinya Ijma.

Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma itu ada lima, yaitu:

Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma.

Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Quran.Sandaran hukum ijma tersebut haruslah al-Quran dan atau hadits Rasulullah.

Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan syarat ijma: yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijma, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama), dan para mujtahid yang terlibat adalah orang yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bidah. Ibid.,53.

Pembagian ijma.

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua yaitu ijma sharih (jelas) dan ijma sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama): Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 129.

Ijma sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma seperti ini langka terjadi, apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua mujtahid pada suatu masa tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi jumhur ulama ushul berpendapat apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan sebagai hujjah syariyah dengan tanpa khilaf dan kekuatan hukumnya bersifat qathi.

Ijma sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma yang kedua ini, para ulama masih berselisih pendapat apakah termasuk hujjah syariyah atau tidak:Menurut al-Malikiyah dan al-Syafiiyah bukan ijma dan bukan hujjah syariyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.Menurut al-Hanafiyah dan al-Hanabilah dianggap ijma dan hujjah qatiyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma yang dikemukakan ulama berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan lainnya diam.

Lebih lanjut Abu Zahrah menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah:

Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama dan jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.

Adalah tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama lain yang tidak mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.

Menurut Al-Karkhiy dari madzhab Hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab Syafiiyah bahwa ijma sukuti adalah hujjah dzanniyah. Nasrun Haroen, Ushul Fiqhhal. 56-59.

Kontekstualisasi Ijma

Definisi tentang ijma sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama muslim (ulama mujtahidin). Dengan disepakatinya ijma sebagai sumber hokum Islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hokum yang kuat dalam system hokum Islam, dan mungkinkah dalam kontek sekarang ini ijma bisa terjadi?

Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas). Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-487.

Para ulama sepakat bahwa ijma merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Quran dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma dapat dilakukan pada masa sekarang. Padahal zaman sekarang ini permasalahan umat semakin kompleks dan membutuhkan jawaban instant dan cepat, jika ijma tidak dapat dilakukan maka penyelesaian permasalahan akan mengalami kemandegan. Sebagaimana yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah sejumlah mujtahid, dan mungkin saja cara ini dapat menggantikan posisi ijma. Ijma sangat kental dengan yang namanya ijtihad, dan jika memang ijma tidak mungkin dilakukan pada masa kini maka bukan berarti ijtihad juga tertutup, tetapi ijtihad akan lebih akurat jika dilakukan dengan sistem musyawarah dan bertukar pikiran diantara orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dalam agama atau yang disebut ijtihad kolektif.

Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jamai atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139. Hanya saja ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid. Ibid,. 141.

Qiyas

Pengertian Qiyas

Secara harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Dengan demikian, qiyas memberi kesan kesamaan kemiripan antara dua hal yang salah satunya dipakai sebagai kriteria untuk mengukur yang lain.

Dari segi teknis, merupakan perluasan nilai syariah yang terdapat dalam kasus asal (ashl) kepada kasus baru (faru) karena yang disebut terakhir mempunyai kausa (Illat) yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Muhammad Hashim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996. hal. 219- 220.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui hakikat qiyas yaitu:

Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.Satu diantara dua kasus yang sama iilatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.Berdasarkan illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nash-nya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.

Dari uraian hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:

Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut maqis alaih atau ashal atau musyabbah bih.Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini disebut maqis atau furu atau musyabbah.Hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum (syari) pada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu dalam illat-nya, para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu. Ini disebut hukum ashal.

illat hukum yang terdapat pada ahal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu. Amir Syarifuddi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009. hal. 177.Syarat-Syarat Qiyas

Bicara syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas. Rukun atau unsur qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah: Ibid., hal. 195-208.

Maqis alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu ke padanya)

Sangat sedikit sekali pengarang yang mengungkapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi pada ashal maqis alaih, bahkan kadang-kadang bercampur baur dengan persyaratan hukum ashal. Alasannya barangkali karena jumhur ulama sendiri tidak mensyaratkan apa-apa untuk ashal itu. Meskipun demikian, ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan sebagai berikut:

Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya, baik secara naui atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau maksud terbatas). Persyaratan ini dikemukakan oleh Utsman al-Baththi. Sedangkan jumhur ulama menolak persyaratan ini karena menurut mereka tidak ada dalil yang mensyaratkannya.Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu. Persyaratan ini dikemukakan oleh Basyir al-Marisi, sedangkan jumhur ulama menolak persyaratan ini, karena menurutnya tidak ada dalil atau petunjuk yang mempersyaratkannya.Maqis (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal)

Sebagian dari syarat maqis ini disepakati para ulama dan sebagian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

Illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal. Maksudnya, seluruh illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu. Jumlah illat pada furu itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal. Harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal illat, maupun hukum; baik yang menyangkut ain atau jenis; dalam arti sama dalam ain illat atau jenis illat dan sama dalam ain hukm atau jenis hukm. Bila diantara hal itu terdapat perbedaan, maka rusaklah qiyas, karena tidak terdapat illat pada furu atau tidak adanya hukum ashal pada furu.Ketetapan hukum pada furu itu tidak menyalahi dalil qathi. Maksudnya, tidak terdapat dalil qathi yang isinya berlawanan dengan furu. Hal ini disepakati oleh ulama. Sedangkan menurut kebanyakan ulama, ketetapan hukum pada furu juga tidak menyalahi khabar ahad, karena menurutnya, khabar ahad harus didahulukan dari qiyas.Tidak terdapat penentang (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawanan dengan illat qiyas itu.

Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu; baik materi nash itu bersesuaian dengan hukum yang akan ditetapkan pada furu, atau berlawanan dengannya.

Furu (sebagai maqis) itu tidak mendahului ashal (sebagai maqis alaih) dalam keberadaannya.Hukum Ashal

Syarat bagi hukum ashal untuk dapat direntangkan kepada kasus lain (furu) melalui qiyas adalah sebagai berikut:

Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan dari qiyas syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas. Satu pendapat mengatakan juga bukan dengan ijma.Hukum ashal itu adalah hukum tetap berlaku, bukan hukum yang telah di-nasakh, sehingga masih mungkin dengan hukum ashal itu menetapkan hukum.Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, maka tidak mungkin meng-qiyas-kan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang. Diantara hal yang keluar dari ketentuan qiyas itu mungkin karena alasan hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena dikecualikan dari ketentuan umum atau memang pada dasarnya sudah begitu.Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama, karena kalau tidak disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau furu. Karena kalau dalilnya telah terjangkau oleh dalil hukum ashal, maka tidak perlu lagi ada qiyas, cukup dengan dalil hukum ashal tersebut.Illat

Persyaratan illat ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan oleh ulama. Diantara syarat illat yang disepakati ulama adalah sebagai berikut:

Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.

Illat itu adalah suatu sifat yang jelas () dan dapat disaksikan. Karena jelasnya, maka illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum. Bila illat itu bersifat bathin yang tidak dapat dilihat dan disaksikan, maka ditetapkan sifat lain yang lahir sebagai penggantinya (yang disebut ), dan pada sifat lahir itu terdapat sifat batin.

Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur (), keadaannya jelas dan terbatasi, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat ( ). Adanya kesesuaian hubungan antara sifat dengan hukum itu menjadikannya raisonal, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakun dalam berbuat.

illat itu harus mempunyai daya rentang (). Maksudnya, illat itu disamping ditemukan pada wadah yang menjadi tempat berlakunya hukum (ashal), juga dapat ditemukan di tempat lainnya.Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi illat. Maksudnya, sifat itu tidak menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh suatu dalil (nash). Pembagian Qiyas

Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhhal. 237-241.

Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi tiga, yaitu:

Qiyas awlawi; yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu. Umpamanya meng-qiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan uffi (berkata kasar) terhadap orang tua dengan illat menyakiti. Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada keharaman pada ucapan uff, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan uff.

Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illat-nya sama. Umapamanya meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya.

Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan. Umpamanya meng-qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. illat-nya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat-nya lebih kuat.Pembagian qiyas dari segi kejelasan illat-nya

Qiyas dari segi kejelasan illat terbagi kepada dua macam:

Qiyas Jali, yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Al-Mahalli dalam syarah Jamul Jawami mengatakanbahwa qiyas Jali itu mencakup qiyas awlawi dan qiyas musawi. Sedangkan dalam syarah al-Mukhtashar, ia mengatakan bahwa qiyas jail itu hanya berlaku terhadap qiyas awlawi.

Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, di-istinbath-kan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illat-nya bersifat zhanni. Qiyas adwan termasuk ke dalam qiyas khafi karena kedudukannya yang lebih endah disebabkan oleh lemahnya illat pada furu.Pembagian qiyas dari segi keserasian illat-nya degan hukum

Dari segi keserasian illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kepada dua, yaitu:

Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi:

Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma.

Kedua, qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.

Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum adalah dalam bentuk munasib mulaim.Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu, terbagi tiga:

Qiyas mana, atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu tersebut seolah ashal itu sendiri.

Qiyas illat, yatu qiyas yang iilat-nya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.

Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara

Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara untuk menetpkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara di luar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalail hukum syara.

Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau sunnah dan dalam ijma ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui batas kewajaran.Kelompok ulama Zhahiriyya dan Syiah Imamiyyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya; kadang-kadang menberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Quran atau sunnah.

Argumentasi ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas tersebut, dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima dan yang menolak penggunaan qiyas. Masing-masing kelompok mengemukakan dalil al-Quran, sunnah, Ijma ulama atau sahabat dan dalil aqli. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhhal. 178.

Dalil-dalil yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak qiyas, baik itu berupa ayat maupun hadis, dipahami oleh mereka untuk menyatakan tidak bolehnya menetapkan hukum melalui qiyas. Namun jumhur ulama yang menggunakan qiyas memahaminya dalam arti lain, yaitu dalam hal penggunaan akal secara mutlak dan penggunaan akal dalam menetapkan akidah dan pokok-pokok ibadah. Jumhur ulama pun menolak penggunaan akal tanpa menyandarkan diri kepada nash atau dalam hal-hal yang berkaitan dengan pokok aqidah dan ibadah.

Istihsan

Pengertian Istihsan

Secara etimologi, istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Al-Syarahsi. Ushul al-Syarahsi. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200. Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79.

Istihsan berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisnai (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Quran, maka orang yang Haid haram membaca Al-Quran.Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Quran, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebisaaan mereka.

Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

Pembagian Istihsan dan contoh produk hukumnya

Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi. Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 206-208.

Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan: Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya (HR. At.Tirmidzi).

Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin, (Mesir : Matba al-Sa-adah, th. 1980, hal.72. Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.

Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan. Ibid, hal. 74. Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.

Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebisaaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.

Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan

Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan. Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997) hal. 161. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.

Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum

Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:

Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat. Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami Fima La Nassafih. (Dar al-Qalam, cet. III, th. 1972), hal.77.Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Quran dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Diantaranya adalah firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 185:

0000

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut:

.

Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah..(HR. Ahmad Ibn Hanbal)

Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum

Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafiiyah dan Zhahiriyah. Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:

Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Quran, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.Firman Allah dalam surat an-Nisa : 59

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.

Selain Imam Syafii kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syiah dan sebagian ulama kalam mutazilah karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas.

Istihsan menurut mazhab Syafii adalah menetapkan hukum syara berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafii berkata:

Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara hanyalah Allah SWT.

Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafii ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syari. Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314.

Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?

Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana telah dijelaskan pada macam-macam Istihsan).

Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.

Jadi kesimpulannya, bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafii. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafii, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwfaqt menyatakan: orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara yang umum. Al-Syathibiy, al-Muwafaqat, Dar ibn Affan, 1997, Juz 5.hlm. 193.

Maslahah Mursalah

Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara melalui dalil yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadis).

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara (maqashid as-syariah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyariatan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syariah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syariah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syariah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya. Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hal. 104.

Kehujjahan Maslahah Mursalah

Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.

Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijma yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatn itu merupakan illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.

Ulama Hanafiyyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma. Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan Hanafiyyah terlihat secara luas dalam metode istihsan (pemalingan hukum dari kehendak qiyas atau kaidah umum kepada hukum lain disebabkan beberapa indikasi). Indikasi-indikasi yang dijadikan pemalingan hukum tersebut, pada umumnya adalah maslahah al-mursalah.

Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qathi), sealipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).

Untuk bisa menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah memberikan tiga syarat, yaitu:

Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yng didukung nash secara umum.Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.

Ulama golongan Syafiiyyah, pada dasarnya juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara. Akan tetapi Imam Syafii memasukkan ke dalam qiyas. Al-Ghazali bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan maslahah mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam meng-istinbath-kan hukum yaitu:

Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara.

Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara.

Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang. Selain itu, al-Ghazali juga mengatakan bahwa maslahah dalam kategori hajjiyah, apabila menyangkut orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.

Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu metode dalam meng-istinbath-kan hukum Islam, meskipun dalam tataran prakteknya mereka mempunyai metode yang berbeda dalam mengaplikasikan maslahah mursalah.

Istishab

Pengertian Istishab

Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istifal () yang bermakna: . Kalau kata diartikan dengan sahabat atau teman dan diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2005. hlm.142

Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata artinya menemani atau menyertai, dalam artian menurut kebersamaan atau terus menerusnya bersama.

Sedang menurut istilah ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:

Imam al- Asnawy:

Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.

Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:

Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.

Adapun definisi Istishab menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil akal atau syara`, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut, atau menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.

Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya.Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishab adalah:

Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu. Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmuhal. 142.Macam-macam Istishab

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa Istishab itu ada lima macam. Al-Banani, Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jami al-Jawami. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th 1983). hal. 284. Yaitu:

Istishab hukm al-Ibahah al-Ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.

Istishab Al-Bara`at al-Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syari. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syari yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.

Istishab Al-Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

Istishab Al-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?, padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.

Istishab Al-Washfi Al-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam

Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islmi, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid II Th. 1986), Hal.862-863.

Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara.

Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.

Ketiga, ulama Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qathi maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syariat di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.

Kaidah-kaidah Istishab

Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, diantaranya adalah:

Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang diatas.

Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syarayang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.

Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam masalah shalat. Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.

Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah. Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair,(Singapura: Sulaiman MarI, tt), hal. 48.

Sad al-Dzariah

Pengertian Sadd al-Dzariah

Kata sadd adz-dzariah ( ) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan al-dzariah (). Secara etimologis, kata al-sadd () merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata al-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), juz 3, hal. 207. Sedangkan al-dzariah () merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) Ibn Manzhur, Lisan al-Arabjuz 8, hal. 93 dan dan sebab terjadinya sesuatu. Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09. Bentuk jamak dari al-dzariah () adalah al-dzarai (). Ibn Manzhur, Lisan al-Arab juz 8, hal. 93. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzarai. Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, dalam Kitab Digital al-Marji al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).

Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzariah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.

Dalam karyanya al-Muwafaqat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu). Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258. Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. MukhtarYahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986), hal. 347. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzariah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzariah yang pada awalnya memang dilarang.

Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Macam-Macam Al-Dzariah

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu: Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiinhal. 103.

Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:

Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut bisaa dilewati dan akan mencelakakan orang.Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba. Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.

Urf

Pengertian Urf

Dalam masalah ulama mendefinisikan urf terdapat perbedaan tipis dengan istilah dat:

Pendapat yang menyamakan antara urf dan dat mendefinisikannya dengan apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi kebisaaannya; baik ucapan, perbuatan, atau pantangan-pantangan, diantaranya adalah Abdul Wahhb Khalaf. Artinya, penggunaaan istilah urf dan dat tidak mengandung perbedaan signifikan. Misalnya dalam kitab fiqh terdapat ungkapan; hadz bit bi al-urfi wa al-dat (ketentuan ini berlandaskan urf dan dat), maka makna yang dimaksud oleh keduanya adalah sama dan hanya bersifat taukid saja. Abd Wahhb Khalaf, Terjemah IlmuUl al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani. Cet. I. 2003), hal: 117Pendapat yang membedakan antara urf dan dat dengan:Definisi dat:

Dilihat secara etimologi, istilah al-dat terbentuk dari masdar al-awd dan al-muwadah yang berarti terjadi pengulang-ulangan sehingga sudah mendarah-daging dan hampir menjadi watak pelakunya, karenanya dalam idiom arab dat dianggap sebagai watak kedua pelakunya. Muammad idq bin Amad Al-Burn, Al-Wajz f al-Qawd, (Riyadh: Maktabah al-Taubah. Cet. III. 1994), hal: 216

Sehingga secara terminologis para fuqah mendefinisikan dengan norma yang sudah melekat dalam hati akibat pengulang-ulangan sehingga diterima sebagai sebuah realitas yang rasionalitas dan layak menurut penilaian akal sehat. Norma tersebut dapat dilakukan oleh individu atupun kelompok masyarakat teretentu. Ibid, hal. 218

Definisi Urf

Secara etimologi, kata al-urf terbentuk dari akar kata al-mutaraf yang mempunyai makna saling mengetahui. Amad bin Al Sr al-Mubrak, Al-Urf, (Riyadh. t.p. 1996), hal: 35

Definisi yang telah ditarjih oleh Ahmad bin Al Sr al-Mubrak dalam kitabnya diantara definisi-definisi yang telah diungkapkan oleh para ulama, urf diartikan dengan:

,

segala sesuatu (ucapan atau perbuatan, baik ataupun jelek menurut syara) yang telah menjadi tradisi mayoritas suatu kelompok, berlaku di seluruh daerah atau sebagian dan baik berlaku di setiap masa atau pada masa tertentu. Amad bin Al, Al-Urf, hal: 35

Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan antara dat dan urf adalah sebagaimana berikut:

menurut Muhammad idq al-Burn, proses terbentuknya dat adalah akumulasi dari pengulangan aktifitas yang berlangsung terus menerus (al-awd dan al-muwadah). Ketika pengulangan tersebut sudah tertanam dalam hati setiap orang, maka ia memasuki tahap al-mutaraf dan adat tersebut menjadi urf. Secara ilustratif, al-Jurjni menggambarkan bahwa adat adalah unsur yang pertama kali muncul dan dilakukan berulangkali, lalu setelah ia diakui oleh mayoritas kelompok dan tertanam dalam hati mereka, barulah ia berubah identitas menjadi urf. Muammad idq, Al-Wajz, hal: 216-217Tidak mempersoalkan baik atau buruknya kebisaaan, asalkan dilakukan secara kolektif, maka ia sudah kategori urf. Berbeda dengan dat yang oleh fuqah diartikan sebagai tradisi secara umum, tanpa memandang apakah dilakukan oleh satu orang atau suatu kelompok. Dengan kata lain, dat melihat dari aspek pekerjaannya yang dilakukan berulangkali, sedangkan urf melihat dari aspek subyek atau pelaku pekerjaan tersebut yang secara kolektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adat itu lebih umum dari pada urf. Maka setiap urf pasti dat, dan bukan sebaliknya. dil bin Abd Qdir, al Urf, (Makkah: al Maktabah al Makkiyyah. Cet I. 1997), hal: 111Kedudukan urf sebagai dalil syara

Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama hanafiyah dan malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan al-urf sebagai dalil, di bandingkan dengan ulama syafiiyah dan hanabilah.

Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-quran diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebisaaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa urf al-shakhih, yaitu urf yang tidak bertentangan dengan syara, baik yang menyangkut urf al-am dan urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan urf al-lafdzi dan urf amali, dapat di jadikan hujjah dalam manetapkan hukum syara.

Pembagian Urf

Pembagian urf terbagi menjadi tiga tinjauan:

Ditinjau dari segi boleh dijadikannya urf sebagai ujjah, urf adakalanya a dan Fsid. Pembagian pertama ini, mayoritas ulam menyetujuinya, karena ketika mereka mendefinisikan urf, maka pastilah urf a lah yang dapat dijadikan ujjah Amad bin Al, Al-Urf,, hal: 65.

Urf a yaitu segala sesuatu yang telah saling diketahui mayoritas masyarakat baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang mendapatkan legitimasi dari syar dengan adanya dalil-dalil pendukungnya, atau yang tidak mendapatkan legitimasi dari syar akan tetapi tidak melepaskan segi maslahat dan tidak mengandung mafsadah. Ibid, hal: 65-66

Urf Fsid , dijelaskan oleh Abd. Wahhb Khalaf yaitu setiap kebisaaan yang dilakukan oleh manusia yang bertentangan dengan nas-nas yang telah ada, atau yang mengandung madlarat. Seperti transaksi-transaksi terkini yang telah terjadi yang mengandung unsur riba. Abd Wahhb, Terjemah Ilmu Ul al-Fiqh, hal: 117-118Ditinjau dari aspek pelakunya, urf terbagi dalam 2 kategori umum yaitu Urf m (budaya global-universal) dan Urf Khs (budaya parsial-partikular).

Urf m adalah bentuk budaya yang sudah berlaku menyeluruh, dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi, atau letak geografis. Tradisi ini bersifat lintas batas, lintas cakupan dan lintas zaman. Seperti yang telah terjadi di permasalahan mumalah yang tidak asing disebut dengan akad salam (jual beli dengan cara pesanan), walau bertentangan dengan qiys karena tidak adanya barang yang dibeli, akan tetapi sudah menjadi tradisi yang universal maka secara tidak langsung sudah dilegalkan oleh syara. Muammad idq, Al-Wajz,, hal: 220-221

Urf Khs adalah sejenis kebisaaan atau tradisi yang berlaku dikawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak dalam komunitas lain. Tradisi jenis kedua ini bisa berubah dan berbeda disebabkan perbedaan waktu dan tempat. Wahbah Zuail, Ul al fiqh al Islam, (Damaskus: Dar al Fikr. Cet.I. 1986), hal: 830 Seperti pembayaran upah pegawai yang dapat dilakukan harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan tergantung pada tradisi yang berlaku di suatu kawasan dan golongan tertentu yang akan berbeda dengan tradisi lainnya.Ditinjau dari aspek bentuk tradisi itu sendiri, urf dibagi menjadi dua, yaitu Qawl atau Laf dan Amal atau Fil

Urf Qawl atau Laf adalah sejenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain diluar apa yang mereka pahami. Mayoritas ulam menamakan urf ini dengan urf mukhai jika memang urf qawl bersifat umum atau m(berlaku universal) Muammad idq, Al-Wajz,, hal: 224.

Urf Amal yaitu setiap pekerjaan atau aktifitas tertentu yang sudah bisaa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma social. Ibid, hal: 223 Seperti dalam masalah mumalah yang bisaa dikenal dengan istilah yaitu transaksi jual beli tanpa igat, yang sudah bisaa dilakukan. Tak heran bila qawl mukhtr memperbolehkan jual beli ini walau salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, dengan catatan hanya pada barang-barang yang bernilai nominal rendah.Syarat-Syarat Urf

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf, baru dapat di jadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Nasroen haroen, Ushul Fiqihhal. 143.

Urf itu ( baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan ), berlaku secara umum. Artinya, urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.urf itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli es, di sepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumahnya, maka urf itu tidak berlaku lagi.urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara, karena kehujjahan urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Berkaitan Dengan Urf

Di terimanya urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan urf, akan berubah bilamana urf itu berubah.

Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Nasroen haroen, ushul fiqih, 1997, hal. 156.

Dari berbagai kasus urf yang di jumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, di antaranya adalah Ibid,. hal. 157-158.:

adat kebisaaan itu bisa menjadi hukum .

" tidak di ingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang di isyaratkan itu menjadi syarat.

4.

yang di tetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash ( ayat atau hadits ).

5.

yang baik itu menjadi urf (seperti ) berlaku berdasarkan dalil syara.

6.

urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama. Nasroen haroen, Ushul fiqihhal. 143.

7.

semua ketentuan syara yang bersifat mutlaq, dan tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan, maka pemberlakuannya di rujukkan kepada urf . Ibid,. hal. 213.

Aplikasi dari kaidah urf yang terakhir di atas, misalnya : syara tidak memberi batasan pengertian yang disebut al-hirtz ( barang yang terpelihara ), berkaitan dengan situasi barang yang di curi, sehingga hukuman potong tangan dapat di jatuhkan terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya oranglain menggarap tanah tersebut ( ihya al-mawat ), di tentukan oleh urf yang berlaku dalam masyarakat.

Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan kepada urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan :

ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan.

KESIMPULAN

Dari berbagai pemaparan tentang pembahasan yang panjang lebar diatas, maka dapat disimpulkan sebagaimana berikut:

Ijma merupakan dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya beliau terhadap suatu hukum syara, dan Abu Zahra menambahkan diakhir definisinya dengan yang bersifat amaliyah.

Qiyas merupakan perluasan nilai syariah yang terdapat dalam kasus asal (ashl) yang telah ada ketetapan hukumnya dari nash kepada kasus baru (faru) yang belum ada ketetapan hukumnya karena mempunyai illat (kausa) yang sama antara keduanya.

Istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar rayu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma, urf atau al-maslahah al-mursalah

Menerima maslahah mursalah sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.

Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut.

Sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Mengenai masalah urf, ada yang menyamakan dengan adat dan ada yang membedakannya dengan adat sehingga dikatakan bahwa adat itu lebih umum daripada urf.

Namun dari beberapa metode tersebut, tidak seluruhnya disepakati oleh para ulama, tetapi mereka menggunakan sebagian dan meninggalkan sebagian metode lainnya, sehingga dari sini produk hukum yang dihasilkan sangat mungkin terjadinya perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Dengan pemaparan tersebut, penulis menekankan bahwa penggunaan metode-metode yang telah penulis paparkan di makalah ini adalah diperbolehkan selama memenuhi kriteria-kriteria yang ada.