makalh wsbm1
TRANSCRIPT
NELAYAN BUGIS SEBAGAI MASYARAKAT MARITIM INDONESIA
BAB I
LATAR BELAKANG
Posisi gografis Indonesia dibelahan bumi ini berada di daerah tropis tepatnya dalam
posisi silang antara dua buah benua, yaitu Benua Asia dan Benua Autralia selain itu juga
diapit oleh dua buah samudra, yaitu samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Nontji, 1993).
Indonesia terbentang dengan gugusan pulau-pulaunya dari Sabang sampai Merauke atau dari
Miyangas sampai pulau Rote membentuk suatu tanah air Indonesia yang juga disebut sebagai
Nusantara atau sering disebut Perairan Nusantara. Kata Nusantara berasal dari kata Nusa
berarti pulau dan kata Antara yang berarti diapit dua laut dan dua benua. Posisi perairan
Indonesia tersebut berpengaruh terhadap kondisi perairan laut dari kedua benua dan samudra
tersebut.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, luas seluruh wilayah
Indonesia ditambah dengan jalur laut 12 mil yaitu 5,8 juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9
juta km2 luas wilayah laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 km2 perairan teritorial; 2,8 juta km2
perairan nusantara atau perairan kepulauan) atau sekitar 62% dari luas teritorialnya.
Konprensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang hukum laut ketiga pada tahun 1982
berhasil menentukan lebar laut teritorial maksimal 12 mil dan zona tambahan maximal 24 mil
laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial.
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia kaya dan beragam sumber daya alamnya telah
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama,
khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya. Sementara itu, kekayaan
hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk
menunjang pembangunan ekonomi nasional sejak Pelita I. selain menyediakan berbagai
sumber daya tersebut, wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai fungsi lain,
seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan
pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.
Lebih kurang duapertiga bagian dari seluruh luas wilayah Indonesia merupakan
lautan, dan wilayah daratan Indonesia terpencar pada kurang lebih 13.700 buah pulau.
Keadaan ini menggambarkan bahwa hasil laut merupakan salah satu sumber penghidupan,
terutama bagi penduduk yang mendiami desa-desa yang terletak di pesisir pantai. Bagi
penduduk pantai ini nelayan merupakan mata pencaharian pokok. Dengan demikian
kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil laut. Di Indonesia, penduduk yang bermata
pencaharian sebagai nelayan dan petani ikan pada tahun 1981 tercatat sebanyak 1,1 juta jiwa
(Tim Faperta Uncen, 19860).
Nelayan Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah
pesisir. Fenomena ini menarik untuk dikaji. Tekad untuk berubah atau maju sangat kuat,
disertai dengan kemauan untuk bekerja keras. Salah satu sumber nilai yang penting bagi
mereka adalah, nilai agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MASYARAKAT BAHARI/MARITIM
Masyarakat bahari dimaksudkan sebagai, mereka yang mendiami wilayahpesisir atau
pulau-pulau dan memanfaatkan sumberdaya kelautan atau sumberdaya bahari dalam rangka
interaksi sosialnya dalam jangka waktu lama dan telah membentuk kehidupan bersama yang
serasi dan telah mewujudkan”rasa kita” (we-feeling) diantara mereka.”rasa kita” (we-feeling)
itu, terwujud dalam interaksi mereka dalam mengambil peranan (role-taking) secara
teraturdan rasa saling bergantung (defendency-feeling) satu sama lain (Sallatang, et.al,1999).
Dalam sistem budaya bahari terdiri dari unsur-unsur sistem seperti; pengetahuan,
gagasan, keyakinan/kepercayaan, nilai, dan norma/aturan dan pengenalan lingkungan
sosialnya berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Unsur-unsur sistem
tersebut menjadi regulator masyarakat bahari dan dilain pihak, masyarakat bahari mendukung
dan memberikan energy kepada budaya bahari. Keterhubungan antara informasi budaya
bahari dan penguatan energi dalam sistem sosial masyarakat, akan menyebabkan masyarakat
bahari di satu pihak membentuk kepribadian, watak atau jiwa bahari individu angggota-
anggotanya dan dilain pihak, individu anggota masyarakatbahari mendukung dan
memberikan energi kepada masyarakat bahari(Sallatang, 2000).
B. NELAYAN BUGIS
Berkaitan dengan itu, masyarakat nelayan suku bangsa Bugis dan Makassar,
Mattulada (1983) dalam tulisannya menggambarkan orang Bugis danMakassar yang tinggal
di daerah pantai dan pulau-pulau kecil, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian
hidup yang amat penting. Dalam hal ini,mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar
sampai jauh dilaut. OrangBugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di
Nusantara ini yangtelah mengembangkan suatu kebudayaan bahari sejak beberapa abad yang
lalu. Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi pelayaran
yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, ciptaan perahu layar yang terkenal seperti
tipe‘Pinisi’ dan ‘Lambo’. telah teruji kemampuannya mengarungi perairan Nusantara bahkan
sampai ke Srilangka dan Philipina untuk‘berdagang’.Kemampuan berlayar dengan teknologi
pelayaran yang dimiliki itu,telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran,
seperti“Ade alloppiloping Bicaranna PabbaluE” yang tertulis pada lontarak oleh Amanna
Gappa” dalam abad ke-17 (1667). Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas, bahwa
masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi
masyarakat nelayan yang tertata pada suatu system sosial kemasyarakatan dengan orientasi
kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun
dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam
kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang
pelayaran, penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan
hukum dibidang perdagangan.
Strategi adaptasi yang menjadi bagian budaya bahari mayarakat nelayan Bugis-
Makassar berkenaan dengan kehidupan mereka, dapat dilihat dalam konteks nilai-nilai,
ideologi dan teknologi. Hal yang berhubungan dengan masalah nilai dapat terlihat pada
penekanan pada sifat egalitarian, aturan bagi hasil, pengaturan hak-hak pemilikan, prinsip
yang mendasari adanya kerjasama dan adanya pengerahan tenaga kerja (Sallatang, 1982).
Strategi yang berhubungan dengan masalah ideologi dapat dilihat pada adanya
berbagai macam ritual, magis dan kepercayaan yang berhubungan dengan aktivitas kelautan
(Darwis, 1988).Sedangkan strategi nelayan yang berhubungandengan teknologi dapat
dijumpai pada adanya berbagai macam alat tangkap danmobilitas yang dilakukan (Morri,
1980; Johannes, 1981).
Salah satu bukti sejarah dari jiwa bahari nelayan suku Bugis danMakassar adalah
adanya mobilitas yang tinggi sebagai spirit untuk berusaha. Konteks itu terekam dalam
pengaruh kebudayaan Bugis-Makassardi pantai utara Australia.Disebutkan bahwa para
nelayan Bugis dan Makassarsecara teratur berlayar ke perairan tersebut (Pantai
Marege),setidaknya sejaktahun 1650 (masa Kerajaan Gowa di Makasar).Mereka berlayar
dalam bentukarmada perahu berjumlah 30 sampai 60 perahu, dan masing-masing
memuatsampai 30 orang untuk mencari ikan teripang.Para nelayan suku Bugis-Makassar
diyakini senang berpetualang mencari daerah-daerah barupenangkapan, para nelayan ikan
teripang itu membangun rumah-rumah sementara, menggali sumur dan menanam pohon-
pohon asam di sana. Banyak orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan teripang
tersebut,mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau,membuat
gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan 'meminjam' beberapakisah yang mereka
ceritakan.Beberapa orang Aborijin ikut berlayar pada saatmereka pulang ke Sulawesi, dan
kembali ke Australia pada musim monsunberikutnya, bahkan beberapa di antaranya ada yang
menetap di Sulawesi.Sampai saat ini, pengaruh orang Bugis dan Makasar dapat dilihat dalam
bahasadan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang suku Aborijin di Australia(Heeren,
1972).
Oleh karena itu, aspek nilai budaya bahari nelayan Bugis-Makassarmenjadi salah satu
aspek yang akan dilihat dalam konteks budaya lokal,sehubungan dengan tejadinya dualisme
yang mentrasisi dinamika perubahan sosial masyarakat nelayan melalui pengetahuan dan
teknologi tradisional di satu pihak dan pengetahuan dan teknologi modern pada pihak yang
lain, sehingga konteks nilai budaya lokal ini diduga akan mempunyai pengaruh tehadap
formasi sosial baru masyarakat nelayan yang terbentuk akibat modernisasi.Asumsi inilahir
dari pemikiran kalangan Neo-Marx tentang kapitalisasi dengan teoriartikulasinya bahwa,
kapitalisasi di negara berkembang diyakini tidak akan sama”modelnya” dengan kapitalisasi
yang telah terjadi di negara Eropa, hal inidisebabkan karena adanya resistensi tatanan lokal
yang ikut mewarnai prosestersebut, sehingga kapitalisme yang terbentuk akan memiliki
karakter dan ciritersendiri berdasarkan pengaruh kontekstual tingkat lokal (Taylor,
1979;Mellassoux dan Rey, 1984). Oleh karena itu struktur sosial masyarakat itu terdiridari
elemen-elemen yang tidak masif, sehingga kombinasi modes of productiondalam suatu social
formation itulah yang menentukan karakteristik masyarakat,yang berkembang dalam waktu
dan tempat.
Adalah salah satu nelayan bugis yaitu Pak Abdullah , seorang pria yang lahir dan besar di
sebuah pulau di kabupaten Selayar. Sulawesi Selatan.Masa kecilnya dihabiskan di pulau. Hal
itulah yang menempanya menjadi pelaut. Tiba dimasa mudanya ia bersama teman-teman
sekampungnya kemudian mengarungi lautan untuk menangkap teripang. Kala itu dan hingga
sekarang, teripang merupakan primadona dan komoditas yang mahal harganya. Saat ini harga
teripang sekitar Rp. 800.000,- setiap kilogramnya. Makanya tak heran bila nelayan rela
berjibaku hingga ke perbatasan Australia untuk memperolehnya. Meskipun resiko sangat
jelas, mulai dari terjangan ombak hingga tertangkap polisi Australia.
Cerita tentang nelayan Bugis yang sampai ke Australia menurut catatan yang ada
telah dimulai jauh sebelum abad ke 17 ketika James Cook dianggap menemukan benua
Australia. Pada masa itu mereka tak hanya memburu teripang tapi juga menangkap dan
menjual kulit burung cendrawasih, mencari mutiara dan lain sebagainya. Beberapa
peninggalan seperti rumah tradisional dan bahasa yang diserap oleh orang asli Australia yakni
Aborigin menunjukkan bahwa orang Bugis pernah berdiam di pantai utara Australia walau
untuk sementara saja yakni menunggu angin bertiup ke arah utara yang akan mengantar
mereka pulang ke kampung halamannya di daratan Sulawesi.
Namun kadangkala, mereka tak pulang ke Sulawesi tetapi malah menetap di pulau-
pulau. Ketika sedang berada di kepulauan Aru (gugusan pulau yang termasuk dalam wilayah
propinsi Maluku dan berbatasan langsung dengan Australia), penulis sempat mendapati dan
menyambangi perkampungan yang dihuni oleh orang bugis. Kebanyakan rumah yang ada
bermodel rumah panggung dan berada tepat di dekat pantai.
Tak begitu jelas apa sebab mereka menetap di pulau itu. Yang jelas, seorang bapak
yang kutemui disana berujar,” nenek moyang kami dulu itu memang pelaut dari Bugis yang
berkeliling sampai jauh hingga ke kepulauan Aru ini”.
Entah sudah berapa generasi mereka menetap disana. Bapak yang ku temui itu juga
sudah lupa. Saat ini mereka telah berbaur dengan masyarakat kepulauan Aru salah satunya
melalui ikatan perkawinan dengan penduduk asli Aru.
Saya meyakini kisah orang Bugis yang mengelana lautan merupakan cerita yang
mungkin tak begitu asing. Beberapa daerah di indonesia terutama di kawasan pantai termasuk
pelabuhan biasanya dihuni oleh orang Bugis. Apakah di kota anda juga ada? cobalah anda
ingat-ingat sebentar. Bagaimana ceritanya?
Gene Ammarell memaparkan bahwa sejak ratusan tahun silam, nelayan Bugis telah
memiliki pengetahuan bagaimana menaklukan ombak, serta membaca semua tanda-tanda
alam. Pengetahuan itu sedemikian kaya sebab telah ditempa oleh sejarah yang panjang dan
diasah melalui pertautan dengan berbagai bangsa-bangsa besar di dunia.
Pantas saja jika pelaut Bugis bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh, bisa
bergerak mengikuti apa yang dikatakan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan
menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya
dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.” Maka berkelanalah para pelaut
Bugis dan Makassar sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka
membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan
pengetahuan navigasi yang sangat kaya itu hingga bertahan selama beberapa generasi.
Penegtahuan lokal yang hidup di negeri ini sejak ratusan tahun lalu demikian kaya,
namun pengetahuan itu perlahan mulai tergerus karena ketakjuban kita pada pengetahuan ala
barat. Pengetahuan lokal mulai ditinggalkan dan perlahan tersaput angin modernisasi.
Mungkin kita terlalu takjub dengan kemewahan artifisial yang dipamerkan orang barat, dan
di saat bersamaan kita mengabaikan kekayaan tradisi kita sendiri. Hingga akhirnya, datang
kembali orang barat seperti Gene Ammarell atau Christian Pelras untuk menulis tentang
kearifan tradisi laut bangsa kita sendiri. Sementara kita sendiri, hanya menjadi pecundang
yang terkagum-kagum dengan semua pencapaian bangsa barat.(*)
Ketika sejumlah pulau di perbatasan “dikuasai” orang asing, kita dengan tiba-tiba saja
kebakaran jenggot. Padahal, sebagai bangsa bahari, sudah terlalu lama sektor kelautan kita
lupakan, bahkan kita tinggalkan di belakang, entah di mana.
Pulau Sipadan-Ligitan, dan kemudian Ambalat, dipersengketakan dengan Malaysia.
Kasus itu adalah ironi bagi bangsa bahari terbesar seperti Indonesia. Padahal, Indonesia selalu
kita ibaratkan sebagai zamrud khatulistiwa dengan untaian pulau- pulau yang menawan.
Kita telah melupakan semua itu. Bahkan etnik yang di masa lampau terkenal sebagai
penjelajah samudra, kini tak mudah ditemui. Semangat bahari ulung yang menjadi identitas
suku-suku itu, kini boleh dikata telah luntur. Orang- orang Sulawesi Selatan (Sulsel),
khususnya Bugis-Makassar, kini telah kehilangan spirit kebahariannya.
Abdul Rahman, seorang nelayan di Pelabuhan Paotere, Makassar, mengakui, masa kejayaan
orang Bugis-Makassar sebagai pelaut andal, kini telah terkikis. Sudah tidak banyak lagi orang
Bugis-Makassar yang melaut hingga jauh ke negeri seberang untuk berdagang. Dibandingkan
dengan jumlah penduduk pria yang hampir empat juta jiwa, yang menjadi nelayan hanya
sekitar 340.000 orang (8,5 persen).
“Dulu, orang Bugis-Makassar sangat terkenal di lautan. Mereka menguasai aktivitas
perdagangan laut dan dikenal sangat pemberani menjelajah lautan hingga ribuan mil,” kata
Rahman, Ketua Koperasi Insan Perikanan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere,
Makassar. Keberanian orang Bugis-Makassar mengarungi lautan sudah terbukti, meskipun
dengan perahu kecil jolloro yang hanya bisa memuat tiga orang. Dengan jolloro, etnis ini
berani berlayar sampai ke perairan Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Menapaki jejak sejarah, Phinisi Nusantara mampu berlayar menembus gelombang
besar di Pasifik hingga tiba di Vancouver, Kanada, 1986. Di Sulsel, memang rutin
berlangsung sandeq race (perahu asli orang Mandar —yang juga pelaut ulung dan kini masuk
Sulawesi Barat) dari Polewali hingga Makassar. Tetapi, ekspedisi keliling dunia sandeq—
yang didukung beberapa negara—tahun 2005 lalu gagal setelah tak mampu menembus
perairan Kepulauan Solomon.
Kegiatan seperti itu hanya sekadar pemanis kisah. yang sejatinya, kini kehidupan
orang Bugis-Makassar tidak lagi mengandalkan laut sebagai ladang penghidupan. Kini,
aktivitas di daratan lebih menjanjikan dan membawa harapan.
Terjun ke laut
Berkurangnya minat generasi sekarang untuk terjun ke laut diakui H Muslim Baso,
pengusaha pembuatan kapal kayu tradisional di Tanah Beru, Bulukumba. Menurut dia, anak-
anak muda kini kian enggan berkarya di laut. “Anak saya tak ada yang mau mengikuti jejak
saya di sektor kelautan. Mereka lebih senang bekerja di darat sebagai pegawai kantoran,”
katanya.
Muslim Baso pun mulai mengkhawatirkan usaha pembuatan kapal rakyat di Tanah
Beru, termasuk usaha yang dirintis orangtuanya berpuluh tahun silam. Dia tak tahu berapa
lama lagi usaha turun-temurun itu bisa hidup. “Masa kejayaan orang Bugis-Makassar di
lautan kini tinggal kenangan,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward
Poelinggomang, yang juga pakar sejarah maritim Makassar.
Sungguh tragis. Apalagi mengenang kisah-kisah petualangan bahari orang-orang
Bugis- Makassar berabad-abad silam yang mewarnai sejarah negeri ini. Kedatuan Luwu
(abad VIII- XX) boleh jadi imperium kuat sezaman dengan Sriwijaya (VII- XII), Majapahit
(XII-XVI). Sejak abad- abad silam, orang-orang dari Luwu telah berperahu mengarungi
lautan hingga ke Malaya. Ekspedisi Sawerigading yang bahkan sampai ke China dan India,
jadi legenda hidup.
Penjelajahan orang Bugis-Makassar bukan saja menguasai Sulawesi (Celebes),
Kalimantan (Borneo), Sumatera (Andalas), Timor, Maluku, Ternate, bahkan menancapkan
pengaruh di sejumlah kawasan seperti China, Malaysia, Filipina, Kamboja, Afrika, Pasifik,
dan Australia.
Di masa Kerajaan Gowa (sejak abad XIII), terutama di masa antara Sultan Alauddin
hingga cucunya, Sultan Hasanuddin, laut kawasan timur Nusantara selalu diramaikan orang-
orang Bugis-Makassar. Di abad XVII, Makassar menjadi bandar yang amat ramai. Makassar
menjadi titik tengah persilangan jalur perdagangan laut antara Malaka dan Maluku.
Armada (dagang) laut Gowa tak mampu diimbangi VOC Belanda. Ketika VOC mencoba
menerapkan politik hegemoni atas wilayah laut dengan meminta Gowa membantu menyerang
lawan-lawan VOC dalam jalur perdagangan rempah-rempah, Sultan Alauddin dengan tegas
mengatakan, “Tuhan menciptakan tanah dan laut. Tanah dibagikan-Nya untuk manusia, dan
laut adalah milik bersama.”
Di zaman Kolonial Belanda, kata Edward Poelinggomang, campur tangan pihak
kolonial sejak tahun 1906 menghambat sepak terjang saudagar Bugis-Makassar dalam
melakukan aktivitas perdagangan laut sekaligus memberlakukan pelabuhan yang tidak lagi
bebas bea. Itulah, tandasnya, yang menjadi pintu gerbang bagi keruntuhan kejayaan orang
Bugis- Makassar dalam perdagangan laut.
“Karakter orang Sulsel tidak mau banyak aturan. Ditambah semakin banyaknya kapal
api yang beroperasi dengan kapasitas muatan yang besar, perlahan namun pasti
meminggirkan orang Bugis-Makassar dari arena perdagangan laut,” paparnya.
Bertambah runyam, karena konsentrasi aktivitas pelabuhan kemudian dipindahkan ke
Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang terus berlanjut hingga kini.
Tradisi mengarungi lautan itu tak lepas dari kultur yang subur di lingkungan
masyarakat Sulsel yang dikenal sebagai pasompe. Secara harfiah bermakna merantau,
biasanya kategori pelaut pedagang.
Berdagang antarpulau
Menurut Prof Abu Hamid, antropolog Universitas Hasanuddin, pasompe umumnya saudagar
yang berdagang antarpulau. Biasanya pada musim kemarau (timo), mereka berlayar ke barat.
Sedangkan pada musim angin dan hujan (bare) mereka kembali ke kampungnya (ke arah
timur).
Menurut Abu Hamid, dalam Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, sejak kejatuhan Gowa di
abad XVII itu, kerajaan itu didesak untuk mengubah kegiatannya di daratan, berpaling dari
aktivitas utamanya selama ini di laut. Gowa dipaksa menjadi kerajaan agraris, melepaskan
kejayaan maritimnya. Sejak itulah, pasompe yang dilakukan penduduk mulai dilakukan
karena terdesak di kampungnya.
Bukan hanya penduduk, para tokoh juga hijrah dari kampung mereka karena ancaman VOC.
Karaeng Galesong, salah satu Panglima Gowa, misalnya, pergi ke Jawa. Dia malah menjadi
“penguasa” Laut Jawa dan Selat Makassar, dan bahkan berkoalisi dengan Trunojoyo
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Tak ubahnya di daratan, pasompe menjadi komunitas tersendiri. Perahu menjadi sebuah desa,
yang memiliki aturan dan tata tradisi. Nakhoda adalah kepala desa. Setiap pasompe harus
menghormati aturan-aturan yang diberlakukan. Mereka harus bekerja sama. Mereka pantang
untuk bertengkar di lautan.
Oleh karena itulah, peran seorang nakhoda (juragan) amat penting. Dia harus menjadi
pemimpin yang berwibawa dan bisa menaungi semua sawi-nya (anak buah atau penumpang).
Larangan berselisih ini juga berlaku untuk istri-istri pasompe yang ditinggal di kampung.
Pasompe tak hanya punya keberanian menghadang badai di tengah lautan, tetapi juga harus
dibekali ilmu pengetahuan menyangkut astronomi, sistem navigasi, dan ilmu kelautan. Ilmu
astronomi mutlak dikuasai. Misalnya memahami posisi bintang-bintang di langit yang bisa
memengaruhi perubahan alam, seperti angin badai, hujan, petir, dan sebagainya.
Para pasompe juga harus menguasai pengetahuan kelautan. Tanpa alat-alat modern, mereka
hanya mengandalkan pengetahuan tradisional, seperti penglihatan (pakkita), penciuman
(paremmau), pendengaran (parengkalinga), firasat (penedding), dan keyakinan (tentuang).
Dengan mengandalkan indera itu, pasompe bisa mengendus bahwa angin hitam di sebelah
barat yang tiba-tiba menghilang dan cerah, itu pertanda datangnya angin kencang dan amat
membahayakan.
“Orang Bugis-Makassar zaman dulu sepertinya tidak pernah takut dengan apa pun yang
terjadi di laut. Mungkin karena mereka dibekali dengan ilmu-ilmu alam untuk mengatasi
bahaya di laut,” kata Rahman.
Sekarang ini persoalannya apakah spirit dan kultur pasompe itu masih tersisa? Semangat
melaut orang Bugis-Makassar, ujar Rahman, kini lebih banyak diterjemahkan dengan bahasa
menjadi nelayan.
“Semangat orang Bugis-Makassar untuk menaklukkan laut ada di tangan generasi muda yang
kini memilih menjadi nelayan. Sebagian yang mampu menguasai rantai perdagangan ikan
berhasil menjadi nelayan sukses,” tambah Edward Poelinggomang.
Berpijak pada sejarah bangsa Indonesia yang pernah memiliki dua kerajaan besar yaitu
Sriwijaya dan Majapahit mengabarkan kepada kita bahwa mereka maju sebagai Negara
Maritim bukan sebagai Negara Agraris. Dilihat dari geografis, Indonesia memiliki lautan 2/3
dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Kemudian dilihat dari tahap fungsional yang
dikemukan oleh van Peursen, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan
maritimlah yang tepat dalam pengembangan kebudayaan Indonesia.
Di atas telah penulis kemukakan tentang ciri-ciri tahap fungsional. Penulis melihat selama ini
konsep kebudayaan Indonesia disetting dengan format kebudayaan agraris yang cendrung
terpaku pada alam dan kekuatan adikodrati, sangat feodalistik, dan membagi masyrakat pada
strata-strata kekuasaan-kekayaaan. Padahal budaya ini telah berhasil dimanfaatkan oleh
penjajahan yang pernah mengcengkramkan kakinya di negeri ini. Kita dijadikan sebagai
bangsa budak, bangsa kuli, bangsa buruh yang dapat pembaca pahami dari makalah pertama.
Oleh karena itu, penulis melihat kita perlu merubah paradigma kebudayaan kita kepada
konsep kebudayaan maritim. Terkait dengan tahap fungsional di atas tadi, dapat penulis
katakan banyak titik persamaan dengan kebudayaan maritim.
Maritim yang penulis kemukakan bukan dalam artian “laut” sebagai arti kata pasif, Namun
lebih dari itu. Penulis menyandarkannya pada kata modern. Yang penulis maksud dengan
kebudayaan maritim modern adalah kebudayaan dengan semangat keterbukaan, kemandirian,
dan keberanian dalam menghadapi zaman modern dengan menggunakan keluasan dan
kecerdasan pelaut.
Keterbukaan adalah suatu sikap mau membuka diri terhadap perubahan zaman dan nilai-nilai
lain yang masuk atau ia dapatkan. Seperti yang kita ketahui daerah maritim disinggahi oleh
berbagai ragam etnis dan bangsa yang membawa nilai-nilai/budaya yang berbeda dengannya.
Sering juga orang maritim mengarungi lautan untuk berlayar ke negeri lain, dan di sana
mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan bangsa setempat. Banyak hal baru yang
mereka jumpai. Keterbukaan masyarakat maritim adalah ketika ia mau menghargai
kebudayaan bangsa lain dan acap kali melakukan adaptasi inovatif terhadap budaya lain
untuk memperkuat budayanya. Dalam konteks zaman sekarang, dimana dunia dikatakan
sebagai global village, pertemuan budaya antar bangsa sangat mudah dan cepat maka sikap
ini sangat diperlukan dalam pergaulan sesama bangsa yang mendiami dunia.
Bersangkutan dengan hal ini, sikap kemandirian merupakan pagar pelindung bagi bangsa
maritim. Perdagangan merupakan pencarian utama masyarakat maritim. Kebudayaan maritim
modern yang hendak kita capai adalah mencoba untuk melepaskan kunkungan
konsumerisme, menjadi bangsa yang hanya sebagai pemakai dari barang-barang buatan orang
lain. Hal ini diupayakan dengan kolaborasi penguasaan pasar bersama pembuatan hasil
produksi di dalam negeri. Sifat agraris masyarakat Indonesia yang mayoritas petani dapat
diberdayakan dalam konteks ini. Pertanian dan industri dikembangkan secara modern, tidak
hanya menghasilkan barang mentah tapi produksi sampai barang jadi. Sehingga produk ini
didistribusikan oleh pedagang ke seantero dunia melalui kemampuannya bernegosiasi dan
merambah pelosok negri lain/kemampuan transportasi.
Keberanian menjadi ciri khas dari masyarakat maritim. Ketika berlayar banyak hambatan
alam yang ditemui. Gelombang badai, keterasingan di tengah laut, perompak/bajak laut, dan
ancaman binatang laut menjadi hal yang biasa. Padahal tantangan ini begitu berat
dibandingkan dengan mengelola pertanian. Sehingga masyarakat maritim secara psikologis
adalah bangsa yang berani. Mereka tidak mau takluk dengan alam, tapi berusaha bersahabat
dengan alam. Fenomena alam mereka pelajari dan dijadikan sebagai penunjuk dalam
berlayar. Terkait dengan hubungan dengan kekuatan adi kodrati, mereka sepenuhnya
mempercayai. Karena dalam fungsionalnya keberadaan Tuhan mereka rasakan dalam
pergembaraan mereka di laut. Sehingga religuslitas tidak hilang dalam diri mereka.
Berangkat dari analisis itu maka penulis yakin konsep kebudayaan maritim bisa menjadi
suatu solusi bagi strategi kebudayaan Indonesia dalam menghadapi zaman yang telah
memasuki fase fungsionalistik dewasa ini.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Tim pengajar WSBM.2010.Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM).Makassar:UPT MKU
UH
www.scribd.com/doc/21108279/
Budaya_bahari_sebagai_budaya_lokal_masyarakat_nelayan_bugis-makassar
Sosbud.kompasiana.com/2010/01/18/Bugis,Laut,dan_Kearifan Tradisi
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/12/daerah/2553823.htm