makna eksploitasi dibalik konservasi satwa langka...
TRANSCRIPT
MAKNA EKSPLOITASI DIBALIK KONSERVASI
SATWA LANGKA
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK
KARYA RAMA SURYA
“YANG KUAT YANG KALAH”
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Oleh :
ATIKA FAUZIYYAH
NIM: 1113051000101
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H / 2019 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Atika Fauziyyah
NIM : 111305100010
Fakultas : Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Jurusan : Jurnalistik
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Makna Eksploitasi
Dibalik Konservasi Satwa Langka Analisis Semiotika Foto Jurnalistik Karya
Rama Surya Yang Kuat Yang Kalah‖ : adalah benar merupakan karya saya
sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun
kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber
kutipannya dalam sktipsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dan karya orang lain.
Demikian Pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta 5 Juli 2019.
Atika Fauziyyah
i
ABSTRAK
Nama : Atika Fauziyyah
NIM : 1113051000101
Judul Skripsi : MAKNA EKSPLOITASI DIBALIK KONSERVASI SATWA
LANGKA Analisis Semiotika Foto Jurnalistik Karya Rama Surya“YANG
KUAT YANG KALAH”.
Fotografi hadir sebagai media rekam dua dimensi beku yang paling akurat
untuk merepresentasikan realita. Sedangkan Foto dokumenter telah menjadi
medium relevan untuk menyampaikan sebuah realita sosial. Di antaranya adalah
foto-foto di alam semesta ini seperti hutan. Fungsi hutan sendiri ialah sebagai
rumah untuk satwa liar dan kesimbangan ekosistem yang berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati seperti hewan dan pepohonan.
Rama Surya adalah seorang fotografer yang berlatar belakang pemuka
agama sekaligus fotografer dokumenter telah merekam kehidupan gajah-gajah di
Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Waykambas, Lampung. Berangkat dari tragedi
pembunuhan Gajah secara liar dan besar-besaran, Rama Surya membuat catatan
visual yang terekam dalam media buku foto yang diberi judul ―Yang Kuat Yang
Kalah‖. Dengan latar belakang di atas, studi ini berangkat dari pertanyaan:
―Bagaimana kehidupan gajah-gajah di PLG dalam menjalankan keseharian
melalui foto Rama Surya? Apa kandungan pesan denotasi dan konotasi yang ingin
Rama Surya sampaikan dalam foto-fotonya? Adakah kandungan pesan mitos
dalam foto-foto tersebut?‖
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah semiotika yang
dikembangkan oleh Roland Barthes. Metode analisis ini menekan pada
pemaknaan tanda-tanda yang timbul dari suatu karya (dalam hal ini karya
fotografi) dengan tiga tahap, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos yang ditafsirkan
atau dimaknai sendiri oleh peneliti yang tentu dengan latar belakang
kemampuannya, tanpa mencari suatu kebenaran yang mutlak.
Dari penelitian ini dapat dilihat secara pesan denotasi tentang kehidupan
para Gajah Sumatera, tergambarkan dari pada ‗keluh kesah‘ kumpulan gajah di
PLG Sumatera dan terlihat pula pengorbanan dan penderitaan yang harus mereka
hadapi di ruang publik. Jika menurut Barthes, pembuat dalam hal ini fotografer
telah tiada setelah karyanya jadi, maka jelas bahwa makna konotasi akan muncul
jika orang yang melihat foto melibatkan pikiran dan perasaannya ke dalam foto-
foto tersebut. Pesan konotasi yang terkandung dalam foto-foto Rama Surya jelas
sangat muram jika dilihat secara keseluruhan, salah satunya terlihat dari pemilihan
warna hitam putih dengan grain yang banyak, membuat foto terlihat begitu kasar.
Selanjutnya dalam tahap mitos foto-foto Rama Surya menunjukkan berbagai
mitos, salah satunya mitos lokal mengenai gambaran gajah dari pandangan
masyarakat Sumatera dan luar Sumatera terhadap punahnya gajah di Indonesia
Kata Kunci : Semiotika, Gajah Sumatera, Pembunuhan Liar, Fotografi, Pesan
Mitos
ii
KATA PENGATAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas
nikmat dan karuniaNya penelitian skripsi ini dapat berjalan dengan baik tanpa
halangan yang berarti. Shalawat dan serta salam juga tidak lupa di junjukan
kepada Nabi besar Muhamad SAW.
Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh peneliti saat
menyelesaikan skripsi ini. Peneliti tidak hanya mendapatkan itu tetapi juga
mendapatkan pelajaran bahwa tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras.
Selain itu, peneliti menjadi lebih terbuka dalam berpikir bahwa Islam adalah
agama yang begitu menjunjung tinggi perbedaan serta penuh cinta kepada seluruh
manusia.
Peneliti skripsi ini tentu memiliki beragam tantangan dalam pengerjannya.
Namun, dengan adanya dukungan dan semangat dari berbagai pihak, peneliti
dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Karena itu, dalam
kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D., Wakil Dekan 1 Bidang
Akademik , Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D., Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, Dr.Roudhonah, M.Ag, Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan Dr. Suhaimi, M.Si.
2. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si, Serketaris Jurusan
Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A yang telah meluangkan
waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal
perkulihan.
3. Dr. Tantan Hermansah, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing yang telah
begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada peneliti di tengah
iii
kesibukan yang padat, serta membimbing peneliti dengan sabar agar
skripsi ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti. Mohon maaf apabila ada
kesalahan kata atau sikap yang menyinggung selama perkulihan.
5. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah berbaik hati
dalam memberikan buku-buku yang dibutuhkan oleh peneliti.
6. Orangtua tercinta, Ayahnda Yasman dan Ibunda Nur Beta yang sangat
luar biasa memperjuangkan dan mendukung peneliti untuk bisa meraih
pendidikan setinggi-tingganya, memberikan kasih sayang do‘a yang tak
terhingga sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik
7. Kepada Rama Surya yang karya fotonya telah di teliti pada skripsi ini.
8. Teruntuk adik tersayang, Fitri Ramadhania yang selalu memberi
motivasi dan semangat setiap harinya.
9. Teman hidup peneliti, Indra Gunawan yang selalu memberikan
motivasi dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini dari awal
masuk kuliah hingga saat ini.
10. Sahabat DPR (dibawah Pohon Rindang) Denny Aprianto. Rheza Alfian,
Arief Petot, Agung Suryono, Fakhri, Fadillah, Alboja, Singgih, Fatra,
Dollah, yang telah berbagi ilmu, motivasi, inspirasi serta canda tawa
kepada peneliti.
11. Sahabat perjalanan Laras Sekar Seruni, Chyntia A, Eva Agustina, Devi
Andita, Anisatul Kamaliyah, Fatimah, Aldyansyah, Aminatus, Imam
Budiman dan Salman Alparidji dan ka Elisha (elz).
12. Guru, dan sahabat peneliti Pak Vadin yang telah membuka mata saya
lebar-lebar tentang fotografi dan pengalaman menjadi wartawan.
13. Teman-teman ―INFINTI‖ Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
Angkatan XXII yang sudah banyak membantu memecahkan masalah
dalam pengerjaan skripsi oleh peneliti.
iv
14. Kakak-kakak senior yang berteman baik dengan peneliti, Dwinda Nur
Ocean, Eva Fauziah, Lukman Hakim yang selalu membantu dan
memberikan semangat kepada peneliti.
15. Abang-abang senior wartawan Bang Oscar Matollah, Mas Rahmad
Gunawan (tole), Adi Cumi, Widodo S, Mas Wahyu, Gempur M Surya,
Renato Yoppy, Didik Setiawan, Dhani, Moses, dan Mba Okky yang
banyak memberi masukan mengenai fotografi.
16. Temen-Temen Kontrakan Wayame, Ambon yang selalu memberi
dorongan agar segera menyelesaikan skripsi ini Mas Budi, Mas Zul,
Mas Indra, dan Mas Firo.
17. Seluruh teman-teman Jurnalistik 2013 yang selalu menjadi tepat berbagi
dan belajar banyak hal di dalam kelas, semoga silaturahmi di antara
kami tidak terputus sampai di sini.
18. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang tidak dapat
disebutan stau persatu. Semoga amal dan kebaikan kalian selalu
diijabah oleh Allah SWT.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan dapat bermanfaat untuk para
pembaca, memberikan nilai kebaikan khususnya bagi peneliti maupun pembaca
sekalian dan semoga dapat menjadi kebaikan dalam bidang dakwah dan
komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Aamiin Ya Rabbal Alamiiin
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Jakarta, 04 April 2019
Atika Fauziyyah
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGATAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 7
1. Batasan Masalah...................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8
1. Tujuan Penelitian .................................................................... 8
2. Manfaat Penelitian .................................................................. 8
D. Metedologi Penelitian ................................................................... 9
1. Metode Penelitian.................................................................... 9
2. Jenis Data ................................................................................ 9
3. Subjek dan Objek Penelitian ................................................. 10
4. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 10
5. Teknik Analisis Data ............................................................. 11
6. Pedoman Penelitian ............................................................... 12
7. Tinjauan Pustaka ................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
vi
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjuan Umum Tentang Fotografi .............................................. 15
1. Pengertian Fotografi .............................................................. 15
2. Sejarah Fotografi ................................................................... 15
3. Aliran-aliran Fotografi .......................................................... 17
B. Fotografi Jurnalistik .................................................................... 21
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik ............................................ 21
2. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik ............................................ 25
3. Foto Tunggal ......................................................................... 27
4. Foto Seri ................................................................................ 27
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ........................................... 28
1. Tokoh-tokoh Semiotika ......................................................... 31
a. Semiotika Ferdinand de Saussure ..................................... 31
b. Semiotika Charles Sanders Peirce .................................... 32
c. Semiotika Roland Barthes ................................................. 33
D. Konsep Ekologi Alam ................................................................. 42
E. Jurnalisme Lingkungan ............................................................... 47
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Sumatera ........................................................ 51
1. Sejarah Sumatera ................................................................... 51
B. Sejarah Daerah Lampung ............................................................ 56
C. Sejarah Way Kambas .................................................................. 58
D. Gajah Sumatera ........................................................................... 62
E. Profil Shamow‘el Rama Surya .................................................... 68
F. Gambaran Umum Buku ― Yang Kuat Yang Kalah‖ ................... 69
vii
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto I ............................ 74
1. Tahap Denotasi...................................................................... 74
2. Tahap Konotasi ..................................................................... 75
3. Tahap Mitos ......................................................................... 78
B. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto II ........................... 79
1. Tahap Denotasi...................................................................... 80
2. Tahap Konotasi ..................................................................... 80
3. Tahap Mitos ......................................................................... 83
C. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto III ........................ 84
1. Tahap Denotasi..................................................................... 84
2. Tahap Konotasi ..................................................................... 85
3. Tahap Mitos .......................................................................... 88
D. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto IV ......................... 88
1. Tahap Denotasi...................................................................... 89
2. Tahap Konotasi ..................................................................... 89
3. Tahap Mitos .......................................................................... 93
E. Analisis Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto V............. 93
1. Tahap Denotasi...................................................................... 94
2. Tahap Konotasi ..................................................................... 94
3. Tahap Mitos .......................................................................... 98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 99
B. Saran .......................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 104
LAMPIRAN ....................................................................................................... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah tropis, oleh
sebab itu negara ini memiliki struktur tanah yang prima. Salah satu fungsi
hutan adalah rumah berbagai macam satwa liar yang merupakan bagian
dari sumber daya hayati.1
Tingginya tingkat sumber daya hayati di Indonesia ditunjukkan dengan
adanya 10% dari tanaman berbunga, 12% dari mamalia, 16% dari hewan
reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan
laut. Daerah perairan di Indonesia kaya akan sumber makanan bagi berbagai
jenis tanaman dan hewan laut, serta mengandung berbagai jenis sumber
mineral.2 Dengan keberadaan kekayaan sumber daya hayati yang cukup
tinggi tesebut maka Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk
melindungi seluruh sumber daya hayatinya, dan seharusnya menjadikan
Indonesia berada diposisi yang cukup tinggi dalam upaya pengelolaan
pemanfaatan potensi satwa dan tumbuhan demi kepentingan perekonomian
seluruh rakyat Indonesia. Tetapi kenyataannya, kekayaan flora dan fauna di
Indonesia malah semakin menurun drastis di setiap tahunnya akibat orang-
orang yang mencari keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kelestariannya,
1 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011) h.166. 2 https://www.dw.com/en/the-diversity-of-natural-resources/g-17195024 diakses pada
tanggal 09 April 2019.
2
dengan menyalah gunakan pemanfaatan berupa eksploitasi sumber daya
hayati tersebut.
Salah satu yang menjadi perhatian dunia Internasional terhadap kondisi
krisis di Indonesia adalah tingginya angka kepunahan satwa langka di
Indonesia. Diperkirakan terdapat 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17%
satwa di dunia terdapat di Indonesia.3 Menurut data yang terdapat di
International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2011,
jumlah jenis satwa liar Indonesia yang tercatat akan terancam punah adalah
184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis ampibi.
Dengan kategori kritis (critically endangered) 69 spesies, kategori punah
(endangered) 197 spesies, dan kategori rentan (vulnerable) 539 spesies.4
Apabila masih belum ada yang peduli atau menindaklanjuti permasalahan ini
dengan menyelamatkan satwa-satwa tersebut, maka besar kemungkinan
satwa-satwa tersebut akan punah dari jenis-jenisnya.
Sejarah kejahatan manusia terhadap hewan liar menciptkan gagasan
baru mengenai hak hewan (animals right). Hal ini dipengaruhi oleh
pandangan manusia yang melihat satwa liar sebagai objek buruan dan barang
buruan yang ekostik untuk dipelihara atau dijadikan keperluan pribadi.5
Munculnya kritikan dan ketidak pedulian masyarakat terhadap satwa liar,
didasari pada pandangan bawa satwa liar sangat tidak masuk akal. Kertikan
3 http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada tanggal
09 April 2019. 4 http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada tanggal
09 April 2019 5 Kean , H. “Animal Right Political and Social Change in Britain Since 1800”, (London:
Reaktion Books Ltd, 1998), hal 11.
3
tersebut diperkuat oleh argument Sunstein yang melihat bahwa manusia
menilai satwa liar sebagai mahluk yang tidak rasional. Faktor lainnya terlihat
pada konflik antara satwa dengan pemukiman manusia. Sebagai contoh,
perburuan dilakukan dengan tujuan membebaskan pemukiman manusia dari
predator dan hama yang dapat menganggu dan mengancam manusia.
Pandangan yang berbeda mengenai hubungan manusia dengan satwa liar,
terlihat pada kebutuhan manusia yang melihat satwa liar sebagai barang yang
memiliki nilai ekonomi.6
Menurut WWF satwa memiliki nilai ekonomi yang dimanfaatkan oleh
manusia. Kasus eksploitasi yang masuk kedalam wildlife crime telah
dijadikan bisnis menguntungkan bagi para pelaku.7 Misalnya keuntungan dari
satwa liar, mecapai angka ratusan juta dolar dari kategori gading Gajah dan
kulit Harimau. Harga gading Gajah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Diperkirakan $ 100 per kilogram di akhir tahun 1990, menjadi US $ 200 per
kilogram pada tahun 2004, dan $ 900 perkilogram pada tahun 2009.
Salah satu aturan mengenai perlindungan terhadap satwa berdasarkan
hukum nasional adalah Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).8 Pasal ini berisikan adanya perlindungan terhadap satwa berupa
jaminan pangan yang terpenuhi secara layak, dan bebas dari penyiksaan yang
dilakukan oleh manusia.
6 Boomgard, P. Frontiers of Fear. (New.Haven, ProQuest Ebook Central, 2001) hal. 107.
7 https://www.worldwildlife.org/threats/illegal-wildlife-trade diakses pada tanggal 09 Juni
2019. 8 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5181e7cb577f6/jerat-hukum-
penganiaya-binatang diakses pada tanggal 09 April 2019.
4
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dalam upaya
perlindungan terhadap satwa yang dimanfaatkan untuk kepentingan
perekonomian manusia pun tidak berdampak banyak terhadap kesejahteraan
satwa, karena pada kenyataannya, pemeliharaan terhadap satwa ini sering kali
tidak memperhatikan kesejahteraan hewan tersebut. Satwa memiliki hak asasi
yang terdiri atas 5 kebebasan, yaitu terbebas dari rasa haus dan lapar, rasa
tidak nyaman, dapat mengekspresikan tingkah laku alaminya, terbebas dari
stress dan ketakutan, serta dilukai dan kesakitan.9
Penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia setidaknya ada dua
hal yaitu Berkurang dan rusaknya habitat lalu Perdagangan satwa liar. Setelah
masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas,
perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar
Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan
dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di
pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa
dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di
Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula
harganya.10
Dengan memelihara saja sudah termasuk dalam penyiksaan terhadap
hewan, karena mereka harus tinggal di tempat yang bukan habitat aslinya.
Fenomena seperti ini diperparah dengan mempekerjakan satwa liar maupun
9 https://www.mongabay.co.id/tag/sirkus-lumba-lumba/ diakses pada tanggal 09 April
2019. 10
http://profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XKwq-OgzY2w diakses pada
tanggal 09 April 2019
5
tidak liar yang dipaksa agar melakukan atraksi-atraksi. Satwa yang sering
mendapatkan paksaan untuk melakukan aksi-aksi akrobatik di antaranya
gajah, singa, harimau, lumba-lumba, dan anjing laut. Salah satu hewan yang
menyita banyak perhatian dari masyarakat adalah satwa jenis Gajah. Spesies
yang sering digunakan dalam pertunjukkan merupakan spesies Elephas
maximus sumatranus atau yang kita kenal dengan Gajah Sumatra.
Selama 2012-2014 Indonesia telah kehilangan 90 individu gajah
sumatera (Elephas maximus sumatranus) karena mati di Aceh, Riau dan
Lampung.11
Sebagian besar kematian gajah diduga terkait perburuan
gading. WWF-Indonesia mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk
segera menuntaskan penyelidikan atas semua kasus kematian satwa ini hingga
ke meja hijau.
Pelatihan yang diberikan pada gajah sangat kejam, mereka dilatih
dengan sistem reward dan punishment. Seperti Gajah sirkus yang kakinya
ditarik hingga gajah bisa dalam posisi lentur berbaring di permukaan tanah.
Prosedur penyiksaan kejam dan mengerikan ini semata-mata untuk mencari
keuntungan dan hiburan. Beberapa alat pendukungnya yang kerap digunakan
untuk melatih gajah yakni cambuk atau ankus. Sedangkan pada bagian kepala
gajah digunakan alat berbentuk tongkat untuk menjinakkan gajah. Pada
bagian ujung tongkat terdapat dua mata pisai yang ditusukkan langsung ke
kulit bagian kepala gajah yang sensitive. Dalam proses latihian gajah
mengalami penyiksaan mental dan juga fisik dnegan menggunakan beberapa
11
https://www.mongabay.co.id/2014/09/09/wwf-indonesia-kehilangan-90-individu-gajah-
sumatera-dalam-3-tahun/ diakses pada tanggal 09 April 2019.
6
alat yang berbahaya. Sementara, di Thailand menerapkan cara yang jauh lebih
kejam terhadap gajah. Gajah di eksploitasi besar-besaran dengan cara
penyiksaan dipukul, kurang tidur bahkan dibiarkan kelaparan dan banyak
yang tewas karna stress.
Menurut Pak Suharto pengertian eksploitasi adalah suatu sikap
diskriminatif atau perlakuan yang dilakukan dengan sewenang-wenang.12
Sedangkan, Definisi eksploitasi hewan sendiri ialah tindakan memanfaatkan
hewan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan
dampaknya terhadap hewan tersebut. Misal pada karya fotografer Rama
Surya mengenai Gajah di Sumatra.
Foto-foto Rama Surya adalah sebuah portrait dari perjalanan gajah di
Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Way Kambas, Taman Nasional, Lampung. Ia
adalah Shamow‘el Rama Surya lelaki kelahiran Sumatera 1970 yang
menceritakan kehidupan hewan betubuh besar dengan masalah yang sedang
dihadapi dalam beberapa tahun belakangan.
Di era yang sudah terbuka saat ini peran media dalam memberitakan
mengenai isu eksploitasi hewan masih sangat minim. Masih banyak yang
belum sadar dengan efek dari eksploitasi satwa langka karna kurangnya
informasi yang diterima. Hal ini mengundang tanda tanya kemana media
selama ini sebagai penyedia informasi? Apa peran media dalam isu
lingkungan saat ini?
12
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-eksploitasi.html diakses pada
tanggal 08 April 2019.
7
Foto esai yang di gunakan oleh Rama Surya merupakan foto berseri
yang bertujuan untuk menerangkan cerita untuk memancing emosi dari yang
menilai. Foto esai disusun dari karya fotografi murni menjadi foto yang
memiliki tulisan atau catatan kecil sampai tulisan esai penuh yang disertai
beberapa atau banyak foto yang berhubungan dengan tulisan tersebut. Foto
esai selain harus mempunyai tulisan atau catatan kecil yang menjelaskan foto-
foto tersebut, juga harus menyampaikan suatu cerita yang kuat dan mampu
membawa emosi.13
Dari latar belakang masalah di atas, Penulis menguraikan ketertarikan
dan seberapa relevan serta pentingnya penelitian ini. Maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Makna Eksploitasi dibalik
Konservasi Satwa Langka: Studi Semiotika Buku Foto Karya Rama
Surya “YANG KUAT YANG KALAH”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada foto-foto esai Kisah Kesah Gajah
Sumatera oleh Shamow‘el Rama Surya yang telah dipublikasikan dalam
buku Yang Kuat Yang Kalah pada tahun 1996. Sebagai gambaran bahwa
buku ini terdiri dari Kisah Kesah Gajah Sumatra, Ulu Ketenong
Perkampungan Penambang Emas, Nelayan Kampung Pajagan, Sebuah
13
Sisca R kana, “Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun Ikat Kabupaten Rote-
Ndao Nusa Tenggara Timur” Institusi Seni Indonesia, Yogyakarta (2015), h 241
8
Esai Tentang Kerja Keras, Tambang Belerang Kawah Ijen, Rumah
Pemotongan Hewan BukitTinggi, Sebuah Cara Untuk Berkomunikasi.
Untuk membatasi semakin meluas dan melebar nya pembatasan,
penelitian ini berfokus pada pesan tanda atau simbol yang mengandung
makna Eksploitasi yang ada pada ―Keluh Kesah Gajah Sumatera‖.
Menggunakan analisis semiotika Roland Barthes dengan membatasi
makna denotasi, Konotasi dan Mitos. Peneliti hanya menganalisa jumlah
foto yang akan diteliti yaitu lima foto, dari 15 foto yang ada di dalam foto
esai Kisah Kesah Gajah Sumatera.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemikiran dan permasalahan di atas, peneliti ini
bertujuan untuk mengetahui persoalan isu eksploitasi dibalik konservasi
hewan-hewan langka dalam dunia jurnalistik Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan mendapat kontribusi dalam perkembangan
kajian komunikasi dakwah dalam Fotografi, serta memberikan
persepktif semiotika pada foto mengenai satwa langka di Indonesia.
9
b. Manfaat praktis
Semoga menjadi informasi bagi ilmuwan dan praktisi komunikasi
dan dakwah serupa di masa mendatang dalam melakukaan telaah
fotografi terutama diliat dari analisis semiotik.
D. Metedologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode ini digali melalui kualitatif jenis deskriptif yaitu bertujuan
membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-
fakta dan sifat populasi atau objek tertentu.14
Sedangkan metode yang
digunakan adalah observasi nonpartisipan yaitu metode dimana periset
mengamati langsung objek yang diteliti dan tidak memposisikan dirinya
sebafai anggota kelompok yang diteliti.15
2. Jenis Data
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh berupa dokumen cetak, yaitu berupa buku
foto Yang Kuat Yang Kalah karya Rama Surya.
b. Data Skunder
Yaitu berupa data yang diperoleh melalui buku, film, media internet,
dan terbitan lain yang ada relevansinya dengan masalah peneliti.
14
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public
Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran (Jakarta: Kencana, 2010),
h.69. 15
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public
Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. H.64
10
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Rama Surya sebagai Fotografer dalam
buku foto “Yang Kuat Yang Kalah”. Sedangkan Objeknya ialah Gajah
didalam buku “Yang Kuat Yang Kalah” karya Rama Surya.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Dokumen-dokumen foto yang diperoleh secara langsung dari
Shamow‘el Rama Surya, buku-buku, artikel yang didapat dari
internet, surat kabar, majalah, journal serta sumber bacaan lain yang
mendukung dalam penelitian ini. Dokumen adalah representasi dari
arsip. Yakni teknik pengumpulan data melalui kumpulan-kumpulan
dokumen-dokumen baik berupa otobiografi, catatan harian, buku,
foto, sebagai pelengkap dalam pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti.16
b. Wawancara
Pengumpulan informasi dan informan, penulis menggunakan teknik
wawancara, yaitu percakapan yang dilakukan dua pihak, dimana
peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber.17
Wawancara dilakukan langsung dengan fotografer pembuat karya
yaitu Rama Surya.
16
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2010) h.195 17
Lexy.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007) h.187
11
5. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
semiotika Roland Barthes. Menurut Roland Barthes peta bagaiman tanda
bekerja sebagai berikut:18
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut
merupakan unsur material.19
Melalui konsep Barthes, tanda konotatif
tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
bahwa kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.
Dalam buku yang disunting oleh Howard Davis dan Paul Walton yang
berjudul Bahasa, Citra, dan Media, dikatakan bahwa, meskipun
fotografi adalah ―medium visual‖, ia tidak murni visual.20
18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69. 19
Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem
Books,1999), h.51. 20
Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)
cet-1.h.245.
1. Signifier 2. Signified
(penanda) (Petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotativ signifier 5. Connotative signified
(penandaan konotatif) (petandaan konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
12
6. Pedoman Penelitian
Penulis dala penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulis
karya Ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi). Hamid Nasuhi dkk, yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti telah meninjau beberapa
skripsi yang telah menginspirasi peneliti dengan pembahasan yang cukup
relevan dan subjek yang berbeda, antara lain :
a. Sisca R kana, “Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun
Ikat Kabupaten Rote-Ndao Nusa Tenggara Timur di Institusi Seni
Indonesia Yogjakarta. (2015)
b. Skripsi berjudul ―Penegakan Hukum Terhadap Satwa Langka Yang
Dilindungi Tindak Pidana Memilihara Lumba-lumba Untuk
Pertunjukan Dengan Asas Kepastian Hukum‖. Yang ditulis oleh
Bethara Madia Smarasanta pada tahun 2018 di Universitas Pasundan
Jawa Barat.
c. Skripsi berjudul ‖Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan
Seputar Eksploitasi Hutan di Indonesia ‖. Yang ditulis oleh Aninda
Haswari pada tahun 2010 di Universitas Atma Jaya Jogjakarta.
Skripsi ini menggunakan penjelasan peran Jurnalisme Lingkungan
dalam eksploitasi hutan untuk memaparkan peran seorang jurnalisme
lingkungan.
13
d. Skripsi berjudul ―Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan
Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01
September – 13 November 2015‖. Yang ditulis oleh Rizki
Ramadhani Nasution pada tahun 2016 di Universitas Sumatra Utara,
Medan. Peneliti bertujuan menerapkan ketentuan Jurnalisme
Lingkungan di dalam pemberitan kabut asap di Harian Waspada.
Ketiga skripsi dan satu jurnal diatas sama-sama meneliti mengenai
Jurnalisme Lingkungan dan Pemahaman mengenai foto esai. Tetapi foto
yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang
berbeda.
E. Sistematika Penelitian
Agar skripsi ini lebih terarah dalam penyusunannya, peneliti membuat
sistematika penulisan yang sesuai dengan masing-masing Bab. Peneliti
membaginya menjadi lima Bab tersebut. Sisteatika penulisan tersebut adalah:
BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang
latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan
sistematika penulisan.
BAB II : Kerangka teoritis, dalam bab ini penulis menguraikan tentang
teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan permasalahan
seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi
jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang
14
semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto
Roland Barthes serta penjelasan mengenai eksploitasi hewan
langka dan jurnalisme lingkungan.
BAB III : Gambaran umum tentang sejarah Sumatera mulai dari geografi,
demografi dan budaya. Dilengkapi dengan sejarah Lampung dan
Sejarah Waykambas serta profil buku foto Yang Kuat Yang Kalah
di bab Kisah Kesah Gajah Sumatera karya Shamow‘el Rama
Surya dan profil Shamow‘el Rama Surya sebagai fotografer.
BAB IV : Analisis Semiotika terhadap foto Yang Kuat Yang Kalah di bab
Kisah Kesah Gajah Sumatera karya Shamow‘el Rama Surya,
dalam bab ini penulis akan membahas konsep semiotika Roland
Barthes mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos, pada foto-
foto yang terdapat dalam buku foto Yang Kuat Yang Kalah di bab
Kisah Kesah Gajah Sumetra karya Shamow‘el Rama Surya.
BAB V : Penutup, peneliti mengakhiri skripsi ini dengan memberikan
kesimpulan dari hasil peneliti serta saran untuk para pengiat
fotografi dan mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik
foto jurnalistik.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjuan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Foto-foto bisa lebih mudah diingat dibandingkan dengan gambar
bergerak atau animasi karena ini berupa irisan tipis waktu, bukan waktu
yang berjalan.1 Dalam ―The Photographic Message‖ (1961) disebutkan
bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran
transmisi, dan titik resepsi. Struktrur sebuah foto bukanlah sebuah
struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan
struktur lain, yakni teks tertulis judul, keterangan. Dengan demikian,
pesan keseluruhannya dibentuk oleh kooperasi dua struktur yang
berbeda.2 Foto dapat dipercaya sebagai testimoni yang independen, agen
diskursus sosial, dan kini mudah dibagikan dalam waktu sekejap ke
banyak orang dan secara singkat. Untuk menjelaskan bagaimana rupa
seseorang atau betapa indahnya gunung, sebuah foto mampu
melakukannya.
2. Sejarah Fotografi
Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut
camera obscura pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap
1 Susan Sontag, On Photography (London: Penguin, 1977)
2 Seno Gumirah, Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek (Yogajakarta: Galang Press,
2002) h.27.
16
bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya
menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera
yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah
mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari waktu ke
waktu semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses fotografi
karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar
permanen.3
Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan
film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh George
Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja sebagai
seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman kemudian
mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia membuka usaha
dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia memperkenalkan
film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai
populer di Amerika pada 1920-an.4
Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan fotografi
di awal era kemunculannya, hal ini terlihat dari pandangan secara teknis
kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang dapat duduk,
berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk menghasilkan
sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi trend di
Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya dalam
bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga abad ke-
3 Ray Bachtiar, Chip Foto Video Ritual Fotografi (Jakarta: Kompas Gramedia,2010) h.8.
4 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos Wacana
Ilmu, 1999), h.100.
17
19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad ke-20 lah
fotografi cepat yang lebih kecil, mudah dibawa dan mudah ditemukan.5
Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak pertama di dunia
yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis, Joseph Nicephore
Niepce pada 1826.
Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul
IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan
Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam
perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam
peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
3. Aliran-aliran Fotografi
Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar Fotografi
dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke dalam tiga
belas bagian, diantaranya:6
a. Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah
foto yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya, sebuah
karya foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu
terdapat nilai sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga
harus mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa,
dan bagaimana.
5 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],
2014.), h.17 6 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka Baru
Press), h.80.
18
b. Potrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan
penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir
tanpa latar belakang, tujuan dari aliran foto ini adalah untuk atau dari
subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi perasaan
manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek, dengan
menghadap ke depan kamera.
c. Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebuah
produk atau iklan, peran komputer untuk mengolah foto cukup
penting dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini
dibutuhkan banyak elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan
fotografer yang berkecimpung di dunia commercial advertising ini
tidak hanya mahir dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam
olah digital di dalam komputer.
d. Wedding Photography adalah aliran yang dilakukan oleh fotografer
yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang penting
serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam
aktifitas pernikahan, tantangan dalam aliran ini yaitu mampu
mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi
karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.
e. Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial
advertising photography yaitu untuk mempromosikan produk atau
perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam
19
aliran ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang
fasion seperti pakaian dan barang-barang perlengkapan yang
dikenakan oleh model. Fasion photography menggunakan model
sebagai pemanis dan penunjang produk tersebut.
f. Food photography adalah aliran fotografi yang dibutuhkan untuk
iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Dalam
pengambilan foto food photography dibutuhkan alat dan
keterampilan yang lebih karena tujuan dari aliran ini membuat siapa
saja yang melihat tertarik dan ingin mencoba hidangan tersebut,
selain berfungsi sebagai promosi sebuah hidangan, foto aliran ini
juga sering dijumpai di dalam menu-menu untuk memudahkan
konsumen dalam memilih hidangan.
g. Landscape photography adalah aliran fotografi yang menunjukan
keindahan-keindahan alam, aliran ini dikategorikan menjadi empat
bagian, yaitu foto landscape yang menampilkan pemandangan alam
di daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,
skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir
cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.
Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat
foto itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati
keindahan alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.
h. Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang
mampu bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam
20
pengambilan serta mengolah fotonya, dalam pengolahannya foto
diolah menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak
seperti layaknya video.
i. Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto
aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam, aliran
ini tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-
binatang yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi
lensa yang sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan
fotografer mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk
alasan keamanan.
j. Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara
diam-diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi
pengambilan gambar bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan.
Foto aliran ini biasanya berisi mengenai kehidupan di jalanan dan
sekitarnya, untuk mendapatkan hasil yang baik seorang fotografer
dalam aliran ini harus mampu mengambil gambar tanpa diketahui
oleh objek, agar gambar dihasilkan natural.
k. Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut.
Aliran ini memiliki dua golongan yaitu macro photography yang
menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan,
siput, rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle
photography yang menampilkan keindahan pemandangan bawah
laut secara luas. Fotografi aliran ini terbilang cukup menguras biaya
21
jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal, karena untuk
kameranya harus menggunakan pelapis anti air, serta perangkat
lainnya seperti lampu sebagai penerangan di bawah laut yang juga
harus memakai lampu pelindung anti air, dimana kedua aksesoris
tersebut tergolong cukup mahal.
l. Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua
kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan
pengaturan di dalam kamera yang memiliki sensitif pada cahaya
inframerah. Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya
karena yang tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau
hitam putih.
m. Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan
jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari
sebuah objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa
disebut dengan lensa makro.
B. Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik
Awal mula fotografi masuk dalam halaman surat kabar adalah sejak
Mathew Brady membuat gambar realis yang melukiskan suasana perang,
gambar tersebut ternyata menarik perhatian para pembaca suratkabar
sekaligus membangun kesan tentang suatu peristiwa, Ini adalah awalan
penggunaan gambar dalam jurnalistik dan berawal dari pemakaian
22
lukisan dalam media. Kemudian pada 16 April 1877, The Daily Grplic
adalah suratkabar pertama yang memuat gambar (foto) sebagai berita
foto tentang sebuah peristiwa kebakaran. 7
Pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat,
Majalah yang menyajikan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada
tulisan dalam penyajian beritanya.Wilson Hicks merupakan seorang
pelopor fotojurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut
membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita dalam
pemberitaannya, yang berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto
jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena
kehadirannya telah menjadi elemen yang penting diberita itu sendiri,
bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.
Setelah foto memenuhi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran
foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu
Komunikasi. Sifatnya yang statis dan mampu membekukan suatu
peristiwa, bahkan yang terjadi dalam durasi hanya sekejap membuat foto
dapat dilihat berulang-ulang, beda halnya dengan seperti video yang
dinamis dan hanya sepintas-lalu, sehingga sebuah foto dapat
menampilkan gambar dengan lebih detail dari sebuah peristiwa yang
ditangkap oleh kamera. Oleh karenanya foto dapat dengan mudah
dipahami dari berbagai kalangan dan menyebabkan efek psikologis
secara langsung terhadap pembaca surat kabar.
7 Artikel ―Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey‖, dari
http://www.berilmu.com/photography1.php.Artikel diakses pada 02 Januari 2018
23
Ada sebuah kalimat yang selalu berada di ruang lingkup jurnalisme
yang mengatakan "bad news is a good news". Tak pelak pemberitaan pun
terjebak dalam peristiwa- peristiwa yang merupakan bencana, baik
adalah bencana alam yang memakan banyak korban seperti: gempa bumi
dan tsunami di Aceh Darusallam pada akhir tahun 2004 yang memakan
korban banyak dan kerusakaan hampir seluruh wilayah Aceh atau Lonsor
di Kawasan Puncak Pass, Bogor pada awal tahun 2018 yang memakan
korban banyak.
Foto jurnalistik adalah bagian dari komunikasi massa, adapun yang
membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai foto
jurnalistik, yaitu foto jurnalistik di dalamnya mengandung unsur-unsur
berita, serta mencantumkan keterangan foto yang mengandung informasi
5W+1H, selain itu juga dapat dilihat dari karakter fotonya yang berbeda
dengan foto lainnya yang mempunyai makna berbeda-beda.
Menurut Frank P.Hoy menjelaskan delapan hal yang termasuk dalam
karakteristik sebuah foto jurnalistik, yaitu :8
a. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang
dilakukan akan mengekspresikan pandangan jurnalis foto terhadap
suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupkan
ekspresi pribadi.
8 Rita Gani, Ratri Rizki Kusualestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013), h.48-49.
24
b. Medium foto jurnalistik adalah suatu adalah media cetak koran atau
majalah, dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor
berita (wire services).
c. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.
d. Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.
e. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek,
sekaligus pembaca foto jurnalistik.
f. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass
audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan
harus segera diterima orang yang beraneka ragam.
g. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.
h. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak
penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen
kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and
freedom of press).
Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama
seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa
(who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya
dalam bentuk visual, foto berita mempunyai kelebihan dalam
menyampaikan unsur (how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung.
Meskipun dalam suatu peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam
25
tulisan (berita tulis) tetapi dalam sebuah foto, unsur how lebih dapat
menguraikan secara lebih baik lagi.9
Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi
menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.10
Foto berita
adalah foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca.
Tema foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin
diketahui perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti
berita politik, kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto
feature adalah foto yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja.
Tema berita yang terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih
kepada masalah ringan yang menghibur dan tidak membutuhkan
pemikiran yang mendalam bagi pembacanya serta mudah dicerna.11
2. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik
World Press Photo, Organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi
acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara
lain:12
9 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki (Jakarta, Elex Media Komputindo,2014) h. 23.
10 Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik
adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa
berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula
foto seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto
tetapi masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu
yang cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa
ke dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu
foto tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo
story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa ( Jakarta, PT Bumi Aksara,2008) h.6. 11
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008) h.5. 12
Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008).h.8-9
26
a. Spot Photo
Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya
foto kebakaran, gempa bumi, tsunami, banjir. Foto jenis ini harus
segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.
b. General News Photo
Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal,
rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu: politik,
ekonomi dan humor.
c. Daily Life Photo
Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
d. People in The News Photo
Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita,
yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi
berita itu seperti Presiden yang sedang blusukan ke daerah terpencil.
e. Potrait
Adalah foto yang menampilakn wajah seseorang secara close up
dan ―mejeng‖. Ditampilkan Karena adanya kekhasan pada wajah
yang dimiliki atau kekhasan lainnya seperti wajah seorang tahanan
65 yang masih hidup hingga saat ini.
f. Sport Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.
27
g. Science and Technology Photo
Adalah foto yang diabil dari peristiwa-peristiwa yang ada
kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h. Art and Culture Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya seperti
teater dan konser musik.
i. Social and Environent
Adalah sebuah foto tentang kehidupan social masyaraat serta
lingkungan hidupnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajian, foto berita
terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri
(storie photo).
3. Foto Tunggal
Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas
secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh
kehadiran foto lainnya. Foto tunggal mempunyai peran sangat kuat di
dalam pemberitaan yang biasanya menjadi cover depan di Koran untuk
foto-foto yang lugas seperti foto tunggal.
4. Foto Seri
Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita.
Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh
dan lengkap tentang suatu peristiwa. Dalam foto seri terdapat tiga bagian
foto, yaitu : pembukaan, isi dan penutup.
28
a. Foto Pembukaan, berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki suatu
cerita. Biasanya menampilkan foto yang unik dan menarik.
b. foto isi, adalah foto yang mengandung konten utama dari peristiwa
yang hendak diceitakan.
c. foto penutup, yaitu foto yang menutup cerita tersebut. Bisa berupa
konklusi, klimaks dari peristiwa tersebut.
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata semeion yang
berarti ―tanda‖. Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ―Ilmu tanda‖ dan
segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya
dengan kata lain, pengerimannya dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya.
Pengamatan mengenai semiotika sudah sejak tahun 330-264 SM, yaitu
melalui kajian Zeno. Ia berasal dari Kition di Pulau Cyprus. Ia melakukan
penelitian tentang tanda-tanda dengan melihat tangis dan tertawa. Dari
pengamatannya didapatkan bahwa tangis sesorang yang terlihat dalam bentuk
penampilannya sebagai penandanya.
Hal itu disebabkan ekspresi tangis dapat diamati melalui gerak,
penampilan, suara dan nada tangisnya. Makna atau maksud dan tujuan
menangis merupakan petandanya. Bentuk tangis dan tawa secara semiotika
29
mengandung dwimakna. Sesorang yang menangis itu belum tentu bersedih,
melainkan bisa saja menangis karena mendaptkan kegebiraan dengan luapan
emosi atau perasaannya yang meledak-ledak tak tertahankan. Semiotika
adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. 13
Tanda yang
merupakan perangkat yang di pakai dalam mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusida dan bersama-sama manusia.
Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi terdapat
pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang
studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.
Sesungguhnya kedua istilah semiotika dan semiologi mengandung pengertian
yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut
biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung
dengan Pierce menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka yang
tergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada
kecendrungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi
sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Baik
semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara keduannya, adalah bahwa
istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika
cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Dengan kata lain,
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.15.
30
penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu Saussure, sedangkan
semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.14
Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda
pada dasarnya merupakan suatu studi atas kode-kode yakini sistem apapun
yang memungkinkan kita memandang sesuatu yang memiliki keberadaan
yang unik dan berbeda, walaupun tidak harus dalam bentuk fisik sebagai
tanda atau sesuatu yang bermakna.15
Pada dasarnya, analisis semiotika memang merupakan sebuh iktiar untuk
merasakan sesuatu yang aneh atau mengganjal, sesuatu yang perlu
dipertanyakan lebih lanjut ketika membaca teks atau narasi/wacana tertentu.
Berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik
sebuah teks.16
Maka banyak orang menyimpulkan semiotika adalah upaya
menemukan makna ‗berita di balik berita‘.
Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini penulis akan
menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain
memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang
semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.
Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de
Saussure; (2) Charles Sanders Pierce; (3) Roland Barthes.
14
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.11-12. 15
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media,
2013) h.4. 16
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media,
2013) h.8
31
1. Tokoh-tokoh Semiotika
a. Semiotika Ferdinand de Saussure
Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857 dala sebuah
keluara yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan ereka
dalam bidang ilmu. Saussure hidup sezaman dengan Sigmund Freud
dan Emile Durkhei meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah
berhubungan dengan mereka. Selain sebagai sesorang linguistik, ia
juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta
yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu
sosial dan kemanusiaan.17
Menurut Stanley J. Grenz, kehebatan Saussure adalah ia berhasil
menerang pemahaman ―historis‖ terhadap bahasa yang
dikembangkan pada abad ke-19. Saussure menggunakan pendekatan
anti-historis yang melihat bahasa sebagai siste yang untuh dan
harmonis secara internal (langue). Ia mengusulkan teori bahasa yang
disebut ―Strukturalisme‖ untuk menggatikan pendekatan ―historis‖
dari para pendahulunya.18
Dalam desfinisi Saussure, semiotika merupakan sabuah ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta
menjadi bagian dari disiplin psikologi social. Tujuannya adalah
17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.45. 18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.44.
32
untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta
kaidah-kaidah yang mengaturnya.19
Menurutnya bahasa merupakan suatu tanda dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified
(petanda). Bahasa itu merupakan suatu tanda sistem tanda (sign).
Suara-suara, baik suara dari manusia, binatang, atau bunyi-bunyian,
hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa
bilamana suaru atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan,
atau menyampaikan ide-ide, dan pengertian-pengertian tertentu.20
Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide
atau petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan
yang bermakna. Dengak kata lain, penanda adalah aspek material
dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis
atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran,
atau konsep. Dengan kata lain, petanda adalah aspek mental dari
bahasa.21
b. Semiotika Charles Sanders Peirce
Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839.
Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut ia menerima
gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selaa lebih
dari tiga puluh tahun (1859-1860, 1861-1891) Peirce banyak
melaksanakan tugas astronomi dan geodesi untuk Survei Pantai
19
Alex Sobur, Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.12. 20
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.46. 21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.46.
33
Amerika Serikat (United States Coast Survey). Dari tahun 1879
sampai tahun 1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang
logika di Universitas Johns Hopkins. 22
Peirce lebih banyak memilih menulis permasalahan yang tidak
saling berkaitan dikarnakan bidang yang tekuninya sangat banyak.
Mulai dari ilmu pasti dan alam, peirce banyak menyumbangkan ide-
ide kedalam semiotika yang terkenal karena teori tandanya.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),
index (indeks), dan symbol (symbol). Ikon adalah tanda yang
hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk
alaiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan
objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal pada kenyataan. Tanda
dapat pula mengacu pada denotatum melalui konvensi. Tanda sepert
itu adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandannya. Hubungan di antaranya bersifat
arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian)
masyarakat.23
c. Semiotika Roland Barthes
Barthes lahir tahin 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan
di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai
22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h. 40. 23
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h. 42.
34
Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya, seorang pewira
angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara
sebelum usia Barthes genap mencapai satu tahun. Sepeninggalan
ayahnya, ia kemudia diasuh oleh ibu, kakek dan neneknya. Di usia
Sembilan tahun ia pindah ke Paris bersama ibunya yang bergaji kecil
sebagai penjilid buku. Menginjak dewasa, Barthes menderita
penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah masa pemulihannya,
Barhes menghabiskan waktu untuk membaca banyak hal, dan
menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus
berkembang hingga nanya menjadi popular bersaa karya-karyanya.24
Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang
kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Roland barthes
menjabarkan bahwa foto itu memuat tanda yang berupa pesan
tertunjukkan/denotatif dan pesan terartikan/konotatif.
Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya
berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi).
Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of
signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang
juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.25
24
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.64. 25
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69.
35
Tabel 2.1
Peta Tanda Roland Barthes26
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).
Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material.27
Melalui
konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung bahwa kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaanya. Dalam buku yang disunting
oleh Howard Davis dan Paul Walton yang berjudul Bahasa, Citra,
dan Media, dikatakan bahwa, meskipun fotografi adalah ―medium
visual‖, ia tidak murni visual.28
Menurut Seno Gumirah Ajidarma dalam “Kisah Mata”, foto adalah
suatu pesan yang dibentuk oleh suber emisi, saluran transmisi dn
titik resepsi. “Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang
terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur
lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan ,artikel, yang selalu
26
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2003), h.69. 27
Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem
Books,1999), h.51. 28
Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)
cet-1.h.245.
1. Signifier 2. Signified
(penanda) (Petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotativ signifier 5. Connotative signified
(penandaan konotatif) (petandaan konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
36
mengiringi foto. Dengan demikian keseluruhannya dibentuk oleh ko-
operasi dua struktur yang berbeda‖.29
Selanjutnya di mata Barthes sendiri, suatu karya atau teks
merupakan sebentuk kontruksi belaka. Bila hendak menemukan
maknanya, maka yang dilakukan adalah rekontruksi dari bahan-
bahan yang tersedia, yang tak lain adalah karya atau teks itu
sendiri.30
Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dilihat bahwasannya
karya fotografi tidak bisa dilihat sebatas sebuah kenampakan secara
objektif, melainkan fotografi memiliki makna yang lebih dari
sekedar yang dipaparkan. Sebab menilik dari proses terciptanya foto
yang melibatkan sepenuhnya fotografer, maka tidak dapat dipungkiri
akan adanya keterlibatan unsur subjektifitas di dalamnya. Sehinga,
apabila foto itu merupakan media untuk menyampaikan gagasan
foto, maka gagasan dan upaya untuk bercerita itu sendiri adalah
bentuk subjektivitas.
Barthes secara khusus membahas semiotika dalam fotografi. Inti
dari pemikirannya adalah Barthes membagi signifikasi dalam karya
fotografi pada dua tingkatan. Tingkatan pertama (First order
signification) adalah tahap denotasi, yatu relasi antara penanda dan
petanda yang berbentuk tanda. Selanjutnya signifikasi tingkat kedua
29
Ajidarma, Seno Gumirah, Kisah Mata, Fotografi, (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.27. 30
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001), h.93.
37
(second order signification) adalah konotasi, yakni pemaknaan lain
yang muncul dari tanda hasil signifikasi pada tingkatan pertama.31
1. Teori Roland Barthes
Denotasi adalah apa yang disebut Barthes sebagai signifikasi
tingkatan pertama. ini adalah tingkatan paling jelas Dimana tanda
berkomunikasi dan mengacu pada makna akal sehat dari tanda.
Makna denotatif dapat dinyatakan dengan menggambarkan tanda
sesederhana mungkin.
Di hadapan sebuah foto, suatu denotasi akan memberikan
kepunahan analogis sehingga sebuah deskripsi secara harafiah tak
mungkin. Sebuah penggembaran tentang foto itu haruslah
menggambungkan pesan tertunjukkan itu ke suatu saluran atau pesan
tataran kedua yang diambil dari kode, yang terhubungkan kepada
suatu analogi fotografis, artinya sebuah konotasi: menggambarkan
berarti mengubah struktur, memahami sesuatu yang berbda dari apa
yang ditunjukkan. Dengan kata lain, status murni denotative, atau
objektiitasnnya, berpeluang menjadi mistis. Dalam kenyataan actual,
besar kemungkinan-ini yang harus dibuktikan-bahwa pesan
fotografis pun terkonotasi.32
31
ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.160.
32
Seno Gumirah, Kisah Mata (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.27
38
Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung
dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai
berikut, diantaranya:33
a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih
objek yang sedang diambil.
c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap
dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan
point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.
d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan
gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman
foto), bluring (keburaman), Panning (efek kecepatan), moving
(efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang
pengambilan objek), dan sebagainya.
Tabel 2.2
Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto34
TANDA MAKNA KONOTASI
Photogenia Teknis Fotografi
Pemilihan
Lensa
Normal Normalitas keseharian
Lebar Dramatis
Tele Tidak personal, voyeuritis
33
Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7. 34
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 43.
39
Shot size Close up Intimate, dekat
Medium up Hubungan personal dengan
subjek
Full shot Hubungan tidak personal
Long shot Menghubungkan subjek dengan
konteks, tidak personal
Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak
berdaya didominasi, dikuasai,
kurang otoritas
Eye level Khalayak tampil sejajar dengan
subjek, memberi kesan sejajar,
kesamaan, sederajat
Low angle Menambah kesan subjek
berkuasa, mendominasi, dan
memperlihatkan otoritas
Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah
Low key Suram, muram
Datar Keseharian, realistis
Penempatan
subjek/objek
pada bidang
foto
Atas Memberi kesan subjek berkuasa
Tengah Subjek penting
Bawah Subjek tidak penting
Pinggir Subjek tidak penting
e. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi
gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna
konotasi.
f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan
dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Adapun
fungsi caption itu sendiri selain untuk membatasi pokok pikiran
pesan yang ingin disampaikan, juga berfungsi supaya maksud
dari pesan itu cepat tersampaikan.
40
Konotasi beroperasi pada urutan penandaan tingkat kedua,
konotasi mengacu pada emosi, nilai-nilai, dan asosiasi yang
menimbulkan tanda dalam pembaca, pemirsa, atau pendengar.
Makna konotatif tanda adapat diekspresikan dengan cepat mencatat
apa yang mengingatkan anda atau membuat anda merasa atau
membayangkan,35
Tekanan teori tanda Barhes adalah konotasi dan mitos. Mitos
berada pada tataran signifikan tahap kedua, di dalam tataran mitos,
tanda-tanda pada signifikasi tahapan pertama menjadi penanda-
penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.36
Secara
sederhana dapat dipahami bahwa mitos terjadi ketika konotasi
menjadi tetap dan terus-menerus, selanjutnya ketika mitos menjadi
mantap, maka ia menjadi ideologi.37
Terdapat tiga tahapan dalam membaca foto yang diajukan oleh
Barthes yang tertuang dalam The Photographic Message, yaitu
perseptif, kognitif dan etis ideologis.38
a. Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori
verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif. Konotasi
perspektif tidak lain adalah imajinasi sigmantik yang pada
dasarnya bersifat perspektif.
35
Michael O‘Shaugnessy dan Jane Stadler, Media and Society: An Introduction third
edition,(USA: Oxford University Press, 2005), h. 115-116 36
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogjakarta: Jalasutra,2011), h.64 37
Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta : Komunitas Bambu,
2014) , h.17 38
ST Sunardi, Semiotika Negativa (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.187
41
b. Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya
menghubungkan unsur-unsur ―historis‖ dari analogon (denotasi)
ke dalam imajinasi paradigmatic. Dengan demikian pengetahuan
kultural sangat menentukan.
c. Tahap Etis-Ideologis adalah tahapan pengumpulan berbagai
penanda yang siap ―dikalimatkan‖ sehingga motifnya dapat
ditentukan.
Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas
membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes
menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos
dan signified dengan sebutan ideology. Ini dibangun denan imajinasi
simbolik. Ketiga tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan
ideology atau oralitas yang berkaitan. Ini murni semiotika-
positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui
prosedur yan dapat diamati dan diukur.39
Menurut Barthes, terdapat tiga aspek dalam fotografi: Operator,
yakni sang fotografer; Pemandangan (spectator), yakni yang melihat
fotonya; dan Spektrum, yakni apa pun yang dipotret. Dari tiga aspek
ini, terlihat persilangan antara Operator dan Pemandangan ; bahwa
sementara spectrum di hadapan fotografer hanya terhubungkan
dalam pembingakian (framed) kamera maksa Spektru yang
disaksikan pemandangan terendahkan dalam pencahayaan kimiawi.
39
ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogjakarta: Kanal, 2002), h.188.
42
Dalam konstelasi semacam ini, Barthes memposisikan diri sebagai
pemandang, yang mengajukan sebuah terori untuk mengamati foto.40
Dalam sebuah foto terdapat stadium dan punctum. Adapun
stadium adalah suatu kesan keseluruhan secara umum, yang akan
mendorong seorang Pemandangan segera memutuskan sebuah foto
bersifat politis atau historis, indh dan tak indah, yang sekaligus juga
mengakibatkan rekasi suka atau tidak suka. Semua itu terletak dala
aspek stadium sebuah foto-aspek yang membungkus sebuah foto
secara menyeluruh.
Sebaliknya adalah punctum, yakni fakta terinci dalam sebuah
foto yang menarik dan menuntut perhatian Pemandang, ketika
memandangnya secara kritis, tanpa mempedulikan studium, selain
memang karena punctum ini akan menyeruak stadium. Dalam
punctum itulah terjelaskan mengapa sesorang terus-menerus
memandang atau mengingat sebuah foto. Relasi stadium dan
punctum ini menurut Barthes sendiri memang tidak jelas, namun bisa
dihadirkan dalam proses penafsiran sebuah foto.
D. Konsep Ekologi Alam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ekologi adalah
ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam
40
Seno Gumirah, Kisah Mata, (Yogjakarta: Galang Press, 2002), h.28.
43
sekitarnya (lingkungannya).41
Dewasa ini telah mulai disadari bahwa masalah
lingkungan hidup bukan hanya masalah lingkungan fisik bukan hanya
menimbulkan kecemasan bagi nasib hidup manusia, tetapi menimbulkan
keprihatinan betapa perilaku manusia telah melampaui khittah-nya42
sebagai
manusia yang seharusnya mengelola alam ini dengan bijak.
Masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup telah berkembang
menjadi krisis lingkungan global yang berdampak serius bagi keberlanjutan
kehidupan manusia dan pembangunan. Sebagai reaksi terhadap krisis ini,
sejak memasuki abad ke-20 telah tumbuh dan berkembang pergerakan
lingkungan yang dilandasi dengan pendekatan ecosophy dimana filosofi
penyelamatan bumi memasukkan dimensi ekologi dan dimensi spritual.
Filsafat ecosophy atau deep ecology ini diperkenalkan pertama kalinya pada
tahun 1972 oleh Arne Naess, filsuf dari Norwegia.43
Arne Naess menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat
diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia
terhadap alam secara fundamental dan radikal.44
Krisis lingkungan global
dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis
dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan
tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan
cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia
41
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Patriotisme (di akses pada tanggal 13 februari 2018) 42
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup: dari Homo Ethic ke Homo Ethic,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 3 43
Hadi S. Alikodra, Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup: Pendekatan
Ecosophy bagi Penyelamatan Bumi, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2012). 44
Arne Naess dalam Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006), h. 16
44
keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam
semesta seluruhnya. Inilah awal dari seluruh bencana lingkungan hidup yang
kita alami sekarang.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, kekeliruan cara pandang
manusia yang menganggap dirinya bukan merupakan bagian dari alam atau
bagian dari keseluruhan ekosistem menyebabkan manusia tidak menyadari
bahwa kerusakan ekologi akibat pengelolaan lingkungan hidup yang terlalu
bertumpu pada kepentingan manusia (antroposentris) pada akhirnya
berhadapan dengan diri manusia itu sendiri.45
Ekosentrisme adalah suatu teori etika lingkungan yang memusatkan etika
pada seluruh komunitas ekologi, baik yang hidup maupun yang tidak hidup.
Secara ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait
satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak
hanya dibatasi pada makluk hidup tetapi juga berlaku terhadap semua realitas
ekologis.46
Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang
dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Pola perilaku yang eksploitatif,
destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara
pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia. Apa saja boleh
dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan
manusia, sejauh tidak mempunyai dampak yang merugikan kepentingan
manusia (dalam arti kepentingan jangka pendek). Kewajiban dan tanggung
45
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cetakan Kesembilan
Belas, (Yogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2006), h. 4 46
Ibid., h. 75-76
45
jawab moral manusia terhadap lingkungan - kalaupun itu ada semata-mata
demi memenuhi kepentingan sesama manusia.
Manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos) dalam sistem
tatanan lingkungan bumi yang dinamis. Gangguan manusia terhadap
ekosistem dengan pola hidup yang tidak bermartabat, egois, dan tamak telah
menyebabkan alam lestari semakin langka dan semakin sulit ditemukan
sehingga untuk memperolehnya sangat mahal.
Ditinjau dari perspektif ajaran Islam, yang tertuang dalam Al-Qur‘an
Surah Al- Baqarah ayat 30 yang berbunyi :
ر ض ف جاعل إن لل ملئكة ربك قال وإذ فيها ي ف سد من فيها أت عل قالوا خليفة ال فك دك نسبح ون ن الدماء ويس ت ع لمون ل ما أع لم إن قال لك ون قدس بم
Yang artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".
Paradigma antroposentris bertentangan dengan tugas manusia sebagai
khalifah fil ardhi dimana Allah SWT mengamanahkan tugas kepada manusia
sebagai khalifah untuk mengelola atau mengatur bumi. Konsep khalifah akan
bermakna jika manusia mampu mengelola dan melindungi bumi sehingga
seluruh peribadatan dan amal- amal sosialnya dapat dengan tenang
ditunaikan.47
47
Mudhofir Abdullah, Al- Quran & Konservasi Lingkungan (Argumen Konservasi
Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah, Dian Rakyat, Jakarta, 2010, h. 13-14 dan
Fachruddin M. Mangunjaya dkk, Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, h. 5.
46
Filsafat pokok DE disebut Naess sebagai ecosophy yang berarti kearifan
mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti
luas. Dalam arti ini, lingkungan hidup tidak sekadar sebuah ilmu (science)
melainkan sebuah kearifan (wisdom), sebuah cara hidup, sebuah pola hidup
selaras dengan alam. Ini menyangkut sebuah gerakan, gerakan dari semua
penghuni rumah tangga, penghuni alam semesta untuk menjaga secara arif
lingkungannya sebagai rumah tangga.48
Filsafat ecosophy ini menurut Naess harus dapat berfungsi sebagai
landasan filosofis dalam rangka penerimaan prinsip-prinsip Deep Ecology, di
antaranya: (a) sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di
alam semesta (biospheric egalitarianism—in principle); (b) manusia hanya
salah satu spesies di tengah begitu banyak spesies lain. Semua spesies ini
mempunyai nilai yang sama (prinsip non-antroposentrisme); (c) prinsip
realisasi diri yang memandang manusia tidak hanya sebatas sebagai makhluk
sosial (social animal), tetapi juga makhluk ekologis (ecological animal); dan
(d) Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas
ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.49
48
Ibid., h. 78. 49
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, (United Kingdom: Cambridge University
Press, 1989) h.38.
47
E. Jurnalisme Lingkungan
Jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi data.50
Menurut
KBBI Jurnalisme sendiri memiliki arti pekerjaan mengumpulkan data dan
menulis berita di media massa cetak dan elektronik.51
Hampir tidak setiap
wartawan tahu standar minimal verifikasi, susahnya karena tidak
dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan
pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme sering terkait dengan apa
yang biasa disebut objektifitas.52
Objektifitas adalah disiplin dalam
melakukan verifikasi, seperti Jurnalisme Lingkungan.
Tidak banyak yang tahu kapan praktek Jurnalisme lingkungan mulai
muncul di Indonesia. Istilah jurnalisme lingkungan diperkenalkan oleh John
Palen, tokoh dari Department of Journalism dari Universitas Michigan.
Pengertian harifah jurnalisme adalah catatan, tulisan, laporan mengenai
peristiwa yang disaksikan dala sehari-hari, sebagian orang menyebutnya
catatan harian atau jurnal.53
Menurut John Palen Jurnalisme Lingkungan
muncul ketika para jurnalis harus mengemukakan permasalahan-
permasalahan berkaitan dengan lingkungan seperti dioxin, kabut asap, satwa
terancam punah serta pemanasan bumi. 54
50
Andreas Harsono, Agama Saya adalah Jurnalisme, (Yogjakarta: Penerbit Kanisius,
2010), h.20. 51
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jurnalisme diakses pada tanggal 10 Juni 2019. 52
Andreas Harsono, Agama Saya adalah Jurnalisme, (Yogjakarta: Penerbit Kanisius,
2010), h.21. 53
http://www.bimbingan.org/jurnalisme-lingkungan.htm diakses pada tanggal 18 April
2018. 54
https://greenpressnetwork.wordpress.com/2008/11/20/jurnalisme-lingkungan-sebuah-
pengenalan-singkat/ diakses pada tanggal 08 April 2019.
48
Jurnalisme lingkungan berangkat dari komunikasi lingkungan yang
menjadi dasar. Peran komunikasi lingkungan adalah mencoba untuk
merancang strategi antara makhluk hidup demi lingkungan yang lebih baik
dari saat ini. Adapun beberapa hal yang harus ditunjukan oleh jurnalis
lingkungan seperti, menunjukkan interaksi saling memengaruhi antar-
komponen lingkungan dan dampak-dampak atau sebab akibat yang timbul
dari kerusakan lingkungan. Hal ini menjadi acuan jurnalisme lingkungan
yang dipegang oleh jurnalis lingkungan dalam pewartaannya. Hanya melalui
kedua hal tersebutlah, tingkat kesadaran dan kepedulian khalayak muncul
akan lingkungan yang perlahan tapi pasti mulai rusak.
Menurut Anderson, dalam makalah Jurnalisme Lingkungan yang Sadar
Lingkungan, Jurnalisme lingkungan merupakan jurnalisme konvensional
lainnya yang harus taat etika dan menyampaikan fakta tetapi bertitik tkan
pada kasus lingkungan hidup dan sadar etika lingkungan yaitu; (1) informasi
yang relevan dengan latar belakang kasus lingkungan, (2) materi berita yang
sering menjernihkan situasi atau menjadi mediasi (dalam istilah McLuhan
sebafai extension of man) dan (3) memperhatikan resiko pemberitaan dari
kasus lingkungan hidup. Selain itu, menurut Anderson materi jurnalisme
lingkungan baik berita dan jurnalis wajib memiliki ateri pengetahuan tentang
lingkungan dan nilai budaya dari masyarakat atau kasus lingkungan
tersebut.55
55
https://www.academia.edu/5783073/Media_Kita_dan_Lingkungan_Hidup diakses pada
tanggal 18 April 2018.
49
Tetapi, Masalah Jurnalisme Lingkungan hidup di Indonesia adalah
sulitnya mencari narasumber yang bersedia dan bisa dipercaya untuk
mengungkap realitas lingkungan hidup yang sebenarnya. Beberapa
dapartemen, seperti Dapartemen Pertanian, Dapartemen Pertambangan dan
Energi, serta Dapartemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan,
memiliki pedoman sendiri tentang berita yang ditulis wartawan. Ada dugaan
kriteria yang dijadikan pedoman serting bertentangan dengan kriterian berita
versi wartawan. Kalau ini benar, maka tidak banyak berita yang berasal dari
dapartemen ini bisa mengungkapkan realitas lingkungan hidup yang
sebenernya.56
Selain itu ada beberapa hal yang menjadi pegangan untuk jurnalis
lingkungan seperti, pengertian dan pemahaman bahasa-bahasa lingkungan,
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa lingkungan di masa lalu,
pengetahuan akan kebijakan mengenai lingkungan, penegtahuan dan
mengikuti informasi tentang organisasi lingkungan, pemahaman umum
tentang persitwa-peristiwa lingkungan muktahir, mengakui kesetaraan
spesies, dan yang paling penting berpihak kepada lingkungan dan kehidupan
lingkungan berkelanjutan. Tanpa adanya pegangan seperti itu jurnalis akan
berjalan dengan hampa dalam pemberitaannya. Jurnalisme Lingkungan harus
bisa menempatkan diri mereka dan benar-benar fokus terhadap lingkungan
semata.
56
Ana Nadya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme (Jakarta: Pustaka SInar Harapan,
1995), h.34
50
Para responden percaya bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sebuah
kasus lingkungan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
narasumber. Namun, pada praktiknya beberapa jurnalis memberikan prioritas
pada orang-orang yang menjadi korban secara langsung dari kasus
lingkungan yang terjadi, terutama untuk isu-isu yang menyangkut masalah
kesehatan dan kelestarian. Para jurnalis tersebut percaya bahwa untuk korban
itulah area ada di sana. Namun, jurnalis hanya berfokus pada jejak hidup
korban, daripada fakta-fakta yang akan memicu kontroversi secara pilitis. Hal
ini semakin menguatkan ide bahwa masyarakat awam tidak emiliki otoritas
untuk memaparkan bukti-bukti. Sebagai konsekuensi, jurnalis masih
bergantung pada pemerintah, ilmuwan, dan korporasi sebagai sumber yang
telah lebih penting, karena mereka adalah kelompok ―decision maker‖ dan
―policy maker‖.57
Jurnalisme lingkungan itu penting bagi semua penduduk Bumi. hal ini
seperti telah jatuh tempo artinya kita sudah terlalu lama membiarkan
lingkungan tak terurus dan kurangnya kesadaraan kita dalam merawat
lingkungan. Pentingnya krisis iklim adalah tantangan bagi gagasan kita
tentang netralitas. Isu-isu lingkungan menjadi kepentingan umum dan jurnalis
dituntut untuk mencari kebenaran tanpa rasa takut terhadap apapun adalah
garis dasar jurnalisme yang baik.
57
.http://www.stikosa-aws.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/Artikel-5-Jurnalisme-
Lingkungan-di-Amerika.pdf diakses pada tanggal 18 April 2018.
51
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Sumatera
1. Sejarah Sumatera
Pulau Sumatera adalah pulau besar yang berada di kawasan Hindia
Timur yang membetuk batas wilayah paling barat di Kepulauan
Nusantara. Sumatera merupakan pulau terluas urutan keempat di dunia,
dengan demikian pulau Sumatera empat kali besar pulau Jawa, hampir
besar dengan Negara Spanyol dan tiga belas kali pulau Belanda.1 Nama
Sumatera sendiri tidak diketahui asal mulanya namun dalam narasi
Odoricus yang seorang pendeta dari Gereja Katolik Roma yang
menyusuri sejumlah wilayah bagaian Timur pada tahun 1328 hingga ke
bagian Selatan.2
Di selatan pulau, terdapat kerajaan yang bernama Sumoltra dan tidak
jauh dari pulau besar yang bernama Jawa. Setelah nama Sumoltra di
temukan, orang-orang setelah itu menulisnya dengan berbagai variasi,
baik Sumotra, Samotra, Zamatra, maupun Sumatera.3
Seorang cendikiawan Asia yang mempelajari bahasa pulau-pulau di
Timur, menjelaskan bahwa Sumatera memperoleh namanya dari sebuah
dataran tinggi yang disebut Samadra, dalam bahasa local berarti ‗Semut
Besar‘. Namun, faktanya, tidak ada lokasi yang dinamai demikian dan
1 Edwin M.Loeb, Sumatera its History and People, (Wein: Verlag des Institutes fur
Volkerkunde der Unive Rama Suryaitat Wien, 1935), h5. 2 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 9.
3 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 12.
52
walaupun ada kemeripan antara Sumatera dan Semut. Akan tetapi,
terdapat bukti bahwa asal-muasal derivasi tersebut berkebalikan dari
pendapat yang sebenarnya diambil dari nama-nama pulau di
sekelilingnya senantiasa dilanda badai.
Jika dibawa ke serapan dari Bahasa Sanskerta, Kata Sumatera dapat
berasal dari kata Samuder, nama ibukota Carnatik (kemudian disebut
Bider) pada zaman dulu. Samudera-duta, yang muncul dalam Hepotasa,
berarti ‗utusan laut‘. Amalgamsi dari kata su yang berarti ‗baik‘ dan
matra yang berarti ‗langkah‘ serta yang paling mungkin kata ―samantara‖
yang berarti ‗batasan‘ atau ‗sesuatu di antara‘. Kata tersebut
kemungkinan benar dikarenakan kedudukan di pulau ini di antara dua
samudera dan dua selat.
a. Geografi
Garis Khatulistiwa membagi Pulau Sumatera secara tidak sejajar
dari arah barat laut ke tenggara menjadi dua bagian yang nyaris sama
besarnya. Satu ujungnya berada pada titik 5,33 Derajat Lintang
Utara, sedangkan ujung satunya lagi pada titik 5,56 Derajat Lintang
Selatan.4 Sebalah utara berbatasan dengan Teluk Bengal sedangkan
sebelah Pantai barat daya berbatasan dengan Samudera Hindia.
Sebelah selatan berbatasan dengan delat senda yang memisahkan
antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Sebelah timur berbatasan
langsung dengan laut Cina Selatan yang memisahkan Pulau
Sumatera dengan Borneo. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat
4 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 2.
53
Malacca yang memisahkan dengan Semenanjung Malaya (yang
konon kabarnya menurut peneliti Portugis, dipercaya telah menyatu
sejak zaman dulu).5
Dari segi ukuran, Sumatera termasuk salah satu pulau paling
besar di dunia. Namun, lebar pastinya tidak dapat diukur sehingga
tidak ada hasil pengukuran yang akurat sejauh ini. Sumatera hampir
menyerupai Kepulauan Britania yang melebar di bagian ujung
selatanya dan menyempit di bagian utara sehingga kedua pulai ini
memiliki ukuran yang sebanding walaupun bentuknya tidak mirip.6
Terdapat rangkaian pegunungan di sepanjang pulau Sumatera
dan di beberapa tempat terdapat dua sampai tiga barisan sekaligus.
Rangkaian lebih mendekati kawasan pantai barat, yang jarang
terdapat pegunungan yang berada lebih dari 20 mil kearah laut pada
umumnya. Sementara di bagian timur terdapat daratan yang lebih
luas dan dialiri sungai besar yang melewati Siak, Indra-giri, Jambi
dan Palembang.
Tanah di bagian barat Sumatera secara umum dapat
dideskripsikan memiliki tekstur yang keras dan liat, berwarna
kemerah-merahan dan ditutupi lapisan hitam dengan kedalaman
yang tidak dapat diperhitungkan. Dataran rendah, atau wilayah
dataran yang terbentang dari tepi laut hingga kaki pegunungan, di
sepanjang pantai barat Sumatera saling berpotongan dan dibuat
sangat tidak rata dengan keberadaan rawa-rawa dengan posisi
5 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 2.
6 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 14.
54
sporadic serta panjang yang tidak tetntu sepanjang bebrapa mil
sebelum berakhir ke laut dan danau. 7
Tanah Sumatera kaya dengan mineral dan produksi fosil lainnya
yaitu Emas, Tembaga, Besi, Timah, Sulfur, Potasiu Nitrat, Batu
Bara, Mata Air Panas, dan Minyak Bumi. Di Sumatera nyaris tidak
ditemukan batu kasar di dekat tepi laut. Selain pagar kolar, napal
yang membentuk dasar tebing berwarna merah dan tidak jarang
dasar sungai dengan tekstur yang mulus dan licin dalam bentuk batu
hampir menyerupai batu kapur halus (atau batu sabun).
Di Sumatera dapat ditemukan berbagai jenis spesies tanah yang
dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti bahan pewarna untuk
lukisan.8 Warna yang paling umum adalah kuning, merah dan putih.
b. Demografi
Penduduk Sumatera secara umum dapat dideskripsikan lewat
karakteristiknya sebagai berikut: Postur mereka di bawah rata-rata
orang Indonesia modern, khususnya dalam proporsi tubuh. Tangan
dan kaki mereka kecil, khususnya di bagian pergelangan dan engkel
tetapi masih dalam bentuk yang normal. Selain orang Sumatera asli
seperti yang sudah dideskripsikan.
Mata orang Sumatera umumnya berwarna gelap dan tajam.
Khususnya di kalangan wanita di daerah selatan, mata mereka sangat
mirip dengan mata orang Cina dalam aspek bentuk dan jarak antara
keduanya. Rambut yang warna gelap mengkilat hal tersebut
7 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 28 .
8 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h 32.
55
dikarenakan keseringan memakai minyak kelapa yang melembabkan
rambut. Para lelaki di Sumatera tidak banyak yang memiliki jenggot
serta mempunyai dagu yang mulus tanpa berbulu.
Warna kulit mereka kuning kemerah-merahan. Secara umum,
kulit penduduk Sumatera lebih terang dibandingkan orang-orang
Mestees, atau berdarah campuran, di daerah Hindia lainnya.
Penduduk berkasta lebih tinggi, khususnya wanita, biasanya tidak
banyak terekspos sinar matahari dan memiliki kulit yang indah dan
cantik.
Berbeda dengan orang Sumatera di pedalaman yang memiliki
karakteristik yang khas, cenderung kearah negative daripada positif.
Mereka bersifat tenang dan santai, kecuali bila diprovokasi secara
kasar. 9 Sifat pada diri mereka banyak menahan diri dan berpantang
juga terlihat dari pola makan dan minumnya dalam sehari-hari.
Mereka lebih banyak makan sayuran dan minum air putih berbeda
dengan Sumatera yang modern atau mengikuti zaman yang terbiasa
makan junk food.
c. Budaya
Kebudayaan adalah jati dari suatu bangsa. Suatu bangsa
dibedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Untuk
Indonesia, satuan-satuan kemasyarakatan yang ditandai oleh
kekuasaan budaya itu disebut ―suku bangsa‖, dan istilah lain untuk
9 William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h
243.
56
itu adalah ―satuan etnik‖.10
Contoh yaitu Kebudayaan Melayu yang
amat luas jelajahnya bahkan meliputi beberapa Negara yaitu
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang mempunyai
varian-varian lokal yang berbeda tetapi hampir menyerupai atau satu
sumber.
Perbedaan perkembangan budaya, meski berasal dari satu sumber, dapat
disebabkan oleh dua macam pendorong, yaitu : (a) migrasi komuniti yang
cukup besar ke suatu lingkungan lain, baik yang berbeda secara alamiah
maupun secara sosial; dan (b) komunikasi intensif antarbangsa yang terjadi
tanpa migrasi menetap.11
B. Sejarah Daerah Lampung
Orang biasa menyebut Lampung dengan Negeri Lampong. Negeri
Lampong berada di ujung selatan pulau Sumatera. Dimulai dari pesisir barat
di Sungai Padang-guchi yang memisahkannya dengan Passummah dan
memanjang melewati daratan hingga ke Palembang di sisi timur laut.12
Secara
demografi, Lampung saat ini lebih banyak dihuni oleh orang Jawa yang
bertransmigrasi.
Lampung paling banyak dihuni di bagian tengah dan di bagian
pegunungan, tempat penduduknya hidup merdeka. Dari semua orang
Sumatera, penduduk Lampung asli paling mirip dengan orang Cina, terutama
10
Edi Sedyawati, ―Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya”
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2014), h 3. 11
Edi Sedyawati, ―Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya”
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2014), h 3-4 12
William MaRama Suryaden, Sejarah Sumatera, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h
347.
57
dari bulatnya muka dan bentuk mata. Mereka mempunyai kulit terang,
wanitanya paling tinggi dan dianggap paling cantik.
Provinsi Lampung terletak pada 105°45‘--103°48‘BT dan 3°45‘--6°45‘
LS dengan lintang selatan 3° dan 45‘, serta 6° dan 45‘ (dalam
Hadikusma,1979:2). Luas provinsi ini adalah 35.376.50 km2. Di Lampung
yang memahami bahasa Lampung asli lebih kurang 1.000.000 orang.
Selebihnya adalah pemakai bahasa Jawa, Bali, Sunda dan lain-lain.13
Oleh
karena itu provinsi tersebut bersemboyangkan Sang Bhumi Ruwa Jurai, yang
berarti ‗Lampung didiami oleh dua jenis penduduk‘, yaitu penduduk asli dan
penduduk datang.
Adapun daerah yang menggunakan bahasa Lampung, meliputi daerah
Lampung—tidak termasuk daerah Masuji, kemudian menyusur sungai
Komering dari Kayu Agung sampai Danau Ranau, dan selanjutnya menyusur
kaki Bukit Barisan daerah Bengkulu.14
Perilaku orang lampung tergolong bebas dan relatif lebih tidak bermoral
daripada penduduk Pribumi Sumatera lainnya. Kebebasan yang melampaui
batas usianya, seperti hubungan seks bebas yang sudah tidak asing lagi serta
kehilangan keperawanan yang sering terjadi. Walaupun hal tersebut dianggap
pelanggaran, namun menurut mereka itu bukan hal yang penting. Bukan
menghukum kedua belah pihak, seperti di Passummah dan tempat lainnya,
13
Ni Nyoman Wetty, Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (UniveRama Suryaity of
California: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1992), h 1. 14
Ni Nyoman Wetty, Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (UniveRama Suryaity of
California: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1992), h 1.
58
melainkan mereka secara bijaksana berupaya menikahkan keduanya secara
sah.
C. Sejarah Way Kambas
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah satu dari dua kawasan
konservasi yang berbentuk TN di Propinsi Lampung selain TN Bukit Barisan
Selatan (TNBBS). Kawasan TNWK mempunyai luas lebih kurang
125,631.31 ha.15
Secara geografis TNWK terletak antara 40°37‘ – 50°16‘
Lintang Selatan dan antara 105°33‘ – 105°54‘ Bujur Timur. Berada di bagian
tenggara Pulau Sumatera di wilayah Propinsi Lampung. Pada tahun 1924
kawasan hutan Way Kambas dan Cabang disisihkan sebagai daerah hutan
lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung
didalamnya.
Berdasarkan sejarah, pendidikan kawasan pelastarian alam Way Kambas
dimulai sejak tahun 1936 oleh Resident Lampung, Mr. Rookmaker. Pada
tahun 1978 Suaka Margasatwa Way Kambas diubah menjadi Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian dan dikelola oleh Sub Balai
Kawasan Pelestarian Alam (SBKPA).
Pada tahun 1991 atas dasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor
144/Kpts/II/1991 tanggal 13 Maret 1991 dinyatakan sebagai TNWK, di mana
pengelolaannya oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Way Kambas
yang bertanggungjawab langsung kepada Balai Konsevasi Sumber Daya
Alam II Tanjung Karang. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
59
Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 13 maret 1997 dimana Sub Balai Konsevasi
Sumber Daya Alam Way Kambas dinyatakan sebagai Balai TN Way
Kambas.
Alasan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan pelestarian alam
adalah untuk melindungi kawasan yang kaya akan berbagai satwa liar, di
antaranya adalah tapir (Tapirus indicus), Gajah Sumatera (Elephas maximus
Sumateranus), enam jenis primata, rusa sambar (Cervus unicolor), kijang
(Muntiacus muntjak), harimau Sumatera (Panthera tigris), beruang madu.
Badak Sumatera pada saat itu belum ditemukan sehingga bukan sebagai salah
satu pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar penetapannya.
Namun demikian, setelah ditetapkannya sebagai kawasan suaka
margasatwa hampir selama dua puluh tahun, terutama pada periode 1968 –
1974, kawasan ini mengalami kerusakan habitat cukup berat, yaitu ketika
kawasan ini dibuka untuk Hak Pengusahaan Hutan, kawasan ini beserta
segala isinya termasuk satwa, banyak mengalami kerusakan. Dari jenis satwa
tersebut, sampai dengan saat ini keberadaannya masih terjaga dengan baik,
antara lain yang dikenal dengan ―The Big Five mammals‖ yaitu tapir (Tapirus
indicus), Gajah Sumatera (Elephant maximus Sumateranus), Barimau
Sumatera (Panthera tigris), Badak Sumatera (Diserohinus Sumateranus) dan
beruang madu (Helarctos malayanus).16
1. Ekosistem Way Kambas
TNWK berada pada ketinggian antara 0—50 m dpl. dengan
topografi datar sampai dengan landai, kawasan ini mempunyai 4 (empat)
16
Artikel ― http://Way Kambas.org/sejarah-taman-nasional-way-kambas/‖ diakses pada
tanggal 03 April 2018 pukul 08:45 WIB.
60
tipe ekosistem utama yaitu, ekosistem hutan hujan dataran rendah,
ekosistem hutan rawa, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai.
Penciri utama dari keberadaan ekosistem tersebut ditandai dengan
formasi vegetasinya. Selain itu terdapat juga tipe-tipe ekosistem
peralihan seperti ekosistem riparian. Ekosistem tersebut terbentuk
dikarenakan terjadinya perubahan dari satu ekosistem ke ekosistem
lainnya. Sebagai contoh adalah formasi vegetasi dari daerah darat ke air.
Ekosistem hutan hujan dataran rendah mendominasi di daerah
sebelah barat kawasan. Daerah ini terletak pada daerah yang paling tinggi
dibandingkan dengan lain. Jenis yang mendominasi adalah meranti
(Shorea sp), rengas (Gluta renghas), keruing (Dipterocarpus sp), puspa
(Schima walichii) dan banyak jenis lain. Ekosistem tersebut rata-rata
mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan
stratum tajuk yang lengkap, sehingga jenis flora dan faunanya cukup
beragam.
Ekosistem hutan hujan dataran rendah mendominasi di daerah
sebelah barat kawasan. Daerah ini terletak pada daerah yang paling tinggi
dibandingkan dengan lain. Jenis yang mendominasi adalah meranti
(Shorea sp), rengas (Gluta renghas), keruing (Dipterocarpus sp), puspa
(Schima walichii) dan banyak jenis lain. Ekosistem tersebut rata-rata
mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan
stratum tajuk yang lengkap, sehingga jenis flora dan faunanya cukup
beragam.
61
Ekosistem di Way Kambas bukan ekosistem lazim yang telah
dikenal selama ini. Ekosistem ini berada pada zona peralihan antara air
dan darat, sehingga belum dikategorikan kedalam ekosistem yang ada.
Dengan semakin luasnya wilayah atau badan air persatuan tempat, maka
kemungkinan semakin besar ekosistem tersebut. Beberapa jenis yang
biasa terdapat pada zona peralihan antara lain putat, dan beberapa jenis
tanaman merambat/liana.
Ekosistem hutan pantai di Way Kambas atau lebih dikenal pantai
saja, ini dicirikan dengan kondisi lingkungan yang terletak di dekat laut
namun tidak mendapat genangan baik air laut dan tawar. Dengan jenis
tanah biasanya didominasi oleh pasir. Ekosistem hutan pantai ini
khususnya terletak di sepanjang pantai timur TN Way Kambas. Salah
satu penciri hutan pantai antara lain ketapang (Terminalia cattapa),
cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Ekosistem hutan mangrove/payau di Way Kambas terletak disekitar
pantai dimana terdapat pergantian/salinasi antara air asin dan tawar
secara teratur. Umumnya terletak disepanjang pantai timur kawasan TN
Way Kambas. Ekosistem ini mempunyai peran atau manfaat nyata dalam
mendukung sumber kehidupan manusia. Sebagai tempat hidup dan
berkembang biak bagi jenis-jenis ikan dan udang laut. Sehingga menjaga
tingkat ketersediaan suplai ikan dan biota lainnya. Di sekitar Pantai TN
Way Kambas telah berdiri ratusan bagan yang dipergunakan untuk
menangkap cumi, pemasangan jaring untuk menangkap ikan sekitar
pantai, dengan demikian h. tersebut merupakan tanda bahwa dengan
62
adanya TN Way Kambas memberikan lingkungan laut yang baik
sehingga biota laut dapat hidup dengan baik.
Ekosistem hutan rawa di Way Kambas terutama menempati pada
daerah sekitar sungai terutama terletak di wilayah timur kawasan.
Ekosistem tersebut terbentuk karena adanya daerah atau wilayah yang
tergenang air tawar relatif lama yang dikarenakan wilayah tersebut lebih
rendah dari wilayah sekitarnya. Jenis tanah tersebut mempunyai tingkat
keasaman yang cukup tinggi, proses dekomposisi relatif lama. Tingkat
keanekaragaman hayati cukup tinggi. Satwa jenis burung lebih suka pada
ekosistem hutan rawa. Jenis dominan untuk hutan rawa antara lain
Nephenthes atau kantung semar, Pa merah, pandan dan nibung. Salah
satu ciri utama vegetasi rawa mempunyai akar lutut dan tunggang.17
D. Gajah Sumatera
Spesies Gajah Asia (Elephas maximus) memiliki telinga yang lebih kecil,
dahi rata, dan dua bonggol di kepala merupakan puncak tertinggi Gajah.
Selain itu Gajah Asia mempunyai satu bibir dan Gajah Asia yang jantan akan
mempunyai gading. Gajah Asia di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera
(Elephas Maximus Sumateranus) dan Kalimantan bagian Timur (Elephas
Maximus Borneensis).
Di Indonesia berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar tahun
1931, Gajah telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi. Saat ini populasi terus
menurun sehingga keberadaan Gajah perlu diperhatikan dan dilestarikan.
17
Artikel http://Way Kambas.org/ekosistem-hutan-way-kambas/ Diakses pada tanggal 03
April 2018, pukul 09:07 WIB.
63
Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Convervation
Union) dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on
International Trade of Endangered Fauna and Flora) telah memasukkan
dalam katagori Appendix I.18
Di Indonesia, Gajah Sumatera juga masuk
dalam satwa dilindungi menurut Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam
peraturan pemerintah yaitu PP7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.19
Populasi Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumateranus) tersebar di
tujuh provinsi di seluruh Indonesia yaitu Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung
(Soeharto dkk. 2007).
Gajah diklasifikasikan ke dalam keluarga Elephantidae. Terdapat dua
genus hewan yang termasuk dalam keluarga Elephantidae yang masih hidup
di muka bumi yaitu genus Elephas dan Loxodonta.20
Genus Elephas terdiri
dari satu spesies yaitu Elephas maximus atau gajah asia.
Sedangkan Loxodontaterdiri dari dua spesies yakni Loxodonta
africana dan Loxodonta cyclotis yang keduanya digolongkan sebagai gajah
afrika.
Gajah Asia atau Elephas maximus memiliki tiga spesies yaitu Elephas
maximus indicus, Elephas maximus maximus dan Elephas maximus
18
Ibid 19
http://www.wwf.or.id/program/spesies/Gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal 13
Februari 2018 20
https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#note-257-1 diakses pada tanggal 14
November 2018
64
sumatranus. Salah satunya ialah Gajah sumatera. Di Indonesia Gajah juga
terdapat pada daerah Kalimantan atau Borneo.
Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumateranus) bukanlah ―raja di raja‖
bagi segala makhluk hutan Sumatera. Berkulit tebal dengan bibir berbelalai
dan hidup berkelompok, Gajah sebetulnya satwa ramah dan bukan
penggangu, kalau tak diganggu. Berabad lamanya, hutan habitatnya masih
sunyi dan lebat. Hanya sejak beberapa tahun, kawasan satwa mulai terusik
perilaku manusia.21
Gajah Sumatera merupakan ‗spesies payung‘22
bagi habitatnya dan
mewakili keragaman hayati di dalam ekosistemnya yang kompleks tempat
hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan
keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga
akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya yang ada di
lingkungan.
Gajah sumatera memiliki ciri khas tertentu, terutama bila diamati dari
bentuk fisiknya. Ciri-ciri gajah sumatera secara umum adalah sebagai
berikut:23
a. Bobot gajah sumatera sekitar 3-5 ton dengan tinggi mencapai 2-3 meter.
b. Gajah Sumatera memiliki jumlah tulang rusuk sebanyak 20 pasang
berbeda dengan gajah lainnya yang memiliki tulang rusuk sebanyak 19
pasang.
21
Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h15. 22
https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 12
Februari 2018 23
https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#note-257-1 diakses pada tanggal 14
November 2018
65
c. Memiliki Kulit yang terlihat lebih terang dibanding gajah Asia lain dan
dibagian kupingnya sering terlihat depigmentasi atau hilangnya pigman,
terlihat seperti flek putih kemerahan.
d. Hanya gajah jantan yang memiliki gading yang panjang. Pada betina,
kalaupun memiliki gading itu hanya pendek dan hampir tidak terlihat.
Hal ini berbeda dengan gajah Afrika dimana jantan dan betina sama-
sama punya gading.
e. Ciri mencolok lainnya ada pada bagian atas kepala. Gajah sumatera
memiliki dua tonjolan sedangkan gajah Afrika cenderung datar.
f. Kuping gajah sumatera lebih kecil dan berbentuk segitiga sedangkan
gajah Afrika kupingnya besar dan berbentuk kotak.
g. Gajah Sumatera memiliki 5 kuku di kaki bagian depan dan 4 kuku di kaki
belakang.
Gajah termasuk ke dalam binatang nokturnal yang aktif di malam hari.
Hewan ini hanya membutuhkan waktu tidur selama 4 jam per hari dan terus
bergerak selama 16 jam untuk menjelajah dan mencari makan. Sisanya
digunakan untuk berkubang dan bermain. Pergerakan gajah dalam sehari bisa
mencapai areal seluas 20 km2.24
Pada dasarnya kebutuhan luas areal untuk
habitat gajah liar minimal 250 km2 berupa hamparan hutan yang tidak
terputus.25
Biasanya gajah Sumatera mendiami habitan berupa hutan dataran rendah
dengan ketinggian di bawah 300 m (IUCN 2012:1). Meskipun demikian,
24
https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 14
November 2018 25
https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 14
November 2018
66
gajah juga berada di area pegunungan yang memiliki kemiringan yang curam.
Berdasarkan penelitian Rood dkk.(2010:981), gajah juga ditemukan pada
ketinggihan 1600-220 di atas permukaan laut. Hal ini berindikasi bahwa gajah
juga mampu berada di lingkungan yang bergunung-gunung dan berpindah-
pindah. Selain itu, kawasan hutan yang bergunung-gunung juga menjadikan
tempat menghindari kebisingan bagi gajah. Kinnaird dkk. (2003) (lihat Rood
2010; 976) menyatakan bahwa gajah menhindari jawasan tepi hutan sejauh 3
km ke bagian dalam untuk menghindari resiko perburuan atau persinggungan
dengan manusia.
Gajah sumatera memakan rumput-rumputan, daun, ranting, umbi-
umbian dan kadang buah-buahan. Sistem pencernaan gajah sangat buruk,
gajah bisa membuang fesesnya setiap satu jam sekali. Maka dari itu dalam
sehari gajah sumatera memerlukan makanan hingga 230 kg atau setara
dengan 5-10% dari bobot tubuhnya.26
Sedangkan untuk minum
dibutuhkan 160 liter air setiap hari. Di musim kemarau gajah sumatera bisa
menggali air di dasar sungai yang mengering hingga kedalaman satu meter.
Pengembangan industri kayu dan kertas serta industri kelapa sawit yang
menjadi salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong
terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-
pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang
ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya
dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di
26
https://jurnalbumi.com/knol/gajah-sumatera/#return-note-257-14 diakses pada tanggal 14
November 2018
67
seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan
satwa besar yang sering dianggap ‗hama‘ ini.27
Masuknya Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis) dalam daftar
tersebut disebabkan oleh aktivitas pembakalan liar, penyusutan dan
fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan, dan degradasi
habitat akibat konversi hutan untuk pertanian/perkebunan. Perburuan
biasanya hanya diambil gadingnya saja untuk kepentingan tertentu sedangkan
sisa dari tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi. Selain itu banyak populasi
Gajah terjebak dalam kantung-kantung kecil yang tidak cukup untuk
mendukung kehidupan Gajah jangka panjang. Kondisi ini memicu konflik
antara manusia dengan Gajah yang merupakan ancaman terbesar bagi Gajah
Sumatera.
Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa populasi Gajah Sumatera
kian hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, Gajah Sumatera telah
kehilangan sekitar 70% habitatnya, serta populasi tahun 2007 adalah antara
2400-2800 Gajah, namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka
tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terjadi.28
Khususnya untuk di wilayah Riau dan sekitarnya menurun sebesar 84%
hingga tersisa sekitar 210 ekor pada tahun 2007. Lebih dari 100 ekor Gajah
yang mati sejak 2004.29
27
https://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ diakses pada tanggal 12
November 2018 28
http://www.wwf.or.id/program/spesies/Gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal 13
Februari 2018 29
.http://regional.kompas.com/read/2017/03/06/16093391/setelah.15.tahun.wcs.dan.tnbbs.su
rvei.populasi.Gajah diakses pada tanggal 13 Februari 2018
68
Ancaman utama bagi Gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka
akibat aktivitas penebangan hutan yang berkelanjutan pemburuan dan
perdagangan liar, juga konservasi hutan alam untuk perkebunan skala besar.
E. Profil Shamow’el Rama Surya
Shamow‘el Rama Sarya adalah salah satu fotografer documenter. Lelaki
yang akrab dikenal dengan ―RS‖ ini lahir di Sumatera. RS yang sangat
tertarik dengan dunia fotografi semanjak SMA. Selesai mengenyam bangku
SMA, RS langsung pergi ke Bandung untuk mengikuti ujian ke jenjang
selanjutnya, namun dengan tidak lolosnya masuk ke Universitas Negeri, RS
berinisiatif untuk mengulang tahun selanjutnya. Untuk mengisi waktu RS
mengikuti kursus foto di Institut Seni Fotografi dan Desain Bandung.
Selesainya kursus, RS bekerja sebagai assisten foto pernikahan di Bandung
yang bertujuan untuk praktek sekaligus menimba iu fotografi lebih dalam.
Tahun 1991 RS bekerja menjadi Freelance fotografi di Bandung, Dari
tahun 1993 sampai 1998 ia bekerja sebagai fotografer untuk majalah pemuda
HAI dan juga untuk majalah Fotomedia, Jakarta. Selama kerja di Fotomedia
ia mengeluarkan buku foto ―Yang Kuat Yang Kalah‖. Masa krismon 1998, ia
memutuskan merantau ke Yogjakarta sampai tahun 2000. Saat itu ia
mengajar dan membimbing tugas akhir di ISI mata kuliah foto jurnalistik.
Setelah kepulangannya dari Yogjakarta RS menjadi editor foto untuk
majalah Latitudes akhir di Bali. Sejak 2004 hingga 2010 bergabung dengan
JiwaFoto Agency. Dalam perjalanan hidupnya di bidang fotografi RS lebih
fokus ke lingkungan, beberapa kali mendapat kesempatan untuk merekam
69
kejadian-kejadian yang sedang di alami di Indonesia contohnya pada buku ―
Yang Kuat Yang Kalah‖, RS bercerita bahwa kesempatannya datang ke Way
Kambas bersama dengan World Wide Fund for Nature (WWF ) adalah untuk
memberitakan kejadian yang dialami oleh Gajah-Gajah Sumatera.30
Rama Surya menghasilkan karya foto Pembakaran hutan di Kalimantan
Timur dengan buku foto ―Borneo: Air Mata Api‖ dan "Mythology Street
Yogyakarta" dipamerkan di Nikon Image House Gallery di Kusnacht,
Switzerland pada tahun 2000. Diperingkat "Photographer of the Year 1997"
oleh foto JAGAZIN dari Jerman. "Bali Living in Two Worlds" di Museum
der Kulturen, Basel, Swiss pada bulan April 2002 dan di Museum untuk
Budaya Dunia, Frankfurt, Jerman pada bulan Januari 2004. "Hot Plate"
bersama Hanafi di Galeri Taksu Jakarta, Agustus 2004, "Kemurnian /
Kemurnian "di Galeri Budaya Richard Meyer, Petitenget, Bali pada tahun
2006.
F. Gambaran Umum Buku “ Yang Kuat Yang Kalah”
30
Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah
Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat
70
Buku foto yang kuat yang kalah adalah karya dari fotografer dokumenter
yang bernama Shamow‘el Rama Surya. Buku foto yang pernah diterbitkan
pada tahun 1996 ini bercerita tentang kehidupan Gajah-gajah Sumatera di
Way Kambas. Buku foto ini dimentori oleh Erik Prasetya. Serta tak lupa
Mochtar Lubis dan Yudhi Soerjoatmodjo selaku kurator foto jurnalistik
Antara yang membubuhi tulisan tangannya pada kolom kata pengantar.
Terdapat lima subbab pada buku Yang Kuat Yang Kalah, keseluruhannya
adalah mencerminkan keseharian di lingkungan yang mulai rusak dan
kebiasaan sehari-hari pada penduduk Indonesia. Manusia-manusia dalam
potret Rama Surya seperti dibalut oleh kegelapan. Dari balik hitamnya
lumpur, keringat, darah, senyum dan tatapan mereka berjuang untuk meraih
perhatian pembaca. 31
Lima Subbab yang terdapat dalam buku foto ―Yang
Kuat Yang Kalah‖ ini adalah Kisah Kesah Gajah Sumatera, Ulu Ketenong
Perkampungan Penambang Emas, Nelayan Kampung Pajagan, Tambang
Belerang Kawah Ijen dan Rumah Pemotong Hewan Bukittinggi.
Alasan utama Rama Surya membuat foto tentang lingkungan adalah
menggambarkan siapa yang kuat bertahan hidup, maka akan kalah juga oleh
perkembangan zaman. Mereka yang lemah dan yang kalah, menjalani hidup
dengan sepasang mata yang selalu tertuju ke tanah, atau sebaliknya
menerawang jauh ke depan. Gajah-gajah yang direkam Rama Surya di
Sumatera, Para penambang belerang di Kawah Ijen, juga Jagal di Rumah
Pemotongan Hewan Bukittinggi memiliki tatapan yang serupa. Dengan cara
ini mereka menghindar dari angkara murka dan cemooh pihak yang kuat,
31
Yudhi Soerjoatmodjo, Introduksi, Dalam Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h9
71
yang menang. Dan bila sesekali mereka melempar senyum dan menatap kita
di mata (melalui mata lensa Rama surya), itu jalan terakhir menunda
kekalahan dari suatu pertarungan yang memang berat sebalah dengan
mengaku kalah, dengan mengecilkan diri, dan dengan begitu hidup untuk satu
hari lagi. 32
Dari buku Yang Kuat Yang Kalah ini, selain tergambar foto keseharian
di lingkungan, Rama Surya juga menangkap beberapa foto detail barang-
barang yang digunakan untuk kesehariannya berupa peluru bius, ganco,
rantai, dan masih banyak lagi. Adapula foto yang menggambarkan emosi
yang ada di dalam komunikasi antar Gajah, serta tidak ketinggalan foto
portrait beberapa tokoh yang menjadi objek dalam buku foto ini.
Buku foto yang memiliki 93 halaman ini adalah merupakan karya foto
esai Rama Surya dalam tema lingkungan. Foto ini berhasil mengantarkan
nama Rama Surya sebagai fotografer muda yang berpengaruh di dunia foto
jurnalistik. Karya RS juga di pamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara,
CCF Bandung, Bentara Budaya Yogyakarta, Surabaya Post, Surabaya dan ISI
Denpasar pada tahun 1996.
Seraya dengan prestasi yang dicapai oleh Rama Surya melalui foto
dokumenteri. Ia juga mempunyai harapan besar, bahwa lewat foto esai
tentang lingkungan dan perjalanan dari daerah ke daerah memberikan
informasi yang berguna bagi publik serta membuka mata genarasi muda atas
32
Yudhi Soerjoatmodjo, Introduksi, Dalam Rama Surya, Yang Kuat Yang Kalah, h9
72
keadaan di Indonesia saat ini dan lebih tergugah hatinya untuk mengenal
lebih jauh kehidupan di Indonesia bahkan dunia.33
33
Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah
Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat
73
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini peneliti menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul
―Konservasi Satwa Langka Gajah di Lampung Studi Semiotika Buku Foto Karya
Rama Surya “Yang Kuat Yang Kalah”. Peneliti menggunakan pisau analisis
semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan
mitos yang terkandung dalam buku foto yang diteliti.
Ada jargon dari fotografer Robert Capa, ―if your photo aren’t good enough,
then you’re not close enough”.1 yang artinya bila fotomu tidak bagus berarti kamu
belum dekat dengan objek. Ungkapan yang menjadi pendoman tiap fotografer
setiap kali akan mengerjakan foto cerita dan foto esai. Dalam peristiwa, foto esai
dibuat berseri. Menggambungkan antara estetika dan etika dengan bentuk cerita
dalam gambar-gambar yang dramatis saat mengangkat suatu isu-peristiwa.
Foto esai adalah foto-foto yang terdiri dari lebih satu foto tetapi temanya satu.
Berdasarkan asumsi tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah foto
esai adalah sebuah koleksi foto yang ditepatkan atau disusun secara spesifik untuk
menjelaskan atau memberitahukan tentang progres atau pencapaian dari sebuah
kejafian atau peristiwa, emosi, dan konsep.2 Foto esai bersifat setelah kejadian
belangsung sehingga mempunyai nilai berita sendiri di setiap fotonya.
Pada tahap selanjutnya dari pembahasan skripsi ―Konservasi Satwa Langka
Gajah di Lampung Studi Semiotika Buku Foto Karya Rama Surya “Yang Kuat
1http://www.magnumphotos.com/C.aspx?VP3=CMS3&VF=MAGO31_10_VForm&ERID
=24KLlima3lima3lima3 (dilihat tanggal 3 Maret 2018). 2 Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestar, ―Jurnalistik Foto Sebagai Pengantar,(Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013), hlm 114.
74
Yang Kalah” adalah analisis data. Jumlah foto yang akan dibahas ada lima foto
yang menurut peneliti dapat mewakali dari foto esai berjumlah sembilan.
A. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto I
Foto yang dibahas berikut ini adalah dua orang pria yang sedang
menduduki punggung gajah, di Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebangga, Riau.
Berikut foto yang dianalisa:
Gambar 1
Foto Pertama
Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi yang tervisualisasikan dalam foto yang ada di atas
adalah penggambaran dua orang lelaki dan dua ekor Gajah yang sedang
digiring. Dalam gambar ini leher gajah diikat dengan tambang dan kayu,
75
sedangkan belalai kedua ekor Gajah dirantai hampir seluruh badan
Gajah. Terlihat dalam raut wajahnya yang sedih dan tersiksa karna
merasakan ketidakbebasan. Hakikat hewan dan manusia terlihat jelas,
bahwa manusia memiliki kekuasaan lebih tinggi terhadap hewan.
Tergambar dari posisi foto manusia yang berada diatas gajah. Pada
gading salah satu gajah terdapat patahan yang kemungkinan sengaja
dihilangkan untuk menghindari pertengkaran antar gajah.
2. Tahap Konotasi
Makna konotasi dipecah pada sub-indikator berikut :
a. Trick Effect
Di lihat dari bentuk kejadiannya, dalam gambar satu tidak
terlihat ada manipulasi foto dan tidak ada elemen yang dihilangkan
apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto tersebut.
Hal demikian sangat jelas alasannya, karena foto ini adalah foto
dokumenter yang menempatkan keaslian pada tahap utama sebuah
foto. Namun, bila dilihat secara detail terdapat grain, hal tersebut
diakibatkan pemakaian film saat pengambilan gambar.
Retouch yang dilakukan oleh fotografer hanya pada bagian
bawah foto yang digelapkan sedikit untuk memfokuskan pembaca
pada satu titik saja yaitu bagian wajah Gajah dan dua orang difoto.
Tidak ada cropping pada foto dikarnakan fotografer memakai lensa
fix dan diatur jarak pengambilan pada subjek. Penulis mendapat
penjelasan dari fotografer saat wawancara.
76
b. Pose
Gesture tubuh dalam subjek di foto satu yaitu dua orang lelaki
yang membawa dua ekor Gajah dengan pose yang tidak terlalu
beragam, karna wajah subjek sedikit mendunduk dan terlihat kabur
namun bisa dikatakan dua orang lelaki itu ialah pawang yang sedang
menggiring Gajah liar, dengan bibirnya yang sedikit maju
membentuk seperti siulan. Karena pada umumnya seorang pawang
akan berada di belakang tangkapannya saat menggiring ke suatu
tempat dengan menggunakan suatu alat atau gerak gerik tubuh untuk
menggiringnya.
c. Objek
Point of interest dalam foto ini tentunya adalah Gajah yang
dirantai sekujur tubuhnya. Hewan adalah point of interest atau biasa
di singkat POI utama. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya foto
di dalam ini menunjukkan jelas dua ekor Gajah sebagai subjek.
Selain itu subjek di belakangnya sebagai pawang sedikit kabur dan
tidak terlalu jelas namun masih bisa tergambarkan. Maka bisa
dikatakan Gajah tersebut menjadi POI pertama.
Di wilayah Sumatra banyak gajah yang ditemukan sudah banyak
menjadi bangkai, terutama yang diambil oleh pemburu ialah
gadingnya. Kurangnya informasi yang sampai ke masyarakat
menjadikan minimnya pengetahuan tentang gajah-gajah liar yang
tersisa.
77
d. Photogenia (teknik foto)
Terdapat beberapa teknik foto yang digunakan oleh Rama
Surya. Jelas terlihat dalam foto ini, fotografer memakai DOF sempit.
Dengan membesarkan bukaan diafragma dan menyempitkan titik
fokus yang menjadikan titik fokus hanya berpusat pada objek utama.
Kedua orang yang menggiring gajah, dibuat seolah-olah blur.
Sedangkan sudut pandang yang digunakan oleh fotografer yaitu
eye level karena foto yang dihasilkan sejajar lurus dengan mata. Bisa
dikatakan juga fotografer berada dalam kedudukan yang sama tinggi
dengan orang yang menunggangi sehingga terlihat sejajar. Apabila
fotografer berada dipermukaan tanah bisa jadi fotografer memakai
frog level dalam pengambilan gambarnya, agar wajah Gajah
terlihat.3 Cahaya yang digunakan oleh fotografer terlihat low light
karena hasil gambar yang dihasilkan terbilang gelap ditambah
dengan penggunaan gambar hitam putih oleh fotografernya sendiri.
e. Estetisisme
Pembuatan foto ini secara jelas menaruh penuh wajah Gajah
yang tertangkap untuk memberi tahu kepada pembaca apa yang ingin
disampaikan oleh subjek. Rantai yang berada disekujur tubuh Gajah
menambah kekuatan dalam foto ini yaitu Gajah terlihat lemas dan
pasrah saat penangkapan berlangsung. Tak luput dari pandangan kita
fotografer mengambil detail tekstur kerutan Gajah dan kesedihan
3 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.
43
78
yang tergambar dalam mata Gajah untuk memperkuat makna yang
ingin disampaikan.
f. Sintaksis
Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen
dalam penyajian suatu karya, yang biasanya terdapat foto dan teks.
Namun, dalam foto pertama ini teks hanya sebatas memberikan
keterangan Gajah yang akan di bawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG)
Sebangga, Riau. Oleh karena itu peneliti lebih melihat dari susunan
elemen yang terkandung dalam foto kedua yang dapat disimpulkan,
bahwa seolah-olah foto ini menggambarkan berbagai emosi
ketakutan, kesedihan dan kebingungan. Hal tersebut seperti memberi
tekanan emosional pada sang Gajah, pada dasarnya Gajah bisa bebas
di alam tanpa harus merasa ketakutan pada pemburu liar.
3. Tahap Mitos
Makna Mitos pada hewan Gajah ialah melambangkan kekuataan dan
tenaga libido.4 Pada abad pertengahan Gajah melambangkan
kebijaksanaan, moderasi, keabadian, dan belas kasihan.5 Namun, dalam
foto ini terlihat Gajah yang tidak berdaya. Dua orang yang menduduki
Gajah terlihat manusialah yang berkuasa dan kuat di alam, sehingga
Gajah yang begitu kuat bisa diduduki.
Hubungan antara Gajah dan manusia terbilang dekat terutama
semenjak ada penembangan hutan secara berantai dan pembunuhan liar
4 http://www.norisanto.com/uncategorized/arti-dan-makna-simbol-hewan/ diakses pada
tanggal 11 January 2019, pukul 16:45. 5 http://www.norisanto.com/uncategorized/arti-dan-makna-simbol-hewan/ diakses pada
tanggal 11 January 2019, pukul 16:45.
79
dari tahun ke tahun. Banyaknya Gajah yang memasuki lingkungan warga
dan diburu bersama-sama menjadikan Gajah-gajah semakin takut dan
tidak terkendali atau stress.
Gajah bagi warga lampung yang berdekatan dengan hutan adalah
sebagai hama terbesar bagi ladang atau pemukimannya. Dan tak banyak
yang membunuh untuk diambil gading untuk diperjual belikan, lalu di
tinggalkan begitu saja sampai menjadi bangkai. Sehingga angka populasi
Gajah semakin tahun semakin turun.
B. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto II
Foto yang dibahas berikut ini adalah seorang pria yang sedang
menunjukka peluru bius untuk gajah, di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way
Kambas. Berikut foto yang dianalisa :
Gambar 2
Foto Kedua
Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya
80
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terlihat seseorang yang menunjukkan sebuah tabung
panjang berujung runcing seperti peluru. Mengenggam dengan ibu jari
dengan telunjuknya. Fotografer dengan sengaja memotret detail dari
peluru tersebut dan memblurkan sosok di belakangnya. Kuku tangan
pada sosoknya terlihat kotor, bisa diartikan bahwa pekerjaan sehari-
harinya berada di lapangan atau luar ruangan. Tatapan yang terlemparkan
saat difoto terlihat fokus kepada peluru tersebut.
2. Tahap Konotasi
a. Trik Effect
Dilihat dari bentuk kejadiannya dalam gambar kedua tidak
terlihat ada manipulasi foto dan tidak ada elemen yang dihilangkan
apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto tersebut.
Hal demikian sangat jelas alasannya, karena foto ini adalah foto
dokumenter yang menempatkan keaslian pada tahap utama sebuah
foto. Rama Surya mengatakan bahwa dalam foto ini secara tidak
sengaja bertemu dengan seseorang yang disebut pawang saat hendak
membius Gajah liar yang akan masuk dalam pemukiman penduduk.6
Namun jelas juga, bahwa keaslian dari foto ini juga tidak seasli
dengan realita yang ditangkap oleh mata manusia normal jika pelihat
berada langsung di lokasi.
6 Wawancara langsung dengan Rama Surya pada tanggal 18 Januari 2018 di Rumah Makan
TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat
81
b. Pose
Gesture atau sikap tubuh dalam foto kedua terlihat lelaki yang
berpose dengan menunjukkan tangan yang sedang memegang peluru
bius. Layaknya orang yang sedang memberitahu atau menjelaskan
bentuk detail dari peluru bius tersebut. Setengah badannya di
blurkan oleh fotografer yang bertujuan untuk menyembunyikan
profile lelaki tersebut.
c. Objek
Yang dijadikan POI oleh fotografer dalam foto ini adalah lelaki
yang postur tubuhnya hampir memenuhi seluruh bagian frame dan
bentuk peluru bius yang paling dominan. Membicarakan soal objek
inti yaitu peluru bius bertujuan memperlihatkan perlengkapan saat
pemburuan.
d. Fotogenia
Teknis pada pengambilan foto kedua ini menggunakan lensa
dengan diameter tidak terlalu lebar atau lensa sekitar 50mm untuk
dapat menangkap kedekatan fotografer dengan subjek. Pemilihan
lensa 50mm membuat figure atau point of interest foto terlihat jelas
tanpa distorsi. Dalam foto ini fotografer terlihat memiliki kedekatan
dengan subjek, yang terlihat dari suasana pemotretan yang berada di
outdoor atau di luar ruangan. Berarti saat penangkapan berlangsung
fotografer meminta subjek untuk menunjukkan peluru bius yang
sedang atau sudah digunakan. Dalam kategori foto dokumeter atau
82
jurnalistik, foto ini masuk pada kategori foto detail atau bagian
khusus suatu subjek.
e. Estetisisme
Dalam foto kedua terdapat komposisi dengan subjek utama di
tengah frame. Latar belakang blur namun masih terlihat seorang
lelaki. Hal tersebut menciptakan pandangan bahwa seolah-olah
sudah banyak orang yang bekerja dan paham untuk membius Gajah
dengan peluru bius yang ditunjukan. Dalam foto sangat jelas bentuk
dari peluru bius yang sengaja ditonjolkan oleh fotografer untuk
menambahkan kesan keganasan dalam penangkapan Gajah.
f. Sintaksis
Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen
dalam penyajian suatu karya, yang biasanya dalam foto dokumenter
terdapat foto dan teks. Namun, dalam foto ini teks hanya sebatas
memberikan keterangan yaitu seorang pawang Gajah dari PLG Way
Kambas yang mencabut peluru bius dari pantat Gajah. Tidak ada
foto yang menunjukkan atau menggambarkan pencabutan peluru
bius dari badan Gajah. Oleh karena ini peneliti lebih melihat dari
susunan elemen yang terkandung dalam foto kedua yang dapat
disiimpulkan. Bahwa seolah-olah foto ini menggambarkan tentang
seorang lelaki yang menunjukkan peluru bius dengan tatapan ke
kamera yang menggambarkan kegagahan atau ketegasan.
83
3. Tahap Mitos
Mitos yang berada di foto kedua tidak luput dari pemahaman orang
lain yang membacanya, dengan kata lain tanda-tanda yang ada di foto ini
dan mitos yang ada di dalam foto, sama-sama memiliki kesamaan paham
dengan orang lain yang membacanya. Dalam tahapan mitos dibutuhkan
pemikiran yang sama dengan orang lain, yaitu sebuah tanda yang sudah
disepakti oleh orang lain dalam satu artian. Terdapat dua tanda yang bisa
mengandung mitos dalam foto ini yaitu peluru bius dan seorang lelaki
yang diblur kan wajahnya. Peluru yang berada di tangan lelaki ini
melambangkan pemikiran yang sedang ada dikepalanya yaitu sesuatu
kekerasan, kekejaman dan pembunuhan, karena peluru bius dalam mitos
dimaknai oleh sesuatu benda tajam yang dapat melumpuhkan lawan.
Kedua adalah latar belakang yang buram atau kabur, sesuatu yang
buram biasa dimaknai oleh hal yang kelam, gelap, dan kesedihan dalam
suatu peristiwa atau sosok. Dengan kedua tanda tersebut maka dapat
diartikan dalam mitos yaitu masih banyak pelaku yang menyalahgunakan
peluru bius untuk pemburuan liar terutama pada Gajah. Hal ini sama
dengan konotasi yaitu kekerasan dan keganasan.
84
C. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto III
Foto yang dibahas berikut ini adalah seorang pria yang sedang memberi
susu kepada Gajah kecil di Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebangga Duri.
Berikut foto yang dianalisa :
Gambar 3
Foto Ketiga
Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ketiga ini terlihat seseorang yang sedang memberi
minum dari sebuah jeriken dan sedotan kedalam mulut Gajah kecil di
lapangan terbuka. Gajah tersebut terlihat sangat senang ketika diberi air
oleh seorang lelaki. Terlihat dari mata sang Gajah yang berbinar jelas dan
tekukan senyum yang terlihat dari bibirnya. Kebanyakan Gajah yang
diberi susu atau air oleh manusia, induk dari sang Gajah sudah tidak
ingin menyusui anaknya dikarnakan pernah tersentuh oleh manusia,
seperti halnya Kucing.
85
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Secara keseluruhan foto Rama Surya dalam buku “Yang Kuat
Yang Kalah” adalah foto yang menggambarkan peristiwa nyata yang
sedang berlangsung saat itu dan keterbatasan waktu untuk memotret
pada saat kejadiaan. Dapat disimpulkan untuk foto ini tidak
ditemukan pemalsuan foto dengan cara menambahkan elemen
kedalamnya atau pemalsuan gaya dari objek.
b. Pose
Gesture atau sikap tubuh dalam foto ketiga terlihat seseorang
lelaki yang sedang memberi minum ke Gajah kecil melalui wadah
air dan sedotan. Gestur wajah pada seorang lelaki terlihat berhati-
hati namun sedikit ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Gesture
pada sang Gajahpun terlihat sikap menerima dengan baik pemberian
seorang lelaki itu. Matanya yang terpancar berbinar-binar terlihat
dengan jelas dan lekukan senyum pada sang Gajah kecil ini.
c. Objek
Jika berbicara mengenai objek yang berada di dalam foto ini
secara keseluruhan adalah objek, namun objek yang dimaksud
adalah bagian yang paling mencolok atau penting yang biasa disebut
point of interest (POI). Sedangkan POI dalam objek foto ini berpusat
oleh Gajah kecil dan seseorang yang sedang memberi minum Gajah
yang minum dengan menggunakan wadah air. Jika dilihat secara
86
jelas pembaca bisa melihat latar belakang atau background yang
kurang padat pepohonan melainkan lapangan terbuka.
d. Photogenia (teknik foto)
Pada foto ketiga fotografer memakai lensa zoom 80-200, lensa
zoom digunakan untuk membidik foto dengan jarak jauh dan lebih
terfokus ke subjeknya yang akan menghasilkan latar belakang atau
backgroundnya blur sehingga terlihat seolah-olah menggunakan
lensa bukaan lebar atau diafragma lebar. Dalam fotografi fotografer
menggunakan teknik freezing atau beku, terlihat dalam fotonya tidak
ada shacking atau goyangan saat pengambilan foto, biasanya teknik
tersebut menggunakan speed 1/125 – keatas. Namun dalam foto ini
fotografer terlihat memiliki jarak dengan subjek seperti tidak ada
interaksi atau kedekatan personal. Apabila fotografer mempunyai
kedekatan yang lebih intim kepada subjek, fotografer tidak akan
memakai lensa zoom melaikan lensa fix 35mm atau 50mm, karna
kedekatan bisa terlihat dalam pemakaian lensanya.
e. Estetisisme
Rama surya menonjolkan sisi human interest dalam foto dengan
cara menunggu momen saat seorang lelaki memberi air dengan
menggunakan wadah air ke dalam mulut Gajah yang menimbulkan
kesan patriotisme dalam foto ini. Karena POI yang diinginkan
fotografer adalah seorang lelaki yang memberi minum ke seekor
Gajah kecil dengan menggunakan eyes view untuk mendapatkan
posisi yang sejajar dengan mata pembaca dan mata sang Gajah.
87
Selain itu penyampaian pesan yang timbulkan fotografer
terlihat, karena diafragma yang digunakan tidak terlalu besar
sehingga pusat fokus foto jelas. ISO atau asa pada foto ini mengikuti
asa bawaan dari film yang digunakan oleh fotografer, pada dasarnya
klise film pada kamera analog menimbulkan bintik-bintik kasar atau
biasa yang disebut Grain.
f. Sintaksis
Dalam sebuah buku foto caption atau keterangan yang
memperkuat foto itu memang dibutuhkan. Tetapi terkadang caption
hanya memperjelas keterangan foto tersebut tanpa mengangkat
makna dari foto itu dan membawa pembaca setuju dengan pendapat
atau penjelasan fotografer. Namun, dengan menelitinya dan
memahami makna-makna yang terkandung dalam foto ini dengan
memperhatikan elemen-elemen yang terdapat dalam foto ini maka
akan muncul makna lain atau makna sesesungguhnya dari foto itu.
Dalam foto ketiga terdapat caption yang hanya menjelaskan keadaan
singkat dari foto tersebut, bila dilihat dari foto di bagian kiri foto ada
sesorang lelaki yang memberi minum ke seekor Gajah kecil. Dalam
captionnya menjelaskan pengasuh memberi susu ke Gajah kecil. Di
sebalah kanan foto seekor Gajah kecil yang sedang minum yang
diberikan oleh seorang lelaki. Dalam keseluruhan foto ini terlihat ada
keterikatan secara emosional antara Gajah dan seorang lelaki yang dalam
caption disebut pengasuhnya.
88
3. Tahap Mitos
Mitos yang terkandung pada foto ketiga yang dianalisis dengan teori
semiotika model Roland Barthes dan teori representasi media yang
berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang
dapat dimaknai dari foto dengan berjudul ―si unyil‖ adalah cerita tentang
kebersamaan. Antara manusia dengan Gajah.
Kebersaman antar sesama itu dapat dibangun dengan adanya
hubungan yang baik antar lingkungan internal dan eksternal. Namun
untuk menimbulkan rasa itu perlu adanya pendekatan diri yang dilakukan
sejak dini yang tumbuh bersamaan dengan lingkungan. Di saat
banyaknya Gajah yang di bunuh karena kebutuhan pasar yang
meningkat, masih ada segelintir orang yang peduli terhadap tumbuh
kembangnya Gajah-Gajah di Sumatera.
Sehingga foto ini memberikan makna bahwa manusia yang ada pada
foto tersebut masih menjaga dan melestarikan satwa yang terancam
punah dengan populasi yang semakin menurun tiap tahunnya di
Indonesia.
D. Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto IV
Foto yang dibahas berikut ini adalah seekor Gajah yang sedang berada di
pertunjukkan untuk memainkan sirkus, di Parkir Timur Senayan, Jakarta.
Berikut foto yang dianalisa :
89
Gambar 4
Foto keempat
Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya
1. Tahap Denotasi
Dalam foto terlihat sekumpulan orang yang sedang menonton
pertunjukan sirkus Gajah di sebuah hall. Sejumlah penonton di bangku
depan yang memasang wajah ketakutan saat melihat Gajah melambaikan
belalainya ke bangku penonton. Tak banyak juga yang terlihat sejumlah
penonton di bangku belakang terlihat terkagum-kagum tanpa memasang
wajah ketakutan melainkan kebahagiaan.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Manipulasi foto dalam foto yang terjadi ketika fotografer atau
subjek dari foto tersebut ingin mencapai sebuah hasil dari yang
diinginkan oleh salah satu dari mereka hingga mendapatkan kesan
yang diinginkan itu timbul dari si pembacanya. Dalam foto ini tidak
terlihat ada manipulasi foto, karena pada dasarnya Rama Surya saat
90
itu adalah seorang fotografer yang berkontribusi di World Wide
Fund for Nature (WWF) yang sedang meneliti kegiatan Gajah-gajah
di Way Kambas. Akan susah apabila fotografer memanipulasi foto
yang diinginkan karena situasi yang harus menggambarkan kejadian
nyata aktivitas Gajah di Way Kambas.
Seperti yang dikatakan Rama Surya sang pemilik foto dalam
wawancara dengan peneliti. Mengatakan bahwa untuk mendapatkan
foto harus menunggu waktu yang cukup lama agar mendapatkan
aktivitas Gajah di alam bebas atau penakaran sekalipun.
b. Pose
Gaya, ekspresi dan posisi dalam foto ini beragam. Dimulai dari
penonton yang memasang wajah ketakutan, tenang, dan tersenyum.
Di barisan bangku pertama terlihat seorang ibu dan anak yang
berteriak karna berhadapan langsung oleh Gajah yang mengulurkan
belalainya ke penonton ketika beratraksi. Gajah yang beratraksi
terlihat dari posisi Gajah yang berada di atas panggung dan dibatasi
antara penonton dan panggung. Pada barisan bangku kedua dan
seterusnya terlihat wajah penonton yang tenang bahkan tersenyum
melihat atraksi Gajah.
c. Objek
Beragam objek yang terdapat pada foto keempat ini, yaitu
seekor Gajah yang sedang beratraksi di atas panggung dan sejumlah
penonton yang melihat pertunjukan dengan ekspresi bermacam-
macam. Figure atau point of interest foto terdapat pada sejumlah
91
penonton bagian bangku depan yang memasang wajah ketakutan.
Namun, bukan berarti objek-objek di sekelilingnya menjadi tidak
penting, karena semuanya saling berhubungan. Jika dilihat dari
keseluruhan foto ini,tentu saja penonton menjadi objek utama yang
menggambarkan bahwa Gajah masih menjadi hewan yang
menakutkan walaupun sudah dibina menjadi hewan penghibu
d. Photogenia
Dalam buku Rama Surya yang menampilkan foto keseluruhan
menggunakan efek hitam putih pada foto-fotonya. Foto hitam putih
pada dasarnya mempermudah untuk menonjolkan suatu ekspresi dari
subjek yang difoto. Rama Surya menonjolakn Human Interest dalam
foto dengan cara menunggu momen penonton yang terlihat
ketakutan hingga menimbulkan kesan yang dalam di foto ini.
Teknis pada pengambilan foto keempat ini menggunakan lensa
dengan diameter lebar atau lensa wide yaitu 24mm untuk dapat
menangkap keseluruhan atau entire di dalam acara atau atraksi Gajah
sebagai topic utama di dalam foto ini. Pemilihan lensa 24mm
membuat figure atau point of interest foto terlihat jelas distorsi,
dengan masih menunjukkan lingkungan di sekeliling figure. Dalam
foto ini fotografer menggunakan Low Angle, karena POI yang
diambil oleh Rama memiliki tinggi yang tidak setera dengan mata
yaitu kamera berada di posisi bawah, hal tersebut dilakukan untuk
mendapatkan posisi yang pas dengan pandangan mata yang lurus ke
kamera.
92
e. Estetisme
Segala hal yang berada di dalam foto adalah komposisi yang
mempunyai makna masing-masing. Komposisi dalam foto ini terdiri
dari Gajah dengan porsi lebih besar dan tinggi dalam frame dan
sejumlah penonton yang sedang menonton atraksi sirkus Gajah
dalam seluruh bagian foto. Dalam foto keempat terdapat komposisi
2/3 lebih banyak penonton, Gajah dengan 1/3 bagian menjadi
frontground.
Kepadatan dalam foto ini menjadi hal yang menarik karena
kepadatan ini mendukung peristiwa yang sedang berlangsung,
Beberapa wajah penonton difoto ini tentu menjadi sebuah pusat
perhatian foto.
f. Sintaksis
Sintaksis yang merupakan pengamatan keseluruhan elemen
dalam penyajian suatu karya, yang biasanya dalam foto dokumenter
terdapat foto dan teks. Namun, dalam foto keempat ini teks hanya
sebatas memberikan keterangan lokasi yaitu di Parkiran Timur
Senayan, Jakarta. Oleh karena ini peneliti lebih melihat dari susunan
elemen yang terkandung dalam foto keempat ini yang dapat
disiimpulkan. Bahwa foto ini menggambarkan berbagai emosi yang
menyenangkan dan menakutkan. Bahkan dapat diartikan bahwa
hewan Gajah yang bertubuh besar dan biasanya berada di alam liar,
sekarang berada di atraksi Gajah yang ditonton oleh banyak orang.
93
3. Tahap Mitos
Mitos yang berada difoto keempat tidak luput dari satu kepahaman
pada orang lain yang membacanya, dengan kata lain tanda-tanda yang
ada di foto ini dan mitos yang ada di dalam foto ini sama-sama memiliki
kesamaan paham dengan orang lain yang membacanya. Seperti halnya
apada raut wajah ketakutan pada penonton di bangku barisan pertama,
terlihat pada teriakan dan pose badan yang berusaha menghindari
kedekatan dengan Gajah yang sedang beratraksi. Seperti halnya orang
ketakutan atau cemas, biasanya berusaha menjauhkan diri dari lawannya.
Hal ini jelas terlihat ganjil bagi orang-orang yang sebelumnya
berfikir Gajah itu perusak ladang dan pemukiman warga. Banyaknya
penonton yang hadir dalam atraksi sirkus ini menjadikan kita berfikir
bahwa Gajah bukanlah lagi hewan yang bertubuh besar menakutkan
melainkan seperti badut yang bisa menghibur penonton dari berbagai
kalangan umur seperti yang terlihat difoto ini.
Foto yang direkam oleh Rama Surya pada tahun 1996 menjelaskan
bahwa Gajah sudah menjadi hewan penghibur dari tahun ke tahun. Di
mana Gajah yang dapat mereprentasikan hewan bertubuh besar dengan
berat hampir 100kg pada Gajah dewasa, saat dididik bisa menjadi hewan
yang patuh saat pertunjukan.
E. Analisis Analisis Denotasi, Konotasi dan Mitos Foto V
Foto yang dibahas berikut ini adalah dua ekor Gajah yang sedang
antraksi sandiawara, di Taman Safari Indonesia. Berikut foto yang dianalisa :
94
Gambar 5
Foto 5
Sumber: Yang Kuat Yang Kalah Karya Rama Surya
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terlihat dua ekor Gajah yang sedang bersandiawara
pada pertunjukkan di muka umum. Terlihat sekumpulan orang mulai dari
anak kecil sampai dewasa yang menyaksikan adegan sandiwara dua ekor
Gajah. Dua ekor Gajah yang berperan sebagai dokter dan pasien, terlihat
dari kain yang bersimbolkan Palang Merah Indonesia (PMI) pada
punggung salah satu Gajah dan Gajah satunya memerankan adegan
tertidur tak berdaya.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Dalam foto kelima tidak menggunakan trick effect. Tidak
merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dnegan kamera. Satu
95
elemen pun tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan.
Rangkaian narasi visual yang berada dalam buku foto Yang Kuat
Yang Kalah Karya Rama Surya ini menggunakan pendekatan
documenter. Dengan pendekatan tersebut diketahui bahwa setiap
karya foto dokumenter yang diciptkan tidak melalui proses
manipulasi. Kejadian sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat
menripkan pedoman foto dokumenter.
b. Pose
Gaya, ekspresi dan posisi dalam foto ini beragam, dimulai dari
penonton yang memasang wajah ketakutan, tenang, dan tersenyum.
Ekspresi yang ditunjukkan saat menonton sirkus merupakan hasild
ari penggambaran hati atau kondisi tubuh.
Pose pada Gajah jika diperhatikan maka terlihat jelas bahwa
tergambar wajah yang lemas, dan mata yang sayu menggambarkan
kesedihan yang sedang dijalani Gajah. Pada foto ini seolah Gajah
berbaring dengan pasrah tidak berdaya dihadapan manusia. Seolah
ingin menunjukkan kepenonton apa yang sedang dirasakan oleh
Gajah-gajah ini.
c. Objeck
Beragam objek yang terdapat pada foto kelima ini, yaitu dua
ekor Gajah, sejumlah penonton yang mengelilingi arena
pertunjukkan, dan keadaan lingkungan pekat yang seluruhnya
berwarna hitam putih. Dari keseluruhan objek, figure atau point of
interest foto terdapat pada Gajah. Namun, bukan berarti objek-objek
96
di sekelilingnya menjadi tidak penting, karena semuanya saling
berhubungan. Membicarakan soal objek inti yang menjadi POI,
Gajah ingin menunjukkan peran asli mereka sebagai hewan bertubuh
besar dan kuat bisa ditahlukan oleh manusia yang ukuran tubuhnya
tidak seberapa dengan Gajah.
d. Photogenia
Teknis pada pengambilan foto kelima ini menggunakan lensa
dengan diameter tidak terlalu lebar atau lensa sekitar 35mm untuk
dapat menangkap kedekatan fotografer dengan peristiwa utama
atraksi sandiwara Gajah. Fotografer menggunakan angel eye view
dan vertical pada pengambilan foto atraksi ini, hal tersebut guna
menjelaskan fokus penggambaran yang ingin ditunjukkan ke
pembaca agar tidak melebar.
Pemilihan lensa 35mm membuat figure atau point of interest
foto terlihat jelas tanpa distorsi, dengan masih menunjukan
lingkungan di sekeliling figure. Namun, dalam foto ini fotografer
terlihat memiliki jarak dengan subjek atau Gajah yang beratraksi,
seperti menunjukan belum adanya interaksi atau kedekatan secara
personal. Saat pengambilan gambar fotografer melakukan under satu
stop dari normal yang tidak disengaja sehingga fotografer melakukan
burning dodging saat finishing. Terlihat warna putih yang sengaja di
naiki kontrasnya sedangkan untuk warna sekitarnya terlihat lebih
gelap.
97
e. Estetisme
Format yang digunakan pada foto kelima ialah vertikal.
Komposisi foto ditunjukkan secara full pada dua ekor Gajah yang
sedang bersandiwara didepan penonton. Komposisi vertikal
menampilkan portrait yang focus pada subjek yang ingin kita
tampilkan.
Penulis melihat Rama Surya menggunakan garis dan bentuk
lainnya dengan mengkomposisikan lapisan pada scane untuk
menciptkan kedalaman visual. Kedalaman visual dapat disampaikan
secara berbeda-beda tergantung dengan diafragma saat pengambilan
gambar. Semakin sempit semakin jelas dan dalam sebuah subjek.
f. Sintaksis
Dalam foto jurnalistik dan dokumenter biasanya dapat kita lihat
lewat teks yang ada pada judul atau keterangan foto, namun ketika
sebuah foto berdiri sendiri tanpa teks seperti pada foto kelima ini,
bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Sebuah foto, terlebih
pada foto jurnalistik dan documenter. Pada hakikatnya adalah
medium penyampaian pesan, dengan atau tanpa teks. Disini peneliti
menjelaskan unsur sintaksis pada data foto lima dengan melihat
elemen-elemen dala foto yang dapat memberikakn sebuah cerita
dalam satu bingkai foto.
Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di konotasi,
didapati makna dari foto tersebut adalah dua ekor Gajah yang
memerankan sandiawara penolongan pada Gajah yang terluka atau
98
terbunuh. Seekor Gajah yang memakai kain Palang Merah Indonesia
(PMI) yang menggambarkan Gajah siaga pada pertolongan Gajah
yang lain.
3. Tahap Mitos
Mitos yang terkandung pada foto kelima yang dianalisis dengan
teori semiotika model Roland Barthes dan teori representasi media yang
berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang
dapat dimaknai dari foto dengan berjudul ―Tolonglah Aku‖ adalah cerita
tentang atraksi sandiwara gajah di tempat umum.
Hal ini jelas terlihat ganjil bagi orang-orang yang sebelumnya
berfikir Gajah itu perusak ladang dan pemukiman warga. Banyaknya
penonton yang hadir dalam atraksi sirkus ini menjadikan kita berfikir
bahwa Gajah bukanlah lagi hewan yang bertubuh besar menakutkan
melainkan seperti badut yang bisa menghibur penonton dari berbagai
kalangan umur seperti yang terlihat difoto ini.
Foto ini lebih menjelaskan bahwa Gajah sudah menjadi hewan
penghibur dari tahun ke tahun. Di mana Gajah yang dapat
mereprentasikan hewan bertubuh besar dengan berat hampir 100kg pada
Gajah dewasa, saat dididik bisa menjadi hewan yang patuh saat
pertunjukan.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari data yang telah dikaji melalui tawaran membaca foto yang diajukan
oleh Roland Barthes, akan didapati kesimpulan, yaitu:
1. Makna denotasi yang didapati dari hasil analisis semiotika buku foto
yang berjudul Yang Kuat Yang Kalah karya Rama Surya, memberikan
gambaran tentang hewan melalui cerita foto yang dilakukan fotografer
Rama Surya terkait pesan tentang kehidupan Gajah di penangkaran Way
Kambas. Lewat konstruksi foto yang tidak lazim, pemilihan format
warna dan objek yang dipilih membuat foto-foto yang ada menjadi di
luar kebiasaan foto jurnalistik pada umumnya.
Meski dalam rangkaian kisah Yang Kuat Yang Kalah bab Kisah
Kesah Gajah Sumatra terdapat 15 foto, namun lima foto yang pilih
peneliti mempunyai kekuatan yang membuat para khalayak atau pelihat
foto mengerti atau setidaknya dapat merasakan kisah Gajah di Way
Kambas . Yang tergambarkan dengan begitu mendalam oleh Rama
Surya. Mendalam yang dimaksud terlihat dari kedekatan Rama Surya
dengan subjek yang ia potret, suatu pendekatan antar manusia dengan
hewan, bukan fotografer dan objek foto. Kedekatan itu jelas terlihat
dalam 3 dari 5 foto yang diteliti. Selain itu, kelima foto tersebut juga
dapat dengan mudah diterima atau dimengerti oleh para pelihat foto
termasuk peneliti.
100
Oleh karna itu tahap denotasi dalam lima foto yang dipilih dapat
dijabarkan dengan baik dalam penelitian ini.
2. Hasil analisis makna konotasi yang terdapat dalam analisis foto ini
memberikan sebuah ungkapan bahwasannya untuk memahami foto
Jurnalistik tidak cukup sebatas dengan melihat apa yang tampak.
Terlebih melihat foto-foto yang ditampilkan dengan format hitam putih.
Pada tahap ini peneliti menyadari foto bahwa foto-foto yang terkandung
tidak hanya dimaknai sebatas penglihatan mata saja, melainkan
melibatkan pikiran dan perasaan. Keterlibatan pikiran dan perasaan inilah
yang membuat foto mempunyai makna bagi para pelihatnya. Makna yang
juga sudah disusun atau minimal sudah terpikirkan oleh fotografer
sebelum Rama Surya memotret.
Dari kelima foto tersebut terdapat beragam makna yang muncul,
seperti tentang warna hitam putih yang jelas tidak menggambarkan
kebahagiaan atau kebebasan dalam hidup, pemilihan film black and
white pada pemotretaan sehingga menimbulkan banyak grain yang
membuat foto terlihat kasar memicu pesan konotasi tentang kerasnya
kehidupan Gajah Sumatra. Juga portrait sang pawang yang menunjukkan
peluru bius guna melumpuhkan Gajah buruan untuk di bawa ke PLG
Way Kambas yang menimbulkan kekejaman dan eksploitasi hewan dan
pesan lainnya yang juga dapat diartikan berbeda-beda pada setiap pelihat
foto. Pesan konotasi ini jelas melibatkan latar belakang para pelihat foto,
semakin banyak pengalaman dan hal-hal yang dipelajari, makin luas pula
makna konotasi suatu foto.
101
3. Kesimpulan pada tahap mitos ini merupakan kelanjutan dari tahap
denotasi dan konotasi sebelumnya. Mitos yang terkandung dalam lima
foto ―Yang Kuat Yang kalah” bab ―Keluh Kesah Gajah Sumatra” karya
Rama Surya ini sangat beragam. Mitos lahir karena adanya pesan
konotasi yang lalu dipercaya oleh orang banyak dalam suatu budaya dan
kejadian ditiap wilayah. Oleh karena itu, keberadaan mitos sangat
beragam, ada mitos yang diyakini secara universal dalam hal ini banyak
negara atau wilayah, ada pula mitos yang diyakini secara lokal atau
hanya di kawasan tertentu saja.
Dari kelima foto yang diteliti menunjukkan berbagai mitos yang
terkandung, seperti kekuatan atau ketangguhan gajah yang diyakini
secara universal dan ada pula mitos lokal yang menganggap gajah
menjadi suatu hewan yang tidak hanya sebagai hama bagi penduduk,
namun juga sebagai ladang uang untuk orang-orang yang hendak
mengambil gadingnya pada masyarakat Lampung atau Indonesia.
Tentang mitos gajah yang mengerikan sering terdengar bahwa banyak
terluka atau terenggut nyawanya karena gajah yang masuk kedalam
rumah penduduk.
Mitos tidak hadir begitu saja tanpa sebab atau maksud, melainkan
dapat diciptakan dan bahkan memiliki maksud atau tujuan yang ingin
dicapai. Sebagai contoh sederhana dalam penelitian ini saja, bahwa mitos
tentang Gajah Sumatra yang pada akhirnya menyerah ditangan manusia
karena populasi gajah yang semakin menurun. Gajah yang
menggambarkan kekuatan menyerah pada keadaan akibat ulah manusia.
102
B. Saran
Jika dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa fotografi tidak hanya hadir
sebagai suatu pesan yang apa adanya (denotasi), melainkan mempunyai
punyai pesan yang terkandung di dalamnya (konotasi) tergantung dari latar
belakang pelihat foto, dan lalu hal tersebut akan menjadi suatu mitos jika
telah dipercayai oleh banyak orang atau sekumpulan masyarakat, seperti yang
ungkapkan oleh Roland Barthes dalam teori analisis Semiotika. Dari
penelitian telah disimpulkan pada bab ini, maka adapun saran agar penelitian
ini tidak berhenti di pada analisis ini saja dan dapat terus berkembang di
kalangan mahasiswa progam studi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khalayak umum yang menyukai dunia fotografi khususnya fotografi
esai dan jurnalistik, sebagai berikut:
1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang didapati dari kelima foto
yang diteliti, memberikan suatu refrensi tentang tampilan foto-foto
dengan mengusung tema atas fenomena satwa langkah seperti gajah yang
tengah terjadi di Indonesia. Refrensi tampilan-tampilan foto dalam isu
yang diteliti dapat menjadi suatu acuan bagi para fotografer pemula
khususnya.
2. Analisis menggunakan metode semiotika menjadi hal banyak diminati
oleh para mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah, hal ini dilihat dari banyaknya mahasiswa yang
membuat skripsi dengan metode analisis tersebut, oleh karena itu peneliti
memberi saran atau masukan agar diadakan mata kuliah semiotika di
fakultas ini, minimal dua semester.
103
3. Adapun masukan untuk buku Yang Kuat Yang Kalah bab Keluh Kesah
Gajah Sumatra karya Rama Surya, meskipun fotografi memiliki
kekuatannya sendiri untuk bercerita atau menyampaikan pesan, ada
baiknya bila dalam membuat buku fotografi esai seperti ini dituliskan
sumber dan keterangan lebih jelas mengenai subjek-subjek pada foto.
Namun, ini buku yang jelas luar biasa menarik dan sangat bermanfaat
bagi perkembangan fotografi di Indonesia bahkan Dunia dengan karya
yang luar biasa.
4. Dalam penelitian ini tergambarkan dengan jelas fungsi fotografi yang
dapat menceritakan suatu kelangkaan pada hewan yang dilindungi secara
mendalam atau bahkan utuh. Rama Surya begitu sabar membuat cerita
foto dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendapatkan foto yang
berbeda-beda, tidak seperti kebanyak fotografer Indonesia yang membuat
cerita singkat atau bahkan masih terjebak hanya pada estetika fotografi.
Oleh karena itu, diharapkan bagi pembaca penelitian ini, nantinya dapat
membuat foto yang bercerita dan esai dengan waktu panjang, tempat
yang berbeda-beda namun masih dalam satu topic, dan dapat membuat
foto yang tidak hanya estetis melainkan memiliki pesan yang terkandung
di dalamnya.
Dengan itu, diharapkan penelitian-penelitian semiotika dan fotografi
yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dapat terus berkembang dan diikuti dengan pengkembangan
pemahaman fotografi sebagai suatu bahasa visual atau bahasa
komunikasi di masyarakat Indonesia.
104
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Abdullah, Mudhofir. Al- Quran & Konservasi Lingkungan (Argumen Konservasi
Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah, Jakarta: Dian Rakyat,
2010.
Abrar, Ana Nadya. Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995.
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek, Yogjakarta:
Galang Press, 2002.
Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Barthes, Roland. Imaji Musik Teks (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Benny H.Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2014
Bram, Deni. Hukum Lingkungan Hidup: dari Homo Ethic ke Homo Ethic, Bekasi:
Gramata Publishing, 2014.
Budiman, Kris. Semiotika Visual, Yogjakarta: Jalasutra, 2011
Boomgard, P. Frontiers of Fear. New.Haven, ProQuest Ebook Central, 2001
Dharmawan, Bagas. Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR, Yogyakarta:
Pustaka Baru Press, 2016.
Erwin, Muhamad. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cetakan
Kesembilan Belas, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Harsno Andreas, Agama Saya adalah Jurnalisme, Yogjakarta: Penerbitan
Kanisius, 2010.
Howard davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media, Yogyakarta: Jalasutra,
2010, cet-1.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan Indonesiatera,2001
Loeb, Edwin M. Sumatra its History and People, Wein : Verlag des Institutes fur
Volkerkunde der Universitat Wien, 1935.
105
M. Budyatna. Jurnalistik, Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
Mangunjaya, Fachruddin M., dkk. Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi,
dan Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Marsden, William. Sejarah Sumatera, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013
Moleong, Lexy.J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007
Muhtadi, Asep Saeful., Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, Jakarta: logos
Wacana Ilmu, 1999.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010.
Naess, Arne & Sonny Keraf. Etika Lingkungan, Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006.
Naess, Arne. Ecology, Community and Lifestyle, United Kingdom, Cambridge
University Press, 1989.
Noth, Winfried. Hand Book Of Semiotikas, Bloomington: Indiana University
Press, 1990.
Paul Cobley dan Liza Jansz, Introducing Semiotikas, New York: Icon Books-
Totem Books,1999.
Prasetya, Erik. On Street Photography, Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer
Gramedia], 2014.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011.
Bachtiar, Ray. Chip Foto Video Ritual Fotografi, Jakarta: Kompas Gramedia,
2010.
Rita Gani, Ratri Rizki Kusualestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013.
Sedyawati, Edi. Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri
Budaya Jakarta : Komunitas Bambu, 2014.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2003.
Sugiarto, Atok. Jurnalisme Pejalan Kaki, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa, Yogjakarta: Kanal, 2002
106
Wetty, Ni Nyoman. Struktur Bahasa Lampung Dialek Abung (University of
California : Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi, Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2013.
Karya Ilmiah
Kana, Sisca R. Proposal ―Perancang Buku Foto Esai Perempuan dan Tenun Ikat
Kabupaten Rote-Ndao Nusa Tenggara Timur‖ di Institusi Seni Indonesia
Yogjakarta 2015
Website
―Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey‖, dari
http://www.berilmu.com/photography1.php.Artikel diakses pada 02
Januari 2018
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Patriotisme (di akses pada tanggal 13 februari
2018).
http://www.wwf.or.id/?26300/WWF (di akses pada tanggal 15 Februari 2018).
http://waykambas.org/sejarah-taman-nasional-way-kambas/‖ (diakses pada
tanggal 03 April 2018) pukul 08:45 WIB.
http://waykambas.org/ekosistem-hutan-way-kambas/ Diakses pada tanggal 03
April 2018, pukul 09:07 WIB.
http://www.wwf.or.id/program/spesies/gajah_sumatera/ yang diakses pada tanggal
13 Februari 2018
http://www.stikosa-aws.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/Artikel-5-Jurnalisme-
Lingkungan-di-Amerika.pdf yang diakses pada tanggal 18 April 2018
https://www.academia.edu/5783073/Media_Kita_dan_Lingkungan_Hidup diakses
pada tanggal 18 April 2018.
http://www.bimbingan.org/jurnalisme-lingkungan.htm diakses pada tanggal 18
April 2018
107
LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Bimbingan Skripsi
2. Surat Permohonan Penelitian/Wawancara
3. Surat Keterangan Wawancara
4. Hasil Wawancara
5. Dokumen Foto
108
Hasil Wawancara
Hari/ tanggal/ pukul : 18 Januari 2018
Lokasi : Rumah Makan TSP, Pejompongan, Jakarta Pusat
Narasumber : Rama Surya
1. Mas Rama didalam buku ini yang mengenai gajah, butuh waktu
berapa lama observasi nya mas?
Jawab: awal mulanya saya ada kenalan orang WWF, meraka ngasih info
untuk jurnalis yang mau ikut operasi meraka mengenai krisis gajah, bisa ikut
bersama WWF. Melalui jalur WWF saya ketemu dengan pawang2 gajah dan
yang lainnya ada di Riau lagi ada penangkapan gajah liar masuk dalam
pemukiman dan ditangkapi lalu digiring ke Waykambas. Setelah itu ada
yang dipakai di sirkus. Kebetlan di Jakarta sedang ada sirkus dan juga ada di
taman safari. Sedangkan gajah-gajah yang berada di Riau kebanyakan
dipakai untuk menarik kayu-kayu gelondongan dari hutan tanaman industri.
Nah.. WWF memiliki izin untuk masuk dalam wilayah gajah-gajah.
2. Berapa lama masuk ikut perjalanan dari Waykambas lalu ke riau?
Jawab: ya ituuuu… kira-kira saya kejar 2 bulan tapi gak terus-terusan tiap
hari. Tapi kalau ada kesempatan kemana saya ikut, contoh ke Waykambas
beberapa kali, 2 sampai 3 kali. Trus ke Riaunya dan ke taman safari
ketempat sirkus. Yang lebih banyak ke Waykambas nya. Ini foto yang di
riau ini dan ini yang di Waykambas. Nah ini lagi penangkapan riau yang
gajah belum ketangkep yang ini sudah dilatih ini dulunya gajah liarnya.
109
Setelah ditangkep ditembak sama peluru bius baru dirantai seperti ini,
makanya matanya pada ngantuk-ngantuk gini.
3. Selama perjalanan, mas Rama pakai kamera apa?
Jawab: Saya pakai Nikon FM2, film Hitam Putih.
4. Mas boleh ceritain dulu gak sih awal mulanya terjun ke dunia
fotografi?
Jawab: Jadi saya tamat SMA tahun 1990 di bukittinggi, terus saya ke
Bandung ikut UMPTN seperti SMPTN. Trus karna niatnya saya mau di
negeri ternyata gak dapet, akhirnya saya mencoba tahun depan lagi. Selama
setahun ini saya ngisi kesibukan saya dengan kursus foto di bandung. Yang
namanya ISFD (Seni fotografi dan desain Bandung). Kemudian saya ikut
forografer wedding sebagai asistennya setelah saya kursus karna saya mau
prakteknya juga. Disuruh megang lightingnya kemana-mana sesuai perintah
sang fotografer, jadi itu buat belajar saya. Kemudian, saya setelah itu saya
menjadi freelance. Tahun 1991 saya foto mengenai anak kecil bawa paying
inih yang ada dihalaman pertama. Tahun 93-94 saya daftar di majalah Hai,
dari 95-98 di Majalah Fotomedia karna satu-satunya itu punyanya Kompas
Group terbitnya bulanan. Selama saya di sana terbitlah buku foto Yang Kuat
Yang Kalah.
5. Ada cerita tentang mas Rama Surya bekerja di ISI Yogjakarta?
Jawab: waktu itu karna lagi krismon, jadi saya ikut test untuk di sastra
inggrisnya. Trus saya keterima dan pindah ke yogjakarta tahun 98-2000.
Disitu saya minta mengajar Foto Jurnalistik di ISI karna pengalaman-
pengalaman saya.
110
6. Kegiatan selain mengajar di Yogjakarta, Mas Rama ada kegiatan lain
gak?
Jawab: selama saya di Yogjakarta, saya juga mengarap Yogjakarta Street
Mitology selama dua tahun saya di sana. Hasil foto ini sudah di pamerkan di
Nikon Image Gallery, swiss dan kemarin akhir 2017 dipamerin juga di
Bandung. Karya yang penting 98 ialah pas saya ke Kalimantan mengenai
kebakaran hutan. Itu keluar seri Borneo: Air Mata Api.
7. Mas Rama sendiri ada keterkaitan khusus gak sih ke Foto lingkungan?
Karna selama ini foto mas Rama lebih ke Lingkungan contohnya
Gajah, Ijen, Borneo dll ?
Jawab: saya masuk ke dalam aliran foto documentary. Itu saya garap
macem-macem seperti kemarin di borneo yang kebakaran hutan karna ada
kesempatan makanya saya garap saja. Saya bekerjasama dengan WWF
untuk nebeng dan masuk ke belusukan2 hutan. Karna ada mendanai masalah
lingkungan, jadi saya jadikan saja foto-foto yang sedang berlangsung.
8. Sejauh ini ada harapan untuk recovery foto-foto Gajah gak sih? Kan ini
buku foto 1996 ada gak sih mau buat yang barunya?
Jawab: sejauh ini sih mau terbitin ulang lagi tapi digabung dengan foto-foto
saat di Kalimantan tentang kebakaran hutan.
9. Menurut mas foto gajah-gajah yang paling menyentuh mas Rama ?
Jawab: yang paling nyesek itu saat di Waykambas mereka di rantai-rantai
kaki dan matanya ditutup.
10. Mas ada maksud tersendiri gak sih dari judul buku “Yang Kuat Yang
Kalah” ini?
111
Jawab: kalau kita liatkan subjek yang saya sorot di sinikan lebih ke
orangnya, penambang emas, buru pembawa belerang kawah ijen, nelayan.
Itukan ereka orang yang kuat secara fisik tapi di system dia kalah. Seperti
gajah diakan hewan yang kuat tapi nyata dia kalah juga oleh sisem mereka
akan kalah pada akhirnya dapet judul ―yang kuat yang kalh‖. Kita ga bisa
liat tongkrongannya.
11. Ada kepikiran lain ga sih mas selain judul ini?
Jawab: Ada, pergulatan hidup tapi agak terlalu umum. Kalau inikan spesifik
yang kuat yang kalah, katanya kuat tapi kalah. Nah itu menimbulkan
kontradiksi akhirnya editor fotonya mas Erick Prestya setuju juga sama
judul ini.
12. Buku “Yang Kuat Yang Kalah” pernah dipamerkan di Jakarta ya
mas?
Jawab: Di Galeri Foto Jurnalistik Antara tahun 1996 bulan September.
13. Ada fotografer panutan gak sih mas?
Jawab: Ada, saya buat ini terpengaruh oleh Sebastio Salgdo buku Walker.
Saya liat cara membuat komposisi yang pakai film hitam putih. Jadi saya
belajar foto 90 tahun 91 saya sudah tertarik foto hitam putih karna salgado.
14. Jadi Buku Yang Kuat Yang Kalah ini memang kesengajaan dari mas
Rama Surya nya sendiri ya? Secara mas Rama bukan dari kalangan
aktivis lingkungan.
Jawab: Saya memang bukan seoarang aktivis lingkungan namun saya
khawatir, prihatin dan saya mau untuk menyelusuri tentang gajah ini salah
112
satu informasinya ya dari WWF. Saya meminta WWF mengajak jurnalis
untuk meliput itu.
15. Tapi kalau diliat gajah yang sekarang semakin hari semakin berkurang
bahkan jauh berkurang, itu ada pesan khusus gak sih buat kejadiian
saat ini sedangkan mas mengangkat kejadian ini dari 1996 dan masih
sampai saat ini 2018 masih sama?
Jawab: Yakan sebetulnya, jelas inikan sedih, mengkhawatirkan tapi ya
gimana hutan-hutan di Indonesia ga di Sumatra, ga di manapun terutama ini
gajahkan di Sumatra itu hutannya semakin habis dan digantikan oleh kelapa
sawit. Jadi tuh susah masuk kekelapa sawit penduduk ya marah sedangkan
tadinya itu wilayah gajah inikan terjadi karna konflik kepentingan dan
terpenuhi yang artinya wilayah-wilayah hutan yang tadinya dirusak atau alih
fungsi dengan bahasa halusnya.
16. Yang saya lihat dari narasi mas Rama Surya ada kata alih fungsi oleh
pabrik kayu setempat, mulai saat itulah gajah-gajah dibantai ke
wilayah warga. Banyak juga yang dijadikan pengangkut kayu-kayu
tanggapan mas saat melihat itu gimana?
Jawab: Gajah-gajah tersebut tidak diperjual belikan melainkan dipelihara
dan diberi makan untuk mengangkut kayu-kayu di pabrik-pabrik. Sedangkan
makanan gajah sendiri banyak, jadi diberi upah nya melalui makanan-
makanan.
17. Project kedepannya lagi untuk lingkungan ada lagi gak mas?
Jawab: Kalau saya sekarang projectnya buku Home tentang rumah-rumah
Tiong Hoa atau Chines yang bertema tentang RAS. Pertama saya