makna simbolik arsitektur masjid pathok negoro
TRANSCRIPT
MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR MASJID PATHOK NEGORO SULTHONIPLOSOKUNINGYOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi sebagian SyaratMemperolehGelar
SarjanaTheologi Islam (S.Th. I)
Disusun oleh:
NIM: 08520025
Rizki Aulia
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDINDAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
vi
MOTTO
Hidup adalah untuk bahagia dalam kehidupan itu tidak berat dan juga
tidak ringan, asal kita mau bersyukur segalanya akan lebih indah jadi
bukan berusaha untuk Menjadi Manusia yg BERHASIL, Tapi
Berusahalah untuk Menjadi Manusia yg BERGUNA,, Karena kalau kita
Sudah BERGUNA itu sudah Menjadi Suatu KEBERHASILAN"
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk Abah Mamah tercinta yang selalu mendo’akan memberikan semangat, motivasi dan teman teman yang selalu mensuport
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdullilahirobbil alamin
Puji syukur bagi Allah yang telah memberikan hidayah dan syafaatnya
yang telah memberikan kesehatan yang sangat mahal harganya dari apapun. Tidak
ada daya upaya sebagai makhluknya selain atas keridhoan dan pertolongan dari
yang sang maha kuasa. Karena tidak ada kesempurnaan selain diri-NYA karena
diri-Nyalah raja dari segala raja yang ada di dunia ini. Shalawat serta salam Kami
panjatkan kepada Junjungan Nabi Agung Muhammad SAW beserta para sahabat,
keluarga, dan umatnya hingga akhir zaman yang selalu diberikan cahaya
keimanan. Amiin.
Dalam proses menyusun skripsi ini hingga tahap penyempurnaan, banyak
rintangan dan tantangan yang penulis alami baik ketika dalam proses lapangan
maupun penyusunan data. Namun banyaknya pihak yang memotivasi, hingga
mendukung akhirnya karya ini alhamdullilah dapat diselesaikan. Dalam
kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada
seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan
semangat, motivasi dan dukungan selama proses studi kepada:
1. Prof. Dr. Musa Asy’ari selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Dr. H. Syaifan Nur, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Ahmad Muttaqin, M.Ag. MA, Ph.D selaku ketua Jurusan Perbandingan
Agama.
viii
4. Drs. Rifa’I Abduh MA selaku dosen pembimbing akademik
5. Prof. Dr. H. Djam’annuri selaku pembimbing skripsi ini, arahan, nasehat
dan bimbingan sangat berarti dan berharga bagi peneliti dalam prnyusunan
hingga selesainya karya ilmiah ini.
6. Seluruh Dosen Perbandingan Agama beserta stafnya, Khairullah Zikri.
S.Ag, MA St.Rel, Ustadi Hamzah S.Ag, M.Ag, Roni Ismail S.Th.I, M.S.I,
Ibu Dian Nur Anna S.Ag, MA, Ibu Sekar Ayu Aryani, Ibu Izzah, Bapak
Ahmad Salehudin, Bapak Norma Permata Bapak Dr. Moh Soehadha,
S.Sos, M.Hum, Bapak Singgih Basuki, Bapak Rahmat Fajri dan seluruh
dosen Ushuluddin yang pernah berbagi ilmu dan tidak disebutkan
semunya dalam karya ini.
7. Bapak M Kamaluddin Purnomo, SH, sebagai Ketua takmir Masjid Pathok
Negoro Plosokuning yang telah memberikan bimbingan informasi, bapak
Sudaryono yang telah memberikan arahan informasi dan bapak Bughowi
yang telah memberikan banyak informasi tentang Masjid Pathok Negoro
Ploso Kuning.
8. Kepada seluruh warga desa minomartani yang telah sudi Kami wawancara
dan memberikan informasinya tentang Masjid Pathok Negoro secara
umum dan Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara khusus.
9. Kepada Abah dan Mamah tercinta, terimakasih yang telah memberikan
kasih saying yang tulus tak ternilai harganya, terimakasih atas motivasi
nasehat bimbingan dan kesabaran serta perjuangan mendoakan menafkahi
anakmu ini juga keluarga besarku, irul, elan, ina, ayyi, amrina.
ix
10. Adik-adikku tersayang terutama adikku M. Nasrullah yang seperjuangan
yang telah memberikan warna dalam hidup hingga selalu merasakan
kehidupan ini adalah suatu wujud untuk kebersamaan dan tolong
menolong. Dan adikku yang lain selalu mengingatkan dan mendo’akan.
11. Sahabat-sahabat Perbandingan Agama 08’ sahabat-sahabat PMII, sahabat-
sahabat yang selalu setia
12. Dan seluruh teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat ditulis satu
persatu yang dengan tulus ikhlas membantu dalam semua hal.
Selain itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak tersebut karena ucapan terimakasih dan lantunan do’a yang
dapat penulis berikan. Semoga segala kebaikan kalian menjadi sebuah
benruk ibadah yang akan dibahas oleh Allah dengan balasan setimpal, dan
semoga ilmu yang telah kalian berikan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Akhir kata semoga karya ini bisa bermanfaat dan menjadi sumber motivasi
bagi penulis untuk meraih cita-cita amin ya robbal alamin.
Yogyakarta 12 juni 2013
Penulis
NIM: 08520025
Rizki Aulia L
x
ABSTRAK
Peneliti berangkat dari persoalan kompleksitas simbol yang berada di Masjid Plosokuning. Salah satunya adalah simbol menurut Ernst Cassirer menyebutkan bahwa simbol merupakan totalitas dari sebuah fenomena, tempat dimana pengisian makna keindrawian terungkap: sekaligus pernyataan diri sebagai manifestasi dan inkarnasi suatu makna. Tampaknya dalam perumusan ini ada dua hal luluh menjadi satu, akan tetapi dalam pemikiran Cassirer satu-satunya yang ada hanyalah “Roh” dan tindakan roh menghasilkan bentuk-bentuk simbolik.
Dengan kenyataan tersebut, ada dua hal yang akan dijawab dalam penelitian ini yakni pertama, apa makna dan fungsi simbol-simbol arsitektur di Masjid Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta? Kedua, bagaimana masyarakat dalam melestarikan eksistensi budaya Masjid Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, diperlukan pendekatan fenomenologi agama, sedangkan fokus penelitian ini adalah tentang makna simbolik arsitektur, sementara metode yang dipakai adalah deskriptif analisis. Metode pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukan banyak simbol-simbol yang terkandung makna di dalamnya seperti makna kolam di area Masjid, mustoko gada bersuhur mempunyai arti dan makna sendiri seperti mustoko yang secara letak. Letaknya dipucuk paling atas sendiri maknanya adalah pada titik ini, jika manusia mampu melampaui semua itu dengan berlandaskan pada pegangan atau tuntunan agama yang diyakini kebenarannya maka manusia akan menggapai kesempurnaan hidup yang diidamkan. Secara garis besar fungsi Masjid mempunyai beragam fungsi, sebagaimana pada zaman khulafaurrasyidin masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai tempat musyawarah, pendidikan dan lain sebagainya. Ditengah banyak fungsi tersebut sudah barang tentu mempunyai makna lain dari sebagaimana dari makna simbol-simbol yang ada dilingkungan Masjid. Begitu pula yang ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning mempunyai makna dan simbol dari Masjid tersebut. Selain itu, fungsi dari pada berdirinya Masjid Sulthoni Plosokuning Pathok Negoro adalah sebagai pusat syiar agama Islam di wilayah Negara Agung Kasultanan Yogyakarta, sebagai penerus corak Kerajaan induknya, yaitu Mataram Islam, sebagai pusat pertahanan rakyat, memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan pertahanan rakyat dikasultanan Yogyakarta begitu juga memudahkan mobilitas umum apabila diperlukan oleh Kerajaan.
Kata Kunci: Makna Simbol Masjid dan Arsitektur Masjid.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
NOTA DINAS ................................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v
HALAMAN MOTTO .................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................
A. ......................................................................................... L
atar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. ......................................................................................... R
umusan Masalah ...................................................................... 12
C. ......................................................................................... T
ujuan Penelitian Lapangan ....................................................... 12
D. ......................................................................................... T
injauan Pustaka......................................................................... 13
E. .......................................................................................... K
erangka Teori ........................................................................... 15
xii
F. .......................................................................................... M
etode Penelitian ........................................................................ 18
G. ......................................................................................... S
istematika Pembahasan ............................................................ 22
BAB II : GAMBARAN UMUM MASJID ...............................................
A. ........................................................................................ P
rofil Masjid Pathok Negoro ..................................................... 24
1. .................................................................................... L
etak Geografis Masjid Pathok Negoro .............................. 26
2. .................................................................................... S
ejarah Masjid Pathok Negoro Plosokuning ....................... 28
3. .................................................................................... P
engelolaan Masjid Pathok Negoro Plosokuning .............. 32
B. ......................................................................................... K
ondisi Masyarakat Sekitar Masjid Pathok Negoro
Plosokuning ............................................................................. 34
BAB III : ARSITEKTUR MASJID PATHOK NEGORO
PLOSOKUNING ........................................................................
A. .................................................................................... M
ustaka Gada Bersuhur ....................................................... 40
B. .................................................................................... A
tap Bertingkat .................................................................... 41
xiii
C. .................................................................................... M
imbar Bertangga dan Tongkat ............................................ 42
D. .................................................................................... K
olam .................................................................................... 43
E. .................................................................................... B
edug .................................................................................... 44
F. .................................................................................... P
ohon Sawo Kecik ............................................................... 45
G. .................................................................................... P
intu Masjid Pathok Negoro dan Simbol Penghormatan ..... 47
H. .................................................................................... W
aloh atau Labu .................................................................... 47
I. ..................................................................................... T
iang Kayu Jati ..................................................................... 48
J. ..................................................................................... P
intu Gerbang Masuk Masjid Pathok Negoro ...................... 49
K. .................................................................................... M
akam di Dekat Masjid Plosokuning ................................... 49
BAB IV : ANALISIS MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR
A. ........................................................................................ M
akna Simbol Asitektur Masjid ................................................. 52
1. ................................................................................... M
akna Simbol-simbol Arsitektur ........................................ 52
xiv
2. .................................................................................... F
ungsi Simbol-simbol Arsitektur ....................................... 62
3. .................................................................................... H
ubungan Makna Simbolik Terhadap Budaya .................... 72
B. ......................................................................................... P
eran Masyarakat Dalam Eksistensi Masjid ............................. 76
1. .................................................................................... M
emperingati Setiap PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) .. 76
2. .................................................................................... A
ktivitas Sholat Berjam’ah .................................................. 81
C. ......................................................................................... S
ugesti Arsitektur Jawa ............................................................ 82
D. ........................................................................................ T
ransformasi Arsitektur Masjid Pathok Negoro ...................... 88
BAB V : PENUTUP
A. ......................................................................................... K
esimpulan ................................................................................. 94
B. ......................................................................................... S
aran .......................................................................................... 95
C. ......................................................................................... P
enutup ....................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 102
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Masjid,1 tidaklah asing terdengar oleh telinga umat muslim
sedunia”. Masjid merupakan sarana tempat ibadah umat Islam khususnya
dalam menegagkan ibadah sholat. Selain tempat ibadah, Masjid juga bisa
difungsikan sebagai benteng pertahanan sekaligus batas negara. Kata
“Masjid” berasal dari kata pokok/dasar “sujud” (bahasa arab) yang
berubah bentuk menjadi Masjid. Pengertian sujud di dalam Islam adalah
kepatuhan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kehidmat sebagai
pengakuan muslim sebagai insan hamba Tuhan, kepada Tuhan yang Maha
Esa sebagai khaliknya, dan tidak kepada yang lain-lain di alam semesta
ini. Jadi sesungguhnya seluruh tempat di muka bumi ini adalah tempat
sujud atau Masjid.2
Pada waktu hijrah dari Mekah ke Madinah ditemani sahabat beliau,
Abu Bakar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati daerah Quba
Masjid berarti tempat untuk bersujud. Secara
terminologis diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam, khususnya
dalam menegakkan sholat. Masjid sering disebut Baitullah (rumah Allah),
yaitu bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah.
1 Masjid bagi orang Islam merupakan tempat sujud kepada Alloh Swt. Masjid adalah
tempat memupuk Iman kepada Alloh SWT. Masjid adalah rumah Alloh yang di bangun atas dasar taqwa. Oleh karena itu Masjid adalah pangkal dari iman, ilmu, dan amal. Masjid adalah sumber motivasi dan tekad untuk berbakti kepada Alloh dalam arti yang seluas-luasnya, di mulai dengan mendirikan sholat, melaksanakan rukun Islam dan mengimplementasikan rasa dan hasil keluhuran kehendakdari manusia yang bertaqwa. Lihat Sidi Gazlba, Mesjid; Pusat Ibadat dan kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1983), cet. IV, hlm. xiv.
2 Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1986) Hlm. 155
2
di sana beliau mendirikan Masjid pertama sejak masa kenabiannya, yaitu
Masjid Quba (QS 9:108, At Taubah). Setelah di Madinah Rasulullah juga
mendirikan Masjid, tempat umat Islam melaksanakan sholat berjama’ah
dan melaksanakan aktivitas sosial lainnya. Pada perkembangannya disebut
dengan Masjid Nabawi. Fungsi Masjid paling utama adalah sebagai tempat
melaksanakan ibadah sholat berjama’ah. Kalau kita perhatikan, sholat
berjama’ah adalah merupakan salah satu ajaran Islam yang pokok, sunnah
Nabi dalam pengertian muhaditsin, bukan fuqaha, yang bermakna
perbuatan yang selalu dikerjakan beliau. Ajaran Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam tentang sholat berjama’ah merupakan perintah yang
benar-benar ditekankan kepada kaum muslimin.
Sebenarnya inti dari memakmurkan Masjid adalah menegakkan
sholat berjama’ah yang merupakan salah satu syi’ar Islam terbesar.
Sementara yang lain adalah pengembangannya. Sholat berjama’ah
merupakan indikator utama keberhasilan kita dalam memakmurkan
Masjid. Jadi keberhasilan dan kekurang kita dalam memakmurkan Masjid
diukur dengan seberapa jauh antusias umat dalam menegakkan sholat
berjama’ah. Meskipun fungsi utamanya sebagai tempat menegakkan
sholat, namun Masjid bukanlah hanya tempat untuk melaksanakan sholat
saja. Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, selain
dipergunakan untuk sholat, berdzikir dan beri'tikaf, Masjid bisa
dipergunakan untuk kepentingan sosial. Misalnya, sebagai tempat belajar
3
dan mengajarkan kebajikan (menuntut ilmu), menyelesaikan hukum li'an
dan lain sebagainya.3
Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah mengalami
perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi
dan perannya. Hampir dapat dikatakan, dimana ada komunitas muslim di
situ ada Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid. Di
samping menjadi tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana
berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat da’wah dan lain
sebagainya. Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid umum,
Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya.
Masjid didirikan untuk memenuhi hajat umat, khususnya kebutuhan
spiritual, guna mendekatkan diri kepada Sang Pencipta-nya. Tunduk dan
patuh mengabdi kepada Allah SWT.
4
Masjid menjadi tambatan hati, pelabuhan pengembaraan hidup dan
energi kehidupan umat. Dalam agama Islam pendirian Masjid merupakan
hal yang sangat diutamakan menjadi bagian ibadah dan syiar agama. Oleh
karena itu, kota-kota Islam di Jawa selalu dilengkapi dengan Masjid
Agung di pusat kota, tepatnya di sisi barat alun-alun Yogyakarta. Selain
itu di wilayah kota juga ada Masjid lain yang biasanya lebih kecil. Hal
yang sama juga terlihat di kota Yogyakarta kuno. Selain Masjid Agung,
ada Masjid kuno lain misalnya Masjid Sela atau Masjid Watu yang berdiri
3Abdul Rochim, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung: Angkasa,
1983), hlm. 90. 4 Totok Rusmanto dan Agung Dwiyanto, Masjid, (Bandung, Universitas Padjajaran, 200),
hlm. 80-84.
4
di kampong Panembahan sekarang. Selain Masjid di kota, Kraton
Yogyakarta juga memiliki lima buah Masjid lain yang biasa disebut
dengan Masjid Pathok Negoro, yaitu Masjid kagungan dalem di wilayah
nagaragung yang selain berfungsi religious, juga berfungsi sebagai tempat
pertahanan rakyat.
Kawasan tempat Masjid itu berdiri, pada awalnya merupakan
daerah mutihan yang bersifat perdikan (penduduk bebas dari pajak, namun
harus melakukan pekerjaan tertentu). Selain itu pengelolaan Masjid juga
diserahkan kepada suatu kelompok tertentu yang termasuk dalam abdi
dalem pamethakan (mutihan)5
a. Masjid Mlangi: berdiri di sisi barat laut kota yaitu di
Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman
. Beberapa Masjid Pathok Negoro di Kraton
Yogyakarta adalah:
b. Masjid Ploso Kuning: berdiri di sisi utara kota yaitu di
Ploso Kuning, Ngaglik Sleman
c. Masjid Dongkelan: berdiri di sisi barat daya kota yaitu di
Kauman, Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul
d. Masjid Babadan: berdiri di sisi timur kota yakni di
Kauman, Babadan, Banguntapan, Bantul
e. Masjid Wonokromo: berdiri di sisi selatan kota di
Wonokromo, plered, Bantul.
5 Mutihan adalah kata dalam bahasa Jawa maknanya adalah kawasan yang mempunyai
banyak pesantren, lingkungan pondok pesantren.
5
Namun, sebagian besar Masjid tersebut di atas telah mengalami
berbagai perubahan sebagai akibat perkembangan jaman, peningkatan
jumlah jemaah, dan kurangnya pengertian serta apresiasi terhadap warisan
budaya. Meskipun demikian, ada beberapa komponen fisik yang masih
dipertahankan, seperti keberadaan kolam di sisi utara dan selatan Masjid
Pathok Negoro Mlangi, gapura banter dan sangkalan di Masjid Pathok
Negoro Wonokromo. Dari sisi pelestarian, diantara Masjid Pathok Negoro
tersebut hanya Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang pelestariannya
relatif masih bagus secara fisik bangunan.
Sebutan Pathok Negoro dikalangan Reh Kawedangan Pangulon
Kraton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan
abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu penghulu hakim di
Pengadilan Surambi. Istilah tersebut dalam bahasa jawa terdiri dari dua
kata: Pathok dan Negoro. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh W.J.S
Perwordarminta (1939:479), kata Pathok (papok) artinya yaitu: 1) sesuatu
benda yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu, dan lain-lain
dengan maksud untuk batas, tanda dan sebagainya. 2) bersifat tetap tidak
dapat di tawar-tawar lagi, 3) tempat para peronda berkumpul, 4) sawah
yang pokok, 5) –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan, 6) dasar
hukum. Sedangkan Negoro berarti Negara, kerajaan, atau pemerintahan.
Pathok Negoro atau dalam bahasa Jawa halus Pathok Negari secara
harafiah dapat berarti batas Negara, juga dapat berarti aliran (yang dianut
6
oleh) Negoro, dasar hukum Negoro.6
Di antara ke empat Masjid Pathok Negoro milik Kraton
Yogyakarta, Masjid Pathok Negoro Sulthoni di Plosokuning ini adalah
bangunan yang paling terjaga kelestariannya. Masjid Pathok Negoro
Sulthoni di Plosokuning didirikan setelah pembangunan Masjid Agung
Yogyakarta, sehingga bentuk Masjid tersebut meniru Masjid Agung
sebagai salah satu usaha legitimasi Masjid milik Kasultanan Yogyakarta.
Persamaan ini juga didukung oleh beberapa komponen yang ada di
dalamnya seperti mihrob, kentongan dan beduk. Masjid Pathok Negoro
mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota Masjid juga
mempunyai kesamaan yakni terbuat dari tanah liat dan atap Masjid terbuat
dari sirap. Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa Masjid pathok
negoro lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan Masjid Agung
Yogyakarta yang mempunyai atap tajuk bertumpang tiga.
Penulis tertarik meneliti Masjid
Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning Ngayogyakarta karena Masjid
tersebut merupakan salah satu Masjid sejarah Kraton Ngayogyakarta, yang
memiliki nilai tradisional dimana dalam beberapa bangunan tersebut masih
banyak yg asli, belum terenovasi dalam bangunan tertentu juga terdapat
simbol-simbol atau lambang-lambang yang mengandung makna filosofi
dan ada juga berkaitan dengan Islam Jawa di dalam.
7
Ciri-ciri lain dari ke khasan Masjid Pathok Negoro ini adalah
masing-masing Masjid terdapat kolam yang mengelilingi area Masjid,
6 Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, Toponim (Yogyakarta: 2007),
hlm.43-44 7 Totok Rusmanto dan Agung Dwiyanto, Masjid…, hlm. 120.
7
tetapi yang masih melestarikannya sampai saat ini hanya ada dua Masjid
yaitu Masjid Wonokromo dan Sulthoni Plosokuning. Adapun dua pohon
sawo kecik yang kini tinggal satu dan terdapat mimbar yang ada di dalam
Masjid. Keaslian Masjid pathok Negoro Plosokuning dapat terlihat pada
bagian atap di mana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang
terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak
atap Masjid. Dulu, penutup atap Masjid menggunakan sirap namun atap
sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun 1946.
Pada bagian lantai Masjid dahulu diplester biasa dengan
menggunakan semen merah, dan pada tahun 1976 lantai Masjid ini diganti
dengan tegel biasa. Begitu juga dengan daun pintu dan temboknya
dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dahulu tembok dinding Masjid
setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1
batu. Dulu pintu Masjid hanya ada satu dan sangat rendah yang
menyebabkan ruang Masjid menjadi gelap. Pintu yang rendah ini
dimaksudkan agar setiap orang yang masuk Masjid hendaknya menunduk
dan menunjukkan rasa tatakrama serta sopan santun terhadap Masjid.
Keadaan demikian menyebabkan ruangan di dalam Masjid menjadi
gelap, sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu masuk Masjid menjadi 3
bagian serta ditambah jendela di ruang dalam Masjid. Semua penambahan
dan perbaikan bangunan pada Masjid, terlebih dahulu dimintakan
persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di Kraton, baik mengenai
bentuk dan modelnya. Beberapa tahun terakhir, takmir Masjid
8
mengadakan perbaikan dan penambahan ruang yang ada di samping kanan
dan kiri Masjid. Hal ini bertujuan agar kegiatan pengajian dan tadarus
dapat berlangsung nyaman sekaligus untuk menambah shaf putri. Pada
ruang dalam Masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penahan
konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian besar masih asli dan
terbuat dari kayu jati.
Di depan Masjid terdapat dua kolam dengan kedalaman 3 meter.
Setiap orang yang akan memasuki Masjid harus bersuci terlebih dahulu di
kolam itu, saat ini kolam tersebut juga digunakan untuk memelihara ikan
serta untuk mencuci kaki sebelum masuk ke dalam Masjid. Di dalam
Masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen
pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah
tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang
sampai sekarang masih digunakan. Pada bagian pintu gerbang, Masjid ini
memiliki pintu gerbang yang berundak.
Tahun 2000 Masjid Plosokuning mengalami renovasi pada 4 tiang
utama dan beberapa elemen lainnya. Pada tahun 2001, Masjid ini kembali
mengalami renovasi pada bagian serambi dan tempat wudhu. Renovasi ini
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Dan hanya Masjid
Sulthoni Plosokuning yang masih mempertahankan bentuk asli selain
9
Masjid Pathok Negoro yang lain, hanya saja atap yang berupa sirap sudah
berganti sejak tahun 1946.8
Beberapa Masjid Pathok Negoro seperti pertama adalah Masjid
Jami’An-nur di Mlangi yang menjadi penanda batas wilayah ibu kota
kesultanan Yogyakarta di bagian barat. Masjid ini berlokasi di kecamatan
Gamping, Kabupaten Sleman. Konstruksi Masjid Mlangi pernah
mengalami renovasi, salah satunya yang dilakukan pada tahun 1985 di
mana bangunan Masjid ditingkatkan menjadi dua lantai. Perubahan ini
telah disetujuai oleh pihak Kraton yang memberikan izin dengan syarat
tidak mengubah bentuk aslinya.
9
Batas sebelah utara adalah Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning di
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Plosokuning diambil dari nama
pohon ploso yang berdaun kuning. Daerah di sekitar Masjid ini dikenal
dengan nama Mutihan atau “tempat kaum putih (satri).” Pada waktu
Berawal dapat terlihat pada bagian atap di mana di atasnya terdapat
mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang
masih terpasang di puncak atap Masjid. Dulu, penutup atap Masjid
menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng
pada tahun 1946.
8 Wawancara dengan Kamaludin Purnomo Ketua Takmir Masjid Plosokuning Pathok
Negoro, 20-12-2012 9 www.kerajaannusantara.com (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Tempat Ibadah),
akses tanggal 4 Maret 2013.
10
tertentu, di Masjid ini dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh
keluarga Kraton.10
Dulunya Masjid Ad Darojat Babadan juga dilengkapi dengan
kolam-kolam di bagian depan dan sampingnya. Karena tuntutan zaman
demi perluasan Masjid serta halaman, kolam-kolam itu telah ditutup.
Kuncung merupakan bagian bangunan yang terletak paling depan dari
sebuah bangunan yang umumnya menjadi gaya bangunan rumah Jawa
milik para bangsawan. Masjid juga dilengkapi dengan beduk berdiameter
sekitar 80 cm. Pada bagian belakang Masjid juga terdapat kompleks
makam. Kompleks makam yang terletak di belakang Masjid sepertinya
memang telah menjadi tradisi Masjid tua di Indonesia atau bahkan dunia.
Adapun kondisi fisik dari pada Masjid Pathok Negoro Babadan
Bantul atau lebih di kenal dengan Ad Darojat telah mengalami berbagai
renovasi karena tuntutan zaman dan alasan kondisi bahan bangunan yang
mulai rusak. Ciri khas itu antara lain berupa bentuk mustaka dan atap
tumpang. Mustaka dari Masjid ini tidak berbentuk bawangan seperti
Masjid pada umumnya di Indonesia. Masjid ini memiliki ciri khas
puncaknya berbentuk gada bersulur. Ruang utama di dalam Masjid ini
juga dilengkapi dengan lampu gantung yang aristik.
11
Pathok Negoro di bagian selatan adalah Masjid Nurul Huda
Dongkelan yang terletak di desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan,
10 Http://id.wilkipedia.org/.kerajaankratonyogyakarta.com (Kerajaan yogyakarta), akses
tanggal 4 Maret 2013. 11 www.tembi rumah budaya.com (Jaringan museum masjid Pathok Negara Bantul
Yogyakarta: publish tanggal 13 Oktober 2011 07:02:00), akses tanggal 14 Maret 2013.
11
Kabupaten Bantul. Masjid yang di bangun pada tahun 1775 ini pernah
berfungsi sebagai benteng pertahanan dan sempat dibakar Belanda saat
berlangsungnya Perang Diponegoro atau perang jawa (1825-1830).
Setelah perang berakhir, bagian inti dari Masjid ini dibangun kembali.
Pemugaran berikutnya dilakukan 1901.
Terakhir adalah Masjid yang berlokasi di Wonokromo, Plered,
Bantul. Bentuk asli bangunan Masjid ini bertahan sampai tahun 1867 di
mana ada sedikit perubahan pada atap dan dindingnya. Perombakan untuk
memperluas komplek Masjid dilakukan beberapa kali yakni pada tahun
1913, 1958, 1976, 1986, dan 2003. Pada masa revolusi fisik, Masjid ini
berfungsi sebagai basis pertahanan tentara RI bersama masyarakat untuk
melawan agresi Belanda.
Selain Masjid Pathok Negoro, masih terdapat Masjid yang terkait
dengan tata pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid-
Masjid yang dinamakan Masjid Kagungan Dalem (Masjid kepunyaan raja)
tersebut antara lain Masjid Nitikan, Masjid Kuncen, Masjid Rejodani,
Masjid Tawangsari, Masjid Wotgaleh, Masjid Kepatihan, Masjid
Lempuyangan, Masjid Blunyah, Masjid Keris, Masjid Karangkajen,
bahkan beberapa Masjid daerah Ringinsari, Gentan, Demak Ijo, Kelegum,
Godean, Jumeneng, dan lain-lain.
Semua pengelola Masjid ini, termasuk Masjis Pathok Negoro,
diangkat menjadi abdi dalem dan memperoleh gaji dari Kraton. Lokasi
Masjid-Masjid ini pada awalnya merupakan daerah Mutihan milik Kraton
12
yang kemudian dimerdekakan (dibebaskan dari pajak) di daerah sekitar
Masjid biasanya terdapat pesantren sebagai pusat pendidikan agama
Islam.12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut yaitu:
1. Apa makna dan fungsi simbol-simbol arsitektur di Masjid Pathok
Negoro Plosokuning Yogyakarta?
2. Bagaimana masyarakat dalam melestarikan eksistensi budaya Masjid
Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuaan Penelitian
a. Tujuannya untuk mengetahui makna dan simbol-simbol
arsitektur yang terkandung dalam Masjid Kraton Pathok
Negoro Plosokuning Yogyakarta
b. Mengetahui tentang kondisi masyarakat dalam upaya
melestarikan existensi budaya dalam masyarakat masjid Kraton
Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta.
12 www.kerajaannusantara.com (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Tempat
Ibadah), akses tanggal 14 Maret 2013.
13
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan dalam penelitian ini adalah untuk menggali
kebudayaan sebagai salah satu peninggalan sejarah yang perlu
dilestarikan, berharap bisa bermanfaat dalam menambah
pengetahuan tentang kekeksistesi beribadah masyarakat kepada
Allah swt. Menambah ilmu keagamaan di masjid yang masih
bertahan asli bangunan zaman dahulu hingga saat ini sehingga
akan memperkaya keilmuan tentang makna simbolik arsitektur
dan juga makna dari bentuk simbol keagamaaan.
b. Secara ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat memberikan
sumbangan memperkaya khasanah pengembangan keilmuan di
jurusan perbandingan agama, sosiologi, sejarah budaya dan
ilmu-ilmu yang berkaitan.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh ini berdasarkan pada pengamatan dan beberapa literature
yang tersedia diperpustakaan, karya ilmiah yang membahas tentang
Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning
Ngayogyakarta pernah dibahas secara khusus dilingkungan akademis UIN
Sunan Kalijaga. Seperti diketahui, Masjid Plosokuning mempunyai kisah
sejarah yang berbeda dengan Masjid-Masjid lain yang ada di Yogyakarta.
Maka dari itu, peneliti dalam hal ini akan membahas merujuknya tentang
bentuk simbol, makna simbol, fungsi simbol dan pelestarian.
14
Sebelum itu, peneliti telah melakukan proses pra-penelitian dengan
survey yang bersifat sementara. Pada lokasi yang akan diteliti dengan
mendatangi ke beberapa Masjid Kraton Pathok Negoro. Tentu kondisi saat
ini Masjid memiliki perbedaan khususnya pada Masjid Pathok Negoro
Shultoni Plosokuning sehingga dugaan sementara dari hasil survai pun
berbeda-beda. Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning pada dasarnya
telah mengalami beberapa kali renovasi, dari mulai kolam hingga tiang
bangunan, yang menjadikan ciri Masjid Pathok Negoro adalah mustaka
yang terbuat dari tanah. Tetapi peneliti lebih tertarik untuk meneliti hanya
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning saja yang di mana Masjid
tersebut masih banyak yang masih asli dalam segi bangunan dan lain-lain.
Dan masih utuh bagian kolamnya milik Masjid Pathok Negara
Plosokuning Sulthoni yaitu kolam, selain kolam masih ada sawo kecik
undakan.13
Adapun Masjid Kraton seperti skripsi Masyarakat Jawa dan
Modernisasi (Potret Kontemporer Masyarakat Masjid Pathok Negoro
Plosokuning) skripsi disusun oleh M Irvan Ulil Albab UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2012, yang menulis mengenai kehidupan manusia dari segi
religius. Kajiannya lebih mengenai hakikat makrifat dalam ajaran islam
maka dianggap kurang dapat mewakili kajian yang penulis teliti mengenai
modernisasi dan perubahan sosial yang lebih merujuk kepada kondisi
kontemporer masyarakat Plosokuning.
13 Keterangan wawancara dari Bapak Kamaludin Purnomo, Ketua Takmir Masjid Pathok
Negara Plosokuning Sulthoni, 20 Maret 13
15
Adapun skripsi Budi Susilo UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012
Berjudul tentang Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh Terhadap Perubahan
Masyarakat di Dusun Babadan tentang perubahan masyarakat Babadan
hubungan dengan keberadaan Masjid Ad-Darojat.
Dan skripsi Andi Andrianto berjudul Simbol-simbol Dakwah
Masjid Pathok Negoro Plosokuning dalam Tayangan Pesona Budaya
Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika. Lebih mengupas tentang
cara menyampaikan simbol ketika berdakwah Islam dan juga menjelaskan
tentang ajaran Islam baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, seperti
mengungkap makna-makna atau isi pesan dakwah Islam pada rubric
humaniora tentang Masjid Plosokuning.
Adapun yang terdapat kaum muslim akan ditandai antara lain
dengan keberadaan Masjid namun ada daerah tertentu di Indonesia yang
memiliki kerajaan seperti Kraton : memiliki sengkalan yang langsung
diberikan oleh penguasa keraton. Dan masing Masjid Pathok Negoro
Yogyakarta terletak di luar Kutanagara, yaitu di wilayah Negara Agung
(antara 5 – 10 km dari Kutanagara/pusat pemerintahan) di daerah
Yogyakarta.
E. Kerangka Teori
Simbol dapat diartikan sebagai tanda yang mewakili sesuatu yang
proses penentuan simbol itu tidak mengikuti aturan tertentu. Secara umum
seperti banyak gerak tangan tentu, kata- kata adalah tanda simbolik. Akan
tetapi penanda apapun objek, suara, gambar, warna, nada musik, dan
16
sebagainya bisa memiliki makna simbolik. Misalnya tanda V yang
dibentuk menggunakan telunjuk dan jari tengah secara simbolik mewakili
konsep perdamaian atau bahasa lain (peace), warna putih bisa mewakili
konsep kemurnian dan ketidak berdosaan. Makna-makna ini dibangun
melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis.14
Mircea Eliade dalam buku The Sacred and The Profane
mengatakan bahwa konsep mengenai Human Religius mencakup empat
komponen utama, yakni: Dunia, Manusia, Yang suci dan Deus Otiosus.
Menurut kepercayaan keagamaan merupakan suatu proses dialektika
antara yang sakral dan profane
15 di mana dalam dialektika tersebut
menggunakan benda-benda, sarana, pengalaman keagamaan, ritus, serta,
upacara-upacara keagamaan yang memungkinkan terwujudnya dialektika
tersebut.16
Menurut Mircea Eliade, sebagaimana diungkapkan atau ditulis oleh
Dr. Hans J. Daeng, pakar dalam ilmu perbandingan agama aliran historis
fenomenologis, mengatakan simbol itu mengungkapkan aspek-aspek
terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain.
Gambar, simbol, dan mitos mengungkapkan modalitas ada yang rahasia.
Penelaahnya membuka jalan untuk mengenal manusia sebelum terjalin
dalam pristiwa sejarah. Simbol, mitos dan ritus selalu mengungkapkan
14 Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika…, hlm. 93 15 Profane dalam Bahasa Inggris artinya tidak senonoh, tidak sopan. Profan sebuah kata
untuk pelanggaran (melanggar kesucian). Echols John M.dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Mustaka Utama, 1976.
16 P.S.Harry Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
17
suatu situasi batas manusia dan bukan hanya suatu situasi historis saja.
Situasi batas adalah situasi yang ditemukan manusia-manusia, ketika ia
sadar akan tempatnya dalam universum. Makin manusia mengangkat diri
atas momen historisnya dan membiarkan keinginannya menghayati yang
penuh dan utuh. Simbol-simbol dan gambar-gambar merupakan “jalan
masuk” kedunia sejarah.17
1. Simbo-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya
tidur sebagai lambang kematian
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu
yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Dalam kaitan ini
Peirce mengemukakan bahwa simbol diartikan sebagai tanda yang
mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Pada dasarnya
simbol dapat dibedakan:
2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan
tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan jawa)
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan karya seorang pengarang.18
Sedangkan menurut Mircea Eliade bahwa bagi masyarakat
tradisional rumah dibangun atau didirikan, dihuni dan dipenghunikan oleh
manusia, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang
hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis, untuk tidur, berkerja dan
membina keluarga. Bagi mereka rumah merupakan ungkapan alam khayal
17 Dr. Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 82-83. 18 Alexander Yanov, The Origins of Autocracy. Ivan the Terrible in Russian History,
dikutip dari New York Times Review of Books, 1983. hlm. 157.
18
pikiran dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, dimana alam
pikirannya selalu diliputi oleh mitos dan bayangan terhadap ‘sesuatu’
(dewa-dewa) yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang mengatur
alam ini. Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan
sebuah alam kecil di dalam alam semesta, sehingga dianggap memulai
hidup baru.19
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah ilmu yang digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan serta usaha
tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.20
19 Abdul aziz Said, Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional dan Perubahan
Aplikasinya pada Desain Modern, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 132. 20 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian (suatu pendekatan praktek),(Jakarta: Rineka
Cipta. 1998), hlm. 151.
Jadi, di dalam
suatu penelitian diharuskan menggunakan prosedur yang ilmiah. Oleh
karena itu metode penelitian berperan penting dalam kemajuan dan
kemunduran suatu karya ilmiah, setiap penelitian memilih metode yang
paling tepat untuk riset dan penelitian. Dalam judul penelitian tentang
Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning
Ngayogyakarta, karena dalam setiap bangunan terutama Masjid sebagai
tempat ibadah para umat muslim. Mempunyai makna simbol dalam
arsitektur bangunan Masjid itu sendiri, seperti kondisi lingkungan
keagamaan, kondisi sosial budaya masyarakat maka diperlukan
pendekatan fenomenologi agama.
19
Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan suatu makna dan
fungsi dalam simbol arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni
Plosokuning Ngayogyakarta. Kemudian menguraikan sejarah awal mula
berdirinya Masjid, bentuk serta fungsi simbolik dalam Masjid Pathok
Negoro Sulthoni Plosokuning Yogyakarta. Dalam penelitian ini makna
simbolik arsitektur Masjid Sulthoni ini, diperlukan data-data pendukung
untuk menganalisa permasalahan yang di angkat, untuk memperolehnya
diperlukan beberapa tahapan metode, diantaranya adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field
research) penelitian yang bersifat kualitatif. Hal ini disampaikan
oleh Bogdan dan Tylor (1975:5) yang menyatakan bahwa
metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data
deskriptif.21
Terkait dengan jenis penelitian ini, maka data yang
diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder.
Data primer merupakan data yang diambil dari informasi yang
penulis memperoleh langsung dari lapangan. Kemudian data
sekunder merupakan data yang oleh penulis diambil dari literatur
yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan pokok
pembahasan tersebut. Data sekunder ini dimaksud untuk dapat
memperjelas, memperkuat data primer.
21 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1990), hlm. 3.
20
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ini dibagi dalam tiga komponen besar diantaranya:
a. Wawancara (interview)
Teknik wawancara atau interview yaitu teknik dimana
peneliti memperoleh data dan mengumpulkan data keterangan
melalui kontak langsung dengan responden.22
b. Observasi (observation)
Dengan
berhadapan dengan responden maka diperlukan beberapa
susunan pertanyaan yang berstruktur agar data yang diperoleh
sesuai dengan sistematika susunan pertanyaan yang diajukan
kepada responden. Maka dengan metode ini diharapkan dapat
memperoleh informasi yang akurat serta memadai. Untuk dapat
memperoleh hasil yang maksimal, peneliti melakukan
wawancara dengan beberapa narasumber yang diantaranya
takmir Masjid, tokoh masyarakat, tokoh yang berperan dalam
sejarah pembuatan Masjid, serta warga sekitar.
Observasi merupakan metode penelitian dengan cara
mengamati secara langsung dengan tingkat ketelitian,
mencurahkan segenap alat indera pengamatan mata untuk
mengamati kecermatan dan ketanggapan yang tinggi terhadap
22 Koentjaranigrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hlm.129.
21
gejala-gejala suatu objek yang penelitian.23
c. Dokumentasi (document)
Artinya adalah
teknik pengamatan pengumpulan data yang diperoleh melalui
pengamatan secara langsung pada obyek yang menjadi fokus
penelitian.
Teknik dokumen ini merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakuakan untuk memperoleh data yang bersumber pada
bahan-bahan tertulis atau yang lainnya, seperti sumber sejarah
dokumen, arsip, foto-foto, film, dan lain-lain. Teknik
pengumpulan data ini cenderung memerlukan keterampilan
dalam menemukan, merinci serta menangani bibliografi (sumber-
sumber) atau catatan-catatan.24
3. Teknik Analisis Data
Dengan demikian, peneliti akan
semakin kaya akan data-data dan memiliki legitimasi bukti nyata
untuk suatu pengujian tertentu.
Teknik analisa data digunakan pada peneliti ini yakni
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah upaya untuk
menafsirkan dan menjelaskan data-data yang sudah di teliti agar
mendapatkan pemahaman dan pengertian yang sesuai dengan tema
penelitian. Akan tetapi, sebelum data-data kualitatif tersebut di
analisis terlebih dahulu dalam operasionalnya data yang diperoleh
23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm 128 24 Bisri MS, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 63.
22
diorganisir, kemudian disklasifikasikan dengan menggunakan
penalaran induktif dan deduktif.25
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan, maka penelitian membuat
sistematika pembahasan, dengan menggunakan sistematika tersebut
memudahkan dalam penulisan ini terarah dengan baik dan benar serta
mudah untuk dipahami.
Bab satu merupakan didalamnya menjelaskan tentang
pendahuluan, yang meliputi latar belekang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan. Tentang mengapa penelitian
ini dilakukan, apa saja yang menjadi persoalan dalam penelitian lebih
lanjut terdahulu mengetahui alasan dan dasar mengapa penelitian tersebut
dilakukan,
Bab dua yakni menguraikan tentang gambaran umum lokasi
penelitian. Meliputi letak geografis, sejarah munculnya Masjid Pathok
Negoro Sulthoni Plosokuning yogyakarta. Pembahasan ini diletakkan pada
bab kedua karena sebelum melakukan penelitian tentang Simbol Arsitektur
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning yogyakarta, terlebih dahulu
dijelaskan tentang seputar gambaran mengenai Masjid, simbol yang
25 Penalaran induktif yakni pola penalaran yang bersifat khusus ke umum . sedangkan
deduktif yakni sebaliknya, dari umum ke khusus. Lihat Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),hlm. 48-49.
23
terdapat pada Masjid Pathok Sulthoni Plosokuning, Simbol Arsitektur
yang berkaitan dengan Islam Jawa,
Bab tiga menguraikan tentang macam-macam simbol arsitektur di
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning.
Bab empat merupakan bagian analisis penulis berdasarkan data
yang diperoleh, meliputi pengertian simbol, simbol pendapat para ahli,
bentuk simbol, fungsi simbol, hubungan antara simbol dan kebudayaan,
analisis makna simbolik arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni
Plosokuning dalam Sugesti Arsitektur Jawa, Transformasi Arsitektur
Masjid Pathok Negoro
Bab lima adalah bagian penutup yang berisi tentang merupakan
bab terakhir dari di dalamnya meliputi kesimpulan, saran-saran, penutup.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Makna simbol dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara
filosofis mempunyai arti yang cukup luas dengan melihat dari segi
fisik dan non fisik. Secara non fisik mempunyai makna sebagai
pelambangan terhadap jiwa manusia untuk terus mendekatkan diri
kepada Tuhan, dilihat dari simbolisme Masjid Pathok Negoro.
Sedangkan untuk simbol fisik adalah makna yang tersirat dalam
bangunan Jawa yang identik dengan bangunan kuno Hindu-Budha.
Maka dari itu makna simbol arsitektur yang ada sebetulnya
mengajarkan hakekat Islam yang mengutamakan syariat, tarekat,
hakikat dan ma’rifat dalam kehidupan duniawi.
2. Secara garis besar fungsi Masjid Pathok Negoro Plosokuning selain
sebagai tempat ibadah wajib seperti shalat berjama’ah lima waktu,
membaca al-Qur’an, pengajian dan lainnya, Masjid pun berfungsi
sebagai hasil dari cagar budaya masyarakat. Cagar budaya tersebut
melahirkan aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini
berhubungan pula dengan peran masyarakat dalam menjaga eksistensi
Masjid ditengah gempuran budaya modernisme.
95
3. Aktivitas masyarakat dalam menjaga dan melestarikan Masjid sebagai
salah satu bentuk keistimewaan di Keraton Yogyakarta begitu erat
hubungannya dengan tradisi-tradisi kerajaan. Seperti, dalam
peringatan tradisi idul fitri, idul adha dan 1 Muharam erat
hubungannya dengan tradisi Keraton. Seperti zikir dan tahlil,
membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab agama, mengadakan
pengajian-pengajian, bersilaturahmi pada hari jum’at, memperbanyak
ibadah pada malam hari dan setiap malam selasa membaca Tadarus
Al-Qur’an atau membaca sholawat Nabi atau mengirim do’a pada para
leluhur, dan juga memperingati hari-hari besar Islam, slametan atau
kenduren, sedekahan, ziarah kubur, menjenguk orang sedang sakit,
memuliakan tamu, menghormati serta mendatangi pengajian-
pengajian, peringatan-peringatan, semua itu kental dengan nuansa
sosial keagamaan.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini ditujukan kepada semua pihak yang
terlibat. Dengan tidak menghilangkan rasa hormat sebagai peneliti, maka
peneliti memberikan saran sebagaimana berikut ini:
1. Masjid Pathok Negoro terdapat berbagai macam simbol dimana
simbol tersebut memiliki makna tersendiri yang harus dijaga
kelestariannya dan keaslian hingga akhir zaman.
96
2. Diharapkan banyak yang menulis hingga membukukan tentang histori
Masjid Pathok Negoro dan tidak hanya dalam ranah akademik saja.
3. Diharapkan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan Masjid Pathok
Negoro semakin berkembang kuat eksistensi Masjid dengan segala
keunikan dapat tetap terjaga dengan baik. Termasuk salah satu cagar
budaya Yogyakarta, juga merupakan salah satu warisan budaya yang
dimiliki bangsa ini di wilayah Yogyakarta.
C. Penutup
Tiada kata yang pantas penulis ucapkan kecuali ucapan syukur
Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya
segala tantangan dan rintangan dalam penyusunan skripsi terselesaikan
yang berjudul “Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro
Sulthoni Plosokuning Yogyakarta.
Hanya kepada Allah SWT berserah diri dengan memohon ampun
petunjuk pertolongan agar skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan juga penulis. Walaupun merasa masih banyak kekurangan
dan kelemahan sebagai manusia yang tidak luput dari salah. Kata penutup
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian (suatu pendekatan praktek). Jakarta: Rineka Cipta. 1998.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993
Budiono Herusatoto. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008
Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Drajat, Suhardjo. Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: SafiriaInsania Press, 2004.
Daeng. H. Manusia, Mitos, dan Simbol. Yogyakarta: Majalah Basis, 1991.
Dillistone. F.W. Daya Kekuatan Simbol The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
E.Nugroho, et al, Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid XV . Jakarta: Cipta Adi Perkasa, 1991.
Jatirahayu Warih dan Margono Notopertomo, Pakartitama Wayang sebagai Sumber Pendidikan Budi Pekerti. Klaten: CV Sahabat, 2000.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa . Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
Karthodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1988.
KS Muslich dan Muhammad Damami Zein. Adat dan Islam Dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: YKII, 2007.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1994.
Koentjaranigrat. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
MS Bisri. Metodologi Penelitian Sejarah.Jakarta: Restu Agung, 2006.
II
Moleong. Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 1990.
Mulder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973
Musyarofah Ibtihadj (ed.). Islam Jawa. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006
Oloan Situmorang, Wustol Bahri. Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Angkasa, 1993.
Pranowo M. Bambang dan Azyumardi Azra (ed.). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009.
Ricklefs, M.C. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.
Rochim, Abdul. Masjid Dalam Karya Arsitektur Sejarah Nasional. Bandung: Angkasa, 1983.
Robertson, Roland (ed). Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali Press, 1998.
Said, Abdul aziz Toraja. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak, 2004.
Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, Toponim. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, 2007.
Sinung Janutama, Ki Herman. Pisowanan Alit 1Nusantara Negeri Keramat . Yogyakarta: LKiS, 2012.
Susanto, P.S.Harry. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Suryo, Djoko. Serat Puji: Ajaran Moral Keagamaan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: t.p.t.t
Wiryoprawiro, Zein M. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
III
Wiryoprawiro. Zein. M. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1986.
Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Yanov Alexander, The Origins of Autocracy. Ivan the Terrible in Russian History, dikutip dari New York Times Review of Books, 1983.
Yulianto, Sumalyo. Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gajah Mada University press, 2006.
Yusuf Elba, Mundzirin. Masjid Tradisional di Jawa. Yogyakarta:Nur Cahaya, 1983.
Kedaulatan Rakyat. www.krjogja.com, di akses pada tanggal 5-2-2013 dan lihat Abdul Baqir Zein, hlm.7.
Surat Kabar dan Majalah:
Riyadi, Muhammad Ahmad. Kampung Santri: Tatanan Dari Tepi Sejarah. Yogyakarta: Ittaqa Pres, 2000
Suharyanto. Pathok Negoro Kraton Ngayogyakarta dalam Djoko Lodang, no. 1049, thn. 12, 24 Oktober 1992.
Andrianto, Andi. Sombol-simbol Dakwah Masjid Pathok Negoro Plosokuning Dalam Tayangan Pesona Budaya Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika. Jurusan KPI Dakwah, UIN Yogyakarta, 2011.
Laporan dan Skripsi:
Hasbullah, Simbol dalam Jama’ah Masjid AOLIA’ di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta: jurusan Aqidah Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Irvan, M. Ulil Albab. Masyarakat Jawa dan Modernisasi Potret Kontemporer Masyarakat Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Yogyakarta: Fak. Fishum, Jur. Sos UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Laporan, PKL Masjid Pathok Negoro Sultoni Plosokuning. Perbandingan Agama UIN Yogyakarta: 2012.
IV
Susilo, Budi. Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh Terhadap Perubahan Masyarakat di Dusun Babadan. Yogyakarta: Fak.Uy, Jur. Af UIN Sunan Kalijaga 2012.
Dibyasuharda, Dimensi Metafisik Dalam Simbol, dalam Jurnal Filsafat, UGM Yogyakarta, 1990.
Jurnal
Http://www.parisada.org/index. “Hindu Parisada Hindu Dharma Indonesia,” di akses pada tanggal 14-3-2013
Internet:
www.tembi rumah budaya.com. Jaringan museum masjid Pathok Negara Bantul Yogyakarta: publish tanggal 13 Oct 2011 07:02:00), akses tanggal 14 Maret 2013.
www.kerajaannusantara.com. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Tempat Ibadah, akses tanggal 14 Maret 2013.
Http://www.gudangart.com 24-5-2013: mustoko-masjid-mustoko
Arsip Kraton Yogyakarta, Kagungan Dalem Masjid Pathok Negoro.
Arsip:
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gitamedia Press, 2006
Kamus:
Echols John M. dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia
Mustaka Utama, 1976.
V
M Kamaludin Purnomo, Ketua Takmir Masjid Plosokuning Yogyakarta, 54 Tahun Minomartani Yogyakarta.
Nara Sumber:
Sudaryono, penduduk sekitar Masjid Plosokuning Yogyakarta, 53 Tahun. Yogyakarta.
RM. H. Baghowi Kasepuhan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta di dekat Masjid Plosokuning, 99 Tahun. Ngaglik Sleman Yogyakarta.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Masjid,1 tidaklah asing terdengar oleh telinga umat muslim
sedunia”. Masjid merupakan sarana tempat ibadah umat Islam khususnya
dalam menegagkan ibadah sholat. Selain tempat ibadah, Masjid juga bisa
difungsikan sebagai benteng pertahanan sekaligus batas negara. Kata
“Masjid” berasal dari kata pokok/dasar “sujud” (bahasa arab) yang
berubah bentuk menjadi Masjid. Pengertian sujud di dalam Islam adalah
kepatuhan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kehidmat sebagai
pengakuan muslim sebagai insan hamba Tuhan, kepada Tuhan yang Maha
Esa sebagai khaliknya, dan tidak kepada yang lain-lain di alam semesta
ini. Jadi sesungguhnya seluruh tempat di muka bumi ini adalah tempat
sujud atau Masjid.2
Pada waktu hijrah dari Mekah ke Madinah ditemani sahabat beliau,
Abu Bakar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati daerah Quba
Masjid berarti tempat untuk bersujud. Secara
terminologis diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam, khususnya
dalam menegakkan sholat. Masjid sering disebut Baitullah (rumah Allah),
yaitu bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah.
1 Masjid bagi orang Islam merupakan tempat sujud kepada Alloh Swt. Masjid adalah
tempat memupuk Iman kepada Alloh SWT. Masjid adalah rumah Alloh yang di bangun atas dasar taqwa. Oleh karena itu Masjid adalah pangkal dari iman, ilmu, dan amal. Masjid adalah sumber motivasi dan tekad untuk berbakti kepada Alloh dalam arti yang seluas-luasnya, di mulai dengan mendirikan sholat, melaksanakan rukun Islam dan mengimplementasikan rasa dan hasil keluhuran kehendakdari manusia yang bertaqwa. Lihat Sidi Gazlba, Mesjid; Pusat Ibadat dan kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1983), cet. IV, hlm. xiv.
2 Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1986) Hlm. 155
2
di sana beliau mendirikan Masjid pertama sejak masa kenabiannya, yaitu
Masjid Quba (QS 9:108, At Taubah). Setelah di Madinah Rasulullah juga
mendirikan Masjid, tempat umat Islam melaksanakan sholat berjama’ah
dan melaksanakan aktivitas sosial lainnya. Pada perkembangannya disebut
dengan Masjid Nabawi. Fungsi Masjid paling utama adalah sebagai tempat
melaksanakan ibadah sholat berjama’ah. Kalau kita perhatikan, sholat
berjama’ah adalah merupakan salah satu ajaran Islam yang pokok, sunnah
Nabi dalam pengertian muhaditsin, bukan fuqaha, yang bermakna
perbuatan yang selalu dikerjakan beliau. Ajaran Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam tentang sholat berjama’ah merupakan perintah yang
benar-benar ditekankan kepada kaum muslimin.
Sebenarnya inti dari memakmurkan Masjid adalah menegakkan
sholat berjama’ah yang merupakan salah satu syi’ar Islam terbesar.
Sementara yang lain adalah pengembangannya. Sholat berjama’ah
merupakan indikator utama keberhasilan kita dalam memakmurkan
Masjid. Jadi keberhasilan dan kekurang kita dalam memakmurkan Masjid
diukur dengan seberapa jauh antusias umat dalam menegakkan sholat
berjama’ah. Meskipun fungsi utamanya sebagai tempat menegakkan
sholat, namun Masjid bukanlah hanya tempat untuk melaksanakan sholat
saja. Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, selain
dipergunakan untuk sholat, berdzikir dan beri'tikaf, Masjid bisa
dipergunakan untuk kepentingan sosial. Misalnya, sebagai tempat belajar
3
dan mengajarkan kebajikan (menuntut ilmu), menyelesaikan hukum li'an
dan lain sebagainya.3
Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah mengalami
perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi
dan perannya. Hampir dapat dikatakan, dimana ada komunitas muslim di
situ ada Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid. Di
samping menjadi tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana
berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat da’wah dan lain
sebagainya. Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid umum,
Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya.
Masjid didirikan untuk memenuhi hajat umat, khususnya kebutuhan
spiritual, guna mendekatkan diri kepada Sang Pencipta-nya. Tunduk dan
patuh mengabdi kepada Allah SWT.
4
Masjid menjadi tambatan hati, pelabuhan pengembaraan hidup dan
energi kehidupan umat. Dalam agama Islam pendirian Masjid merupakan
hal yang sangat diutamakan menjadi bagian ibadah dan syiar agama. Oleh
karena itu, kota-kota Islam di Jawa selalu dilengkapi dengan Masjid
Agung di pusat kota, tepatnya di sisi barat alun-alun Yogyakarta. Selain
itu di wilayah kota juga ada Masjid lain yang biasanya lebih kecil. Hal
yang sama juga terlihat di kota Yogyakarta kuno. Selain Masjid Agung,
ada Masjid kuno lain misalnya Masjid Sela atau Masjid Watu yang berdiri
3Abdul Rochim, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung: Angkasa,
1983), hlm. 90. 4 Totok Rusmanto dan Agung Dwiyanto, Masjid, (Bandung, Universitas Padjajaran, 200),
hlm. 80-84.
4
di kampong Panembahan sekarang. Selain Masjid di kota, Kraton
Yogyakarta juga memiliki lima buah Masjid lain yang biasa disebut
dengan Masjid Pathok Negoro, yaitu Masjid kagungan dalem di wilayah
nagaragung yang selain berfungsi religious, juga berfungsi sebagai tempat
pertahanan rakyat.
Kawasan tempat Masjid itu berdiri, pada awalnya merupakan
daerah mutihan yang bersifat perdikan (penduduk bebas dari pajak, namun
harus melakukan pekerjaan tertentu). Selain itu pengelolaan Masjid juga
diserahkan kepada suatu kelompok tertentu yang termasuk dalam abdi
dalem pamethakan (mutihan)5
a. Masjid Mlangi: berdiri di sisi barat laut kota yaitu di
Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman
. Beberapa Masjid Pathok Negoro di Kraton
Yogyakarta adalah:
b. Masjid Ploso Kuning: berdiri di sisi utara kota yaitu di
Ploso Kuning, Ngaglik Sleman
c. Masjid Dongkelan: berdiri di sisi barat daya kota yaitu di
Kauman, Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul
d. Masjid Babadan: berdiri di sisi timur kota yakni di
Kauman, Babadan, Banguntapan, Bantul
e. Masjid Wonokromo: berdiri di sisi selatan kota di
Wonokromo, plered, Bantul.
5 Mutihan adalah kata dalam bahasa Jawa maknanya adalah kawasan yang mempunyai
banyak pesantren, lingkungan pondok pesantren.
5
Namun, sebagian besar Masjid tersebut di atas telah mengalami
berbagai perubahan sebagai akibat perkembangan jaman, peningkatan
jumlah jemaah, dan kurangnya pengertian serta apresiasi terhadap warisan
budaya. Meskipun demikian, ada beberapa komponen fisik yang masih
dipertahankan, seperti keberadaan kolam di sisi utara dan selatan Masjid
Pathok Negoro Mlangi, gapura banter dan sangkalan di Masjid Pathok
Negoro Wonokromo. Dari sisi pelestarian, diantara Masjid Pathok Negoro
tersebut hanya Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang pelestariannya
relatif masih bagus secara fisik bangunan.
Sebutan Pathok Negoro dikalangan Reh Kawedangan Pangulon
Kraton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan
abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu penghulu hakim di
Pengadilan Surambi. Istilah tersebut dalam bahasa jawa terdiri dari dua
kata: Pathok dan Negoro. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh W.J.S
Perwordarminta (1939:479), kata Pathok (papok) artinya yaitu: 1) sesuatu
benda yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu, dan lain-lain
dengan maksud untuk batas, tanda dan sebagainya. 2) bersifat tetap tidak
dapat di tawar-tawar lagi, 3) tempat para peronda berkumpul, 4) sawah
yang pokok, 5) –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan, 6) dasar
hukum. Sedangkan Negoro berarti Negara, kerajaan, atau pemerintahan.
Pathok Negoro atau dalam bahasa Jawa halus Pathok Negari secara
harafiah dapat berarti batas Negara, juga dapat berarti aliran (yang dianut
6
oleh) Negoro, dasar hukum Negoro.6
Di antara ke empat Masjid Pathok Negoro milik Kraton
Yogyakarta, Masjid Pathok Negoro Sulthoni di Plosokuning ini adalah
bangunan yang paling terjaga kelestariannya. Masjid Pathok Negoro
Sulthoni di Plosokuning didirikan setelah pembangunan Masjid Agung
Yogyakarta, sehingga bentuk Masjid tersebut meniru Masjid Agung
sebagai salah satu usaha legitimasi Masjid milik Kasultanan Yogyakarta.
Persamaan ini juga didukung oleh beberapa komponen yang ada di
dalamnya seperti mihrob, kentongan dan beduk. Masjid Pathok Negoro
mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota Masjid juga
mempunyai kesamaan yakni terbuat dari tanah liat dan atap Masjid terbuat
dari sirap. Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa Masjid pathok
negoro lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan Masjid Agung
Yogyakarta yang mempunyai atap tajuk bertumpang tiga.
Penulis tertarik meneliti Masjid
Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning Ngayogyakarta karena Masjid
tersebut merupakan salah satu Masjid sejarah Kraton Ngayogyakarta, yang
memiliki nilai tradisional dimana dalam beberapa bangunan tersebut masih
banyak yg asli, belum terenovasi dalam bangunan tertentu juga terdapat
simbol-simbol atau lambang-lambang yang mengandung makna filosofi
dan ada juga berkaitan dengan Islam Jawa di dalam.
7
Ciri-ciri lain dari ke khasan Masjid Pathok Negoro ini adalah
masing-masing Masjid terdapat kolam yang mengelilingi area Masjid,
6 Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, Toponim (Yogyakarta: 2007),
hlm.43-44 7 Totok Rusmanto dan Agung Dwiyanto, Masjid…, hlm. 120.
7
tetapi yang masih melestarikannya sampai saat ini hanya ada dua Masjid
yaitu Masjid Wonokromo dan Sulthoni Plosokuning. Adapun dua pohon
sawo kecik yang kini tinggal satu dan terdapat mimbar yang ada di dalam
Masjid. Keaslian Masjid pathok Negoro Plosokuning dapat terlihat pada
bagian atap di mana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang
terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak
atap Masjid. Dulu, penutup atap Masjid menggunakan sirap namun atap
sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun 1946.
Pada bagian lantai Masjid dahulu diplester biasa dengan
menggunakan semen merah, dan pada tahun 1976 lantai Masjid ini diganti
dengan tegel biasa. Begitu juga dengan daun pintu dan temboknya
dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dahulu tembok dinding Masjid
setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1
batu. Dulu pintu Masjid hanya ada satu dan sangat rendah yang
menyebabkan ruang Masjid menjadi gelap. Pintu yang rendah ini
dimaksudkan agar setiap orang yang masuk Masjid hendaknya menunduk
dan menunjukkan rasa tatakrama serta sopan santun terhadap Masjid.
Keadaan demikian menyebabkan ruangan di dalam Masjid menjadi
gelap, sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu masuk Masjid menjadi 3
bagian serta ditambah jendela di ruang dalam Masjid. Semua penambahan
dan perbaikan bangunan pada Masjid, terlebih dahulu dimintakan
persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di Kraton, baik mengenai
bentuk dan modelnya. Beberapa tahun terakhir, takmir Masjid
8
mengadakan perbaikan dan penambahan ruang yang ada di samping kanan
dan kiri Masjid. Hal ini bertujuan agar kegiatan pengajian dan tadarus
dapat berlangsung nyaman sekaligus untuk menambah shaf putri. Pada
ruang dalam Masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penahan
konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian besar masih asli dan
terbuat dari kayu jati.
Di depan Masjid terdapat dua kolam dengan kedalaman 3 meter.
Setiap orang yang akan memasuki Masjid harus bersuci terlebih dahulu di
kolam itu, saat ini kolam tersebut juga digunakan untuk memelihara ikan
serta untuk mencuci kaki sebelum masuk ke dalam Masjid. Di dalam
Masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen
pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah
tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang
sampai sekarang masih digunakan. Pada bagian pintu gerbang, Masjid ini
memiliki pintu gerbang yang berundak.
Tahun 2000 Masjid Plosokuning mengalami renovasi pada 4 tiang
utama dan beberapa elemen lainnya. Pada tahun 2001, Masjid ini kembali
mengalami renovasi pada bagian serambi dan tempat wudhu. Renovasi ini
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Dan hanya Masjid
Sulthoni Plosokuning yang masih mempertahankan bentuk asli selain
9
Masjid Pathok Negoro yang lain, hanya saja atap yang berupa sirap sudah
berganti sejak tahun 1946.8
Beberapa Masjid Pathok Negoro seperti pertama adalah Masjid
Jami’An-nur di Mlangi yang menjadi penanda batas wilayah ibu kota
kesultanan Yogyakarta di bagian barat. Masjid ini berlokasi di kecamatan
Gamping, Kabupaten Sleman. Konstruksi Masjid Mlangi pernah
mengalami renovasi, salah satunya yang dilakukan pada tahun 1985 di
mana bangunan Masjid ditingkatkan menjadi dua lantai. Perubahan ini
telah disetujuai oleh pihak Kraton yang memberikan izin dengan syarat
tidak mengubah bentuk aslinya.
9
Batas sebelah utara adalah Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning di
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Plosokuning diambil dari nama
pohon ploso yang berdaun kuning. Daerah di sekitar Masjid ini dikenal
dengan nama Mutihan atau “tempat kaum putih (satri).” Pada waktu
Berawal dapat terlihat pada bagian atap di mana di atasnya terdapat
mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang
masih terpasang di puncak atap Masjid. Dulu, penutup atap Masjid
menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng
pada tahun 1946.
8 Wawancara dengan Kamaludin Purnomo Ketua Takmir Masjid Plosokuning Pathok
Negoro, 20-12-2012 9 www.kerajaannusantara.com (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Tempat Ibadah),
akses tanggal 4 Maret 2013.
10
tertentu, di Masjid ini dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh
keluarga Kraton.10
Dulunya Masjid Ad Darojat Babadan juga dilengkapi dengan
kolam-kolam di bagian depan dan sampingnya. Karena tuntutan zaman
demi perluasan Masjid serta halaman, kolam-kolam itu telah ditutup.
Kuncung merupakan bagian bangunan yang terletak paling depan dari
sebuah bangunan yang umumnya menjadi gaya bangunan rumah Jawa
milik para bangsawan. Masjid juga dilengkapi dengan beduk berdiameter
sekitar 80 cm. Pada bagian belakang Masjid juga terdapat kompleks
makam. Kompleks makam yang terletak di belakang Masjid sepertinya
memang telah menjadi tradisi Masjid tua di Indonesia atau bahkan dunia.
Adapun kondisi fisik dari pada Masjid Pathok Negoro Babadan
Bantul atau lebih di kenal dengan Ad Darojat telah mengalami berbagai
renovasi karena tuntutan zaman dan alasan kondisi bahan bangunan yang
mulai rusak. Ciri khas itu antara lain berupa bentuk mustaka dan atap
tumpang. Mustaka dari Masjid ini tidak berbentuk bawangan seperti
Masjid pada umumnya di Indonesia. Masjid ini memiliki ciri khas
puncaknya berbentuk gada bersulur. Ruang utama di dalam Masjid ini
juga dilengkapi dengan lampu gantung yang aristik.
11
Pathok Negoro di bagian selatan adalah Masjid Nurul Huda
Dongkelan yang terletak di desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan,
10 Http://id.wilkipedia.org/.kerajaankratonyogyakarta.com (Kerajaan yogyakarta), akses
tanggal 4 Maret 2013. 11 www.tembi rumah budaya.com (Jaringan museum masjid Pathok Negara Bantul
Yogyakarta: publish tanggal 13 Oktober 2011 07:02:00), akses tanggal 14 Maret 2013.
11
Kabupaten Bantul. Masjid yang di bangun pada tahun 1775 ini pernah
berfungsi sebagai benteng pertahanan dan sempat dibakar Belanda saat
berlangsungnya Perang Diponegoro atau perang jawa (1825-1830).
Setelah perang berakhir, bagian inti dari Masjid ini dibangun kembali.
Pemugaran berikutnya dilakukan 1901.
Terakhir adalah Masjid yang berlokasi di Wonokromo, Plered,
Bantul. Bentuk asli bangunan Masjid ini bertahan sampai tahun 1867 di
mana ada sedikit perubahan pada atap dan dindingnya. Perombakan untuk
memperluas komplek Masjid dilakukan beberapa kali yakni pada tahun
1913, 1958, 1976, 1986, dan 2003. Pada masa revolusi fisik, Masjid ini
berfungsi sebagai basis pertahanan tentara RI bersama masyarakat untuk
melawan agresi Belanda.
Selain Masjid Pathok Negoro, masih terdapat Masjid yang terkait
dengan tata pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid-
Masjid yang dinamakan Masjid Kagungan Dalem (Masjid kepunyaan raja)
tersebut antara lain Masjid Nitikan, Masjid Kuncen, Masjid Rejodani,
Masjid Tawangsari, Masjid Wotgaleh, Masjid Kepatihan, Masjid
Lempuyangan, Masjid Blunyah, Masjid Keris, Masjid Karangkajen,
bahkan beberapa Masjid daerah Ringinsari, Gentan, Demak Ijo, Kelegum,
Godean, Jumeneng, dan lain-lain.
Semua pengelola Masjid ini, termasuk Masjis Pathok Negoro,
diangkat menjadi abdi dalem dan memperoleh gaji dari Kraton. Lokasi
Masjid-Masjid ini pada awalnya merupakan daerah Mutihan milik Kraton
12
yang kemudian dimerdekakan (dibebaskan dari pajak) di daerah sekitar
Masjid biasanya terdapat pesantren sebagai pusat pendidikan agama
Islam.12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut yaitu:
1. Apa makna dan fungsi simbol-simbol arsitektur di Masjid Pathok
Negoro Plosokuning Yogyakarta?
2. Bagaimana masyarakat dalam melestarikan eksistensi budaya Masjid
Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuaan Penelitian
a. Tujuannya untuk mengetahui makna dan simbol-simbol
arsitektur yang terkandung dalam Masjid Kraton Pathok
Negoro Plosokuning Yogyakarta
b. Mengetahui tentang kondisi masyarakat dalam upaya
melestarikan existensi budaya dalam masyarakat masjid Kraton
Pathok Negoro Plosokuning Yogyakarta.
12 www.kerajaannusantara.com (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Tempat
Ibadah), akses tanggal 14 Maret 2013.
13
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan dalam penelitian ini adalah untuk menggali
kebudayaan sebagai salah satu peninggalan sejarah yang perlu
dilestarikan, berharap bisa bermanfaat dalam menambah
pengetahuan tentang kekeksistesi beribadah masyarakat kepada
Allah swt. Menambah ilmu keagamaan di masjid yang masih
bertahan asli bangunan zaman dahulu hingga saat ini sehingga
akan memperkaya keilmuan tentang makna simbolik arsitektur
dan juga makna dari bentuk simbol keagamaaan.
b. Secara ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat memberikan
sumbangan memperkaya khasanah pengembangan keilmuan di
jurusan perbandingan agama, sosiologi, sejarah budaya dan
ilmu-ilmu yang berkaitan.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh ini berdasarkan pada pengamatan dan beberapa literature
yang tersedia diperpustakaan, karya ilmiah yang membahas tentang
Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning
Ngayogyakarta pernah dibahas secara khusus dilingkungan akademis UIN
Sunan Kalijaga. Seperti diketahui, Masjid Plosokuning mempunyai kisah
sejarah yang berbeda dengan Masjid-Masjid lain yang ada di Yogyakarta.
Maka dari itu, peneliti dalam hal ini akan membahas merujuknya tentang
bentuk simbol, makna simbol, fungsi simbol dan pelestarian.
14
Sebelum itu, peneliti telah melakukan proses pra-penelitian dengan
survey yang bersifat sementara. Pada lokasi yang akan diteliti dengan
mendatangi ke beberapa Masjid Kraton Pathok Negoro. Tentu kondisi saat
ini Masjid memiliki perbedaan khususnya pada Masjid Pathok Negoro
Shultoni Plosokuning sehingga dugaan sementara dari hasil survai pun
berbeda-beda. Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning pada dasarnya
telah mengalami beberapa kali renovasi, dari mulai kolam hingga tiang
bangunan, yang menjadikan ciri Masjid Pathok Negoro adalah mustaka
yang terbuat dari tanah. Tetapi peneliti lebih tertarik untuk meneliti hanya
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning saja yang di mana Masjid
tersebut masih banyak yang masih asli dalam segi bangunan dan lain-lain.
Dan masih utuh bagian kolamnya milik Masjid Pathok Negara
Plosokuning Sulthoni yaitu kolam, selain kolam masih ada sawo kecik
undakan.13
Adapun Masjid Kraton seperti skripsi Masyarakat Jawa dan
Modernisasi (Potret Kontemporer Masyarakat Masjid Pathok Negoro
Plosokuning) skripsi disusun oleh M Irvan Ulil Albab UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2012, yang menulis mengenai kehidupan manusia dari segi
religius. Kajiannya lebih mengenai hakikat makrifat dalam ajaran islam
maka dianggap kurang dapat mewakili kajian yang penulis teliti mengenai
modernisasi dan perubahan sosial yang lebih merujuk kepada kondisi
kontemporer masyarakat Plosokuning.
13 Keterangan wawancara dari Bapak Kamaludin Purnomo, Ketua Takmir Masjid Pathok
Negara Plosokuning Sulthoni, 20 Maret 13
15
Adapun skripsi Budi Susilo UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012
Berjudul tentang Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh Terhadap Perubahan
Masyarakat di Dusun Babadan tentang perubahan masyarakat Babadan
hubungan dengan keberadaan Masjid Ad-Darojat.
Dan skripsi Andi Andrianto berjudul Simbol-simbol Dakwah
Masjid Pathok Negoro Plosokuning dalam Tayangan Pesona Budaya
Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika. Lebih mengupas tentang
cara menyampaikan simbol ketika berdakwah Islam dan juga menjelaskan
tentang ajaran Islam baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, seperti
mengungkap makna-makna atau isi pesan dakwah Islam pada rubric
humaniora tentang Masjid Plosokuning.
Adapun yang terdapat kaum muslim akan ditandai antara lain
dengan keberadaan Masjid namun ada daerah tertentu di Indonesia yang
memiliki kerajaan seperti Kraton : memiliki sengkalan yang langsung
diberikan oleh penguasa keraton. Dan masing Masjid Pathok Negoro
Yogyakarta terletak di luar Kutanagara, yaitu di wilayah Negara Agung
(antara 5 – 10 km dari Kutanagara/pusat pemerintahan) di daerah
Yogyakarta.
E. Kerangka Teori
Simbol dapat diartikan sebagai tanda yang mewakili sesuatu yang
proses penentuan simbol itu tidak mengikuti aturan tertentu. Secara umum
seperti banyak gerak tangan tentu, kata- kata adalah tanda simbolik. Akan
tetapi penanda apapun objek, suara, gambar, warna, nada musik, dan
16
sebagainya bisa memiliki makna simbolik. Misalnya tanda V yang
dibentuk menggunakan telunjuk dan jari tengah secara simbolik mewakili
konsep perdamaian atau bahasa lain (peace), warna putih bisa mewakili
konsep kemurnian dan ketidak berdosaan. Makna-makna ini dibangun
melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis.14
Mircea Eliade dalam buku The Sacred and The Profane
mengatakan bahwa konsep mengenai Human Religius mencakup empat
komponen utama, yakni: Dunia, Manusia, Yang suci dan Deus Otiosus.
Menurut kepercayaan keagamaan merupakan suatu proses dialektika
antara yang sakral dan profane
15 di mana dalam dialektika tersebut
menggunakan benda-benda, sarana, pengalaman keagamaan, ritus, serta,
upacara-upacara keagamaan yang memungkinkan terwujudnya dialektika
tersebut.16
Menurut Mircea Eliade, sebagaimana diungkapkan atau ditulis oleh
Dr. Hans J. Daeng, pakar dalam ilmu perbandingan agama aliran historis
fenomenologis, mengatakan simbol itu mengungkapkan aspek-aspek
terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain.
Gambar, simbol, dan mitos mengungkapkan modalitas ada yang rahasia.
Penelaahnya membuka jalan untuk mengenal manusia sebelum terjalin
dalam pristiwa sejarah. Simbol, mitos dan ritus selalu mengungkapkan
14 Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika…, hlm. 93 15 Profane dalam Bahasa Inggris artinya tidak senonoh, tidak sopan. Profan sebuah kata
untuk pelanggaran (melanggar kesucian). Echols John M.dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Mustaka Utama, 1976.
16 P.S.Harry Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
17
suatu situasi batas manusia dan bukan hanya suatu situasi historis saja.
Situasi batas adalah situasi yang ditemukan manusia-manusia, ketika ia
sadar akan tempatnya dalam universum. Makin manusia mengangkat diri
atas momen historisnya dan membiarkan keinginannya menghayati yang
penuh dan utuh. Simbol-simbol dan gambar-gambar merupakan “jalan
masuk” kedunia sejarah.17
1. Simbo-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya
tidur sebagai lambang kematian
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu
yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Dalam kaitan ini
Peirce mengemukakan bahwa simbol diartikan sebagai tanda yang
mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Pada dasarnya
simbol dapat dibedakan:
2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan
tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan jawa)
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan karya seorang pengarang.18
Sedangkan menurut Mircea Eliade bahwa bagi masyarakat
tradisional rumah dibangun atau didirikan, dihuni dan dipenghunikan oleh
manusia, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang
hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis, untuk tidur, berkerja dan
membina keluarga. Bagi mereka rumah merupakan ungkapan alam khayal
17 Dr. Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 82-83. 18 Alexander Yanov, The Origins of Autocracy. Ivan the Terrible in Russian History,
dikutip dari New York Times Review of Books, 1983. hlm. 157.
18
pikiran dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, dimana alam
pikirannya selalu diliputi oleh mitos dan bayangan terhadap ‘sesuatu’
(dewa-dewa) yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang mengatur
alam ini. Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan
sebuah alam kecil di dalam alam semesta, sehingga dianggap memulai
hidup baru.19
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah ilmu yang digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan serta usaha
tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.20
19 Abdul aziz Said, Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional dan Perubahan
Aplikasinya pada Desain Modern, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 132. 20 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian (suatu pendekatan praktek),(Jakarta: Rineka
Cipta. 1998), hlm. 151.
Jadi, di dalam
suatu penelitian diharuskan menggunakan prosedur yang ilmiah. Oleh
karena itu metode penelitian berperan penting dalam kemajuan dan
kemunduran suatu karya ilmiah, setiap penelitian memilih metode yang
paling tepat untuk riset dan penelitian. Dalam judul penelitian tentang
Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning
Ngayogyakarta, karena dalam setiap bangunan terutama Masjid sebagai
tempat ibadah para umat muslim. Mempunyai makna simbol dalam
arsitektur bangunan Masjid itu sendiri, seperti kondisi lingkungan
keagamaan, kondisi sosial budaya masyarakat maka diperlukan
pendekatan fenomenologi agama.
19
Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan suatu makna dan
fungsi dalam simbol arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni
Plosokuning Ngayogyakarta. Kemudian menguraikan sejarah awal mula
berdirinya Masjid, bentuk serta fungsi simbolik dalam Masjid Pathok
Negoro Sulthoni Plosokuning Yogyakarta. Dalam penelitian ini makna
simbolik arsitektur Masjid Sulthoni ini, diperlukan data-data pendukung
untuk menganalisa permasalahan yang di angkat, untuk memperolehnya
diperlukan beberapa tahapan metode, diantaranya adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field
research) penelitian yang bersifat kualitatif. Hal ini disampaikan
oleh Bogdan dan Tylor (1975:5) yang menyatakan bahwa
metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data
deskriptif.21
Terkait dengan jenis penelitian ini, maka data yang
diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder.
Data primer merupakan data yang diambil dari informasi yang
penulis memperoleh langsung dari lapangan. Kemudian data
sekunder merupakan data yang oleh penulis diambil dari literatur
yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan pokok
pembahasan tersebut. Data sekunder ini dimaksud untuk dapat
memperjelas, memperkuat data primer.
21 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1990), hlm. 3.
20
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ini dibagi dalam tiga komponen besar diantaranya:
a. Wawancara (interview)
Teknik wawancara atau interview yaitu teknik dimana
peneliti memperoleh data dan mengumpulkan data keterangan
melalui kontak langsung dengan responden.22
b. Observasi (observation)
Dengan
berhadapan dengan responden maka diperlukan beberapa
susunan pertanyaan yang berstruktur agar data yang diperoleh
sesuai dengan sistematika susunan pertanyaan yang diajukan
kepada responden. Maka dengan metode ini diharapkan dapat
memperoleh informasi yang akurat serta memadai. Untuk dapat
memperoleh hasil yang maksimal, peneliti melakukan
wawancara dengan beberapa narasumber yang diantaranya
takmir Masjid, tokoh masyarakat, tokoh yang berperan dalam
sejarah pembuatan Masjid, serta warga sekitar.
Observasi merupakan metode penelitian dengan cara
mengamati secara langsung dengan tingkat ketelitian,
mencurahkan segenap alat indera pengamatan mata untuk
mengamati kecermatan dan ketanggapan yang tinggi terhadap
22 Koentjaranigrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hlm.129.
21
gejala-gejala suatu objek yang penelitian.23
c. Dokumentasi (document)
Artinya adalah
teknik pengamatan pengumpulan data yang diperoleh melalui
pengamatan secara langsung pada obyek yang menjadi fokus
penelitian.
Teknik dokumen ini merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakuakan untuk memperoleh data yang bersumber pada
bahan-bahan tertulis atau yang lainnya, seperti sumber sejarah
dokumen, arsip, foto-foto, film, dan lain-lain. Teknik
pengumpulan data ini cenderung memerlukan keterampilan
dalam menemukan, merinci serta menangani bibliografi (sumber-
sumber) atau catatan-catatan.24
3. Teknik Analisis Data
Dengan demikian, peneliti akan
semakin kaya akan data-data dan memiliki legitimasi bukti nyata
untuk suatu pengujian tertentu.
Teknik analisa data digunakan pada peneliti ini yakni
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah upaya untuk
menafsirkan dan menjelaskan data-data yang sudah di teliti agar
mendapatkan pemahaman dan pengertian yang sesuai dengan tema
penelitian. Akan tetapi, sebelum data-data kualitatif tersebut di
analisis terlebih dahulu dalam operasionalnya data yang diperoleh
23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm 128 24 Bisri MS, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 63.
22
diorganisir, kemudian disklasifikasikan dengan menggunakan
penalaran induktif dan deduktif.25
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan, maka penelitian membuat
sistematika pembahasan, dengan menggunakan sistematika tersebut
memudahkan dalam penulisan ini terarah dengan baik dan benar serta
mudah untuk dipahami.
Bab satu merupakan didalamnya menjelaskan tentang
pendahuluan, yang meliputi latar belekang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan. Tentang mengapa penelitian
ini dilakukan, apa saja yang menjadi persoalan dalam penelitian lebih
lanjut terdahulu mengetahui alasan dan dasar mengapa penelitian tersebut
dilakukan,
Bab dua yakni menguraikan tentang gambaran umum lokasi
penelitian. Meliputi letak geografis, sejarah munculnya Masjid Pathok
Negoro Sulthoni Plosokuning yogyakarta. Pembahasan ini diletakkan pada
bab kedua karena sebelum melakukan penelitian tentang Simbol Arsitektur
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning yogyakarta, terlebih dahulu
dijelaskan tentang seputar gambaran mengenai Masjid, simbol yang
25 Penalaran induktif yakni pola penalaran yang bersifat khusus ke umum . sedangkan
deduktif yakni sebaliknya, dari umum ke khusus. Lihat Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),hlm. 48-49.
23
terdapat pada Masjid Pathok Sulthoni Plosokuning, Simbol Arsitektur
yang berkaitan dengan Islam Jawa,
Bab tiga menguraikan tentang macam-macam simbol arsitektur di
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning.
Bab empat merupakan bagian analisis penulis berdasarkan data
yang diperoleh, meliputi pengertian simbol, simbol pendapat para ahli,
bentuk simbol, fungsi simbol, hubungan antara simbol dan kebudayaan,
analisis makna simbolik arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni
Plosokuning dalam Sugesti Arsitektur Jawa, Transformasi Arsitektur
Masjid Pathok Negoro
Bab lima adalah bagian penutup yang berisi tentang merupakan
bab terakhir dari di dalamnya meliputi kesimpulan, saran-saran, penutup.
Wawancara di Lapangan (Masjid Pathok Negoro Plosokuning)
1. Bagimana asal-usul sejarah berdirinya Masjid Pathok Negoro
Plosokuning?
2. Apa hubungan masjid Pathok Negoro plosokuning dengan Masjid besar
keraton Yogyakarta?
3. Apa makna Pathok Negoro Plosokuning bagi warga masyarakat di
sekitarnya pada waktu itu?
4. Apa fungsi Masjid Pathok Negoro bagi warga masyarakat pada waktu itu?
5. Apa yang menjadi ciri khas Masjid Pathok Negoro Plosokuning dengan
masjid yang lain?
6. Berasal dari mana asal usul nama Pathok Negoro Plosokuning?
7. Apa ada gabungan bentuk bangunan arsitektur Masjid Pathok Negoro
dengan corak bangunan arsitektur yang lain?
8. Apa makna kolam yang berada di sekeliling depan Masjid tersebut?
9. Apa makna makam yang terletak di sebelah barat dan samping kanan
Masjid Pathok Negoro?
10. Siapa saja orang yang dimakamkan di areal Masjid Pathok Negoro ini?
11. Apa makna simbol buah labu waluh yang letaknya di atas gapuro pintu
masuk yang di timur?
12. Apa makna simbol Mustaka Gada Bersuhur dan juga makna atap
bertingkat yang terletak paling atas yang menutupi Masjid dari hujan?
13. Apa makna Mimbar dan Tongkat terletak sebelah imam?
14. Apakah bedug termasuk simbol? Jika ia makna apa yang terkandung
dalam Bedug?
15. Apa makna Pintu Gerbang Masuk Masjid Pathok Negoro dan Pintu Masjid
Pathok Negoro dan sebagai Simbol Penghormatan?
16. Apa makna Tiang Kayu Jati? Kenapa letaknya dalam bentuk menengadah?
17. Tradisi budaya apa yang sering di adakan di asjid ini?
18. Apa makna tiga tingkatan tangga yang berada di serambi tengah?
19. Apa makna sebuah pohon sawoh kecik yang terletak di area Masjid pathok
negoro plosokuning?
Gambar Simbolik Arsitektur
Mustoko gada bersuhur
Gapuro Masjid
Tiang kayu jati
Simbol labu atau waluh
Simbol undakan gerbang
Masjid
Simbol pintu masuk Masjid
Simbol pintu masuk Masjid
Pintu utama Masjid
Plosokuning
Pintu masuk masjid dari
samping
Gambar Simbolik Arsitektur
Bedug
Mimbar dan Tongkat
Pohon Sawo Kecik
Tiang-tiang penyanggah
Mihrab
Kolam di depan Masjid
Bangunan Masjid
Atap tajug berbentuk limas dua
tumpang
Salah satu makam di belakang Masjid
Gambar Simbolik Arsitektur
Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning
Masjid terlihat dari samping
Simbol Tiang berbentuk
menengadah
Makam-makam di samping Masjid
Simbol kolam kedalaman tiga
meter
Pintu gerbang Masjid
Saat mengumandangkan bedug
Menara Masjid
Undakan salah satu simbol
Masjid
Tradisi di dalam Masjid Plosokuniung
Pada saat membagikan daging
kurban
Pada saat memeotong-motong hewan kurban
Saat akan memotong hewan kurban membacakan bagian-bagian pemilik
Pada saat mengambil hewan korban untuk di potong
Pada saat lomba pidato 1 muharam
Pada saat lomba mewarnai untuk anak-
anak kecil di 1 muharam
Tradisi di dalam Masjid Plosokuniung
Silaturrahmi warga dan ketua takmir Masjid menuju 1 Muharam
Pada saat sholat Idul Adha di area Masjid
Pada saat pemotongan hewan korban
Selesai pemotongan hewan korban
Pada saat ibu-ibu memasak untuk laki-laki setelah selesai memotong korban
Pada saat ibu-ibu memasak
Tradisi di dalam Masjid Plosokuniung
Saat sholawatan
Saat sholawatan memakai rebana
Lomba sholawatan bapak-bapak pada 1
Muharam
am
Lomba solawatan ibu-ibu pada 1 Muharam
Tradisis gunungan pada saat 1 muharam
Tradisi lomba memasak ibu-ibu pada saat 1 Muharam