makrosomia fetus ok postterm
DESCRIPTION
makrosomiaTRANSCRIPT
MAKROSOMIA FETUS YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEHAMILAN LEWAT WAKTU
DONEL
PENDAHULUAN
Istilah makrosomia sampai saat ini masih banyak perbedaan dalam hal definisi
dan batasan. Belum ada kesepakatan secara umum mengenai istilah makrosomia ini,
walaupun dikalangan para obstetricus ada kesepakatan bahwa bayi baru lahir dengan
berat badan kurang dari 4000 gram tidak tergolong besar, namun kesepakatan ini belum
sampai pada penentuan definisi makrosomia. Di dalam berbagai kepustakaan ada
berbagai batasan mengenai berat bayi yang tergolong makrosomia, angkanya berkisar
antara 4000 – 4500 gram. 1-3
Definisi lain mengenai makrosomia ini berdasarkan kriteria perbandingan berat
badan terhadap usia kehamilan. Bayi dikatakan besar masa kehamilan (BMK) atau
large for gestational age (LGA) bila berat badannya melebihi persentil ke 90 untuk usia
kehamilannya. Nomenklatur ini mempunyai keuntungan karena lebih jelas bila
dibandingkan dengan kriteria berdasarkan standar empiris. Contohnya janin dengan
berat badan 3800 gram pada usia kehamilan 35 minggu tidak disebut makrosomia
namun tergolong BMK. 1, 4
Janin dengan berat badan yang besar untuk usia kehamilannya atau makrosomia
mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami distosia bahu, asfiksia pada saat
persalinan, trauma persalinan, kematian janin dan non insulin dependent diabetes
mellitus. Selain itu janin yang besar juga memberikan risiko untuk ibunya. Insiden bayi
dengan berat badan lebih dari 4500 gram 10 kali lebih sering pada kelompok ibu hamil
diabetes dibanding dengan ibu hamil normal.5, 6
Insiden makrosomia bervariasi dalam populasi; umumnya berkisar 5-7% untuk
batasan berat badan lebih dari 4000 gram dan kurang dari 1% bila memakai batasan
berat badan lebih dari 4500 gram. Insidensi bayi dengan berat badan yang berlebihan ini
1
cenderung meningkat dalam abad ke 20. Contohnya menurut William, insidensi bayi
lahir dengan berat badan lebih dari 5000 gram 1-2 per 10.000 kelahiran, sedangkan di
RS.Parkland dari tahun 1998 – 2002 adalah 15 per 10.000 kelahiran 1
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan janin
Ukuran akhir besarnya bayi pada saat dilahirkan merupakan hasil
interaksi antara faktor genom janin dan lingkungan maternal. Peran faktor genetik
terhadap tumbuh kembang janin diperkirakan kurang lebih 30-60%. Walaupun faktor
genetik dalam regulasi pertumbuhan janin diturunkan oleh kedua orang tua, namun
genetik maternal lebih dominan dibanding genetik paternal (65%).7
Faktor genetik
Faktor genetik merupakan kontributor utama dalam mengontrol
pertumbuhan janin pada paruh pertama kehamilan, sedang faktor-faktor lain seperti :
nutrisi, hormonal, metabolik dan lingkungan lebih berpengaruh pada trimester terakhir.
Pada kasus kehamilan dengan diabetes, janin lebih rentan terhadap perubahan
pertumbuhan pada trimester ketiga.7
Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa genom maternal dan
paternal memegang peran penting dalam perkembangan dan pertumbuhan janin.
Contohnya, pada zigot ginogenetik (dua kopi genom maternal) terjadi ganaguan
perkembangan jaringan ekstraembrional, tetapi perkembangan embrio tetap
normal. Perkembanaan trofoblas diatur oleh genotipe paterna1. Pada percobaan
transfer inti zygot menunjukkan bahwa zygot androgenetik (dua kopi genom paternal)
mengalami perkembangan trofoblas yang ekstensif namun perkembangan jaringan
embrionalnya mengalami harnbatan. Mola hidatidosa merupakan akibat dari
pembentukan trofoblas yang berlebihan yang berasal dari komposisi genetik paternal.8
Beberapa gen telah berhasil dipetakan sebagai gen maternal dan
paternal. Insulin-like growth factor I (IGF-I) dan IGF-II merupakan dua produk protein
dari gen yang khusus mengatur perkembangan sel-sel trofoblas yang membentuk
2
plasenta. Delesi pada gen IGF-I dan IGF II akan menyebabkan terjadinya restriksi
pertumbuhan janin.8
Faktor epigenetik
Faktor epigenetik atau lingkungan, termasuk lingkungan maternal secara umum
seperti, umur ibu, paritas, status gizi, penyakit dan kebiasaan ibu (merokok,
minum alkohol), maupun lingkungan maternal yang mempunyai hubungan langsung
dengan janin, seperti aliran darah uteroplasenter dan metabolisme fetal-maternal,
faktor mediator biokimiawi yang dilepaskan ke sirkulasi, misalnya faktor endokrin
atau yang disintesis lokal seperti parakrin, dan faktor plasenta memegang peranan penting
dalam regulasi pertumbuhan janin.7
Faktor-faktor non genetik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan janin adalah :
a. Ukuran uterus
Pertumbuhan janin dapat dibatasi oleh ukuran uterus sehingga kapasitas untuk
menunjang pertumbuhan plasenta dan suplai nutrisi terbatas bagi janin terbatas.
Contohnya embrio dari keturunan yang kecil bila ditransplantasikan ke uterus yang besar
akan bertumbuh lebih besar dibandingkan bila embrio tersebut tetap di dalam rahim yang
kecil. Sebaliknya embrio dari keturunan yang besar yang ditransfer ke uterus yang kecil
akan bertumbuh lebih kecil dibandingkan bila dia berada dalam uterus yang besar. Jadi
jelas bahwa janin kecil dari orang tua yang kecil dan janin besar dari orang tua
yang besar bukan merupakan gambaran restriksi pertumbuhan atau pertumbuhan yang
berlebihan 8
b. Nutrisi ibu
Data epidemiologi menunjukkan bahwa pada kondisi kelaparan yang
berkepanjangan hanya membatasi pertumbuhan janin sekitar 10-25%. Asupan kalori dan
protein harus kurang dan 50% sebelum terjadi restriksi pertumbuhan. Hal yang sama juga
berlaku pada makrosomia yang umumnya terjadi pada kehamilan yang berkomplikasi
dengan diabetes melitus gestasional yang disertai dengan hiperglikemia,
3
hipertriglyceridemia serta hiperinsulinemia pada janin yang kemudian menyebabkan
pertumbuhan jaringan lemak yang berlebihan. 8
c. Plasenta
Plasenta mengatur Iingkungan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin
dengan cara menjadi mediator sistem maternal untuk mengenali dan mendukung
kehamilan. Sistem endokrin plasenta berperan dalam menyediakan suplai nutrien
yang adekuat untuk perkembangan janin, tempat untuk pengambilan nutrisi
dan pengeluaran limbah dan juga untuk pertahanan melawan patogen. Kegagalan
pertumbuhan plasenta berhubungan langsung dengan menurunnya pertumbuhan janin.
Jelas bahwa ukuran plasenta dan ukuran janin saling berhubungan, walaupun hubungan
fungsional antara janin dan plasenta juga penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin.8
Faktor-faktor Risiko Makrosomia
Wanita yang melahirkan bayi makrosomia umumnya lebih gemuk, mempunyai
pertambahan berat badan yang berlebihan selama kehamilan atau dengan kehamilan
lewat waktu. Berdasarkan pengetahuan tentang faktor-faktor risiko, korelasi yang paling
kuat ditemukan pada ibu dengan diabetes melitus, obesitas dan kehamilan lewat waktu
dengan risiko makrosomia berkisar antara 5 – 15 persen. Bayi dengan berat badan 4250
gram yang dilahirkan oleh ibu penderita diabetes mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami distosia bahu dibandingkan dengan bayi dengan berat badan sama
yang dilahirkan oleh ibu non diabetes. Insiden diabetes maternal meningkat bila berat
badan bayi melebihi 4000 gram, namun perlu ditekankan bahwa insiden diabetes pada
ibu yang melahirkan bayi makrosomia tidak besar. Di RS.Parkland dari 13.805 bayi
yang lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gram hanya 823 atau 6 persen yang lahir
dari ibu penderita diabetes.9
Faktor-faktor risiko untuk makrosomia antara lain :9
- Ibu yang diabetes
- Ibu yang gemuk
4
- Multiparitas
- Umur ibu
- Kehamilan lewat waktu
- Orang tua dengan bentuk badan yang besar
- Ras dan etnik
- Janin laki-laki
- Riwayat makrosmia sebelumnya
Diagnosis
Sampai saai ini perkiraan yang akurat terhadap besar janin dalam uterus masih
sulit dilakukan, sehingga diagnosis makrosomia seringkali tidak dapat dibuat sampai
setelah persalinan. Ketidaktepatan perkiraan berat janin secara klinis dengan
pemeriksaan fisik sering dihubungkan dengan keadaan ibu seperti adanya obesitas.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki ketepatan perkiraan berat janin
dengan analisis bermacam-macam ukuran yang diperoleh dengan ultrasonografi.
Sejumlah formula telah dibuat untuk memperkirakan berat janin menggunakan
pengukuran kepala, femur, dan abdomen secara ultrasonografik. Perkiraan yang dibuat
dengan penghitungan-penghitungan ini, meskipun cukup akurat untuk meramalkan berat
janin kecil dan preterm, terapi masih kurang akurat untuk meramalkan berat janin yang
sangat besar. Seperti yang terlihat pada grafik dibawah, seorang bayi yang diramalkan
berberat 4000 g pada kenyataannya dapat berberat badan jauh lebih besar atau lebih
kecil daripada yang diramalkan.2
Gambar 1 : Hubungan antara perkiraan berat janin dengan ultrasonograf dengan
. hasil yang sebenarnya ( dikutip dari Cunningham 2 )
5
Hasil serupa juga dilaporkan oleh Jazayeri 1999. Rouse 1996, mengulas 13
penelitian sejak 1985 sampai 1995 yang melaporkan sensitivitas dan spesifisitas ramalan
ultrasonik pada janin makrosomik. Berbagai metode tersebut didapati hanya mempunyai
sensitivitas yang sedang (60 persen) untuk diagnosis akurat makrosomia, tetapi
spesifisitas yang lebih tinggi (90 persen) dalam menyingkirkan ukuran janin yang
berlebih. Sayangnya, belum ditemukan suatu rumus yang mampu menyajikan perkiraan
makrosomia janin dengan nilai prediktif yang cukup akurat dan bermanfaat untuk
menyusun strategi penatalaksanaan klinis. Dalam sebuah tinjauan komprehensif
tentang perkiraan berat janin dari pengukuran ultrasonik untuk mengidentifikasi
makrosomia, Sandmire (1993) berpendapat bahwa penggunaan data semacam itu untuk
pengambilan keputusan klinis mungkin lebih banyak menyebabkan bahaya daripada
manfaat. la menyarankan agar pelaporan dan penggunaan data sonografik secara klinis
untuk memperkirakan berat janin yang lebih besar harus ditangguhkan. Adashek dan
kawan-kawan 1996 menemukan bahwa para ibu yang menjalani pemeriksaan
ultrasonografi dalam 4 minggu gestasi terakhir mempunyai risiko seksio sesarea yang jauh
lebih tinggi jika perkiraan besar janin melebihi 4000 g. Mereka menyimpulkan bahwa
perkiraan berat janin dari pengukuran ultrasonografi tidak terlalu handal. Meski
demikian, pengukuran sonografik untuk menilai berat janin yang besar guna
membantu pengambilan keputusan penatalaksanaan klinis dapat dibenarkan pada
kondisi-kondisi tertentu. Penggunaan perkiraan ini secara rutin untuk menemukan
makrosomia tidak dianjurkan. Temuan-temuan dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa perkiraan berat janin dengan pemeriksaan fisik pada wanita hamil sama baiknya
atau bahkan lebih baik daripada perkiraan yang dibuat dari pengukuran janin secara
ultrasonografik.2
Makrosomia Pada Kehamilan Lewat Waktu ( Postterm )
Kehamilan lewat waktu merupakan masalah yang sering ditemukan dalam
praktek obstetri. Pada awalnya pandangan mengenai kehamilan lewat waktu ini belum
seragam. Terdapat perbedaan pandangan antara peneliti-peneliti Eropa dengan Amerika
Serikat yang memandang masalah ini dengan skeptis. Para peneliti Eropa meragukan
6
laporan dari Clure-Brown yang menyatakan bahwa mortalitas janin akan meningkat dua
kali lipat pada pasien yang mencapai kehamilan 42 minggu dan juga meragukan apakah
mungkin kehamilan melewati 42 minggu. Keadaan ini kemudian diklarifikasi oleh
Clifford pada tahun 1952 yang membuat sistem klasifikasi untuk menentukan derajat
kesakitan bayi yang lahir postterm.10
Istilah postterm, memanjang, lewat tanggal, dan postmatur sering digunakan
dan disamakan untuk menyebutkan kehamilan yang sudah melampaui masa kehamilan
yang dianggap berada di atas batas normal. Ketidaktepatan penggunaan istilah itu,
ditambah dengan bervariasinya definisi tentang batas atas kehamilan normal, membuat
penelusuran literatur tentang kehamilan postterm menjadi membingungkan.
Postmatur seharusnya digunakan untuk mendeskripsikan janin dengan ciri-ciri klinis
nyata yang menunjukkan kehamilan yang memanjang patologis. Oleh karena itu,
kehamilan postterm atau memanjang adalah pernyataan yang lebih disukai untuk
kehamilan-kehamilan yang lewat waktu, dan "postmatur" dikhususkan untuk sebuah
sindrom klinis spesifik. Perlu diperhatikan, hanya sedikit bayi yang lahir dari
kehamilan memanjang ini yang postmatur. Definisi standar yang direkomendasikan
secara internasional untuk kehamilan memanjang, didukung oleh American College of
Obstetricians and Gynecologist (1997), adalah 42 minggu lengkap (294 hari) atau lebih
sejak hari pertama haid terakhir.2
Pada umumnya penulis menetapkan bahwa kehamilan post date adalah
kehamilan yang mencapai 42 minggu dari amenorea. Insiden morbiditas meningkat
setelah 40 minggu. Pada kehamilan 42 minggu mortalitas meningkat menjadi dua kali
lipat sehingga usia kehamilan ini dipakai sebagai cut off point. Diagnosis yang akurat
ditentukan oleh penentuan awal kehamilan yang tepat. Hampir 50 persen pasien
melahirkan pada sekitar tanggal perkiraan persalinannya, sedang sekitar 35-40%
melahirkan 2 minggu sesudahnya.11
Persalinan lewat waktu dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan bayi dan
berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi postpartum, perdarahan karena atonia
uteri, komplikasi luka, hari perawatan yang lebih lama dan emboli paru. Eden
7
melaporkan kejadian seksio sesaria meningkat dua kali lipat pada kehamilan lebih dari
42 minggu dibandingkan dengan kehamilan antara 38-40 minggu, sebagian disebabkan
karena disproporsi kepala panggul pada bayi yang besar (makrosomia) dan juga karena
kegagalan induksi pada serviks yang belum matang. Komplikasi lain yang dapat terjadi
pada ibu adalah trauma akibat persalinan pervaginam karena bayi makrosomia.
Komplikasi yang dapat timbul pada bayi berupa insufisiensi plasenta, trauma karena
makrosomia dan sindroma aspirasi mekonium. Sementara pertumbuhan janin dapat
terhenti pada postmaturitas, namun sejumlah janin dapat terus bertumbuh dan
melampaui berat 4000 gram khususnya pada janin laki-laki. Sechen dan kawan-kawan
2002, melaporkan 25-30 persen bayi pada kehamilan postterm lahir dengan berat badan
lebih dari 4000 gram, angka ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi pada
kehamilan aterm. 11
Diagnosis makrosomia yang akurat sangat membantu untuk membuat rencana
persalinan, namun metode untuk penentuan pertumbuhan janin yang berlebihan
mempunyai keterbatasan karena sensitivitas dan nilai prediksi yang rendah. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk meningkatkan akurasi diagnostik taksiran berat janin
dengan pemeriksaan ultrasonografi. Walaupun formula ini biasanya dapat membantu
pada janin dengan ukuran normal tetapi akurasinya akan berkurang pada ukuran janin
yang ekstrim. Penyulit lain untuk menaksir berat janin dengan metode palpasi perut ibu
pada janin yang dicurigai makrosomia timbul karena tingginya kejadian obesitas pada
ibu-ibu tersebut. Chervenak 2001, melaporkan pemeriksaan ultrasonografi mempunyai
sensitivitas 60,5 persen dan spesifisitas 90,7 persen untuk menaksir berat badan lahir
lebih dari 4000 gram. Metode lain untuk menentukan bayi yang suspek makrosomia
adalah pemeriksaan fetal pelvic index (FPI) yang ditemukan oleh Morgan dan Thurnan.
Metode ini membandingkan pengukuran kepala dan abdomen janin berdasarkan
pemeriksaan ultrasonografi dengan pemeriksaan rontgen pelvimetri untuk mengukur
inlet pelvis dan lingkaran panggul tengah. Pemeriksaan tersebut saat ini lebih mudah
dilakukan dengan CT scan menggunakan metode Colcher-Sussman.11
8
Walaupun penurunan komplikasi merupakan tujuan penanganan makrosomia,
namun sejumlah peneliti melaporkan bahwa keputusan klinis yang hanya didasari oleh
estimasi berat janin berdasarkan hasil pemeriksaan ultrasonografi hanya akan
meningkatkan kejadian persalinan dengan seksio sesaria. Oleh karena itu pengukuran
biometeri dengan ultrasonografi harus selalu digunakan bersama dengan penilaian klinis
terhadap ukuran janin, keadaan panggul ibu dan pertimbangan yang seksama akan risiko
makrosomia terhadap ibu dan janin.2, 3
Perkiraan Umur Kehamilan Memakai Tanggal Menstruasi
Definisi kehamilan postterm sebagai kehamilan yang berlangsung
selama 42 minggu atau lebih sejak awal datangnya menstruasi menganggap
bahwa menstruasi terakhir diikuti dengan ovulasi 2 minggu kemudian.
Meskipun definisi ini mungkin benar untuk 10 persen kehamilan, beberapa
kehamilan mungkin sebenarnya bukan postterm tetapi lebih merupakan akibat kesalahan
penaksiran usia gestasi. Ada kemungkinan terdapat dua kategori kehamilan yang
mencapai 42 minggu lengkap:2
1. Yang benar-benar 42 minggu setelah konsepsi.
2. Yang kehamilannya belum terlalu lanjut karena bervariasinya waktu ovulasi.
Munster dan kawan-kawan 1992 melaporkan insiden tinggi variasi siklus
menstruasi yang besar pada wanita normal. Boyce 1976 meneliti 317 wanita Perancis
dengan profil suhu badan basal konsepsional dan menemukan bahwa 70 persen yang
hamil lengkap 42 minggu pasca menstruasi ternyata mempunyai gestasi yang kurang
lanjut berdasarkan hari ovulasi masing-masing. Reuss 1995 menemukan hasil serupa
ketika penetapan usia gestasi dini melalui ultrasonografi diteliti secara prospektif pada
764 wanita. Kehamilan postterm menurun dari 10 persen berdasarkan riwayat
menstruasi menjadi 3 persen kalau digunakan kriteria ultrasonografi. Jadi, sejumlah kecil
wanita mengalami ovulasi lebih cepat daripada yang diharapkan sehingga meningkatkan
kemungkinan bahwa kehamilan 40 minggu lengkap pascakonsepsi setara dengan 41
minggu amenore. Dengan demikian, kebanyakan kehamilan yang pasti 42 minggu
9
lengkap setelah menstruasi terahir mungkin secara biologis tidak memanjang dan
beberapa kehamilan yang belum mencapai 42 minggu mungkin sebenarnya telah
postterm. Variasi-variasi siklus menstruasi ini kemungkinan menjelaskan, setidaknya
sebagian, mengapa sekitar 10 persen kehamilan manusia mencapai 42 minggu, namun
relatif sedikit janin yang terbukti mengalami postmaturitas. Karena tidak ada metode
untuk mengidentifikasi kehamilan yang benar-benar memanjang, semua kehamilan
yang ditetapkan sebagai 42 minggu lengkap harus ditangani seolah-olah memanjang
abnormal 2
Insidensi
Lebih kurang 7 persen dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat pada
tahun 2001 diperkirakan lahir pada usia 42 minggu dan lebih, sedangkan kelahiran
preterm ( dibawah 36 minggu ) sebanyak 12 persen. Kehamilan postterm amat
bervariasi bergantung pada kriteria yang digunakan untuk diagnosis, dan frekuensi
yang dilaporkan berkisar dari 4 sampai 14 persen dengan rata-rata sekitar 10 persen
(Bakketeig and Bergsjo, 1991). Terdapat hasil-hasil yang kontradiktif berkenaan dengan
kemaknaan berbagai faktor demografik ibu seperti paritas, kelahiran postterm
sebelumnya, kelas sosioekonomi, dan umur. Terdapat satu gambaran yang menarik,
yaitu kecenderungan beberapa ibu untuk mengalami kelahiran postterm berulang yang
mengesankan bahwa beberapa kehamilan wanita Norwegia, insiden kelahiran postterm
berturutan meningkat dari 10 menjadi 27 persen kalau kelahiran pertama adalah
postterm dan menjadi 39 persen kalau sudah terjadi persalinan postterm berturut-turut
sebelumnya (Bakketeig and Bergsjo, 1991). Mogren 1999 melaporkan bahwa kehamilan
memanjang juga berulang lintas generasi pada wanita Swedia. Kalau ibu sudah
mengalami kehamilan memanjang ketika melahirkan anak perempuannya, risiko untuk
kehamilan memanjang pada kehamilan anak perempuannya tersebut meningkat dua
sampai tiga kali lipat.2
Pada penelitian lain di Swedia oleh Laursen dan kawan-kawan pada tahun 2004
menyimpulkan bahwa kehamilan posterm bukan karena faktor orang tua, tetapi karena
10
faktor genetik. Faktor fetoplasenta yang diteliti sebagai predisposisi terjadinya kehamilan
lewat waktu ini adalah anencephal, hipoplasia kelenjar adrenal, dan defisiensi sulfatase
plasenta X-linked. Meskipun etiologi kehamilan yang lama tidak dipahami
sepenuhnya, keadaan klinis ini memberikan suatu gambaran yang umum, yaitu:
penurunan kadar estrogen yang pada kehamilan normal umumnya tinggi. Pada kasus
insufsiensi hipofise atau adrenal janin, hormon prekursor yaitu dehidroisoa
androsteron sulfat disekresikan dalam jumlah yang cukup bagi konversi
menjadi estradiol dan secara tidak langsung menjadi estriol di dalam plasenta.
Contoh klasik mengenai defisiensi prekursor estrogen adalah anensefalus (MacDonald
dan Siiteri, 1965). Defisiensi sulfatase plasenta diturunkan sebagai suatu ciri resesif
yang berhubungan dengan kromosom seks (Ryan, 1980). Dalam keadaan ini, hormon
prekursor dihasilkan oleh kelenjar adrenal janin, tetapi plasenta kekurangan enzim
untuk memecah sulfat dari dehidroandrosteron sulfat, yaitu tahap pendahuluan
enzimatik dalam proses perubahan androgen yang secara biologis lemah, menjadi
estradiol dan estriol 2
Penurunan konsentrasi estrogen yang menandai kasus kasus kehamilan lama
ini dianggap merupakan hal penting, karena kadar estrogen tidak cukup untuk
menstimulasi produksi dan penyimpanan glikofosfolipid di dalam membran janin.
Pada jumlah estrogen yang normal dan terus meningkat, dengan semakin
berlanjutnya kehamilan, membran janin khususnya menjadi kaya akan dua jenis
gliserofos folipid, fosfatidilinositol dan fosfatidiletanolamin yang keduanya
mengandung araklodinat. Janin memicu persalinan melalui mekanisme tertentu yang
masih belum dipahami dengan jelas, sehingga terjadi pemecahan arakidonat dari
kedua senyawa gliserofosfolipid ini. Dengan demikian arakidonat tersedia bagi
konversi menjadi prostaglandin E2 yang selanjutnya akan menstimulasi penipisan
serviks serta kontraksi ritmik uterus yang menjadi ciri khas persalinan normal. Per-
salinan normalnya dimulai dalam periode 4 minggu antara kehamilan 38 dan 42
minggu, dan tampak adanya variabilitas biologis yang lazim dalam proses..ini. Wanita
hamil yang pernah mengalami satu kali kehamilan yang lama akan menghadapi
11
peningkatan risiko untuk terjadinya kembali keadaan yang sama pada kehamilan
berikutnya 2.
Efek Pada Janin
Janin postterm dapat terus bertambah beratnya di dalam uterus dan dengan
demikian menjadi bayi besar yang abnormal pada saat lahir, atau bertambah berat
postterm serta berukuran besar menurut usia gestasionalnya. Kenyataan babwa janin
postterm terus tumbuh merupakan indikasi tidak terganggunya fungsi plasenta dengan
implikasi bahwa janin seharusnya mampu menanggung semua beban persalinan normal
tanpa masalah. Akan tetapi, keadaan yang terjadi mungkin tidak demikian. Sebagai
contoh, pertumbuhan yang terus berlangsung dapat menimbulkan disproporsi
sefalopelvik dengan derajat yang mengkhawatirkan dan akibatnya persalinan
tidak dapat lagi berlangsung secara normal. Ditambah lagi dengan adanya
oligohidramnion sering terjadi pada kehamilan yang melampaui usia 42 minggu, dan
penurunan jumlah cairan amnion akan disertai dengan kompresi tali pusat yang
menimbulkan gawat janin, termasuk defekasi dan aspirasi.mekonium yang kental.2
Pada sisi lainnya, lingkungan intrauteri yang tidak menguntungkan janin,
sehingga pertumbuhan janin yang lebih lanjut akan terhenti dan janin menjadi
postterm serta mengalami retardasi pertumbuhan Pada saat lahir bisa terlihat bahwa
janin sebenamya sudah mengalami kehilangan berat yang cukup banyak,
khususnya akibat hilangnya lemak subkutan dan massa otot. Pada kenyataannya,
sebagian bayi yang sudah mengalami retardasi pertumbuhan dapat menjadi postterm,
dan proses patologis ini dapat semakin parah. Pada kasus yang ekstrim, ekstremitas
tampak panjang dan sangat kurus, terdapat deskuamasi epidermis yang parah, dan kuku
jari tangan serta amnion sering diwarnai dengan bercak-bercak mekonium.12
Mortalitas Perinatal
Dasar historik untuk konsep batas atas durasi kehamilan manusia adalah
pengamatan bahwa mortalitas perinatal meningkat setelah tanggal yang diharapkan
terlampaui. Hal ini paling jelas terlihat bila mortalitas perinatal dianalisis sejak saat
12
sebelum intervensi-intervensi untuk kehamilan yang melampaui 42 minggu dilakukan
secara luas. Seperti yang diperlihatkan pada tabel 37-2, setelah mencapai titik nadir
pada minggu ke 39 sampai 40, mortalitas perinatal di Swedia meningkat ketika
kehamilan melampaui 41 minggu. Lucas 1965, membandingkan basil akhir perinatal
pada 6624 kehamilan postterm dengan hampir 60.000 kehamilan tunggal yang
dilahirkan antara usia gestasi 38 dan 41 minggu. Semua komponen mortalitas perinatal,
kematian antepartum, intrapartum, dan neonatal meningkat pada usia gestasi 42
minggu dan sesudahnya. Peningkatan yang paling signifikan terjadi pada intrapartum.
Penyebab utamanya adalah hipertensi gravidarum, partus lama dengan disproporsi
sefalopelvik, "anoksia yang tak diketahui sebabnya", dan malformasi.2
Gambar 2 : Kematian perinatal pada kehamilan postterm di Swedia
( dikutip dari Cunningham 2 )
Alexanders dan kawan-kawan pada tahun 2000 meneliti 56.317 ibu hamil dengan
anak tunggal yang melahirkan pada usia kehamilan 40 minggu dan lebih pada tahun
1998 di Amerika Serikat. Didapatkan bahwa 35 persen persalinan yang diinduksi pada
kehamilan yang mencapai usia kehamilan 42 minggu. Angka seksio sesarea dan distosia
bahu serta fetal distress juga meningkat bermakna pada kehamilan 42 minggu
dibandingkan dengan usia kehamilan dibawahnya. Banyak bayi yang dirawat di ruang
intensif pada kehamilan lewat waktu. Insidensi bayi dengan kejang dan mati meningkat
13
2 kali lipat pada 42 minggu. Smith tahun 2001 mendapatkan bahwa bayi-bayi yang
dilahirkan pada 38 minggu memiliki resiko kematian perinatal yang paling rendah.2
Gambar 3 : Luaran kehamilan dengan usia kehamilan 40-42 minggu
( dikutip dari Cunningham 2 )
Penanganan Janin Makrosomia
a. Sebelum persalinan
Pendekatan yang rasional dalam penanganan makrosomia harus dilakukan untuk
mencegah komplikasi utama makrosomia yaitu : disproporsi janin panggul, distosia bahu
dan mencegah terjadinya intervensi yang tidak perlu yang dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan ultrasonografi semata. Penilaian yang cermat terhadap faktor-faktor risiko
ibu harus dimulai sejak kunjungan pertama dan harus difokuskan pada berat badan lahir
bayi yang sebelumnya serta riwayat persalinan sebelumnya. Namun sayangnya sekitar
40% pasien yang melahirkan bayi makrosomia tidak menunjukkan faktor-faktor risiko
yang jelas selama kehamilan. Pemeriksaan tinggi fundus secara serial merupakan bagian
yang penting dari pemeriksaan prenatal. Bila ditemukan tinggi fundus yang abnormal
harus segera dilakukan evaluasi ultrasonografi untuk menentukan adanya makrosomia,
polihidramnion dan kehamilan kembar.11, 12
Ada yang menganjurkan untuk melakukan induksi persalinan “profilaksis” untuk
mencegah pertumbuhan janin yang berlebihan. Secara teoritis induksi ini dapat menekan
risiko seksio sesaria dan distosia bahu dengan mencegah pertumbuhan janin, namun
14
Gonen 1999, melaporkan bahwa induksi persalinan tidak dapat menekan insiden seksio
sesaria atau distosia bahu. Hal yang sama dilaporkan oleh Leaphart 2001, bahkan
mereka melaporkan bahwa induksi dapat meningkatkan kejadian seksio sesaria yang
sebenarnya tidak diperlukan. Berdasarkan laporan American College of Obstetricians
and Gynecologists tidak ditemukan bukti yang mendukung untuk melakukan induksi
dini pada kehamilan dengan kecurigaan makrosomia. 2, 11
Rouse 1999, melaporkan bahwa bila dilakukan seksio sesaria pada semua
kehamilan makrosomia pada populasi non diabetes maka diperlukan 3695 seksio sesaria
dengan biaya sekitar 8,7 juta US dollar untuk mencegah satu kejadian brachial palsy
yang permanen akibat distosia bahu.11
Beberapa sikap yang harus dipertimbangkan pada persalinan dengan dugaan
makrosomia antara lain :11
- Hindari persalinan tindakan pervaginam bila kepala masih di panggul tengah
terutama pada kala II lama.
- Neonatologist dan anesthesiologist harus diberitahu sehingga mereka dapat
mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan komplikasi.
- Diperlukan kehadiran seseorang penolong persalinan yang berpengalaman dalam
penanganan persalinan dengan distosia bahu.
- Seksio sesaria perlu dipertimbangkan bila : taksiran berat janin lebih dari 4500
gram, atau ada riwayat kesulitan persalinan pervaginam dengan berat janin
yang sama atau lebih kecil.
b. Saat persalinan
Penanganan intrapartum pada bayi makrosomia memerlukan pengawasan yang
ketat, sebab kala satu dan kala dua yang memanjang berhubungan dengan kejadian
distosia bahu, fraktur tulang klavikula, dan trauma pleksus brachialis. Risiko distosia
bahu meningkat berturut-turut dari 3 % pada berat badan dibawah 4000 gram, 10,3 %
pada berat lahir 4000-4500 gram, dan 23,9 % dengan berat lahir diatas 4500 gram.
Terdapat hubungan yang jelas antara berat badan lahir dengan trauma pleksus
brachialis pada sebahagian besar kasus distosia bahu. Insidensi asfiksia dan brachial
15
palsy lebih kurang 42 % pada bayi yang mengalami distosia bahu. Distosia bahu ini
berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian perinatal.
Seharusnya distosia bahu ini dapat dihindari dengan mengamati lebih cermat
kehamilan yang berisiko terjadinya makrosomia. Suatu induksi persalinan yang
mengalami ketidakteraturan dan perlambatan kontraksi menandakan adanya risiko
distosia bahu. Untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian bayi yang
disebabkan oleh distosia bahu, sebaiknya disiapkan langkah-langkah dan manuver
yang tepat pada saat persalinan. Waktu adalah hal yang utama berhubungan dengan
angka kesakitan dan kematian bayi. Tanda yang utama dari distosia bahu adalah
perlambatan penurunan kepala pada pintu bawah panggul. Keadaan ini terjadi jika
bahu yang yang berada di pintu bawah panggul dengan diameter anteroposterior yang
besar. Tarikan langsung pada kepala bayi tidak akan efektif, sehingga menyebabkan
fraktur klavikula. Karena secara normal janin melewati jalan lahir seperti gerakan
baut, rotasi bahu akan mengurangi diameter bahu atau rotasi kearah oblik. 4
Manuver-manuver yang dapat dilakukan pada distosia bahu 4 :
1. Mc.Robert manuver
2. Wood manuver
3. Rubin manuver
4. Melahirkan lengan belakang
5. Zavanelli manuver.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Rahimian J, Varner M W. Disproportionate Fetal Growth. In.: Decherney AH, Nathan L, Goodwin T M, Laufer N, editors. Current Diagnosis and Treatment Obstetrics ang Gynecology. 10th ed. New York. Mc. Graw Hill. 2007. p. 288-310.
2. Cunningham FG, Leveno K J, Bloom S L, Hauth J C, Gilstrap III L C, Wenstrom K D. Fetal Growth Disorders In: Williams obstetrics. 22nd ed. USA. McGraw Hill, 2005. p. 893-910.
3. Lowery C L, Wendel P. Prolonged Pregnancy. In.: Reece E A, Hobbins J C editors. Clinical Obstetrics the Fetus and Mother 3rd ed. Massachusetts. Blackwell Publishing. 2007. p. 1189-97.
4. Winn H N. Fetal Macrosomia. In.:Winn H N, Hobbins J C editors. Clinical Maternal-Fetal Medicine. New York. The Parthenon Publishing. 2000. p. 729-33.
5. Zamorski M A, Biggs W S. Management of Suspected Fetal Macrosomia. Vol.63. No. 2/Januari15, 2001. Availiable from : www.aafp.org/aff
6. Stotland N E, Hopkins L M, Caughey A B. Gestational Weight Gain, Macrosomia, and Risk of Cesarean Birth in Nondiabetic nulliparas. In. American College of Obstetricians and gynecologists. Vol. 104. No. 4. Oktober 2004.
Landon M, Gabbe S. Diebetes in pregnancy. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 665 - 669.
7. Regnault T, Limesand S, Hay W. Factors influencing fetal growth. NeoReview 2003;3 No.6:e119-127.
8. Onyeije C, Divon M. Fetal growth disorders : diagnosis and management. In: Ransom S, Dombrowiski M, McNeeley S, Moghissi K, Munkarah A, editors. Practical strategies in obstetrics dan gynecology. 1 st ed. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 326-35.
9. Catalano P. The diabetogenic state of maternal metabolism in pregnancy. NeoReview 2002;3 No.2:e165 - 170.
10. Freeman R, Lagrew D. Postdate pregnancy. In: Gabbe S, Niebyl J, Simpson J, editors. Obstetrics normal and problem pregnancies. 3 rd ed. New York: Churchill Livingstone; 2000. p. 887- 895.
11. Crowley P. Prolonged Pregnancy in. Chamberlain G, Steer P. editors. Turnbull’s Obsterics. New York. Churchill Livingstone. 2002. p. 521-32.
17