manunggaling kawula gusti.doc
TRANSCRIPT
MANUNGGALING KAWULA GUSTI
DALAM PRESPEKTIF KEJAWEN
PENDAHULUAN.
Sejak jaman dahulu dalam kehidupan ini manusia pada dasarnya meyakini akan
adanya kuasa yang menguasai dunia ini. Pemahaman akan hal ini secara terpelihara
terus berjalan hingga pada masa kini sehingga jika kita perhatikan pengakuan akan
sang maha kuasa itu tetap ada dimanapun tempat walaupun metode yang dilakukan
untuk mengenal dan mengakui keberadaannya dilakukan dengan cara yang berbeda-
beda .
Pemahaman yang metode berbeda inilah yang kadang kala sering menjadi satu jurang
yang sangat jauh dan dalam bagi para penganutnya untuk menyamakan pandangan
tentang siapakah penguasa jagat raya ini dan karena hal inilah perselisihan dan
permusuhan kadang kala terjadi yang justru semakin menjadikan jurang dan tembok
pemisah yang kelihatanya tidak mampu dan tidak dapat terseberangi.
Namun jika kita memperhatikan sebenarnya pemahaman dan metode yang ada dalam
usaha memahami sang khalik jika mau ditarik garis mundur adalah berasal dari satu
sumber yang sama, sehingga jika kita mau sedikit memberi kelonggaran dalam
mencoba memahami apa yang orang lain pahamami dalam pengertiannya akan sang
maha kuasa itu sebenarnya kita akan menemukan banyak hal yang mampu menjadi
jembatan bagi amanat agung yang Allah berikan bagi kita orang percaya.
Mungkin sangat perlu bagi kita untuk memahami dan mencoba belajar akan hal yang
mereka pahami, namun satu hal yang harus kita mengerti walaupun mungkin ada
nilai-nilai luhur dalam ajaran kepercayaan orang lain pada dasarnya kita juga harus
terus waspada dan punya satu kepercayaan penuh bahwa diluar kristus tidak ada
keselamatan. Berikut ini akan kita lihat sedikit pengertian akan pemahaman sang
maha kuasa itu menurut falsafah jawa.
FALSAFAH ORANG JAWA.
Dalam tatanan kehidupan dan moral sebagian orang Jawa berusaha menselaraskan
beberapa konsep pandangan leluhur dengan adab islami, seperti mengenai alam
kodrati ( dunia ini ) dan alam adikodrati ( alam gaib atau supranatural ).
Sehingga memudahkan mereka untuk menyembah sang khalik, dan pada saat ini
kebanyakan akibat percampuran dengan budaya islam dan juga agama-agama lain
orang jawa menyakini bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala
kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali
ada. Sehingga orang jawa secara mutlak mengakui bahwa Tuhan tidak hanya
menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur,
karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta
kehendakNYA.
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan
penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan
penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa
disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, 1 yaitu pandangan yang beranggapan
bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir
dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula
terhadap Gusti Allah. Dan hal inilah yang menyebabkan dalam kehidupan orang jawa
sering mengenal istilah nrimo anggoneng pandome2 dalam menjalani kehidupan
sehari-hari meskipun sebagian orang menganggap itu sebagai budaya malas.
1 Bersatunya hamba dan Tuhan(tuan)2 Menerima segala berkat dengan pasrah
Pandangan Hidup Jawa
Istilah “ Pandangan Hidup Jawa “ di sini mempergunakan pengertian yang longgar,
jadi istilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lain yang mempunyai arti yang
kurang lebih sama, seperti “ Filsafat Jawa “ ( Abdulah Ciptoprawiro ) “ Filsafah
Kejawen “ atau istilah lain lagi. Tetapi pandangan hidup Jawa, ini tidaklah identik
dengan “ Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “ atau “ Islam
Abangan “ atau “ Mistik Jawa “ dan lebih-lebih dengan “ ilmu-ilmu klenik “.
Sementara itu beberapa istilah lain seperti “Agama Jawa “atau “ Agama Jawi “
( Koentjaraningrat ) “ the religion of jawa “( Clifford Geertz ) dan lain-lain, itu tidak
identik dengan “ Pandangan Hidup Jawa “ sekalipun terlihat adanya beberapa segi
persamaan.3
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam
arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta
ciptaanNYA beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini meliputi pula
pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan
terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada. Dengan meminjam
istilah Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila, pandangan hidup di sini adalah
sama dengan Weltanschauung, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1989 :
1010 ) diberi arti sebagai “Sikap terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia
dengan alam sekitarnya, serta semangat dan pandangan hidup terdapat pada zaman
tertentu”. Jadi selain jelas bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, jelas
pula bahwa ia pun tidak identik dengan “regiositas Jawa”, karena cakupan
pengertiannya lebih luas dari pada itu.
Penganut aliran ini mempunyai cara pikir sendiri dalam mengaktualisasikan diri
mereka baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan, maupun makhluk
3 …falsafah orang Jawa E-book
ciptaannya yang lain.. Sejalan dengan itu pemikiran kejawen ini berkembang luas
meliputi kosmologi, mitologi. Salah satunya adalah konsepsi mistis Manunggaling
kawula kalawan Gusti. Dan selalu dibawah pemahaman sepi ing pamrih atau iklas.
Karena paham ini bukanlah sebuah paham dogmatis tentang agama,maka paham ini
selalu membayang pada setiap ritual keagamaan masyarakat Jawa dengan latar
belakang kepercayaan apapun yang dianutnya.
Dalam mitologi jawa ada dua tipe pemahaman spiritual yaitu secara eksotis (bahasa
lahir) dan esotoris (bahasa batin).4 Upaya manusia untuk memahami keberadaannya
diantara semua makhluk yang tergelar di jagad raya, yang notabene adalah makhluk,
telah membawa manusia dalam perjalanan pengembaraan yang tak pernah berhenti.
Pertanyaan tentang dari mana dan mau kemana (sangkan paraning dumadi)
perjalanan semua makhluk terus menggelinding dari jaman ke jaman sejak adanya "
ada ". Pertanyaan yang amat sederhana tetapi substansiil tersebut, ternyata
mendapatkan jawaban yang justru merupakan pertanyaan-pertanyaan baru dan sangat
beragam, bergantung dari kualitas sang penanya.
Menurut pemahaman jawa konon pada mulanya sang hyang tunggal menetaskan
telur brahma (brahmananda) dan dari telur itu menjadi tiga sosok yang memiliki
karakter berbeda dimana kuning telur menjadi sang hyang siwa (suwung”alam
keabadian) putihnya menjadi semar (alam rohaniyang hanya bisa ditangkap oleh
bahasa batin) dan togog tejamantri (alam jasmani atau bahasa lahir) Dan lewat ketiga
tokoh diatas keberadaan pemahaman manusia akan penguasa itu diwakili dimana
togog dianggap sebagai penguasa dunia jasmani,semar menguasai dunia rohani dan
Sang Hyang Siwa sebagai penguasa alam kasunyatan sejati.5
4 R Ng ranggawarsita, Serat paramayoga(Surabaya, Djoyoboyo , 1990) , hlm 8-105 ibid
Lewat pemahaman cerita diatas orang Jawa percaya akan adanya penguasa alam ini.
Jawanisme, atau kejawen, bukanlah suatu kategori religiusitas. Namun lebih
menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran
Jawa.6 Perkembangan kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya
pencarian yang tiada henti. Apalagi setelah muncul kesadaran religius yang
mempertanyakan "apa atau siapa yang membuat ada" semakin menggiring manusia
ke dalam petualangan meraba-raba di kegelapan rimba raya pengetahuan. Di dalam
kegelapan itulah benturan demi benturan akibat perbedaan pemahaman terjadi.
Benturan paling purba berawal dari kisah Adam dan Hawa yang menyebabkan
mereka terlempar dari surga.
Menurut pemahaman pegalaman nara sumber yang dijabarkan penulis kesemuanya
pemahaman itu bermuara pada kata sakti yang bernama " kebenaran " yang sungguh
sangat abstrak dan absurd. Tetapi bukankah hidup dan kehidupan ini abstrak dan
absurd ? sehingga tak terjabarkan oleh akal-pikir yang paling canggih sekalipun.
Ketika akal-pikir tak lagi mampu menjawab pertanyaan diatas, manusia mulai
menggali jawaban dari " rasa " sampai akhirnya manusia merasa seolah-olah telah
menemukan apa yang dicari. Tetapi ketika pengembaraan rasa tersebut sampai pada
titik simpang, dimana di satu sisi muncul kebutuhan untuk melembagakan hasil "
temuan rasa " tersebut dan di sisi lain menolak pelembagaan, kembali terjadi
benturan-benturan yang sesungguhnya sangat tidak perlu terjadi. Sesuatu yang tidak
akan pernah diketahui, baik dengan akal-pikir dan rasa, bahkan intuisi sekalipun.
Sebab " Dia " adalah Sang Maha Gaib.
Rumusan apapun tentang " Dia " seperti apa yang telah dilakukan oleh manusia pasti
akan menemui kegagalan. Karena " Dia " tidak pernah merumuskan " Dirinya "
secara kongkrit, kecuali dalam bentuk simbol-simbol dan lambang-lambang yang
metaforik. Perjalanan manusia yang menempuh jarak ribuan tahun untuk
6 Mulder, Niels.( Yogyakarta : LKIS Mistisme Jawa ; Ideologi Di Indonesia.. 2001) hal 4
mendapatkan jawaban pasti tentang " Dia " menjadi amat bervariasi. Tetapi kepastian
itu sendiri tidak pernah dijumpai..
Sementara untuk sebagian manusia lainnya, semangat pencariannya justru semakin
menggebu. Mereka tidak pernah patah, karena mereka tidak terpukau oleh hasil akhir.
Telah muncul kesadaran baru pada mereka, bahwa yang terpenting adalah proses
pencarian itu sendiri. Bertemu atau tidak bukan lagi menjadi pangkal kerisauan,
karena mereka menyadari, bahwa keputusan tidak berada di tangan manusia. Nah
mereka inilah para pejalan spiritual, sang pencari sejati yang selalu haus pada
pengalaman empiris di belantara pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak, absurd
dan gaib. Dan mereka adalah kita.
Syarat utama bagi para pejalan spiritual adalah kebersediaannya dan kemampuannya
menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman dogmatis yang telah
dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati dan pikiran untuk
merambah jagad ilmu pengetahuan ( kawruh ) nonragawi. Ilmu yang gawat dan
wingit7, karena sifatnya sangat mempribadi dan tidak bisa diseragamkan dengan
idiom-idiom yang ada, dimana idiom-idiom itu hanya bisa dipergunakan sebagai
rambu penunjuk yang kebenarannya juga sangat relative.
Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual
sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu
memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual
adalah proses upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan ( strata, maqom )
pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka ( freedom to be free ) dari
segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu,
baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
7 rahasia
Beberapa pemahaman yang tersirat dalam pemahaman kejawen:
Konsep manunggaling kawula lan Gusti.
Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti ini muncul seiring dengan gencarnya
dakwah Islam pada jaman Demak sekitar abad VX-VVI, yang digagas oleh seorang
tokoh dakwah islam yang banyak mendapat tentangan dari banyak pendakwah islam
lainnya yang bernama Syeh Siti Jenar atau Seh Lemah Abang. Yang pada akhirnya
konsep ini coba dilebur dan batasi perkembangannya oleh para walisanga karena
dianggap merupakan ajaran yang menyesatkan. Dengan melakukan eksekusi terhadap
Syeh Siti Jenar, namun ajarannya terlanjur tersebar luas dikalangan murid-muridnya
dan terus berkembang bersama pemahaman mereka masing-masing.
Dalam pemahamannya bahkan digabungkan dengan pandangan jawa dan tasawuf .
dalam tasawuf Islam atau dikalangan orang sufi8 terdapat jenjang atau tataran
dalam memahami sebuah perilaku spiritual yaitu;
a. Syariat (sarengat) (sembah raga/ laku raga)
b. Tarekat (sembah cipta/ laku budi)
c. Hakikat (sembah jiwa/ laku manah)
d. Makrifat (sembah rasa/ laku rasa).
Sedangkan tasawuf 9 itu sendiri bersinonim dengan shopos, shopia kata yang berarti
8 sufi kata ini berasal dari kata shafa atau shafwun yang berarti bening, sufi yakni, manusia-manusia
yang selalu menyucikan diri dengan latihan-latihan kejiwaan atau batin. Lih. Suwardi Endraswara
(2003;68.).
9 ajaran (cara dsb) untuk mengenal dan mendekatkan diri kpd Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dng-Nya
Hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan dalam bahasa Yunani. Tasawuf diartikan juga
sebagai ajaran mistik yang diusahakan oleh segolongan umat Islam dan disesuaikan
dengan ajaran Islam. Namun dalam prakteknya konsep ini membutuhkan kesiapan
mental serta spiritual yang tinggi. Pada perkembangan selanjutnya dari konsep ini
atau yang kemudian dalam tulisan ini akan disebut Manunggaling Kawula Gusti tidak
hanya menuju pada arah bentuk penyembahan akan tetapi juga digunakan untuk
memahami hakikat alam dan manusianya. Darimana ia berasal, untuk apa dan mau
kemana nantinya. Atau tahu ngelmu sangkan paraning dumadi (awal muasal
kejadian). Dalam masyarakat Jawa kegiatan olah rasa semacam ini disebut olah batin
dan aliran untuk kegiatan semacam ini disebut kebatinan dan ilmu yang diterapkan
kejawen.
Pengertian kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir (lair)
dan batin dalam potensi, dan dua aspek itu saling berhubungan10 . Pada dasarnya
pengertian Manunggaling Kawula Gusti itu, tidak hanya dapat diartikan sebagai pola
hubungan manusia dengan Tuhan namun juga hubungan manusia dengan sesamanya.
Menurut Purwadi11 , perwujudan Manunggaling Kawula Gusti dapat digolongkan
menjadi tiga tipe yaitu;
a. Tipe Ethis, tipe ini mengharapkan adanya nanusia yang waskitha dan susila.
Harmonitas antara suara batin dengan laku amalnya menjadi titik sentral orientasi
dharma bhaktinya dalam kehidupan sosial.
b. Tipe Kosmologis, pada tipe ini terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan
olah batinnya, yaitu peleburan diri ke dalam daya “kosmos universal” dan
mengeliminasi individualitas.
c. Tipe Theologis, tipe ini sama dengan tipe kosmologis hanya saja banyak
menggunakan istilah dari kitab suci dan ajaran para nabi12.
10 Mulder, Niels.( Yogyakarta : LKIS Mistisme Jawa ; Ideologi Di Indonesia.. 2001) hal 40
11 Purwadi. (Yogyakarta:Media pressindo;Penghayatan Keagamaan Orang Jawa ; Refleksi atas Religiusitas2002) hal 80
Ketiga tipe tersebut diatas merupakan beberapa tipe dari perwujudan manunggaling
kawula Gusti. Adapun bentuk perwujudan lain dari manunggaling kawula Gusti
dalam jagad pemikiran orang Jawa tak lain hanyalah keselarasan, keseimbangan.
Yang kesemuanya bermuara pada satu keseimbangan jagad gedhe13 dan jagad cilik14.
Ungkapan seperti manunggaling sastra kalawan gendhing15, curiga manjing
warangka16, yang kesemuanya merujuk pada satu arah yaitu keselarasan- harmonis.
Hubungan kosmologi antara makrokosmos dan mikrokosmos ini bersifat kodrati. Hal
ini dapat disaksikan pula ke dalam pertunjukkan wayang kulit. Dalam wayang kulit
terdapat hubungan antara kelir, gedebog (batang pisang), blencong (lampu panggung
wayang kulit), dan sebagainya (makro) selalu terkait dengan wayang (mikro).
Keduanya saling berhubungan dan saling memerlukan satu sama lain. Jika ia adalah
manusia, berarti dia adalah bagian dari alam semesta17 . Oleh karena itu pertunjukkan
wayang dikalangan masyarakat Jawa mendapat nilai lebih karena wayang merupakan
tontonan sekaligus tuntunan. Oleh karena itu wayang juga mempunyai peranan sosio-
religius.
Manunggaling Kawula Gusthi dan hubungan vertikal
dengan Tuhan
Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam hubungannya dengan
Dzat Illahiah adalah menuntut keselaran dalam mencapai sebuah kesatuan antara apa
yang dilakukan dengan apa yang ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi
12 Istilah-istilah yang diambil setelah masuknya pengaruh agama dari Arab atau daerah sekitar Timur Tengah yang lain.13 Dunia nyata14 Dunia gaib15 Bersatunya tembang(lagu) dengan irama16 Kecurigaan berada dalam tubuh17 Endraswara, Suwardi. (Yogyakarta : Hinindita.Mistik Kejawen ; Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa2003).hal 52
bukanlah hanya mutlak penyatuan diri secara fisik dengan Dzat Illahiah. Tapi
bagaimana manusia bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Hal ini menuntut kepada manusia untuk lebih dalam menghayati dengan seksama dan
sungguh-sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah terhadap Tuhan.
Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya hingga terjadi satunya
rasa dan tahu ada apa dibalik semua rahasia alam semesta hingga kadunungan atau
mendapat Dzat Illahiah.
Dalam serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung, pupuh pangkur dijelaskan
tentang konsep bahwa Tuhan berada dalam tubuh manusia ;
Nadyan sastra kalih dasa
Wit saestu tuduh kareping puji
Puji asaling tumuwuh
Mirid sing akhadiyat
Ponang hanacaraka pituduhipun
Dene kang datasawala
Kagentyaning kang pamuji
Wahdiat jati rinasan
Ponang padhajayanya angyekteni
Kang tuduh lan kang tinuduh
Sami santosanya
Kahananya wakhadiyat pambilipun
Dene kang magabathanga
Wus kanyatan jatining sira
Makna serta maksud dari dua bait pupuh pangkur tersebut diatas kurang lebih adalah
bahwasanya aksara Jawa yang duapuluh itu merupakan sebuah petunjuk tujuan
berdoa (menyembah), pujia-pujian terhadap asal mula, hanacaraka sebagai
petunjuknya sedangkan datasawala untuk yang memuji hingga terjadi
kemanunggalan yang sejati, sedangkan padhajayanya merujuk pada kekuatan antara
yang diberi petunjuk dan yang menunjuk sama-sama kuat (seimbang), adapun rahasia
kemanunggalan kawula-Gusti terungkap setelah manusia tersebut mati
(magabathanga).18
Di balik perasaan manusiawi yang kasar, terdapat perasaan dasar yang murni atau
rasa, yang merupakan jatidiri, seorang individu (aku) dan manifestasi Tuhan (Gusti
Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar dari mistikus Jawa
terikat dalam persamaan: rasa = aku = Tuhan.19
Sebagai contoh apabila seorang muslim Jawa (abangan) atau yang memahami
konsep ini dengan benar maka ia akan menemukan apa dan untuk apa sebenarnya
hidup ini, dengan melakukan tidak hanya sebatas ritual religiusitasnya saja namun
paham dengan sepaham-pahamnya apa yang terkandung didalamnya. Begitu pun
halnya bagi pemeluk agama lain. Jadi ketika ia diberi pertanyaan hakikat dari praktek
religiusitasnya itu apa, maka ia akan bisa memberikan sebuah Jawaban yang tidak
hanya sekedar karena kewajiban serta ritualitas semata. Namun bisa njlentrehke atau
mengungkapkannya sedalam mungkin Hingga ia menjadi satu dengan Tuhannya.
Dikarenakan ia tahu apa yang Tuhan ingin dan maksudkan dan mampu
menerjemahkan semua firman-Nya semurni dan sedekat mungkin yang Tuhan
kehendaki.
Kisah perjalanan Bima.20 Anak kedua dari pandu yang mencari air suci tirta pawitra,
dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus
18 Endraswara, Suwardi. (Yogyakarta : Hinindita.Mistik Kejawen ; Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa2003).hal 69-70
19 Purwadi. (Yogyakarta:Media pressindo;Penghayatan Keagamaan Orang Jawa ; Refleksi atas Religiusitas2002) hal 81
20 Kisah tentang Pencarian tirta perwitasari ini bisa dilihat dalam serat Bima Suci gubahan Yasadipura.
menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian
sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup manusia“ atau manunggaling
kawula Gusti mengisyarakatkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang
dilambangkan dengan tirta pawitra tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan
tetapi melalui ritual dan laku yang komplek hingga akhirnya ia mendapat wejangan
dari Dewa Ruci21 yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya. Bima dalam
ngudi kasampurnan selalu mendapat rintangan dan godaan. Namun karena dilandasi
oleh keteguhan hati, ketaatan kepada guru dan sikap yang susila anoraga
(merendahkan diri), berbudi, legawa, madhep, mantep (rela,sungguh-sungguh
mantap), dan berserah diri, tidak takut mati meskipun telah diingatkan oleh saudara-
saudaranya akhirnya ia dapat menemukan jati dirinya. Bahkan dia sudah sampai pada
tingkat eneng22,ening23, dan eling24 pada saat bertemu dengan guru sejati yaitu dewa
Ruci.
Gambaran semacam itu merupakan gambaran bagi seseorang yang telah mencapai
kesempurnaan hidup atau telah sadar sangkan paraning dumadi (mengerti
maksud hidup yang sebenarnya).25
21 Dewa Ruci dalam penggambaran pewayangannya serupa dengan Bima hanya saja bertubuh kecil,
namun walaupun bertubuh kecil mampu memasukkan tubuh Bima yang besar itu kedalam lubang
telinganya dan memberikan wejangan tentang ngelmu kasampurnan kepada Bima. Dewa Ruci di sini
menggambarkan citra dari sukma sejati sedangkan Bima sebagai sosok wadagnya. Dan oleh Dewa ruci
Bima diwejang tentang Sedulur lima pancer, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat dasar manusia.
Supiah, aluamah, amarah dan mutmainah, hingga ia bisa masuk kedalam telinga kiri Dewa Ruci dan
mendapat wejangan ngelmu Sangkan Paraning Dumadi.22 ada23 diadakan24 ingat25 Bratawijaya, Thomas Wiyasa. (Jakarta : Pradnya Paramita;Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. 1997)hal 63
Manunggaling Kawula Gusti dalam Hubungan Horisontal dengan
Manusia
Kalau dalam hubungan vertikal terjadi pergumulan yang sifatnya induvidu,
dalam hubungan ini justru bisa kebalikannya atau malah keduanya. Manunggaling
kawula lan Gusti disini cenderung pada tatanan hierarkis antara pemimpin dan rakyat
yang dipimpinnya.
Terjadinya hubungan antara Gusti (Raja/pemimpin) dan Kawula (rakyat) yang
harmonis, dimana Raja bisa mengoptimalkan fungsi dan kedudukannya dan rakyat
bisa nyengkuyung (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masing
masing.
Hal ini ditekankan pada sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis dari
berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling
diuntungkan.
Untuk menggambarkan proses tersebut bisa dilihat dari simbol yang melekat
pada gamelan Jawa. Apabila kita amati lebih dalam, ternyata seperangkat gamelan
Jawa merupakan sebuah gambaran, bagaimana dari sekian jenis macamnya itu indah
apabila dimainkan dengan mengikuti polanya masing-masing, tanpa mengganggu
yang lain. Contoh seorang penabuh gong mempunyai tugasnya menabuh gong,
apabila ia serakah mencoba menabuh kenong misalnya, padahal kenong tersebut
sudah ada yang menabuh maka akan terjadi ketidak serasian lagi. Jadi bentuk
kemanunggalan disini tidak identik dengan peleburan dalam bentuk fisik melainkan
rasa.
Manusia hidup bermasyarakat tidaklah dalam keadaan yang serba sama satu
sama lain, adakalanya berbeda entah beda keturunan, adat tatacara maupun budaya.
Namun kalau rasa kita sama niscaya perbedaan fisik bukanlah sebuah kendala dalam
menciptakan sebuah harmoni yang serasi. Tugu Jogja yang menjadi icon kota pelajar,
pada jamanya dulu dibangun untuk menggambarkan lambang manunggaling kawula
lan Gusti di daerah jogja yang pada waktu itu masih berbentuk Kasultanan merdeka,
ketika awal tahta Jogja berdiri. Dulu tugu tersebut berbentuk golong-gilig26, beda
dengan yang kita lihat sekarang. Tugu yang sekarang merupakan hasil dari
pemugaran tugu oleh pemerintah kolonial Belanda karena khawatir kalau tugu
tersebut masih tegak berdiri maka rasa manunggal antara rakyat dan Sultan tumbuh
dan mengakar.
Relevansi Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Apabila kita melihat serta mengamati, ternyata manunggaling kawula Gusti masih
dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa dalam mengaktualisasikan diri mereka
dengan alam serta Dzat Illahiah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang ideal.
Bukan berarti manunggaling kawula Gusti lantas kita menjadi Tuhan tidak. Gusti
disini mempunyai beberapa arti Gusti bisa untuk Tuhan, Raja, atau sukma kita
sendiri,tergantung konteks mana yang kita pakai. Dan dari sudut pandang mana kita
melihatnya.Proses pencarian Gusti, atau dalam ungkapan Jawa menjadi kepanjangan
bagusing ati (kesucian hati), harus melalui tingkatan serta latihan yaitu dengan
mengenali watak atau sedulur papat kita, yaitu nafsu aluamah 27,amarah28, supiyah29
dan mutmainah30, apabila kita bisa mengenali nafsu ini dan mengendalikannya maka
kitasudah menginjak tataran awal manunggaling kawula Gusti, yaitu kesucian hati
karenakita tahu siapa kita. Dan hal tersebut merupakan modal untuk lebih bisa dekat
dengan Dzat Illahiah yang kita cari.
26 Gambar tugu, golong gilig ini berbentuk lonjong seperti lidi, sekarang masih dipakai dalam lambang pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta.
27 perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik28 nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada29 pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan30 Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan.
CIPTO TUNGGAL
Cipto/cipta bermakna: pengareping rasa, tunggal artinya satu atau difokuskan
ke satu obyek. Jadi Cipta Tunggal bisa diartikan sebagai konsentrasi cipta.
1. Cipta, karsa ( kehendak ) dan pakarti ( tindakan ) selalu aktif selama orangitu
masih hidup. Pakarti bisa berupa tindakan fisik maupun non fisik, pakarti non
fisik misalnya seseorang bisa membantu memecahkan atau menyelesaikan
masalah orang lain dengan memberinya nasehat, nasehat itu berasal dari cipta
atau rasa yang muncul dari dalam. Sangatlah diharapkan seseorang itu hanya
menghasilkan cipta yang baik sehingga dia juga mempunyai karsa dan
pakarti/tumindak yang baik, dan yang berguna untuk diri sendiri atau syukur -
syukur pada orang lain.
2. Untuk bisa mempraktekkan tersebut diatas, orang itu harus selalu sabar,
konsestrasikan cipta untuk sabar, orang itu bisa makarti dengan baik apabila
kehendak dari jiwa dan panca indera serasi lahir dan batin. Ingatlah bahwa
jiwa dan raga selalu dipengaruhi oleh kekuatan api, angin, tanah dan air
KAUTAMANING LAKU
1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.(orang yang
ingat akan pengetahuan merupakan perwujudan kemurahan Tuhan)
2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.( orang harus selalu
memikirkan keselamatan orang lain)
3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting
urip kang utama.(belajarlah ilmu batin tapi jangan lupakan ilmu lainnya itu adalah
sarana hidup yang utama)
4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.(jangan gegabah dan
milikilah hati pengampunan)
5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe
sesamaning jalma.(berbuat kebaikan,kesukaan kepada sesame)
6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung,
panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan
becik, ginantungan bebenduning Pangeran.(jangan merasa paling baik dan terbaik
namun bergantunglah kepada Tuhan)
7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang
kang sinedya, den prayitna barang karya.(jangan serakah tetapi syukurilah hal yang
ada)
8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.(ingatlah selalu
Tuhan siang dan malam)
9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.(sabar terhadap fitnah)
10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan
nyulayani.(berusahalah mengerti keadaan orang lain)
Kesimpulan
Dari uraian dan pemaparan diatas sebenarnya kita dapat melihat betapa dalam
pandangan hidup yang ada dalam kehidupan orang jawa sejak jaman dahulu. Perilaku
hidup dan tatanan yang sebenarnya ada adalah sesuatu yang merupakan bentuk
apresiasi manusia untuk memahami keberadaannya. Dan jika kita mau melihat lebih
jauh sebenarnya masih banyak hal yang belum terungkap dan mungkin justru saat ini
bahkan mulai hilang karena perkembangan waktu.
Memang tidaklah mudah untuk memahami keseluruhannya namun lewat gambaran
singkat ini kita akan lebih dapat melihat bagaimana Allah berkarya dalam kehidupan
dan peradaban manusia disemua belahan didunia ini dan mungkin ini dapat menjadi
satu jembatan bagi kita untuk lebih bisa menjalankan amanat agung sehingga lewat
kesamaan yang mungkin dapat kita rangkai dari setiap ajaran yang ada akan lebih
membuat kemuliaan Tuhan nyata dimuka bumi ini.
Sebagai contoh kita dapat melihat dalam falsafah jawa satu ajaran manunggaling
kawula Gusti dapat kita sandingkan dengan ajaran Alkitab. Dalam tahap
kemanunggalan dengan Allah, peranan utama pada manusia dalam hal ini
pengorbanan untuk Allah adalah Kemerdekaan Kita.
Manunggal bukan berarti hilang atau lenyap
*karena Roh adalah pribadi yang bebas, cerminnya dapat dilihat dari Kemauan
dengan pantulan Perasaan.( Galatia 5:16-18 Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka
kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan
dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena
keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu
kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu
tidak hidup di bawah hukum Taurat. )
* Roh itu diciptakan abadi( 2 kor 1:22 memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan
yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah
disediakan untuk kita.)
Manunggal dalam beberapa hal:
1. Manunggal Karsa adalah kemauan / kehendak
2. Manunggal Karya adalah kerja / proses / aktivitas
3. Manunggal Rasa adalah Perasaan
Dalam hal yang lebih sederhana adalah kemanunggalan dapat dicapai jika kita
Melaksanakan sesuai dengan panggilan kita.Tujuan Kemanunggalan adalah Agar kita
mencapai atau menjadi jati diri yang Sejati / yang sebenarnya.
Cara untuk cepat Manunggal dengan Allah
1. Sendiko: selalu meng”Iya”kan dan setia. Tidak diikuti dengan kata “TAPI”
2. Nyuwun dawuh : Mohon perintah
Kedua sikap ini bisa kita capai kalau kita Pasrah / Sumeleh pada Allah.
Sikap yang terbaik menurut cara pandang Kristen, didalam Injil Markus 12:30 ;
“Kasihlah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dengan jiwa dan dengan akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu”.
Itulah Sumeleh yang benar dalam mencapai manunggaling kawula Gusti. Dan
mungkin ini bias menjadi satu jembatan dalam memenuhi amanat agung.
Hari sutopo.
DAFTAR PUSTAKA.
1. Bratawijaya, Thomas Wiyasa 1997 Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta : Pradnya Paramita
2. Endraswara, Suwardi 2003 Mistik Kejawen ; Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta : Hinindita
3. Purwadi 2002 Penghayatan Keagamaan Orang Jawa ; Refleksi atas Religiusitas. Yogyakarta:Media pressindo
4. Mulder, Niels 2001 LKIS Mistisme Jawa ; Ideologi Di Indonesia Yogyakarta 5. R Ng ranggawarsita1990, Serat paramayoga Surabaya, Djoyoboyo 6. Kamus besar bahasa Indonesia7. Kamus bahasa jawa.8. falsafah orang Jawa E-book
.