manuskrip ikakom

15

Click here to load reader

Upload: farahdibacitraolivia

Post on 13-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

CKDcronic kidney injuryhipertensigagal ginjal kronik

TRANSCRIPT

Page 1: MANUSKRIP ikakom

Latar BelakangGinjal adalah salah satu organ utama sistem kemih (tractus urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin (Baradewo, 2009).

Selama ini dikenal istilah gagal ginjal kronik merupakan sindroma klinis karena penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam ini, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Tjokroprawiro, 2007).

Gagal ginjal kronik merupakan public health issue disebabkan insidensinya yang terus meningkat dan intervensinya yang membutuhkan biaya besar. Meskipun metode diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik telah berkembang, diagnosis yang terlambat sehingga menyebabkan kerusakan yang permanen tetap saja terjadi (Broscious dan Kastagnola, 2006).

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens gagal ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. Berdasarkan data tahun 2004 dari US Renal Data System, jumlah pasien gagal ginjal kronik yang mendapat pengobatan pada tahun 2002 sekitar 431284. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan 4,6% dibanding pada tahun 2001 (Suwitra, 2006).

Sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya, insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia juga cukup tinggi. Menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Perneftri) 2004, diperkirakan ada 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia, namun

yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronis tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah hanya sekitar empat ribu sampai lima ribu saja.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Pelaporan dan Pencatatan Rumah Sakit (SP2RS), diperoleh gambaran bahwa penyakit gagal ginjal menduduki peringkat ke empat dari sepuluh penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia dengan PMR sebesar 3,16% (3047 angka kematian). Sedangkan menurut data Profil Kesehatan Indonesia (2006), gagal ginjal menempati urutan ke 6 sebagai penyebab kematian pasien yang dirawat di RS di seluruh Indonesia dengan PMR 2,99% (Abboud, 2012).

Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, serta dari pengaruh vasopressor dari sistem renin angiotensin.

Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas batas normal yaitu 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Penyakit ini dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya (Purnomo, 2009).

Hampir 1 miliar atau sekitar seperempat dari seluruh populasi orang dewasa di dunia menyandang tekanan darah tinggi. Pada populasi usia lanjut, separuh populasi hipertensi berusia diatas 60 tahun. Pada tahun 2025 diperkirakan penderita tekanan darah tinggi mencapai hampir 1,6 miliar orang di dunia (Palmer, 2007). Data Risdenkes (2007) menyebutkan hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis dan jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia (Yoga, 2009).

Usia muda sudah terdiagnosis mengidap penyakit gagal ginjal kronik merupakan suatu kasus yang langka, dimana awalnya

Page 2: MANUSKRIP ikakom

pasien menderita hipertensi tidak terkontrol selama 9 tahun akhirnya berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Seorang kepala keluarga yang mengalami masalah utama gagal ginjal kronik merupakan masalah kompleks pada pasien dan keluarganya. Hal ini tentu didukung oleh masalah internal dan eksternal dari pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi dan dukungan pelaku rawat keluarga yang optimal dalam memotivasi, mengingatkan, serta memperhatikan pasien dalam penatalaksanaan penyakitnya.

Tujuan PenulisanPenerapan pelayanan dokter keluarga berbasis evidence based medicine pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien dengan pendekatan pasien centre dan family approach.

Ilustrasi KasusTn. A, 52 tahun, adalah seorang petugas kesehatan dipuskesmas panjang, pasien mengelukan mual muntah sejak 2 hari yang lalu. Pasien merasa mual setiap mau makan dan apa yang sudah dimakan dimuntahkan lagi. Mulutnya terasa pahit dan pasien malas makan, akhirnya badan terasa lemas, tidak bergairah dan tidak mampu beraktivitas normal. Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak, ehingga sulit jika berjalan. Saat bangun tidur di pagi hari kelopak matanya juga sering bengkak. Jika pasien minum terlalu banyak, perutnya akan mengalami pembengkakan juga. Pasien mengatakan buang air kecilnya sangat jarang dan jumlahnya sedikit.

Awalnya saat berusia 25th pasien sering mengalami keluhan sakit kepala dan nyeri tengkuk lalu pasien berobat ke puskesmas, dan didapatkan tekanan darah tinggi. Namun, setelah obat tersebut habis, pasien tidak kontrol lagi untuk mendapatkan obat antihipertensi. Pasien hanya menebus obat sendiri jika ada keluhan sakit kepala dan tengkuk terasa berat. Pada saat berusia 25th pasien juga mengalami obesitas. Pasien sudah melakukan cuci darah hampir 9th, seminggu sekali.

Nafsu makan pasien masih baik walaupun ada keluhan mual muntah. Makanan yang disediakan cukup bervariasi. Penggunaan garam dalam masakan belum dikurangi.

Pasien masih bekerja di puskesmas panjang sebagai seorang perawat. Pasien jarang berolahraga dan mengatakan tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok.

Pasien tinggal bersama istrinya Ny.E (50 tahun), keempat anaknya An.D (24 tahun), An.D (22 tahun), An.A (19tahun) dan An.P (12tahun). Ayah ataupun ibu pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM, ataupun penyakit ginjal.

MetodeAnalisis studi ini adalah laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis dari anggota keluarga), pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah, untuk melengkapi data keluarga, data psikososial dan lingkungan. Penilaian dilakukan berdasarkan diagnosis holistik dari awal, proses, dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif.

Data KlinisKeluhan sering mengalami mual muntah. Kekhawatiran pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasanya karena merasa lemas, akibat mual muntah tidak bisa makan. Pasien khawatir hidupnya sudah tidak lama lagi. Harapan tidak mengalami mual muntah lagi, sehingga bisa beraktivitas seperti sebelum sakit, walaupun tetap harus melakukan cuci darah.

Pemeriksaan fisik :Keadaaan umum: tampak sakit sedang; suhu: 36,5 oC; tekanan darah: 140/90 mmHg; frek. nadi: 96 x/menit; frek. nafas: 20 x/menit; berat badan: 68 kg (berat badan kering post cuci darah); tinggi badan: 160 cm. IMT 26,56

Status generalis : mata konjungtiva anemis, telinga dan hidung kesan dalam batas normal. Leher, JVP tidak meningkat, kesan dalam batas normal. Paru, gerak dada dan fremitus taktil simetris, suara nafas vesikuler tidak didapatkan rhonki dan wheezing, kesan dalam batas normal. Batas jantung tidak terdapat pelebaran, bunyi jantung reguler, tidak ada murmur dan gallop, kesan batas jantung normal. Abdomen cembung didapatkan shifting dullness, kesan ascites. Terdapat nyeri tekan epigastrium. Didapatkan edema ekstremitas inferior, kesan pitting edema. Muskuloskeletal dan status neurologis kesan dalam batas normal.

Page 3: MANUSKRIP ikakom

Pemeriksaan Penunjang :Laboratorium (28 juli 2015)Hb : 8,6 gr/dlHt : 22 %Platelet : 223.000/ulUreum : 169 mg/dlCreatinin : 18GFR : (140-52)x68 = 4,6

72x18

Data KeluargaBentuk keluarga pada pasien ini adalah keluarga inti. Menurut siklus Duvall, siklus keluarga ini berada pada tahap IV, keluarga dengan anak usia sekolah, dimana anak pertama usia 6-13. Terdapat gangguan pada fungsi ekonomi keluarga, karena sumber penghasilan keluarga ini sangat kecil dari pendapatan warung.

Gambar 1. Genogram Keluarga Tn. A

Family Map

Keterangan :

: Tn A

: Ny. E

: An. D

: An. D : An. A : An P

Gambar 2. Family Mapping Keluarga Tn. A

Family Apgar Score:Adaptation : 2Partnership : 2Growth : 2Affection : 2Resolve : 1Total Family Apgar score 9 (nilai 8-10, fungsi keluarga baik)

Data Lingkungan RumahPasien tinggal bersama istri dan keempat anaknya. Rumah memiliki halaman yang cukup luas. Rumah berukuran 16 x 12 meter tidak bertingkat, memiliki 4 buah kamar tidur, ruang tamu, ruang TV, dapur dan 2 kamar mandi. Lantai bagian dalam rumah terbuat dari keramik, tembok dari semen yang dicat, serta beratap genteng. Ventilasi di bagian belakang rumah dan kamar kurang, sehingga kondisi dalam rumah lembab karena pencahayaan kurang. Penataan barang tidak sesuai pada tempatnya sehingga terkesan kurang rapih. Lingkungan tempat tinggal pasien cukup padat. Sumber air minum dan air cuci/masak dari sumur yang sudah dipasang pompa air, limbah dialirkan ke selokan.

Dilakukan intervensi terhadap faktor eksternal dan internal, dengan melakukan sebanyak 2x kunjungan rumah. Intervensi meliputi konseling terhadap pasien dan anggota keluarga lainnya.

Diagnostik Holistik Awal1. Aspek Personal

− Keluhan : Mual muntah setiap mau makan, sehingga badan terasa lemas.

− Kekhawatiran: Khawatir tidak bisa beraktivitas seperti biasanya karena merasa lemas, akibat mual muntah

a

Page 4: MANUSKRIP ikakom

tidak bisa makan. Pasien khawatir hidupnya sudah tidak lama lagi.

− Harapan: Tidak mengalami mual muntah lagi, sehingga bisa beraktivitas seperti sebelum sakit, walaupun tetap harus melakukan cuci darah.

− Persepsi: Mual muntah yang dirasakan sulit untuk hilang disebabkan karena racun dalam tubuhnya tinggi dan tidak bisa dikeluarkan kecuali lewat cuci darah karena ginjalnya mengalami gangguan.

2. Aspek Klinik − Gagal ginjal kronik (ICD10-N18.9)− Hipertensi stage II (ICD10-I10)

3. Aspek Risiko Internal− Masih banyak minum− Kandungan garam dalam masakan

tidak dikurangi− Jarang berolahraga− Pola berobat kuratif, sehingga

hipertensi tidak terkontrol selama 25 tahun

− Pengetahuan yang cukup, namun kurangnya kepedulian terhadap diri sendiri sehingga hipertensi yang tidak terkontrol berubah menjadi gagal ginjal dan hipertensi kronik

4. Aspek Psikososial Keluarga− Dukungan dan pengetahuan

keluarga yang cukup baik untuk memotivasi pasien agar selalu memeriksakan kesehatannya dan menjaga pola makannya. (ICD10-Z63)

− Income yang cukup (ICD10-Z59.6)

5. Derajat Fungsional : 2 (dua) yaitu mampu melakukan pekerjaan ringan sehari-hari di dalam dan luar rumah (mulai mengurangi aktivitas kerja).

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa :1. Menginformasikan pasien segala hal

tentang pengakit gagal ginjal kronik bahwa penatalaksanaan cuci darah yang dilakukan harus dilakukan seumur hidup.

2. Memberi konseling terhadap tekanan darah pasien yang tinggi dan memberi tahu untuk selalu memeriksakan tekanan darahnya .

3. Menginformasikan segala hal tentang hipertensi, serta aktifitas yang

dianjurkan untuk pasien. Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu selama 30 menit

4. Menginformasikan dan makanan yang rendah garam 2-3 gr/hari, pembatasan cairan 500-800ml/hari, protein 0,6-0,8 gr/kgbb/hari serta kalori 30-35 kkal/kgbb/hari.

5. Konseling kepada keluarga tentang pentingnya memberi dukungan pada pasien dan mengawasi pengobatan seperti diet pasien, kapan harus cuci darah, dan berolahraga.

6. Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi dukungan pada pasien terkait masalah stressor

7. Konseling pasien mengenai pentingnya prinsip preventif dari pada kuratif.

Medikamentosa :1. Captopril 3 x 12,5 mg2. Furosemid 3 x 40 mg3. Antasida 2x200 mg4. Ranitidin 2x150 mg

Diagnostik Holistik Akhir 1. Aspek Personal

− Alasan kedatangan: setelah cuci darah keluhan mual muntah berkurang

− Kekhawatiran: kekhawatiran pasien sudah berkurang, pasien lebih semangat untuk beraktivitas walaupun tetap harus rutin cuci darah

− Harapan: untuk saat ini, telah tercapai.

2. Aspek Klinik− Gagal ginjal kronik (ICD10-N18.9)− Hipertensi stage II (ICD10-I10)

3. Aspek Resiko Internal− Pasien sekarang sudah membatasi

minum hanya 1-2 gelas sehari− Pasien sudah mulai mengatur pola

makan sesuai anjuran agar pasien tidak kekurangan gizi

− Pasien juga sudah membatasi jumlah garam dalam masakan.

− Pasien telah melakukan aktifitas fisik olahraaga secara rutin setiap pagi hari disekeliling rumah

− Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit gagal ginjal kronik menjadi bertambah, walaupun penyaikt ini tidak bisa disembuhkan namun bisa dilakukan pencegahan agar kondisi pasien tidak mengalami perburukan.

Page 5: MANUSKRIP ikakom

4. Aspek Psikososial Keluarga− Termotivasinya keluarga untuk

mengingatkan pasien agar rutin cuci darah, kontrol tekanan darah dan minum obat secara teratur.

− Termotivasinya keluarga untuk menjaga asupan gizi pasien saat memasak agar pasien tidak jatuh ke kondisi gizi buruk

− Meningkatnya pengetahuan keluarga tentang gagal ginjal kronik, serta pencegahan perburukan kondisi pasien

− Penghasilan yang didapat keluarga masih terbatas dari warung

5. Derajat Fungsional : 2, yaitu mampu melakukan aktivitas ringan sehari-hari di dalam dan di luar rumah (pekerjaan kantoran)

PembahasanMasalah kesehatan yang dibahas pada kasus ini adalah seseorang yang berusia 32 tahun yang menderita hipertensi sejak 9 tahun yang lalu yang mengakibatkan gagal ginjal kronik. Kunjungan pertama kali yang dilakukan adalah pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita. Dari hasil kunjungan tersebut, sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif padahal memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit-penyakit yang ia derita. Lingkungan psikososial, pasien merasa sedih karena sebagai kepala keluarga sekarang tidak produktif lagi hanya mengandalkan gaji dari puskesmas saja. Ekonomi, uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masih tercukupi dimana istri pasien bekerja sebagai perawat dibagian endoscopy di RSAM dan anak pasien yang paling tua sudah bekerja sebagai bidan di puskesmas panjang bersama pasien. tidak akan cukup sehingga hal tersebut menjadi masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pasien tinggal di pusat kota yang padat penduduk jarak selokan terhadap rumah cukup dekat, selokan sering menguap dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Hal ini sangat memungkinkan mudahnya penyakit masuk ke dalam tubuh. Kedua orangtua pasien tidak ada yang menderita hipertensi, DM ataupun gagal ginjal. Life style, pola makan

belum sesuai dengan anjuran dokter, pasien belum mengurangi penggunaan garam dapur, belum membatasi asupan cairan supaya kaki dan kelopak matanya tidak bengkak, belum mengetahui berapa asupan protein dan kalori yang dianjurkan pada pasien gagal ginjal kronik. Perilaku olahraga ringan tiap harinya belum dijalani karena alasan sudah tidak mampu beraktivitas di luar rumah. Keadaan rumah belum ideal, tidak begitu luas, kebersihannya cukup baik,bagian dalam agak lembab karena ventilasi dan pencahayaan kurang. Dalam sistem pelayanan kesehatan pasien sudah memiliki asuransi kesehatan dan pasien mempunyai kendaraan pribadi berupamobil dan motor hasil bekerja di puskesmas sehingga lebih mudah untuk akses pengobatan ke puskesmas maupun rumah sakit untuk cuci darah. Pekerjaan, sudah tidak produktif seperti dulu, hanya bekerja di puskes panjang saja dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang, sehari – hari lebih banyak duduk memeriksa pasien dan di rumah lebih banyak tidur di kamar.Penegakan diagnosis klinik utama pada pasien sudah benar, yaitu gagal ginjal kronik ec hipertensi stage 2.

Berdasarkan anamnesis pasien mengeluhkan mual muntah setiap mau makan, mulutnya terasa pahit dan pasien malas makan, akhirnya badan terasa lemas, tidak bergairah dan tidak mampu beraktivitas normal. Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak, sehingga sulit jika berjalan. Saat bangun tidur di pagi hari kelopak matanya juga sering bengkak. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis, abdomen cembung didapatkan shifting dullness, kesan ascites. Terdapat nyeri tekan epigastrium. Didapatkan edema ekstremitas inferior, kesan pitting edema. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat edema pada seluruh tubuh pasien, yang mengarahkan pada beberapa kelainan, seperti kelainan organ jantung, hepar, ginjal, dan kelainan lain (Panggabean, 2009).

Kelainan organ jantung dapat disingkirkan pada pasien ini karena pasien tidak memiliki riwayat sesak napas yang dirasakan pada saaat aktivitas maupun istirahat. Serta tidak terdapat gejala sesak pada malam hari, orthopnea maupun dyspneu on effort. Kriteria framingham pada pasien ini pun juga tidak memenuhi (Sharon, 2005).

Page 6: MANUSKRIP ikakom

Keluhan edema pada pasien ini mengarahkan pada penyakit ginjal. Pasien diketahui fungsi ginjal menurun sejak 8 bulan yang lalu dan pasien memiliki penyakit hipertensi sejak 25 tahun yang lalu. Hal ini dapat mengarahkan penyebab dari bengkak pada ekstremitas yaitu gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD).

Laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73mm2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal merupakan kriteria penyakit gagal ginjal kronik. Klasifikasi CKD pada pasien ini, yaitu stadium CKD grade 5 berdasarkan hasil GFR (5,06 ml/menit/1,73mm2 (<15 ml/menit/1,73mm2,). Dapat dipikirkan bahwa keadaan ini merupakan penyakit ginjal yang disebabkan oleh hipertensi (KDOQI, 2002).

Berdasarkan anamnesis, didapatkan pada pasien merasakan lemas. Keluhan lemas dirasakan pasien dikarenakan pasien tidak mau makan karena merasa tidak enak pada perutnya dan mual dan muntah. Mulut pasien juga terasa pahit sehingga menyebabkan pasien tidak makan. Keluhan lemas-lemas pada pasien ini disebabkan oleh penurunan nafsu makan pasien akibat mual yang dirasakan. Mual tersebut dipikirkan merupakan komplikasi dari penyakit CKD yang berupa gastropati uremikum. Pada pasien gagal ginjal kronik, terdapat akumulasi ureum dalam darah. Oleh bakteri di saluran gastrointestinal urea mengalami proses pembusukan menjadi amonia. Amonia bersifat iritasi kuat, sehingga menimbulkan keluhan mual muntah. Keluhan tersebut dapat menyebabkan pasien tidak nafsu makan sehingga membuat pasien lemas (Mcquaid, 1996).

Keluhan lemas juga mengarahkan kita pada gejala anemia. Pada pasien ditemukan konjungtiva anemis pada kedua konjungtiva dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,6 gr/dl. Anemia pada pasien ini disebabkan karena gangguan produksi eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik (Alan, 2015).

Berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah pasien sebesar 160/100. Berdasarkan kategori tekanan darah yang dikeluarkan oleh Joint National Committe (JNC) VII menyebutkan bahwa pasien termasuk dalam kategori hipertensi stage II karena Sistol

≥160 mmHg dan diastol ≥100 mmHg (Page, 2014).

Hipertensi merupakan merupakan faktor risiko penting untuk perkembangan penyakit ginjal. Target tekanan darah yang harus diturunkan pada pasien dengan gagal ginjal kronik, diabetes melitus adalah ≤130/85 mmHg (Malvinder, 2002).

Obat anti hipertensi yang baik untuk pasien gagal ginjal adalah golongan angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI) dan angiotensin reseptor bloker (ARB) karena menurunkan tekanan darah kapiler glomerulus dan filtrasi protein. Dosis pemberian captopril pada pasien ini kurang, seharusnya diberikan 3x25 mg untuk pasien gagal ginjal kronik. Selain itu juga di tambahkan obat anti hipertensi golongan ARB seperti (candesartan, valsartan) namun karena keterbatasan di puskesmas, sehingga tidak bisa diberikan. Untuk pasien hipertensi stage II, menurut JNC VII harus diberikan dua obat anti hipertensi kombinasi. Akhirnya obat golongan ARB tersebut digantikan dengan obat golongan calsium channel blokers (CCB), diberikan amlodipin 1x10 mg (Myrna, 2007).

ACEI efektif dalam memperlambat perkembangan insufisiensi ginjal pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Golongan CCB juga menghambat progresi insufisiensi ginjal pada pasien dengan diabetes tipe 2. Baru-baru ini, ARB (irbesartan dan losartan) telah terbukti memiliki efek perlindungan nefropati diabetik (Malvinder, 2002).

Menurut penelitian, ARB tampaknya memiliki efektivitas yang sama seperti ACEI dalam mengurangi proteinuria. Kombinasi terapi ARB dan ACEI menyebabkan penurunan proteinuria lebih besar daripada monoterapi. ARB mengurangi urin protein ekskresi sekitar 35% dibandingkan dengan kalsium-channel blockers. Inhibitor dari sistem renin-angiotensin mengurangi proteinuria dengan mengurangi tekanan arteri sistemik dan tekanan filtrasi intraglomerular dan dengan mengubah pori-pori ukuran dari filtrasi glomerulus (Kunz, 2008)

ACEI dan ARB merupakan lini pertama untuk pasien hipertensi, dm tipe 1 atau 2, dan proteinuria atau awal gagal ginjal kronis. Kedua obat ini mengurangi tekanan

Page 7: MANUSKRIP ikakom

darah dan proteinuria, memperlambat perkembangan yang penyakit ginjal, dan memberikan perlindungan kardiovaskular jangka panjang. ACEI dan ARB menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron di pasien dengan penyakit ginjal kronis menyebabkan pelebaran eferen arteriol. Hal ini dapat menyebabkan penurunan akut pada GFR lebih dari 15 persen dari baseline dengan peningkatan proporsional dalam kreatinin serum dalam minggu pertama memulai terapi (Myrna, 2007).

Diuretik thiazide (HCT) merupakan lini pertama untuk mengobati hipertensi, tetapi tidak dianjurkan jika tingkat serum kreatinin lebih tinggi dari 2,5 mg per dL. Obat loop diuretik (furosemid) yang paling umum digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Diuretik hemat kalium harus dihindari karena meningkatkan jumlah kalium pada pasien dengan gagal ginjal kronik (Myrna, 2007).

Pemberian antasida dan ranitidin untuk mengatasi masalah gastropati uremikum tidak tepat. Antasida memiliki efek samping terutama untuk pasien gagal ginjal kronik. Alumunium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun dalam otak, diduga mendasari sindroma ensefalopati yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Alumunium hidroksida dapat membentuk senyawa yang sukar larut, sehingga bisa menimbulkan batu saluran kemih. Pasien dengan CKD grade V harus melakukan hemodialisis untuk mengurangi keluhan mual muntahnya, agar kadar ureum dalam darahnya berkurang. Jika tidak alternatif penyembuhannya adalah dengan transplantasi ginjal (KDOQI, 2002).

Tiga hari setelah kunjungan pertama, maka dilanjutkan dengan kunjungan kedua untuk melakukan intervensi terhadap pasien. Pasien diberikan intervensi dengan menggunakan media leaflet tentang gagal ginjal kronik, penanganan hipertensi, pembatasan asupan cairan, garam, protein serta kalori. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk merubah pola makan pasien yang menderita gagal ginjal kronik dan hipertensi yang tidak pernah mengatur pola makan dan minumnya, meskipun untuk merubah hal tersebut bukanlah hal yang dapat dilihat hasilnya dalam kurun waktu

yang singkat, namun hal tersebut termasuk terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru. Pertama adalah awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari stimulus tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya (Notoatmodjo, 2005). Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien.

Edukasi yang diberikan berupa cara mengontrol tekanan darah, makanan yang perlu dihindari untuk mengontrol hipertensi, dan pentingnya pemeriksaan tekanan darah dan mengendalikannya dengan obat. Pasien disarankan untuk makanan yang rendah garam yaitu 2-3 gr/hari. Untuk pasien gagal ginjal tidak diperbolehkan banyak minum, untuk itu dilakukan pembatasan cairan 500-800ml/hari agar tidak menyebabkan pembengkakan di tubuh pasien (Suwitra, 2009).

Pasien gagal ginjal kronik beresiko mengalami malnutrisi sehingga menurunkan kualitas hidup serta memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Beberapa faktor penyebab malnutrisi pasien gagal ginjal kronik adalah keluhan uremia, asupan protein dan kalori yang menurun, dan inflamasi kronik. Untuk itu monitoring status gizi pasien gagal ginjal kronik sangat penting (Campbell, 2007).

Disarankan asupan protein bagi pasien gagal ginjal kronik 0,75gr/kgbb/hari untuk pasien GFR ≥ 30 mL/min/1.73 m2 (CKD grade 1–3), sedangkan untuk GFR yang lebih rendah (CKD grade 4–5) asupan proteinnya0,6gr/kgbb/hari. Perlu monitoring setiap 1-3 bulan untuk CKD grade 4–5, dan monitoring setiap 6-12 bulan untuk CKD grade 1–3. Berarti pasien dengan berat badan 55 kg CKD grade 5 asupan protein per harinya adalah 33 gram, jika ada 1 potong daging ukuran sedang itu dibagi untuk 3 kali makan. Pembatasan asupan protein menurunkan progresifitas penyakit gagal ginjal kronik. Salah satu hasil

Page 8: MANUSKRIP ikakom

metabolisme protein adalah ureum dan juga zat toksin lainnya, jika terlalu banyak asupan protein akan semakin menimbulkan sindrom uremik. (KDOQI, 2002)

Kebutuhan kalorinya 30-35 kkal/kgbb/hari. Asupan kalorinya 1650-1925 kkal/hari artinya 412-480 gram/hari, artinya jika memasak nasi ½ kg itu dibagi untuk 3 kali makan. Mengapa harus dilakukan perhitungan asupan protein dan kalori yang masuk, agar pasien gagal ginjal kronik tidak mengalami malnutrisi, karena kebanyakan mengalami malnutrisi akibat sindrom uremik. (Suwitra, 2009)

Seminggu berikutnya, yaitu kunjungan ketiga dilakukan evaluasi. Dari hasil anamnesis lanjut didapatkan bahwa pasien sudah minum obat secara teratur. Keluarga pasien juga lebih memperhatikan makanan yang dimakan pasien seperti melarang pasien untuk banyak minum dan mengurangi garam dalam masakan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, sudah mengalami penurunan daripada sebelumnya dan sudah mencapai target ≤130/85 mmHg. Untuk keluhan mual muntahnya juga berkurang jika pasien sudah melakukan cuci darah, pasien berjanji tidak akan terlambat melakukan cuci darah agar keluhan mual muntahnya tidak semakin parah. Istri pasien juga sudah mengatur kalori dan protein untuk setiap kali makan, sehingga pasien tidak merasa lemas lagi. Olahraga sudah mulai pasien lakukan setiap pagi, dengan berkeliling disekitar rumah.

Setelah diberikan edukasi tersebut pasien menjadi lebih bersemangat untuk bekerja, karena merasa keadaannya membaik. Meskipun penyakit ini tidak bisa disembuhkan namun kita bisa mencegah agar kondisi pasien tidak mengalami perburukan dengan memperhatikan asupan gizinya dan mengontrol tekanan darahnya.

Faktor pendukung dalam penyelesaian masalah pasien dan keluarga adalah pasien dan seluruh anggota keluarga yang harus menerapkan pola hidup sehat. Pasien dan keluarganya memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit yang diderita pasien, akses ke puskesmas dan rumah sakit mudah, adanya asuransi penjamin kesehatan. Sedangkan faktor penghambatnya adalah kurangnya kesadaran pasien sendiri terhadap kesehatannya padahal pasien adalah seorang

tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang hipertensi, diabetes dan gagal ginjal.

Prognosis untuk ad vitam pada pasien ini dipikirkan dubia ad bonam karena keadaan tanda vital pasien baik dalam pengontrolan. Prognosis untuk ad functionam pada pasien ini dipikirkan dubia ad malam karena pasien menderita gagal ginjal kronik sehingga yang membutuhkan tatalaksana cuci darah seminggu sekali, hal tersebut mengganggu aktivitas dan fungsional pasien sehari-hari. Prognosis untuk ad sanationam pada pasien dipikirkan dubia ad malam karena pada pasien ini sudah terjadi penurunan berat dari fungsi ginjalnya. KESIMPULAN1. Diagnosis gagal ginjal kronik dan

hipertensi pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis dari penelitian terkini.

2. Penatalaksanaan yang diberikan sudah sesuai dengan KDOKI (National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative) .

3. Telah terjadi perubahan prilaku pada Tn.A

4. Perubahan perilaku pada Tn.A untuk mengontrol tekanan darah dengan minum obat rutin, mengontrol asupan minumnya, terlihat setelah pasien diberikan intervensi dan akhirnya mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi makan garam dan mepertimbangkan asupan gizinya sudah cukup atau kurang.

SARANUntuk Pasien dan Keluarganya:1. Perlu meningkatkan pengetahuan/

wawasan mengenai penyakit gagal ginjal kronik dan hipertensi serta komplikasinya sehingga dapat melakukan pengelolaan dengan baik.

2. Perlu meningkatkan kesadaran dan tekad untuk melakukan pengelolaan penyakit gagal ginjal kronik dan hipertensi dengan sepenuhnya sehingga tujuan dari pengelolaan itu sendiri dapat tercapai.

3. Keluarga perlu mengoptimalkan kerjasama antar anggota keluarga untuk meningkatkan kesehatan keluarga

4. Melakukan cuci darah setiap minggunya tidak boleh putus

Page 9: MANUSKRIP ikakom

5. Memeriksakan tekanan darah secara berkala.

Untuk Pembina Selanjutnya1. Pemantauan dan re-evaluasi kondisi

pasien.2. Perlu pembinaan lebih lanjut pada

pasien dan keluarga mengenai modifikasi gaya hidup agar pasien semakin paham dan selalu ingat akan pentingnya gaya hidup.

Untuk Pelaksana Pelayanan Kesehatans1. Adanya sistem pemantauan dan

pembahasan di fasilitas kesehatan secara periodik mengenai kasus yang dibina, bagi kesinambungan pelayanan dan pemantauan.

2. Perlu ditingkatkan usaha promosi kesehatan kepada masyarakat baik mengenai gagal ginjal kronik dan hipertensi.

3. Membuatkan buku kontrol tekanan darah untuk para penderita hipertensi.

Daftar Pustaka

1. Abboud H. Chronic Kidney Disease. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine Edition 18. Philadelphia: McGraw-Hill. 2012. Pp. 1653-74.

2. Alan. Hemoglobin Level, Chronic Kidney Disease, and the Risks of Death and Hospitalization in Adults With Chronic Heart Failure. America: Ahajournal. 2015

3. National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI). KDOQI Clinical Practice Guideliner for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification, New York: National kidney foundation, 2002.

4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi Ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009; Hlm. 1035-1040.

5. Arora P, Batuman V. Chronic Kidney Disease. England: Medscape. 2014

6. Castagnola, J. Chronic Kidney Disease. American: Association of Critical Care. 2006.

7. Kunz, Regina. Meta-Analysis: Effect of Monotherapy and Combination Therapy with Inhibitors of The Renin–Angiotensin System on Proteinuria in Renal Disease. America: Annals of Internal Medicine. 2008.

8. Panggabean M. Gagal Jantung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. Hlm. 1583-96

9. National Institute of Heart, Lung and Blood Institute. The Seventh Report of Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Preasure. 2003. Pp. 17-37

10. Talley HI. Non Ulcer Dyspepsia. In: Yamada T, Editor. Textbook of Gastroenterology. Philadelphia: JB Lippincott Company. 1995. Pp:1446-55.

11. McQuaid KR. Dyspepsia & Non Ulcer Dyspepsia. In: Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology. Connecticut: Appleton & Lange. 1996. Pp:313-6.

12. Malvinder. Chronic Renal Disease. Canada: BMJ. 2002. Vol: 325.

13. Myrna. Drug Dosing Adjustments in Patients with Chronic Kidney Disease. Portland: American Family Physician. 2007. Vol 75:10

14. Notoadmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. 2005.

15. Page MR. The JNC 8 Hypertension Guidelines: An In-Depth Guide [published online January 21, 2014]. The American Journal of Managed Care. 2014 [cited 2015 March 23]. Available from www.ajmc.com.

Page 10: MANUSKRIP ikakom

16. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati: Aspek Klinik dan Patologi Ginjal. Jakarta: PERNEFRI. 2003.

17. Purnomo, H. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Yang Paling Mematikan. Yogyakarta: Buana Pustaka. 2009.

18. Tjokroprawiro, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press. 2007.

19. Sharon. Guideline Update For The Diagnosis And Management Of Chronic Heart Failure In The Adult. America: ACC/AHA Practice Guidelines. 2005

20. Yoga, T. Hindari Hipertensi, Konsumsi Garam 1 Sendok Teh Per Hari. Depkes. 2015