marketing politik
TRANSCRIPT
BAB I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemilihan Umum 2014 sudah diambang pintu. Kedewasaan berpolitik rakyat
Indonesia kembali diuji dalam Pemilihan Umum (Pemilu) ini khususnya Pemilihan
Presiden (Pilpres).
Jika menengok ke belakang, keberhasilan menyelenggarakan Pemilihan Langsung
Presiden dan Wakil Presiden secara aman dan tertib mengindikasikan semakin
tingginya kedewasaan berpolitik rakyat Indonesia. Rasio lanjutan yang bisa diterima
adalah masyarakat akan semakin kritis dalam menjalani Pemilu berikutnya termasuk
Pilpres.
Hal tersebut menjadikan kemenangan pertarungan di Pilpres ditentukan oleh strategi
yang dibawa para kandidat. Strategi memang mutlak dibutuhkan bagi siapa saja
yang ingin menang dalam persaingan (Porter, 1998) Namun seiring dengan
perkembangan politik yang demikian dinamis, strategi saja tidak cukup untuk meraih
kemenangan. Ada faktor lain yang tidak bisa diabaikan yaitu faktor elektabilitas dan
popularitas Sang Calon.
Hasil Pemilihan Kepala Daerah( Pilkada) di beberapa daerah menunjukkan bahwa
elektabilitas parpol politik pendukung tidak sepenuhnya mempengaruhi kemenangan
calon kepala daerah. Contohnya : Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013
Perolehan Suara (Tempo, 3 Maret 2013) sbb :
1. Achmad Heriyawan – Deddy Miswar : 6.515 jt suara (33.14 %) – partai
pendukung PKS
2. Rieke Dyah Pitaloka – Teten Masduki : 5.714 jt suara (27.92 %) – PDIP
3. Dede Yusuf – Lex Laksamana : 5.075 jt suara (25.23 %) –
Demokrat + Gerindra
4. Yance – Tatang : 2.448 jt suara (12 %) – Golkar
Perolehan Suara Parpol Di Jawa Barat (Sumber LSI dalam DetikNews, 12 February
2013) :
1. Golkar 17.7 %
2. PDIP 13.8 %
3. Demokrat 13.3 %
4. Nasdem 5.9 %
5. Gerindra 3 %
Contoh Lain : Pilkada Bupati Garut 2013
Perolehan Suara (Garut Pos, edisi Rabu 5 February 2013) sbb :
1. Aceng Fikri – Dicky Chandra : 55.9 % - Independen
2. Rudi Gunawan – Abdurochim : 44.1 % - partai pendukung Golkar + PDIP
+ Gerindra + PKS
Sedangkan dalam jejak pendapat oleh Lembaga Survey jelang Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014 diperoleh hasil sbb :
1. Dalam Catatan Politik 2014 : Survey Popularitas dan Elektabilitas Capres di
Jakarta oleh Survey PDB (Pusat Data Bersatu) yang didirikan oleh Didik J.
Rachbini dan dimuat di Kompas, 17 January 2014, dari bakal Capres
Demokrat diperoleh :
- Dahlan Iskan : 3.4 %
- Anis Baswedan : 3.1 %
- Gita Wiryawan : 1.1 %
- Pramono Edhi Wibowo : 0.3 %
- Marzuki Alie : 0.2 %
- Ali Maskur Musya : 0.2 %
2. Hasil Survey Balitbang Kompas yang diselenggarakan pada Desember 2013
dan dirilis pada 8 January 2014 :
- Jokowi : 43.5 % - PDIP
- Prabowo : 11.1 % - Gerindra
- Abu Rizal Bakri : 8.8 % - Golkar
- Wiranto : 6.6 % - Hanura
- Megawati : 6.1 % - PDIP
- Jusuf Kalla : 3.1 % - Golkar
Prabowo dan ARB serta Wiranto hampir setiap hari wara wiri beriklan di beberapa
stasiun TV tapi mengapa tidak bisa mengejar dan tertinggal jauh dari elektabilitas
Jokowi ?
Dari contoh tersebut diatas, muncul pertanyaan mengapa elektabilitas Parpol tidak
terlalu berpengaruh terhadap elektabilitas Calon yang diusungnya ?
Apakah rakyat hanya memilih calon yang mereka kenal atau Populer ?
Apakah ada hubungannya antara elektabilitas dan popularitas ?
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1. Pemasaran Politik
Pemasaran politik bisa didefinisikan sebagai proses analisa,
perencanaan, implementasi dan pemilihan umum, yang didesain untuk
menciptakan, membangun dan membina hubungan pertukaran yang
saling menguntungkan antara parpol dengan pemilih, untuk tujuan
pemasar politik (O’Cass, 1996 b)
Politik marketing sebagai disiplin ilmu telah berangsur-angsur
menemukan frame work nya sendiri. Frame work tersebut
mengandung teori inti literatur pemasaran yang dibangun berdasarkan
prediksi dan perspektif Ilmu Politik (Lock dan Haris, 1996).
Disaat yang sama para kandidat peserta Pemilu, termasuk capres,
merupakan produk yang ditawarkan kepada konsumen.
Riset-riset akademik yang menggali teori-teori political markleting dan
riset empirik untuk melakukan pengujian teori semakin banyak
dilakukan. Sehingga semakin kuat alasan untuk menganggap bahwa
political marketing kini telah mengarah menjadi disiplin keilmuwan
tersendiri (Atuahene, 1996 ; Bhuian, 1998; Caruna et al, 1999;
Houston, 1986; Kohli, 1993; Scammel 1999 dalam O’cass 2001).
Dalam perkembangannya, political marketing telah mengalami beberapa
penekanan definisi. Penekanan tersebut berubah dari waktu ke waktu antara
lain :
- O’Leary dan Iredale (1976) memberi penekanan pada penggunaan bauran
pemasaran (marketing mix) yang memasarkan parpol
- Yorke dan Meehan (1986) mengusulkan penggunaan ACORN sebagai
dasar untuk melakukan pentargetan pemilih (voter targeting)
- Lock dan Haris (1996) meyakini bahwa political marketing harus
memperhatikan proses positioning.
- Wring (1997) menyarankan untuk menggunakan riset opini dan analisa
lingkungan karena menurut Wright, kondisi suatu daerah sangat berbeda
dengan daerah lainnya.
- Smith dan Sounders (2002) menekankan pentingnya penggunaan proses
segmentasi untuk memetakan keinginan dan kebutuhan pemilih sehingga
kandidat bisa memposisikan dirinya secara pribadi
2.2 Strategi Pemasaran Politik
Perencanaan pemasaran bertujuan untuk mengidentifikasi situasi pasar
dan menciptakan daya saing (Mc Donald, 1986). Sementara perencanaan
dalam political marketing bertujuan untuk membangkitkan dan memikat
dukungan publik (Baines et al, 2002).
Meskipun masih dalam tahap perencanaan, bukan berarti mengabaikan
peran media massa. Sebaliknya, pada tahapan ini, peran saluran
komunikasi massa sudah sangat dibutuhkan (Baines et al, 2002)’
Secara garis besar, tahapan perencanaan meliputi 4 tahapan proses :
I. Riset konstituen
Meliputi data historis, sensus statistik, penyusunan peringkat
konstituen
II. Analisa persaingan
Meliputi Identifikasi kelompok pemilih yang relevan
III. Positioning konstituen
Meliputi targeting kelompok pemilih
IV. Analisa Pasca Kampanye
2.2. Manajemen Citra
Menganalisa elektabilitas dan popularitas tidak bisa tanpa membahas
masalah pencintraan.
Untuk membangun reputasi yang bagus, kandidat bisa
mengaplikasikan teori-teori Image Management. Teori ini awalnya
banyak dipakai untuk membangun, mempertahankan dan membina
citra sebuah perusahaan. Tetapi karena tipe pembentukan reputasi
antara personal dan institusi hampir sama, tidak ada salahnya
mengaplikasikan teori-teori tersebut ke ranah politik. Bahkan dalam
sebuah Literature Image Management yang berjudul Corporate
Reputations and Competitiveness, Gary Davis dan Rosa Chuns
memberikan beberapa contoh pembentukan image dan politisi.
Diantaranya adalah Bill Clinton dan Deputi Perdana Menteri Inggris,
John Presscott (Davis dan Chun, 2004 page 43).
Personal reputation merupakan intangiable asset yang melekat pada
diri seseorang. Pembentukannya membutuhkan proses waktu yang
tidak singkat sebagai hasil dari kegiatan pengembangan dan informasi.
Oleh karena itu personal reputation bukan suatu hal yang mudah untuk
ditiru (Kasali 2005). Pembentukan reputasi yang bagus tidak akan
berhasil jika seorangkandidat tidak memiliki reputasi. Untuk
membangun reputasi bisa dilakukan dengan menerapkan Star Quality
of Reputations (Fomborn dan Van Riel, 2004)
Kelima sudut bintang meliputi :
1. Visible
Dapat dilihat dan diteliti
2. Authentic
Dapat dipercaya
3. Transparant
Terbuka, tidak terbatas pada orang tertentu saja
4. Consisten
Tetap, taat, tidak berubah
5. Distinctive
Bersifat membedakan antara satuan bahasa
BAB III. PEMBAHASAN
Elektabilitas dan Popularitas
Istilah elektabilitas, popularitas, konstelasi, dan banyak lagi istilah lain
yang marak digunakan jelang Pemilu masih sulit dicerna masyarakat awam.
Kalau rakyat tidak tahu apa yang dikatakan, untuk apa ada kampanye ?
Apa tujuan dari kampanye ? Apakah sekedar untuk popularitas dengan sering
tampil atau untuk meningkatkan elektabilitas ?
Dalam masyarakat sering diartikan orang yang memiliki popularitas
dianggap mempunyai elektabilitas tinggi. Atau sebaliknya seorang yang
mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer ?
Samakah pengertian elektabilitas dan popularitas ?
Kosakata Elektabilitas tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Dalam kamus The Advanced Learning Dictionaty , Electability
artinya : chosen, selected.
Jadi dapat diartikan elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan
dengan kriteria pilihan setelah adanya proses seleksi. Elektabilitas bisa
diterapkan pada barang, jasa maupun orang, badan atau partai.
Elektabilitas partai politik berarti tingkat keterpilihan parpol dimata publik.
Orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik
secara meluas dalam masyarakat.
Ada orang baik yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada
hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada
yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel.
Sebaliknya orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada
hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi
karena ada yang memperkenalkannya secara tepat.
Sedangkan popularitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
berasal dari kosakata populer yang artinya dikenal dan disukai banyak orang ;
disukai dan dikagumi orang banyak.
Jadi dapat diartikan popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik.
Contohnya dalam Pibgub Jabar tersebut diatas popularitas Deddy Mizwar
mendongkrak perolehan suara, padahal PKS saat itu tengah dililit kasus
“Impor Daging Sapi” dimana parpol tersebut tempat Achmad Heryawan
bernaung.
Namun populer saja tidak cukup. Ada hal lain yang tak kalah penting untuk
menentukan pilihan salah satunya adalah faktor kapabilitas atau kemampuan
dan potensi dalam menjalankan pemerintahan.
Mari kita ambil contoh produk sepeda motor. Jika ada beberapa pilihan
produk yang sama, maka apa dasar kita untuk memilih produk yang terbaik ?
Diantara beberapa produk sepeda motor, kemudian hanya ada satu-dua
produk yang memiliki tingkat keterpilihan (elektabilitas) tinggi.
Bila melihat popularitas, semua produk sepeda motor yang ada di Indonesia
populer, baik itu Yamaha, Honda, Suzuki maupun Kawasaki. Tapi tingkat
keterpilihan Honda dan Yamaha menduduki peringkat pertama dan kedua
(Kompas, 5 February 2014).
Lalu bagaimana dengan Pilpres 2014 ini ?
Selain kapabilitas dan potensi Capres tentunya, apakah penentunya,
popularitas atau elektabilitas ?
Siapa yang tidak kenal Prabawo, menantu orang nomor satu di Indonesia,
mantan Danjen Kopasus ?
Siapa yang tidak kenal Wiranto, mantan Pangab pada masa pemerintahan
Orde Baru ?
Dan tentu saja semua masyarakat tahu siapa Abu Rizal Bakri (ARB),
konglomerat yang menguasai bisnis dalam negeri, pemilik media televisi dan
komunikasi.
Semua pasti kenal dan tahu Jusuf Kalla dan Megawati Soekarno Putri.
Mereka begitu terkenal atau populer atau dengan kata lain memiliki tingkat
popularitas tinggi. Tapi mengapa tingkat elektabilitasnya rendah ?
Mari kita kesampingkan dulu Jokowi. Karena untuk menjawab pertanyaan
mengapa Jokowi pupoler sekaligus memiliki elektabilitas tinggi, membutuhkan
analisa yang lebih mendalam.
Janji-janji pemimpin pada setiap kampanye legislatif maupun Pilpres hanya
terwujud pada spanduk, baliho, dan selebaran belaka. Tentunya masyarakat
biasa tak perlu heran lagi kalau harapan itu akan muncul lagi meskipun
dibungkus dengan kemasan yang menarik oleh parpol atau capres tapi bau
busuknya masih tercium.
Untuk meningkatkan elektabilitas, maka sangat tergantung pada teknik
kampanye yang digunakan dengan mengaplikasikan beberapa teori dan
model pemasaran politik.
Mengacu pada beberapa teori dan konsep political marketing terlihat bahwa
beberapa Capres hanya mengandalkan popularitas saja dengan
memanfaatkan ruang media cetak maupun elektronik untuk mengiklankan
dirinya. Dan mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan konstituennya.
Berkaca pada Pilgub DKI untuk mencapai popularitas dan elektabilitas yang
tinggi tidak cukup hanya beriklan dengan segala macam kemasan menarik,
tetapi juga harus disertai dengan perwujudan kerja nyata bukan hanya janji-
janji surga.
BAB IV. KESIMPULAN
Masyarakat sekarang jauh lebih cerdas dalam menyelesaikan masalah kebangsaan
dan yang terpenting jauh lebih tulus.
Sudah banyak partai yang mengusung kecerdasan kepemimpinan, popularitas
namun gerakannya tidak tulus/pamrih yang ujung-ujungnya memihak kepada
kepentingan partai sendiri dan mengalah atas nama kebutuhan finansial pergerakan
kalau tidak mau dikatakan KKN model baru.
Kandidat capres hanya mengandalkan popularitas tanpa mengindahkan strategi
pemasaran politik yang tepat sasaran.
Saatnya berfikir kembali, layak kah pesta demokrasi yang mengatas namakan
elektabilitas ini diusung ?
Elektabilitas yang mengagungkan kepentingan partai demi rakyat dan bermotivasi
menyedot anggaran negara belaka.
Daftar Pustaka :
Baires, Paul R; Haris, Phil and Lewis, Barbara 2003 ; The Political Marketing
Planning Precess : Improving Image and Massage in strategic Target Area,
page 6-14
Davies, Gary, Chun, Rosa, Silva and Rover 2003; Corporate Reputation and
Competitiveness
Dowling, Grahame, 2003; Creating Corporate Reputation, Oxford University
Egan J, 1996, Political Marketing, Lesson from The Mainstream Proceeding of
The Academy of Marketing Confence, University of Striling
Fombure, Charles J and Van Ries, 2004, Fame and Fortune : How Successful
Companies Build Winning Reputation, Prentise Hall
Kotler ,P, 2000, Marketing Management edisi ke-10 New Jersey
Lock A and Harris P, 1996, Political Marketing European Political Marketing
Journal Vol.30 page 21-31
Mc Donald, M.H.B ,1989, The Marketing of President Political Marketing of
Campaign Strategy, London
O’cass, Aaron, 2001, Political Marketing an Investigation of The Political
Marketing Concept and Political Market Orientation in Australian Politics
vol.35 page 1003-1025
Porter, Michael, 1980, Competitive Strategy, New York Free Press
Wring, D, 1997, Reconcilling Marketing with Political Science : Theories of
Politcal Marketing, Universtity Manchester
Yorke and Maehan, 1986, ACORN in The Political Marketing, European
Journal of Marketing, Vol.20 page 63-76
The Advances Learning Dictionary, Second Edition, Oxford
RENDAHANYA ELEKTABILITAS CALON PRESIDEN RI DALAM PEMILU 2014
MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER