marshmallow skye bab 1 n 2
DESCRIPTION
baca yuk marsmallow skyeTRANSCRIPT
�
Aku tidak percaya hantu.
Aku percaya papan lantai yang berderit,
embusan udara sejuk yang tiba-tiba, dan lolongan
aneh ketika angin bersiul menerobos pinggiran
atap. Kalau kau hidup di rumah tua besar seperti
Tanglewood, itu bagian dari paket.
Sejak dulu, aku hidup di Tanglewood. Mum
dan Dad datang untuk tinggal di sini ketika
kakak perempuanku, Honey, masih bayi. Kakek
meninggal ketika masih sangat muda dan Nenek
Kate menikah lagi dengan orang Prancis bernama
Jules. Mereka ingin hidup di Prancis, tapi Nenek
Kate tidak mau menjual rumah keluarga. Jadi, dia
memberikannya pada kami. Tanglewood adalah
rumah besar bergaya Victoria dan letaknya hanya
1
�
selemparan batu dari pantai. Menurutku, tempat
ini merupakan seiris kecil surga.
Sebagian orang menganggap Tanglewood agak
seram—dan kurasa aku bisa melihat alasannya.
Rumah itu memang kelihatan seperti bisa ditinggali
hantu. Tanaman merambat menempel ke bata
merah lembutnya, lalu jendela-jendelanya tinggi,
melengkung, dan bersilang-silang besi. Jenis jendela
di mana kau mungkin berharap akan melihat seraut
wajah sedang mengawasi: bayangan pucat bermata
sayu dari masa lalu. Adegan yang mungkin kau
baca di novel—kisah saat jam berdentang dua belas
kali dan kau terbangun menemukan misteri serta
intrik, juga orang-orang dalam pakaian bergemeresik
yang berjalan menembusmu seolah kau tidak ada
sama sekali.
Dulu, aku berharap hal seperti itu terjadi padaku.
Aku ingin masuk ke masa lalu, melihatnya sendiri.
Aku tumbuh besar dengan mendengarkan kisah-
kisah hantu, menghabiskan musim panas bersama
saudara-saudara perempuanku mencari penglihatan-
penglihatan seram, dan penampakan hantu… Tapi,
aku tidak pernah melihat satu pun.
Satu-satunya hantu yang sekarang kupercaya
adalah jenis hantu Halloween, kecil, berwajah
�
lengket, dan berdandan memakai seprai putih,
mencengkeram kantong plastik penuh toffee apple�
dan penny chew��.“Skye! Summer!” teriak adik perempuanku,
Coco, menjulurkan kepala di pintu. “Kalian berdua
belum siap? Cherry sudah menunggu di lantai
bawah, dan aku juga sudah siap sejak tadi. Kalau
tidak bergegas, kita bisa ketinggalan pesta! Ayo
cepat!”“Tenang,” ucap Summer, menyemprot rambut-
nya yang sempurna dengan semburan hairspray. “Kita punya banyak waktu, Coco. Pestanya baru
mulai jam tujuh!”
“Skye, katakan padanya!” ratap adik perem-
puanku. “Suruh dia bergegas!”
Tapi, sulit menganggap Coco serius. Sebab,
dia mengecat hijau wajahnya, menghitamkan
sebagian giginya, dan membuat rambutnya berdiri
menggunakan neon gel. Dia memakai jaket wol tua
milik pacar Mum, Paddy, dan kurasa dia seharusnya
jadi Monster Frankenstein.
� ����� ����� �������� ��������� ��������� ��� ������������ ��� ������������ ����� �������� ��������� ��������� ��� ������������ ��� ����������r������ ���� ��r���� ����� ��������h����.
�� ��r���� ������� h�r��� r����r��� ������r�����������h�r���r����r�������penny ���b������b������������ ���j�j�.
�
“Sepuluh menit,” janjiku. “Kami akan segera
turun!”
Coco memutar-mutar bola mata dan berderap
menuruni tangga.
Summer tertawa. “Dia sangat tidak sabaran!”
“Hanya bersemangat,” kataku pada kembaranku.
“Dulu kita seperti itu, ingat?”
“Kita masih seperti itu, Skye,” sahut Summer
sambil memperbaiki gaun putih cabik-cabiknya.
“Tapi, jangan beri tahu Coco! Aku suka Halloween,
masa kau tidak? Asyik sekali... seperti jadi anak-
anak lagi.”
Aku tersenyum. “Aku tahu, kan?”
Dan, tentu saja Summer tahu… dia lebih me-
ngenalku daripada siapa pun di dunia. Dia tahu
bagaimana perasaanku tentang banyak hal, karena
hampir sepanjang waktu dia merasakan hal yang
sama.
Dan memakai kostum… yah, itu satu hal yang
kami berdua suka.
Aku mencondongkan tubuh ke arah cermin,
mengambil sisir sikat. Aku tidak sepintar kembaran-kembaran-
ku dalam hal rambut dan dalam hal rambut dan make-up, tapi aku suka
sihirnya, momen saat kita mendongak dan melihat,
�
selama sepersekian detik, orang yang sungguh
berbeda.
Gadis dalam cermin itu sekarang pucat dan
mirip hantu, cewek bayangan. Ada noda segelap
tinta di bawah mata biru besarnya seolah dia tidak
tidur selama seminggu, dan rambutnya kusut dan
liar, terbelit daun tanaman merambat dan pita
beledu hitam.
Dia kelihatan seperti cewek dari masa lalu,
cewek dengan kisah rahasia. Dia tipe cewek yang
bisa membuatmu percaya hantu.
“Keren,” kataku sambil nyengir, dan cewek
hantu itu nyengir juga.
“Kau kelihatan hebat,” puji Summer saat aku
berpaling dari cermin. “Kira-kira, apa kau akan
kecantol cowok vampir imut di pesta?”
“Cowok vampir menjengkelkan,” sahutku.
Summer tertawa. Tapi, yang sebenarnya, kami
masih dalam tahap memimpikan cowok-cowok
di buku, cowok-cowok dalam film, cowok-cowok
anggota band. Kami sama-sama tidak punya pacar.
Aku suka begitu, dan kurasa Summer juga.
Lagi pula, kalau melihat cowok-cowok di SMP
Exmoor Park, kau pasti maklum. Mereka kekanak-
kanakan, menjengkelkan, dan sudah pasti tidak
�
bikin kita naksir. Misalnya Alfie Anderson, si badut
kelas, yang masih menganggap lucu menjentikkan
keripik di seputar kantin dan meledakkan bom
kentut di koridor.
Berkelas.
Summer duduk di pinggir ranjangnya, memulas
kilauan perak di tulang pipi, mengecat bibirnya
agar serasi. Pakaian kami sama, rok yang terbuat
dari cabikan-cabikan jala berjumbai dan berlapis,
sifon, dan sobekan-sobekan seprai yang dijahit
tergesa-gesa pada rompi putih lama.
Di tubuh Summer, tanpa upaya apa pun, pakaian
itu kelihatan cantik. Tapi, saat aku menoleh kembali
ke cermin, bisa kulihat aku sedang mengolok-olok
diri sendiri—di tubuhku, pakaian itu kelihatan agak
konyol dan tidak masuk akal. Aku bukan gadis
hantu, hanya bocah yang bermain-main memakai
kostum, dan itu tidak sebagus kembaranku.
Kurasa seperti itu sejak dulu.
Summer dan aku kembar identik. Mum
benar-benar menjalani scan saat sedang hamil.
Kami berdua bergelung bersama dalam tubuhnya
seperti anak kucing. Kami tampak seperti sedang
bergandengan tangan. Fotonya kabur dan abu-abu,
seperti layar TV saat gelombangnya buruk dan
�
segalanya kelihatan retak-retak serta patah, tapi
tetap saja itu foto yang paling menakjubkan.
Summer muncul di dunia lebih dulu, empat
menit lebih cepat daripada aku. Dia memesona,
berani, dan penuh tekad. Aku mengikuti setelahnya,
berwajah pink dan melolong.
Mereka membasuh kami, mengeringkan tubuh
kami, membungkus kami dengan selimut senada,
dan meletakkan kami di lengan Mum. Dan, apa
hal pertama yang kami lakukan? Benar. Kami
bergandeng tangan.
Seperti itu sejak dulu, sungguh. Kami seperti
dua sisi mata uang yang sama, bocah yang sangat
mirip, masing-masing pantulan sempurna dari
yang lain.
Sejak awal, masing-masing tahu apa yang sedang
lainnya pikirkan. Kami menyelesaikan kalimat
satu sama lain, pergi ke mana-mana bersama,
berbagi harapan dan mimpi, juga mainan, makanan,
pakaian, dan teman. Kami sahabat bagi satu sama
lain. Tidak—lebih daripada itu. Kami adalah satu
sama lain.
“Mereka cantik, kan?” orang-orang berkata.
“Bukankah mereka hal termanis yang pernah kau
lihat dalam hidup?”
�
Summer akan meremas tanganku dan me-me-
miringkan kepala ke satu sisi, dan aku akan kepala ke satu sisi, dan aku akan
melakukan hal yang sama. Lalu, kami tertawa dan
melarikan diri dari orang dewasa, kembali ke dunia
kecil kami sendiri.
Dalam waktu yang sangat lama, aku tidak
tahu di mana Summer berakhir dan aku mulai.
Aku memandangnya untuk mengetahui apa yang
sedang kurasakan, dan kalau dia tersenyum, aku juga
tersenyum. Kalau dia menangis, aku akan mengusap
air matanya, melingkarkan tangan di tubuhnya, dan
menunggu rasa sakit di dalam memudar.
Kedengarannya payah, tapi kalau dia sedih,
aku juga sedih.
Kukira akan seperti itu selamanya, tapi ternyata
tidak.
Dulu, kami berdua ikut kelas balet—kami gila balet.
Kami punya tas balet berwarna pink dengan sepatu
balet kecil dan ikat rambut yang juga berwarna
pink, buku-buku penuh kisah balet, sebuah kardus
di rumah penuh rok balet, sayap peri, dan tongkat.
Saat mengingat-ingat, kurasa sebenarnya sejak dulu
aku agak lebih suka berdandan daripada menari,
tapi perlu waktu beberapa lama baru aku melihat
10
bahwa aku hanya gila balet karena Summer begitu.
Aku melihat antusiasmenya pada tari, dan kukira
aku juga merasakannya… tapi sebenarnya aku hanya
gadis cermin, memantulkan kembaranku.
Aku mulai muak pada ujian-ujian balet ketika
Summer menang dengan terhormat, sementara
aku berjuang tersaruk-saruk untuk lulus; muak
pada pertunjukan tari ketika Summer mendapat
peran utama, sementara aku tersembunyi di
bagian belakang kelompok. Dia memiliki bakat
menari, aku tidak… dan sedikit demi sedikit, itu
mengikis kepercayaan diriku. Setelah salah satu
pertunjukan saat semua orang naik dan memberi
tahu Summer betapa hebatnya dia, akhirnya aku
menemukan keberanian untuk mengaku bahwa
aku tidak ingin ikut balet lagi. Itu terjadi pada
saat Dad pergi dan segalanya berubah. Mengubah
satu hal lagi sepertinya bukan kejadian besar,
setidaknya menurutku.
Tapi, Summer tidak paham. “Kau tidak boleh
berhenti, Skye!” debatnya. “Karena kau marah atas
kepergian Dad, ya? Kau cinta balet!”
“Tidak,” kataku padanya. “Dan ini tidak ada
kaitannya dengan Dad. Kau yang cinta balet,
Summer. Aku tidak.”
11
Summer memandangku dengan wajah kusut
dan bingung, seolah dia tidak memahami gagasan
tentang kau dan aku. Well, aku sendiri baru mulai
belajar. Sampai saat itu, hanya selalu ada kami.
Akhir-akhir ini, aku bertanya-tanya apakah urusan
tari itu adalah awal. Kadang, bila kita mengubah satu
hal, seluruh pola jadi berantakan, hancur, seperti
potongan-potongan kecil dalam kaleidoskop. Kurasa
aku mengeruhkan suasana antara kembaranku
dan aku, dan tiga tahun kemudian kami masih
menunggu debunya mengendap.
Aku menoleh kembali ke cermin, dan sesaat
aku melihat gadis hantu itu lagi, rambut awut-
awutan dan mata sayu, ketakutan, bibir terbuka
seolah berusaha mengatakan sesuatu padaku.
Lalu, dia lenyap.
1�
Dapur berbau toffee dan cokelat. MuM sedang
berada di depan Aga, sebuah kompor berikut oven,
sedang menusuk apel dan mencelupkannya ke panci
berisi toffee leleh keemasan untuk kami bawa ke
pesta, dan Paddy telah membawakan setumpuk
perpaduan truffle toffee-apple dari bengkel cokelat
untuk kami coba.
“Coba cicipi,” katanya. “Mungkin saja ini, rasa
yang akan melontarkan kita pada ketenaran dan
kekayaan…”
Paddy dan putrinya, Cherry, pindah ke rumah
kami pada musim panas, dan rasanya seolah mereka
sudah diterima. Mereka seperti dua potongan
teka-teki yang hilang bahkan tanpa kami ketahui.
Masih ada lubang tidak rata di tempat Dad dulu,
2
1�
tapi kami jadi makin tangkas mengitarinya. Lagi
pula, memiliki Paddy dan Cherry di sini sangat
membantu. Cherry keren, baik hati, dan lucu,
seperti persilangan antara saudara perempuan dan
teman. Paddy banyak tertawa dan pandai bermain
biola. Dia telah mengubah kandang lama menjadi
bengkel kerja untuk bisnis yang dia dan Mum
luncurkan. The Chocolate Box. Bau cokelat leleh
menyelimuti rumah akhir-akhir ini, dan tidak
mungkin itu sesuatu yang buruk.
Mum dan Paddy akan menikah pada bulan
Juni, jadi saat itu kami akan menjadi keluarga
yang sesungguhnya. Cherry dan Paddy membuat
segalanya jadi lebih menyenangkan.
Yah, hampir segalanya.
Kami berkerumun untuk mencicipi adonan
itu: dua gadis hantu, Frankenstein yang nyengir
(Coco), dan seorang penyihir (Cherry). Racikan
truffle itu terasa persis seperti Halloween, gelap,
manis, dan berkaitan dengan musim gugur.
Pacar Cherry, Shay Fletcher, juga ada di sini,
memakai topeng manusia serigala dengan gumpalan
bulu abu-abu menempel, pura-pura menggigit
Fred, anjing kami. Aku agak terkejut melihatnya.
Dulu dia berkencan dengan kakak perempuanku,
1�
Honey. Tapi, ketika Paddy dan Cherry pindah
ke rumah, segalanya berubah dan Shay berakhir
bersama Cherry.
Cowok selalu mengacaukan segalanya, bahkan
yang baik seperti Shay. Kalau dia tidak jatuh
cinta pada Cherry, ada separuh kemungkinan
Honey dan Cherry memiliki hubungan yang baik.
Mungkin. Situasi di sini jelas akan lebih mudah
kalau hubungan mereka baik.
Ketika Cherry dan Shay jadian, Honey tidak
senang. Dia menangis, berteriak-teriak, dan me-
ngurung diri terus di kamarnya selama berhari-
hari. Dan ketika keluar lagi, dia telah memotong
rambut pirang sepinggangnya yang cantik dengan
gunting dapur, sehingga rambut itu berdiri dalam
berkas-berkas kecil dari kepalanya. Sebagian besar
cewek akan kelihatan seperti orang-orangan sawah
karena potong rambut sendiri seperti itu. Tapi,
Honey selalu berhasil kelihatan keren layaknya
gadis model, dengan tatapan tajam menerawang
dan bibir yang selalu dalam mode mencibir. Paddy
dan Cherry memang membuat segalanya jadi lebih
menyenangkan, tapi kakak perempuanku, Honey,
tidak akan sependapat.
1�
Shay menghindari rumah kami akhir-akhir ini
karena alasan-alasan yang jelas. Aku tidak ingin
berada di posisinya, atau di posisi Cherry, kalau
Honey melihat mereka bersama.
“Kutebak malam ini Honey sedang keluar, ya?”
tanya Summer, membaca pikiranku.
“Kurasa begitu,” jawab Cherry, memperbaiki
kostum penyihirnya dengan gugup. “Dia bilang
pesta Halloween itu bakal payah, dan dia punya
acara yang jauh lebih mengasyikkan...”
“Biarkan sajalah,” Shay mengangkat bahu,
mendorong topeng manusia serigalanya ke belakang.
Rambut pirang kecokelatannya berdiri, matanya
yang sewarna laut menyorot hangat. “Kami harus
menghadapinya suatu hari. Sudah dua bulan—
saatnya melupakan, melanjutkan hidup.” melupakan, melanjutkan hidup.”
“Be-enar,” sahutku.
Aku tidak yakin Honey ingin melupakan
atau melanjutkan hidup kalau dia melihat Shay
Fletcher di dapur kami sekarang. Kurasa dia ingin
menyambar lehernya dan mencengkeram leher itu
keras-keras sampai Shay pingsan dan mati. Setelah
itu, dia mungkin “melanjutkan” pada Cherry.
Aku tidak mengatakan ini keras-keras.
1�
“Hei,” ucapku sebagai pengganti, berusaha me-
ngumpulkan setiap orang. “Ada pesta yang harus
kita hadiri, dan kita akan bertemu Millie dan Tia di
aula. Tidak ingin membuat mereka menunggu!”
“Tepat sekali,” sahut Coco. “Ayo, semua!”
Semua orang bicara, tertawa, dan memakai
jaket, tapi kami tidak cukup cepat. Honey muncul
di ambang pintu, dan tawa pun berhenti. Suasananya
begitu dingin membekukan sampai kau perlu alat
pemecah es bahkan hanya untuk membuatnya
penyok. Aku praktis bisa melihat tetesan air yang
membeku terbentuk di sekelilingku.
Dia berdandan seperti gadis vampir dalam
gaun mini merah tua yang cantik, dengan wajah
dan leher dibedaki warna pucat. Dua noda tusukan
merah dicat di dasar leher, tepat di atas tulang
selangkanya.
Kostum itu cukup bagus—karena kakakku
tidak semanis penampilannya. Sejak Dad pergi,
dia berayun antara tangis, amukan, dan pesona
gadis-kecil yang cukup untuk membuat kami
semua berada di bawah pengaruhnya. Lalu, Shay
mencampakkannya, dan Dad mendapat promosi
untuk membuka cabang luar negeri di perusahaan
tempatnya bekerja dan mengumumkan dia akan
1�
tinggal di Australia. Dia berangkat dua minggu
yang lalu.
Bukan berarti Dad sangat baik saat hari ulang
tahun, Natal, atau kunjungan pada akhir pekan—
tidak. Tapi, hanya ada satu hal yang lebih buruk
daripada memiliki ayah yang payah, dan itu adalah
memiliki ayah yang payah di belahan lain bumi.
Secara pribadi, aku tidak bisa memaafkannya.
Dan, setelah masalah Shay dan Dad pindah
keluar negeri, Honey menjatuhkan setiap pesona
palsu. Akhir-akhir ini, dia seperti angin puyuh,
bersikap tidak peduli, blak-blakan.
Honey melirik Shay dan bisa kulihat cowok
itu mengkeret di bawah tatapannya.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Pe-Pe-
cundang?” tanyanya dingin.?” tanyanya dingin.
Mum memutar tubuh dengan cepat dari Aga.
“Honey!” katanya. “Apa pun yang kau pikirkan tentangtentang
Shay, bukan begitu cara bicara pada tamu!”
Honey sepertinya tidak mendengar. Kami
berdiri di sana dengan kikuk.
“Tidak apa-apa, Charlotte,” kata Shay pada
Mum. “Maafkan aku. Kelihatannya aku salah
menilai. Kupikir sudah saatnya kita mengubur
kapak perang…”
1�
Honey tertawa, dan aku cukup yakin kalau
di dekat-dekat sini sekarang ada kapak, dia pasti
tahu persis tempatnya dikubur.
“Kukira kau tidak akan datang ke pesta ini,
Honey!” ucap Mum, berusaha mengarahkan pem-
bicaraan ke topik yang lebih aman.
“Seolah-olah itu akan terjadi,” sergah Honey.
“Aku akan ke kota bersama Alex.”
“Alex?” ulang Mum, tapi Honey mengabaikan
pertanyaan itu.
Dia melirik Cherry, yang kostum penyihirnya
adalah kaus hitam, rok mini, celana ketat garis-
garis dengan beberapa laba-laba mainan di rambut,
dan gagang sapu yang dibuatnya sendiri dari
ranting-ranting dedalu yang diikat ke cabang yang
meliuk-liuk.
Honey menaikkan sebelah alis.
“Bukankah mestinya kau memakai kostum?”
katanya jahat, dan pipi Cherry dibanjiri warna
pink.
Lalu, ada raungan sepeda motor di jalan kerikil
di luar, dan kakak perempuanku berlari keluar
menuju kegelapan.
“Tunggu dulu!” panggil Paddy, tapi Honey
membanting pintu di wajahnya. Kami mendengar
1�
sepeda motor itu meraung pergi, dan kemudian
hening.
“Siapa Alex ini?” tanya Mum. “Omong-omong,
berapa umurnya?”
“Cukup tua untuk memiliki sepeda motor,”
jawab Paddy sambil mengerutkan kening.
“Honey empat belas tahun!” ratap Mum.
“Masih anak-anak! Dan kita telah membiarkannya
pergi malam-malam naik sepeda motor bersama
pemuda yang tidak pernah kita kenal!”
“Mum tidak akan bisa menghentikannya,”
celetukku.
Itu Honey… kau tidak bisa menghentikannya.
Dulu dia kakak perempuan paling keren di dunia,
tapi sekarang dia jauh di luar jangkauan, makhluk
asing dalam maskara hitam dan lipgloss yang
terlalu banyak, dengan antrean tiada-akhir teman
cowok yang menakutkan. Dia keluar jalur—dan
tak ada sama sekali yang bisa kami lakukan untuk
mengatasinya.