marzi an

9
Ukuran-Ukuran Populasi dan Status Konservasi Spesies Burung Endemic dan Jangkauan Terbatas di Karakelang, Kepulauan Talaud, Indonesia Jon Riley Rangkuman Karakelang, pulau terbesar di Talaud, Indonesia, dikunjungi pada tahun 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan estimasi-estimasi populasi dari spesies burung jangkauan terbatas dan yang terancam secara global. Estimasi-estimasi kepadatan dihitung dari hutan primer dan habitat sekunder menggunakan metode plot melingkar variabel. Delapan dari sembilan spesies jangkauan terbatas dan terancam yang menduduki Karakelang direkam dan estimasi kepadatannya dihitung untuk lima dari delapan. Dua spesies dari jumlah spesies tersebut adalah endemik Karakelang, Talaud Bush-hen (Amaurornis magnirostris) dan Talaud Rail (Gynocrex talaudensis). The bush-hen ditemukan pada habitat sekunder tetapi terdapat pada kepadatan yang lebih tinggi di hutan primer dan estimasi populasinya adalah 2350-9560 ekor. Sedangkan Talaud Rail hanya tercatat dua kali pada hutan primer dekat sungai. Keduanya memiliki populasi yang kecil karena terancam oleh degradasi habitat, perburuan dan kemungkinan pemangsaan oleh tikus-tikus yang diperkenalkan kepada habitat tersebut dan seharusnya diklasifikasikan sebagai ancaman. Kepadatan populasi Lory (Eos histrio), spesies endemik dan terancam, mengalami kestabilan sejak survey terakhir pada 1997. Hal tersebut terjadi pada kepadatan yang lebih tinggi di hutan primer tetapi juga umum terjadi pada habitat buatan. Estimasi populasi spesies tersebut adalah 8.230-21.400 ekor yang terancam oleh kehilangan habitat dan penangkapan untuk perdagangan burung liar. Meskipun secara umum terdapat di hutan, Blue-naped Parrot (Tanygnathus lucionensis) ditemukan pada kepadatan lebih tinggi di habitat sekunder dan diperkirakan populasinya 8.130-20.700 ekor. Blue tailed imperial pigeon (D. concinna) sangat umum terdapat di Karakelang (14.500-27.700 ekor) sedangkan grey imperial pigeon yang berstatus rentan (D. pickeringii) jarang terekam. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang sering terekam di hutan primer. Talaud Kingfisher (Halcyon enigma) yang merupakan spesies endemik memiliki kepadatan rendah (5.290-8690 ekor) pada hutan primer dan didekat area-area terganggu. Talaud Kingfisher sangar bergantung

Upload: senoaji-yuniar-sasmito

Post on 03-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

terjemahan

TRANSCRIPT

Page 1: Marzi An

Ukuran-Ukuran Populasi dan Status Konservasi Spesies Burung Endemic dan Jangkauan Terbatas di Karakelang, Kepulauan Talaud, Indonesia

Jon Riley

Rangkuman

Karakelang, pulau terbesar di Talaud, Indonesia, dikunjungi pada tahun 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan estimasi-estimasi populasi dari spesies burung jangkauan terbatas dan yang terancam secara global. Estimasi-estimasi kepadatan dihitung dari hutan primer dan habitat sekunder menggunakan metode plot melingkar variabel. Delapan dari sembilan spesies jangkauan terbatas dan terancam yang menduduki Karakelang direkam dan estimasi kepadatannya dihitung untuk lima dari delapan. Dua spesies dari jumlah spesies tersebut adalah endemik Karakelang, Talaud Bush-hen (Amaurornis magnirostris) dan Talaud Rail (Gynocrex talaudensis). The bush-hen ditemukan pada habitat sekunder tetapi terdapat pada kepadatan yang lebih tinggi di hutan primer dan estimasi populasinya adalah 2350-9560 ekor. Sedangkan Talaud Rail hanya tercatat dua kali pada hutan primer dekat sungai. Keduanya memiliki populasi yang kecil karena terancam oleh degradasi habitat, perburuan dan kemungkinan pemangsaan oleh tikus-tikus yang diperkenalkan kepada habitat tersebut dan seharusnya diklasifikasikan sebagai ancaman. Kepadatan populasi Lory (Eos histrio), spesies endemik dan terancam, mengalami kestabilan sejak survey terakhir pada 1997. Hal tersebut terjadi pada kepadatan yang lebih tinggi di hutan primer tetapi juga umum terjadi pada habitat buatan. Estimasi populasi spesies tersebut adalah 8.230-21.400 ekor yang terancam oleh kehilangan habitat dan penangkapan untuk perdagangan burung liar. Meskipun secara umum terdapat di hutan, Blue-naped Parrot (Tanygnathus lucionensis) ditemukan pada kepadatan lebih tinggi di habitat sekunder dan diperkirakan populasinya 8.130-20.700 ekor. Blue tailed imperial pigeon (D. concinna) sangat umum terdapat di Karakelang (14.500-27.700 ekor) sedangkan grey imperial pigeon yang berstatus rentan (D. pickeringii) jarang terekam. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang sering terekam di hutan primer. Talaud Kingfisher (Halcyon enigma) yang merupakan spesies endemik memiliki kepadatan rendah (5.290-8690 ekor) pada hutan primer dan didekat area-area terganggu. Talaud Kingfisher sangar bergantung pada hutan primer dan terancam oleh kehilangan habitat dan seharusnya diklasifikasikan pada tingkat rentan (vulnerable). Kira-kira 350 km2 hutan primer Karakelang merupakan hutan lindung dan 250 km2 sebagai suaka margasatwa (wildlife reserve). Meskipun demikian, saat ini tidak ada pengelolaan dan hutan terancam oleh pertanian berpindah, pembalakan liar dan kebakaran. Semua spesies endemic dan terancam ditemukan lebih sering pada kepadatan yang lebih tinggi di hutan-hutan primer, usaha-usaha konservasi mendatang seharusnya menjadikan area-area lindung tersebut sebagai sasaran konservasi. Pengelolaan area lindung seharusnya melibatkan para pihak local dari pemerintah dan perwakilan komunitas pulau tersebut. Perdagangan satwa liar adalah ancaman utama Eos histrio dan penegakan

Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Burung betina Talaud berbulu rimbun
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Agricultural encroachment
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Kingfisher itu di Indonesia apaan ya
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Burung dara abu-abu
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Burung dara berekor biru.
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Kakaktua yang warna bulu dbawah lehernya biru
Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Introduced rats
Page 2: Marzi An

status spesies terlindungi yang ketat yang seharusnya mengikutkan pemantauan titik-titik sarang burung, patroli pelabuhan dan pasar di Talaud, Sulawesi dan Filipina, dan kontrol terhadap kapal-kapal penangkap ikan yang berperan dalam perdagangan burung. Penelitian lanjutan tentang spesies-spesies tersebut dan pemantauan juga dibutuhkan.

Pendahuluan

Pulau Karakelang merupakan pulau terbesar di Talaud. Pulau-pulau di Talaud terdapat pada batas paling utara Garis Wallacea dan memiliki depauperate avivauna lacking many species yang ditemukan di Sulawesi (White and Bruce 1986). Meskipun tiga spesies adalah endemik Talaud dan spesies keempat, Red-and-blue Lory (Eos histrio), merupakan endemik Talaud dan Pulau Sangihe sebelah selatan. Lima spesies jangkauan terbatas (ICBP 1982) dan tujuh spesies terancam atau hampir terancam (BirdLife International 2001) telah direkam, termasuk spesies endemik yang dideskripsikan akhir-akhir ini yaitu Talaud Bush-hen (Amaurornis magnirostris) dan Talaud rail (Gymnocrex talaudensis) (Lambert 1998a,b) (table 1). Pulau Talaud, bersama dengan Pulau Sangihe, telah diklasifikasikan sebagai satu dari 24 area burung endemik dan kemudian merupakan area prioritas untuk konservasi keanekaragaman burung global (Stattersfield et al. 1998).

Penelitian-penelitian spesies endemik sebelumnya dibatasi atau dilakukan pada kepadatan yang lebih tinggi pada hutan primer di Karakelang (Riley 1997, Lambert 1999). Namun, operasi usaha pembalakan kayu komersial, tebang habis hutan untuk membuka lahan pertanian dan kebakaran hutan telah mengurangi area hutan primer di pulau tersebut (Riley 1997, Wardill et al 1997). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeterminasikan jika ada spesies jangkauan terbatas atau terancam yang terdapat di hutan primer daripada habitat-habita sekunder. Penelitian juga bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan secara ekologi dan distribusi spesies tersebut, memimpin sebuah penaksiran detail terhadap status spesies tersebut saat ini termasuk ukuran populasi dan ancaman yang dihadapi oleh mereka. Selain itu, data yang dihasilkan akan digunakan sebagai baseline pada pengembangan strategi konservasi dan pematauan di Karakelang mendatang.

Karakelang adalah pulau terakhir yang tersisa di Talaud dengan jumlah hutan primer diperkirakan 35% dari seluruh area (BPS 1999). Kehilangan hutan yang sangat buruk dan intesif terjadi pada pulau-pulau utama lain di kepulauan tersebut-Salibabu (95 km2) dan kabaruan (115 km2)-dan hanya sedikit hutan tersisa (Riley 1997, BPS 1999).

Deskripsi Tempat Penelitian

Karakelang memiliki panjang 60 km dan lebar 7-23 km (BPS 1999) (gambar 2). Pulau Talaud merupakan bukan gugusan gunung api dan Karakelang tersusun atas batuan pasir utama berupa formasi Awit yang terdapat barisan koral berkapur yang

Page 3: Marzi An

terangkat sepanjang pantai dan menyebabkan dataran yang luas di tengah. Topografi rendah tetapi dengan lembah-lembah curam dan ujung yang tajam, khususnya di daerah utara. Puncak tertinggi adalah Gunung Biala (608 m) di tengah-tengah pulau, di selatan adalah Gunung Berawang (480 m), di selatan adalah Pegunungan Aruwung (448 m) dan Piapi (521 m) (Riley, 1997).

Hutan hujan tropis dataran rendah primer menutupi mayoritas daerah utara dan sebagian selatan pulau. Spesies pohon yang umum ditemui adalah Campnosperma sp., Villebrunea rubescens, Couthovia celebica, Arthrophyllum diversifolium, Canarium spp., Cleistanthus myrianthus, Parkia javanica, Eugenia spp., Leukosyke capitellata, Terminalia sp. and Saurauia spp. Canopy trees (tinggi pohon mencapai 45 m di tempat tersebut) termasuk Ficus procera, Ficus variegata, Artocarpus spp., Bischofia javanica, Dracontomelon dao, Eugenia spp., Horsfieldia glabra, Palaquium sp., and Pterospermum celebicum (Holthius and Lam 1942, pers. obs.). understorey terdapat palem rotan (Calamus spp) dan semak-semak (Leea spp), sedangkan palem (Areca sp) umum secara local (Holthius and Lam 1942, Riley 1997). Bantaran sungai dikategorisasi oleh Pometia pinnata, Albizia saponaria, Macaranga spp. dan Elaeocarpus dolichostylus dengan semak-semak (Pipturus argenteus, Leea spp., Piper sp. Dan Zingiberaceae) (Holthius and Lam 1942, pers. Obs).

Komunitas vegetasi yang berbeda dapat ditemukan pada Gunung Piapi. Pohon perawakan tajam dan pertumbuhan lambat (kanopi<10 m), dan terdapat lapisan tanah miskin, kecuali pada kecuraman rendah dan mengakibatkan kemiringan yang berair. Pohon tipikal termasuk Pandanus sp., Barringtonia sp., Euphorbiaceae dan Guttiferae (Holthius and lam 1942, Procor et al 1994). Pertanian mendominasi pada sabuk pesisir (hingga lebar 5 km) dan dataran luas ditengah hingga ketinggian 150 m, diantara kota Beo dan Rainis. Kebanyakan lahan pertanian adalah pada kemiringan rendah, dengan system drainase yang kurang baik, menyebabkan banyak area dilanda banjir musiman. Hasil pertanian diusahakan pada perkebunan-perkebunan campuran kecil dengan pertumbuhan sekunder, area hutan terisolasi dan pohon yang tesisa. Hasil pertanian merupakan tipikal kelapa, pala dan lada yang dilakukan dengan lading berpindah , tomat dan cabai. Ladang berpindah ditemukan sekitar 7 km ditengah dimana meraka meninggalkan bekas ditengah hutan primer.

Pertumbuhan sekunder telah didirikan pada lahan pertanian yang ditinggalkan ditemukan ditengah membelah pulau. Struktur habitat ini (termasuk ukuran pohon, tinggi kanopi, kepadatan, dan tanaman rambat dan liana adalah bervariasi, tergantung pada umur pertumbuhan sekunder dan tanah. Karakteristik pohon, termasuk include Melanolepis multiglandulosa, Mallotus ricinoides, Albizia saponaria, Geunsia pentandra, Macaranga hispida, M. tanarius, Buchanania arborescens dan Homolanthus sp.

Intan Kurniatiningsih, 04/10/13,
Understorey
Page 4: Marzi An

Habitat ini terkadang didominasi sangat padat oleh semak dan jahe, beberapa pohon tinggi, banyak liana dan tanaman rambat dan termasuk area dari rumput Imperata cylindrical (Holthius and Lam 1942, pers.obs). area pohon hutan yang tersisa ditemukan pada kemiringan atau dataran berbatu pada area yang ditebang habis untuk pertanian. Kebanyakan area tersebut kecil, diperkirakan < 1 km, dan beberapa area tersebut dilindungi oleh kepercayaan setempat dari gangguan (contoh: pada Desa Amat didekat Tuabatu). Titik-titik operasi pembalakan komersial disekitar Sungai Essang dan Lalue (Wardill et al. 1997) tidak dikunjungi pada 1999 dan akibatnya pada hutan adalah belum diobservasi.

Suaka Margasatwa Karakelang Utara dan Selatan yang menutupi 246,7 km2

didirikan pada tahun 2000, secara khusus untuk melindungi populasi burung endemic (Peraturan Kementerian Kehutanan, 2000). Kedua kawasan lindung tersebut telah dibentuk pada tahun 1979 sebagai Taman Buru karena hutan terdapat babi, sapi dan kerbau yang diburu masyarakat lokal untuk makanan, meskipun sapi dan kerbau saat ini kemungkinan langka (Wardill et al. 1997). Lima puluh dua kilometer persegi selatan kawasan dipusatkan pada Pegunungan Aruwung, 195 km2 utara merupakan Gunung Biala. Selain itu, empat hutan lindung dengan total 98 km2 telah dideklarasikan di timur dan selatan pulau, bergabung dengan suaka margasatwa (Riley, 1997).

Data perbandingan klimatik terbaru dating dari Pulau Sangihe. Disini terdapat rata-rata suhu 25-28⁰C dengan sedikit variasi musim, dan rata-rata hujan tahunan adalah 2.928 mm per tahun, dengan perbedaan musim penghujan yaitu pada Oktober-Januari, dan kkelembaban relative rata-rata adalah 85 % (BPS 1994). Data terdahulu dari Beo (1931-1941) mengindikasikan iklim yang sama; rata-rata hujan tahunan 2.109 mm dengan musim kemarau dari July-September (PPA 1980).

Metode

Karya tulis ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan diantara 8 Maret dan 30 Juni 1999 dengan bantuan dan dukungan dari Sampiri Aksi, Proyek Konservasi Talaud dan Sangihe yang terdiri dari empat staf anggota dari Inggris dan total 15 mahasiswa dan lulusan Universitas Sam Ratulangi, Manado. LIPI mensponsori semua tiga proyek. Lokasi survey yang didatangi telah ditunjukkan dalam gambar 2 dan detail lainnya diberikan pada tabel 2.

Sensus BurungMetode pengambilan data lapangan didasarkan pada metode yang digunakan selama penelitian kepadatan populasi burung di Pulau Sangihe tahun 1998-1999 (Riley 2002). Total 223 stasiun sensus didirikan di hutan primer dan 211 stasiun sensus di habitat sekunder; semua stasiun sensus disurvey satu kali. Survey dilakukan 40 hari antara 22 Maret dan Juni 1999, antara pukul 5.15 hingga 10.30,

Page 5: Marzi An

waktu puncak aktivitas burung. Survey tidak dilakukan dalam kondisi cuaca yang negatif dan tidak mendukung seperti hujan, awan rendah atau angin yang kuat.

Stasiun disurvey selama 10 menit oleh dua pengamat. Dalam usaha untuk mengurangi bias dari pengamat yang berbeda, empat pekerja lapangan terlatih bertanggung jawab untuk mengumpulakan data sensus burung (J.R., I. Hunowu, Y. Hunowu and J. Mole).

Semua pengamat telah melakukan survey VCP selama enam bulan di Pulau Sangihe sebelum survey ini dilakukan dan semua pengamat ikut berperan dalam survey burung di Karakelang. Berpasang-pasang alat perekam acak digunakan untuk survey harian. Sebelum survey sistematik dimulai, delapan hari dihabiskan untuk pelatihan dan pada akhir periode spesies akan diidentifikasi secara benar dari penglihatan dan isyarat pendengaran. Pelatihan diperkuat dengan pemeriksaan ulang rutin pada akurasi perkiraan jarak.

Observasi Tambahan

Lebih jauh data dalam penelitian ini termasuk catatan distribusi, ancaman-ancaman, lokasi makan yang lebih dipilih, area sarang dan tingkah laku kelompok, dikumpulkan menggunakan metode kualitatif selama periode survey.

Perkiraan Kepadatan Dan Populasi

Informas yang cukup tentang kepadatan dan ukuran populasi semua spesies didapatkan dari perkiraan menggunakan computer program DISTANCE versi 3.5 (Thomas et al. 1998). Buckland et al (1993) memberikan sebuah komprehensif penjelasan mengenai metode ini.

Burung-Burung Jangkauan Terbatas di Karakelang

Data jarak dikelompokkan selama analisis untuk mitigasi masalah penumpukan data (Buckland et al. 1993). Untuk mayoritas spesies antara 5% dan 25% dari catatan jarak burung terbanyak dipotong. Pita jarak yang digunakan dan presentase catatan sebenarnya dipotong berbeda antar spesies. Setiap kasus, data dimanipulasi untuk meminimalkan Kriteria Informasi Akaike (AIC) untuk setiap model (Buckland et al. 1993).

Kelompok-kelompok dimasukkan kedalam kluster pada semua spesies. Ukuran kelompok kluster burung hanya didengarkan dan tidak dapat dihitung secara akurat diasumsikan sama dengan ukuran kelompok rerata spesies yang diamati tersebut selama penghitungan titik pada habitat itu (after Lambert 1993, Marsden et al. 1997).

Page 6: Marzi An

Secara umum, untuk spesies tercatat, catatan burung dientri kedalam DISTANCE pada dua kategori habitat: hutan primer dan habitat sekunder. Untuk menghitung perkiraan kepadatan dengan cermat digunakan DISTANCE, lebih dari 100 pengamatan dibutuhkan untuk memodelkan satu fungsi penemuan spesies secara akurat (Buckland et al. 1993). Dimana ukuran sampel yang didapatkan selama survey tidak cukup lebar untuk melakukan ini, fungsi penemuan spesies kemudian didapatkan dan digunakan untuk menghitung perkiraan kepadatan pada setiap habitat.

Untuk menghitung perkiraan total populasi, total area habitat yang tersedia untuk spesies dikalikan dengan perkiraan kepadatan spesies individu. Dalam ketidakhadiran gambar satelit atau peta terkini, area hutan primer di Karakelang pada tahun 1999 diambil untuk area hutan lindung, atau sekitar 350 km2. Total area Karakelang diambil 950 km2 tidak termasuk pulau-pulau kecil dan sangat kecil dekat dengan pulau utama, kemudian data disebutkan pada laporan spesies. Hal ini memungkinkan terjadinya ketidakakuratan dan perkiraan yang berlebihan pada spsies jangkauan terbatas. Ketidakhadiran data tutupan lahan dan perkiraan area hutan primer pulau ini mengartikan bahwa perkiraan total populasi seharusnya dilihat hanya sebagai indikasi besarnya populasi di Karakelang. Namun, gambar digunakan ketika penaksiran status konservasi spesies tersebut.

Taksonomi dan nama Inggris mengikuti Coates dan Bishop (1987). Dua nama saat ini endemik, Talaud Bush-hen dan Talaud Rail, diketahui mengikuti Lambert (1988a,b). dua spesies hampir terancam, Malaysian Plover dan Far Eastern Curlew ditemukan hanya di sepanjang habitat pantai di Karakelang atau merupakan migran dan tidak dipertimbangkan dalam tulisan ini.

Pencatatan Habitat

Habitat disekeliling stasiun sensus diklasifikasikan secara subjektif menggunakan struktur vegetasi, tinggat gangguan manusia dan karakteristik komposisi spesies kedalam dua kategori: hutan primer dan habitat sekunder. Hutan primer diklasifikasikan sebagai hutan denga kanopi tertutup dan gangguan manusia tingkat rendah tidak ada penebangan kayu dan rotan, tidak ada tebang habis untuk pertanian). Stasiun sensus mengklasifikasikan hutan primer adalah selalu lebih dari 100 meter dari habitat terganggu seperti lading berpindah atau pertumbuhan sekunder. Tidak ada usaha yang dibuat untuk membedakan antara tingkat gangguan habitat yang berbeda pada hutan (pengumpulan rotan, pengambilan kayu).

Habitat sekunder digunakan untuk mengelompokka stasiun yang tidak berlokasi di hutan primer. Klasifikasi habitat heterogen ini termasuk perkebunan, pertumbuhan sekunder dan lahan bekas hutan; semua habitat yang dihasilkan oleh aktivitas antropogenik.

Page 7: Marzi An

Hasil

Tujuh dari delapan sasaran spesies tercatat selama waktu penghitungan titik di hutan primer dan enam spesies juga terdapat di habitat sekunder. Satu spesies, Nicobar Pigeon (Caloenas nicobarica) tidak terekam selama pengambilan data lapangan. Ukuran sampel untuk G. talaudensis dan D. pickeringii sangat kecil untuk perkiraan kepadatan populasi untuk dihitung secara memuaskan dan nilai keberadaan sederhana. Itu menunjukkan angka rata-rata keberadaan spesies pada stasiun sensus di hutan primer atau habitat sekunder (Tabel 3). Ukuran sampel cukup lebar untuk perkiraan kepadatan populasi untuk menghitung spesies yang tersisa. Ukuran sampel terkecil adalah 37 catatan (untuk spesies A. mangirostris) dan yang terlebar adalah 491 catatan untuk D. concinna (tabel 3 dan 4).

Standar error untuk rerata presentase kepadatan bervariasi antara 6.7% dan 35.3% pada hutan primer dan antara 24% dan 36% pada habitat sekunder. Varian pada hutan primer kurang dari 25% untuk semua spesies kecuali A. magnirostris, digunakan gambar dari Buckland et al (1993) dan Marsden et al. (1997) untuk menaksir ketegapan taksiran kepadatan. Penaksiran kurang tegap pada habitat sekunder, merefleksikan ukuran sampel yang lebih kecil.