masa depan komik indonesia sebagai medium visual as kultural
TRANSCRIPT
HILANGNYA INDENTITAS KULTURAL DALAM PERKEMBANGAN KOMIK LOKAL INDONESIA
Nanda GiftaninaMahasiswa Jurusan Penciptaan Seni Minat Utama Desain Komunikasi Visual
Program Pasca Sarjana – Institut Seni Indonesia
ABSTRAK
Sebagai salah satu medium visual komik memiliki keunikan tersendiri dalam memperlakukan gambar dibandingkan medium lainnya seperti lukisan atau film. Dibanding lukisan, keunikan komik terletak pada karakter seni sekuensialnya. Dibanding film, keunikan komik terletak pada permberdayaan still life-nya. Segala keunikan komik ini membuat komik menyimpan banyak sekali potensi dalam kancah visual cultureI yang ruah ini. Sayangnya di Indonesia, komik lokal masih menjadi medium visual yang dilecehkan, dipandang sebelah mata, bahkan masih banyak pula yang memusuhinya. Perkembangan komik di indonesia telah melalui masa pasang surut yang cukup ekstrim, hingga pada masa sekarang komik indonesia sampai pada posisi ’tak diperhatikan siapapun’ dan tenggelam diantara gempuran komik-komik Jepang dan Amerika. Tulisan ini disusun sebagai usaha untuk mencari lubang-lubang yang menyebabkan komik indonesia terperosok hingga berada di posisinya sekarang ini.
Kata kunci : komik, komik indonesia, identitas kultural, seni visual.
ABSTRACT
Comic as one of visual medium has unique characteristics in treating images than other mediums such as painting or film. Compared to painting, comics uniqueness lies in the character of the sequential art. Compared to movies, comics uniqueness lies in the empowerment of his still life. All these uniqueness made comic to become a visual medium that save a lot of potentials in the visual culture field. Unfortunately, in Indonesia, local comics is still known as a visual medium that’s been ridiculed, underestimated, and sometimes called as something unuseful kind of art. Looking through it’s history, Indonesian comics has been through a period of fairly extreme tides, until it comes to it’s very dark ages and end up in the position of ‘invisible’ to anybody and sink between the attack of Japanese and American comics. These Journal is written as an attempt to find the holes that caused the comic Indonesia to fall to it’s very low position today.
Keyword: Comic, Indonesian Comic, Cultural Identity, Visual Arts.
1
Pendahuluan
Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak
bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Biasanya,
komik dicetak di atas kertas dan dilengkapi dengan teks. Komik dapat diterbitkan dalam
berbagai bentuk, mulai dari strip dalam koran, dimuat dalam majalah, hingga
berbentuk buku tersendiri.
Di tahun 1996, Will Eisner menerbitkan buku Graphic Storytelling, dimana ia
mendefinisikan komik sebagai "tatanan gambar dan balon kata yang berurutan, dalam
sebuah buku komik." Sebelumnya, di tahun 1986, dalam buku Comics and Sequential
Art, Eisner mendefinisikan teknis dan struktur komik sebagai sequential art, "susunan
gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide".
Dalam buku Understanding Comics (1993) Scott McCloud mendefinisikan seni
sequensial dan komik sebagai "juxtaposed pictorial and other images in deliberate
sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the
viewer".
Komik walau mungkin tak diakui, ada dimana-mana. Komiklah yang menjadi
jembatan seni tinggi dan seni rendah. Bagaimanapun ternyata komik sangat
mempengaruhi gaya hidup kita. Mulai dari iklan hingga film, ternyata juga sangat
dipengaruhi oleh cara pandang dan cara bertutur komik. Idiom-idiom yang kita gunakan
dalam berkomunikasipun sering kali terinspirasi, mengambil, meminjam dan
memanfaatkan perbendaharaan idiom dari dunia komik.
Pada kenyataannya, walaupun peranan komik cukup berarti, keberadaannya
sebagai suatu medium seni visual di Indonesia belum mendapat pengakuan yang layak.
Komik masih terkadang masih dianggap sebagai bagian dari ”seni rendahan” (low brow)
atau bahkan tidak dianggap sebagai medium seni sama sekali. Komik Indonesia sempat
mengalami masa kejayaan dan menjadi bagian dari tradisi masyarakat pada tahun 1950-
1970an, namun kejayaan itu begitu cepat terkikis dan posisinya sedikit-demi sedikit
tergeserkan oleh komik-komik Jepang dan Amerika. Walaupun komik indonesia masih
tetap hidup dalam keterpincangannya, ada suatu perasaan yang mengatakan bahwa
sentuhan artistik yang khas dari komik indonesia belum kembali. Identitas kultural yang
bisa kita lihat dengan jelas di komik-komik klasik Indonesia sudah hilang dan tergantikan
2
dengan identitas kultural manga dari Jepang atau Marvel dari Amerika. Bagaimanakah
identitas kultural itu bisa hilang dan apakah pentingnya identitas kultural dalam
membangkitkan geliat dunia komik lokal di Indonesia? Hal inilah yang akan menjadi
bahan pembahasan dalam tulisan ini.
Komik Indonesia dari Masa ke Masa
1. Generasi 1930an
Merujuk kepada Boneff maka komik Indonesia pada awal kelahirannya dapat di
bagi menjadi dua kategori besar, yaitu komik strip dan buku komik. Kehadiran komik-
komik di Indonesia pada tahun 1930an dapat ditemukan pada media Belanda seperti De
Java Bode dan D’orient dimana terdapat komik-komik seperti Flippie Flink and Flash
Gordon. Put On, seorang peranakan Tionghoa adalah karakter komik Indonesia pertama
karya Kho Wan Gie yang terbit rutin di surat kabar Sin Po. Put On menginspirasi banyak
komik strip lainnya sejak tahun 30an sampai 60-an seperti pada Majalah Star (1939-
1942) yang kemudian berubah menjadi Star Weekly. Sementara itu di Solo, Nasroen A.S.
membuahkan karya komik stripnya yang berjudul “Mentjari Poetri Hidjaoe” melalui
mingguan Ratu Timur. Di awal tahun 1950-an, salah satu pionir komik bernama
Abdulsalam menerbitkan komik strip heroiknya di harian Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang
agresi militer Belanda ke atas kota Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh
harian “Pikiran Rakyat” dari Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa
inilah buku komik pertama-tama oleh artis komik Indonesia.
2. Generasi 1940-1950an
Sekitar akhir tahun 1940an, banyak komik-komik dari Amerika yang disisipkan
sebagai suplemen mingguan surat kabar. Diantaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip
Kirby, Phantom dan Johnny Hazard. Kemudian penerbit seperti Gapura dan Keng po
dari Jakarta, dan Perfects dari Malang, mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik.
Ditengah-tengah membanjirnya komik-komik asing, hadir Siaw Tik Kwei, salah seorang
3
Dalam Sri Asih vs Komplotan Kawa-kawa , gambar oleh R.A. Kosasih,
diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Asih
komikus terdepan, yang memiliki teknik dan ketrampilan tinggi dalam menggambar
mendapatkan kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan
Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di kalangan
pembaca lokal. Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya
mentransformasikan beberapa karakter pahlawan super itu ke dalam selera lokal. R.A.
Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai karirnya
dengan mengadaptasi Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama Sri Asih.
Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh komikus lainnya,
diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih dan Kapten Comet, yang
mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan Flash Gordon.
3. Generasi 1960-1970an
Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan
kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi
dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali
kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita
yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan
komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal
4
keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik.
Sementara itu dari Sumatra, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus
berketrampilan tinggi seperto Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang
menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah penerbitan
Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat Sumatra yang
kemudian menjadi tema komik yang sangat digemari dari tahun 1960an hingga 1970an.
Kaver komik Seri Mahabharata karya R.A. Kosasih,
diambil dari bloggerian.or.id
Banyak dipengaruhi komik-komik dengan gaya Amerika, Eropa, dan Tiongkok.
Sebagian besar memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa
karya seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil
dalam bentuk buku. Tema yang banyak muncul adalah pewayangan, superhero, dan
humor-kritik.
4. Generasi 1990-2000an
Ditandai oleh dimulainya kebebasan informasi lewat internet dan kemerdekaan
penerbitan, komikus mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi gayanya masing-
masing dengan mengacu kepada banyak karya luar negeri yang lebih mudah diakses.
5
Selain itu, beberapa judul komik yang sebelumnya mengalami kesulitan untuk
menembus pasar dalam negeri, juga mendapat tempat dengan maraknya penerbit komik
bajakan.
Selain itu beberapa penerbit besar mulai aktif memberikan kesempatan
kepada komikus muda untuk mengubah image komik Indonesia yang selama ini terkesan
terlalu serius menjadi lebih segar dan muda.
Ada dua aliran utama yang mendominasi komik modern Indonesia,
yaitu Amerika (lebih dikenal dengan comics) dan Jepang (dengan stereotype manga).
Aliran Amerika
Komikus yang memilih style ini kebanyakan memang mereferensikan karya mereka pada
komikus-komikus Amerika. Sebagian dari mereka bahkan ada yang bekerja untuk
produksi komik Amerika. Beberapa komikus yang bisa dikatakan beraliran gaya Amerika
antara lain
Donny Kurniawan
Alfa Roby
Aliran Jepang
Komikus yang menggunakan aliran ini sangat diuntungkan dengan berkembangnya
komunitas di Internet. Beberapa situs seperti julliedillon.net, howtodrawmanga.com, dan
mangauniversity memuat banyak informasi pembuatan manga. Hal ini juga membuat ciri
utama komikus Indonesia dengan aliran gambar Jepang, yaitu kebanyakan nama
pengarangnya disamarkan dengan nickname masing-masing di dunia maya.
Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan sulitnya mengetahui jumlah tepatnya
komikus lokal. Beberapa pengarang komik yang aktif mengeluarkan karya dengan gaya
ini adalah:
Anthony Ann dengan nama samaran lainnya: Sentimental Amethyst
Anzu Hizawa
Is Yuniarto dan John G.Reinhart
6
Komik Independen
Diawali dengan semangat untuk melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia,
muncullah komik-komik independen (lokal). Mencoba tampil berbeda, membuat gaya
gambar lebih variatif dan eksperimental. Banyak komikus-komikus indie (independen)
mengandalkan mesin fotokopi untuk penggandaan karya-karya mereka. Sistem distribusi
paling banyak dilakukan di pameran komik, baik dengan jalan jual-beli atau barter
antarkomikus. Tak jarang ada komikus yang menghalalkan karyanya untuk diperbanyak
dan disebarluaskan, dengan motto 'copyleft' (lawan dari copyright atau hak cipta).
Tentunya tidak untuk tujuan komersil.
Kaver dan konten komik The Daging Tumbuh,
diambil dari dgtmb.blogspot.com dan oa.ivaa-online.org
Beberapa studio komik Independen antara lain:
Daging Tumbuh
Bengkel Qomik
Perkembangan Gaya dan hilangnya Identitas Kultural pada Komik Indonesia
Komik sebagai medium visual bernarasi terdiri dari berbagai seni rupa terapan.
Jika disarikan, komik kebanyakan terdiri dari gambar dan kata. Komik sendiri,dalam
keutuhannya, adalah sebuah seni mandiri, tidak dibawah maupun diatas seni murni
seperti yang kita kenal selama ini. Tetapi bisa kita lihat dengan jelas pula, dalam posisi
7
mengaplikasikan unsur-unsur seni rupa terapan, komik banyak mengambil manfaat dari
seni murni.
Manfaat paling langsung yang diambil komik dari seni rupa murni adalah teknik
gambar dan teknik pewarnaan. Berbagai gaya gambar dan lukisan telah diterapkan dalam
proses pembuatan komik. Tradisi gambar realis klasik, yang dikembangkan sejak
Leonardo da Vinci dan penemuan perspektif di era Renaissance, banyak menyumbang
gaya-gaya dalam karya-karya komik baik di Barat maupun di Timur. Beberapa Maestro
Komik Indonesia dengan tradisi gambar klasik bergaya realis yang sangat unggul adalah
Taguan Harjo dan Zam Nuldyn.
Gaya realis-klasik menerapkan dengan sangat berdisiplin tertib anatomi,
perspektif, efek chiaroscuro, komposisi, serta goresan arsir yang mantap. Setiap gambar,
setiap panel komik, dalam gaya ini adalah sebuah lanskap terstruktur dan terobsesi pada
mimesis (meniru alam nyata). Kisah-kisah petualangan dan fantasi amat terbantu dengan
gaya ini. Gambar-gambar yang serba realis itu membantu kita untuk menunda
ketidakpercayaan kita terhadap kisah-kisah yang fantasi tersebut.
Penerapan gaya realis klasik tidak hanya berhenti pada proses penggambaran saja
namun juga berkembang pada proses pewarnaan yaitu dengan penerapan seni cat bergaya
realis klasik. Komikus Indonesia hingga era 1980-an rata-rata terbiasa melukis sampul
untuk komik mereka. Sampul lukisan ini jelas lebih maju ketimbang standar four color
industri komik Amerika. Selama beberapa dekade industri komik Amerika menggunakan
teknik blok warna four color tersebut yang kemudian justru menghambat penerbitan
komik dengan teknik lukisan di Amerika. Baru pada akhir dekade 1970-an, beberapa
komikus Amerika mulai bereksperimen dengan teknik lukisan.
Di Indonesia sendiri, kecenderungan para komikus untuk menggunakan teknik
lukis pada kaver komiknya menyebabkan komik Indonesia cukup akrab dengan seni cat.
Misalnya Ganes TH. Membuat sampul komiknya seperti seri ’Si Buta Dari Goa Hantu’
dan ’Si Jampang’ dengan teknik lukis. Hal ini kemudian menjadi suatu pakem bagi
komik Indonesia sejak awal hingga akhir 1980-an. Saking akrabnya dengan teknik lukis,
muncul pula komik yang keseluruhan isinya dibuat dengan teknik lukis, misalnya ’Si
Buta Kontra Si Buta (1978). Walau Ganes disini masih bertumpu pada teknik gambar,
teknik warnanya memakai seni cat.
8
Kaver komik seri Si Buta dari Goa Hantu, diambil dari dokumetasi pribadi
Dalam sejarah perkembangannya, komik Indonesia juga mengenal ’Aliran
Medan’ yang merupakan gaya yang istimewa, perkawinan antara seni lukis dan seni
komik. Salah satu tokohnya adalah Zam Nuldyn. Di samping ketrampilannya dalam
menoreh garis arsir, Nuldyn memiliki ”keisengan” yang mengesankan penyelonongan
aneka gaya aliran lukisan modern ke dalam panel-panel komiknya. Misalnya, dalam
komik ’Merak Djingga’, Nuldyn dengan nakal memasukkan bentuk-bentuk yang
biasanya kita kenali dalam lukisan dan patung-patung abstrak. Di luar itu, Nuldyn juga
gemar sekali memberdayakan teknik lukisan dekoratif.
Pada era-era awal perkembangan komik hingga akhir 1980-an, Secara fisiknya,
penampilan komik Indonesia mencirikan wajah-wajah orang Indonesia sendiri, dari figur
wajah sampai kontur tubuh. Didukung dengan teknik lukis klasik realis yang tadi telah
dijabarkan, secara keseluruhan gambar komik Indonesia merupakan representasi visual
(visual representation) dari alam pikir orang Indonesia, karena itu idiom-idiom visual
dalam komik Indonesia menampilkan bahasa visual-nya yang merujuk kepada alam,
lingkungan dan masyarakat dimana komik Indonesia itu dilahirkan.
Kalaupun komik itu mengambil cerita dari segala penjuru dunia, misalnya dari
dongeng seribu satu malam hingga hikayat beowulf dan grendel, atau bersetting cerita di
luar negeri, di alam khayal antah berantah, tetap saja identitas kultural komik Indonesia
dapat diwujudkan dalam gambar visualnya. Cara seorang komikus Indonesia melukiskan
9
dan menginterpretasi atau menafsirkan kembali cerita dari luar negeri, setting negeri
antah berantah, adalah yang membedakannya dari komikus-komikus negeri lain.
Kemampuannya berpikir, menganalisa, mengkritisi dan mensintesa cerita dan setting dari
luar negeri itu menjadi komik Indonesia itulah yang menjadikannya sebagai komik yang
beridentitas kultural ‘Indonesia’.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika komik-komik terbitan Jepang dan
Amerika mulai membombardir dunia komik lokal pada era 1990-an, munculah komik-
komik dengan aliran underground. Berkembangnya gaya dan aliran komik underground
yang mengacu pada estetika gerakan Punk, ”Do It Yourself” (DIY), dibuat, diterbitkan
dan didistribusikan secara independen. Estetika ini antara lain, mensahkan siapa saja
untuk membuat komik, tidak ada pakem atau gaya tertentu yang harus dianut, muncul
juga jargon-jargon yang mengklaim bahwa membuat komik tidaklah sulit, gampang dan
bebas menggunakan gaya apa saja termasuk menyadur gaya manga dan gaya komik
Amerika. Di tangan-tangan mereka yang kreatif, aliran ini mampu memberikan gaya-
gaya penggambaran komik yang cukup kreatif dan segar seperti karya-karya komikus
asal Yogyakarta yang mengutamakan estetika ’suka-suka’. Para komikus itu misalnya
Eko Nugroho dan Bambang Toko, banyak mengambil gaya dari aliran Pop Art Pasca
Warhol yang memiliki kemungkinan cetak grafis menggunakan teknik fotokopi.
Eklektisme ideologi D.I.Y ini juga menandai sebuah pergeseran penting dalam
seni komik Indonesia, yang pertama bergesernya tekanan pada ketrampilan teknis
menjadi tekanan pada ide kemudian yang kedua hilangnya ciri khas identitas kultural
yang biasanya terdapat dalam komik-komik Indonesia klasik yang digantikan dengan
berbagai representasi visual yang tidak terbatas karena setiap komikus bebas memilih
gaya yang digunakannya dalam membuat komik.
Seperti layaknya sebuah mata uang, perkembangan komik Indonesia hingga
sampai pada posisinya yang sekarang ini memiliki sisi positif dan negatif. Ada sisi yang
bisa dirayakan namun ada pula sisi yang harus ditangisi. Sisi positifnya mungkin terletak
pada kebebasan dan keabsahan setiap orang untuk membuat komik dengan kreatifitas ide,
teknik, dan penggambaran yang bebas-sebebasnya tanpa ada pakem yang mengikat.
Banyak eksplorasi visual yang bisa dilakukan karena komik adalah ’medium visual yang
merdeka’. Sedangkan sisi negatifnya yang sering tidak kita sadari adalah hilangnya
10
konsistensi identitas kultural yang terdapat pada karya-karya komik Indonesia. Bukanlah
tidak mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya kejayaan dunia komik lokal
di Indonesia, karena tidak adanya konsistensi identitas kultural. Jika kita meninjau gaya-
gaya dan aliran komik yang tampaknya sedang sangat berjaya seperti manga dari Jepang
misalnya, satu hal yang dapat kita temukan pertama kali adalah konsistensi gaya grafis
dan penggambaran karakternya yang kemudian menjadi identitas yang menggambarkan
realitas masyarakat dan tempat komik itu dilahirkan. Mulai dari wajah yang dibentuk
imut-imut, rambut lurus, serta mata yang dibuat agak lebar, kesemuanya menjadi pakem
yang hampir digunakan oleh semua komikus Jepang dalam membuat komiknya. Identitas
kultural ini pun kemudian diperkenalkan kepada dunia komik internasional dan
dipertahankan hingga mencapai puncak kedudukannya seperti sekarang. Begitu pula
dengan gaya komik Amerika yang cenderung realis heroik atau gaya komik Eropa yang
kartunis, entah sengaja atau tidak, konsistensi gaya dan teknik yang digunakan
menjadikan komik-komik tersebut memiliki identitas kultural dan memiliki posisi yang
kuat di benak para pemerhati komik.
Mengembalikan Kejayaan Tradisi Komik Indonesia
Dalam tradisi-tradisi komik yang kuat (tradisi komik Amerika, Eropa Barat, dan
Jepang), komik selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat
mereka. Sebenarnya komik Indonesia pun pernah mengalami hal ini, tapi kini tidak
lagi.Mengapa begitu?
Kita mulai dengan membahas sedikit tentang tradisi komik Amerika. Jika kita
perhatikan, baik ketika komik menempati posisi terhomat sebagai medium seni yang khas
maupun saat ia terpuruk ke dalam posisi seni rendahan dan dianggap merusak, komik
selalu ikut serta dalam dinamika budaya masyarakat Amerika. Lahirnya komik Yellow
Kid karya Richard Fellon Outcault, mengejutkan sekaligus memikat karena mengandung
pesan-pesan dan komentar-komentar sosial yang tajam. Sejak komik ini diterbitkan,
industri penerbitan koran mengalami era baru yaitu era cetakan berwarna.
Dalam evolusinya, tradisi komik amerika senantiasa mengiringi dinamika sosial-
budaya Amerika. Mulai dari karya komik Jazz Age seperti Little Nemo hingga lahirnya
Superman dan superhero-superhero lainnya saat Perang Dunia II berkecamuk yang
11
kemudian diteruskan dengan munculnya komik-komik science fiction sebagai salah satu
penolakan kaum hippie terhadap kekerasan yang banyak terdapat di komik superhero.
Komik-komik Amerika memang lahir dan diciptakan berdasarkan fenomena-fenomena
dan realitas kultural yang terjadi di Negara Tersebut. Perkembangan gaya grafis dan
teknik yang digunakan untuk penggambarannya pun tidak pernah melepaskan Identitas
kultural dan ciri khas fisik Amerika yang akhirnya membuat dunia mengenal dan
menyebutnya sebagai komik Amerika.
Contoh kuat tradisi komik lainnya adalah Jepang. Manga dan Anime telah
menjadi bagian penting J-Pop yang laris di seluruh dunia. Dua cabang penting J-Pop yang
saling berkait ini lahir dari gebrakan visioner Osamu Tezuka. Pada tahun 1950-an,
Tezuka menciptakan Astro Boy. Sejak itu, modus komik yang berkait dengan anime
menjadi modus lazim di Jepang. Selain menciptakan tren manga dan anime, Astro boy
juga memunculkan genre/estetika yang disebut mecha (kependekan dari mechanical)
yang menyebabkan kegandrungan pembaca manga akan robot. Gaya-gaya visual yang
digunakan Tezuka dalam komiknya berhasil menyebabkan wabah yang mempengaruhi
komikus-komikus Jepang dalam membuat karya komik. Hingga hari ini, walaupun gaya
manga telah berkembang menjadi berbagai cabang, namun esensi dasar penggambaran
fisiknya masih tetap sama sehingga identitas kultural yang dikandung pun tetap terjaga
dengan baik.
Pada tahun 1950an hingga akhir 1970-an, komik lokal Indonesia pun sempat
menjadi tradisi dan bagian dari masyarakatnya dengan identitas kultural yang khas dan
tampak jelas di dalamnya. Pada masa itu, walaupun tidak sampai diekspor seperti tradisi
komik Jepang dan Amerika, namun tradisi komik Indonesia sudah cukup kuat. Jika kita
ingin mengembalikan tradisi komik Indonesia ini, kita tidak bisa hanya menggantungkan
harapan pada peran serta masyarakat. Hal inilah yang sering sekali dikeluhkan oleh para
komikus muda Indonesia, tentan rendahnya minat masyarakat pada komik lokal atau
anggapan masyarakat bahwa gaya klasik realis adaalah gaya yang sudah kuno sehingga
tidak banyak lagi komikus muda yang mau bereksplorasi dengan gaya tersebut. Sudah
saatnya para komikus lokal sendiri yang progresif. Banyak cara yang bisa dilakukan,
yang paling mudah adalah menggunakan kembali gaya klasik realis untuk
menggambarkan realitas dan identitas kultural yang ada di Indonesia atau bereksplorasi
12
Komik indonesia dengan gaya komik Amerika,
diambil dari dokumentasi pribadi
dengan gaya-gaya baru yang lebih kreatif yang juga bisa memunculkan identitas
kultural Indonesia dalam komik-komik lokalnya.
Semakin maraknya serbuan komik luar juga menyebabkan komikus muda
Indonesia terjebak pada semacam reduksionisme: komik adalah masalah teknik yang se-
keren mungkin. Komikus-komikus ini kemudian cenderung tidak ambil pusing dengan
tema, cerita atau story telling dalam komiknya namun langsung meloncat ke masalah
teknis tanpa lebih dulu mendalami tema dan cerita.
Sangat bisa dimaklumi ketika seorang komikus yang memiliki kemampuan
menggambar yang tinggi tidak diiringi dengan kemampuan membuat cerita atau story
telling yang baik. Oleh karena itu, janganlah sungkan untuk meminta bantuan pada para
penulis cerita yang memang handal dalam bidang story telling. Begitu banyak komikus
muda Indonesia yang akhirnya hanya menghasilkan komik yang indah dilihat namun tak
menarik untuk dibaca karena lebih banyak mengandalkan unsur how daripada why dalam
membuat komik. Misalnya bagaimana menghasilkan tokoh yang visualnya menarik, atau
bagaimana membuat angle yang ekstrim dan aneh, hingga bagaimana membuat sampul
yang menarik perhatian pembeli. Pada Akhirnya, komikus-komikus muda ini hanya
13
meniru komikus-komikus besar yang menjadi idola atau hot artist yang sedang tren. Dari
titik ini mulailah identitas-identitas kultural yang harusnya ditampilkan menjadi
terlupakan. Hal ini merupakan penyakit yang biasanya menjangkit komikus-komikus
yang mempunyai skill khusus sebagai penggambar. Atau lebih tepatnya menjangkiti
komikus yang lebih mementingkan gambar daripada cerita atau tema.
”Tidak seharusnya buku komik seperti itu!” – Lontaran Scott McCloud ini
berpijak pada kondisi sosiologis yang keliru di masyarakat sehingga eksistensi komik
melulu dianggap sebagai bacaan anak mutu rendahan, sekali baca lalu dibuang. Tapi,
lontaran di atas bolehlah dikatakan sebagai indikasi masih kerdilnya pemahaman
masyarakat terhadap komik. Dalam tulisan saya Komik Tak Pernah Mati (Sinar Harapan,
16 Oktober 2004) telah diuraikan komikus Indonesia rata-rata ”bersembunyi” dalam
profesi lain misalnya animator film iklan, desainer grafis, dan ilustrator buku/majalah
seperti halnya sastrawan yang bekerja sebagai wartawan, copywriter perusahaan
advertising, atau editor sebuah penerbitan notabene masih kurang mengeksplorasi
kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung
senada (kebanyakan manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain,
misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan
bercerita sehingga walau unggul secara visual cenderung gagal secara naratif.
Masalah kurang terbukanya komikus lokal (baca: underground) masa kini dengan
disiplin ilmu lain seperti sastra hingga tak menghasilkan cerita yang memikat disebabkan
juga oleh adanya missing link sejarah komik dengan generasi sekarang. Andy Wijaya,
pencetus situs KomikIndonesia.com yang belum lama ini sedang berupaya menerbitkan
kembali komik klasik Indonesia Gundala dan Si Buta dalam sebuah wawancara melalui
e-mail mengatakan, ”Ini bukan semata kesalahan mereka. Komik-komik klasik Indonesia
sendiri kebanyakan sudah OOP (out of print) alias tidak diterbitkan lagi.”
Missing link alias putusnya sejarah menjadikan perkembangan komik lokal kita
bak kepala tanpa leher. Ia gagal menjadi mata rantai produksi massa namun bergeliat
ditandai dengan tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground di berbagai tempat.
Ia berhasil menjadi indikator kreatif tapi terlepas dari sejarah yang dulu pernah
melahirkannya. Perkembangan komik Indonesia seperti ”sakit” dan ”jalan di tempat”
karena tidak memiliki identitas kultural seperti komik-komik klasik Indonesia terdahulu.
14
Kesimpulan
Ketika kita melihat kembali ke sejarah komik Indonesia yang pernah sempat
menjadi tradisi masyarakat dan berhasil mengusung identitas kultural dalam konten-
kontennya, dan secara tidak terduga dalam perkembangannya komik Indonesia seperti
hilang ditelan bumi, rasa penasaran akan apa yang menyebabkan terjadinya fenomena ini
mulai mengusik di dalam benak. Melalui pengamatan dan riset kecil akhirnya sampailah
kita pada suatu kesimpulan bahwa hilangnya identitas kultural dalam karya komik
Indonesia yang disebabkan oleh pengaruh tren gaya komik Jepang dan Amerika serta
adanya missing link atau putusnya sejarah karena komik-komik klasik Indonesia tidak
lagi dicetak, merupakan beberapa penyebab utama runtuhnya tradisi komik lokal
beridentitas kultural di Indonesia.
Identitas kultural mungkin merupakan unsur kecil yang sering tidak disadari oleh
kebanyakan komikus lokal namun ternyata mempunyai peran penting dalam penciptaan
karya komik dan menjadikan komik tidak hanya dibuang setelah sekali dibaca. Identitas
kultural membuat suatu komik memiliki nilai artistik yang khas dan unik, sehingga
komik bisa menempati posisi sebagai karya suatu karya seni yang sejajar nilainya dengan
seni terapan lainnya bahkan lebih karena komik memiliki nilai koleksi yang mungkin
tidak dimiliki oleh seni terapan lainnya. Identitas kultural juga dapat membawa komik
indonesia menjadi salah satu tradisi komik dunia seperti komik Jepang dan Amerika yang
telah menunjukkan konsistensi identitas kultural dalam komik-komiknya. Hal ini
merupakan kritik sekaligus tantangan bagi para komikus muda Indonesia untuk
mengembalikan identitas kultural dalam komik-komik karya mereka dan tidak hanya
sekedar meniru atau mengikuti gaya komik yang sedang tren di pasaran.
15
Kepustakaan
Darmawan, Hikmat, Dari Gatotkaca Hingga Batman. Yogyakarta, Oracle, 2005.
McCloud, Scout, Understanding Comic. Jakarta .Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
Zpalanzi, Alvanov, Histeria Komikita. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo, 2006.
16