masalah cokgul (1)g.doc
TRANSCRIPT
TUGAS TEKNOLOGI PENGOLAHAN COKLAT DAN KEMBANG GULA
(Industri Coklat)
Disusun oleh:Kelompok 1
Adithio Krisnanda 240210120067Rininta Khairunnisa 240210120069Pasaribu,Sarah Yohana Novianti 240210120082Annisa Nabila 240210120084Hanna Luthfiani 240210120085Olivia Christy 240210120092Agustina Sitindaon 240210120100Elen Wima 240210120102Elda Senia 240210120104Siti Hasanah 240210120105Bina Putri 240210120107Nurul Fitria 240210120108Lusi Rezita 240210120110Andri Laksono 240210120112Rosaria Puspasari 240210120119Gabrielya Veronica 240210120119
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANDEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR2015
Masalah Artikel 1
Artikel 2
Artikel 3
Artikel 4
Pembahasan Masalah
Industri Kakao di Indonesia saat
ini mengalami defisit pasokan kakao,
hal ini menjadi kendala mengingat
kapasitas pengolahan yang semakin
besar. Akibat kurangnya pasokan
kakao dalam negeri, beberapa industry
harus mengimpor biji kakao dari
Ghana. Impor biji kakao tersebut
biasanya mencapai kisaran 25.000 ton
per tahun. Namun, ada kemungkinan
penambahan impor untuk tahun ini,
karena semakin berkurangnya
produktivitas petani kakao. Industri
kakao di Indonesia mengalami
kesulitan pasokan akibat produktivitas
petani kakao yang menurun.
Penurunan tersebut akibat
banyaknya investasi dari pihak asing,
seperti dari Malaysia. Malaysia
berinvestasi agar bias membawa biji
kakao dari Indonesia ke negara
asalnya. Banyak investor asal
Malaysia yang membuat pabrik di
Indonesia, lalu hasilnya dikirim ke
induk perusahaan mereka ataupun
mengekspor ke negara lain. Pihak
asing yang berinvestasi di Indonesia
akan membuat pabrik lalu membuat
berbagai pelatihan dan pendekatan
dengan petani sehingga mendapatkan
bahan baku dan hasilnya akan dikirim
ke daerah asal mereka.
Hal ini juga diakibatkan
peningkatan investor baru dalam
industri pengolahan kakao dan industri
coklat di Indonesia seperti Guanchong
Cocoa dan JB Cocoa (Malaysia)
dengan total kapasitas produksi
180.000 ton, Barry Comextra (Swiss)
dengan kapasitas produksi 60.000 ton,
Cargill Cocoa Holand dengan
kapasitas produksi 65.000 ton, dan
ADM Cocoa (Amerika Serikat).
Alasan lain petani lebih memilih untuk
memasarkan biji kakaonya secara
ekspor daripada untuk memenuhi
kebutuhan nasional adalah kebijakan
bea keluar biji kakao yang kecil sekitar
5% sementara menurut PP No. 31
tahun 2007 jika dijualke industri
pengolahan dalam negeri PPN yang
dikenakan lebih besar yaitu 10%.
Permintaan akan biji kakao
semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya invetasi yang
ditanamkan dalam industry
pengolahan kakao. Hal ini tidak
diimbangi dengan peningkatan
produksi biji kakao. Salah satu
penyebabnya adalah berkurangnya
loyalitas dan kepercayaan para petani
biji kakao untuk menjual biji kakao
yang dihasilkannya kepada para
investor. Hal ini seharusnya dapat
dihindari dengan menjalin hubungan
baik dengan para petani kakao.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani
Kakao Indonesia (Arif Zamroni), perlu
adanya edukasi bagi masyarakat untuk
dapat menghasilkan kualitas biji kakao
yang baik.
Data produksi maupun konsumsi
kakao dunia menunjukkan adanya
kestabilan dalam arti tidak terdapat
fluktuasi kenaikan maupun penurunan
yang menyolok. Indonesia merupakan
penghasil kakao namun dari segi
produktivitas masih rendah.
Tersedianya lahan perkebunan
kakaoyang telah ada seharusnya dapat
memberikan peluang untuk
menghasilkan produksi kakao yang
lebih besar lagi dengan pengelolaan
tanaman yang tepat dan pengolahan
yang tepat sehingga menghasilkan biji
kakao dengan kualitas yang tinggi.
Demikian pula dilihat dari segi
pengolahan, kakao yang dihasilkan
oleh petani tidak diolah secara baik
(difermentasi) tetapi sebagian besar
langsung diekspor dalam bentuk biji
kakao sehingga nilai tambah yang
dihasilkan sedikit.
Indonesia sebenarnya berpotensi
untuk menjadi produsen utama kakao
dunia, apabila berbagai permasalahan
utama yang dihadapi perkebunan
kakao dapat diatasi dan agribisnis
kakao dikembangkan dan dikelola
secara baik. Pengembangan usaha
maupun investasi baru dibidang kakao
dapat dilakukan mulai dari usaha
pertanian primer yang menangani
perkebunan kakao, usaha agribisnis
hulu dalam memenuhi kebutuhan
pertanian kakao seperti peralatan dan
sarana produksi kakao, serta usaha
agribisnis hilir yang memproduksi
hasil olahan biji kakao. Adanya
peningkatan kualitas produksi biji
kakao yang baik akan menurunkan
investasi dari luar negeri sehingga biji
kakao yang dihasilkan oleh petani
local dapat dimanfaatkan dengan baik.
Solusi yang Diberikan
Adapun solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan petani
kakao di Indonesia lebih memilih
untuk mengekspor kakao
dibandingkan menjualnya kepada
industri kakao dalam negeri salah
satunya, yaitu penghapusan Pajak
Pertambahan Nilai terhadap
perdagangan biji kakao yang
ditetapkan Pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan pemerintah Nomor 12 Tahun
2001 tentang Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, diakui mampu
mendongkrak kinerja industri
pengolahan kakao di dalam negeri.
Dengan penerapan PP tersebut,
10 industri pengolahan kakao dari 14
yang ada di Indonesia mampu
berproduksi sesuai dengan kapasitas
terpasangnya. Kapasitas terpasang
rata-rata 14 industri pengolahan
tersebut sebesar 220.000 ton/tahun.
Sebelum Pemerintah menghapuskan
PPN, kinerja produksi industri hanya
mencapai 50 persen (110 ton/tahun),
namun setelah diberlakukan PP No.
7/2007 maka kinerja produksi industri
mencapai 80 persen dari kapasitas.
Peningkatan ini terjadi karena
selama ini para pelaku industri
pengolahan kakao dalam negeri selalu
kesulitan mendapatkan biji kakao dari
petani dimana petani lebih menyukai
untuk mengekspor biji kakao daripada
memenuhi kebutuhan domestik.
Dengan penghapusan PPN tersebut,
industri menjadi lebih mudah
mendapatkan bahan baku.
Penghapusan PPN terhadap
perdagangan biji kakao juga
merupakan insentif bagi eksportir
untuk memilih menjual biji kakao ke
pabrik pengolahan dalam negeri
daripada mengekspor, karena harga
jualnya bersaing dan tidak kalah
dengan pembeli asing. Pembayaran
pembeli dalam negeri juga lebih cepat
sehingga mengurangi masalah. Jika
dijual ke AS misalnya, pembayaran
baru dilakukan dalam waktu dua bulan
kemudian. Sebaliknya di dalam negeri
hanya butuh waktu 1 – 2 hari.
Dalam jangka panjang,
kebijakan penghapusan PPN atas
penyerahan biji kakao ini akan
meningkatkan kapasitas pengolahan
industri kakao nasional mencapai
295.000 ton. Dengan demikian, ekspor
biji kakao hanya sekitar 105.000 ton.
Saat ini terjadi idle capacity karena biji
kakao yang diolah hanya sebanyak
145.000 ton.
Adapun solusi lainnya yang
dapat diberikan yaitu menyediakan
jasa fermentasi biji kakao, baik di
sediakan oleh pemerintah maupun dari
pihak swasta, sehingga para petani
dapat menjual kakaonya kepada
penyedia jasa tersebut karena para
pelaku industri kakao membutuhkan
biji kakao yang bagus dan sudah
terfermentasi.
Petani kakao biasanya tidak
melakukan fermentasi biji kakao
karena dianggap perbedaan harga jual
kakao yang difermentasi dengan harga
jual kakao yang belum difermentasi
tidak terlalu berbeda jauh dan petani
tidak memiliki cukup modal untuk
melakukan fermentasi. Selain
menyediakan jasa fermentasi biji
kakao, dapat pula dilakukan
pemberdayaan petani Indonesia dan
dukungan modal agar petani dapat
melakukan proses fermentasi kakao
dan menghasilkan hasil fermentasi
yang baik, sehingga kakao yang dijual
memiliki harga lebih tinggi dan dapat
diterima oleh perusahaan.
Selain itu, salah satu alasan
petani lebih menyukai melakukan
penjualan kepada eksportir
dibandingkan ke indusri adalah apabila
dijual kepada eksportir, mereka
membayar kontan dan mereka yang
menyambangi lahan kakao petani,
sedangkan apabila petani melakukan
penjualan ke industri kakao, petani
yang harus menyambangi para
pengumpul untuk industri dan
pembayarannya memiliki jeda waktu
tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut
pemerintah seharusnya dapat
menetapkan kebijakan mengenai
sistem pembayaran yang dilakukan
oleh industri kakao kepada petani.
Daftar Pustaka
Available at http://www.btcocoa.com/news/view/725/industri-berebut-kakao diakses tanggal 29 Mei 2015
Available at http://finance.detik.com/read/2014/04/15/121232/2555516/1036/serap-67-ekspor- diakses tanggal 29 Mei 2015
Available at kakao-ri-malaysia-jadi-produsen-cokelat-dunia diakses tanggal 29 Mei 2015
Available at http://bisnis.tempo.co/read/news/2010/12/16/090299403/Ekspor-Kakao-Terhambat-Bea-Masuk diakses tanggal 29 Mei 2015
Available at http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214173757-92-32155/pemerintah-akan-kenakan-tarif-flat-bea-keluar-kakao-15-persen/ diakses tanggal 29 Mei 2015
Kuswardani. 2013. Proteksi Kakao Indonesia. Available online at: http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/proteksi-kakao-indonesia.html?m=