materi isi 0

75
Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995 JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI – UNIVERSITAS MEDAN AREA 1 KAJIAN PERUBAHAN POLA KONSUMSI PANGAN DI SUMATERA UTARA E.Harso Kardhinata 1 , Zulhery Noer 2 1. Fakultas Pertanian UMA; [email protected] 2. Fakultas Pertanian USU/UMA; [email protected] ABSTRAK Pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Sumatera Utara sebulan terhadap padi-padian mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006, namun konsumsi terhadap padi-padian sebagai sumber kalori rumah tangga terus mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga 2005 .Tingkat golongan pengeluaran per kapita sebulan masyarakat di Sumatera Utara berpengaruh terhadap keragaan makanan dalam memenuhi kebutuhan kalori rumah tangga per hari. Konsumsi padi-padian mengalami penurunan pada masyarakat golongan pengeluaran per kapita. Semakin tinggi golongan pengeluaran per kapita sebulan konsumsi dari jenis umbi-umbian semakin turun, tetapi terjadi sebaliknya terhadap konsumsi pangan hewani, makanan dan minuman semakin meningkat. Untuk merubah pola konsumsi masyarakat di Sumatera Utara yang masih cukup tinggi dalam mengkonsumsi beras, diperlukan intervensi kebijakan di bidang perberasan melalui implementasi prioritas kebijakan yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Kata kunci : pola konsumsi, diversifikasi pangan. PENDAHULUAN Penduduk Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 236 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 95% mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokoknya. Pada tahun 1998 diketahui bahwa jumlah konsumsi beras nasional mencapai 34,6 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 3% per tahunnya. Padahal produksi beras dalam negeri cenderung fluktuatif (BPS Jakarta, 2006). Beras masih merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini masih belum tergantikan posisinya sebagai sumber energi, meskipun sumber lainnya cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena beras merupakan bagian dari struktur sosial budaya yang cukup berarti bagi masyarakat. Tingginya konsumsi beras tergambar dari besarnya alokasi pengeluaran. Dalam struktur pengeluaran keluarga, beras merupakan pengeluaran yang cukup besar. Menurut World Bank (1999) diperkirakan 70% pengeluaran keluarga miskin digunakan untuk pangan dan sebanyak 34% pengeluaran rumahtangga dialokasikan untuk membeli beras sebagai makanan pokok. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat maka diperkirakan konsumsi beras akan terus mengalami peningkatan Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras yang hendaknya tidak hanya meningkatkan produksi berbagai macam bahan pangan saja, namun yang terpenting adalah merubah struktur bahan pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian penganekaragaman pangan bukan saja dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat.. Perkembangan kebutuhan dan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara selama periode 1993-2004 berdasarkan data dari Badan Ketahanan Provinsi Sumatera Utara, diperoleh bahwa : penduduk Sumatera Utara meningkat dari 10.813.400 jiwa menjadi 12.138.959 jiwa atau sebesar 1,1% per tahun, kebutuhan beras menurun dari 165,55 kg/kapita/tahun menjadi 160 kg/kapita/tahun atau sebesar -0,3% per tahun, kebutuhan beras meningkat dari 1.790.158 ton menjadi 1.1942.233 ton atau sebesar 0,8% per tahun, sedangkan produksi beras 1.844.272 ton menjadi 2.160.670 ton atau sebesar 1,6% per tahun era Sumatera Utara Dalam Angka, 2005). Sejalan dengan hal tersebut, untuk mengatasi ketergantungan terhadap beras yang cukup tinggi yang terjadi selama ini di Sumatera Utara, maka perlu dilakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah dengan cara merubah pola konsumsi masyarakat dengan mengurangi ketergantungan yang tinngi terhadap beras

Upload: van-genetio

Post on 19-Jan-2016

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

text

TRANSCRIPT

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    1

    KAJIAN PERUBAHAN POLA KONSUMSI PANGAN

    DI SUMATERA UTARA

    E.Harso Kardhinata1, Zulhery Noer

    2

    1. Fakultas Pertanian UMA; [email protected]

    2. Fakultas Pertanian USU/UMA; [email protected]

    ABSTRAK Pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Sumatera Utara sebulan terhadap padi-padian

    mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006, namun konsumsi terhadap padi-padian

    sebagai sumber kalori rumah tangga terus mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga 2005

    .Tingkat golongan pengeluaran per kapita sebulan masyarakat di Sumatera Utara berpengaruh

    terhadap keragaan makanan dalam memenuhi kebutuhan kalori rumah tangga per hari. Konsumsi

    padi-padian mengalami penurunan pada masyarakat golongan pengeluaran per kapita. Semakin

    tinggi golongan pengeluaran per kapita sebulan konsumsi dari jenis umbi-umbian semakin turun,

    tetapi terjadi sebaliknya terhadap konsumsi pangan hewani, makanan dan minuman semakin

    meningkat. Untuk merubah pola konsumsi masyarakat di Sumatera Utara yang masih cukup tinggi

    dalam mengkonsumsi beras, diperlukan intervensi kebijakan di bidang perberasan melalui

    implementasi prioritas kebijakan yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.

    Kata kunci : pola konsumsi, diversifikasi pangan.

    PENDAHULUAN

    Penduduk Indonesia pada tahun 2010

    diperkirakan mencapai 236 juta jiwa. Dari

    jumlah tersebut, sebanyak 95%

    mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan

    pokoknya. Pada tahun 1998 diketahui bahwa

    jumlah konsumsi beras nasional mencapai

    34,6 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 3%

    per tahunnya. Padahal produksi beras dalam

    negeri cenderung fluktuatif (BPS Jakarta,

    2006).

    Beras masih merupakan pangan

    pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini

    masih belum tergantikan posisinya sebagai

    sumber energi, meskipun sumber lainnya

    cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena

    beras merupakan bagian dari struktur sosial

    budaya yang cukup berarti bagi masyarakat.

    Tingginya konsumsi beras tergambar

    dari besarnya alokasi pengeluaran. Dalam

    struktur pengeluaran keluarga, beras

    merupakan pengeluaran yang cukup besar.

    Menurut World Bank (1999) diperkirakan

    70% pengeluaran keluarga miskin digunakan

    untuk pangan dan sebanyak 34% pengeluaran

    rumahtangga dialokasikan untuk membeli

    beras sebagai makanan pokok. Dengan

    meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat

    pendapatan masyarakat maka diperkirakan

    konsumsi beras akan terus mengalami

    peningkatan

    Diversifikasi pangan merupakan salah

    satu upaya untuk mengatasi masalah

    ketergantungan pada beras yang hendaknya

    tidak hanya meningkatkan produksi berbagai

    macam bahan pangan saja, namun yang

    terpenting adalah merubah struktur bahan

    pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian

    penganekaragaman pangan bukan saja

    dimaksudkan untuk mengurangi

    ketergantungan masyarakat terhadap beras,

    tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi

    makanan rakyat..

    Perkembangan kebutuhan dan tingkat

    konsumsi beras di Sumatera Utara selama

    periode 1993-2004 berdasarkan data dari

    Badan Ketahanan Provinsi Sumatera Utara,

    diperoleh bahwa : penduduk Sumatera Utara

    meningkat dari 10.813.400 jiwa menjadi

    12.138.959 jiwa atau sebesar 1,1% per tahun,

    kebutuhan beras menurun dari 165,55

    kg/kapita/tahun menjadi 160 kg/kapita/tahun

    atau sebesar -0,3% per tahun, kebutuhan beras

    meningkat dari 1.790.158 ton menjadi

    1.1942.233 ton atau sebesar 0,8% per tahun,

    sedangkan produksi beras 1.844.272 ton

    menjadi 2.160.670 ton atau sebesar 1,6% per

    tahun era Sumatera Utara Dalam Angka,

    2005).

    Sejalan dengan hal tersebut, untuk

    mengatasi ketergantungan terhadap beras

    yang cukup tinggi yang terjadi selama ini di

    Sumatera Utara, maka perlu dilakukan

    berbagai upaya yang salah satunya adalah

    dengan cara merubah pola konsumsi

    masyarakat dengan mengurangi

    ketergantungan yang tinngi terhadap beras

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    2

    dan mengalihkan ke makanan yang berasal

    dari non beras.

    Perumusan Masalah

    1. Bagaimana pola konsumsi pangan (beras)

    masyarakat di Sumatera Utara?

    2. Jenis-jenis konsumsi pangan non beras

    apa saja yang ada selama ini yang secara

    ekonomis cocok untuk dikembangkan

    sesuai dengan kondisi masyarakat di

    Sumatera Utara dan bagaimana tingkat

    ketersediaannya?

    Tujuan

    Tujuan dari kajian ini adalah

    a. Untuk mengetahui pola konsumsi pangan

    masyarakat di Sumatera Utara.

    b. Mengidentifikasi jenis-jenis konsumsi

    pangan non beras yang secara ekonomis

    cocok untuk dikembangkan sesuai dengan

    kondisi masyarakat di Sumatera Utara.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Kelompok Bahan Pangan

    Bahan pangan untuk konsumsi sehari-

    hari dapat dikelompokkan menjadi 9

    (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada

    masing-masing kelompok dapat berbeda pada

    setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan

    yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan

    dikelompokkan sebagai berikut (Widyakarya

    Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :

    1. Padi-padian : beras, jagung, sorghum dan

    terigu

    2. Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar,

    kentang talas dan sagu.

    3. Pangan hewani : ikan, daging, susu dan

    telur.

    4. Minyak dan lemak : minyak kelapa,

    minyak sawit

    5. Buah/biji berminyak : kelapa daging

    6. Kacang-kacangan : kedelai, kacang

    tanah, kacang hijau

    7. Gula : gula pasir, gula merah.

    8. Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan

    buah-buahan yang biasa dikonsumsi.

    9. Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-

    bumbuan, makanan dan minuman jadi.

    Pengembangan Pola Konsumsi Pangan

    Pola konsumsi merupakan cara

    mengkombinasikan elemen konsumsi dengan

    tingkat konsumsi secara keseluruhan. Dalam

    hal ini konsumsi didefinisikan sebagai

    penggunaan komoditi-komoditi oleh rumah

    tangga (http://www.sabdaspace.org).

    Terdapat tiga cara menguraikan tigkat

    konsumsi, yaitu (1) berdasarkan jenis atau

    macam dan jumlah barang dan jasa yang

    dikonsumsi rumah tangga, (2) menurut

    pengelompokan peng-gunaan komoditi dan

    (3) menurut nilai (pengeluaran) dari

    komoditas yang dikon-sumsi. Berdasar

    kategori konvensional, barang dan jasa yang

    dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke

    dalam konsumsi pangan, perumahan, pakaian,

    pendidikan, kesehatan dan rekreasi.

    Pola Konsumsi Pangan, adalah

    susunan makanan yang mencakup jenis dan

    jumlah bahan makanan rata-rata perorang

    perhari yang umum dikonsumsi/dimakan

    penduduk dalam jangka waktu tertentu. Dari

    hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

    tahun 1998 telah disusun Dasar

    Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dalam

    rangka penganekaragaman pangan dengan

    menetapkan 2200 Kkal perkapita perhari di

    tingkat konsumsi dan 2500 Kkal perkapita

    perhari untuk tingkat ketersediaan sebagai

    Angka Kecukupan Energi (AKE) Tingkat

    Nasional. Untuk mengetahui pola konsumsi

    masyarakat baik Nasional maupun Regional,

    AKE tersebut perlu diterjemahkan ke dalam

    satuan yang lebih dikenal oleh para perencana

    pengadaan pangan atau kelompok bahan

    pangan.

    Pengembangan Pola Konsumsi

    Pangan ditujukan pada penganekaragaman

    pangan yang berasal dari bahan pangan pokok

    dan semua bahan pangan lain yang

    dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk,

    sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan,

    berbasis pada kondisi dan potensi

    daerah/wilayah.

    Setiap daerah mempunyai gambaran

    pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan

    sudah membudaya serta tercermin didalam

    tatanan menu sehari-hari. Akan tetapi menu

    yang tersedia biasanya kurang memenuhi

    norma kecukupan gizi, sehingga pelu

    ditingkatkan kualitasnya dengan tidak

    merubah karakteristiknya, agar tetap dapat

    diterima oleh masyarakat setempat.

    METODOLOGI

    Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam

    Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di

    Sumatera Utara adalah penyediaan data, baik

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    3

    data primer maupun data sekunder. Data

    primer diperoleh dengan melakukan survei

    langsung ke lapangan di 3 (tiga) kabupaten

    yaitu Deli Serdang, Langkat dan Serdang

    Bedagai, meliputi jenis makanan non beras

    yang dominan di masing-masing daerah

    penelitian. Metode pengambilan data primer

    di lokasi penelitian ini dilakukan secara

    deskriptif (descriptive research).

    Penelitian deskriptif adalah penelitian

    yang bermaksud untuk membuat deskripsi

    mengenai situasi-situasi atau kejadian-

    kejadian. Dalam arti ini penelitian deskriptif

    itu adalah akumulasi data dasar dalam cara

    deskriptif semata-mata tidak perlu mencari

    atau menerangkan saling hubungan, menguji

    hipotesis, membuat ramalan, atau

    mendapatkan makna dan implikasinya

    (Suryabrata, 2004)

    Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian Kajian Perubahan Pola

    Konsumsi Pangan di Sumatera Utara

    dilakukan di 3 lokasi yaitu Kabupaten Deli

    Serdang , Langkat, Serdang Bedagai.

    Penelitian berlangsung dari bulan Juni hingga

    Oktober 2008

    Metode Pengumpulan Data

    Pengambilan data sekunder berasal

    dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan

    dan dokumen-dokumen yang berkaitan

    dengan kegiatan pola konsumsi. Data ini

    merupakan informasi awal yang digunakan

    untuk melihat bagaimana pola konsumsi

    makanan masyarakat di Kabupaten Deli

    Serdang, Langkat dan Serdang Bedagai.

    Selain itu, data sekunder digunakan sebagai

    bahan verifikasi pada saat survei untuk

    mengumpulkan data primer serta bahan

    kajian.

    Data sekunder yang diperlukan dalam

    kegiatan ini antara lain : produksi bahan

    pangan, konsumsi perkapita per bulan

    berdasarkan jenis makanan dan bukan

    makanan, konsumsi per kapia per bulan

    berdaarkan kelompok pengeluaran, dan data

    lain melalui Kabupaten Langkat Dalam

    Angka 2006. Pengumpulan data sekunder

    dilakukan melalui penelusuran berbagai

    pustaka yang ada di berbagai instansi, seperti

    Kantor Dinas Kabupaten Deli Serdang,

    Langkat, dan Serdang Bedagai, Badan

    Ketahanan Pangan ProvSU dan BPS

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kependudukan dan Produksi Pangan

    Sumatera Utara

    Produksi padi di Provinsi Sumatera

    Utara dari tahun ke tahun terus mengalami

    peningkatan, kecuali dari tahun 2001, 2002

    dan 2006. Peningkatan yang terjadi dari tahun

    1987 hingga 2007 berfluktuasi dari 0.07%

    yang terendah hingga yang tertinggi sebesar

    8.58%, yang terjadi pada tahun 2007.

    0

    500

    1,000

    1,500

    2,000

    2,500

    3,000

    3,500

    4,000

    1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

    Tahun

    Pro

    duks

    i (00

    0 Ton)

    Padi Jagung Ubi Kayu Kedelai

    Gambar 1. Produksi Bahan Pangan Padi, Jagung, Ubi Kayu, dan Kedelai) di Provinsi Sumatera Utara

    1987-2007 (Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2000-2008)

    Kabupaten Langkat

    Dari data yang diperoleh dari Badan

    Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Propinsi

    Provinsi Sumatera Utara, produksi padi di

    Kabupaten Langkat mulai tahun 1987 terus

    meningkat dari 176.887 ton menjadi 360.044

    ton pada tahun 1998. Mulai tahun 1998

    produksi padi berfluktuasi hingga tahun 2006.

    Fluktuasi produksi padi dapat tumbuh sebesar

    10.29% pada tahun 2000 namun turun

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    4

    kembali pada tahun 2001 sebesar -12.59%.

    Dari Tahun 1987 hingga 2007 pertumbuhan

    produksi padi sebesar 97% jauh lebih besar

    dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk

    sebesar 35%. Pertumbuhan produksi padi

    yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu

    sebesar 20.65%.

    Kabupaten Deli Serdang dan Serdang

    Bedagai

    Kabupaten Deli Serdang merupakan

    kabupaten yang telah dimekarkan menjadi dua

    kabupaten yaitu Deli Serdang dan Serdang

    Bedagai. Kabupaten Deli Serdang sebelum

    krisis moneter termasuk kabupaten penghasil

    pangan dimana Kabupaten Deli Serdang

    merupakan penghasil komoditi beras terbesar

    di Sumatera Utara. Namun karena Kabupaten

    Deli Serdang yang bertetangga dengan kota

    Medan yang memiliki penduduk yang padat

    maka banyak lahan-lahan pangan di sekitar

    daerah kota Medan telah beralih fungsi

    menjadi kawasan perumahan dan industri. Hal

    ini dapat dilihat dari perkembangan pangan

    sebelum krisis moneter tahun 1987-1997

    meningkat sebesar 3,04%. Sedangkan

    produksi padi sudah cenderung menurun

    setelah krisis moneter. Produksi jagung di

    Kabupaten Deli Serdang memiliki tren terus

    meningkat pada tahun 1987 hingga tahun

    2004 hingga tahun 2007 peningkatan produksi

    jagung terus menerus meningkat. Peningkatan

    komoditi jagung ini juga mengalami fluktuasi

    dari tahun ke tahun. Selain itu Kabupaten Deli

    Serdang juga penghasil komoditi ubi kayu

    terbesar di Sumatera Utara. Rata produksi ubi

    kayu sebelum krisis moneter meningkat

    sebesar 33,52% dibandingkan setelah krisis

    merosot menjadi hanya 6,76%. Produksi ubi

    kayu tidak dapat terus menerus meningkat

    seperti halnya dengan dengan komoditas

    jagung yang tidak dapat meningkatkan

    produksinya setelah krisis. Ubi Kayu

    mencapai pincaknya pada tahun 2004 dan

    setelah itu terus menerus menurun hingga

    tahun 2007.

    Pengeluaran Berdasarkan Kelompok

    Makanan Sumatera Utara

    Dari segi jumlah pengeluaran yang

    dilakukan untuk kelompok makanan, biaya

    untuk pembelian padi-padian merupakan yang

    paling banyak, terutama di pedesaan baik

    pada tahun 2004 maupun 2005.

    290,000

    300,000

    310,000

    320,000

    330,000

    340,000

    350,000

    360,000

    370,000

    2005 2006 2007

    Tahun

    Pro

    duks

    i (ton)

    LangkatD.SerdangS.Bedagai

    0

    10,000

    20,000

    30,000

    40,000

    50,000

    60,000

    70,000

    80,000

    2005 2006 2007

    Tahun

    Pro

    duks

    i (ton)

    Langkat

    D.SerdangS.Bedagai

    Gambar 2. Produksi Padi Tahun 2005-2007 Gambar 3. Produksi Jagung Tahun 2005-2007

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    2005 2006 2007

    Tahun

    Pro

    du

    ksi

    (000.

    ton

    )

    Langkat

    D.Serdang

    S.Bedagai

    Gambar 4. Produksi Ubi kayu Tahun 2005-2007

    0

    1

    1

    2

    2

    3

    3

    4

    4

    5

    2005 2006 2007

    Tahun

    Pro

    du

    ksi

    (000.t

    on

    )

    Langkat

    D.Serdang

    S.Bedagai

    Gambar 5. Produksi Kacang Kedelai Tahun 2005 -

    2007

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    5

    Sumber : SUMUT dalam Angka 2005-2007, Deli Serdang Dalam Angka, 2005-2007, Langkat Dalam Angka,

    2005-2007, Serdang Bedagai Dalam Angka, 2005-2007 (data diolah)

    Pengeluaran kedua terbesar adalah

    tembakau dan sirih dan diikuti dengan ikan.

    Di daerah perkotaan makanan dan minuman

    jadi menempati urutan keempat sedangkan di

    pedesaan pengeluaran untuk sayuran lebih

    tinggi dari makan dan minuman jadi.Tahun

    2005 pengeluaran untuk makanan dan

    minuman jadi melonjak melebihi pengeluaran

    untuk padi-padian, yang kemudian diikuti

    ikan dan tembakau dan sirih. Di daerah

    pedesaan pengeluaran terbesar masih pada

    padi-padian, namun pengeluaran untuk

    tembakau dan sirih melebihi ikan dan sayuran.

    Dari data ini terlihat telah terjadi perubahan

    yang mencolok dari tahun 2004 ke 2005,

    khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat

    kota cenderung lebih memilih cara hidup yang

    praktis tanpa harus mengolah bahan makanan

    sendiri, tetapi membeli makanan dan

    minuman jadi.

    Bila dilihat berdasarkan rata-rata

    pengeluaran per bulan untuk bahan makanan

    tahun 2006, padi-padian masih menjadi bahan

    utama yang dibeli oleh masyarakat, yaitu Rp.

    45.134 (15.7%), diikuti ikan, Rp.24.339

    (8.47%) dan tembakau dan sirih Rp23.401

    (8.14%), sayuran Rp. 14.203 (4.94%) dan

    makanan dan minuman jadi Rp. 13.282

    (4.62%)

    Pengeluaran per kapita per bulan

    masyarakat Sumatera Utara dari tahun 2004

    sampai 2005 baik untuk bahan makanan

    maupun bukan makanan mengalami

    peningkatan yang tajam. Untuk bahan

    makanan terjadi peningkatan dari Rp.

    136.526- menjadi Rp. 168.655,- (sebesar

    24%) sedang bahan bukan makanan naik dari

    Rp. 76.060,- menjadi Rp. 118.726,- (sebesar

    31%). Dari 2005 ke 2006 baik makanan

    maupun bukan makanan cenderung tetap atau

    sedikit menurun.

    Bila dilihat dari jenis pengeluaran,

    lebih dari separuh pendapatan rumah tangga

    digunakan untuk memenuhi kebutuhan

    pangan yanitu sebesar Rp. 168.542,-

    ((58.64%) ) sedangkan untuk bukan makanan

    sebesar Rp. 118.892,- (41.36%)

    Dari total pengeluaran rumah tangga

    dari tahun 2004 ke 2005 mengalami kenaikan

    yang cukup tinggi, yaitu sebesar 35.18%,

    sedangkan dari tahun 2005 ke 2006 hanya

    terjadi kenaikan sebesar 0.02%.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    6

    -

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    40

    45

    50

    Makanan

    Rata

    -rata

    pen

    gelu

    ara

    n (

    Rp

    .000)

    Padi-padian

    Umbi-umbian

    Ikan

    Daging

    Telur dan susu

    Sayur-sayuran

    Kacang-kacangan

    Buah-buahan

    Minyak dan Lemak

    Bahan minuman

    Bumbu-bumbuan

    Konsumsi lainnya

    Makanan dan minuman

    jadiMinuman beralkohol

    Tembakau dan sirih

    Gambar 6. Pengeluaran rata-rata per bulan untuk kelompok makanan tahun 2006 (Sumber : Sumatera

    Utara Dalam Angka, 2006)

    -

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    2004 2005 2006

    Tahun

    Pe

    ng

    elu

    ara

    n (

    Rp

    .00

    0)

    Makanan

    Bukan Makanan

    Gambar 7. Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Untuk Makanan dan Bukan Makanan Penduduk

    Sumatera Utara dari Tahun 2004-2006. (Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2006)

    Tingkat Konsumsi Pangan Tingkat konsumsi energi per kapita

    per hari diperoleh dengan membagi tingkat

    konsumsi energi rumahtangga dengan jumlah

    anggota rumahtangga. Berdasarkan

    rekomendasi Wdyaarya Nasional Pangan dan

    Gizi V (1993) tingkat konsumsi energi yang

    diperlukan oleh rata-rata penduduk Indonesia

    adalah 2150 kkal/kapita/hari.

    Perhitungan angka kecukupan gizi

    tersebut didasarkan pada patokan berat badan

    untuk setiap kelompok umur dab jenis

    kelamin, sesuai dengan rujukan yang

    dianjurkan oleh badan internasional, terutama

    WHO dan FAO. Patokan berat badan tersebut

    didasarkan pada berat badan orang-orang

    yang mewakili sebagian besar penduduk

    (Indonesia) yang mempunyai derajat

    kesehatan optimal. Angka-angka tersebut

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    7

    diperoleh melalui berbagai survei gizi, kesehatan, dan survei lainnya.

    Tabel. 3 Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari Menurut Jenis Makanan dan Daerah Kota/Pedesaan

    di Sumatera Utara (Kkal) Tahun 1999-2005

    Kelompok Pangan

    Kota Pedesaan Kota + Pedesaan

    1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005

    Padi-padian 1,043.16 981.31 917.11 1,359.82 1,284.07 1,297.82 1,217.42 1,153.25 1,129.09

    Umbi-umbian 29.89 32.42 23.25 85.17 97.07 69.46 60.31 69.13 48.98

    Ikan 65.33 72.86 77.21 63.18 68.30 72.26 64.15 70.27 74.45

    Daging 22.78 36.86 52.29 12.75 24.41 27.72 17.26 29.79 38.61

    Telur dan susu 34.37 51.49 66.78 16.07 24.09 29.34 24.30 35.93 45.94

    Sayur-sayuran 31.68 40.64 37.08 37.07 37.88 39.24 34.64 39.07 38.28

    Kacang-kacangan 30.94 49.38 41.11 21.26 33.75 29.78 25.61 40.51 34.80

    Buah-buahan 29.38 43.00 47.94 24.73 42.87 46.11 26.82 42.93 46.92

    Minyak dan Lemak 247.23 315.72 293.57 243.33 278.02 286.22 245.08 294.31 289.48

    Bahan minuman 109.05 135.13 116.86 96.21 110.40 103.28 101.98 121.09 109.29

    Bumbu-bumbuan 9.63 16.81 14.32 7.81 11.33 12.51 8.63 13.70 13.31

    Konsumsi lainnya 22.57 35.82 34.68 13.80 18.88 27.00 17.74 26.20 30.41 Makanan dan minuman jadi 148.86 170.95 233.52 91.07 71.56 119.15 117.06 114.51 169.84

    Minuman beralkohol 0.03 0.19 0.00 0.08 0.10 - 0.06 0.14 -

    Tembakau dan sirih 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

    Jumlah Makanan 1,824.90 1,982.58 1,955.72 2,072.35 2,102.73 2,159.89 1,961.06 2,050.83 2,069.40

    Sumber : BPS Jakarta, tahun 2006

    Konsumsi Pangan Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Sumut

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    0.80

    1.00

    1.20

    1.40

    A B C D E F G H

    Pe

    ng

    elu

    ara

    n (

    Rp

    .00

    0)

    1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Ikan4. Daging 5. Telur & Susu 6. Sayur-ayuran7. Kacang-kacangan 8. Buah-buahan 9. Minyak dan Lemak10.Bahan minuman 11.Bumbu-bumbuan 12.Konsumsi lainnya13.Makanan & Minuman Jadi 14.Tembakau dan Sirih

    Keterangan : Kelompok A: Rp.500.000,-.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    8

    1. Padi-padian

    0

    200

    400

    600

    800

    1,000

    1,200

    1,400

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    2. Umbi-umbian

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    4. Daging

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    5. Telur & Susu

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    13.Makanan & Minuman Jadi

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    400

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    6. Sayur-ayuran

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    A B C D E F G H

    Kelompok Pendapatan

    kk

    al

    Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2006, BPS Jakarta 2006 (diolah)

    Peningkatan konsumsi pangan lokal

    Kabupaten Deli Serdang, bila dilihat

    dari produksi bahan pangan, merupakan

    daerah penghasil jagung. Produksi jagung di

    Kabupaten Deli Serdang tahun 2007 mencapai

    75.112,57 ton dengan konsumsi sebesar

    99.419,81 ton, perimbangan sebesar -

    24.307,25 ton. Demikian halnya di Kabupaten

    Langkat, dengan produksi jagung sebesar

    46.120,45 ton, konsumsi sebesar 60.965,59

    ton perimbangan sebesar -14.845,13 ton

    (Badan Ketahanan Pangan SUMUT, 2008).

    Ini menunjukkan bahwa baik Kabupaten Deli

    Serdang maupun Langkat masih

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    9

    membutuhkan pasokan jagung guna

    memenuhi kebutuhan yang begitu besar. Di

    sisi lain produksi beras tahun 2007 di

    Kabupaten Deli Serdang mencapai 223.298,87

    ton, konsumsi 222.586,53 ton sehingga

    surplus sebesar 712,35 ton dan Kabupaten

    Langkat produksi 206.019,99 ton, konsumsi

    136.493,10 ton, sehingga mengalami surplus

    sebesar 69.526,90 ton. Untuk itu kebijakan

    pengembangan komoditi jagung di masa

    menadatang sangat diperlukan untuk

    memenuhi kekurangan sekaligus mengurangi

    ketergantungan terhadap beras.

    Pengembangan jenis-jenis makanan

    berasal dari jagung sebagai konsumsi pangan

    lokal perlu terus ditingkatkan dan

    dimasyarakatkan. Pemasyarakatan pangan

    lokal dilakukan melalui penerangan dengan

    memanfaatkan berbagai media, baik media

    cetak maupun elektronik serta penyuluhan

    dengan melakukan revitalisasi sistem LAKU

    (Latihan dan Kunjungan). Untuk

    meningkatkan motivasi masyarakat, dapat

    dilakukan pameran, festival dan lomba.

    Selain sebagai penghasil jagung,

    Kabupaten Deli Serdang juga banyak

    menghasilkan ubi kayu, meski produksinya

    masih di bawah Kabupaten Serdang Bedagai.

    Keragaan makanan dengan bahan baku ubi

    kayu tidak jauh berbeda antara kedua

    kabupaten ini

    Kabupaten Serdang Bedagai selain padi

    banyak menghasilkan ubi kayu. Sebagai

    sentra ubi kayu sudah selayaknya Kabupaten

    Serdang Bedagai memanfaatkan pengolahan

    ubi kayu menjadi berbagai jenis makanan

    alternatif pengganti beras. Berbagai produk

    makanan dari ubi kayu telah diproduksi dan

    dipasarkan di Serdang Bedagai. Jenis-jenis

    makanan yang berasal dari bahan ubi kayu

    yang ditemukan di pasar antara lain adalah

    keripik singkong, getuk lindri, tela-tela, opak,

    kelanting, onde-onde, lepat ubi, tape ubi, ubi

    goreng, dan lain-lain.

    Disamping makanan dari bahan baku

    ubi, kabupaten Serdang Bedagai juga terkenal

    dengan berbagai jenis makanan non beras

    yang dipasarkan sepanjang jalan provinsi

    dengan penyediaan lokasi penjualan yang

    strategis dan tertata rapi.

    Diversifikasi Makanan Dari pernelitian yang dilakukan di

    Sumatera Utara, khususnya di tiga kabupaten

    yaitu Deli Serdang, Serdang Bedagai dan

    Langkat, diketahui telah terjadi pergeseran

    pola konsumsi masyarakat, yaitu dengan

    menurunnya konsumsi beras per kapita per

    bulan. Dalam memenuhi kebutuhan

    karbohidrat, masyarakat tidak hanya

    bergantung pada beras, namun telah

    menggantinya dengan bahan lain yang telah

    diolah menjadi makanan ringan maupun

    makanan berat. Jenis-jenis makanan non

    beras yang dikonsumsi masyarakat di tiga

    kabupaten tersebut umumnya tidak berbeda

    jauh dari segi jenis maupun bahan dasarnya.

    Namun yang perlu diperhatikan adalah,

    makanan non beras yang paling banyak

    dikonsumsi oleh masyarakat adalah

    bersumber dari bahan gandum, seperti mie,

    dan berbagai jenis roti, bukan dari bahan

    makanan yang dihasilkan dari daerah tersebut

    seperti jagung dan ubi.

    Perubahan pola konsumsi masyarakat

    khususnya di perkotaan umumya adalah pada

    sarapan pagi. Sebagain besar masyarakat

    sudah mengganti nasi dengan makanan lain

    seperi roti, mie instan, kue, dan lain-lain.

    Makan siang pada umumnya masyarakat

    mengkonsumsi nasi, sedangkan pada malam

    hari jenis makanan yang dikonsumsi kembali

    mengalami variasi.

    Beberapa jenis makanan non beras

    yang dikonsumsi maysarakat yang bersumber

    dari gandum antara lain :

    1. Mie ; yang disajikan dalam berbagai jenis masakan seperti ; mie instan, mie kuning

    (mie goreng, mie rebus, mie bakso), mie

    tiaw, mie hun (me hun goreng, mie hun

    bakso), mie pansit, mie bakso dan lain-lain.

    2. Roti : yang terdiri dari roti tawar yang dapat dimakan dengan berbagai sajian

    seperti ditambah selai, coklat, keju, atau

    disajikan dalam bentuk roti panggang lain-

    lain. Roti manis selain dapat langsung

    dimakan juga terdapat dalam bentuk roti

    panggang dan burger.

    3. Martabak : tersedia dalam bentuk martabak manis dengan berbagai variasi rasa dan

    campuran, juga martabak telur dengan

    kombinasi daging sapi atau ayam.

    4. Pizza dan aneka roti yang umum terdapat di kota-kota besar

    5. Aneka kue ; seperti lapis legit, bika ambon, aneka jenis bolu (bolu kukus, bolu gulung),

    apem, risol, dan lain-lain.

    Jenis-jenis makanan non beras yang

    terbuat dari bahan selain gandum juga sudah

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    10

    mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat,

    antara lain dalah ;

    1. Aneka Roti : (bolu pisang, bolu ubi) 2. Aneka kue (kue jagung, apem ubi, kroket

    kentang, kroket tahu, prekedel jagung,

    onde-onde ubi, ondol-ondol sagu, onde-

    onde ketan, lemper, lepat ubi, lepat pisang,

    getuk ubi, getuk pisang

    3. Makanan gorengan (ubi kayu, ubi jalar, pisang, sukun, talas, tahu, tempe, tape)

    4. Makanan ringan; aneka keripik (ubi kayu, ubi jalar, pisang, kentang, tempe, sukun,

    talas), opak ubi, jagung goreng, dan lain-

    lain.

    Kecenderungan masyarakat baik di

    Sumatera Utara maupun di Indonesia pada

    umumnya mulai mengkonsumsi makanan non

    beras merupakan suatu kemajuan dalam

    program diversifikasi makanan, namun perlu

    diwaspadai karena dari sebagian besar

    makanan non beras, gandum merupakan

    bahan yang sangat dominan dikonsumsi,

    bukan bahan makanan yang bersumber dari

    potensi daerah.

    Saat ini penduduk Indonesia sudah

    terlanjur ketergantungan dengan beras serta

    terigu untuk bahan roti, mi, dan kue atau

    kedelai untuk tahu dan tempe. Kebiasaan

    mengandalkan konsumsi suatu jenis makanan

    tertentu perlu diperbaiki. Indonesia

    sebenarnya tidak ada budaya makan mie. Tapi

    berbagai macam kampanye mi instan dan

    lainnya di berbagai media masa menyebabkan

    masyarakat semakin tergantung pada terigu.

    Karena itu, apa yang harus dilakukan saat ini

    adalah jangan sampai masyarakat Indonesia

    kehilangan momentum emas. Penduduk

    Indonesia harus pindah ke konsumsi pangan

    lainnya dan tingkatkan produksi potensi

    pangan di daerah seperti jagung, ubi kayu, ubi

    jalar, sagu, sukun, dan kacang-kacangan

    sehingga tidak bergantung pada impor.

    Kesimpulan 1. Pola konsumsi dan pengeluaran rata-rata

    rumah tangga di Sumatera Utara memiliki

    struktur yang searah dengan pola yang

    terjadi secara nasional. Beberapa ciri yang

    serupa adalah pangsa pengeluaran pangan

    masih lebih besar dibanding pangsa

    peneluaran non-pangan. Tingkat konsumsi

    pangan dari jenis padi-padian rata-rata

    rumahtangga di pedesaan lebih tinggi

    dibanding di kota, namun untuk konsumsi

    sumber protein (hewani) terjadi hal

    sebaliknya.

    2. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan terhadap padi-padian mengalami

    peningkatan dari tahun 2004 hingga 2006,

    namun konsumsi terhadap padi-padian

    sebagai sumber kalori rumahtangga terus

    mengalami penurunan dari tahun 1999

    hingga 2005.

    3. Golongan pengeluaran per kapita sebulan berpengaruh terhadap keragaan makanan

    dalam memenuhi kebutuhan kalori

    rumahtangga per hari. Penurunan konsumsi

    padi-padian mengalami penurunan pada

    masyarakat golongan pengeluaran per

    kapita sebulan lebih tinggi dari Rp.

    300.000,-.

    4. Semakin tinggi olongan pengeluaran per kapita sebulan, konsumsi dari jenis umbi-

    umbian semakin turun, tetapi terhadap

    konsumsi pangan hewani, makanan dan

    minuman terjadi sebaliknya.

    5. Dari segi produksi dan kebutuhannya Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

    Langkat merupakan daerah yang potensial

    bagi pengembangan produksi jagung

    sebagai alternatif mengatasi ketergantungan

    yang tinggi berhadap beras.

    6. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil ubi

    kayu yang dapat digunakan sebagai sumber

    bahan makanan non beras.

    Rekomendasi

    1. Besarnya peranan padi-padian (beras, jagung) dalam pola konsumsi rumahtangga

    di Sumatera Utara, baik dalam alokasi

    pengeluaran/anggaran rumahtangga maupun

    kontribusinya terhadap konsumsi energi

    mengindi-kasikan bahwa intervensi

    kebijakan di bidang perberasan perlu

    ditingkatkan. Namun demikian dalam

    implemen-tasinya diperlukan prioritas

    kebijakan yang berbeda antar wilayah.

    2. Konsumsi energi dari bahan makanan padi-padian (beras) sudah menun-jukkan adanya

    penurunan dari tahun 1999 ke tahun 2005,

    khususnya bagi masyarakat perkotaan,

    namun untuk mengurangi ketergantungan

    yang tinggi terhadap beras masih perlu

    dilakukan sosialisasi dan kampanye

    makanan non-beras, khususnya di daerah

    pedesaan.

    3. Konsumsi bahan makanan non beras perlu diarahkan sesuai dengan potensi lokal

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    11

    seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar melalui

    berbagai program/ kegiatan baik berupa

    penyuluhan, kampanye dan lain-lain

    sehingga dapat mengurang ketergantungan

    terhadap impor gandum dari negara lain.

    DAFTAR PUSTAKA

    Badan Pusat Statistik Jakarta, 2006

    Deli Serdang Dalam Angka, 2007. BPS

    Kabupaten Deli Serdang.

    http://www.sabdaspace.org. Pola Konsumsi

    Rumah Tangga

    Langkat Dalam Angka. 2007. BPS Kabupaten

    Langkat

    Serdang Bedagai Dalam Angka. 2007. BPS

    Kabupaten Serdang Bedagai

    Sumatera Utara Dalam Angka 2000. Badan

    Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara

    dan Badan Perencanaan Pembangunan

    Daerah Provinsi Sumatera Utara.

    __________. 2003. Badan Pusat Statistik

    Provinsi Sumatera Utara dan Badan

    Perencanaan Pembangunan Daerah

    Provinsi Sumatera Utara.

    __________. 2005. Badan Pusat Statistik

    Provinsi Sumatera Utara dan Badan

    Perencanaan Pembangunan Daerah

    Provinsi Sumatera Utara.

    __________. 2007. Badan Pusat Statistik

    Provinsi Sumatera Utara dan Badan

    Perencanaan Pembangunan Daerah

    Provinsi Sumatera Utara.

    Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 1998.

    Jakarta (Prosiding)

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    12

    PENANGKAPAN KONIDIUM Cercospora nicotianae DENGAN ALAT

    PENANGKAP SPORA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU CERUTU

    Ahmad Rafiqi Tantawi

    1) dan Lisnawita

    2)

    1). Fakultas Pertanian Universitas Medan Area

    2). Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU

    ABSTRACT

    Trapping of conidium of Cercospora nicotianae with spore trap on tobacco plantation.

    Tobacco is an importing commodity which contributes to the farmer and country. One of

    the limiting factors in tobacco production is frogeye leaf spot, a fungal disease caused by

    C. nicotianae. An experiment was conducted to determine the effectiveness of Kiyosawa

    type of wind vane rotary spore trap for trapping of Cercospora conidia. The experiment

    as well as done to determine the relationship between rainfall to conidial dispersal on

    tobacco. The experiment carried out at Mycology Laboratory, Study Program of Plant

    Pest and Disease, Faculty of Agriculture, UGM and two tobacco plantations in Jember

    and Klaten from September to December 2001. The results showed that conidia was

    dispersed as a day spore and can be trapped by Kiyosawa type of wind vane rotary spore

    trap. Conidia were dispersed in dry, and moist, as well as wet months. During the dry and

    moist month, conidia was trapped since 06.00 a.m. the trapping reached its peak at 02.00-

    06.00 p.m., while in wet month at 10.00 a.m. to 14.00 p.m.

    Keywords : Spore trap, Cercospora nicotianae, tobacco, spore trap

    PENDAHULUAN

    Tembakau merupakan tanaman

    ekspor yang memberikan pendapatan bagi

    petani dan negara (Thurston, 1984), dan

    merupakan instrumen yang sangat penting

    dalam kebijakan moneter serta ekonomi

    banyak negara (Akehurst, 1981). Di

    Indonesia, selama lebih satu abad,

    tembakau cerutu telah diproduksi di tiga

    pusat produksi, yakni tembakau deli (di

    sekitar Medan, Sumatera Utara),

    tembakau vorstenland di sekitar Klaten di

    bekas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta

    (Vorstenlanden) di Jawa Tengah, dan

    tembakau besuki (di sekitar Jember) Jawa

    Timur (Anonim, 1975). Komoditas ini

    memegang peranan penting dalam

    perekonomian nasional, meliputi sumber

    pendapatan petani, penyerapan tenaga

    kerja, penunjang industri rokok, dan

    sumber devisa negara (Nurindah et al.,

    1998).

    Dalam kaitannya dengan ekspor,

    dari dua PT Perkebunan Negara (PTPN)

    penghasil tembakau cerutu, PTPN II dan

    PTPN X, ekspor tembakau cerutu

    Indonesia sejak tahun 1995 senantiasa

    meningkat yakni 1900 ton pada tahun

    1995 menjadi 2851, 5 ton pada tahun 1999

    sehingga dapat memenuhi 46% dari

    seluruh kebutuhan tembakau dunia

    (Hartana, 1999; Anonim, 2000b; PTPN X,

    2000). Penelitian ini mencoba

    mendapatkan informasi efektivitas alat

    penangkap spora melalui penangkapan

    konidium Cercospora nicotianae dengan

    alat penangkap spora dan berupaya

    mengungkap karakteristik aerobiologi

    jamur penyebab penyakit patik tembakau

    yang merupakan penyakit pentin pada

    tembakau cerutu. Waktu penelitian untuk

    perkembangan penyakit mencakup bulan

    kering, lembap, dan basah.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian dilaksanakan di

    laboratorium dan di lapangan. Penelitian

    laboratorium dilakukan di Laboratorium

    Mikologi Program Studi Ilmu Hama dan

    Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian

    Universitas Gadjah Mada, sedangkan

    penelitian lapangan di kebun PT

    Perkebunan Nusantara (PTPN) X Jember

    dan Klaten selama 4 bulan, dari bulan

    September - Desember 2001, masing-

    masing 2 bulan di Jember dan Klaten.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    13

    Penangkapan spora di Jember mewakili

    untuk penangkapan di pertanaman

    tembakau pada bulan kering dan lembab,

    sedangkan di Klaten untuk mewakili

    penangkapan pada bulan basah.

    Kajian pemencaran konidium

    dilakukan dengan penangkapan konidium

    di sekitar pertanaman tembakau (Norse,

    1971; Fry, 1982). Penangkapan konidium

    dilakukan baik di Jember maupun di

    Klaten dengan meletakkan 5 buah alat

    penangkap spora rotary spore trap tipe

    Kiyosawa. Pada alat penangkap spora

    dipasang gelas objek yang salah satu

    permukaannya dioles dengan vaselin

    (Reynolds & Francl, 1997). Peletakan alat

    penangkap spora mengikuti diagonal

    (Gambar 1) pada lahan tanaman berumur

    4 minggu. Konidium ditangkap setiap 4

    jam dalam waktu 10 hari setiap bulan

    selama 4 bulan. Dari hasil penangkapan

    konidium dan pengamatan cuaca

    diharapkan dapat diketahui waktu

    pemencaran konidium harian terbanyak.

    Penentuan lokasi untuk peletakan

    alat penangkap spora adalah umur

    tanaman seragam dan masih

    memungkinkan untuk dilakukan

    penelitian selama 2 bulan, luas hamparan

    lebih dari 5 ha., areal pertanaman rata,

    tidak terhalang oleh pepohonan yang

    tinggi, sehingga memungkinkan angin

    bergerak leluasa, dan ditemukan penyakit

    patik. Lokasi-lokasi yang dipilih adalah

    lokasi yang sebelumnya endemik penyakit

    patik.

    Gambar 1. Peletakan alat penangkap spora di

    lapangan

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengamatan pemencaran konidium

    dilakukan dengan penangkapan spora

    selama 4 bulan dengan interval

    pengamatan setiap 4 jam. Pengamatan

    pada tembakau besuki NO yang dilakukan

    pada bulan kering (September 2001)

    bertepatan dengan fase prapanen

    tembakau, sedangkan fase panen pada

    bulan Oktober 2001 adalah bulan lembap.

    Pada tembakau vorstenland, pengamatan

    yang dilakukan pada bulan November dan

    Desember 2001 adalah musim penghujan

    dan termasuk ke dalam kategori bulan

    basah. Pengamatan pada tembakau besuki

    NO yang dilakukan pada bulan kering

    (September 2001) bertepatan dengan fase

    prapanen tembakau, sedangkan fase panen

    pada bulan Oktober 2001 adalah bulan

    lembap. Pada tembakau vorstenland,

    pengamatan yang dilakukan pada bulan

    November dan Desember 2001 adalah

    musim penghujan dan termasuk ke dalam

    kategori bulan basah. Pada bulan basah

    merupakan hasil pengamatan selama satu

    musim tanam tembakau vorstenland di

    Klaten dari fase prapanen sampai selesai

    panen.

    Untuk memastikan bahwa konidium

    yang tertangkap adalah konidium C.

    nicotianae, dilakukan perbandingan antara

    konidium hasil tangkapan dan konidium

    hasil korekan dari daun tembakau yang

    terserang patik. Seperti dikemukakan

    Hino & Takeshi (1978); Holliday (1980);

    dan Vermeulen (1999) ukuran konidium

    C. nicotianae sangat beragam, yaitu 25-

    370x3,4-6,1m. Terbukti bahwa konidium hasil korekan dari daun yang sakit dan

    konidium hasil penangkapan

    menunjukkan bentuk yang sama (Gambar

    2). Demikian juga dengan ukuran

    konidium, baik hasil korekan dari daun

    yang sakit maupun hasil penangkapan

    menunjukkan rentang ukuran yang berada

    dalam rentang yang telah diinformasikan

    sebelumnya. Konidium C. nicotianae

    yang dikorek dari daun yang sakit

    menunjukkan ukuran 60-242,5x2,5-5m

    /

    /

    \

    \

    \

    \

    /

    /

    /

    /

    /

    /

    \

    \

    \

    \

    Areal

    tembaka

    u

    (Tobacc

    o area) Tanama

    n sampel

    (Tested

    plant)

    Alat

    penangkap

    spora

    (spore trap)

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    14

    dan konidium hasil tangkapan 85-

    195x2,5-5m

    Tabel 1. Konidium yang tertangkap pada bulan kering, lembab, dan basah

    Jam

    Bulan kering Bulan lembab Bulan basah

    Rerata

    jumlah

    konidium

    tertangkap

    Curah

    hujan

    Rerata

    jumlah

    konidium

    tertangkap

    Curah

    hujan

    Rerata

    jumlah

    konidium

    tertangkap

    Curah

    hujan

    06.00-18.00 0,2 0,0 12,6 TTU 0 0,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    06.00-18.00 0 0,0 18,8 0,0 2 0,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    06.00-18.00 0,6 0,0 11,8 0,0 1,2 0,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    06.00-18.00 0,4 0,0 9,4 0,0 8,6 0,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 1,0 0 TTU

    06.00-18.00 0,8 0,0 6,6 0,0 29,4 119,2

    18.00-06.00 0 0,0 0 12,6 0 0,0

    06.00-18.00 1,4 0,0 1,4 0,0 19 12,5

    18.00-06.00 0 0,0 0 31,0 0 TTU

    06.00-18.00 0,2 0,0 5 0,0 4 24,5

    18.00-06.00 0 0,0 0 10,6 0 TTU

    06.00-18.00 2,4 0,0 8,4 0,0 1 0,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 0,0 0 22,9

    06.00-18.00 0 0,0 0 0,0 6 11,4

    18.00-06.00 0 0,0 0 11,5 0 0,0

    06.00-18.00 1,4 0,0 8,4 0,0 0,8 23,0

    18.00-06.00 0 0,0 0 0,5 0 2,6

    06.00-18.00 1,2 4,5

    18.00-06.00 0,4 17,5

    06.00-18.00 1,6 TTU

    18.00-06.00 0 2,6

    06.00-18.00 7 TTU

    18.00-06.00 0 3,0

    06.00-18.00 153,4 0,6

    18.00-06.00 0 1,0

    06.00-18.00 1,8 3,3

    18.00-06.00 0 3,4

    06.00-18.00 1,8 0,0

    18.00-06.00 0 0,0

    06.00-18.00 9 0,0

    18.00-06.00 0 TTU

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    15

    Hasil penangkapan konidium C.

    nicotianae menunjukkan bahwa konidium

    hanya tertangkap pada siang hari, yaitu

    pada alat penangkap spora yang dipasang

    pada pukul 06.0010.00, 10.0014.00, dan 14.0018.00. Konidium mulai tertangkap pada pagi hari pukul 06.00 dan mencapai

    puncak pada siang hari pukul 14.00-18.00

    di Jember, dan pukul 10.00-14.00 di

    Klaten. Perbedaan waktu terjadinya

    puncak pemencaran konidium di Jember

    dan Klaten disebabkan oleh perbedaan

    keadaan cuaca selama pertanaman. Di

    Jember, pertanaman tembakau besuki NO

    yang diamati adalah pertanaman seri II

    dari 3 seri yang ditanam oleh PTPN X

    Jember. Pertanaman seri kedua ini

    berlangsung pada akhir musim kemarau

    sampai permulaan musim penghujan,

    sehingga keadaan cuaca pada fase

    prapanen berlangsung pada bulan kering

    yang diikuti oleh bulan lembap pada fase

    panen. Sebaliknya, di Klaten tembakau

    cerutu vorstenland yang diamati dalam

    penelitian ini merupakan pertanaman seri

    II dari dua seri pertanaman tembakau yang

    ditanam oleh PTPN X Klaten.

    Penanaman tembakau seri II sudah

    memasuki musim penghujan sehingga

    seluruh fase pertanaman, baik fase

    prapanen maupun fase panen, berada pada

    bulan basah menurut klasifikasi iklim

    Schmidt dan Ferguson (1951, cit

    Wisnubroto, 1999). Istilah bulan kering dan bulan basah pada musim tanam tembakau sebelumnya pernah digunakan

    oleh Hartana pada tahun 1980 (Hartana,

    1980). Pembagian ini dianggap lebih tepat

    karena kajian epidemiologi penyakit

    tumbuhan bersifat holistik dan tidak

    parsial. Penggunaan nama daerah dalam

    hubungannya dengan lokasi tanaman

    hanya dilihat sebagai lokasi admisnistratif.

    Agroekosistem kedua tempat

    tersebut dari segi agrometeorologis

    hampir sama, sedangkan perbedaan

    varietas tidak mempengaruhi hasil analisis

    karena kedua varietas yang digunakan

    tersebut rentan terhadap penyakit patik.

    Di Jember pertanaman tembakau terjadi

    pada akhir musim kemarau sampai

    permulaan musim penghujan, sehingga

    suasana bulan kering pada fase prapanen

    dengan kelembapan udara yang rendah,

    lebih berperan dalam pemencaran

    konidium di Jember.

    Curah hujan juga menunjukkan

    korelasi negatif. Meskipun peranannya

    kecil yakni -0,103 namun koefisien

    korelasi tersebut dapat memberi gambaran

    bahwa semakin tinggi curah hujan

    semakin sedikit jumlah konidium yang

    dipencarkan (gambar 4). Dalam hasil

    analisis, peranan ini tampak lemah

    Gambar 2. Konidium Cercospora (A) C. nicotianae dikorek dari daun tembakau yang sakit,

    (B) C. nicotianae tertangkap pada gelas objek yang dipasang pada alat penangkap

    spora.

    A B

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    16

    disebabkan oleh terbaginya data

    kelembapan pada bulan Oktober ke bulan

    kering pada bulan September, sehingga

    korelasinya tampak melemah. Terbaginya

    kelembapan bulan Oktober ke bulan

    September, memberi gambaran bahwa ada

    perbedaan keadaan kelembapan yang

    ekstrim pada kedua bulan tersebut.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    100

    25 30 35 53 58 63 68

    Umur tanaman, hari (plant age, days)

    Kele

    mbapan u

    dara

    ,%

    (Rela

    tive h

    um

    idity, %

    )

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    Cura

    h h

    uja

    n, m

    m (

    rain

    fall,

    mm

    ), J

    um

    lah k

    onid

    ium

    (num

    ber

    of conid

    ia)

    RH Curah hujan Jlh. Konidium

    Gambar 3. Perbedaan curah hujan dan kelembapan selama penelitian bulan September dan Oktober

    pada pertanaman seri II tembakau besuki di Jember musim tanam tembakau 2001

    Y = -0.0929x +

    0.8038

    R2 = 0.3625

    0,0

    1,0

    2,0

    3,0

    0,0 5,0 10,0

    Lama penyinaran matahari, jam

    (Sun shine duration, hr)

    Ju

    mla

    h k

    on

    idiu

    m

    (Nu

    mb

    er

    of

    co

    nid

    ia)

    Y = 0.031x + 0.4742

    R2 = 0.0083

    0

    50

    100

    150

    200

    0 50 100 150 200

    Curah hujan, mm (Rainfall, mm)

    Ju

    mla

    h k

    on

    idiu

    m

    (N

    um

    be

    r o

    f co

    nid

    ia)

    Gambar 4. Kurva estimasi pengaruh unsur-unsur cuaca terhadap pemencaran konidium pada bulan

    kering dan lembab di Jember

    Tertangkapnya konidium hanya

    siang hari menunjukkan bahwa konidium

    C. nicotianae adalah day spore. Menurut

    Su et al. (1999), pada banyak patogen

    terbawa udara, kelembapan udara dan

    cahaya merupakan dua faktor penting

    dalam pembebasan spora. Akan tetapi Su

    et al. (1999), tidak menjelaskan dalam

    keadaan kering, lembap atau basah

    pembebasan itu terjadi. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa kelembapan tampak

    hanya penting pada pertanaman tembakau

    NO di Jember yang ditanam pada akhir

    musim kemarau dan dipanen pada bulan

    Sept.

    Okt.

    (Oct.)

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    17

    lembap awal musim penghujan.

    Sebaliknya, pada pertanaman seri II di

    Klaten yang ditanam pada musim

    penghujan yang basah, peranannya tidak

    tampak menunjukkan hubungan yang

    berarti.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    1. Konidium C. nicotianae dapat ditangkap dengan alat penangkap

    spora tipe Kiyosawa

    2. Konidium C. nicotianae bersifat day spore yang hanya tertangkap pada

    siang hari.

    3. Curah hujan juga menunjukkan korelasi negatif, semakin tinggi curah

    hujan semakin sedikit jumlah

    konidium yang dipencarkan

    DAFTAR PUSTAKA

    Akehurst, B.C. 1981. Tobacco. Tropical

    Agriculture Series, Longman,

    London. 764 hlm.

    Anonim, 1975. Virginia flue-cured

    tobacco is now facing a bright future

    in Indonesia. Tobacco, July 25,

    1975.

    ----------. 2000b. Prospect of Agribusiness

    Investment in Indonesia.

    http://www.harvest-

    international.com/perspec/jan2k1_pr

    ospect.htm.

    Fry, E.W. 1982. Principles of Plant

    Disease Management. Academic

    Press, New York. 378 hlm.

    Hartana, 1999. Fermentasi dan Kaitannya

    dengan Kualitas Tembakau Cerutu.

    Makalah disampaikan pada diskusi

    di PTP Nusantara II (Persero),

    Medan.

    -----------, 1980. Studi mengenai

    Karakteristik Curah Hujan di

    Daerah Tembakau Besuki

    Khususnya di Jember dan

    Kaliwining. Menara Perkebunan 48

    (4): 99-108

    Hino, T. dan H. Takeshi. 1978. Some

    pathogens of Cercosporiosis

    Collected in Brazil. Tech. Bull.

    TARC 11 : 1-130

    Holliday, P. 1980. Fungus Diseases of

    Tropical Crops. Cambridge

    University Press. Cambridge. 607

    hlm.

    Norse, D. 1971. Lesion and Epidemic

    Development of Alternaria longipes

    (Ell. & Ev.) Mason on Tobacco.

    Ann. Appl. Biol. 69 : 105-123

    Nurindah, A.A. Agra Gothama, dan

    Soebandrijo. 1998. Kumpulan

    Makalah Penyegaran (Refreshing)

    Peneliti dan Praktisi Tembakau

    Lingkup PTP Nusantara II & X di

    Jember. Asosiasi Penelitian

    Perkebunan Indonesia. 10 hlm.

    PTPN X, 2000.

    http://www.kpbptpn.co.id/PTPN/E_

    ptpn10.html.

    Reynolds K.L.dan Francl, L.J. 1997.

    Quantification of Populations of

    Airborne Pathogens. Dalam Francl,

    L.J. dan Neber, D.A. (eds.).

    Exercises in Plant Disease

    Epidemiology. APS Press. St. Paul,

    Minnesota

    Su, H., A.H.C. van Bruggen, dan K.V.

    Subbarrao. 1999. Spore release of

    Bremia lactucae on Lettuce Is

    Affected by Timing of Light

    Initiation and Decrease in Relative

    Humidity. Phytopathology 90: 67-

    71.

    Thurston, H.D. 1984. Tropical Plant

    Diseases. The APS, Minnesota, 208

    hlm.

    Vermeulen, H. 1999. Cercospora

    nicotianae on Deli Tobacco.

    Seminar Sehari Balai Penelitian

    Tembakau Deli. PTPN II, Medan,

    11 hlm.

    Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi

    Pertanian Indonesia. Mitra Gama

    Widya. 143 hlm.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    18

    PREFERENSI SPODOPTERA Litura F.

    TERHADAP BEBERAPA PAKAN

    Azwana1 dan Adikorelsi Tambunan

    2

    1. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area; [email protected] 2. Stasiun Karantina Pertanian Klas I Banda Aceh

    ABSTRAK Penelitian dilaksanakan pada bulan MeiJuli 2008 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Medan Area dengan rancangan acak lengkap non faktorial. Tujuan penelitian untuk

    mengetahui preferensi larva Spodoptera litura F. terhadap beberapa pakan yang diuji. Pakan yang

    diuji yaitu daun sawi, daun kubis dan daun kedelai dengan jumlah ulangan 6. Hasil penelitian

    memperlihatkan bahwa Spodoptera litura lebih menyukai daun kedelai (D3) sebagai sumber

    makanannya dibandingkan dengan daun kubis (D1) dan daun sawi (D2). Persentase kehilangan berat

    makanan pada daun kedelai sebesar 54,00% disusul daun sawi sebesar 44,33% dan yang paling kecil

    dijumpai pada daun kubis sebesar 42,67%. Persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan

    D1 (daun kubis) sebesar 56,67% (umur 8 hsi), sedangkan yang paling kecil dijumpai pada perlakuan

    D3 (daun kedelai) sebesar 33,33% (umur 8 hsi). Hasil penelitian memberikan informasi bahwa

    preferensi larva Spodoptera litura lebih besar terhadap daun kedelai dibandingkan dua daun yang

    diuji lainnya.

    Kata kunci : preferensi, larva, mortalitas, Spodoptera litura.

    PENDAHULUAN

    Ulat grayak (Spodoptera litura F.) dari

    ordo Lepidoptera dan famili Noctuidae

    merupakan salah satu hama penting pada

    tanaman kedelai, kubis dan sawi. Kehilangan

    hasil akibat serangan hama tersebut dapat

    mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan

    kegagalan panen (puso). Hama ini memiliki

    sifat polyfag sehingga ia dapat memakan

    berbagai jenis tanaman demi kelangsungan

    hidupnya (Kalshoven, 1981; Noach, et al.,

    1983).

    Siklus hidup S. litura berlangsung

    selama 1 bulan dengan masa telur 3 5 hari, masa larva 15 17 hari, masa pupa 7 10 hari. Imago dapat hidup 1 13 hari. Telur diletakkan berkelompok di bawah permukaan

    daun dan ditutupi oleh bulu-bulu halus

    berwarna coklat kemerahan dengan produksi

    telur mencapai 3000 butir per induk betina,

    tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata

    350 butir per kelompok. Ngengat betina

    meletakkan telur pada umur 2 6 hari. Larva yang baru menetas berwarna

    kehijauan dengan sisi samping hitam

    kecoklatan. Larva instar 1 berwarna hijau

    bening, panjang tubuh 2,00 2,74 mm. Larva instar 1 hidup berkelompok dan

    memakan bagian daun dengan meninggalkan

    tulang-tulang daun. Larva instar 2 berwarna

    hijau, panjangnya 3,75 10 mm dan bulu-bulu halus sudah tidak terlihat lagi. Larva

    instar 3 panjangnya mencapai 8,00 15,00 mm, pada bagian kiri dan kanan tubuhnya

    terdapat garis-garis zig-zag berwarna hitam

    putih dan bulatan-bulatan hitam sepanjang

    tubuhnya. Larva instar 4, 5 dan 6 agaknya

    sukar dibedakan, panjang tubuh 13,00 50,00 mm untuk instar 6 periode ulat pada instar 6

    berlangsung selama 2,5 hari. Pada bagian kiri

    dan kanan tubuhnya terdapat gambar atau pola

    yang terbentuk setengah lingkaran.

    Mulai instar 4 warna bervariasi yaitu

    hitam, hijau keputihan, hijau kekuningan, dan

    hijau keunguan. Pupa berwarna coklat tua,

    panjang 12,50 17,50 mm. Lebar 5,00 7,00 mm. Pupa berbentuk bulat lonjong dan

    diletakkan dalam tanah di dekat permukaan +

    2 cm. Panjang ngengat betina 1,4 cm sedang

    jantan 1,7 cm.

    Panjang rentang sayap S. litura berkisar

    12 cm, ngengat hidup sampai 13 hari dengan

    rata-rata 9 hari. Sayap depan berwarna coklat

    atau kepekatan, sayap belakang berwarna

    keputihan dengan noda hitam (Kalshoven,

    1981, AAK, 1991, Rukmana, 1991; Noach, et

    al., 1983).

    S. litura menyerang tanaman pada

    stadia larva. Larva merusak dan memakan

    daun, sehingga daun yang diserang menjadi

    berlobang-lobang dengan bentuk yang tak

    teratur. Tanaman yang terserang parah

    mengakibatkan produksinya menurun, dan

    kwalitasnya rendah. Serangan hebat terjadi di

    musim kemarau.

    Sampai saat ini pengendalian S. litura

    masih mengandalkan insektisida kimia, dan

    cara ini berdampak buruk terhadap fungsi dan

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    19

    kelangsungan hidup musuh alami seperti

    parasitoid dan predator. Selain itu penggunaan

    insektisida dapat menimbulkan masalah

    resistensi maupun resurjensi terhadap ulat

    grayak maupun hama lainnya.

    Oleh karena itu digunakan cara

    pengendalian alternatif yaitu dengan mencari

    tanaman yang bisa dijadikan tanaman pagar,

    sehingga kita mencari jenis tanaman yang

    paling disukai oleh hama yang kita jadikan

    sasaran tidak berdampak negatif terhadap

    parasitoid, predator, dan tidak mencemari

    lingkungan hidup ( AAK, 1991; Kalshoven,

    1981; Noach, et al. 1983; Program Nasional

    PHT, 1998).

    Kubis (Brassica oleracea L. var.

    capitata L.) termasuk salah satu sayuran daun

    yang digemari oleh hampir setiap orang. Citra

    rasanya enak dan lezat, juga mengandung gizi

    cukup tinggi serta komposisinya lengkap, baik

    vitamin maupun mineral , adapun komposisi

    gizi kubis tiap 100 gram bahan segar adalah :

    kalori (kal.) 25,0; protein 1,7 gr; lemak 0,2 gr;

    karbohidrat 5,3 gr; kalsium 64,0 mg; fosfor

    26,0 mg; zat besi 0,7 mg; natrium 8,0 mg;

    niacin 0,3 mg; serat 0,9 mg; abu 0,7 mg;

    vitamin A 75,0 mg; vitamin B1 0,1 mg dan

    vitamin C 62,0 mg (Direktorat Gizi Depkes

    R.I., 1981).

    Sawi (Brassica juncea L.) masih satu

    keluarga dengan kubis yakni famili

    Cruciferae (Brassicaceae) sehingga sifat

    morfologis tanamannya hampir sama,

    terutama pada sistim perakaran, struktur

    batang, bunga, buah maupun bijinya.

    Sayuran ini juga sangat digemari

    karena harganya yang murah dan

    mengandung nilai gizi dari tiap 8,2 gr bahan

    kering adalah : kalori 24; protein 2,4 gr; serat

    1,0 gr; kapur 160 mg; besi 2,7 mg; karoten 1,8

    mg; askorbin 75 mg (Rukmana, 1994).

    Kedelai (Glycine max L.Merrill)

    merupakan salah satu sumber protein nabati,

    dengan komposisi gizi air (13,75%), protein

    (41%), lemak (15,80%), karbohidrat (14,85%)

    dan mineral (5,25%) (AAK, 1991; Suprapto,

    1991).

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian dilaksanakan di

    Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan

    Fakultas Pertanian Universitas Medan Area

    pada bulan Mei Juli 2008. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap

    (RAL) Non Faktorial dengan bahan uji berupa

    daun kubis (D1), daun sawi (D2) dan dan

    kedelai (D3) , jumlah ulangan 6.

    Serangga yang akan diuji terlebih

    dahulu direaring di laboratorium agar

    diperoleh jumlah larva S. litura instar 3 yang

    cukup dengan umur yang sama.

    Daun kubis, sawi dan kedelai yang

    telah disiapkan dimasukkan ke dalam wadah,

    masing-masing sebanyak 50 gr sesuai

    perlakuan. Setiap jenis pakan dibuat 6 wadah

    dan pada setiap wadah dimasukkan 10 ekor S.

    Litura yang telah dilaparkan dulu selama 12

    jam.

    Satu hari setelah perlakuan, daun sisa

    diambil dan ditimbang lalu diganti dengan

    daun baru dan dihitung persentase kehilangan

    berat pakan dengan rumus:

    K = %100xBA

    S

    Dimana :

    K = persentase kehilangan berat pakan

    (%)

    S = sisa berat makanan (g)

    BA = berat awal makanan (g)

    Hari ke 2 (dua) setelah investasi

    dilakukan pengamatan Persentase Mortalitas

    Serangga Spodoptera litura (%) dengan

    interval 2 hari hingga ditemukan kematian

    serangga uji 100% dengan menggunakan

    rumus :

    P = %100xB

    A

    Dimana :

    P = persentase kematian serangga

    A = jumlah serangga yang mati

    B = jumlah serangga keseluruhan/serangga

    awal

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Preferensi Spodoptera litura Terhadap

    Persentase Kehilangan Berat pakan (%) tidak

    berpengaruh nyata pada umur 1 hsi, hal ini

    kemungkinan disebabkan serangga uji masih

    menyesuaikan dengan pakan yang tersedia,

    tetapi berpengaruh sejak umur 2 8 hsi dimana perlakuan D3 (daun kedelai) berbeda

    sangat nyata terhadap D1 (daun kubis) dan D2

    (daun sawi).

    Perlakuan D1 juga berbeda sangat nyata

    terhadap D2.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    20

    Tabel 1. Preferensi konsumsi Spodoptera Litura terhadap beberapa jenis pakan (%)

    berdasarkan uji Duncans

    Perlakuan Umur

    1 hsi 2 hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 his

    D1 11,67 a 14,33 c 12,67 c 17,33 c 28,00 c 40,00 c 40,67 c 42,67 c

    D2 12,33 a 15,33 b 14,33 b 18,33 b 31,67 b 41,33 b 41,67 b 44,33 b

    D3 14,33 a 20,00 a 22,67 a 28,33 a 41,00 a 49,33 a 52,67 a 54,00 a

    KK 10,26% 9,24% 7,16% 8,31% 5,84% 4,59% 3,91% 3,24%

    Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan berbeda

    nyata pada taraf uji 0,05.

    Tabel di atas memperlihatkan bahwa

    persentase kehilangan berat pakan terbesar

    dijumpai pada daun kedelai (D3) sedangkan

    yang paling kecil dijumpai pada daun kubis

    (D1). Ini berarti bahwa S. litura lebih

    menyukai daun kedelai sebagai makanannya

    dibandingkan 2 jenis daun lainnya. Rata-rata

    persentase kehilangan berat pakan pada daun

    kedelai sebesar 35,54%, diikuti pada daun

    sawi sebesar 27,42% dan yang paling kecil

    pada daun kubis sebesar 25,97%.

    Serangga S. litura tidak menyukai daun

    kubis karena daun ini lebih banyak

    mengandung air, sedangkan S. litura lebih

    aktif pada daerah kering. Rukmana (1994)

    mengatakan bahwa serangan berat dari S.

    litura terjadi pada musim kemarau.

    Pengaruh Jenis Pakan Terhadap

    Persentase Mortalitas S. litura (%)

    memperlihatkan bahwa jenis pakan

    berpengaruh tidak nyata terhadap persentase

    mortalitas S. litura umur 1 3 hsi, tetapi berpengaruh sangat nyata sejak umur 4 8 hsi.

    Tabel 2. Pengaruh Jenis Makanan Terhadap Persentase Mortalitas S. litura (%) Selama Penelitian .

    Perlakuan Umur

    1 hsi 2 hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 his

    D1 11,67 a 13,33 a 16,67 a 25,00 a 26,67 a 36,67 a 46,67 a 56,67 a

    D2 11,67 a 11,67 a 15,00 a 16,67 b 21,67 b 30,00 b 36,67 b 38,33 b

    D3 10,00 a 10,00 a 11,67 a 13,33 c 16,67 c 23,33 c 26,67 c 33,33 c

    KK 12,71% 14,19% 16,73% 14,71% 11,54% 11,17% 7,40% 5,77%

    Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan

    berbeda nyata pada taraf uji 0,05.

    Tabel di atas memperlihatkan bahwa

    sejak umur 4 8 hsi, perlakuan D1 (daun kubis) berbeda sangat nyata terhadap D2 (daun

    sawi) dan D3 (daun kedelai). Perlakuan D2

    juga berbeda sangat nyata terhadap D3.

    Persentase mortalitas tertinggi dijumpai pada

    jenis pakan daun kubis (D1), sedangkan

    persentase mortalitas terendah adalah

    perlakuan D3 (daun kedelai).

    Tingginya persentase mortalitas S.

    litura pada daun kubis disebabkan daun kubis

    lebih banyak mengandung air dibandingkan

    jenis makanan lainnya, sehingga menurunkan

    selera makan S. litura. Selain jenis makanan

    yang disukainya, kematian S. litura juga

    disebabkan karena serangga ini bersifat

    kanibal atau saling memangsa satu sama lain

    (Noach, et. Al., 1983).

    Dari hasil pengamatan diperoleh

    bahwa pada umur 9 hsi, larva S. litura

    sebagian telah berubah menjadi pupa pada

    semua jenis pakan yang diberikan.

    KESIMPULAN

    1.Spodoptera litura lebih menyukai daun

    kedelai (D3) sebagai sumber makanannya

    dibandingkan dengan daun kubis (D1) dan

    daun sawi (D2).

    2. Persentase kehilangan berat makanan pada

    daun kedelai sebesar 54,00% sedangkan

    yang paling kecil dijumpai pada daun kubis

    sebesar 42,67%.

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    21

    3. Perlakuan jenis makanan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase mortalitas

    S. litura sejak umur 1 8 hari setelah investasi. Persentase mortalitas tertinggi

    dijumpai pada perlakuan D1 (daun kubis)

    sebesar 56,67% (umur 8 hsi), sedangkan

    yang paling kecil dijumpai pada perlakuan

    D3 (daun kedelai) sebesar 33,33% (umur 8

    hsi).

    4. Bagi petani kedelai agar senantiasa

    mewaspadai serangan S. litura mengingat

    dari hasil penelitian ini kehilangan berat

    pakan daun kedelai cukup tinggi.

    DAFTAR PUSTAKA

    AAK, 1991. Kedelai. Kanisius. Jakarta.

    Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar

    Kkomposisi bahan makanan. Bharata

    Karya Aksara. Jakarta.

    Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in

    Indonesia. Revised by PA. van der

    Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.

    Jakarta.

    Noach, IP. et al. 1983. Ulat Grayak

    Spodoptera litura F. sebagai salah satu

    hama tanaman kacang-kacangan.

    Kongres Entomologi II. Jakarta.

    Program Nasional Pengendalian Hama

    Terpadu, 1998. Petunjuk studi lapang

    pengendalian hama terpadu sayuran.

    Departemen Pertanian. Jakarta.

    Rukmana. 1994. Bertanam Kubis. Kanisius.

    Yogyakarta.

    Suprapto. 1991. Bertanam kedelai. Penebar

    Swadaya. Jakarta..

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    22

    AKTIVITAS HIDROLISIS PROTEASE EKSTRAK JEROAN IKAN

    MAS (Cyprinus Carpio L.)

    Rosliana Lubis

    Fakultas Biologi Universitas Medan Area

    ABSTRACT Protease are enzyme type which catalysis of reaction hydrolisis the protein by breaking tying

    peptides. This research aimed to isolation of enzyme protease from jeroan goldfish (Cyprinus

    carpio L.) and determine the enzyme activity to decompose substrat. Here we report, protease

    activity from jeroan goldfish (Cyprinus carpio L.) in which this result was found by reacting

    between substrat with the extract of enzyme protease with optimum condition : time of

    incubation 25 hours, pH 7 and temperature of incubation 50oC. Determinan of enzyme activity

    by Spectrofotometry method and protein enzyme by Lowry method. Based on measurement,

    crude extract of activity enzyme is 0,343 unit / g protein and enzyme protein is 284,124 g/ ml.

    Keywords : reaction hydrolisis, jeroan goldfish

    PENDAHULUAN

    Enzim merupakan protein yang dapat

    mengkatalisis berbagai reaksi kimia dengan

    kemampuan 1012

    1020 tanpa enzim itu berubah setelah reaksi selesai. Enzim banyak

    digunakan dalam aplikasi industri karena

    sebagai biokatalis, enzim bekerja secara

    spesifik dan sangat efisien. Umumnya kerja

    enzim juga tidak membutuhkan pemanasan

    atau perlakuan tekanan seperti katalis non-

    biologis (Muchtadi, 1992)

    Penggunaan enzim dalam bidang

    industri, baik industri pangan maupun non

    pangan semakin berkembang di Indonesia.

    Kebutuhan enzim dalam industri pangan

    seperti keju, desktrin, gula cair, sari buah,

    susu, daging, bir, minyak dan lain-lain terus

    meningkat. Enzim juga banyak digunakan

    dalam industri non pangan seperti pada

    penyamakan kulit, pembuatan pasta gigi,

    pembuatan sabun, kosmetik, farmasi dan lain

    sebagainya (Nurhasanah, 2006).

    Salah satu enzim yang banyak

    menarik perhatian saat ini, serta mempunyai

    peran penting dalam perkembangan

    bioteknologi adalah enzim Protese. Menurut

    Suhartono Thenawidjaja Maggy (2000),

    enzim protease merupakan satu diantara tiga

    kelompok enzim komersial yang

    diperdagangkan dengan nilai mencapai 60%

    dari total penjualan enzim.

    Sampai saat ini di Indonesia, Ikan

    yang berpotensi untuk menghasilkan Protease

    masih banyak dan belum dimanfaatkan secara

    intensif. Mengingat indonesia, merupakan

    negara Bahari yang kaya akan beragam jenis

    ikan, maka Indonesia juga berpeluang besar

    untuk menghasilkan dan mengembangkan

    industri enzim ini, sehingga merupakan salah

    satu terobosan dalam alih teknologi

    (Fatahillah, 1993).

    Berdasarkan data Statistik dari Dinas

    Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera

    utara tahun 2001, diperoleh data produksi ikan

    mas untuk kota Medan sekitar 24,8 ton

    pertahun dan tingkat pemasarannya mencapai

    1,4 ton perbulannya. Melihat tingginya

    produksi dan pemasaran ikan mas, khususnya

    di kota Medan, berarti jumlah

    Jeroan ikan mas yang dihasilkan juga

    cukup tinggi. Bagi sebagian besar orang,

    umumnya jeroan tersebut dibuang begitu saja.

    Jeroan yang dibuang begitu saja, terkadang

    dapat menimbulkan bau yang tidak sedap

    terhadap lingkungan disekitarnya. Namun

    disisi lain, keberadaan Jeroan yang dibuang

    begitu saja tersebut, masih memungkinkan

    untuk diolah menjadi penghasil enzim

    protease sebab kandungan protein dalam

    jeroan tersebut masih relatif tinggi sehingga

    diduga aktivitas enzim protease juga akan

    tinggi.

    Dalam makalah ini dilaporkan

    aktivitas enzim protease dari ekstrak Jeroan

    ikan mas. Tujuan dari penelitian ini adalah

    untuk menentukan uji kuantitatif enzim

    protease sehingga dapat diketahui nilai

    aktivitas dari kerja enzim tersebut dalam

    menguraikan substrat.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat

    memberikan pemahaman tentang pemanfaatan

    Jeroan ikan mas yang memiliki kemampuan

    aktivitas protease. Disamping itu, penelitian

    ini juga dapat memberikan informasi

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    23

    mengenai sumber daya alam yang bisa

    dijadikan sebagai penghasil enzim industri.

    METODE PENELITIAN

    Alat dan Bahan

    Peralatan yang digunakan adalah

    Spektofotometer, Kuvet kaca, Neraca analitik,

    pH meter, termometer, Sentrifuse 14000 rpm,

    Freezer Dryer, Penangas air, Shaker

    inkubator, lemari pendingin, Blender, Kertas

    saring, Buret, dan alat gelas lainnya seperti

    labu Erlenmeyer, Beaker glass, labu takar,

    tabung reaksi, spatula, pipet tetes, magnetic

    stirer dan lain-lain.

    Bahan utama yang digunakan adalah

    Jeroan ikan mas yang diperoleh dari pasar

    ikan di kota Medan. Adapun bahan kimia

    yang diperlukan adalah aquadest, C6H8O7,

    CCl3COOH, HCL 37%, NaOH, Na2CO3,

    CH3COCH3, C4H4KNaO6 . 4H2O,

    C10H14N2Na2O8. 2H2O, Na2HPO4, C9H11NO3,

    CuSO4. 5H2O. , Reagen Folin phenol

    ciocalteu, Bovine Serum Albumin (BSA).

    Prosedur Penelitian

    Preparasi enzim dan larutan pereaksi

    Preparasi enzim

    Preparasi enzim dilakukan menurut

    metode Ritzman (1999) dan Abigor (2002).

    Enzim diisolasi pada suhu 40C untuk semua

    percobaan yang dilakukan. Jeroan ikan mas

    dicuci dengan air destilasi dan dihomogenisasi

    dalam 0,15 M larutan buffer fosfat ( 5 ml/g

    berat basah) yang berisi 0,6 M Sukrosa, 1 mM

    EDTA, 10 mM KCl, 1 mM MgCl2, sedangkan

    pH diatur 7 dengan penambahan KOH dengan

    cara memblendernya.

    Blender tidak boleh dihidupkan lebih

    dari 30 detik. Homogenat diendapkan dengan

    penambahan aseton (1 : 3, v/v) selama 5

    jam. Selanjutnya disentrifugasi dengan

    putaran 14.000 rpm dengan suhu 40C. Lapisan

    supernatan yang diperoleh di Freezer dryer

    dengan suhu -40C selama 5 jam hingga

    terbentuk serbuk halus. Serbuk putih yang

    diperoleh digunakan untuk pengujian aktivitas

    hidrolisis protease, dan sebelumnya dilarutkan

    terlebih dahulu dengan larutan buffer fosfat.

    Ekstrak enzim lipase disimpan pada suhu 40C

    selama menunggu dilakukan pengujian

    Pembuatan pereaksi untuk pengukuran

    aktivitas enzim protease

    a. Larutan A : sebanyak 2 gr Na2CO3

    dilarutkan dalam 100 ml NaOH 0,1 N

    b. Larutan B : sebanyak 5 ml CuSO4. 5H2O

    1% ditambahkan kedalam 5 ml larutan Na-

    K-tartrat (C4H4KNaO6 . 4H2O) 2%.

    c. Larutan C : Sebanyak 2 ml larutan B

    ditambahkan dengan 100 ml larutan A

    d. Larutan D : Reagen Folin Phenol

    Ciocalteu diencerkan dengan air suling (1 :

    1, v/v)

    e. Larutan Standar Tirosin konsentrasi 0 300 ppm

    Pembuatan pereaksi Lowry

    a.Larutan A: sebanyak 2 gr Na2CO3 dilarutkan

    dalam 100 ml NaOH 0,1 N

    b. Larutan B: sebanyak 5 ml CuSO4. 5H2O

    1% ditambahkan kedalam 5 ml larutan

    Na-K-tartrat (C4H4KNaO6 . 4H2O) 2%.

    c.Larutan C: Sebanyak 2 ml larutan B

    ditambahkan dengan 100 ml larutan A

    d. Larutan D: Reagen Folin Phenol Ciocalteu

    diencerkan dengan air suling (1 : 1, v/v)

    e. Larutan Standar Bovine Serum Albumin

    (BSA) konsentrasi 0 300 ppm

    Optimasi reaksi hidrolisis protease ekstrak

    jeroan ikan mas

    Pada sejumlah labu erlenmeyer yang

    diperlukan dan telah diisi dengan larutan

    Bovin serum albumin (BSA) masing-masing 3

    ml, ditambahkan protease ekstrak jeroan ikan

    mas (1 ml) dan 7 ml larutan buffer fosfat

    sistein Na-EDTA. Kondisi optimum

    ditentukan dengan memvariasikan pH, suhu

    dan waktu inkubasi. Variasi pH yang

    dilakukan adalah 3, 3,5 ; 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 6,5;

    7; 7,5; 8; 8,5; dan 9. Variasi suhu inkubasi

    yang dilakukan 300C, 35

    0C, 40

    0C, 45

    0C,

    500C, 55

    0C, 60

    0C, 65

    0C dan

    700C.Sedangkan waktu inkubasi dilakukan

    selama 40 jam dengan interval pengamatan 5,

    10, 15, 20, 25, 30, 35 dan 40 jam. Reaksi

    hidrolisi dilakukan pada kondisi optimasi

    tersebut.

    Reaksi hidrolisis protease ekstrak jeroan

    ikan mas

    Reaksi hidrolisis dilakukan dengan

    menambahkan protease ekstrak jeroan ikan

    mas (1 ml) kedalam 3 ml larutan Bovin Serum

    Albumin (BSA) dan 7 ml larutan buffer fosfat

    sistein Na-EDTA. Selanjutnya dilakukan

    inkubasi dalam shaker dengan kecepatan 3400

    rpm pada suhu, pH dan waktu inkubasi

    optimum. Larutan yang telah dilakukan

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    24

    0.08

    0.25

    0.54

    1.91

    1.01

    0.57

    0.10

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    0 10 20 30 40 50

    Waktu inkubasi (jam)

    Ak

    tiv

    ita

    s e

    nz

    im (

    un

    it/

    mg

    pro

    tein

    ) x

    10

    inkubasi selanjutnya diuji kadar asam amino

    yang dapat dibebaskan.

    Penentuan kadar protein enzim

    Kadar protein ditentukan dengan

    menggunakan Metode Lowry yaitu sebanyak

    1 ml larutan enzim dimasukkan ke dalam

    tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml larutan

    C, kemudian campuran didiamkan pada suhu

    ruang selama 10 menit. Kemudian

    ditambahkan larutan D 1 ml dan diaduk,

    kemudian didiamkan pada suhu ruang selama

    30 menit. Warna biru yang terbentuk dibaca

    serapannya pada panjang gelombang 750 nm

    dengan Spektrofotometer. Banyaknya protein

    ditentukan berdasarkan kurva standar Bovin

    Serum Albumin (BSA) dengan konsentrasi 0

    300 ppm.

    Pengujian aktivitas protease

    Untuk menentukan aktivitas enzim

    protease dilakukan dengan menggunakan

    metode Metode Lowry yaitu : 2 ml larutan

    hasil hidrolisis protease ekstrak jeroan ikan

    mas dimasukkan kedalam erlenmeyer 5 ml.

    Substrat enzim tersebut diinaktifkan dengan

    penambahan CCl3COOH (Trikloro Asetat :

    TCA 30%) sebanyak 1 ml. kemudian

    ditambahkan 5 ml pereksi C, kocok dan

    biarkan selama 10 menit pada suhu kamar,

    ditambahkan 1 ml larutan D, kemudian

    didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit.

    Warna biru yang terbentuk dibaca

    serapannya pada panjang gelombang 750 nm

    dengan Spektrofotometer. Besarnya aktivitas

    ditentukan berdasarkan kurva Larutan Tirosin

    dengan konsentrasi 0 300 ppm.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Optimasi Reaksi Hidrolisis Protease Optimasi reaksi hidrolisis protease

    perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi

    terbaik dalam melakukan reaksi hidrolisis

    enzim. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan

    hasil reaksi yang baik. Kondisi optimum yang

    ditentukan pada optimasi reaksi hidrolisis

    protease ini meliputi waktu inkubasi, pH

    inkubasi dan suhu inkubasi.

    Waktu Inkubasi

    Aktivitas enzim Protease yang

    dihasilkan dari homogenat jeroan ikan mas

    pada berbagai waktu inkubasi dapat dilihat

    pada gambar 1.

    Gambar 1 : Kurva penentuan waktu

    inkubasi optimum reaksi hidrolisis

    substrat oleh enzim lipase

    Dari gambar tersebut terlihat bahwa

    aktivitas enzim protease yang dihasilkan dari

    homogenate jeroan ikan mas dari jam ke-5

    (lima) sampai jam ke-15 belum menunjukkan

    aktivitas yang berarti, hal ini disebabkan

    karena masih terjadi fase adaptasi. Fase

    eksponensial berlangsung dari jam ke-15

    sampai jam ke-.25. Pada fase ini enzim

    protease mengalami peningkatan aktivitas

    yang sangat tajam, kemampuan protease

    memecahkan molekul protein menjadi

    molekul-molekul asam amino, yang

    ditunjukkan dengan besarnya kadar asam

    amino (asam amino tirosin) yang dihasilkan,

    yakni sebesar 15,545 g/ml dan mencapai optimum pada jam ke-25 dengan aktivitas

    sebesar 0,0191 unit/mg protein.

    Dalam penelitian ini aktivitas protease

    maksimum tercapai pada akhir fase

    eksponensial, dimana pada saat tersebut

    kemampuan protease memecah molekul-

    molekul protein menjadi molekul-molekul

    asam amino semakin berkurang. Fase

    Stasioner sendiri berlangsung dari jam ke-25

    sampai jam ke- 40. Pada fase ini diperkirakan

    protein yang terkandung dalam substrat Bovin

    Serum Albumin (BSA) telah terurai dan

    aktivitas protease juga cendrung mengalami

    penurunan dan terus mengalami penurunan

    sampai tidak ada lagi aktivitas protease.

    pH Inkubasi

    Aktivitas enzim protease ekstrak

    jeroan ikan mas pada berbagai pH dapat

    dilihat pada gambar

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    25

    0.010.034

    0.157

    0.2546

    0.359

    0.256

    0.145

    0.0910.0740.0760.078

    0

    0.05

    0.1

    0.15

    0.2

    0.25

    0.3

    0.35

    0.4

    0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

    Suhu inkubasi (celcius)

    Akti

    vit

    as e

    nzim

    (u

    nit

    / m

    g p

    rote

    in)

    0.087

    0.342

    0.782

    1.307

    2.178

    2.801

    2.012

    1.109

    0.867

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    3

    0 2 4 6 8 10 12

    pH inkubasi

    Ak

    tiv

    ita

    s e

    nz

    im (

    un

    it /

    mg

    pr

    ote

    in)

    x 1

    0

    .

    Gambar 2: Kurva penentuan pH optimum reaksi

    hidrolisis substrat oleh enzim lipase

    Dari gambar tersebut, terlihat bahwa

    pH optimum untuk reaksi hidrolisis enzim

    protease adalah pH 7 dengan aktivitas sebesar

    0,2801 unit/mg protein. Pada kondisi dibawah

    dan diatas pH 7, aktivitas reaksi hidrolisis

    protease menurun. Menurut Ritzman (1999)

    perubahan pH dapat pula menyebabkan

    denaturasi molekul enzim. Sehingga

    menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas

    hidrolisis dari protease tersebut. Enzim seperti

    molekul lainnya memiliki gugus yang dapat

    terionisasi yaitu gugus karboksil dan gugus

    amino yang mudah dipengaruhi oleh

    perubahan pH sekitarnya. Apabila gugus pada

    sisi aktif mengalami perubahan muatan maka

    aktivitas katalitik enzim akan menurun.

    Perubahan pH juga dapat menyebabkan

    konformasi enzim sehingga aktivitas katalitik

    enzim akan berubah.

    Suhu Inkubasi

    Suhu inkubasi optimum untuk reaksi

    hidrolisis protease adalah suhu yang

    memberikan kemungkinan bagi enzim

    protease untuk menghasilkan produk reaksi

    hidrolisis dengan hasil yang maksimal, karena

    pada kondisi optimum, enzim protease

    tersebut memiliki aktivitas terbaik. Aktivitas

    reaksi hidrolisis protease yang dihasilkan dari

    homogenat jeroan ikan mas dapat terlihat

    bahwa suhu inkubasi optimumnya adalah

    500C dengan aktivitas sebesar

    0,359 unit/mg protein. Pada suhu lebih dari

    500C aktivitas hidrolisis protease menurun

    dengan tajam.

    Hal ini disebabkan enzim protease yang

    dihasilkan dari ekstrak jeroan ikan mas tidak

    stabil terhadap panas, sehingga enzim

    mengalami denaturasi, sedangkan dibawah

    suhu 500C diperkirakan energi kinetik baik

    molekul substrat maupun molekul enzim

    masih rendah, sehingga interaksi molekul

    enzim dengan substrat masih kecil. Aktivitas

    enzim lipase pada berbagai suhu inkubasi

    dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.

    Gambar 3: Kurva penentuan suhu inkubasi optimum reaksi hidrolisis substrat oleh enzim lipase

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang

    dilakukan , dapat disimpulkan :

    1. Kondisi optimum untuk reaksi hidrolisis protease ekstrak jeroan ikan mas adalah

    pada waktu : inkubasi 25 jam, pH 7, suhu

    inkubasi 500C.

    2. Ekstrak kasar enzim protease jeroan ikan mas memberikan nilai aktivitas pada

    kondisi optimumnya adalah 0,343 unit / g

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    26

    protein sedangkan kadar protein enzimnya

    284,124 g/ ml

    Saran

    Disarankan pada penelitian berilkutnya

    untuk melakukan tahap pemurnian ekstrak

    protease jeroan ikan mas dengan garam atau

    pemurnian secara kromatografi sehingga nilai

    aktivitas reaksi hdrolisis enzim protease

    diharapkan semakin meningkat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Fatahillah, Y.H, (1993), Mempelajari Pengaruh Kondisi Fermentasi Pada

    Produksi Lipase dari Aspergillus

    Nger, Skripsi, FTG-IPB, Bogor, 99 hlm.

    Muchtadi, Nuhaeni dan Made Astawan,

    (1992), Enzim dalam Industri Pangan,

    Departemen Pendidikan dan

    Kebudayaan Dirjen DIKTI, PAU

    Pangan dan Gizo IPB, Bogor.

    Nurhasanah, (2006), Isolasi Enzim Lipase Dari Bakteri Isolat Local Yang Hidup

    Di Air Laut Pelabuhan Panjang, Prosiding Seminar Hasil Program

    Pengembangan Diri 2006 Bidang

    Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

    alam

    Ritzman, M., (1999), Metodologi Isolasi

    Enzim dan Aktivitasnya, PAU-ITB, Bandung.

    Suhartono Thenawidjaja Maggy, (2000), Pemahaman Karakteristik Biokimiawi

    Enzim Protease dalam Mendukung

    Industri Berbasis Bioteknologi, Orasi Ilmiah, Institut Pertanian Bogor, 1-3, 7-

    11

    Winarno, FG., (1998), Enzim Pangan, Erlangga, Jakarta, 73-74

  • Agrobio/Volume 1/ Nomor 1/ Mei 2009 ISSN : 2085 - 1995

    JURNAL PERTANIAN & BIOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

    27

    STUDI STIMULANS PEMBUNGAAN JERUK SIEM (Citrus Reticulata

    Blanco) DENGAN PAKLOBUTRAZOL DAN ZAT PEMECAH

    DORMANSI ETEPON

    Syahbudin Fakultas Pertanian Universitas Medan Area

    ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi zat penghambat tumbuh paklobutrazol

    dan waktu penyemprotan zat pemecah dormansi