membangun etos kerja dikalangan pendidik dan tenaga kependid
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
A. Tantangan Dunia Pendidikan
Abad 21, dimana kita saat ini hidup, ditandai dengan begitu cepatnya arus
perubahan. Perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi seolah tak
terbendung dan tak bertepi. Persaingan antar manusia, kelompok, negara semakin tak
terkendali. Panggung politik, ekonomi, kebudayaan, keamanan, sosial tak terduga, tak
dapat diprediksikan. Kata banyak orang, saat ini dunia mengalami ketidakpastian. Yang
pasti adalah perubahan yang sangat cepat. Arus globalisasi melanda seluruh negeri, dari
pusat ibu kota negara sampai ke pelosok dunia. Tak ada perilaku suatu kelompok orang
atau negara yang tak terpantau oleh kelompok orang atau negara lain. Ini semua akibat
dari perkembangan ilmu pengetahuan, terutama perkembangan ilmu komunikasi.
Akibatnya sudah dapat kita bayangkan, siapa yang cepat, siapa yang kerja keras,
siapa yang unggul tingkat IPTEKnya, siapa yang memiliki daya imaginasi untuk
berkembang, berkreasi, berinovasi maka dialah yang akan keluar sebagai pemenang
dalam pertarungan yang semakin sengit ini. Dan kita juga sudah dapat
membanyangkan, bahwa untuk menjawab ini semua adalah melalui pendidikan. Sistem
pendidikan yang dibangun diatas fondasi yang berakar kuat dari budaya bangsanya,
kepercayaan diri yang tinggi dari warganya, kemauan kerja keras untuk mencapai
keunggulan, dan keberanian bersaing untuk bertarung dengan bangsa lain akan mampu
1
mengantarkan anak-anak bangsa untuk membangun bangsa yang unggul, mampu
bersaing, tangguh dalam mewujudakn cita-cita yang diidamkan, dan akhirnya akan
keluar sebagai bangsa pemenang. Apalagi bangsa Indonesia yang diberi keunggulan
geografi, sumber-sumber alam, SDM, dan falsafah yang telah dibangun oleh para
pendiri bangsa ini. Tetapi, untuk mewujudkan itu semua, sistem pendidikan harus
mampu mengatasi tantangan yang terurai seperti diatas, sebagai ciri dari peradaban
globalisasi. Pertanyaan yang perlu terus menerus dijawab adalah: Bagaimana negara
mampu membelajarkan bangsanya agar peka terhadap budaya mutu, kerja keras, mau
dan berani berkorban untuk kemajuan bangsanya. Dari kepekaan itu akan terbangun
budaya mau untuk bekerja keras, dan berkorban untuk kemajuan bangsanya, yang pada
gilirannya semua unsur yang terkait, baik di kalangan pemerintah, pemda dan
masyarakat dapat terjadi sinergi untuk mewujudkan perilaku keteladanan dalam
mencapai keunggulan dengan bekerja keras dan berani bersaing. Jika tidak, tentu akan
selalu menjadi bangsa yang tertinggal.
B. Peluang dalam Mewujudkan Mutu Pendidikan
Bangsa dan pemerintah Indonesia pada prinsipnya telah sangat menyadari bahaya akan
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, sehingga sejak pemerintahan pasca orde baru
telah mengubah haluan dalam mengelola pendidikan di NKRI tercinta ini ke arah sistem
desentralisasi pendidikan. Pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) diberi
kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengelola pendidikan dasar dan menengah.
Bangsa Indonesia dengan gagah berani mengambil langkah yang besar dengan
melahirkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2
dan Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan Undang-
Undang nomor 20 Tahun 2003 sebagai landasan hukum dalam pengelolaan pendidikan
nasional, maka seluruh Kabupaten/Kota berkewenangan untuk mengelola pendidikan
sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing untuk mencapai standar nasional
pendidikan.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi (Pasal 11 ayat 1), dan wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima
belas tahun (Pasal 11 ayat 2).
Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu (Pasal 41 ayat 3).
Jaminan mutu pendidikan bagi peserta didik jelas-jelas harus diberikan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah. Untuk mewujudkannya, maka terbitlah Peraturan Pemerintah
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memuat kriteria
minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI, yang mencakup
delapan standar yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Dengan acuan delapan standar
tersebut maka pelaksanaan pendidikan harus dikelola untuk menghasilkan lulusan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
3
Sekaranglah saatnya, untuk mewujudkan peluang ini menjadi kenyataan dan untuk
mewujudkan kerja yang besar, berat dan penuh tantangan ini diperlukan komitmen kerja
keras, etos kerja yang tinggi dikalangan pengelola pendidikan baik di pusat maupun di
daerah, baik tenaga kependidikan terutama tenaga pendidik yang berada di ujung
terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
C. Guru adalah Pendidik Profesional
Begitulah, Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 menyatakan, dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah sebagai profesional, guru harus memiliki kualifikasi akademik
(S1 atau D4), kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional) melalui
pendidikan profesi.
Inilah peluang terbesar yang dimiliki oleh para guru di Indonesia untuk menunjukan jati
dirinya dan kreativitas, inovasinya serta komitmennya bahwa dia pantas menyandang
gelar profesional. Sebagai petugas profesional, dia harus ahli, harus mahir, harus cakap
sesuai standar mutu profesi.
Sekali lagi, peluang ini sekaligus menjadi ancaman jika standar profesional tidak juga
dapat diwujudkan karena akan melawan undang-undang, dan pembangunan human
investment akan berubah menjadi capital lost untuk pembangunan bangsa secara
menyeluruh. Arti penting dan strategisnya guru sebagai jabatan profesional yang harus
memiliki kemahiran, keahlian, keterampilan, komitmen dan mampu mewujudkan tujuan
pendidikan nasional tentu tak terbantahkan, dan semua energi perlu dikerahkan untuk
4
meningkatkan mutu kompetensi, keahlian, dan komitmen guru secara sistemik, sehingga
mutu pendidikan betul-betul dapat kita wujud nyatakan.
1.2. TUJUAN
Agar mahasiswa/i dapat memahami tentang cara membagun dan meningkatkan etos kerja
dalam berbisnis.
Agar mahasiswa/i dapat menaktualisasi dan mengaplikasikan dalam kehidupan berbisnis
sehari-hari.
Dapat mengetahui dan menjalankan proses etos kerja yang baik di lapangan dan
mendapatkan hasil yang memuaskan dalam berbisnis.
5
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Etos Kerja
Etos Kerja! Etos Kerja! merupakan perilaku seseorang, suatu kelompok komunitas,
sampai suatu organisasi, bahkan negara, dan bangsa terhadap paradigma kerja. banyak
anekdot yang kita dengar, jika mau jadi bangsa pintar, jadilah seperti bangsa Jerman; jika
mau jadi bangsa yang mencintai leluhurnya jadilah seperti bangsa China; jika mau jadi
bangsa yang rela mati untuk negaranya jadilah seperti bangsa Jepang, begitu seterusnya.
Etos kerja juga mencakup motivasi, spirit, prinsip, kode etik, aspirasi, standar, keyakinan
dari seseorang, sekelompok orang, komunitas, organisasi tentang kerja.
Secara garis besar, etos kerja merupakan perilaku positif yang lahir, sebagai buah keyakinan
fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral. Banyak
pakar manajemen yang mengupas tentang etos kerja dan perannya dalam membangun
budaya kerja. Apabila etos kerja telah diyakini, dijalankan, berpola, dan mengkristal
menjadi satu dengan jiwa secara terus menerus, dan mentradisi dalam kehidupan kerja,
maka jadilah budaya kerja.
Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong yang tercermin dari sikap, perilaku,
kepercayaan, dan cita-cita, kemudian diwujudkan dalam kerja (Supriadi, dalam ”Budaya
Kerja Organisasi Pemerintahan).
6
Proses evolusi pembentukan budaya positif untuk membangun budaya organisasi
dijelaskan oleh Gibson, dkk tahun 1997 sebagai berikut:
The Evolution of a Positive Culture
Etos kerja merupakan sikap terhadap kerja, sehingga dalam diri seseorang atau sekelompok
orang dan organisasi menyikapi paradigma kerja menjadi berbeda, ada yang positif, ada
yang negatif, ada yang tinggi ada yang rendah, sehingga timbullah contoh etos kerja tinggi,
etos kerja rendah, dan seterusnya.
Panji Anoraga dan Sri Suryanti (1995) mengidentifikasi dua kutub seseorang atau
sekelompok masyarakat memiliki etos kerja sebagai berikut:
a. Etos kerja tinggi
Individu atau kelompok masyarakat memiliki etos kerja tinggi jika menunjukan
tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.
2. Menempatkan pandangan tentang kerja sebagai suatu hal yang sangat luhur bagi eksistensi
manusia.
3. Kerja dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.
4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang
penting dalam mewujudkan cita-cita.
5. Kerja dilakukan sebagai ibadah.
7
b. Etos kerja yang rendah
Sedangkan bagi individu atau masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, akan
menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu:
a. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia.
b. Kerja dipandang sebagai penghambat dalam memperoleh kesenangan.
c. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan.
d. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Bisa dibayangkan, suatu organisasi yang diisi oleh individu atau sekumpulan individu
dengan etos kerja rendah, maka produktivitas kerja akan menurun, kondisi kerja tak
kondusif, tingkat kehadiran yang rendah, yang benyak terjadi adalah keluhan, dan tuntutan,
bukan memberikan andil untuk peningkatan kinerja organisasi. Tentu kita tidak
menginginkan hal seperti itu terjadi di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan kita.
Sebagai pembanding, hal senada juga diutarakan oleh Douglas McGregor yang memberi
label X bagi manusia yang berperilaku negatif, dan label Y bagi manusia yang brperilaku
positif, yang terkenal dengan teori X dan teori Y.
Teori X mengasumsikan sebagai berikut:
1. Karyawan cenderung bermalas-malasan dalam bekerja.
2. Karyawan yang tak menyukai kerja harus dikontrol, diatur, dan dikenai sanksi.
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawabnya.
4. Karyawan akan menempatkan keamanan diatas faktor lain.
Teori Y mengasumsikan sebagai berikut:
1. Karyawan memandang pekerjaan sebagai suatu yang wajar.
8
2. Manusia akan melatih tujuan pribadi dan pengontrolan diri sendiri, dan punya komitmen.
3. Berkemampuan melakukan keputusan yang cerdas dan inovatif.
Tentu sebagai pendidik dan tenaga kependidikan perlu introspeksi dan meningkatkan
kesadaran, serta komitmen pribadi untuk selalu meningkatkan etos kerja lebih baik atau lebih
tinggi lagi.
2.2. Bagaimana membangun Etos Kerja
1. Mencermati nilai-nilai etos kerja berbagai bangsa.
Studi sosiologi dan manajemen yang dilakukan oleh para peneliti sampai pada
kesimpulan yang mengaitkan etos kerja manusia dengan keberhasilannya, bahwa keberhasilan
di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi
individu-individu di dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui pengamatan terhadap
karakteristik masyarakat pada bangsa-bangsa yang dipandang unggul kemudian menyusun
daftar tentang ciri etos kerja yang penting (Kusmayanto Kadiman, Menristek RI, 2005).
Sebagai ilustrasi, etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan
ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yaitu:
a. Gi Keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar, berdasarkan kebenaran. Jika
harus mati demi keputusan itu matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian itu
adalah kematian yang terhormat.
b. Yu Berani dan bersikap ksatria.
c. Jin Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap semua.
9
d. Re Bersikap santun, bertindak benar.
e. Makoto Bersikap tulus, sungguh-sungguh dan tanpa pamrih.
f. Melyo Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan.
g. Chugo Mengabdi dan loyal
Demikian juga, keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos
kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip, yakni:
a. Bertindak rasional
b. Berdisiplin tinggi
c. Bekerja keras
d. Berorientasi pada kekayaan material
e. Hemat, bersahaja, tidak mengumbar kesenangan
Islam juga memberikan perhatian dan penekanan yang kuat kepada etos kerja
(work ethics), bahkan Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai kerja (Azzumadi
Azra, 2004). Semua pekerjaan yang halal dan jujur adalah baik, apapun bentuknya, tidak
memandang status pekerjaan, tetapi pada ketakwaan. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-Kahfi ayat 30, ”Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan pekerjaan baik”, dan hal ini juga sejalan dengan sabda Rasulullah yang
berbunyi, ”Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bekerja (Al Hadits).”
Dalam bekerja, Islam mengajarkan pentingnya semangat kebersamaan (jamaah), dan tolong
menolong (ta’awun). Islam tidak menyukai semangat kompetensi yang tidak sehat atau
rivalitas yang tak terkendali.
10
Seorang muslim yang baik memegang prinsip bahwa kewajiban agama dan moral untuk
membantu rekan-rekan sekerja untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sikap seperti ini
memunculkan semangat kasih sayang, kerja sama, tolong menolong, pengorbanan dan
persaudaraan. Menurut Islam, kehidupan di dunia ini hanya merupakan tahap sementara
dalam menuju kehidupan di akhirat yang abadi, karenanya seorang muslim harus
menggunakan setiap kehidupan di dunia untuk mendapatkan kehidupan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surat Al Qashash ayat 77, ”Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. Dengan ayat tersebut, manusia selalu diingatkan oleh Allah untuk selalu kerja
keras, berbuat baik, mencari ridhaNya, dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Bagaimana dengan etos kerja bangsa Indonesia? Banyak ungkapan yang sering kita dengar
dari berbagai perbincangan, seperti ”budaya loyo”, ”budaya instan”, bahkan Muchtar Lubis
dalam bukunya ’Manusia Indonesia’ mengemukakan karakteristik etos kerja yang dimiliki
bangsa Indonesia, antara lain munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya pada
tahayul, lemah wataknya.
Mudah-mudahan pengamatan demikian bukan untuk membuat judgement akhir terhadap
bangsa kita, tetapi perlu kita sikapi sebagai teguran untuk diperbaiki, dan kita juga perlu
melihat hal-hal positif dari etos kerja. Bangsa Indonesia yang telah mampu melahirkan
peninggalan sejarah, seperti Borobudur, dan lain-lain. Membangun candi Borobudur dan
lain-lain pada adab ke-8 yang belum memiliki teknologi secanggih sekarang, patut diacungi
11
jempol, dan itu pasti mempersyaratkan etos kerja yang bercirikan disiplin, kerja sama, loyal,
terampil, rasional, kerja keras, dan seterusnya.
Kebesaran negara Sriwijaya, Majapahit, Tarumanagara, Ternate, Mataram dan lain-lain,
pasti bercirikan etos kerja yang sarat dengan nilai yang sangat tinggi. Slogan-slogan seperti
Bhineka Tunggal Ika, Trilogi Pendidikan yang menjadi simbol nilai-nilai pengelolaan
pendidikan juga sangat sarat dengan nilai luhur, yang jika kita amalkan pasti mampu
mengantarkan anak bangsa menjadi bangsa yang unggul, berbudi pekerti, pekerja keras,
disiplin, kreatif, dan berdaya saing.
Bukankah sampai sekarang masih kita miliki nilai-nilai yang mengkristal dalam sanubari
masyarakat dan bangsa Indonesia, seperti : gotong royong (kebersamaan); paguyuban
(persatuan); ringan sama dijinjing, berat sama dipikul (empati, tolong-menolong); sedikit-
sedikit lama-lama jadi bukit (perjuangan, hemat, pantang menyerah, kerja keras); Tiada
rotan akarpun jadi (Tak mudah menyerah, kreatif); sedumuk batok, senyari bumi, (loyalitas,
integritas, nasionalisme).
Jadi, Bangsa Indonesiapun bukan bangsa sembarangan, bangsa yang berbudaya, bangsa
yang tidak mudah menyerah, bangsa yang unggul. Sekarang, kebanggaan ini perlu
diwujudnyatakan dalam tindakan nyata, mari kita jadi pendidik dan tenaga kependidikan
yang pantas diteladani oleh anak-anak bangsa.
Memahami, menguasai bidang garapan, dan menjalani tugas secara konsekuen. Jika standar
isi dan standar kompetensi lulusan peserta didik telah diterbitkan, maka sebagai pendidik
yang profesional harus mahir, ahli, kompeten, terampil menjalankan tugas untuk
mewujudkan tujuan pendidikan dengan komitmen yang tinggi.
12
Bangunlah nilai-nilai etos kerja di komunitas sekolah dan keluarga dengan belajar dari
tokoh, atau sejarah panjang bangsa sendiri dan bangsa-bangsa yang unggul sebagai
benchmarking.
Disisi lain, kita perlu mencermati nilai-nilai yang dikemukakan oleh para pakar etos
kerja, antara lain yang dikemukakan oleh Jansen H. Sinamo yang mengemukakan: ”Delapan
Etos Kerja”, sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat
2. Kerja adalah amanah
3. Kerja adalah panggilan (bekerja tuntas, penuh integritas)
4. Kerja adalah aktualisasi (kerja keras penuh semangat)
5. Kerja adalah ibadah
6. Kerja adalah seni (bekerja cerdas, penuh kreativitas)
7. Kerja adalah kehormatan (bekerja tekun penuh keunggulan)
8. kerja adalah pelayanan (bekerja paripurna, penuh kerendahan hati).
Sifat-sifat yang mencerminkan etos kerja yang baik ialah:
Aktif Ceria Dinamis Disiplin
Efektif Efisien Energik Fokus
Gesit Ikhlas Interaktif Jeli
Jujur Keraja Keras Kerja tim Konsisten
Kreatif Lapang dada Membagi Menghargai
Menghibur Optimis Peka Rajin
13
Ramah Sabar Semangat Tanggung Jawab
Tekun Teliti Tepat waktu Teratur
Terkendali Toleransi Total Ulet
Bayangkan! Jika pendidik dan tenaga kependidikan kita memiliki sifat-sifat 36 butir seperti
diatas, alangkah bahagianya anak-anak kita, dan alangkah mujurnya menjadi anak-anak
Indonesia, alangkahnya unggulnya anak-anak Indonesia, alangkah hebatnya anak-anak
Indonesia. Itu semua sangat tergantung kepada PTK yang ada di Indonesia pada saat ini dan
mendatang.
Dan itu pasti terwujud, jika mau.
Selanjutnya terserah kita. Semoga!!! Terima kasih dan salam hormat buat anda semua.
BAB III
14
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Etos kerja merupakan sikap terhadap kerja, sehingga dalam diri seseorang atau sekelompok
orang dan organisasi menyikapi paradigma kerja menjadi berbeda, ada yang positif, ada
yang negatif, ada yang tinggi ada yang rendah, sehingga timbullah contoh etos kerja tinggi,
etos kerja rendah, dan seterusnya.
Jika pendidik dan tenaga kependidikan kita memiliki sifat-sifat 36 butir seperti diatas,
alangkah bahagianya anak-anak kita, dan alangkah mujurnya menjadi anak-anak Indonesia,
alangkahnya unggulnya anak-anak Indonesia, alangkah hebatnya anak-anak Indonesia. Itu
semua sangat tergantung kepada PTK yang ada di Indonesia pada saat ini dan mendatang.
Dan itu pasti terwujud, jika mau.
3.2. Kritik dan Saran
Diharapkan dengan adanya makalah Kewirausahaan ini dapat memberikan pengetahuan
tentang cara dan tindakan dalam mengembangkan ilmu berbisnis menjadi lebih baik.
Apabila ada kekurangan atau kurang mengerti bagi pembaca diharapkan kritik dan saran
nya.
Daftar Pustaka
15
Azra, Azzumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta.
Biro Hukum dan Organisasi, Setjen Depdiknas. 2003. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta.
Biro Hukum dan Organisasi, Setjen Depdiknas. 2005. Undang-Undang nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Jakarta.
Biro Hukum dan Organisasi, Setjen Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
BPKP. 2004. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja. Jakarta.
Kusmayanto. 2005. Etos kerja untuk siapa?. Jakarta.
Rivai, Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
16