membangun sistem ketatanegaraan yang stabil
DESCRIPTION
ambil hikmahnyaTRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TAHUN 1945, NKRI &
SISTEM KETATANEGARAAN
(Kajian rekonstruktif membangun sistem ketatanegaraan yang stabil & permanen)
Oleh : Drs. H. Abdulkadir Makarim
(Ketua MUI Provinsi NTT)
“Setiap upaya untuk memberikan diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan.”
(Hasyim Wahid, dkk. Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKiS, 1999)
A. PENGANTAR
Kehidupan manusia meniscayakan adanya prinsip-prinsip atau kaidah–
kaidah yang akan mengantarkan manusia untuk sampai kepada
kesempurnaan hidupnya sebagai manusia. Prinsip–prinsip ini biasa juga
disebut dengan istilah ; “harus (wajib)” dan “tidak harus (tidak wajib)”.
Prinsip “harus” dan “tidak harus” ini terkadang sangat partikular dan
barkaitan dengan hal tertentu. Juga terkadang prinsip tersebut bersifat
general dan universal. Prinsip “harus” dan “tidak harus” universal inilah
yang akan membingkai dan menentukan pondasi dasar perilaku–perilaku
manusia, dan hal ini disebut dengan ideologi.
Negara, menurut hemat kami adalah tatanan implementatif dan
pengejawantahan nilai-nilai, ide pokok, gagasan, falsafah dan pandangan
hidup untuk mengatur kehidupan manusia, alam dan lingkungan serta
makhluk hidup di sekitarnya yang terakumulasi dalam bangunan dasar
yang juga kita sebut ideologi.
Ideologi, adalah kerangka dasar yang merupakan hasil akhir dari proses
pembentukan pengetahuan (proses epistemologis) dan pandangan alam
(world-view) tentang bagaimana semestinya mengatur tata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam pertimbangan atas
berbagai fakta-fakta empiris dan karakteristik khas yang dimiliki oleh
sebuah komunitas (bangsa) yang hendak menyatukan diri dalam sebuah
bangunan negara. Negara dan seluruh stakeholder terkait serta seluruh
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 1
sistem di dalamnya harus tunduk, patuh dan taat pada ideologi sebagai
kerangka dan bangunan dasar negara.
Istilah “ideologi” pertama kali dilontarkan oleh seorang filsuf
Perancis, Antoine Destutt de Tracy pada tahun 1796 sewaktu Revolusi
Perancis tengah menggelora (Christenson, et.al., 1971:
3). Tracy menggunakan istilah ideologi guna menyebut suatu studi tentang
asal mula, hakikat, dan perkembangan ide-ide manusia, atau yang sudah
dikenal sebagai Science of Ideas “ilmu tentang ide-ide atau gagasan”.
Gagasan ini diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam
masyarakat Perancis. Namun, Napoleon mencemoohnya sebagai suatu
khayalan yang tidak memiliki nilai praktis. Pemikiran Tracy ini sebenarnya
mirip dengan impian Leibnitz yang disebut one great system truth “sebuah
sistem besar tentang kebenaran, atau sistem kebenaran yang besar”
(Pranarka, 1987).
Menurut Darmodiharjo (Afandi dkk,2012:82), ideologi dapat diartikan
sebagai suatu gagasan yang berdasarkan ide tertentu.
Osman dan Alfian (Afandi,2012:82) memaknai ideologi berintikan
serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh
dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau
bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka.
Plato (abad 3 SM) berpendapat bahwa Ideologi sebagai kebenaran sejati,
yang scara kasar dapat disimpulkan sebagai seperangkat nilai dan aturan
atau hukum yang dipercayai dapat membantu manusia dalam menjalani
hidupnya.
Karl Marx (Winarno, 2012 : 6) mengartikan Ideologi sebagai alat untuk
mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Ideologi diartikan sebagai
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Ada tiga ideologi besar dunia yang hingga saat ini begitu sangat mewarnai
konstelasi politik dunia, bahkan sejak era perang dunia I, perang dunia II,
dan era perang dingin hingga saat ini. Tiga ideologi dimaksud adalah :
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 2
Liberalisme-Kapitalisme, Marxisme-Komunisme dan Islam. Oleh
Ir. Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi mengulasnya
sebagai Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
1. Pancasila sebagai sebuah ideologi
“Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia” sejak
berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun
1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga negara
Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang
telah dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers) tersebut
dengan berupaya terus untuk menggali, menghayati dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak
ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, dan akan terus berlanjut
sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut
merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat
warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.
Pancasila adalah rumusan ideologis untuk membangun sebuah
tatanan dunia baru
Kedudukan Pancasila adalah sebagai philosofische grondslag (dasar
filosofis) atau weltanschauung (pandangan hidup) bagi bangsa
Indonesia, yang didalamya mengajarkan tentang pentingnya nilai-nilai
“Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Kebijaksanaan
serta Keadilan”. Disamping itu Pancasila merupakan sebuah identitas
atau jati diri kebangsaan Indonesia. pancasila adalah wujud
kepribadian dan karakter bangsa Indonesia atau dengan kata lain
sebagai corak peradaban bangsa Indonesia. Bapak Ir. Soekarno
mengemukakan Pancasila sebagaimana dalam pidatonya yang
disampaikan dalam kampanyenya tentang Pancasila di depan PBB,
30 September 1960, yang berjudul “To Build the World Anew”.
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 3
“Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah,
Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu …
...Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.” (Soekarno, 1958)
Kalimat sarat makna tersebut memberi penegasan kepada kita tentang
kedudukan, fungsi dan peran Pancasila bagi bangsa Indonesia.
Ideologi Pancasila memiliki arti bahwa pancasila adalah penjelmaan
filsafat pancasila itu sendiri. Maka pancasila sebagai ideologi negara
dalam arti cita-cita negara, atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu
teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian, yakni asas
yang memiliki derajat tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan
kenegaraan.
Maka dengan demikian Pancasila yang merupakan asas kerohanian
harus menjadi pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup,
pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan,
dilestarikan, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan
berkorban.
2. UUD NRI 1945 sebagai Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar
yang tertulis, kedudukan dan fungsi dari UUD NRI Tahun 1945
merupakan pengikat bagi pemerintah, lembaga negara, maupun
lembaga masyarakat, sebagai warga negara Indonesia. Sebagai
hukum dasar, UUD NRI Tahun 1945 memuat normat-norma atau
aturan-aturan yang harus diataati dan dilaksanakan.
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 4
Landasan konstitusional pembangunan adalah UUD NRI Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan arahan yang paling dasar dalam
menyusun tujuan pokok pembangunan nasional sebagai suatu visi
pembangunan nasional guna dijadikan landasan dalam
Keputusan/Ketetatapan MPR. Khusus dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 disebutkan empat pokok tujuan pembangunan nasional
mencakup: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan
kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
dan berperanserta dalam membantu ketertiban dunia dan perdamaian
abadi.
Landasan operasional pembangunan adalah Keputusan/Ketetapan
MPR. Keputusan/Ketetapan MPR terutama Ketetapan tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan arahan paling dasar
sebagai misi pembangunan nasional lima tahunan guna dijadikan
landasan dalam penyusunan pembangunan nasional-lima tahunan.
GBHN disusun oleh MPR. Dasar penyusunan GBHN adalah UUD NRI
Tahun 1945.
3. NKRI
Perjalanan sejarah memberikan gambaran yang sangat jelas, bahwa
NKRI adalah manifestasi dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan.
Dengan demikian berdasarkan fakta sejarah, Pancasila adalah Batuan
Segar, dasar Fondamen NKRI dibangun, bukan Pilar;
UUD NRI Tahun 1945 adalah aturan dasar (lantai) menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan Pilar;
NKRI adalah Bangunan Negara Kebangsaan (Nation-State), bukan
Pilar; dan
Bhinneka Tunggal Ika adalah Semboyang hidup masyarakat Indonesia
yang beranekaragam suku, budaya, agama, dan ras, dengan satu
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 5
tujuan yaitu mengangkat harkat dan martabat Rakyat Indonesia, bukan
Pilar.
4. Sistem Ketatanegaraan
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD NRI Tahun
1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah
suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun
sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran
Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran
tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif,
Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan
tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan
mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat
saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung
jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan
kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran
tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara
dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut
pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
B. PENGAMATAN SEPINTAS
Indonesia sebagai sebuah negara, sampai saat ini masih terasa sedang
terus berproses untuk mewujudkan eksistensinya sebagai sebuah negara
dengan sistem tatanegara yang permanen dan konstan. Di sana sini kita
masih temukan tradisi merubah-ganti dan mencabut-pasang kebijakan-
kebijakan yang bersifat vital, universal dan strategis yang bahkan tidak
jarang berimplikasi pada pemborosan anggaran negara.
Istilah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya. Istilah
dimaksud yang meletakkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan
Bhineka Tungal Ika di dalam satu bingkai “empat pilar kebangsaan”
akhirnya dibatalkan MK pada tanggal 3 April 2014. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan strategis yang bahkan
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 6
dicetuskan oleh lembaga-lembaga negara kita saat ini ternyata tidak
sepenuhnya merepresentasikan cara pandang (world-view) yang tunduk
dan patuh pada kerangka berfikir dan ideologi yang dimiliki oleh negara ini
secara murni dan konsekwen.
Demikian pula halnya dengan proses-proses amandemen UUD 1945 yang
bahkan juga telah merubah posisi dan kewenangan MPR RI. MPR RI saat
ini sudah tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Bahkan ciri
demokrasi Pancasila yang termaktub dalam sila keempat Pancasila yang
lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam bingkai hikmat dan
kebijaksanaan perlahan mulai hilang. Pasal (2) ayat (3) UUD NRI 1945
secara lugas menyatakan bahwa : “segala putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”.
Suara terbanyak, mestinya menjadi alternatif berikut setelah proses
musyawarah tidak menemukan suatu kemufakatan bersama.
Kita mestinya berkaca kepada rumusan sila keempat Pancasila dalam
persoalan ini. Bahwa sesungguhnya kerakyatan kita dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah sesunggunya
ciri demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila menjadikan hikmat dan
kebijaksanaan sebagai panglima dan pemimpin bagi rakyatnya. Hikmat
dan kebijaksanaan dimaksud adalah yang terpatri dan menjadi semangat
utama dalam diri setiap wakil-wakil rakyat yang melaksanakan
permusyawaratan di lembaga DPR maupun MPR. Hikmat dan
kebijaksanaan itulah yang menjadi bingkai bagi para wakil rakyat dalam
setiap permusyawaratan yang membahas dan membicarakan tentang
persoalan kebangsaan.
MPR menurut hemat kami harus diberikan kewenangan lebih dan
strategis yang merepresentasikannya sebagai kedaulatan rakyat melalui
perwakilan (sila ke-4 Pancasila). Dalam pasal 1 (satu) ayat 2 (dua)
Naskah Asli UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa : Kedaulatan
adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Majelis ini pada periode sebelum amandemen
UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dengan pengaruh dan
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 7
kewenangan yang cukup kuat. Namun posisi MPR saat ini terasa seperti
antara ada dan tiada.
Perlu dipikirkan suatu formasi kewenangan MPR RI yang turut terlibat
dalam prosesi penentuan calon pemimpin negara (calon presiden dan
calon wakil presiden) yang benar-benar memiliki integritas Pancasilais.
Karena jika tidak, maka sangat mungkin degradasi nilai-nilai ideologis
akan bermula dari pemimpin negara yang secara bebas berasal dari
berbagai pihak dan latar belakang (terutama latar belakang ideologis,
Liberalisme-Kapitalisme, Sosialisme-Komunisme atau Islamisme) yang
masuk dan diusung oleh dan melalui partai politik atau gabungan partai
politik. Apalagi di era sekarang, pemilik modal (kapitalis) akan dengan
sangat mudahnya membuat sebuah partai sebagai wadah dan jembatan
menuju kursi kepemimpinan negara ini.
Kita tahu, pada periode awal demokrasi Indonesia, presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak (Pasal 6 ayat 2 Naskah
asli UUD 1945). Hal ini tentu sejalan dengan semangat ideologis yang
tersirat dalam sila keempat Pancasila. Itulah sejatinya demokrasi
Pancasila, yang tentunya berbeda dengan demokrasi liberalisme ataupun
demokrasi sosialisme-komunisme. Namun kita tentu tidak ingin kembali ke
mekanisme lama yang justeru nantinya dicurigai sebagai “anti demokrasi”
atau “berfikir mundur”. Walaupun sejatinya demokrasi Pancasila tidak bisa
disamakan dengan demokrasi liberalisme dan/atau demokrasi sosialisme-
komunisme.
Lihat struktur pemerintahan Indonesia sebelum amandemen UUD
1945 dan setelah amandemen UUD 1945. Perbedaan mendasarnya
adalah kedudukan MPR yang bukan lagi menjadi lembaga tertinggi
negara.
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 8
C. PENDAPAT ATAS REKOMENDASI-REKOMENDASI
1. Melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui
perubahan UUD NRI Tahun 1945 dengan tetap berdasarkan pada
nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara
dan Kesepakatan Dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, mempertegas sistem pemerintahan
presidensial serta melakukan perubahan dengan cara adendum.
Dalam kaitan dengan hal ini, kami memiliki gagasan dan
pendapat yang sama dan mengharapkan agar kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum harus
dapat diimplementasikan dalam berbagai sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara tidak bisa disejajarkan dengan aturan hukum di
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 9
bawahnya. Hal ini pernah terjadi dengan munculnya kebijakan
terkait “empat pilar kebangsaan” yang menempatkan Pancasila
sama dan sejajar dengan UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Namun pada akhirnya kebijakan tersebut telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 3 April 2014.
2. Melakukan reformasi sistem perencanaan pembangunan nasional
dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara.
Model Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah model yang tepat
dalam sistem perencanaan nasional. Hal ini sekaligus sebagai daya
tangkal atas pengaruh serangan ideologi luar yang ingin menyusup
masuk melalui berbagai program dan perencanaan nasional.
Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan rumusan
perencanaan nasional yang menjadikan Pancasila, UUD NRI
Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pedoman
dasar dalam perumusan arah kebijakan nasional untuk 5 (lima)
tahun mendatang. Program kerja pemerintah menjadikannya
sebagai acuan umum yang tentu bersifat fleksibel.
3. Melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945,
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika secara melembaga melalui semua
tingkatan pendidikan nasional dalam rangka pembangunan
karakter bangsa.
Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan dan dimulai
dari bangku pendidikan / sekolah. Revitalisasi dan jika perlu
dibutuhkan suatu proses kontinyu untuk menginternalisasi nilai-
nilai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika di dalam diri setiap warga negara yang dimulai dari
bangku pendidikan.
Pengalaman di masa orde baru dengan kegiatan Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran
P4) bagi siswa/siswi SD – SMA dan mahasiswa baru adalah
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 10
sebuah format internalisasi nilai-nilai Pancasila, UUD NRI
Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang tidak buruk
untuk dicontoh.
4. Membentuk lembaga kajian yang secara fungsional bertugas
mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan
Bhineka Tunggal Ika serta implementasinya.
Lembaga kajian merupakan sebuah instrumen penting dalam
melihat dan mengkaji secara objektif implementasi sistem
ketatanegaraan, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka
Tunggal Ika. Para pelaku dan juga indikator-indikator pengkajian
harus menguasa, memahami, menghayati dan mencerminkan
karakteristik sistem ketatanegaraan Indonesia yang bercirikan
Demokrasi Pancasila. Semuanya harus tunduk dan patuh pada
ideologi negara.
5. Mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam
melaksanakan tugas konstitusional yang diamanatkan UUD NRI
Tahun 1945 melalui laporan pelaksanaan tugas dalam Sidang
Tahunan MPR RI.
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas
konstitusional oleh lembaga negara menjadi sebuah
keniscayaan. Bentuk dan mekanismenyalah yang mesti
dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi
benturan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing
kelembagaan negara. Apakah menjadi tugas Mahkamah
Konstitusi ataukah menjadi kewenangan MPR. Kami
berpendapat hal ini butuh pertimbangan yang mendalam untuk
pengaturannya.
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 11
6. Melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan
dengan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum negara.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku harus
mencerminkan jiwa dan semangat Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, dan tidak bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945. Dibutuhkan peran sebuah lembaga
negara yang diberi kewenangan untuk bisa proaktif melakukan
kajian, telaah dan bahkan pelaporan dan pengajuan ke tingkat
Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan uji materil atas berbagai
produk perundang-undangan yang berpotensi bertentangan
dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Lembaga
dimaksud bisa oleh kejaksaan atau lainnya.
Undang-undang pemilu misalnya, baik pemilu legislatif dan
pemilu eksekutif, harus bisa menjamin bahwa setiap bakal calon
yang lolos sebagai calon adalah yang benar-benar memiliki
pemahaman dan penghayatan atas nilai-nilai Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945 secarai baik, murni dan konsekwen.
Proses pemilihan langsung yang dipraktekkan saat ini pun
berpotensi rawan munculnya ancaman bagi implementasi nilai-
nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Harus
dipertimbangkan sebuah format pemilihan langsung yang
dilakukan pasca melalui satu tahapan seleksi ideologis dan
perundang-undangan serta ketatanegaraan yang berlaku.
7. Memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam
sistem hukum Indonesia
Setelah perubahan UUD, MPR tidak lagi memiliki kewenangan
menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan
MPR (TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan
Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi
kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 12
apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersama-sama.
Kami memandang perlu untuk mengembalikan kewenangan
MPR RI dalam sistem hukum Indonesia yang ketetapan-
ketetapannya memiliki status hukum serta turut merumuskan
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Perencanaan program lima
tahun harus berdasarkan dan selalu dalam bingkai GBHN yang
sudah ditetapkan oleh MPR. Bagaimanapun juga, demokrasi
Indonesia bukanlah demokrasi liberal yang lebih
mengedepankan nilai individualitas partikular (mengedepankan
sistem suara terbanyak) melainkan demokrasi yang kedaulatan
rakyatnya berada pada hikmat kebijaksanaan dalam majelis
permusyawaratan para wakil rakyat (musyawarah mufakat).
“Materi pengantar pada Temu Pakar / Tokoh Daerah bersama Badan Pengkajian MPR RI Tanggal 30 Oktober 2015 di Kupang – NTT “ Page | 13