memperluas pengalaman bicara anak di kelas
TRANSCRIPT
Memperluas Pengalaman Bicara Anak di Kelas (Updated)Filed in dunia guru 0 comments
Sebenarnya PR ini sudah lama sekali di-request oleh sahabat dunia maya saya, KurniaSepta. Karena kesibukan persiapan Pelepasan siswa kelas 6, saya baru menyempatkan malam ini menulis tentang “Recalling” di sisa – sisa tenaga menuju acara akbar besok Sabtu.
Sahabat saya itu berdiskusi tentang kesulitan di Pelajaran Bahasa Indonesia terutama kompetensi berbicara. Di sekolah kami yang menerapkan sistem sentra, selain memang memiliki Sentra Bahasa (di TK = Sentra Persiapan), Bahasa memang termasuk dalam penilaian domain berpikir anak. Ada 5 sub-domain yang harus dibangun, yakni Listening (Mendengarkan), Reading (Membaca), Expressive Language (Bahasa tubuh/ gesture, dan termasuk berbicara di dalamnya), Receptive Language (Bahasa yang dapat dipahami anak), serta Writing (Kemampuan menggunakan kata dalam bentuk tulisan).
Kelima sub-domain tersebut harus dibangun di semua kegiatan anak. Untuk membangun kemampuan berbicara, selain dalam kegiatan main guru senantiasa menstimulasi anak dengan berbagai pertanyaan, anak juga harus melakukan proses Recalling. Nah, apa itu Recalling?
Recalling merupakan proses anak menceritakan pengalaman mainnya termasuk alat apa saya yang telah digunakannya. Kegiatan ini dilakukan setelah selesai kegiatan dimana anak dan guru berkumpul di karpet atau di kursi. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan kembali pengalaman mainnya. Pada proses ini, Guru dapat mencatat setiap perkembangan anak termasuk kemampuan berbicaranya. Guru juga dapat membangun atau memperbaiki bahasa anak yang dirasa belum tepat.
Memaksa anak berbiaca di depan orang banyak memang tidak mungkin dilakukan. Berbeda dengan pidato dan sejenisnya, Recalling membuat anak tidak malu menceritakan pengalaman mainnya karena anak berada tidak pada kondisi formal. Selain itu, karena dilakukan secara
bergantian setiap anak bercerita tentang pengalamannya, hal ini dapat mendidik anak yang lain untuk belajar mendengarkan temannya (Bersabar).
Apa saja manfaat Recalling ?
Anak dapat mengulang dengan mengingat kembali pengalaman mainnya dan menceritakannya.
Anak belajar membuat deskripsi dari apa yang telah mereka lakukan, termasuk menceritakan hasil karyanya.
Anak dapat mendengarkan pengalaman main dengan teman – temannya yang lain, sehingga mereka dapat menambah dan memperluas gagasan mereka.
Anak dapat membangun konsep – konsep yang baru maupun yang lebih luas.
Recalling menjadi solusi bagi anak untuk belajar mengingat kembali pengalaman mainnya dan berpikir structural (Guru mengarahkan anak bercerita sesuai urutan kegiatan main yang dilakukannya). Oh ya, Recalling tidak hanya ada di sentra Bahasa lho … tapi ada di semua sentra kegiatan.
Selain Recalling, kegiatan di Sentra Drama juga melatih anak berbicara dengan benar. Karena selain memainkan peran tertentu, anak dipastikan terlibat dalam percakapan terhadap lawan mainnya.
Namun di luar itu semua, yang terpenting bagi seorang guru adalah keteladanan. Jika ingin anak – anaknya terbiasa berbicara yang benar, berbicara dengan tepat, dan berbicara sesuai dengan tempatnya, guru lah yang terlebih dahulu harus melakukannya. Karena bagaimanapun juga, anak usia dini belajar dengan meniru orang dewasa di sekitarnya.
PENGARUH PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENGALAMAN MENGAJAR TERHADAP PROFESIONALISME GURU SEKOLAH DASAR NEGERI DI GUGUS II KECAMATAN NGANJUK (PEND-14) Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan / atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan dapat diperoleh baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Peningkatan dan pemerataan pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan yang mendapat prioritas utama dari Pemerintah Indonesia. Sistem Pendidikan Nasional yang sekarang berlaku diatur melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional.
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 Bab II pasal 4 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan Bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan madiri serta tanggung jawab Kemasyarakatan dan Kebangsaan.Dalam rangka mencapai Tujuan Pendidikan Nasional, lanjut pada Bab II Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”
Pengembangan sektor Pendidikan sejak semula memang diarahkan untuk menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan Pemerintah. Ki Hajar Dewantara bahkan pernah menegaskan tanggung jawab tersebut dengan istilah “Tri Pusat Pendidikan”, orang tua, masyarakat dan Pemerintah dituntut untuk saling bekerja sama mengantarkan anak didik mencapai kedewasaannya. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan People Centered Development yang dapat mengubah peran masyarakat dari penerima pasif pelayan Pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi anggota masyarakat yang mampu berperan serta aktif kedalam pembangunan.
Keberhasilan proses Pendidikan dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, akan ditentukan oleh banyak faktor antara lain, peserta didik, tenaga pendidik, kurikulum, manajemen pendidikan dan fasilitas pendidikan. Disamping itu lingkungan juga akan sangat berpengaruh untuk mendukung keberhasilan proses pendidikan, terutama keluarga, masyarakat, Pemerintah dan swasta (dunia usaha dan dunia industri).
Kajian terhadap pengembangan sumber daya manusia adalah sebagai upaya merespon secara efektif atas persoalan-persoalan yang dihadapi organisasi, bahkan prediksi terhadap dimensi persoalan yang akan dihadapi organisasi pada perspektif jangka panjang.
Kualitas sumber daya manusia pada dasarnya terdiri dari 2 aspek, yakni aspek fisik (kualitas fisik) dan aspek non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan ketrampilan-ketrampilan lain. Oleh karenanya usaha meningkatkan kelaits sumber daya manusia ini sebatisnya diorientasikan pada kedua aspek tersebut. Untuk meningkatkan kualitas bisa diarahkan pada melalui program-program peningkatan gizi dan kesehatan. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas atau kemampuan non fisik tersebut maka upaya pendidikan dan pelatihan adalah yang paling dibutuhkan. Langkah inilah yang dimaksudkan sebagai wujud dari pengembangan sumber daya manusia.
Oleh Siagian (1997:198) dikemukakan bahwa ada empat alasan utama dalam pengembangan sumber daya manusia yaitu karena :1. Pengetahuan karyawan yang perlu pemutakhiran, artinya kekadaluarsaan pengetahuan tersebut tidak sesuai lagi dengan “tuntutan zaman”.2. Tidak disangkal bahwa dimasyarakat selalu terjadi perubahan, tidak hanya karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi juga karena pergeseran nilai-nilai Sosial Budaya.3. Persamaan hak memperoleh pekerjaan, artinya masih ada masyarakat dimana terdapat perbedaan hak dalam perolehan pekerjaan.4. Kemungkinan perpindahan karyawan, artinya mobilitas karyawan selalu terjadi baik tingkat managerial, profesional bahkan juga pada tingkat teknis operasional.
Lembaga Pendidikan formal atau sekolah sebagai suatu organisasi kerja diselenggarakan secara sengaja, sistematik dan terarah. Sebagai organisasi kerja, setiap personal sarana dan programnya harus dikendalikan guna menciptakan proses atau serangkaian kegiatan yang terarah pada tujuan tertentu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, telah dilakukan langkah-langkah strategis misalnya : penyempurnaan kurikukulum, mengadakan analisis yang lebih seksama terhadap tujuan-tujuan pendidikan, pengembangan dibidang sarana seperti perbaikan gedung, pengadaan peralatan praktek, pengadaan buku, penyediaan biaya operasional, peningkatan kemampuan profesional guru melalui berbagai penataran.
Pada sektor pendidikan, pengembangan sumber daya manusia tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk meningkatkan kemampuan guru terhadap peningkatan pengembangan pengetahuannya dalam proses belajar mengajar. Fungsi pengembangan ini memusatkan perhatian pada peningkatan kemampuan dan motivasi dari para guru untuk melaksanakan pekerjaannya.
Berdasarkan pada undang-undang nomor 2 tahun 1989 itu pula guru berkewajiban untuk
meningkatkan profesionalnya. Namun syaratnya beban guru yang diakibatkan oleh makin banyaknya siswa yang dihadapi dan makin beratnya beban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta cepatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, menyebabkan kewajiban tersebut belum dapat terpenuhi secara baik dan tuntas. Hal ini justru sering mengakibatkan pengetahuan guru ketinggalan.
Oleh karena itu dalam rangka mempercepat proses peningkatan mutu, pemerataan dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman khususnya untuk menyongsong abad XXI yang merupakan abad yang dipenuhi dengan ledakan arus reformasi, pengetahuan baru dan perubahan yang cukup drastis pada setiap aspek kehidupan manusia, maka diperlukan guru yang benar-benar profesional (Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi dan strategi pengembangan Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro akif menjawab zaman yang selalu berubah.Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No : 20 tahun 2003).
Sehubungan dengan hal tersebut pengembangan sumber daya manusia merupakan sesutu yang penting mendapat perhatian karena untuk mencapai terwujudnya masyarakat maju, adil, makmur dan mandiri berdasarkan Pancasila, perlu adanya sumber daya manusia yang berkualitas, oleh karena itu aparatur Pemerintah sebagai subyek atau pelaksana pembangunan khususnya guru-guru sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal dan profesional dibidang tugasnya, seperti yang dikemukakan Said Zainal Abidin (dalam Ginanjar et, al, 1995, 97) bahwa “Pembangunan tanpa pengembangan kemampuan sumber daya manusia tidak dianggap sebagai pembangunan, sebab itu keberhasilan suatu pembangunan pada dirinya pertama-tama diukur pada keberhasilan meningkatkan kemampuan manusia”.
Berbicara masalah pendidikan bukanlah hal yang mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yang komplek, dinamis dan kontekstual, pendidikan merupakan wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan. Melalui pendidikan akan didapatkan kemajuan-kemajuan dan tingkat yang diinginkan oleh setiap manusia.Peran pendidikan dalam pembentukan diri manusia begitu dominan karena di dalam pendidikan itu terdapat aspek kognitif berupa ketrampilan akademik dan ketrampilan berpikir, aspek psikomotorik dan tercakup pula aspek pengembangan pribadi melalui penanaman nilai-nilai dan sikap.
Dalam kondisi konteks pendidikan di Indonesia, diharapkan melahirkan sosok manusia sebagai
sebagai dirumuskan dalam UUSPN No 2 Tahun 1989 pasal 4 yaitu, manusia Indonesia seutuhnya, yang cerdas, beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pentingnya arti sumber daya manusia yang bekualitas didasari besar oleh institusi-institusi pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu Sumber Daya Manusia Indonesia diwajibkan minimal berpendidikan dasar. Pendidikan dasar tersebut bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia, serta menyiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Demikian juga salah satu faktor yang tidak boleh dilupakan adalah Sumber Daya Pendidik. Pendidik sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi pendidikan, pengasah berpikir peserta didik, pemberi bekal pelatihan-pelatihan ketrampilan siswa dan sebagai orang yang berandil besar dalam pembentukan kepribadian siswa dituntut selalu mengembangkan diri agar bisa selalu beradaptasi dengan perkembangan jaman.
Jabatan guru merupakan salah satu jabatan profesionalisme, menurut Supriyadi Dedi bahwa :“Profesional menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan kesetiaan profesi. Suatu profesi secara teori tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu.”(Supriyadi Dedi, 1998:85)
Dari rumusan diatas, profesi dapat dipersiapkan dalam arti luas dan dapat dipandang melalui proses latihan. Namun pekerjaan profesional, lebih pula pekerjaan profesional penuh seperti profesi dokter. Kata-kata disiapkan untuk itu mengacu pada proses pendidikan yang harus dipenuhinya, makin tinggi pula derajat profesi yang disandangya.
Dengan kata lain tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme sangat tergantung pada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Hampir disemua negara, masyarakat masih mengakui bahwa Dokter merupakan suatu profesi yang paling tinggi. Sebaliknya, Guru masih dipandang sebagai profesi yang paling rendah. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi Guru disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapapun dapat menjadi guru asal ia berpengetahuan. Kekurangan guru didaerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat guru yang tidak mempunyai kewenangan profesional.
Faktor kedua disebabkan guru itu sendiri. Banyak guru yang tidak menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, menyalah gunakan profesi untuk kepuasan dan kepentingan diri, ketidak mampuan guru melaksanakan tugas profesinya. Komersialisasi mengajar dan lain-lain sering menyebabkan pudarnya wibawa guru, sehingga pengakuan profesi guru semakin merosot. Itu sebabnya pengakuan dan usaha menegakkan profesi guru harus dimulai dari guru itu sendiri. Usaha yang
dapat dilakukan harus dimulai dengan mengakui secara sadar makna profesi itu, mengakui dan mencintai tugas profesi serta berusaha mengembangkan profesi yang disandang.
Pendidik tidak boleh merasa apakah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Tantangan-tantangan selalu menghadang didepan mata. Pada beberapa tahun yang silam, pendidik di SD hanya cukup dengan berijazah SPG dan yang sederajat. Namun kenyataannya, sudah tidak dapat terelakkan sebagai konsekuensi dari arus inovasi dan modernisasi global yang juga melanda dunia pendidikan kita. Guru-guru SD agar dapat mengimbangi perkembangan yang terjadi dewasa ini, minimal harus setara dengan D-II. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam satu atau dua tahun mendatang harus berkualifikasi S-1.
Disamping tuntutan persyaratan tingkat pendidikan diatas, supaya tugas-tugas guru semakin mantap dan informasi-informasi baru, metode-metode mengajar baru cepat dapat diterima oleh guru, setiap guru harus mengikuti pengembangan atau pelatihan / penataran. Melalui pelatihan-pelatihan, guru diharapkan memperoleh penyegaran-penyegaran peningkatan efisiensi dan efektifitas kerja.Di dalam menekuni bidangnya guru selalu bertambah pengalamannya. Semakin bertambah masa kerjanya diharapkan guru semakin banyak pengalaman-pengalamannya. Pengalaman-pengalaman ini erat kaitannya dengan peningkatan profesionalisme pekerjaan. Guru yang sudah lama mengabdi di dunia pendidika harus lebih profesional dibandingkan guru yang beberapa tahun mengabdi.
pendek kata apabila tingkat pendidikan, frekuensi pelatihan dan pengalaman mengajar semakin meningkat, seyogyanya ada peningkatan pula dalam profesionlisme guru.Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru berkewajiban untuk meningkatkan profesionalismenya, namun beban guru yang semakin berat disebabkan oleh semakin banyaknya siswa yang brutal dan melanggar aturan sekolah serta pengaruh tayangan Televisi yang tidak baik bagi perkembangan mental siswa, merupakan suatu faktor kendala pada profesionalisme guru disamping beberapa faktor lainnya.Apapun alasannya, guru harus meningkatkan profesionalnya, karena dipundak beliau-beliaulah masa depan siswa dan masa depan Bangsa ini disandarkan.
(KODE : PTK-0065) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SD KELAS V)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sudah tidak diragukan lagi, megingat bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Negara Republik Indonesia, juga sebagai bahasa pemersatu di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari dari mulai anak usia dini sampai orang dewasa.Kesadaran akan pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah menuntut guru untuk lebih memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu di negeri sendiri dan lebih mempopulerkan bahasa Indonesia dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa sehari-hari.Untuk itu, pemerintah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) memberikan standar kemampuan yang harus dicapai oleh siswa dari mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah ke atas, kemudian dapat dikembangkan oleh guru untuk lebih meningkatkan keterampilan berbahasa siswa.Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), membaca, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa untuk pembelajaran bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada performansi berbahasa daripada sekedar memiliki pengetahuan tentang kebahasaan, yakni berupa unjuk kerja mempergunakan bahasa dalam konteks tertentu sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa. Tarigan (1983:1) mengungkapkan keterampilan berbahasa dalam bahasa Indonesia meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut disebut juga sebagai "catur tunggal" keterampilan berbahasa, karena keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan tidak bisa dilepaskan, namun berbeda antara satu dengan yang lainnya dan juga berbeda dari segi prosesnya.Pelajaran bahasa Indonesia dewasa ini ditujukan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis. Dengan kata lain, secara pragmatis-komunikatif bahasa Indonesia lebih merupakan suatu bentuk performansi daripada sebagai suatu sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang ilmu atau pengetahuan kebahasaan.Namun kenyataan di lapangan, kemampuan berbahasa Indonesia terutama keterampilan berbicara siswa sekolah dasar, tepatnya siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y masih rendah.
Hal ini dilihat dari masih rendahnya nilai bahasa Indonesia siswa (sekitar 71 % siswa yang memperoleh nilai bahasa Indonesia di bawah KKM), siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Sunda), malu untuk berbicara di depan kelas, dan materi pembicaraan yang belum dikuasai siswa.Tampak pada saat pembelajaran berlangsung, siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru tidak berani mengajukan pertanyaan apalagi mengeluarkan pendapat. Ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau berkomentar siswa hanya diam, tidak jelas sudah mengerti atau belum. Tidak hanya itu, ketika siswa diminta untuk menceritakan pengalaman pribadi di depan kelas, masih tampak kesulitan, bahkan ada siswa yang sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun saat diminta untuk bercerita di depan kelas.Hal ini menjadi suatu acuan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dalam hal ini kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y agar anak memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga siswa memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide, pikiran, pendapat serta mudah dalam mengkomunikasikan perasaan maupun pengalaman pribadi. Selain itu, Siswa diharapkan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia terutama dalam keterampilan berbicara. Salah satunya melalui bercerita. Bercerita dianggap cocok diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan alasan : 1. Bercerita memberikan pengalaman psikologis dan linguistik pada siswa sesuai minat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa sekaligus menyenangkan bagi siswa,2. Bercerita dapat mengembangkan potensi kemampuan berbahasa siswa melalui pendengaran kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan siswa dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan,3. Bercerita merupakan kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan,4. Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan dan pengalaman,5. Siswa aktif.Seperti yang diungkapkan Susilawani, D. (2009) manfaat bercerita meliputi : menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa, meningkatkan kemampuan komunikasi verbal, meningkat kemampuan mendengar, mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu, menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang, mempererat ikatan batin orang tua dan anak, meningkatkan kecerdasan emosional, dan alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian.Mengingat begitu pentingnya keterampilan berbicara sebagai salah satu kemampuan dalam gagasan atau pesan secara lisan serta masih rendahnya kemampuan berbahasa siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y terutama dalam aspek berbicara, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul "Upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y" (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y).
B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: "Bagaimanakah upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y? (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y)Untuk memperjelas masalah, maka permasalahan di atas dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut:1. Bagaimanakah mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?2. Apakah teknik bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?3. Hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?
C. Tujuan PenelitianSecara umum penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran secara umum tentang teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :1. Mengetahui gambaran secara umum mengenai persiapan dan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y2. Mengetahui hasil yang diperoleh dari teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y3. Mengetahui hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.
D. Manfat PenelitianHasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. GuruMemberikan kajian dan informasi tentang teknik bercerita untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa sehingga pembelajaran bahasa Indonesia dapat lebih menyenangkan dan bermakna serta kualitas pembelajaran bahasa Indonesia lebih meningkat.2. SiswaMemberikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa sehingga siswa memiliki wawasan, dapat tampil lebih percaya diri, terutama keterampilan berbicara siswa lebih meningkat.3. Peneliti selanjutnyaDapat dijadikan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang relevan terhadap variabel-variabel yang belum tersentuh dalam penelitian ini
E. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami konsep-konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini, berikut dijelaskan konsep-konsep utama tersebut.1. Keterampilan berbicaraKeterampilan berbicara dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan Berbicara, meliputi pelafalan dan intonasi, pilihan kata/kosa kata, dan struktur kata. Isi cerita, meliputi hubungan isi cerita dengan topik, struktur isi cerita dan kualitas isi cerita. Penampilan, meliputi gerak-gerik & mimik, dan volume suara.2. Teknik berceritaTeknik bercerita dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan anak menceritakan pengalaman/kejadian dengan urut, menceritakan kembali isi buku cerita secara urut, dan bercerita tentang gambar dengan urut dan bahasa yang jelas.
F. Hipotesis TindakanMelalui teknik bercerita diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.
G. Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Reaserch dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengurupulan data yang penulis gunakan adalah tes lisan dan observasi.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional (Pasal 33
ayat 1). Hal itu menunjukkan betapa penting dan strategisnya kedudukan bahasa Indonesia dalam
sistem pendidikan nasional dan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu tidak berlebihan
jika kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut bahwa Bahasa Indonesia
wajib dimuat (dan tentu saja wajib pula diajarkan) dalam kurikulum pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi (Pasal 37 ayat 1 dan 2).
Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mulai diberlakukan sejak tahun
2006 berdasarkan Permendiknas RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Pembelajaran
Bahasa Indonesia menekankan pentingnya penguasaan 4 (empat) macam keterampilan dasar
berbahasa oleh subyek didik yang meliputi: keterampilan berbicara, menyimak atau
mendengarkan (dengan pemahaman), membaca (dengan pemahaman) dan keterampilan menulis.
Keempat macam keterampilan dasar berbahasa tersebut memiliki keterkaitan fungsional satu
sama lain.
Namun demikian, tanpa mengabaikan keterampilan berbahasa yang lainnya, keterampilan
berbicara dipandang memiliki peranan sentral dalam tujuan pembelajaran bahasa, karena hakekat
belajar bahasa adalah belajar komunikasi, terutama komunikasi lisan. Demikian pula dengan
hakikat pembelajaran bahasa Indonesia. Hakikat pembelajaran Bahasa Indonesia ialah
peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar secara lisan dan tulisan (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/). Keterampilan
berbicara bisa menunjang keterampilan bahasa lainnya. Keterampilan berbicara juga sering
dipandang sebagai tolak ukur utama untuk menilai keberhasilan dalam pembelajaran bahasa.
Ironisnya, seperti dinyatakan oleh harian Kompas edisi 5 Juli 2004, “Belum semua guru
bahasa menyadari pembelajaran bahasa bertujuan meningkatkan keterampilan berbahasa.
Keterampilan yang dimaksudkan itu adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi secara lisan dan tulisan (http://www2.kompas-cetak/0407/06/humaniora/).
Kritik senada disampaikan pula oleh pakar bahasa, Anton M. Moeliono sebagaimana
dilansir oleh harian Kompas tersebut, “Selama ini, guru belum memberikan ruang kepada peserta
didik untuk mengembangkan keterampilan tersebut (baca keterampilan berbicara, pen). Guru
dalam mengajar pelajaran bahasa, baik Bahasa Indonesia atau bahasa asing, lebih mengutamakan
hal formal seperti struktur dan tatanan bahasa.”
Bagi guru bahasa Indonesia, kritik yang bersifat konstruktif tersebut harus disikapi secara
lapang dada, terbuka, introspektif, akomodatif dan apresiatif. Semua itu harus dipandang sebagai
cambuk dan tantangan yang bisa melecut semangat untuk lebih meningkatkan kompetensi dan
profesionalisme guru dalam pembelajaran bahasa. Sehingga pembelajaran bahasa benar-benar
bisa mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu membekali subyek didik dengan berbagai
keterampilan berbahasa yang sangat diperlukan dalam hidup di tengah masyarakat kelak.
B. Keterampilan Berbicara dan ruang lingkupnya
Kemampuan berbicara sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagian besar
aktivitas kehidupan manusia membutuhkan dukungan kemampuan berbicara. Kemampuan
berbicara telah diajarkan sejak siswa duduk di kelas I melalui pembelajaran keterampilan
berbicara. Ketika siswa duduk di kelas IV sekolah dasar dan seterusnya, seharusnya siswa telah
terampil berbicara.
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari
pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator sedangkan
pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh
pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan baik dan benar. Dengan
demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran
seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan.
Agar pembicaraan itu mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal ini bermakna bahwa
pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara yang efektif sehingga orang lain
(pendengar) dapat menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan
perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan
jarak jauh.
Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang
alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk
tingkah laku sosial. Selanjutnya Wilkin dalam Oktarina (2002) menyatakan bahwa keterampilan
berbicara adalah kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui
kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat
yang berbeda.
Menurut Nuraeni (2002), “Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara
kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya.”
(http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/).
Selanjutnya Dr. Tri Budhi Sastrio, M.Si dalam tulisannya yang berkepala: Keterampilan
Dasar Berbahasa Antara Harapan dan Realita menyatakan sebagai berikut
(http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2008):
“Kemampuan dan keterampilan berbicara mungkin merupakan keterampilan dasar berbahasa yang paling tidak mudah dimanipulasi jika konsep ‘unjuk kerja’ yang dijadikan tolok ukur. Seseorang tidak mungkin memoles kemampuan berbicaranya, khususnya bahasa asing, dalam semalam saja seandainya besok ia harus mengikuti tes berbicara. Kemampuan berbicara seseorang diperoleh dalam jangka waktu lama dan dengan usaha yang tidak kenal lelah.”
Lebih lanjut dikatakan oleh Tri Budhi Sastrio:
Berbicara satu sama lain, yang adalah salah satu bentuk komunikasi paling mudah yang dapat dilakukan oleh manusia melalui media bahasa, menurut Brown dan Yule (1983) seperti yang dikutip oleh Nunan (1989: 27) ternyata menimbulkan implikasi pembagian fungsi bahasa ke dalam 2 (dua) kategori yaitu (1) kategori fungsi transaksional; dan (2) kategori fungsi interaksional. Fungsi transaksional mementingkan transfer informasi sedangkan fungsi interaksional mementingkan fakta bahwa kegunaan utama ujaran adalah mempertahankan hubungan sosial.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan salah satu
keterampilan dasar berbahasa yang diperoleh melalui belajar dan latihan dalam jangka waktu
lama dan berfungsi sebagai sarana komunikasi lisan.
Berdasarkan kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat luas. Daerah
cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat informal sampai kegiatan
komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan komunikasi lisan yang melibatkan
pembicara dan pendengar termasuk daerah cakupan berbicara.
Daerah cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan sebagai berikut
(http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/):
(1) berceramah,
(2) berdebat,
(3) bercakap-cakap,
(4) berkhotbah,
(5) bertelepon,
(6) bercerita,
(7) berpidato,
(8) bertukar pikiran,
(9) bertanya,
(10) bermain peran,
(11) berwawancara,
(12) berdiskusi,
(13) berkampanye,
(14) menyampaikan sambutan, selamat, pesan,
(15) melaporkan,
(16) menanggapi,
(17) menyanggah pendapat,
(18) menolak permintaan, tawaran, ajakan,
(19) menjawab pertanyan,
(20) menyatakan sikap,
(21) menginformasikan,
(22) membahas,
(23) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan),
(24) menguraikan cara membuat sesuatu,
(25) menawarkan sesuatu,
(26) meminta maaf,
(27) memberi petunjuk,
(28) memperkenalkan diri,
(29) menyapa,
(30) mengajak,
(31) mengundang,
(32) memperingatkan,
(33) mengoreksi,
(34) tanya-jawab.
Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Aspek-aspek keterampilan
bahasa lainnya adalah menyimak, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut berkaitan erat,
antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca.
(a) Hubungan Berbicara dengan Menyimak
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak
terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan
menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-
cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview, dan sebagainya.
Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi, tidak ada gunanya orang berbicara
bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang
berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur
kalimat.
(b) Hubungan Berbicara dengan Membaca
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat
produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar informasi.
Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi.
Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering
orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong
bagi yang bersangkutan untuk mengekspresikan kembali informasi yang diperolehnya antara lain
melalui berbicara.
(c) Hubungan Berbicara dengan Menulis
Kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis bersifat produktif-ekspresif. Kedua
kegiatan itu berfungsi sebagai penyampai informasi. Penyampaian informasi melalui kegiatan
berbicara disalurkan melalui bahasa lisan, sedangkan penyampaian informasi dalam kegiatan
menulis disalurkan melalui bahasa tulis.
Informasi yang digunakan dalam berbicara dan menulis diperoleh melalui kegiatan
menyimak ataupun membaca. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan dalam kegiatan
berbicara menunjang keterampilan menulis. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan
menunjang keterampilan berbicara.
C. Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian,
dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar
dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Peningkatan aktivitas siswa yaitu
meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif belajar, meningkatnya jumlah siswa yang
bertanya dan menjawab, meningkatnya jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi
pembelajaran. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan
mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan dan
lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam
pembelajaran ; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas
siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang
perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1. Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2. Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas
terarah;
3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan
kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut:
1. Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan
harga diri) siswa.
2. Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role
playing.
3. Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran
dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa
menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan
mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan
moral.
4. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk
membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.
5. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses
mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi
intelektualnya.
6. Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi
dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan
berfikir kritis dan kreatif.
7. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk
mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan
mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak
rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.
Paradigma pendidikan yang berkembang belakangan ini sangat menekankan pentingnya
perubahan dalam kegiatan pembelajaran, dari semula berpusat pada guru (teacher centered)
menjadi berpusat pada siswa (student centered).
Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (dikenal pula dengan istilah
“pembelajaran berbasis peserta didik”) ditandai oleh antara lain: 1) Adanya dominasi aktivitas
siswa (bukan guru) dalam kegiatan pembelajaran; 2) perubahan peran guru dalam kegiatan
pembelajaran dari semula “mengajar” menjadi “membelajarkan”. Guru tidak lagi sebagai satu-
satunya sumber dan pusat belajar. Guru tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba tahu.
Peran yang diharapkan dari guru dalam kegiatan pembelajaran sekarang ini hanyalah sebagai
fasilitator, motivator dan supervisor dari aktivitas belajar yang dilakukan siswa; dan 3) adanya
perubahan mendasar dalam metode pembelajaran dari metode konvensional yang mengandalkan
ceramah berubah menjadi metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAIKEM) disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik subyek didik.
D. Prestasi Belajar
Istilah prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan hasil belajar.
Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan pengertian prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada
yang berpendapat bahwa pengertian prestasi belajar sama dengan hasil belajar. Akan tetapi ada
pula yang mengatakan bahwa hasil belajar berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil
belajar menunjukkan kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu
semester dan sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek,
misalnya satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), prestasi adalah hasil yang telah dicapai
(dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Sedangkan prestasi belajar diartikan
sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Sedangkan menurut Nana Sudjana, hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar
dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes
tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan.
S.Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang
belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan
dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah
mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun
kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan
untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan
upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk
menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, 2003 dalam Fathul Himam, 2004). Hasil belajar
dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub
sumatif), dan nilai ulangan semester ( sumatif ).
Nawawi (1981:100) mengemukakan pengertian hasil belajar sebagai keberhasilan murid
dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari
hasil tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu.
Selanjutnya Nawawi (1981:127) membedakan hasil belajar menjadi tiga macam yaitu:
a. Hasil belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecakapan di dalam melakukan
atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan menggunakan alat.
b. Hasil belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa yang
dikerjakan, dan
c. Hasil belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar memiliki cakupan
makna yang lebih luas dibanding prestasi belajar. Dengan kata lain, prestasi belajar adalah
sebagian dari hasil belajar pada mata pelajaran atau materi pelajaran tertentu yang dinyatakan
dengan nilai atau angka berdasarkan tes yang dikembangkan dan diberikan oleh guru. Meskipun
demikian, dalam tulisan ini kedua istilah tersebut dianggap identik dan karenanya bisa saling
dipertukarkan pemakaiannya.
Selanjutnya perlu dikemukakan di sini, bahwa hasil belajar (baca, prestasi belajar)
merupakan hasil dari proses yang kompleks. Hal itu disebabkan banyak faktor yang
mempengaruhi hasil atau prestasi belajar. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil atau prestasi belajar itu dapat dibedakan atas dua macam, yaitu faktor dari dalam diri
individu (baca, subyek didik) atau disebut faktor internal, dan faktor dari luar diri subyek didik,
atau disebut faktor eksternal. Baik buruknya kualitas kedua faktor ini akan banyak berpengaruh
terhadap baik buruknya hasil atau prestasi belajar. Semakin baik kondisi atau kualitas kedua
faktor tersebut dimiliki oleh subyek didik, maka cenderung semakin baik hasil atau prestasi
belajar yang bisa dicapai. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk kondisi atau kualitas kedua
faktor dimaksud, maka cenderung semakin buruk pula hasil atau prestasi belajar yang dicapai.
Adapun faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar yaitu:
Faktor fisiologi, seperti kondisi fisik dan kondisi indera.
Faktor Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan kognitif.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah:
Lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam.
Faktor Instrumental, seperti kurikulum, bahan pengajaran, sarana dan fasilitas.
E. Metode Pembelajaran Cerita Berantai
”Teknik cerita berantai adalah salah satu teknik dalam pengajaran berbicara yang
menceritakan suatu cerita kepada siswa pertama, kemudian siswa pertama menceritakan kepada
siswa kedua, dan seterusnya kemudian cerita tersebut diceritakan kembali lagi kepada siswa
yang pertama,” demikian kata Tarigan (1990) sebagaimana dilansir oleh Tarmizi Ramadhan
dalam webblog (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/).
Menurut Tarigan (1990), “Penerapan teknik cerita berantai ini dimaksudkan untuk
membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Jika siswa telah menunjukkan keberanian,
diharapkan kemampuan berbicaranya menjadi meningkat.”
Teknik atau metode cerita berantai bisa dimulai dari seorang siswa yang menerima
informasi dari guru, kemudian siswa tadi membisikkan informasi itu kepada teman lain, dan
teman yang telah menerima bisikan meneruskannya kepada teman yang lain lagi. Begitulah
seterusnya. Pada akhir kegiatan akan dievaluasi, yaitu: siswa yang mana yang menerima
informasi yang benar atau salah. Siswa yang salah menerima informasi tentu akan salah pula
menyampaikan informasi kepada orang lain. Sebaliknya, bisa saja terjadi informasi yang
diterima oleh siswa itu benar tetapi mereka keliru menyampaikannya kepada teman yang lain.
Untuk itu, diperlukan pertimbangan yang cukup bijak dari guru untuk menilai keberhasilan
teknik cerita berantai ini.
Secara lebih detail dan sistematis, metode cerita berantai yang dikembangkan oleh Tarigan
(1990) tersebut dapat diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru menyusun suatu cerita yang dituliskan dalam sehelai kertas.
2. Cerita itu kemudian dibaca dan dihapalkan oleh siswa.
3. Siswa pertama menceritakan cerita tersebut, tanpa melihat teks, kepada siswa kedua.
4. Siswa kedua menceritakan cerita itu kepada siswa ketiga.
5. Siswa ketiga menceritakan kembali cerita itu kepada siswa pertama.
6. Sewaktu siswa ketiga bercerita suaranya direkam.
7. Guru menuliskan isi rekaman siswa ketiga di papan tulis.
8. Hasil rekaman diperbandingkan dengan teks asli cerita.
Untuk menerapkannya lebih lanjut teknik cerita berantai dapat ditempuh langkah-langkah
berikut:
1. Guru menyiapkan sehelai kertas yang bertuliskan cerita atau pesan (kurang lebih satu atau
tiga kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.
2. Pesan yang hendak disampaikan guru menyangkut kejadian-kejadian yang cukup menarik
dan berarti bagi siswa. Misalnya: cara meningkatkan hasil belajar, penerapan disiplin diri,
atau motivasi belajar.
3. Siswa yang duduk di depan menerima pesan dari guru dan meneruskannya kepada siswa
yang duduk di sebelahnya. Kegiatan ini dilakukan siswa di depan kelas sambil berdiri.
4. Siswa yang telah menerima pesan meneruskannya kembali kepada siswa lain. Kegiatan ini
dilakukan sampai pada tiga orang siswa saja. Kemudian siswa ketiga menceritakan isi cerita
kepada siswa pertama.
5. Guru dan siswa membandingkan isi cerita siswa pertama dan ketiga.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan, penggunaan teknik cerita berantai
sebagaimana dilansir oleh Tarmizi Ramadhan dalam webblognya (http://tarmizi.wordpress.com)
ternyata memberikan beberapa manfaat dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa,
antara lain:
1. Pembelajaran berlangsung lebih efektif.
2. Keaktifan siswa lebih meningkat.
3. Terjadi interaksi yang positif antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.
4. Proses pembelajaran berjalan lebih terarah dan lebih menarik.
Di samping manfaat di atas, penerapan teknik cerita berantai menurut hasil temuan di
lapangan juga memiliki beberapa kendala dan hambatan, seperti:
1. Waktu yang tersedia masih kurang mencukupi.
2. Memerlukan kecermatan dalam memberikan penilaian.
3. Kalimat yang panjang lebih dari tiga kalimat masih sulit untuk disimak.
F. Hipotesis Tindakan
Dari kajian teori tersebut kiranya dapat dirumuskan jawaban sementara (hipotesis) atas
masalah-masalah yang ada dalam penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut:
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa Kelas IVB MI Al Azhar Bandung-Tulungagung
pada Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan keterampilan berbicara secara runtut, baik dan benar siswa Kelas IVB MI
Al Azhar Bandung-Tulungagung pada Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas IVB MI Al Azhar Bandung-Tulungagung pada
Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional (Pasal 33
ayat 1). Hal itu menunjukkan betapa penting dan strategisnya kedudukan bahasa Indonesia dalam
sistem pendidikan nasional dan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu tidak berlebihan
jika kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut bahwa Bahasa Indonesia
wajib dimuat (dan tentu saja wajib pula diajarkan) dalam kurikulum pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi (Pasal 37 ayat 1 dan 2).
Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mulai diberlakukan sejak tahun
2006 berdasarkan Permendiknas RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Pembelajaran
Bahasa Indonesia menekankan pentingnya penguasaan 4 (empat) macam keterampilan dasar
berbahasa oleh subyek didik yang meliputi: keterampilan berbicara, menyimak atau
mendengarkan (dengan pemahaman), membaca (dengan pemahaman) dan keterampilan menulis.
Keempat macam keterampilan dasar berbahasa tersebut memiliki keterkaitan fungsional satu
sama lain.
Namun demikian, tanpa mengabaikan keterampilan berbahasa yang lainnya, keterampilan
berbicara dipandang memiliki peranan sentral dalam tujuan pembelajaran bahasa, karena hakekat
belajar bahasa adalah belajar komunikasi, terutama komunikasi lisan. Demikian pula dengan
hakikat pembelajaran bahasa Indonesia. Hakikat pembelajaran Bahasa Indonesia ialah
peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar secara lisan dan tulisan (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/). Keterampilan
berbicara bisa menunjang keterampilan bahasa lainnya. Keterampilan berbicara juga sering
dipandang sebagai tolak ukur utama untuk menilai keberhasilan dalam pembelajaran bahasa.
Ironisnya, seperti dinyatakan oleh harian Kompas edisi 5 Juli 2004, “Belum semua guru
bahasa menyadari pembelajaran bahasa bertujuan meningkatkan keterampilan berbahasa.
Keterampilan yang dimaksudkan itu adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi secara lisan dan tulisan (http://www2.kompas-cetak/0407/06/humaniora/).
Kritik senada disampaikan pula oleh pakar bahasa, Anton M. Moeliono sebagaimana
dilansir oleh harian Kompas tersebut, “Selama ini, guru belum memberikan ruang kepada peserta
didik untuk mengembangkan keterampilan tersebut (baca keterampilan berbicara, pen). Guru
dalam mengajar pelajaran bahasa, baik Bahasa Indonesia atau bahasa asing, lebih mengutamakan
hal formal seperti struktur dan tatanan bahasa.”
Bagi guru bahasa Indonesia, kritik yang bersifat konstruktif tersebut harus disikapi secara
lapang dada, terbuka, introspektif, akomodatif dan apresiatif. Semua itu harus dipandang sebagai
cambuk dan tantangan yang bisa melecut semangat untuk lebih meningkatkan kompetensi dan
profesionalisme guru dalam pembelajaran bahasa. Sehingga pembelajaran bahasa benar-benar
bisa mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu membekali subyek didik dengan berbagai
keterampilan berbahasa yang sangat diperlukan dalam hidup di tengah masyarakat kelak.
B. Keterampilan Berbicara dan ruang lingkupnya
Kemampuan berbicara sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagian besar
aktivitas kehidupan manusia membutuhkan dukungan kemampuan berbicara. Kemampuan
berbicara telah diajarkan sejak siswa duduk di kelas I melalui pembelajaran keterampilan
berbicara. Ketika siswa duduk di kelas IV sekolah dasar dan seterusnya, seharusnya siswa telah
terampil berbicara.
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari
pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator sedangkan
pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh
pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan baik dan benar. Dengan
demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran
seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan.
Agar pembicaraan itu mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal ini bermakna bahwa
pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara yang efektif sehingga orang lain
(pendengar) dapat menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan
perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan
jarak jauh.
Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang
alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk
tingkah laku sosial. Selanjutnya Wilkin dalam Oktarina (2002) menyatakan bahwa keterampilan
berbicara adalah kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui
kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat
yang berbeda.
Menurut Nuraeni (2002), “Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara
kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya.”
(http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/).
Selanjutnya Dr. Tri Budhi Sastrio, M.Si dalam tulisannya yang berkepala: Keterampilan
Dasar Berbahasa Antara Harapan dan Realita menyatakan sebagai berikut
(http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2008):
“Kemampuan dan keterampilan berbicara mungkin merupakan keterampilan dasar berbahasa yang paling tidak mudah dimanipulasi jika konsep ‘unjuk kerja’ yang dijadikan tolok ukur. Seseorang tidak mungkin memoles kemampuan berbicaranya, khususnya bahasa asing, dalam semalam saja seandainya besok ia harus mengikuti tes berbicara. Kemampuan berbicara seseorang diperoleh dalam jangka waktu lama dan dengan usaha yang tidak kenal lelah.”
Lebih lanjut dikatakan oleh Tri Budhi Sastrio:
Berbicara satu sama lain, yang adalah salah satu bentuk komunikasi paling mudah yang dapat dilakukan oleh manusia melalui media bahasa, menurut Brown dan Yule (1983) seperti yang dikutip oleh Nunan (1989: 27) ternyata menimbulkan implikasi pembagian fungsi bahasa ke dalam 2 (dua) kategori yaitu (1) kategori fungsi transaksional; dan (2) kategori fungsi interaksional. Fungsi transaksional mementingkan transfer informasi sedangkan fungsi interaksional mementingkan fakta bahwa kegunaan utama ujaran adalah mempertahankan hubungan sosial.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan salah satu
keterampilan dasar berbahasa yang diperoleh melalui belajar dan latihan dalam jangka waktu
lama dan berfungsi sebagai sarana komunikasi lisan.
Berdasarkan kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat luas. Daerah
cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat informal sampai kegiatan
komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan komunikasi lisan yang melibatkan
pembicara dan pendengar termasuk daerah cakupan berbicara.
Daerah cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan sebagai berikut
(http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/):
(1) berceramah,
(2) berdebat,
(3) bercakap-cakap,
(4) berkhotbah,
(5) bertelepon,
(6) bercerita,
(7) berpidato,
(8) bertukar pikiran,
(9) bertanya,
(10) bermain peran,
(11) berwawancara,
(12) berdiskusi,
(13) berkampanye,
(14) menyampaikan sambutan, selamat, pesan,
(15) melaporkan,
(16) menanggapi,
(17) menyanggah pendapat,
(18) menolak permintaan, tawaran, ajakan,
(19) menjawab pertanyan,
(20) menyatakan sikap,
(21) menginformasikan,
(22) membahas,
(23) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan),
(24) menguraikan cara membuat sesuatu,
(25) menawarkan sesuatu,
(26) meminta maaf,
(27) memberi petunjuk,
(28) memperkenalkan diri,
(29) menyapa,
(30) mengajak,
(31) mengundang,
(32) memperingatkan,
(33) mengoreksi,
(34) tanya-jawab.
Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Aspek-aspek keterampilan
bahasa lainnya adalah menyimak, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut berkaitan erat,
antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca.
(a) Hubungan Berbicara dengan Menyimak
Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak
terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan
menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-
cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview, dan sebagainya.
Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi, tidak ada gunanya orang berbicara
bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang
berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur
kalimat.
(b) Hubungan Berbicara dengan Membaca
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat
produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar informasi.
Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi.
Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering
orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong
bagi yang bersangkutan untuk mengekspresikan kembali informasi yang diperolehnya antara lain
melalui berbicara.
(c) Hubungan Berbicara dengan Menulis
Kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis bersifat produktif-ekspresif. Kedua
kegiatan itu berfungsi sebagai penyampai informasi. Penyampaian informasi melalui kegiatan
berbicara disalurkan melalui bahasa lisan, sedangkan penyampaian informasi dalam kegiatan
menulis disalurkan melalui bahasa tulis.
Informasi yang digunakan dalam berbicara dan menulis diperoleh melalui kegiatan
menyimak ataupun membaca. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan dalam kegiatan
berbicara menunjang keterampilan menulis. Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan
menunjang keterampilan berbicara.
C. Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian,
dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar
dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Peningkatan aktivitas siswa yaitu
meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif belajar, meningkatnya jumlah siswa yang
bertanya dan menjawab, meningkatnya jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi
pembelajaran. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan
mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan dan
lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam
pembelajaran ; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas
siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang
perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1. Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2. Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas
terarah;
3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan
kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut:
1. Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan
harga diri) siswa.
2. Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role
playing.
3. Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran
dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa
menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan
mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan
moral.
4. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk
membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.
5. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses
mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi
intelektualnya.
6. Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi
dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan
berfikir kritis dan kreatif.
7. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk
mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan
mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak
rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.
Paradigma pendidikan yang berkembang belakangan ini sangat menekankan pentingnya
perubahan dalam kegiatan pembelajaran, dari semula berpusat pada guru (teacher centered)
menjadi berpusat pada siswa (student centered).
Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (dikenal pula dengan istilah
“pembelajaran berbasis peserta didik”) ditandai oleh antara lain: 1) Adanya dominasi aktivitas
siswa (bukan guru) dalam kegiatan pembelajaran; 2) perubahan peran guru dalam kegiatan
pembelajaran dari semula “mengajar” menjadi “membelajarkan”. Guru tidak lagi sebagai satu-
satunya sumber dan pusat belajar. Guru tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba tahu.
Peran yang diharapkan dari guru dalam kegiatan pembelajaran sekarang ini hanyalah sebagai
fasilitator, motivator dan supervisor dari aktivitas belajar yang dilakukan siswa; dan 3) adanya
perubahan mendasar dalam metode pembelajaran dari metode konvensional yang mengandalkan
ceramah berubah menjadi metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAIKEM) disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik subyek didik.
D. Prestasi Belajar
Istilah prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan hasil belajar.
Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan pengertian prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada
yang berpendapat bahwa pengertian prestasi belajar sama dengan hasil belajar. Akan tetapi ada
pula yang mengatakan bahwa hasil belajar berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil
belajar menunjukkan kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu
semester dan sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek,
misalnya satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), prestasi adalah hasil yang telah dicapai
(dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Sedangkan prestasi belajar diartikan
sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Sedangkan menurut Nana Sudjana, hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar
dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes
tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan.
S.Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang
belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan
dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah
mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun
kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan
untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan
upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk
menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, 2003 dalam Fathul Himam, 2004). Hasil belajar
dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub
sumatif), dan nilai ulangan semester ( sumatif ).
Nawawi (1981:100) mengemukakan pengertian hasil belajar sebagai keberhasilan murid
dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari
hasil tes mengenai sejumlah pelajaran tertentu.
Selanjutnya Nawawi (1981:127) membedakan hasil belajar menjadi tiga macam yaitu:
a. Hasil belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecakapan di dalam melakukan
atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan menggunakan alat.
b. Hasil belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa yang
dikerjakan, dan
c. Hasil belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar memiliki cakupan
makna yang lebih luas dibanding prestasi belajar. Dengan kata lain, prestasi belajar adalah
sebagian dari hasil belajar pada mata pelajaran atau materi pelajaran tertentu yang dinyatakan
dengan nilai atau angka berdasarkan tes yang dikembangkan dan diberikan oleh guru. Meskipun
demikian, dalam tulisan ini kedua istilah tersebut dianggap identik dan karenanya bisa saling
dipertukarkan pemakaiannya.
Selanjutnya perlu dikemukakan di sini, bahwa hasil belajar (baca, prestasi belajar)
merupakan hasil dari proses yang kompleks. Hal itu disebabkan banyak faktor yang
mempengaruhi hasil atau prestasi belajar. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil atau prestasi belajar itu dapat dibedakan atas dua macam, yaitu faktor dari dalam diri
individu (baca, subyek didik) atau disebut faktor internal, dan faktor dari luar diri subyek didik,
atau disebut faktor eksternal. Baik buruknya kualitas kedua faktor ini akan banyak berpengaruh
terhadap baik buruknya hasil atau prestasi belajar. Semakin baik kondisi atau kualitas kedua
faktor tersebut dimiliki oleh subyek didik, maka cenderung semakin baik hasil atau prestasi
belajar yang bisa dicapai. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk kondisi atau kualitas kedua
faktor dimaksud, maka cenderung semakin buruk pula hasil atau prestasi belajar yang dicapai.
Adapun faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar yaitu:
Faktor fisiologi, seperti kondisi fisik dan kondisi indera.
Faktor Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan kognitif.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah:
Lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam.
Faktor Instrumental, seperti kurikulum, bahan pengajaran, sarana dan fasilitas.
E. Metode Pembelajaran Cerita Berantai
”Teknik cerita berantai adalah salah satu teknik dalam pengajaran berbicara yang
menceritakan suatu cerita kepada siswa pertama, kemudian siswa pertama menceritakan kepada
siswa kedua, dan seterusnya kemudian cerita tersebut diceritakan kembali lagi kepada siswa
yang pertama,” demikian kata Tarigan (1990) sebagaimana dilansir oleh Tarmizi Ramadhan
dalam webblog (http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/08/).
Menurut Tarigan (1990), “Penerapan teknik cerita berantai ini dimaksudkan untuk
membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Jika siswa telah menunjukkan keberanian,
diharapkan kemampuan berbicaranya menjadi meningkat.”
Teknik atau metode cerita berantai bisa dimulai dari seorang siswa yang menerima
informasi dari guru, kemudian siswa tadi membisikkan informasi itu kepada teman lain, dan
teman yang telah menerima bisikan meneruskannya kepada teman yang lain lagi. Begitulah
seterusnya. Pada akhir kegiatan akan dievaluasi, yaitu: siswa yang mana yang menerima
informasi yang benar atau salah. Siswa yang salah menerima informasi tentu akan salah pula
menyampaikan informasi kepada orang lain. Sebaliknya, bisa saja terjadi informasi yang
diterima oleh siswa itu benar tetapi mereka keliru menyampaikannya kepada teman yang lain.
Untuk itu, diperlukan pertimbangan yang cukup bijak dari guru untuk menilai keberhasilan
teknik cerita berantai ini.
Secara lebih detail dan sistematis, metode cerita berantai yang dikembangkan oleh Tarigan
(1990) tersebut dapat diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru menyusun suatu cerita yang dituliskan dalam sehelai kertas.
2. Cerita itu kemudian dibaca dan dihapalkan oleh siswa.
3. Siswa pertama menceritakan cerita tersebut, tanpa melihat teks, kepada siswa kedua.
4. Siswa kedua menceritakan cerita itu kepada siswa ketiga.
5. Siswa ketiga menceritakan kembali cerita itu kepada siswa pertama.
6. Sewaktu siswa ketiga bercerita suaranya direkam.
7. Guru menuliskan isi rekaman siswa ketiga di papan tulis.
8. Hasil rekaman diperbandingkan dengan teks asli cerita.
Untuk menerapkannya lebih lanjut teknik cerita berantai dapat ditempuh langkah-langkah
berikut:
1. Guru menyiapkan sehelai kertas yang bertuliskan cerita atau pesan (kurang lebih satu atau
tiga kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.
2. Pesan yang hendak disampaikan guru menyangkut kejadian-kejadian yang cukup menarik
dan berarti bagi siswa. Misalnya: cara meningkatkan hasil belajar, penerapan disiplin diri,
atau motivasi belajar.
3. Siswa yang duduk di depan menerima pesan dari guru dan meneruskannya kepada siswa
yang duduk di sebelahnya. Kegiatan ini dilakukan siswa di depan kelas sambil berdiri.
4. Siswa yang telah menerima pesan meneruskannya kembali kepada siswa lain. Kegiatan ini
dilakukan sampai pada tiga orang siswa saja. Kemudian siswa ketiga menceritakan isi cerita
kepada siswa pertama.
5. Guru dan siswa membandingkan isi cerita siswa pertama dan ketiga.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan, penggunaan teknik cerita berantai
sebagaimana dilansir oleh Tarmizi Ramadhan dalam webblognya (http://tarmizi.wordpress.com)
ternyata memberikan beberapa manfaat dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa,
antara lain:
1. Pembelajaran berlangsung lebih efektif.
2. Keaktifan siswa lebih meningkat.
3. Terjadi interaksi yang positif antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.
4. Proses pembelajaran berjalan lebih terarah dan lebih menarik.
Di samping manfaat di atas, penerapan teknik cerita berantai menurut hasil temuan di
lapangan juga memiliki beberapa kendala dan hambatan, seperti:
1. Waktu yang tersedia masih kurang mencukupi.
2. Memerlukan kecermatan dalam memberikan penilaian.
3. Kalimat yang panjang lebih dari tiga kalimat masih sulit untuk disimak.
F. Hipotesis Tindakan
Dari kajian teori tersebut kiranya dapat dirumuskan jawaban sementara (hipotesis) atas
masalah-masalah yang ada dalam penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut:
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa Kelas IVB MI Al Azhar Bandung-Tulungagung
pada Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan keterampilan berbicara secara runtut, baik dan benar siswa Kelas IVB MI
Al Azhar Bandung-Tulungagung pada Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode cerita berantai dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas IVB MI Al Azhar Bandung-Tulungagung pada
Semester I Tahun Pelajaran 2008/2009.