mempertahankan tradisi tasawuf: tafsir tekstual dan
TRANSCRIPT
MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF:
Tafsir Tekstual dan Kontekstual Tarekat Menurut
Kaum Tua di Minangkabau
Nasrullah Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri
E-mail: [email protected]
Abstrak
Artikel ini memfokuskan pada “pembacaan” atas
pemahaman terhadap suatu sikap mempertahankan
pendapat atas tradisi keagamaan dalam konteks
tradisionalisme Islam. Tarekat dan tradisi pengamalannya
merupakan bagian tak-terpisahkan dari kesadaran
masyarakat muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah di
Nusantara, seiring masuk dan berkembangnya islamisasi,
tidak terkecuali di ranah Minangkabau. Kaum Tua sebagai
elite agama mempunyai tanggung jawab mempertahankan
sekaligus meyakinkan bahwa tarekat itu adalah absah
untuk diamalkan dan sama sekali tidak bertentangan
dengan syari’at sebagaimana dituduhkan oleh kelompok
Kaum Muda yang modernis. Dalam membangun argumen,
para ulama Kaum Tua, merujuk pada otoritas Nash al-
Qur’an, beberapa ayat dalam Kitab Suci, khususnya dalam
tafsir tekstual atas Surat al-Jin ayat 16. Begitu juga rujukan
kepada sumber Hadis Rasullullah yang mendukung akan
hal tersebut. Namun dalil yang diajukan Kaum Tua, tidak
hanya berhenti pada tataran tekstual saja. Akan tetapi,
tarekat juga dimaknai dalam pengertian tafsir kontekstual,
di mana ia dipahami sebagai sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan (teleologis) dalam spritualitas agama.
Dengan mengamalkan tarekat, anjuran-anjuran
memperbanyak zikir, mengendalikan hawa nafsu
(mujâhadah), menjaga kalbu dari maksiat batin,
memperbanyak ibadah, dan selalu mendekatkan diri
28 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
(murâqabah) kepada Allah SWT. adalah di antara sekian
yang diperintahkan dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Jadi,
kontribusi artikel ini pada dasarnya adalah mempotret
suatu bagian sejarah sosial keagamaan sekaligus upaya
memahami rasionalitas atas sikap atau respon ulama
Kaum Tua dalam menjaga, merawat sekaligus
mempertahankan suatu nilai agama yang sudah
ditradisikan dalam pengamalan tarekat, khususnya tarekat
Naqsyabandiyah-Khalidiyah.
Kata Kunci: Tafsir, Tekstual, Kontekstual, Dalil, Tarekat,
Kaum Tua, Minangkabau
A. PENDAHULUAN
Sudah menjadi keyakinan historis bahwa masuknya Islam ke
Nusantara adalah Islam yang diwarnarnai pengaruh tasawuf atau
sufistik yang kental.1 Pendekatan tasawuf diakui berperan besar dalam
proses islamisasi tersebut. Maka dari itu sejarah masuknya tasawuf dan
pengaruhnya di daerah Minangkabau-sebagai lokus kajian ini, tentunya
tidak akan terlepas dari semenjak masuknya Islam ke daerah ini yang
dibawa oleh para saudagar/muballigh yang berdakwah ke wilayah ini.
Artinya, tasawuf sudah masuk ke Minangkabau seiring proses awal-
awal islamisasi. Berkat kaum sufi lah dengan strategi mereka yang
“menyentuh”, kawasan Nusantara tidak terkecuali Minangkabau,
berhasil sebagian besar masyarakatnya memeluk Islam. Tasawuf tidak
hanya mereka gunakan sebagai ilmu, tetapi juga sebagai pendekatan,
1 Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, h. 10.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 29
Nasrulah
terutama ketika berhadapan dengan tradisi-tradisi lokal yang hidp dan
berjalan.
Akan lebih tepat barangkali dalam pembahasan ini, didudukkan
ketegasan peristilahan, antara tasawuf sebagai ilmu teoritis dan tasawuf
sebagai pendekatan praktis. Pada persoalan ini, penyusun sependapat
dengan Zamakhsyari Dhofier,2 bahwa dalam konsep penyebutan
tasawuf, biasanya istilah tersebut dimaknai sebagai istilah yang
berkaitan dengan aspek intelektual atau teoritis mengenai jalan untuk
“mendekatkan” diri pada Tuhan. Sedangkan dalam aspek praksis dan
etis yang justru terkadang lebih penting dari aspek teoritis sering
diistilahkan dengan tarekat. Konsep yang ingin dipotret di sini
sebenarnya adalah praktek dari ajaran tasawuf tersebut, yang
terlembaga dalam wadah tarekat. Oleh sebab itu, penyebutan istilah
tarekat daripada istilah tasawuf menurut hemat penyusun lebih tepat
dan lebih masuk akal.
Namun, juga perlu diingat bahwa tasawuf dalam konteks praktis
dan etis yang dikenal dengan tarekat itu, dalam sejarahnya
bertransformasi menjadi suatu institusi tasawuf yang sering diistilahkan
dengan tarekat (persaudaraan pengamal tasawuf). Secara insitusi,
tarekat belum dikenal secara istilah dalam, kecuali setelah abad ke-8
Hijriah. Hal ini menunjukkan, bahwa tarekat adalah sesuatu yang baru,
dan belum pernah ditemukan pada masa awal Islam atau masa
kenabian.3 Yang dikenal pada masa Nabi hanya suatu praktik hidup
2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 135. 3 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994, h. 109.
30 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
asketis dari Nabi dan para sahabat yang dikenal dengan ahl ash-Shuffah.
Sama sekali tarekat belum terkonotasi secara definitif. Maka bisa saja
dimaklumi, jika kemudian semua oganisasi tarekat dalam silsilah
jenjang patron guru-murid mendasarkan pada nama-nama para wali dan
sesepuh tarekat,yang justru hidup berabad-abad setelah Nabi wafat,
walaupun diyakini memiliki ketersambungan rohaniah dengan Nabi.
Tarekat yang di dalamnya mengusung visi dan misi ajaran-ajaran
tasawuf, adalah media rekruitmen minat islamisasi dan basis dalam
kaderisasi dakwah. Jadi, terkait dengan hipotesa di atas, maka logis
kiranya diungkapkan, bahwa keberhasilan islamisasi di tingkat kultural,
bahkan struktural, tergantung kepada sejauh mana berhasilnya
penyemaian ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat yang terdapat di wilayah
itu. Maka, setiap bentuk corak dan ajaran tarekat mempunyai fungsi dan
kedudukannya tersendiri dalam konteks islamisasi tersebut, termasuk
tentunya persoalan tarekat di Minangkabau.
Tulisan ini pada prinsipnya ingin mengetengahkan suatu bacaan
bagaimana memahami tafsiran tekstual atas legalitas dari sumber
agama (Al-Qur’an maupun Hadis maupun pendapat ulama yang
otoritatif) dari para mereka-pejuang sekaligus guru tarekat dari
kalangan ulama Kaum Tua di Minangkabau terhadap vitalnya tarekat
tersebut sekaligus tafsiran kontekstual dalam aras lokalitas budaya
Minangkabau awal abad 20. Sebab, di satu sisi mereka perlu
meyakinkan umat akan kebenaran tarekat itu sendiri sebagai bagian
integral dari kesempurnaan syariat agama-yang sama sekali tidak
bertentangan, di sisi lain ulama Kaum Tua juga berupaya
mempertahankan dari “kritik” pembaharuan dari ulama Kaum Muda
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 31
Nasrulah
yang menolak eksistensi dan amaliah tarekat tersebut. Jadi pada posisi
ini, segala pendapat maupun argumen tarekat (khususnya
Naqsyabandiyah-Khalidiyah) yang mereka pertahankan pada dasarnya
bergerak pada dua variabel asumsi di atas.
B. Historisitaas Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Di
Minangkabau
Mengenai sejarah tentang eksistensi tarekat pada mulanya di
Minangkabau, setelah hampir ditelusuri sumber-sumber yang terkait,
telah menginformasikan bahwa kemunculannya dibawa oleh Syekh
Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman.4 Putra Minang ini pulang
membawa ajaran tarekat Syattariyah5 ke kampung halamannya,
4Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, Padang: The
Minangkabau Foundation Press, 2002, h. 19. 5 Nama Syattariyah dinisnatkan pada Syekh Abdullah asy-Syattari (w. 890
H/1485 M). Beliau adalah ulama yang masih mempunyai jalinan kekerabatan dengan Imam asy-Syuhrawardi (w. 632 H/1234 M), pendiri dari tarekat Syuhrawardiah.
Tarekat ini ternyata mempunyai relasi dengan tradisi Asia Tengah dan masih
terkaitdengan Abu Yazid al-‘Isyqi, dan juga terhubung dengan Abu Yazid al-Bistami
(w. 260 H/873 M) dan Imam Ja’far ash-Shadiq (w. 146 H/763 M). Di Iran tarekat ini
dikenal dengan sebutan tarekat ‘Isyqiyyah, dan di Turki dikenal dengan al-
Bistamiyah, terutama pada abad ke-5. Lihat Oman Fathurrahman, “Tarekat
Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal
dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2005, h.153.
32 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Ulakan, setelah menuntut ilmu di Kotaraja, Aceh berguru pada guru
utama-Syekh Abdurrauf Singkil6 dalam waktu kurang lebih 10 tahun.7
Karena otoritas keilmuannya yang tinggi, maka surau8 yang ia
dirikan di Ulakan, mampu menarik para murid dari berbagai wilayah di
6 Beliau adalah ulama dari daerah Fansur, Singkil di wilayah barat pantai Aceh.
Ayahnya adalah termasuk keturunan Arab, dan bernama Syekh Ali. Beliau
diperkirakan lahir pada tahun 1615 M, dan beliau wafat pada tahun 1693 M, serta
dimakamkan di dekat sungai kuala Aceh. Oleh sebab itu ia sering disebut dengan
Syiah Kuala. Makamnya dianggap sebagai salah sat tempat keramat di Aceh. Ia
setelah mengaji di daerahnya, kemudian berangkat menuju Tanah Suci, Mekkah dan madinah untuk mengaji kepada berbagai guru di sana. Namun, di antara sekian
gurunya hanya Syekh Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al-Kurani, yang dianggap
berpengaruh besar dalam perjalanan intelektualnya. As-Sinkili pulang ke Aceh
diperkirakan tahun 1661, dan kemudian berhasil diangkat oleh Sultanah Safiyatuddin
sebagai qadhi di kerajaan Aceh. Di samping mempunyai banyak murid, ia juga
menulis beberapa karya tulis dalam bidang fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan lain
sebagainya. Lihat Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 99. 7 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, : Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, h. 36. Ada juga sumber dan teori yang menyatakan,
bahwa Syekh ini yang membawa ajaran Islam setelah pulang dari Aceh, dan juga dari Mekkah, setelah beliau juga belajar di sana. Akan tetapi pendapat ini lemah. Banyak
kalangan meragukan bahwa Syekh Burhanuddin, sebagai pembawa Islam pertama ke
Minangkabau. Karena, mereka berasumsi bahwa, rasanya sulit dan tidak mudah bagi
orang yang baru memeluk agama Islam, dalam waktu yang tidak begitu lama
kemudian menjadi seorang alim besar dan tokoh tarekat pula. Kenyataan lain
sebagaimana ditemukan dalam sebuah sumber, terdapat tiga orang putra dari
Minangkabau, yang berdakwah ke daerah Sulawesi tahun 1603 M. Artinya tahun itu
lebih dahulu dari tahun kelahiran Syekh Burhanuddin, pada tahun 1646 M. Jadi,
berdasarkan data di atas ini saja, argumen tentang Syekh Burhanuddin sebagai
pembawa agama Islam ke ranah Minang, menjadi lemah. Dalam pengertian, mereka
banyak yang keberatan dengan pernyataan bahwa Syekh inilah sebagai pembawa
Islam di Minangkabau, berdasarkan beberapa catatan dan keberatan di atas. Adapun dari sisi peran Syekh Burhanuddin sebagai pendiri surau yang pertama dan
mempunyai banyak murid tarekat di ranah Minang, dan sekaligus penyemarak proses
islamisasi, kebanyakan para sejarawan, mempunyai kesepakatan. Lihat Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1982., h.
20. 8 Keberadaan surau sebenarnya bentuk dari sebuah kontiunitas dari tradisi dan
kebudayaan sebelumnya yang dipercaya pertama kali didirikan oleh Raja Pagaruyung,
Adityawarman tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. “Surau” ini, menjadi tempat
bagi tempat peribadatan Hindu-Budha dan tempat anak-anak untuk mempelajari ilmu
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 33
Nasrulah
Minangkabau untuk menempa ilmu pengetahuan agama di bawah
bimbingan Syekh ini. Di antara muridnya yang terkenal adalah Tuanku
Mansiangan Nan Tuo, yang berasal dari Ladang Lawas, Padang
Panjang.9
Surau Ulakan ini telah menjadi sentral penyebaran Islam di
Minangkabau ketika itu sekitar abad 17 M. Basis dari pengajaran surau
ini, lebih banyak diprioritaskan bagi pengajaran dan pengembangan
tarekat Syattariyah yang memiliki jaringan dengan fenomena
perkembangan tarekat Syattariyah di Aceh.10 Hal ini juga semakin
mengungkapkan fakta bahwa awal-awal proses islamisasi di
sebagai bekal menempuh kehidupan. Surau adalah tempat yang merupakan bagian
dari sistem kehidupan tradisional masyarakat muslim di Minangkabau. Biasanya
surau itu, tidak hanya memiliki satu bangunan, malahan bisa seperti sebuah komplek
yang terdiri dari beberapa bangunan. Fungsi dari surau, bisa dikaitkan dengan tempat
ibadah seperti menjalankan salat dan suluk. Bisa juga tentunya fungsi untuk
transformasi intelektual, seperti tempat mengaji dan berdiskusi ilmu-ilmu agama.
Bahkan, surau juga berfungsi sebagai sarana kesenian, di mana surau dijadikan tempat bagi pelatihan pencak silat dan bermain qasidahan. Surau juga menjadi sarana
pemondokan di malam hari dan arena sosialisasi bagi para laki-laki Minangkabau,
baik dari golongan anak-anak, remaja, maupun para duda. Sebab anak laki-laki dalam
sistem kekerabatan Minangkabauyang matrilinial itu, pada dasarnya tidak memiliki
kamar di rumahnya. Anak laki-laki, memang telah dipeintahkan untuk mencari tempat
di luar rumah, yakni dalam konteks ini adalah surau tersebut. Bandingkan dengan
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 117. 9 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Haji Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera , Jakarta: Djajamurni, 1967, h. 18. 10 Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang Sedang
Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, alih bahasa Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta:
INIS, 1992, h. 140. Bandingkan dengan Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal dan
Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005”,
h. 152.
34 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Minangkabau lebih banyak dihiasi dengan warna Islam sufistik atau
Islam tarekat, sebagaiman dipaparkan sebelumnya.11
Dalam penilaian seorang sarjana Belanda, Martin van Bruinessen,
tarekat Syattariyah adalah sebagai bentuk tarekat yang cukup relatif
mudah dalam berpadu dengan berbagai tradisi setempat, ketimbang
tarekat lainnya waktu itu. Sehingga tidak begitu lama tarekat ini
berhasil menjadi tarekat yang berkembang.12Perkembangan tarekat
yang dibawa Syekh dari Ulakan ini, telah menjadi satu fondasi
keislaman dan menjadi bagian dalam struktur dan kultur muslim yang
terdapat di Minangkabau.
Sejak Syekh Burhanuddin yang merupakan murid sekaligus
khalifah dari Syekh Abdurrauf as-Sinkili, dipercaya sebagai penyebar
tarekat pertama di Minangkabau, telah memperlihat kecenderungan
corak tarekat Syattariyah yang berbeda dengan corak tarekat
Syattariyah di kawasan lain. Terutama dengan daerah di luar Nusantara.
Perbedaan ini, barangkali dipengaruhi oleh intensitas pergumulan
antara ajaran tarekat dan tradisi yang tidak sama antara daerah satu
dengan yang lainnya. Akibatnya corak tarekat pun diformat agar bisa
menyesuaikan dengan realitas tersebut, sebagaimana tesis Martin van
Bruinessen di atas. 13
Indikasi corak dari jenis Syattariyah ala Minangkabau atau lebih
tepatnya adalah Ulakan yang dipimpin oleh Syekh Burhanuddin ini
11 Alwi Shihab, Islam Sufistik, h. 12. 12 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 194. 13 Ibid. Lihat juga Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, h. 292.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 35
Nasrulah
adalah, telah “dilucutinya” aspek doktrin wahdah al-wujûd dalam
sistem ajarannya. Dalam konteks Ulakan, aspek ajaran itu praktis
ditiadakan, sebab dianggap bertentangan dengan doktrin ortodoksi
Islam serta tidak sesuai dengan syari’at.14 Fenomena ini terkait dengan
pengalaman tarekat Syattariyah yang diajarkan di Aceh oleh as-Sinkili
kepada murid-muridnya, tidak terkecuali Syekh Burhanuddin tentunya,
pada abad 17 Masehi. Ajaran wahdah al- wujûd oleh as-Singkili
diajarkan secara hati-hati dan dire-interpretasi maknanya.
Seperti kutipan puisi Syekh Abdurrauf dalam salah satu karyanya,
Sya’ir Ma’rifah dalam menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Faqad
‘Arafa Rabbahu, sebagai berikut;15
“Jika tuan menuntut ilmu,
Ketahui dulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,
Faqad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu qadim semata,
Tiada bersamaan itu keduanya,
Tiada semisal seumpanya.”
Juga dapat dilihat dalam rangakaian puisinya yang lain sebagai
berikut,
“Tuhan kita itu tiada bermakan,
Lahirnya nyata dengan rupa insan,
Man ‘arafa nafsahu suatu burhan,
Faqad ‘arafa rabbahu terlalu bayan.”
14 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah”, h. 172. 15 Oman Fathurrahman, “Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi
Mekkah”, dalam J.B. Kristanto (ed.), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Kompas, 2000,
h.463.
36 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Dalam rangka membuktikan bahwa as-Singkili sangat berhati-
hati dan tidak “vulgar” dalam tafsiran mistiko-filosofisnya, maka bisa
dibandingkan dengan kutipan puisi dari Hamzah Fansuri sebagai
berikut;16
“Sabda Rasul Allah: Man ‘arafa nafsahu,
Bahwasanya mengenal akan Rabbahu,
Jika sungguh engkau abdahu,
Jangan kau cari illa wajhahu,
Wajah Allah itulah yang asal kata,
Pada wujudmu sekalian rata.”
Kondisi sangat berhati-hati ini disebabkan karena as-Singkili
merasakan dan paham betul pada era sebelumnya di lingkungan Aceh
telah terjadi perseteruan yang sengit antara kelompok Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham wujûdiyah dengan
kelompok Nuruddin ar-Raniri yang berpaham ortodok. Apalagi posisi
as-Singkili berposisi sebagai seorang qadhi dalam lingkungan istana
yang bertanggung jawab dalam masalah penanganan aspek sosial
keagamaan. 17Maka hal ini memperlihatkan kecenderungan yang kuat,
bahwa Syattariyah di Ulakan ini lebih dekat kepada ajaran neo-sufisme,
atau ajaran praktek spritual yang tidak mempertentangkan dimensi
tasawuf dengan syari’ah. Ajaran neo-sufisme inilah yang menjadi trend
dari bentuk-bentuk ajaran tasawuf dan tarekat di wilayah Nusantara dan
Malaya pada abad 18 sampai awal abad 20.18
Di samping tarekat Syattariyah yang berkembang di
Minangkabau, pada tahun 1850-an, berkembang juga tarekat
16 Ibid., h. 464. 17 Ibid., h. 462. 18 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah”, h 172..
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 37
Nasrulah
Naqsyabandiyah,19 yang kemudian menjadi “rival” dari tarekat
Syattariyah, sebagai tarekat pertama yang masuk ke Minangkabau.
Rivalitas itu di mulai menurut data sejarah, ketika tokoh tarekat
Syattariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo, Cangking, yang merupakan murid
dari murid Syekh Burhanuddin di Ulakan, yakni Tuanku Nan Tuo,
Pemansiangan, “menyeberang” menjadi pengikut tarekat
Naqsyabandiyah. Surau Cangking, sebagai pusat kegiatan dan cabang
dari tarekat Syattariyah Ulakan sebelumnya, berubah haluan menjadi
tempat pengkaderan dari praktek-praktek ajaran Naqsyabandiyah. Pada
saat itu, rivalitas terkadang berubah menjadi konflik, dengan konstruksi
stigmatisasi dikotomik dengan simbol Islam Ulakan dan Islam
Cangking, sebagai representasi dan pertarungan dua tarekat terbesar di
ranah Minang kala itu.20
Ada juga sumber yang menyatakan bahwa, timbulnya eksodus
pengikut Syattariyah berpindah ke Naqsyabandiyah, lantaran terdapat
kesalahpahaman salah seorang murid dengan gurunya (khalifah/murid
Syekh Burhanuddin) di Ulakan, yang bernama Abdullah Arif,
Pariaman. Akibatnya ia dikucilkan dan mendapat sangsi tidak boleh
mengajar di wilayah pesisir Minangkabau. Karena sangsi yang cukup
berat itu, sang murid ini pindah mengajar ke daerah Koto Tuo Ampat
Koto di daerah Luhak Agam, sehingga ia masyhur dengan sebutan
Tuanku Koto Tuo. Dengan kepindahannya inilah kemudian
19 Tarekat ini sering dinisbatkan pada nama pendirinya Baha’uddin an-
Naqsyabandi (w. 1389 M). . Lihat pembahasan yang cukup panjang-lebar dari Martin
van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis,
dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1996, h. 47. 20 Hamka, Ayahku, h. 25.
38 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
menandakan suatu perpindahan di mana ia sebelumnya dari tarekat
gurunya, Syattariyah, berpindah kepada tarekat baru, yaitu
Naqsyabandiyah.21
Motif dari persaingan dua tarekat di atas, di samping menyangkut
dimensi ajaran yang sedikit berbeda, juga diidentifikasi terdapat
persaingan aspek sosial-budaya dan geo-politik kedaerahan. Sebab,
tarekat Syattariyah dianggap mewakili komponen budaya pesisir, dan
banyak dipengaruhi oleh nilai dan tradisi Aceh. Sementara tarekat
Naqsyabandiyah, mewakili komponen budaya darat Minangkabau yang
dekat dengan pengaruh Pagaruyung.22
Tuanku Nan Tuo sebagai pimpinan tarekat surau Cangking,
dibantu oleh oleh muridnya yang setia, yaitu Syekh Jalaluddin. Waktu
muda, Syekh Jalaluddin bergelar Faqih Sagir. Sementara ketika sudah
tua beliau mendapat gelar lagi dengan panggilan Tuan Sami’.23
Muridnya yang bernama Jalaluddin inilah kemudian yang kelak
menggantikan Tuanku Nan Tuo dalam memimpin surau Cangking,
sebagai pusat tarekat baru, yakni Naqsyabandiyah. Peran Syekh
Jalaluddin sangat besar dan berpengaruh. Beliau banyak menarik massa
muslim Minangkabau untuk pindah dan berpaling kepada tarekat anyar
ini. Oleh sebab itu ia banyak terlibat konflik dengan pemuka-pemuka
tarekat Syattariyah dan tarekat lokal yang lebih kecil.24
21 Ibid. Bandingkan dengan Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h.
183. 22 Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad
Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, h. 178. 23 Hamka, Ayahku, h. 25. 24 Konflik antara Syattariyah dan Naqsyabandiyah sampai pada persoalan
furu’iyah fikih, di samping tentunya aspek ajaran tarekat itu sendiri. Golongan
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 39
Nasrulah
Memang diakui oleh Hamka, bahwa akibat pertentangan antar
tarekat dan terkadang berujung terjadi konflik, telah berdampak pada
terabaikannya peran ulama dalam mengurus umat. Oleh sebab itu
masyarakat Minangkabau yang masih “labil” ketika itu dalam praktek
ajaran agama, kembali mempraktekkan kebiasaan-kebiasaan lamanya
(adat), karena mengendornya “pengawasan” dan perhatian ulama, yang
“sibuk” dengan urusan konflik.25 Akibatnya pemberdayaan masalah
keummatan menjadi terbengkalai. Kondisi itu cukup mirip dengan
fenomena maraknya para kyai atau alim ulama saat ini yang terjun ke
kancah politik praktis, sehingga pesantren dan majlis taklim menjadi
terlantarkan. Maka hal ini, sekali lagi juga berdampak pada ummat yang
dirugikan, akibat egoisme para elit agama tersebut yang terkadang
dilandasi oleh semangat individualistik.
Melalui figur Tuanku Nan Tuo kemudian dibantu dan dilanjutkan
oleh Syekh Jalaluddin sebagai pemimpin tarekat Naqsyabandiyah,
gerakan pemurnian atau pembaharuan di mulai.26 Kecenderungannya
kepada usaha pemurrnian ini terkait dengan kondisi umat Islam
Minangkabau yang saat itu dianggap telah “longgar” keislamannya.
Seperti kegemaran, minum arak, berjudi, penjualan budak, dan
Naqsyabandiyah sering “mengejek” pada kelompok Syattariyah, bahwa mereka kurang fasih dalam melafalkan bahasa Arab. Di samping itu, orang Syattariyah sering
memilih lebih belakang dalam mengawali bulan Ramadhan, mungkin karena sistem
penghitungan falakiah yang berbeda antar kedua tarekat yang bersaing ini. Lihat juga
kembali Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 125. Bandingkan
dengan Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h. 182. 25 Hamka, Ayahku, h. 25. 26 Adrianus Chatib dan Erwiza Erman, “Gerakan Reformis Paderi”, dalam
Azyumardi Azra dan Bahtiar Effendy (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002”, h. 186.
40 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
menyabung ayam. Di sisi lain juga terkait dengan adanya pengaruh
tarekat yang dianggap bernuansa singkretis dan menjurus pada bentuk
“syirik”.27 Namun, pembaharuan yang diserukan oleh Tuanku Nan Tuo
dan Syekh Jalaluddin, masih dianggap moderat dan tidak menganjurkan
pada kekerasan, jika ada pihak yang tidak menerimanya, sesuai dengan
watak dari tarekat yang “soft” pada justifikasi praksis syari’ah.
C. MENELISIK PROFIL KAUM TUA SEBAGAI GERAKAN
KEAGAMAAN DAN PENJAGA TRADISI AHLUSSUNNAH
WAL JAMA’AH
Gerakan ini sering diasosiasikan sebagai aliran konservatif,
ortodok, dan tradisionalis. Gerakan ini dikenal karena watak defensif
dalam mempertahankan tradisi dan nilai-nilai lama yang telah
mengakar kuat di masyarakat. Namun, menurut Martin van Bruinessen,
adalah kekeliruan besar jika watak konservatisme dan ortodoksi dalam
jiwa kaum tradisionalis seperti Kaum Tua, digeneralisasi dalam setiap
aspek kehidupan. Sementara Kaum Muda (baca: lawan ideologis
karena watak purifikatif dalam mengkritik tradisi keagamaan Kaum
Tua) diposisikan sebagai berwatak moderen dan progresif. Bahkan,
menurutnya dalam aspek sosial-politik, justru kenyataannya menjadi
terbalik. Justru Kaum Tua menunjukkan sikap kontra kolonialisme
bahkan, serinng melakukan tindakan perlawanan yang radikal dan non-
kooperatif.28
27 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 125. 28 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei
Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1996, h. 130.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 41
Nasrulah
Dalam konteks Minangkabau, gerakan ini adalah kontiunitas dari
gerakan atau aliran pengikut tarekat yang pada masa Paderi turut
dimusuhi bersama dengan kalangan adat. Adapun ciri-ciri dari
kelompok Kaum Tua dalam bidang agama, para pakar sering
mengidentikkan sebagai penganut dan pemegang teguh doktrin Ahl as-
Sunnah wa al-Jamâ’ah. Maka dari itu, Kaum Tua dalam praksis aspek
fikih biasanya bersandar pada referensi doktrin mazhab Syafi’i, dalam
teologi pada Imam Asy’ari, dan dalam bidang tasawuf bersandar pada
Imam Ghazali.
Kaum Tua, dengan sikap tradisionalisnya, dianggap sebagai
benteng paham Aswaja di atas. Karena dalam historisitas masuknya
Islam ke wilayah ini, telah didominasi oleh paham tersebut. Seperti
dominannya mazhab Syafi’i yang telah menjadi anutan taklid
masyarakat dalam aspek ibadah, mu’amalah, munakahat, dan lain
sebagainya.29 Begitu pun halnya dengan paham teologi Asy’ariyah
yang dikaji oleh masyarakat, paling tidak bisa dilihat nantinya dalam
kurikulum madrasah-madrasah Kaum Tua.30 Tidak ketinggalan juga
tentunya masalah tasawuf dan tarekat yang cukup “membumi” dalam
praktek masyarakat muslim Minangkabau.
Namun, dalam perjalanan sejarah, tatanan format keberagamaan
ala Aswaja tersebut, mendapat “gangguan” dari gerakan modernis atau
yang sering disebut kemudian sebagai Kaum Muda. Kehadiran Kaum
Muda ini berusaha mereformasi bahkan berupaya mendekonstruksi
29 Sanusi Latief, “ Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, disertasi doktor IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988. 30 Bandingkan dengan uraian Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren,
dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 153.
42 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
tatanan tersebut dengan menggantikannya melalui formula ijtihad dan
kembali pada sumber al-Qur’an dan Sunnah, bukan dengan cara
bertaklid ala paham Kaum Tua di atas.
Kondisi ini tentu saja menjadi ancaman tersendiri bagi Kaum
tradisionalis yang merasa “terganggu” dengan paham “baru” yang
diinspirasi oleh semangat pembaharuan dari Timur Tengah yang sedang
“booming” kala itu. Bagi pihak Kaum Tua, gerakan ini, telah dianggap
mengganggu tatanan paham yang sudah berurat-berakar dalam
pengamalan Islam di Minangakabau. Yakni, paham Ahl as-Sunnah wa
al-Jamâ’ah, baik dalam fiqih, kalam, dan tasawuf sebagaimana formasi
ajaran yang dianut dan menjadi pegangan oleh Kaum Tua di atas.
Menurut kalangan Kaum Tua, anjuran Kaum Muda untuk
menolak sikap taklid dan menganjurkan agar langsung berijtihad
merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah adalah berbahaya. Karena pada
saat ini sangat jarang orang yang memenuhi kualifikasi mujtahid
sebagaimana yang digariskan dalam Ushûl Fiqîh. Pada saat ini, tidak
mungkin ulama apalagi masyarakat tidak bertaklid kepada ulama,
dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah.31
Pada sisi lain, Kaum Tua juga merasa khawatir dan keberatan
dengan sikap ulama Kaum Muda dalam menolak paham tarekat.
Bahkan, Kaum Muda menuduh dan menganggap terekat dan ajarannya
adalah bersifat bid’ah karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Padahal
tarekat sudah menjadi “pakaian” ulama dan masyarakat Minangkabau
selama ini. Begitu juga pandangan Kaum Muda terhadap aspek adat,
31 Alaiddin, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970”,
disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995, h. 42.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 43
Nasrulah
yang mereka identifikasi banyak yang tidak sesuai dengan garis al-
Qur’an dan Sunnah.
Dalam menghadapi gerakan Kaum Muda ini, Kaum Tua
kemudian berkumpul dalam satu wadah organisasi yang diharapkan
bisa menyatukan seluruh ulama Kaum Tua di wilayah Minangkabau
pada khususnya. Pada tanggal 5 Mei tahun 1928 bertempat di Candung,
Agam, ulama-ulama Kaum Tua bermufakat mendirikan suatu
organisasi (jam’iyyah) yang diberi nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(PERTI).32
Organisasi ini menjadi induk bagi wadah persatuan madrasah-
madrasah Kaum Tua-sebagai lembaga keilmuan dan tempat re-generasi
kaderisasi ideologis yang tersebar di seluruh Minangkabau. Motif
mendirikan oranisasi ini didasari atas fakta kehadiran dan tantangan
sekolah-sekolah Kaum Muda yang lebih moderen. Dari kondisi ini
secara tidak langsung telah memotivasi sebahagian kalangan Kaum
Tua, untuk merubah dan “memodernisasi” sistem surau mereka
menjadi sistem madrasah dan sekolah.33
Beralihnya sistem surau menjadi madrasah dan sekolah yang
memakai sistem klasikal dan kurikulum, yang dilakukan oleh ulama
Kaum Tua melalui organisasi PERTI menurut Karel A. Steenbrink,
adalah bisa disebut bagian dari sikap menolak paham Kaum Muda di
32 Di antara tokoh-tokohnya antara lain: Syekh Sulaiman, Arrasuli, Syekh
Jamil Jaho, Syekh Abbas Ladang Lawas, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Syekh
M. Arifin Batuhampar, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Makhudum Solok, Syekh,
M. Yunus Pariaman, dan lain lain. Lihat dalam Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan,
h. 97. 33Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan, h. 114. Lihat dan bandingkan dengan
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 97.
44 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
satu sisi, tetapi mengikuti pada sisi lainnya. Diperkirakan pada tahun
1942, sudah terdapat 300 buah sekolah PERTI, yang memiliki sekitar
45.000 murid.34 Pada tanggal 20 Mei tahun 1930, baru lah PERTI
menjadi organisasi kemasyarakatan. Kemudian pada tanggal 22
Desember 1945, organisasi ini menjelma menjadi kekuatan salah partai
politik dan dinamakan dengan Partai Islam Perti.35 Ada empat faktor
yang menyebabkan PERTI menjadi partai politik;
Pertama, sebagai partai politik, maka PERTI akan semakin
punya “posisi tawar” dalam mempertahankan paham Aswaja. Kedua,
adanya relasi yang kurang mesra dengan anggota Majelis Islam Tinggi
Minangkabau yang didominasi oleh Kaum Muda, yang kemudian
melebur ke dalam Masyumi. Ketiga, untuk mengakomodir anggota
PERTI yang berambisi masuk dalam politik praktis pasca era
kemerdekaan. Keempat, sebagai respon atas anjuran Pemerintah RI,
pada tanggal 3 November 1945 yang memaklumatkan, agar mendirikan
partai politik untuk memperkuat perjuangan mempertahankan
kemerdekaan.36
Pada periode sebelum berakhir masa penjajahan, sekitar tahun
1940-an PERTI di samping sebagai organisasi pendidikan dan
kemasyarakatan juga merupakan organisasi yang menampung
kepentingan tarekat Naqsyabandiyah.37 Sebab, para pendirinya
termasuk Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Abbas Qadhi Ladang
34 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1986, h. 64. 35 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 99. 36 Ibid. Lihat juga Alaiddin, “Pemikiran Politik”, h. 314. 37 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 131.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 45
Nasrulah
Lawas. Keduanya adalah khalifah tarekat Naqsyabandiyah.38 Afiliasi
Kaum Tua terhadap tarekat lebih tepatnya dijatuhkan pilihan pada
tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah.39
Pada prinsipnya Kaum Tua tidak bisa dilepaskan dengan
organisasi PERTI. Sebab, dalam wadah organisasi inilah Kaum Tua
mengekspresikan gerakannya. Jadi, organisasi ini bisa disebut sebagai
mesin dan formula dalam menjalankan setiap doktrin dan ajaran
tradisional mereka. Pendirian organisasi ini terkait dengan ancaman dan
rongrongan arus pemikiran baru yang dianggap lebih moderen yang
kemudian dilancarkan oleh Kaum Muda.
Oleh sebab itu, salah satu motif pendirian organisasi PERTI,
adalah sebagai alat perjuangan kaum Tua dalam menghadapi penetrasi
ajaran dan propaganda pemikiran moderen kaum Muda. Dari organisasi
ini, kemudian lahir media-media massa dan sekolah-sekolah yang
mewakili visi dan misi perjuangan Kaum Tua untuk menandingi media
serupa dari Kaum Muda.
38 Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Abbas adalah khalifah dari Syekh
Yahya al-Khalidi yang telah diangkat oleh Syekh Sa’ad Mungka. Lihat Ibid. 39 Tarekat ini diduga pertama kali dibawa oleh Syekh Isma’il Simabur al-
Minangkabawi pada permulaan tahun 1850-an. Tarekat ini pada perjalanan waktu
sejak masuk ke Minangkabau, telah menjelma menjadi kekuatan sosial keagamaan
masyarakat. Bahkan, tarekat ini telah menggantikan peran besar tarekat Syattariyah
sebelumnya. Begitu besarnya pengaruh dari tarekat ini dalam menarik massa, seorang
residen Belanda di Minangkabau pada tahun 1869 mencatat, bahwa seperdelapan dari
keseluruhan masyarakat Minangkabau, telah masuk tarekat ini. Jadi bisa dibayangkan,
bahwa tarekat ini telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat tradisional
Minangkabau. Lihat Ibid. Bandingkan dengan Hawash Abdullah, Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, h.158.
46 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
D. TAFSIR TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TENTANG
TAREKAT MENURUT KAUM TUA
Secara bahasa, tarekat berasal dari bahasa Arab yang telah di
Indonesiakan. Dalam Ensiklopedia Islam, diartikan “jalan, cara, garis,
kedudukan, keyakinan dan agama”.40 Pengertian seperti ini terdapat
pada sembilan ayat Al Qur’an, yakni pada ayat 168 dan 169 surat An-
Nisa, ayat 63, 77 dan 104 surat Thaha, ayat 30 surat Al-Ahqaf, ayat 17
suart Al Mu’minin, serta ayat 11 dan 16 surat Al-Jin. Dalam Kamus al-
Munjid, Louis Ma’luf, mengartikan thariqah atau tarekat bermakna:
jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, pohon kurma yang
tinggi, tiang tempat berteduh, tongkat payung, yang mulia, terkemuka
dari kaum.41
Menurut istilah para sufi, tarekat berarti perjalanan seorang
salik/pengikut tarekat menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri, atau
perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat
mendekatkan diri sedekat mungkin pada Tuhan. Al-Jurjâni mengatakan
bahwa tarekat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang
beribadah pada Allah memulai tahapan menuju tingkat yang lebih
tinggi yang disebut maqâmât. 42 Dalam Mu’jam Alfâzh at-Tharîqah,
dikatakan bahwa tarekat adalah “upaya untuk memperoleh berkah dan
keutamaan dengan cara mengurangi ketergantungan kepada kehidupan
dunia dan senantiasa mengikatkan diri pada Allah dengan
40 Lihat Ensiklopedi Islam, Jilid V, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002, hl.
66. 41 Louis Ma’luf, al- Munjid fi al- Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-
Masyriq, 1973, h. 165. 42 Al-Jurjâni, at-Ta’rifât, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1978, h. 259.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 47
Nasrulah
mencerminkan sikap tawadhu’ dalam segala hal seperti dalam
perkataan dan perbuatan. Dalam konteks tasawuf juga dimaknai
bertarekat ialah senantiasa berakhlak dengan akhlak Allah, senantiasa
dalam menta’ati peraturan Allah, meninggalkan semua yang
mengganggu hubungan (Ittishâl) dengan Allah dan selalu dalam
keadaan perbuatan zahir dan batin yang bernilai baik, benar dan
ikhlas.43 Dengan demikian yang dimaksud dengan tarekat dalam hal ini
adalah cara atau jalan tertentu yang dipilih oleh para sufi untuk
mensucikan diri dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam perkembangannya cara ini menjadi metode yang disusun
sedemikian rupa oleh seseorang sufi pimpinan tarekat, sehingga
menjadi ciri khas tertentu yang membedakannya dengan tarekat yang
lain. Lebih jauh dari itu, tarekat juga berkembang menjadi sebuah
sistem atau lembaga yang menyangkut keilmuan, amalan dan
pembentukan sikap yang memiliki pimpinan dan tempat tertentu yang
bertanggung jawab terhadap semua kegiatan dalam lembaga tarekat itu.
Karena itu setiap tarekat bisa berbeda dengan terkat lainnya terutama
metode amalnnya. Namun perlu dijelaskan bahwa semua tarekat
memiliki tujuan yang sama yakni untuk mensucikan jiwa agar dapat
dekat dengan Allah.
Tarekat sebagai sebuah cara atau jalan tidaklah sekedar
bagaimana cara yang harus dilakukan agar dapat lebih baik dan lebih
mudah dekat kepada Allah, tetapi lebih dari itu tarekat juga merupakan
43 Muhammad asy-Syarqâwi, Mu’jam Alfâz at-Tharîqah, Mesir: Muassasah
Mukhtar, 1992, h.. 200.
48 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
kelompok, bahkan sebuah organisasi.44 Sebagai sebuah organisasi
setiap tarekat memiliki nama tersendiri yang berbeda dari yang lainnya,
memiliki pimpinan, anggota, tempat tinggal yang khusus, ajaran
tertentu dan cara melaksanakannya, bahkan tarekat sebagai sebuah
organisasi atau biasanya disebut aliran tasawuf cukup banyak
berkembang dangan nama dan ajaran yang berbeda-beda, seperti tarekat
Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Sanusiyah, Maulawiyah, Sammaniyah,
Rifa’iyah, Qadariyah dan lain lain.
Ulama-ulama Kaum Tua sebagai ulama tradisional-konservatif
berusaha secara keras mempertahankan eksistensi tarekat, terutama
tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah. Mereka antara lain, Syekh Dalil,
Syekh Bayang, Syekh Sa’ad Mungka, Syekh Khatib Saidina Padang,
Syekh Abdul Wahab, Syekh Kumpulan, Syekh Bustami Tanah Datar,
Syekh Yunus Padang Panjang, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh
Abdullah Khalidi Batusangkar, Syekh Amrullah Maninjau, Syekh
Abdul Manan Kamang, Syekh Djamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Tabek
Gadang, Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, dan lainnya.45
Para syekh tersebut di atas tidak hanya dikenal sebagai guru-guru
tarekat, akan tetapi mereka juga berusaha memperjuangkan dan
mengembangkan tarekat dengan penuh kesungguhan dan keyakinan.
Sebab mereka pada prinsipnya berkeyakinan bahwa pilihan terhadap
tarekat adalah bagian dari implementasi ajaran Islam. Mereka
berpendapat bahwa terdapat isyarat dari Nabi Muhammad SAW., yang
44 Louis Massignon, “Tharika”, dalam H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemer (ed.),
Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill and Luzc & Co., 1961, h. 573. 45 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h. 180.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 49
Nasrulah
“memerintahkan” untuk masuk dan menjalankan tarekat. Karena
tarekat merupakan sebesar-besar ilmu, dasar amalan ibadah, dan
merupakan pilar penting bagi orang yang bermaksud menuju dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.46
Hal ini dilandasi atas keyakinan mereka terhadap beberapa buah
hadis yang mendukung terhadap legitimasi tarekat yang antara lain
seperti hadis Nabi yang menyatakan, bahwa شريعتي جاءت على ثلاثمائة إن
Artinya“Sesungguhnya yari’at yang . وست ين طريقة. ما سلك أحد منها إلا نجا
kubawa terdiri dari tiga ratus enam puluh tarekat, dan siapa saja yang
masuk akan salah satunya, maka selamatlah ia ”. Masuk terhadap suatu
tarekat tertentu, menurut mereka berarti memasuki bagian dari syari’at
yang dibawa oleh Nabi. Terdapat juga hadis yang menyatakan, bahwa,
“Rasulullah adalah sebagai gudang ilmu, dan Ali adalah sebagai
pintunya. Siapa yang ingin memiliki pengetahuan maka masukilah
pintu itu”. Dan dari ungkapan hadis ini bisa dibahasakan, bahwa siapa
yang memasuki tarekat berarti ia telah memasuki pintu itu. Adapun
hadis yang ketiga yang mereka pegangi adalah, bahwa “ilmu terbagi
dua, yaitu ilmu rohani dan ilmu lisan”. Menurut mereka tarekat adalah
termasuk dalam kelompok ilmu rohani. Tarekat berada pada posisi
penting dalam struktur keilmuan Islam yang mesti harus dipelajari dan
diamalkan. Tanpa tarekat amalan tidak dianggap sempurna.47
Sementara dalil naqli al-Qur’an, salah satu sampel di antara
sekian dalil yang mereka pegangi sebagai legitimasi tarekat adalah
berpatokan pada makna kata “at-tariqah”, dalam ayat ke-16 dari surah
46 Ibid. 47 Ibid.
50 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
al-Jin. اء غدقاوأن لو استقاموا على الطريقة لأسقيناهم م
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di
atas jalan itu (tarekat), benar-benar kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar”. Dalam pemahaman Kaum Tua, ayat di atas
tidak hanya dipahami secara dalam konteks ayat itu diturunkan, terkait
himbauan al-Qur’an kepada orang orang kafir Mekkah ketika itu yang
labil keimanannya. Jika mereka tetap berada istiqamah agama Islam,
niscaya Allah akan meluaskan rezeki dengan cara diturunkan hujan
setelah Mekkah dilanda kemarau panjang selama tujuh tahun.48 Dengan
berkah istiqamah, ada limpahan keberkahan dari Allah, berupa
turunnya hujan yang merupakan karunia besar bagi daerah yang
gersang dan tandus seperti Mekkah.49
Namun, ungkapan ayat itu, oleh Kaum Tua dimaknai secara
“batin”, bahwa kata ath-thariqah adalah suatu jalan/tata cara
pendekatan kepada Allah yang harus dilakukan secara istiqamah.
Caranya bisa melalui riyâdhah, mujâhadah, zikir, khalwat, serta
menjalani tahapan-tahapan maqâmât.50 Melalui tarekat lah kebersihan
48 Dhamir jamak (waw jama’ah pada istaqâmû) diperselisihkan, ada juga kata
jamak itu di maksudkan mereka (para Jin). Simboli air hujan yaang tercurah itu
dimaknai sebagai keluasan rezeki dari Allah kepada mereka. Lihat Muhammad Bin
Ibrahim al-Baghdadi, Tafsîr al-Khâzin, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, h. 161. 49 Sedangkan Nawawi al Bantani, memaknai kata jamak di ayat 16 surat al-
Jin itu, kepada golongan Jin dan manusia. Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, Tafsîr Marrâh Labîd, Juz II, Semarang: Mathba’ah Karya Thoha Putera, t.t.,
h. 405. 50 Menurut doktrin tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah sebagai afiliasi tarekat
kaum Tua, yang ditambahkan oleh Imâm Rabbâni atau nama aslinya adalah Syekh
Fâruqi Sirhindi, terdapat tiga amalan tambahan; Pertama, zikir latâ’if. Adapun zikir
ini terbagi ada tujuh macam; latîfah qalbi, latîfah ruh, latîfah sirr, latîfah al-khaff,
latîfah al-akhaff, latîfah an-nafs, dan latîfah al-jasad. Kedua, murâqabah. Praktek
ritual ini adalah termasuk yang paling tinggi diajarkan bagi murid yang menguasai
zikir latâ’if diatas. Murâqabah ini adalah bagian dari teknik meditasi dalam upaya
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 51
Nasrulah
jiwa/hati diasah agar bisa dekat dengan Allah dalam kesadaraan spritual
melalui murâqabah, ma’rifah dan mukâsyafah. Oleh sebab itu tarekat
adalah penting bagi seorang muslim yang berhasrat mencari kedekatan
hubungn yang “intim” dengan Allah. Adapun simbolisasi akan
diberikan “hujan” (maan ghadaqan) bisa ditafsirkan secara sufistik,
bahwa jika melazimi seorang sâlik terhadap suatu tarekat-yang mana
dimaksudkan untuk penyucian atau pembersihan jiwa dari nafsu rendah
dan segala penyakit-penyakit hati melalui latihan olah rohani yang
konsisten melaui bimbingan syekh mursyîd, maka kata “siraman” air
hujan itu adalah karunia Tuhan berupa rasa hilangnya kegersangan
jiwa/kalbu dengan tersingkapnya rahasia-rahasia Ketuhanan yang
disaksikan dalam wilayah spritual. Bagi seorang sufi pengalaman ini
(ahwal) adalah suatu kenikmatan dan keasyikan tersendiri yang sangat
pribadi dirasakan.
Dalam perspektif analisa tafsir kontekstual, pemahaman tentang
tarekat oleh Kaum Tua tersebut, dimaknai bahwa nilai dari legitimasi
tarekat Naqsyabandiyah itu tidak hanya cukup dilihat dari aspek legal
formal dan aspek deontologis yang didasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah saja. Namun, juga harus dilihat aspek teleologis dari segi
amalan-amalan tarekat yang dijalankan tersebut dalam upaya
meneguhkan sikap taqarrub kepada Allah SWT.
pengendalian diri untuk berharap-harap menunggu datangnya limpahan (faidl)
rahmat. Ada lima jenis murâqabah: Murâqabah af’âl, murâqabah. al-ma’iyah,
murâqabah. al-aqrabiyah, murâqabah. ahadiyah az-zât, murâqabah. az-zât as-shirf.
Ketiga, adalah rabitah, yaitu membayangkan rupa guru atau mursyid ketika zikir
dengan maksud sebagai perantara dalam meminta pertolongan Allah, SWT. Lihat
dalam Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, h. 189.
52 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Salah seorang dari Kaum Tua, yakni Syekh Mungka, telah turut
ambil bagian dalam perdebatan ini. Syekh Mungka mengatakan, bahwa
esensi paling penting dalam seluruh amalan tarekat Naqsyabandiyah
ialah makrifatullah melalui amalan-amalan dan zikir yang
memungkinkan seseorang mencapai taqwa, ihsan, dan ikhlas. Zikir
adalah bagian yang ditekankan oleh al-Qur’an dan Sunnah, dan
merupakan salah satu media yang memungkinkan dirasakannya suatu
“aura” kehadiran Ilahiah secara kontinyu dalam hati (qalb) seseorang.51
Maka dari aspek ini, tarekat Naqsyabandiyah memiliki suatu dasar dan
legitimasi juga pada al-Qur’an dan Sunnah.
Tarekat menurut Syekh Mungka adalah “jalan” menuju Allah.
Supaya seseorang bisa sampai kepada Allah, tidak sempurna dengan
hanya mengandalkan trilogi ilmu klasik, yaitu tauhid, fiqih, dan tasawuf
an sich sebagaimana anggapan Syekh Ahmad Khatib dan Kaum
Muda.52 Maka dari itu, perlu ditambah dengan suatu bentuk amalan-
amalan batiniah yang dipelajari dari syekh-syekh tarekat dengan cara
masuk atau mengamalkan amaliah-amaliah tarekat tersebut yang sudah
menjadi bagian ijtihad syekh-syekh tarekat dalam silsilah-nya.53
Masalah râbitah yang dituduh sebagi “syirik” oleh Kaum Muda
juga mendapat tanggapan dari Syekh ini. Ia berpendapat bahwa râbitah
ini tidak mungkin semudah itu jatuh pada kesyirikan. Walaupun, dalam
51 Muhammad Sa’ad Mungka, Tanbîh al-‘Awâm ‘ala Taghrirât Ba’d al-Anâm,
Padang: t.t.p., 1910, h. 3. 52 Zaim Rais, Against Islamic Modernism: The Minangkabau Traditionalists
Responses to The Modernist Movement, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 71.
Bandingkan dengan Ahmad Khatib, Izhar Zaghl al-Kâżibîn fi Tasyabbuhihim bi as-
Sâdiqîn, Mesir: Matba’ah at-Taqaddum al-Ilmiyyah, 1344 H, h. 33. 53 Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm., h. 22.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 53
Nasrulah
prakteknya sang murid duduk bersimpuh, tunduk, dan hormat, seraya
membayangkan rupa guru/mursyid agar mendapat berkah dari Allah.
Pada hakekatnya, râbitah itu hanya sebagai wasilah54 di mana ketika
bersimpuh di depan guru, adalah sebagai bagian dari adab dan sopan
santun yang bisa dianalogikan bersimpuh dan menghinakan diri di
depan Allah. Dengan adanya rabitah sebenarnya hanya sekedar untuk
memantapkan hati seseorang yang beribadah. Sementara tujuannya
tetap Allah itu sendiri. Adapun larangan atau pantangan makan daging55
selama melakukan sulûk ditujukan agar peserta laku spritual menjadi
lebih khusyû’ dan bersikap tawâdhu’ serta membiasakan diri dalam
kebersahajaan hidup.56
Barangkali jika diinterpretasikan lebih jauh, pantangan makan
daging lebih diartikan sebagai menjauhi hidup yang mewah, karena
makan daging termasuk pada konsumsi yang cukup mahal. Sementara
dalam tarekat, hidup bermewah-mewah adalah sangat dihindari. Atau
barangkali bisa juga dikatakan, bahwa mengkonsumsi daging dalam
pendekatan medis bisa menimbulkan tingkat produksi kolesterol yang
tinggi akibat protein yang dikandung daging tersebut. Dalam sistem
54 Dalil yang mereka ketengahkan tentang legitimasi wasilah/rabitah ini adalah
firman llah dalam surat al-Mâidah ayat 35: ابتغوا إليه الوسيلة ياأيها الذين امنوا اتقوا الله و
,yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-
Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Lihat
dalam A. Fuad Said, Hakikat Tarekat, h. 71. 55 Doktrin larangan makan daging ini ditambahkan dalam ajaran
Naqsyabandiyah-Khalidiyah oleh Syekh Khalid al-Kurdi. Di samping larangan makan
daging, juga ditambah larangan tidak berhubungan suami-istri bagi yang sudah
menikah ketika dalam proses suluk dan harus menjaga sikap agar istiqamah terhadap
satu orang guru serta dilarang untuk berpindah-pindah syekh. Lihat Ibid. 56 Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm., h. 33.
54 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
olah makanan di pencernaan, jika kolesterol itu tinggi, maka bisa
membuat tekanan darah menjadi tinggi dan naik. Jika tekanan darah
tinggi, maka bisa berakibat pada pengaruh psikologis seperti suka
marah dan stres. Dalam latihan spritual tarekat, sifat marah selalu
dihimbau untuk dihilangkan atau dikurangi.
Syekh Khatib Ali dari Padang, yang merupakan salah satu murid
Ahmad Khatib di Mekkah, juga berpendapat membantah pendapat
gurunya Syekh Khatib Ali tetap pada pendirian mempertahankan
tarekat dan berusaha meyakinkan dan melindungi tarekat dari ancaman
pendapat yang kontra terhadap tarekat Naqsyabandiyah ini.
Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang berasal
dari ajaran syari’at dan sesuai dengan sumber al-Qur’an, as-Sunnah dan
praktek salaf as-shâlih.57
Amalan tarekat seperti zikir qalbi (zikir dalam hati) secara sirr,
rabitah, dan murâqabah, adalah bentuk upaya untuk mendekatkan diri
pada Allah. Setiap bentuk mendekatkan diri pada Allah sangat
dianjurkan pada dasarnya dalam syari’at. Maka bisa dinyatakan, bahwa
tarekat juga bisa dibenarkan di dalam syari’at, karena mengandung
aspek-aspek yang menjadi anjuran dari syari’at itu sendiri.58
57 Khatib Ali, Burhân al-Haqq, Padang: t.t.p., 1918, h. 57. 58 Ibid.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 55
Nasrulah
E. Kesimpulan
Islam di Nusantara, dalam kenyataan sejarah, diwarnai dengan
kentalnya nuansa sufistik. Hal ini, disebabkan proses keberhasilan
islamisasi pada awalnya, didukung dengan penerapan metode tasawuf
yang dipakai oleh para pendakwah yang sufi tersebut. Tidak terkecuali
tentunya juga terjadi hal itu di daerah Minangkabau. Islamisasi di
wilayah ini, menunjukkan hal yang demikian. Mulai dari peran Syekh
Burhanuddin Ulakan, Syekh Nan Tuo, Tuanku Pemansiangan, hingga
para Ulama yang tergabung dalam barisan Kaum Tua, yang teroranisir
pada awal abad 20 an. Mereka dikenal sebagai para ulama yang konsern
dalam mengajarkan dan membimbing masyarakat muslim
Minangkabau dalam bidang tasawuf dan pengmalan tarekat, khususnya
Syattariyah pada awalnya, dan Naqsyabandiyah yang kemudian
dilanjutkan oleh parra Ulama Kaum Tua. Para ulama yang disebutkan
terkhir ini, merasa perlu untuk mempertahankan tradisi tarekat, sebab
di samping tarekat berjasa dalam metode pendekatan islamisasi, juga
kemudian ia berkembang mentradisi menjadi kesadaran dan kebiasaan
dalam hidup mereka, bahkan sebagai salah satu pilar di samping adat
dan mazhab Syafi’i. Dan yang penting dalam mempertahankan tradisi
tarekat, menjaga ortodoksi dari “serangan” ulama Kaum Muda yang
mengkritik eksistensi tarekat sebagai hal “penyimpangan” dalam
beragama.
Maka dari itu, untuk mempertahankkan tarekat (khususnya
Naqsyabandiyah-Khalidiyah), Kaum Tua membangun suatu
argumentasi, bahwa secara tekstual dari nash al-Qur’an, tarekat bisa
dirujuk pada sembilan (9) ayat Al Qur’an, yakni pada ayat 168 dan 169
56 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
surat An-Nisa, ayat 63, 77 dan 104 surat Thaha, ayat 30 surat Al-Ahqaf,
ayat 17 suart Al Mu’minin, serta ayat 11 dan 16 surat Al-Jin. Di antara
sampel dalil yang mereka gunakan adalah ayat 16 surat Al-Jinn, yang
dipahami secara batin, tidak hanya ditafsirkan secara lafzhiah. Namun
dikaitkan dengan sikap istiqamah dalam menjalankan agama Islam
dengan balasan mendapat karunia Allah. Di samping itu, dalam konteks
tafsir kontekstual, amaliah tarekat juga dimaknai dalam perspektif
teleologis (tujuan) dari praktik tarekat tersebut, yaitu memperbanyak
zikir dan menjaga diri dari nafsu rendah serta peneguhan taqarrub
kepada Allah yang memang dianjurkan dalam Islam. Bagi Kaum Tua,
tarekat dengan segala amaliahnya sama sekali tidak bertentangan
sebagaimana dituduhkan Kaum Muda, bahkan tarekat memperkuat
sendi-sendi ajaran agama Islam.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 57
Nasrulah
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya
di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Alaiddin, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-
1970”, disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1995.
Ali, Khatib, Burhân al-Haqq, Padang: t.t.p., 1918.
Amrullah, Abdul Karim, Izhâr Asâtir al-Mudhillîn fi Tasyabbuhihim bi
al-Muhtadîn, Sungai Batang: t.t.., 1326/1908.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.
_______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta:: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Baghdadi, Muhammad Bin Ibrahim al-, Tafsîr al-Khâzin, Beirut: Dar
al-Fikr, 1979.
Bantani, Muhammad Nawawi al-Jawi al-, Tafsîr Marrâh Labîd, Juz II,
Semarang: Mathba’ah Karya Thoha Putera, t.t.
Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey
Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992.
_______, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Chatib, Adrianus, dan Erwiza Erman, “Gerakan Reformis Paderi”,
dalam Azyumardi Azra dan Bahtiar Effendy (ed.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2002.
58 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985.
Dobbin, Cristine, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang
Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, alih bahasa
Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1992.
Fathurrahman, Oman, “Tarekat Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-
Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal dan Memahami
Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2005.
______, “Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi Mekkah”,
dalam J.B. Kristanto (ed.), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta:
Kompas, 2000.
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Haji Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera , Jakarta: Djajamurni,
1967.
_______, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1980.
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Jurjâni, al, at-Ta’rifât, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1978.
Khatib, Ahmad, Izhâr Zagl al-Kâżibîn fi Tasyabbuhihim bi as-Sâdiqîn,
Mesir: Matba’ah at-Taqaddum al-Ilmiyyah, 1344 H.
Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar
Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981.
--------, “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, disertasi doktor IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988.
Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 59
Nasrulah
Ma’luf, Louis, al- Munjid fi al- Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-
Masyriq, 1973.
Massignon, Louis, “Tharika”, dalam H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemer
(ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill and
Luzc & Co., 1961.
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,
Jakarta: Prenada Media, 2006.
_______, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Mungka, Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm ‘ala Taghrîrât Ba’d al-
Anâm, Padang: t.p., 1910.
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1985.
Rais, Zaim, Against Islamic Modernism: The Minangkabau
Traditionalists Responces to The Modernist Movement,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Said, A. Fuad, Hakikat Tarekat Naqsyabandiah, Jakarta: Al-Husna
Zikra, 1996.
Samad, Duski, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau,
Padang: The Minangkabau Foundation Press, 2002.
Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga
Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1986.
_______, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Syarqâwi , Muhammad asy-, Mu’jam Alfâz at-Tharîqah, Mesir:
Muassasah Mukhtar, 1992.
60 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1982.