menghentikan praktik ahli bersaksi

8
Praktik Ahli Bersaksi (Tinjauan terhadap Mekanisme Pemberian Keterangan Ahli dalam KUHAP) Oleh : Refki Saputra 1 Indonesian Legal Roundtable (ILR) Expert evidence of this kind is evidence of persons who sometimes live by their business, but in all cases are remunerated for their evidence. Sir George Jessel - 1874 ersidangan peninjauan kembali (PK) Mochamad Siradjuddin alias Pak De, terpidana kasus pembunuhan peragawati Dice Budiasih, kembali tertunda di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pasalnya, (alm) Mun'im Idries, dokter ahli forensik RSCM/FKUI yang sedianya akan memberikan keterangan, tidak mau datang kalau tidak dibayar. 2 Di Semarang, pihak kejaksaan kesulitan mendatangkan ahli untuk membantu menjelaskan duduk perkara kasus korupsi pembangunan Terminal Mangkang. Berdasarkan pengalamannya, ahli konstruksi hanya bersedia menyumbangkan ilmunya jika dibayar mahal. Padahal keterangan ahli tersebut sangat dibutuhkan untuk menemukan bukti awal potensi penyimpangan pembangunan Terminal tersebut. 3 Dua pemberitaan tersebut mewakili pendapat dan praktik yang berlangsung di dalam system peradilan kita, bahwa menghadirkan ahli, berarti mengeluarkan biaya besar. Keterangan ahli pada masa Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) tidaklah termasuk alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Baru kemudian setelah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku, keterangan ahli menjadi salah satu alat bukti 1 Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. 2 Mun'im Idris setelah dikonfirmasi hukumonline membenarkan dirinya tidak akan datang ke persidangan sebagai saksi ahli kalau tidak dibayar. Ia berpandangan penggantian biaya terhadap saksi ahli sebenarnya diatur dalam Pasal 229 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyatakan bahwa saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi ketentuan tersebut tidak pernah diterapkan. Selengkapnya, lihat “Sidang Kasus PK Pak De: Karena Tidak Dibayar, Mun’im”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4939/font-size1-colorff0000bsidang-kasus-pk-pak-debfontbrkarena- tidak-dibayar-munim-, Diakses pada 1 November 2013. 3 Kasus Korupsi Terminal Mangkang; Kejari Terkendala Hadirkan Saksi Ahli ”, http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2010/06/22/57616, diakses pada 1 November 2013. P

Upload: phanphanwib

Post on 11-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

saksi ahli

TRANSCRIPT

Page 1: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

Praktik Ahli Bersaksi (Tinjauan terhadap Mekanisme Pemberian Keterangan Ahli dalam KUHAP)

Oleh : Refki Saputra1

Indonesian Legal Roundtable (ILR)

Expert evidence of this kind is evidence of persons

who sometimes live by their business,

but in all cases are remunerated for their evidence.

Sir George Jessel - 1874

ersidangan peninjauan kembali (PK) Mochamad Siradjuddin alias Pak De, terpidana

kasus pembunuhan peragawati Dice Budiasih, kembali tertunda di Pengadilan Negeri

(PN) Jakarta Selatan. Pasalnya, (alm) Mun'im Idries, dokter ahli forensik RSCM/FKUI

yang sedianya akan memberikan keterangan, tidak mau datang kalau tidak dibayar.2 Di

Semarang, pihak kejaksaan kesulitan mendatangkan ahli untuk membantu menjelaskan

duduk perkara kasus korupsi pembangunan Terminal Mangkang. Berdasarkan pengalamannya,

ahli konstruksi hanya bersedia menyumbangkan ilmunya jika dibayar mahal. Padahal keterangan

ahli tersebut sangat dibutuhkan untuk menemukan bukti awal potensi penyimpangan

pembangunan Terminal tersebut.3 Dua pemberitaan tersebut mewakili pendapat dan praktik yang

berlangsung di dalam system peradilan kita, bahwa menghadirkan ahli, berarti mengeluarkan

biaya besar.

Keterangan ahli pada masa Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) tidaklah termasuk

alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Baru kemudian setelah UU No. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku, keterangan ahli menjadi salah satu alat bukti

1 Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu Hukum di

Universitas Indonesia.

2 Mun'im Idris setelah dikonfirmasi hukumonline membenarkan dirinya tidak akan datang ke persidangan sebagai

saksi ahli kalau tidak dibayar. Ia berpandangan penggantian biaya terhadap saksi ahli sebenarnya diatur dalam

Pasal 229 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyatakan bahwa saksi atau ahli yang telah

hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat

penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi ketentuan tersebut tidak pernah

diterapkan. Selengkapnya, lihat “Sidang Kasus PK Pak De: Karena Tidak Dibayar, Mun’im”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4939/font-size1-colorff0000bsidang-kasus-pk-pak-debfontbrkarena-

tidak-dibayar-munim-, Diakses pada 1 November 2013.

3 “Kasus Korupsi Terminal Mangkang; Kejari Terkendala Hadirkan Saksi Ahli”,

http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2010/06/22/57616, diakses pada 1 November 2013.

P

Page 2: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

2

yang sah, setelah alat bukti keterangan saksi.4 Melihat letak urutannya, pembuat undang-undang

menilai keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang penting mengingat perkembangan

teknologi yang membawa dampak terhadap kualitas kejahatan yang memaksa kita untuk

mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan

keahlian (Harahap, 2006:296).

Pasal 1 Angka 28 KUHAP menyebutkan bahwa : “Keterangan ahli adalah keterangan yang

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Secara normatif seorang

ahli merupakan orang yang tidak terkait dengan perkara pidana yang disidangkan, tapi

keterangannya diperlukan dalam mengungkap kebenaran materil dari suatu tindak pidana yang

dituduhkan.

Dalam praktiknya, sulit untuk menilai bahwa keterangan ahli yang diberikan didepan

persidangan itu murni berdasarkan pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimiliki, bukan

berdasarkan “kompensasi” yang diterima ahli yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa kesediaan seseorang untuk menjadi ahli di persidangan “dihargai” dengan

honorarium besar dari pihak yang mengajukannya. Terdakwa yang berasal dari golongan

menengah atas, dapat dengan mudah membayar ahli yang dapat memberikan keterangan yang

mendukung atau menguntungkan posisinya. Misalnya, untuk perkara-perkara korupsi.

Keterangan ahli yang akan disampaikan, tentu dengan mudah bisa “dipesan” atau “dipersuasi”

berdasarkan kemauan dan kepentingan yang mengajukan.5 Sementara, disisi lain, pihak yang

tidak memiliki cukup dana, orang miskin atau kasus-kasus terkait kepentingan publik, hanya bisa

“gigit jari” karena tidak bisa mendatangkan ahli untuk kepentingan pembelaan diri. Dengan

demikian, terjadi ketidak-seimbangan kesempatan bagi terdakwa dalam membela hak-hak

hukumnya.

Dari beberapa kondisi yang telah diuraikan diatas, timbul pertanyaan, bagaimanakah

seharusnya mekanisme pengajuan ahli dalam peradilan pidana yang bisa menjamin

ketidakberpihakkan ahli dan juga menjamin hak-hak tersangka, terdakwa maupun hak penyidik

dan penuntut umum bersama-sama hakim dalam menemukan kebenaran materil?

4 Dalam Ketentuan Pasal 184 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan

bahwa alat bukti yang sah antara lain adalah a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e.

keterangan terdakwa.

5 Namun hal demikian tidak menutup kemungkinan, ahli dari pihak JPU juga melakukan hal serupa dengan

pertimbangan tertentu, sedapat mungkin agar dakwaan yang dibuat sukses menjerat pelaku ke jeruji besi. Hal ini

misalnya pernah diwartakan tentang seorang pakar hukum pidana senior yang ketika bersaksi di pengadilan

terhadap terdakwa kasus korupsi, kesaksiannya malah meringankan terdakwa dan berbalik arah dari kesaksiannya

di BAP. Padahal sang profesor ini adalah saksi dari JPU. Lihat “Menakar Harga Saksi Ahli”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4944/menakar--harga-saksi-ahli, diakses pada 4 November 2013.

Page 3: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

Pengadilan Yang Menghadirkan Ahli, Bukan Para Pihak

Peranan saksi ahli atau orang yang memberikan keterangan sebagai ahli dimasa lalu

pernah mendapat sinisme hakim George Jessel dalam kasus, Lord Abinger v. Ashton tahun 1874

di Inggris. Ia paling tidak percaya pada kesaksian yang diberikan oleh seorang ahli dalam

beberapa hal:

Pertama, walaupun ahli sesungguhnya sudah disumpah, namun apa yang ia kemukakan di

pengadilan hanyalah sebatas opini yang apabila ia berbohong, tidak bisa dikenakan sanksi

pidana atas sumpah palsu. Kedua, Saksi ahli “dipekerjakan” oleh yang memanggilnya.

Seberapa jujur si ahli, secara alamiah pendapatnya akan bias mendukung orang yang

membayarnya. Hal tersebut menurutnya sangat mungkin terjadi dalam sistem peradilan

adversarial (adversarial system)6, karena ahli hanya memiliki akses kepada satu

pandangan saja dan satu sisi pembuktian saja, yakni dari kliennya. (Reynolds, 2002:2)

Pandangan Hakim Jessel tersebut masih relevan dengan kondisi praktik peradilan pidana di

Indonesia saat ini. Yaitu, kehadiran ahli yang diharapkan dapat meluruskan informasi terkait

perkara yang tengah diperiksa, kadang-kala disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan

ekonomi, dengan memberikan keterangan sesuai permintaan pihak yang mengajukan. Maka,

akhirnya relasi yang terbangun tak obahnya seperti hubungan antara penjual dan pembeli. Lalu,

dimana letak independensi seorang ahli sebagai seorang ilmuan yang seharusnya hanya

mengabdi kepada ilmu pengetahuan (knowledge), bukan sebaliknya menghamba kepada modal

(capital) atau kekuasaan. Dan tidak berlebihan jika kemudian muncul anekdot, “ahli bersaksi”,

“maju tak gentar membela yang bayar”, atau “pendapat sebesar pendapatan” terhadap seorang

ahli yang demikian.

Hal tersebut muncul karena ketidaktegasan KUHAP dalam mengatur peran dan posisi

keterangan ahli dalam peradilan pidana. KUHAP tidak secara tegas menyebutkan kapan dan

dalam keadaan apa saja keterangan ahli dapat diperoleh, baik pada saat penyidikan, penuntutan

maupun persidangan secara sistematis. Dalam tahap penyidikan, Pasal 120 KUHAP menyatakan,

jika dianggap perlu, penyidik dapat meminta keterangan ahli. Kemudian dalam Pasal 133 ayat

(1), khusus keterangan ahli kedokteran kehakiman dibutuhkan dalam tindak pidana yang

menimbulkan korban luka, keracunan dan mati. Sementara itu, dalam tahap penuntutan

permintaan keterangan ahli tidak dijelaskan. Hanya saja, dalam proses persidangan, mekanisme

pengajuan ahli agak sedikit lebih jelas ketimbang pada saat penyidikan dan penuntutan.

Dalam ketentuan Pasal 180 Ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa: “Dalam hal diperlukan

untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang

6 “Adversary Model” dalam sistem peradilan pidana membatasi salah satu pihak untuk tidak dapat menggunakan

pihak lainnya sebagai sumber bagi bahan pembuktian. Para pihak disini memiliki fungsi yang otonom dan jelas,

dimana penuntut umum menetapkan fakta-fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti untuk menunjang

fakat tersebut, sementara tertuduh (terdakwa) menentukan fakta mana saja yang akan menguntungkan

kedudukannya (Atmasasmita, 2010:43).

Page 4: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

4

dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang

berkepentingan.” Substansi norma tersebut paling tidak menjelaskan kepada kita tiga hal: Yaitu

:

Pertama, yang menjadi alasan keberadaan ahli di persidangan adalah untuk menjernihkan

persoalan yang melingkupi suatu perkara pidana yang tengah diperiksa. Dimana dalam perkara-

perkara tertentu, ada dimensi-dimensi yang sangat spesifik yang tidak diketahui oleh semua

orang, khususnya hakim yang memeriksa. Misalnya terkait dengan sebab kematian seseorang

yang hanya bisa dijelaskan oleh seorang yang berprofesi dibidang kesehatan, dalam hal ini

misalnya dokter forensik (kedokteran kehakiman). Atau misalnya untuk mengetahui jenis senjata

yang digunakan dalam suatu kejahatan dengan barang bukti beberapa selongsong peluru dengan

jenis tertentu. Dan banyak lagi hal-hal spesifik yang membutuhkan keterangan orang yang benar-

benar ahli dibidang itu. Dengan demikian, tidak semua perkara membutuhkan keterangan ahli.

Kedua, keterangan ahli yang dibutuhkan disini khusus dalam proses pemeriksaan di

pengadilan, bukan pada saat pra-persidangan, seperti misalnya pada saat penyidikan. Pada

dasarnya sistem peradilan pidana sudah dianggap berjalan semenjak tahap penyelidikan dan

kemudian penyidikan dan penuntutuan untuk selanjutnya diperiksa dipersidangan. Adakalanya,

ketika perkara yang sudah masuk pada tahap pra-persidangan (penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan) keterangan ahli juga dibutuhkan untuk menela’ah apakah memang benar peristiwa

yang terjadi merupakan suatu tindak pidana dan juga pada saat menyusun sangkaan dan dakwaan

berdasarkan unsur-unsur dari pasal yang hendak dikenakan kepada tersangka. Namun yang

menjadi fokus perbincangan pada Pasal 170 Ayat (1) adalah pada saat perkara sudah diperiksa di

pengadilan.

Ketiga, pihak yang secara eksplisit disebutkan berwenang menghadirkan ahli di

persidangan adalah hakim ketua sidang. Artinya, seorang ahli yang datang untuk didengarkan

keterangannya di persidangan adalah atas dasar permintaan dari hakim atau pengadilan, bukan

pihak yang berperkara. Dengan demikian, kebutuhan untuk mendatangkan ahli bukanlah dari

masing-masing pihak beperkara melainkan kebutuhan hakim yang memeriksa perkara. Hanya

saja ketentuan tersebut tidak secara tegas menempatkan kedudukan ahli yang sebenarnya sama

dengan saksi. Dimana, kehadiran seorang ahli ke persidangan adalah karena dipanggil oleh

pengadilan untuk kepentingan proses peradilan pidana, bukan diminta dihadirkan. Hal ini yang

kemudian ditafsirkan dalam praktik bahwa ahli yang didatangkan ke persidangan diminta oleh

hakim namun dihadirkan oleh para pihak ke persidangan, dalam hal ini oleh terdakwa melalui

penasihat hukumnya dan JPU.

Mengapa harus berupa pemanggilan, bukan permintaan? Karena dari padanan kata tersebut

tersirat makna bahwa sesungguhnya kehadiran ahli dipengadilan merupakan bentuk kewajiban

dari warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam Pasal

179 Ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang diminta pendapatnya

Page 5: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan

ahli demi keadilan.” Begitupula yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 159 Ayat (2), yang

menyatakan : “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi

saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan

menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang

berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.” Pasal tersebut terdapat padanannya dalam

ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengenakan sanksi pidana bagi

ahli yang menolak memberikan keterangan didepan pengadilan tanpa alasan yang sah. Lebih

lanjut, Pasal 224 KUHP menyatakan: “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru

bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidamemenuhi kewajiban berdasarkan undang-

undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan”; Selain itu, Pasal 522 KUHP juga memungkinkan menjatuhkan

pidana bagi ahli yang mangkir dari panggilan dengan melawan hukum. Selengkapnya bunyi

Pasal 522 KUHP adalah sebagai berikut: “Barang siapa menurut undang-undang dipanggil

sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Namun demikian, untuk memberikan peran yang seimbang, terhadap ahli yang

memberikan keterangan untuk membantu proses hukum (pidana), negara bertanggungjawab

untuk memberikan kompensasi tertentu. Terkait hal tersebut, sebenarnya sudah dimuat dalam

ketentuan Pasal 229 Ayat (1) KUHAP7 yang berbunyi sebagai berikut: “Saksi atau ahli, yang

telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat

pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.” Hal ini yang kemudian tidak pernah dijalankan oleh para pemangku kebijakan di

negeri ini, padahal sudah diperintahkan oleh undang-undang semenjak tahun 1981. Seharusnya

negara memberikan batasan atau standar yang jelas terkait kompensasi tersebut yang dimuat

dalam peraturan perundang-undangan. Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudi Satrio

(alm) dan Harkristuti Harkrisnowo mengutarakan bahwa pengaturan dan standarisasi penting

untuk mencegah adanya ketimpangan hukum baik yang dialami terdakwa dan JPU yang tidak

dapat menghadirkan ahli.8 Namun hingga saat ini tidak pernah ada peraturan apapun yang

memuat hal tersebut seperti yang dikeluhkan oleh (alm) Mun’im Idris beberapa tahun yang lalu.

Padahal, dengan terselenggaranya mekanisme tersebut sesungguhnya merupakan jaminan

negara terhadap proses hukum yang seimbang (equality of arms) dan akses masyarakat terhadap

keadilan (accsess to justice). Dimana negara memberikan fasilitas yang sama kepada semua

pihak beperkara untuk memungkinkan mendatangkan ahli yang dapat menjelaskan hal-hal

spesifik terkait dengan perkara yang tengah dihadapinya. Jika tidak demikian, orang-orang yang

7 Rumusan yang sama terdapat dalam Pasal 223 Ayat (1) RUU KUHAP

8 “Menakar….., Loc. Cit.

Page 6: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

6

memilki dana besar akan mudah mencari ahli dengan bayaran berapapun, sementara si miskin

hanya bisa pasrah menerima hukuman. Lebih jauh lagi, keterangan yang diberikan oleh ahli

“berbayar” tersebut patut dipertanyakan objektivitasnya.

Bukan Keterangan Ahli Hukum

Selain orang yang memiliki keahlian khusus, KUHAP tidak menjelaskan siapa saja yang

dapat dipanggil sebagai ahli. Dalam Pasal 133 Ayat (1) hanya membagi kategori ahli menjadi

ahli kedokteran kehakiman untuk tindak pidana yang menimbulkan korban luka, keracunan dan

meninggal dunia serta ahli lainnya. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, yang dimaksud ahli

kedokteran kehakiman adalah seorang yang memiliki kemampuan khusus terkait dengan bedah

mayat dan forensik. Sedangkan, yang dimaksud dengan “ahli lainnya” tidak memiliki batasan,

dengan kata lain bisa merupakan ahli jiwa, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan, termasuk

ahli hukum. Disini muncul pertanyaan. Bukankah hakim adalah orang yang mengerti hukum dan

olehkarenanya ialah yang berhak menjatuhkan hukuman kepada pihak-pihak yang melanggar

hukum? Dan oleh karena itu pihak dalam suatu sengketa hukum tidak perlu mendalilkan atau

membuktikan hukum yang berlaku untuk kasus mereka, karena hakim dianggap tahu hukum (ius

curia novit).9

Preposisi ini dapat dilacak akar historisnya, dimana peranan ahli (experts) dalam peradilan

bermula pada era Renaissance dan pada saat berkembangnya ilmu pengetahuan di Eropa. Dalam

perkara Buckley V. Rice Thomas (1554) di Inggris, hakim Saunders ketika itu mengakui bukti

dari ilmu yang berasal dari fakultas-fakultas lain (admitting evidence of ‘other Sciences or

Faculties). Kemudian dalam perkara Foulkes V.Chadd (1782), hakim Lord Mansfield’s

menerima jika pengadilan akan mengakui opini atau keterangan dari orang-orang yang spesifik

sesuai dengan pengetahuannya untuk membuktikan fakta-fakta (the court would recognize the

opinion of Scientific men upon proven facts may given by men of Science within their own

Science) (Reynolds, 2002:1).

Dari penjelasan tersebut, keterangan ahli dalam peradilan baru muncul ketika ada

kebutuhan untuk melihat suatu perkara dari perspektif lain yang berasal dari kalangan non-

hukum. Keberadaan ahli penting untuk menjelaskan kondisi-kondisi non-hukum dari suatu

perkara yang dapat dipergunakan hakim untuk menetapkan posisi hukumnya. Dengan kata lain,

fungsi dari ahli tidaklah memfokuskan secara langsung perihal masalah hukum, dan tidak

memberikan argumentasi seputar masalah hukum, melainkan pandangan seputar keahlian teknis

(Reynolds, 2002:2). Jika dikaitkan dengan konteks peradilan saat ini yang sudah memberikan

kekhususan dalam perkara-perkara tertentu, misalnya pengadilan tindak pidana korupsi, maka

penjelasan demikian semakin relevan. Tidaklah diperlukan seorang ahli hukum untuk

menjelaskan hal-hal seputar hukum pidana korupsi, seperti kerugian negara, perbuatan melawan

9 “Ius Curia Novit”, http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html, diakses pada 4 November 2013.

Page 7: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

hukum, menyalahgunakan wewenang dan lain-lain sebagainya karena hakim-hakim di

pengadilan tindak pidana korupsi sudah harus dianggap tahu tentang hal tersebut. Yang

dibutuhkan adalah seorang ahli yang bisa menghitung kerugian negara yang ditimbulkan dari

tindak pidana korupsi yang timbul dari kegiatan pertambangan, kehutanan, dan lain sebagainya

yang merupakan hal-hal non-hukum.

Selain bukan ahli hukum, kualifikasi seorang ahli untuk menjelaskan hal-hal terkait suatu

perkara juga tidak harus berasal dari latar belakang profesi atau lembaga resmi yang dinyatakan

sebagai ahli dalam bidang tertentu. Memang pada umumnya, ahli yang dipanggil ke persidangan

selalu ditanyakan seputar keahliannya dalam bidang tertentu dan juga latar belakang pendidikan

dan institusi tempatnya berkegiatan. Namun hal demikian tidaklah menghalangi seorang yang

memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bidang tertentu namun tidak memiliki

pengakuan secara resmi yang menerangkan bahwa ia memiliki keahlian dalam bidang tersebut.

Misalnya seorang ahli yang akan dihadirkan untuk menjelaskan tentang sistem mekanik yang

bekerja pada kendaran bermotor tidak harus orang-orang yang memililki sertifikat dibidang itu

atau misalnya seorang doktor mekanika. Tapi cukup orang-orang yang mempunyai pengalaman

dibidang itu dan mampu menjelaskan tentang hal-hal yang ditanyakan. Sebagai ilustrasi, dapat

disimak penjelasan Jack V Matson dalam bukunya Effective Expert Witnessing; Third Edition

yang mencontohkan seorang supir truk yang memiliki pengalaman 30 tahun yang mampu

menjelaskan cara menggerakkan truk dengan roda 18 bisa saja dijadikan sebagai ahli untuk

menerangkan hal-hal yang ia kuasai tersebut. A truck driver with 30 years of experience can

expertly describe the maneuverability of an 18-wheeler. Whatever your expertise, you must

demonstrate a minimum of depth and competence on the subject (Matson, 1998:17).

Rekomendasi Perubahan KUHAP

Dari uraian tersebut diatas, terkait keterangaan ahli, berikut masukan-masukan terkait RUU

KUHAP yaitu :

1. Merekonstruksi peran dan posisi seorang ahli dapat dilakukan dengan merevisi

pemaknaan peranan ahli dalam proses persidangan, yaitu bukan sebagai pihak yang

didatangkan untuk menguntungkan salah satu pihak (tersangka, terdakwa maupun JPU),

melainkan untuk menjelaskan atau menjernihkan duduk perkara yang tengah diperiksa

guna mendapatkan kebenaran materil. Kemudian, merinci kapan keterangan ahli dapat

diminta, baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun persidangan beserta hak

masing-masing institusi dalam memanggil ahli, tanpa mengabaikan hak tersangka

maupun terdakwa.

2. Mempertegas tanggungjawab negara untuk memberikan kompensasi dalam nilai yang

wajar kepada ahli yang dipanggil dalam setiap proses peradilan pidana. Hal ini berangkat

dari pemikiran bahwa meskipun kedatangan ahli untuk memberukan keterangan dalam

proses peradilan pidana merupakan suatu kewajiban warga negara untuk membantu

Page 8: Menghentikan Praktik Ahli Bersaksi

8

peradilan (the duty of an expert to help the court on the matters within his expertise),

kepadanya harus diberikan penghargaan atas apa yang dilakukannya kepada negara. Dan

untuk mencegah penyelewengan yang tidak tertutup kemungkinan ahli mendapatkan

bayaran dari pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi keterangannya, maka harus

diberikan sanksi terhadap ahli yang bersangkutan.

3. Mendefinisikan ulang kualifikasi ahli yang dapat diajukan untuk memberikan keterangan.

Orang-orang yang berlatar belakang disiplin ilmu hukum sedapat mungkin dibatasi untuk

dapat diajukan sebagai ahli. Jikapun saat ini secara sosiologis, masih dipertanyakan

kualitas dari hakim-hakim yang tersedia, paling tidak ahli hukum yang dapat diajukan

sebagai ahli adalah yang benar-benar memiliki kajian yang paling spesifik dari bidang

ilmu hukum yang dikuasainya. Misalkan seorang ahli hukum bioteknologi atau hukum

antariksa yang mungkin tidak semua hakim dapat memahami seluk beluk dari kajian

tersebut. Disisi lain, tidak menuntup kemungkinan orang-orang yang memiliki keahlian

teknis tertentu yang bukan berasal dari institusi formil (resmi) untuk bisa menjadi ahli,

sepanjang ia mampu menjelaskan hal-hal teknis dan spesifik untuk membantu peradilan

mengungkapkan kebenaran materil.

***

Daftar Bacaan

Jack V. Matson, 1998, Effective Expert Witnessing, Third Edition, The Pennsylvania State

University, University Park, Pennsylvania.

M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan

Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta.

Michael P. Reynolds, 2002, The Expert Witness in Construction Disputes, Blackwell Science

Ltd, United Kingdom.

Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan ke-1,

Kencana, Jakarta.

“Sidang Kasus PK Pak De: Karena Tidak Dibayar, Mun’im”, http://www.hukumonline.com/

berita/baca/hol4939/font-size1-colorff0000bsidang-kasuspk-pak-debfontbrkarena-tidak-

dibayar-munim-, Diakses pada 1 November 2013.

“Kasus Korupsi Terminal Mangkang; Kejari Terkendala Hadirkan Saksi Ahli”,

http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2010/06/22/57616, diakses pada 1

November 2013.

“Menakar Harga Saksi Ahli”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4944/menakar--

harga-saksi-ahli, diakses pada 4 November 2013.

“Ius Curia Novit”, http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html, diakses pada 4

Novemver 2013.

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Rancangan Undang-undang Nomor …. Tahun ….. Tentang Hukum Acara Pidana