mengurangi polusi asap dari kebakaran · pdf filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap,...
TRANSCRIPT
11
MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN
04Policybriefs
Pada tahun 1997, asap tebal menyelimuti sebagian besar Asia
Tenggara. Bencana ini menjadi berita utama di dunia, bukan
saja karena skalanya yang sangat besar-diperkirakan 70 juta
orang di enam negara terkena dampaknya-tetapi juga karena
kesan akhir zaman (apocalyptic) yang ditimbulkannya: gelap
di siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara
dilarang terbang, tabrakan kapal-kapal tanker di laut, layanan
darurat yang harus berjuang keras sampai ke titik
penghabisan, dan bangsal-bangsal rumah-sakit dipenuhi para
korban bencana ini. Namun demikian, polusi asap tersebut
sama sekali bukan yang pertama kali terjadi di kawasan ini.
Peristiwa-peristiwa serupa sudah sering terjadi sebelumnya-
yang terakhir pada tahun 1994. Masalah ini juga tidak hanya
terjadi di Asia Tenggara: asap sudah lama menjadi isu lokal
dan kadang-kadang menjadi isu internasional. Misalnya, di
Amazon, dan di hampir seluruh padang rumput (savanna) di
daerah tropis basah Afrika seharusnya akan berupa hutan jika
tidak ada kebakaran yang sering terjadi. Berbagai hutan di
Asia dan Amerika Latin juga akan berubah menjadi padang
rumput (grassland) jika pola kebakaran seperti ini tetap
berlanjut.
Di daerah tropis basah, polusi asap lebih dari sekedar
dampak sampingan yang mengganggu akibat kegiatan
pemanfaatan lahan. Polusi ini sangat mengganggu kesehatan
masyarakat, menimbulkan berbagai masalah mulai dari
jangka pendek berupa sakit tenggorokan, sakit mata, dan
gangguan pernapasan, hingga jangka panjang berupa asma
kronis, emfisema (paru-paru bengkak), kanker paru-paru ,
dan penyakit kulit. Selain itu, polusi asap juga
menimbulkan biaya ekonomi tinggi: yang dapat dirasakan
segera setelah polusi terjadi, yaitu dalam bentuk absen kerja
dan kegiatan bisnis yang terhambat, kegiatan pariwisata yang
menurun, penundaan pesawat dan kecelakaan, belum lagi
langkah-langkah darurat pemadaman kebakaran yang
berbiaya tinggi dan sering sia-sia. Dalam jangka panjang juga
timbul kerugian, karena para wisatawan akan menghindari
daerah-daerah yang dianggap buruk dan semakin beban
masalah kesehatan masyarakat semakin meningkat sementara
sumber daya untuk layanan kesehatan masyarakat masih
sangat kurang. Para pakar ekonomi memperkirakan
kerusakan akibat kebakaran dan asap di Indonesia pada
tahun 1997/98 mencapai miliaran dolar AS; nilai ini akan
jauh lebih tinggi jika perkiran biaya yang dilakukan juga
memasukkan nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan
hidupan liar serta dampak pemanasan global akibat
peningkatan emisi karbon. Perhitungan tersebut sama sekali
tidak memasukkan gangguan dalam hubungan internasional:
negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia
dan Brasil sebagai 'tetangga yang buruk'.
Olah sebab itu, asap sangat berbahaya bagi lingkungan dan
menimbulkan biaya tinggi baik secara regional maupun
global. Akan tetapi memusatkan perhatian terhadap asap dan
akibat-akibatnya hanya pada saat krisis terjadi tidak akan
menyelesaikan masalah-bahkan malah dapat mengalihkan
perhatian dari penyebab sesungguhnya. Untuk dapat
memadamkan api di balik asap akan membutuhkan
pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor biofisik,
sosial, dan politik yang menyebabkan masyarakat
menyalakan api-dan faktor-faktor ini sering dipahami secara
keliru oleh pemerintah dan media.
POLUSI ASAP merupakan masalah serius yang mengganggu kesehatan masyarakat dan menggangu matapencaharian di daerah-daerah tropis basah.
Waspadalah dengan
generalisasi yang dapat
mengaburkan
pembahasan mengenai
asap. Kebanyakan
kebakaran di daerah
tropis basah bukan
kebakaran liar atau
terjadi secara alami dan
tidak terjadi di hutan-
hutan primer. Para
petani kecil juga bukan
satu-satunya, dan
bahkan bukan
kelompok utama, yang
bertanggung jawab atas
terjadinya kebakaran.
Dalam usaha mencari
jalan keluar, para
pembuat kebijakan
perlu menyadari sumber
kesalahpahaman tentang
masalah asap yang
terjadi dan supaya
mereka dapat mengerti
apa akar penyebab-
penyebab masalah asap
tersebut.
Asap merupakan masalah sekaligus gejala
POKOK-POKOKPENTING
Asap merupakanmasalah sekaligus gejala
Fakta dan fiksi di balikkobaran api
Tidak semua kebakaransama.
Tindakan berdasarkanakar penyebab
Beberapa kiat untukpara donor
juni 2002
Seorang petani mengolahlahan dengan latarbelakang sisa tanamanterbakar
ICR
AF
Fakta dan fiksi di balik kobaran apiAda berbagai mitos seputar penyebab kebakaran.Salah satu yang langsung dapat diabaikan adalahmitos 'kebakaran liar'-yaitu kebakaran yangterjadi secara tidak sengaja atau secara alami.Kecelakaan memang terjadi, tetapi kebanyakankebakaran di daerah tropis basah memangdisengaja karena membabat dan membakartumbuhan merupakan cara membuka lahanyang paling efektif dari segi biaya (lihat Kotak dibawah).
Mitos lain, yaitu yang sering dikemukakan olehpemerintah, adalah kebakaran yang semata-matadisebabkan oleh para petani kecil. Meskipunkelompok yang melakukan praktik-praktiktebas-dan-bakar ini memang merupakanpenyebab sebagian dari kebakaran yang terjadi,para pemilik lahan besar juga harusbertanggungjawab, terutama atas terjadinyakebakaran besar. Contohnya, berbagai studiperistiwa polusi asap di Sumatera tahun 1997menunjukkan bahwa hampir dua-pertigaperistiwa kebakaran terkait dengan pembukaanlahan-lahan yang luasnya mencapai ribuanhektar, yaitu untuk kepentingan perkebunankelapa sawit dan perkebunan skala besar lainnya.Selain lebih ektensif, kebakaran yang disebabkanoleh para operator besar juga berlangsung lebihlama dibandingkan dengan kebakaran yangdisebabkan oleh para petani kecil.
Studi-studi tersebut membantu menghapuskanmitos lain: bahwa pembakaran menghancurkanhutan primer. Pernyataan ini bukan berarti bahwahutan primer tidak pernah terkena dampakkebakaran, tetapi bahwa jenis-jenis vegetasi
lainnya cenderung lebih mudah dan lebih banyakterbakar. Meskipun istilah 'kebakaran hutan'sering digunakan untuk menggambarkan krisis diIndonesia tahun 1997/98, sebuah studikebakaran di Pulau Sumatera menunjukan bahwahutan primer relatif lebih sedikit menderita akibatkebakaran. Vegetasi yang terbakar adalah rawadan vegetasi sekunder yang tumbuh setelahkegiatan pembalakan. Di Amazon danKalimantan, praktik-praktik penebangan yangtidak menerapkan asas kelestarian merupakanpenyebab terbesar terbentuknya lahan bekastebangan di hutan dataran rendah yang rentanterhadap kebakaran , terutama pada tahun-kering El Niño.
Tidak semua kebakaran sama
Banyaknya asap yang dihasilkan oleh api sangatberagam bergantung pada tipe lahan. Sebagianbesar sering berasal dari daerah-daerah relatifkecil. Misalnya, di Indonesia kebakaran yang'paling kotor adalah yang terjadi di hutan rawagambut dan tanah gambut, yang cenderungmenyala secara lambat selama berminggu-minggubahkan berbulan-bulan, dan menghasilkan asapyang jauh lebih banyak per satuan luasdibandingkan dengan kebakaran di datarantinggi. Meskipun luas lahan-lahan ini kurang darisepertiga luas lahan yang terbakar semasakebakaran di Indonesia tahun 1997, asap dari apiini menghasilkan lebih dari dua-pertiga karbondioksida dan bahan debu yang membentukkabut.
Sebagaimana api ada yang 'bersih' atau 'kotor',api juga dapat menjadi alat atau senjata. Beberapapembakaran yang seolah-olah dilakukan untukmembuka lahan, sebenarnya ditujukan untukmengusir para petani kecil, yang sering tidakmempunyai jaminan hak kepemilikan lahanwalaupun keluarga mereka sudah menetap didaerah tersebut dan mengelolanya secara lestariselama beberapa dekade. Tidaklah mengherankankalau beberapa tahun kemudian sebagian petanikecil yang telah kehilangan hak miliknya tersebutkembali untuk melakukan pembalasan dengancara membakar perkebunan. Beberapa daerahpedesaan di daerah tropis basah menjadi daerahyang mudah terbakar, bukan karena cuaca keringtetapi karena kebijakan-kebijakan pemerintah(lihat Kotak di halaman 3).
Bertindak sekarang berdasarkanakar penyebab
Pada hakikatnya, api tidak dengan sendirinyaburuk. Jika dikelola dengan baik, pembakaran
merupakan teknik yang biayanya rendah dansah untuk membersihkan vegetasi yang tidakdiinginkan. Tantangan untuk para pembuatkebijakan adalah bagaimana menurunkandampak merugikan dari pembakaran dan asapke tingkat minimum, bukan menghapuspembakaran sama sekali. Pilihan apa saja yangtersedia? Teknik-teknik pembukaan lahan 'tanpapembakaran' memperoleh banyak perhatian,tetapi tidak ada yang memberikan penyelesaianyang cepat. Dari sudut pandang individupetani, metode-metode biologis untukmempercepat pembusukan vegetasi, mesinpemotong atau penghancur biomasa, danteknik-teknik 'tanpa pembakaran' lainnyakurang efektif dan lebih mahal daripadapembakaran. Karena itu, supaya teknik-teknikini digunakan secara meluas dibutuhkaninsentif bayaran yang signifikan, peraturan yangefektif, atau pemaksaan. Akan tetapi, jika hutansudah dibuka, ada alternatif sistem penggunaanlahan yang tidak memerlukan pembakaranulang. Sebagai contoh, pengalaman terbaru diAmazon menunjukkan bahwa teknikpenanaman pakan ternak pengikat nitrogenyang sudah ditingkatkan dan rotasipenggembalaan terbukti sebagai cara-cara yanglestari dan menguntungkan dalam pengelolaanpadang rumput tanpa pembakaran.Pengembangan kapasitas lokal untuk mengaturpenggunaan api lebih menjanjikan daripadakebanyakan pilihan-pilihan teknis lainnya,walaupun cara ini sering diabaikan. Di beberapakawasan Asia Tenggara dan Amazon,pengelolaan pembakaran oleh penduduk lokalsudah berlangsung dengan sangat efektif jikatidak terlalu dibebani oleh konflik denganorang luar. Peraturan lokal menetapkan siapadan kapan boleh melakukan pembakaran, danmenjamin pemberitahuan kepada tetanggasebelum pembakaran dilaksanakan, sertamenetapkan nilai kompensasi yang harusdibayarkan jika pembakaran tersebut merusakmilik orang lain. Sebagai contoh, di PropinsiNan di Thailand, para peneliti menemukanbahwa mekipun penegakan undang-undangpemerintah tentang pengendalian pembakaransukar atau tidak dapat dilakukan, dua-pertigadesa-desa yang ada memiliki peraturanpembakaran sendiri dan menentukan jumlahdenda di dalam desa tersebut jika terjadikerusakan akibat api yang tidak terkendalikan.Dengan membangun pendekatan-pendekatanlokal dalam pengembangan tanggung jawabpengendalian api di antara desa, sebuah proyekpercobaan yang melibatkan 45 desa telahterbukti dapat mengurangi penyebaran api yangtidak disengaja yang melintasi perbatasan desa.
22ASB Policybriefs • juni 2002
Api sebagai alatTebas-dan-bakar merupakan teknik pembukaan lahan yang
menarik baik bagi para petani kecil maupun bagi
perusahaan-perusahaan besar karena teknik ini murah dan
mudah-dan efektif. Selain menghilangkan sisa-sisa
tanaman, pembakaran menghambat pertumbuhan gulma,
mengurangi masalah hama dan penyakit tanaman,
menggemburkan tanah untuk memudahkan penanaman,
dan menghasilkan abu yang berperan sebagai pupuk.
Penelitian di Sumatera menunjukkan bahwa selama api
dipertahankan pada intensitas rendah sampai sedang,
pembakaran meningkatkan ketersediaan fosfor, yaitu unsur
tanaman yang sering menjadi pembatas pertumbuhan
tanaman di tanah-tanah tropis. Bahkan pembakaran
merupakan metode yang mungkin lebih unggul dari segi
lingkungan dibandingkan dengan metode-metode
pembukaan lahan lainnya. Sebagai contoh, pemakaian
buldoser menyebabkan tanah menjadi padat dan
meningkatkan risiko terjadinya erosi.
33ASB Policybriefs • juni 2002
Akan tetapi lembaga-lembaga lokal yang efektif saja
tidak cukup-terutama di daerah-daerah yang dilanda
konflik atas lahan. Selain menambah keresahan sosial,
lahan yang diambil oleh perusahaan-perusahaan besar
mengurangi insentif bagi penduduk lokal untuk
mencegah, melaporkan dan memerangi kebakaran.
Dalam kasus-kasus seperti itu, dibutuhkan pengkajian
yang fundamental tentang sistem kepemilikan lahan,
dan perbaikan strategi pembangunan yang mengakui
hak-hak masyarakat lokal, dan mengembangkan
hukum yang transparan dan dapat ditegakkan
mengenai pembakaran, yang berlaku untuk semua
pengguna lahan, kaya dan miskin, skala besar dan
kecil.
Dan memang benar, salah satu alat untuk memerangi
masalah asap adalah pelaksanaan kebijakan-kebijakan
yang meneguhkan dan mendukung pengelolaan lahan
secara lestari oleh para petani kecil, sehingga
mengurangi konflik atas lahan yang dapat mengarah
ke pembakaran yang disengaja. Untuk Sumatera dan
Kalimantan di Indonesia, hal ini berarti mengalihkan
pusat perhatian dari investasi perkebunan skala besar
ke strategi pengembangan pertanian rakyat kecil yang
berbasis luas. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
dan sistem agroforestri petani kecil merupakan
alternatif yang bersifat lestari dan dapat
meningkatkan mata pencaharian jutaan penduduk
miskin lokal dan sekaligus meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sistem pengelolaan hutan
berbasis masyarakat tidak membutuhkan pembakaran,
sementara dalam kategori agroforestri, beberapa
sistem memerlukan sekali pembakaran awal saja,
sedangkan sistem yang lain memperpanjang jangka
waktu antara masa pembakaran. Sistem agroforestri
di Krui, di bagian barat daya Sumatera, merupakan
contoh pengelolaan berbasis masyarakat yang bersifat
lestari (lihat ASB Policybrief 2). Akan tetapi
pendekatan-pendekatan seperti itu pun perlu
dilengkapi dengan strategi yang efektif untuk
melindungi taman-taman nasional dan suaka-suaka
alam dari perambahan.
Penghapusan hambatan-hambatan perdagangan yang
menekan harga kayu yang berasal dari pohon-pohon
yang ditanam secara berkelanjutan dengan
menggunakan sistem-sistem agroforestri merupakan
pilihan yang dapat memberi harapan untuk
mengurangi masalah asap. Di Indonesia, para petani
yang menebang pohon di lahan mereka-misalnya,
pohon karet yang sudah tua-cenderung untuk
membakar kayu tersebut daripada menjualnya karena
harga jual kayu yang rendah akibat peraturan
kebijakan pemerintah untuk melindungi hutan-hutan
alam dan peningkatan gairah industri pengolahan
kayu. Deregulasi pasar untuk spesies pohon yang
ditanam dalam sistem agroforestri yang terkena
dampak peraturan tersebut dapat menurunkan emisi
asap tanpa mendorong terjadinya penggundulan
hutan (lihat ASB Policybrief 3).
Pada akhirnya, kunci untuk mengurangi polusi asap
adalah pertanggung gugatan (accountaibility).
Artinya, perlu ada upaya untuk menggalakkan
terciptanya iklim bagi masyarakat untuk
menyampaikan pendapat, termasuk pembentukan
kerangka hukum dengan kebijakan-kebijakan yang
berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi, hukum
tersebut perlu diterapkan terlebih dahulu kepada para
pemilik skala besar karena para pemilik tersebut
jumlahnya lebih sedikit dan cenderung melakukan
pembakaran areal-areal yang luas, sehingga
aktivitasnya tidak saja lebih mudah dipantau tetapi
pengendalikan kebakaran pada lahan mereka akan
mempunyai dampak yang sangat besar. Di Indonesia,
pemerintah sudah mengembangkan sistem perizinan
yang mengatur secara formal pembakaran yang
dilakukan oleh para pemilik lahan skala besar. Pada
tahun 1997, jumlah izin yang dikeluarkan di
beberapa propinsi di Indonesia meningkat tajam-
suatu gejala yang secara langsung berkaitan dengan
peristiwa kebakaran hutan dan polusi yang
ditimbulkannya.
Tindakan untuk membekukan pemberian sejumlah
izin selama masa El Niño dapat dikembangkan
menjadi langkah pengendalian yang efektif bagi
operator skala besar. Di beberapa tempat, pembatasan
pembakaran secara selektif sudah dilaksanakan untuk
melarang pelaksanaan pembakaran pada waktu risiko
terjadinya masalah asap paling besar. Sebagai contoh,
Rondônia State di Brasil mengizinkan pelaksanaan
pembakaran selama musim kering hanya dua hingga
tiga minggu ketika risiko polusi asap lebih kecil. Hasil
penelitian menunjukkan walaupun masyarakat masih
terkena polusi asap secara signifikan (setingkat dengan
yang dialami daerah perkotaan yang tingkat polusinya
sedang), karena musim pembakaran sudah diatur
maka secara keseluruhan kualitas air meningkat dan
masa masyarakat terkena dampak polusi asap
berkurang.
Api sebagai senjataPada tahun 1997 dan 1998, suatu tim
peneliti menggunakan data satelit
untuk memetakan daerah terbakar
yang luas di delapan lokasi di
Sumatera dan di Kalimantan.
Pemetaan partisipatif (diperlihatkan di
sebelah kanan) menunjukkan akar
penyebab kebakaran-kebakaran
tersebut dari sudut pandang
masyarakat lokal. Studi-studi ini
menemukan variasi yang tinggi dalam
hal pelaku pembakaran dan motivasi
pembakaran. Akan tetapi ada
kesamaan, yaitu faktor-faktor yang
diidentifikasi sebagai penyebab suatu
wilayah terbakar: penggundulan hutan
yang terjadi sebelumnya, peningkatan
akses, dan terutama tidak adanya
jaminan hak kepemilikan lahan, serta
adanya konflik atas sumber daya alam.
Sebaliknya, aksi lokal untuk mencegah
dan memadamkan api cenderung
terjadi di daerah-daerah yang
mempunyai stabilitas sosial dan hak
kepemilikan yang jelas (walaupun
informal).
Proy
ek K
ebak
aran
Hut
an I
CR
AF,
CIF
OR
, , U
SDA
For
est
Serv
ice
Survei Sosial dan Pemetaan Partisipatif
1
2
3
4
1 Akibat konflik hakkepemilikan antara masyarakatlokal dan perusahaan hutantanaman industri, masyarakatlokal tidak memiliki insentifuntuk mengendalikan api yangmenyebar ke areal perkebunan.
2 Para transmigran membakarkawasan HPH yang sudahditebang dengan harapanmereka akan dapat memperolehhak penggunaan lahan.
3 Para petani kecil membakarpohon kelapa dan kelapa sawituntuk mendapatkan kembalilahan yang diambil oleh sebuahperusahaan besar..
4 Perusahaan hutan tanamanindustri skala besar dibakar olehmasyarakat lokal.
44
Untuk informasi lebih lanjut:
Applegate, G, Chokkalingam, U and Suyanto(2001). The Underlying Causes and Impacts ofFires in South-east Asia: Final Report. CIFORJakarta, Indonesia.
Byron, N. Managing smoke: Bridging the gapbetween policy and research. Agriculture, Ecosystemsand Environment (forthcoming).
Glover, D and Jessup, T (eds) (1999). Indonesia’sfires and haze: The cost of catastrophe.ISAS/IDRC Report.
Hoare, P. The process for community andgovernment cooperation to reduce the forest fireand smoke problem. Agriculture, Ecosystems andEnvironment (forthcoming).
Ketterings, QM, Tri Wibowo, T, van Noordwijk, M and Penot, E (1999). Farmers’ perspectives onslash-and-burn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, JambiProvince, Sumatra, Indonesia. Forest Ecology andManagement 120: 158-169.
Murdiyarso, D, Lebel, L, Gintings, AN,Tampubolon, SMH, Heil, A, and Wasson, M.Policy responses to complex environmentalproblems: insights from a science-policy activity ontransboundary haze from vegetation fires inSoutheast Asia. Agriculture, Ecosystems andEnvironment (forthcoming).
Reinhardt, T, Ottmar, R, and Castilla, C (2001).Smoke impacts from agricultural burning in a rural Brazilian town. Journal of the Air and Waste Management Association51: 443-450.
Stolle, F and Tomich, T (1999). The 1997-1998fire event in Indonesia. Nature and Resources 35(3): 22-30.
Tomich, T, Fagi, A, de Foresta, H, Michon, G,Murdiyarso, D, Stolle, F, and van Noordwijk, M(1998). Indonesia’s fires: Smoke as a problem,smoke as a symptom. Agroforestry Today10 (1): 4-7.
Artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah asapdan solusi potensial tersedia di situs web CIFOR dihttp://www.cifor.cgiar.org/news/fireproblem. htm,http://www.cifor.cgiar.org/fireproject/index.htmand http://www.cifor.cgiar.org/news/fire.htm, andon the IUCN/WWF Project Firefight SEAsiawebsite at http://www.pffsea.com.
Laporan singkat ini disusun bersama oleh Achmad M. Fagi dari AARD; Daniel Murdiyarso dariInstitut Pertanian Bogor/CIFOR; Samuel Oliveira dan Judson Valentim dari Embrapa; CarlosCastilla dari Universidad del Pacifico, Colombia; Rona Dennis dan Luca Tacconi dari CIFOR;Erick Fernandes dan Quirine Ketterings dari Cornell University; Jessa Lewis, Debra Lodoen,Suyanto, Thomas Tomich, Meine van Noordwijk dan Lou Verchot dari ICRAF; Hubert deForesta dan Genevieve Michon dari IRD; Stewart Maginnis, Peter Moore dan Jeff Sayer dariIUCN/WWF; Fred Stolle dari Universite Catholique Louvain-la-Neuve, Belgium; dan CharlesDull dan Alex Moad dari USDA Forest Service.
Dana disediakan oleh Asian Development Bank, Pemerintah Belanda Government dan USAID.
Jika reproduksi untuk tujuan non-komersial, ASB menganjurkan penyebaran karyanya secaragratis. Bagian-bagian dari dokumen ini dapat dikutip atau direproduksi tanpa biaya, asalkanmenyebutkan sumbernya. © 2002 Alternatives to Slash-and-Burn
Hubungi kami di:ASB Programme, ICRAFP.O. Box 30677, 00100 GPONairobi, Kenya.
Tel: +254 20 524114/524000 ou + 1 650 833 6645Fax: +254 20 524001 ou + 1 650 833 6646Website: http://www.asb.cgiar.orgE-mail: [email protected]
Kirimkan nama dan alamat rekan-rekan anda yangmenurut anda perlu dicantumkan dalam daftarpengiriman kami.
Series Editor: Thomas Tomich. Associate Editor: Jessa Lewis. Writer: Simon Chater, Green Ink Ltd. Design: Conrad Mudib. Layout: Joyce Kasyoki
ASB Policybriefs diterbitkan oleh Alternatives to Slash-and-Burn (ASB) Programme. Tujuan seri ini adalah untuk memberikan bahan bacaan yangrelevan dan ringkas untuk pihak-pihak utama yang keputusannya membawa perubahan dalam pengentasan kemiskinan dan perlindungan lingkungandi kawasan tropis basah.
Dalam keadaan darurat: Beberapa kiatuntuk para donorJangan dikelabui oleh keputusan pemerintah yangtergesa-gesa mengenai pemberlakuan laranganpembakaran di saat darurat. Larangan yangdiberlakukan pemerintah pusat secara tergesa-gesabukanlah solusi untuk krisis asap. Di berbagai daerahpedesaan di wilayah tropis, pemerintah lokal yanglemah menyebabkan larangan tersebut tidak dapatdilaksanakan. Lagipula, di kawasan tropis keharusanuntuk patuh terhadap suatu larangan cenderungberlaku secara tidak seimbang bagi masyarakat miskindi pedesaan, yang lebih mudah diancam oleh parapetugas dan kekurangan sumber daya untuk mencarialternatif pengganti pembakaran.
Dukunglah larangan parsial terhadap pembakaran ditanah gambut dan daerah-daerah rawa gambut.Larangan tersebut lebih bijaksana mengingat lebihbanyak asap yang diemisi oleh daerah-daerah ini.Berhubung larangan tersebut berlaku untuk areal yanglebih kecil, maka lebih layak untuk dilaksanakan.Meskipun demikian, larangan parsial memerlukansistem pengawasan dan penegakan yang efektif.
Jangan mengharapkan sumbangan darurat berupasepatu bot, sekop, truk pemadam kebakaran, pesawat
tangki, dan perlengkapan pemadam kebakaran untukmengatasi masalah kebakaran secara umum. Tindakanpemadaman api tidak tepat sasaran: kebanyakankebakaran tropis terjadi secara sengaja, bahkan padasaat El Niño yang kuat. Lagipula, untuk kebanyakanperistiwa kebakaran, bantuan seperti itu cenderungdatang terlambat.
Tetapi arahkan bantuan darurat untuk kebakaran ditanah gambut dan di daerah-daerah rawa, yang sekalilagi merupakan perkecualian. Selain bermanfaat dalammenghindari polusi asap, bantuan teknis darurat sangatkritis dalam usaha menekan api yang sangat sulitdipadamkan dan berlangsung terus menerus.
Yang terutama, tingkatkan akses ke informasi. Di saatperistiwa darurat asap, umumkan siapa yang melakukanpembakaran dan ini kemungkinan besar akanmemberikan hasil terbaik. Karena kemampuannyadalam menyebarluaskan citra satelit yang luar biasajelas, jaringan web dunia merupakan alat yang sangatkuat untuk menyebutkan nama dan mempermalukanpara pelanggar yang terburuk. Dukungan untukmembuat informasi tersebut tersedia secara lokal,nasional dan internasional akan sangat bermanfaatdengan biaya murah (lihat Kotak di atas).
NASA 'Earth Observatory' menunjukkan asap yang berasaldari kebakaran (ditandai dengan titik merah) di sebagianwilayah Pulau Sumatera pada awal tahun 2002.
Sumber:http://eob.gsfc.nasa.gov/NaturalHazards/natural_hazards_v2.php3?img_id=2127, atas izin Jacques Descloitres,MODIS Land Rapid Response Team, NASA.
Jaringan situs web duniasebagai sarana pendukungpertanggunggugatan melaluikesadaran masyarakat Di kawasan tropis, kebakaran terjadi tiaptahun, disertai masalah asap dalam tingkatyang berbeda. Akan tetapi peristiwa asap diIndonesia pada tahun 1997/98 mendapatperhatian yang lebih besar dibandingkanperistiwa-peristiwa sebelumnya. Hal inisebagian besar dipengaruhi secara luar biasadari adanya situs web dunia. Ketika itu,lembaga-lembaga pemerintah, LSM,lembaga-lembaga donor bilateral danmultilateral, dan program-programpenelitian di Indonesia dan di negara lainmemasang informasi di web setiap hari.