mengurangi polusi asap dari kebakaran · pdf filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap,...

4
1 MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN 04 Policybriefs Pada tahun 1997, asap tebal menyelimuti sebagian besar Asia Tenggara. Bencana ini menjadi berita utama di dunia, bukan saja karena skalanya yang sangat besar-diperkirakan 70 juta orang di enam negara terkena dampaknya-tetapi juga karena kesan akhir zaman (apocalyptic) yang ditimbulkannya: gelap di siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara dilarang terbang, tabrakan kapal-kapal tanker di laut, layanan darurat yang harus berjuang keras sampai ke titik penghabisan, dan bangsal-bangsal rumah-sakit dipenuhi para korban bencana ini. Namun demikian, polusi asap tersebut sama sekali bukan yang pertama kali terjadi di kawasan ini. Peristiwa-peristiwa serupa sudah sering terjadi sebelumnya- yang terakhir pada tahun 1994. Masalah ini juga tidak hanya terjadi di Asia Tenggara: asap sudah lama menjadi isu lokal dan kadang-kadang menjadi isu internasional. Misalnya, di Amazon, dan di hampir seluruh padang rumput (savanna) di daerah tropis basah Afrika seharusnya akan berupa hutan jika tidak ada kebakaran yang sering terjadi. Berbagai hutan di Asia dan Amerika Latin juga akan berubah menjadi padang rumput (grassland) jika pola kebakaran seperti ini tetap berlanjut. Di daerah tropis basah, polusi asap lebih dari sekedar dampak sampingan yang mengganggu akibat kegiatan pemanfaatan lahan. Polusi ini sangat mengganggu kesehatan masyarakat, menimbulkan berbagai masalah mulai dari jangka pendek berupa sakit tenggorokan, sakit mata, dan gangguan pernapasan, hingga jangka panjang berupa asma kronis, emfisema (paru-paru bengkak), kanker paru-paru , dan penyakit kulit. Selain itu, polusi asap juga menimbulkan biaya ekonomi tinggi: yang dapat dirasakan segera setelah polusi terjadi, yaitu dalam bentuk absen kerja dan kegiatan bisnis yang terhambat, kegiatan pariwisata yang menurun, penundaan pesawat dan kecelakaan, belum lagi langkah-langkah darurat pemadaman kebakaran yang berbiaya tinggi dan sering sia-sia. Dalam jangka panjang juga timbul kerugian, karena para wisatawan akan menghindari daerah-daerah yang dianggap buruk dan semakin beban masalah kesehatan masyarakat semakin meningkat sementara sumber daya untuk layanan kesehatan masyarakat masih sangat kurang. Para pakar ekonomi memperkirakan kerusakan akibat kebakaran dan asap di Indonesia pada tahun 1997/98 mencapai miliaran dolar AS; nilai ini akan jauh lebih tinggi jika perkiran biaya yang dilakukan juga memasukkan nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan hidupan liar serta dampak pemanasan global akibat peningkatan emisi karbon. Perhitungan tersebut sama sekali tidak memasukkan gangguan dalam hubungan internasional: negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia dan Brasil sebagai 'tetangga yang buruk'. Olah sebab itu, asap sangat berbahaya bagi lingkungan dan menimbulkan biaya tinggi baik secara regional maupun global. Akan tetapi memusatkan perhatian terhadap asap dan akibat-akibatnya hanya pada saat krisis terjadi tidak akan menyelesaikan masalah-bahkan malah dapat mengalihkan perhatian dari penyebab sesungguhnya. Untuk dapat memadamkan api di balik asap akan membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor biofisik, sosial, dan politik yang menyebabkan masyarakat menyalakan api-dan faktor-faktor ini sering dipahami secara keliru oleh pemerintah dan media. POLUSI ASAP merupakan masalah serius yang mengganggu kesehatan masyarakat dan menggangu mata pencaharian di daerah-daerah tropis basah. Waspadalah dengan generalisasi yang dapat mengaburkan pembahasan mengenai asap. Kebanyakan kebakaran di daerah tropis basah bukan kebakaran liar atau terjadi secara alami dan tidak terjadi di hutan- hutan primer. Para petani kecil juga bukan satu-satunya, dan bahkan bukan kelompok utama, yang bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran. Dalam usaha mencari jalan keluar, para pembuat kebijakan perlu menyadari sumber kesalahpahaman tentang masalah asap yang terjadi dan supaya mereka dapat mengerti apa akar penyebab- penyebab masalah asap tersebut. Asap merupakan masalah sekaligus gejala POK OK-POK OK P ENTING Asap merupakan masalah sekaligus gejala Fakta dan fiksi di balik kobaran api Tidak semua kebakaran sama. Tindakan berdasarkan akar penyebab Beberapa kiat untuk para donor juni 2002 Seorang petani mengolah lahan dengan latar belakang sisa tanaman terbakar ICRAF

Upload: doannhi

Post on 02-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN · PDF filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara ... negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia dan Brasil sebagai

11

MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN

04Policybriefs

Pada tahun 1997, asap tebal menyelimuti sebagian besar Asia

Tenggara. Bencana ini menjadi berita utama di dunia, bukan

saja karena skalanya yang sangat besar-diperkirakan 70 juta

orang di enam negara terkena dampaknya-tetapi juga karena

kesan akhir zaman (apocalyptic) yang ditimbulkannya: gelap

di siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara

dilarang terbang, tabrakan kapal-kapal tanker di laut, layanan

darurat yang harus berjuang keras sampai ke titik

penghabisan, dan bangsal-bangsal rumah-sakit dipenuhi para

korban bencana ini. Namun demikian, polusi asap tersebut

sama sekali bukan yang pertama kali terjadi di kawasan ini.

Peristiwa-peristiwa serupa sudah sering terjadi sebelumnya-

yang terakhir pada tahun 1994. Masalah ini juga tidak hanya

terjadi di Asia Tenggara: asap sudah lama menjadi isu lokal

dan kadang-kadang menjadi isu internasional. Misalnya, di

Amazon, dan di hampir seluruh padang rumput (savanna) di

daerah tropis basah Afrika seharusnya akan berupa hutan jika

tidak ada kebakaran yang sering terjadi. Berbagai hutan di

Asia dan Amerika Latin juga akan berubah menjadi padang

rumput (grassland) jika pola kebakaran seperti ini tetap

berlanjut.

Di daerah tropis basah, polusi asap lebih dari sekedar

dampak sampingan yang mengganggu akibat kegiatan

pemanfaatan lahan. Polusi ini sangat mengganggu kesehatan

masyarakat, menimbulkan berbagai masalah mulai dari

jangka pendek berupa sakit tenggorokan, sakit mata, dan

gangguan pernapasan, hingga jangka panjang berupa asma

kronis, emfisema (paru-paru bengkak), kanker paru-paru ,

dan penyakit kulit. Selain itu, polusi asap juga

menimbulkan biaya ekonomi tinggi: yang dapat dirasakan

segera setelah polusi terjadi, yaitu dalam bentuk absen kerja

dan kegiatan bisnis yang terhambat, kegiatan pariwisata yang

menurun, penundaan pesawat dan kecelakaan, belum lagi

langkah-langkah darurat pemadaman kebakaran yang

berbiaya tinggi dan sering sia-sia. Dalam jangka panjang juga

timbul kerugian, karena para wisatawan akan menghindari

daerah-daerah yang dianggap buruk dan semakin beban

masalah kesehatan masyarakat semakin meningkat sementara

sumber daya untuk layanan kesehatan masyarakat masih

sangat kurang. Para pakar ekonomi memperkirakan

kerusakan akibat kebakaran dan asap di Indonesia pada

tahun 1997/98 mencapai miliaran dolar AS; nilai ini akan

jauh lebih tinggi jika perkiran biaya yang dilakukan juga

memasukkan nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan

hidupan liar serta dampak pemanasan global akibat

peningkatan emisi karbon. Perhitungan tersebut sama sekali

tidak memasukkan gangguan dalam hubungan internasional:

negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia

dan Brasil sebagai 'tetangga yang buruk'.

Olah sebab itu, asap sangat berbahaya bagi lingkungan dan

menimbulkan biaya tinggi baik secara regional maupun

global. Akan tetapi memusatkan perhatian terhadap asap dan

akibat-akibatnya hanya pada saat krisis terjadi tidak akan

menyelesaikan masalah-bahkan malah dapat mengalihkan

perhatian dari penyebab sesungguhnya. Untuk dapat

memadamkan api di balik asap akan membutuhkan

pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor biofisik,

sosial, dan politik yang menyebabkan masyarakat

menyalakan api-dan faktor-faktor ini sering dipahami secara

keliru oleh pemerintah dan media.

POLUSI ASAP merupakan masalah serius yang mengganggu kesehatan masyarakat dan menggangu matapencaharian di daerah-daerah tropis basah.

Waspadalah dengan

generalisasi yang dapat

mengaburkan

pembahasan mengenai

asap. Kebanyakan

kebakaran di daerah

tropis basah bukan

kebakaran liar atau

terjadi secara alami dan

tidak terjadi di hutan-

hutan primer. Para

petani kecil juga bukan

satu-satunya, dan

bahkan bukan

kelompok utama, yang

bertanggung jawab atas

terjadinya kebakaran.

Dalam usaha mencari

jalan keluar, para

pembuat kebijakan

perlu menyadari sumber

kesalahpahaman tentang

masalah asap yang

terjadi dan supaya

mereka dapat mengerti

apa akar penyebab-

penyebab masalah asap

tersebut.

Asap merupakan masalah sekaligus gejala

POKOK-POKOKPENTING

Asap merupakanmasalah sekaligus gejala

Fakta dan fiksi di balikkobaran api

Tidak semua kebakaransama.

Tindakan berdasarkanakar penyebab

Beberapa kiat untukpara donor

juni 2002

Seorang petani mengolahlahan dengan latarbelakang sisa tanamanterbakar

ICR

AF

Page 2: MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN · PDF filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara ... negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia dan Brasil sebagai

Fakta dan fiksi di balik kobaran apiAda berbagai mitos seputar penyebab kebakaran.Salah satu yang langsung dapat diabaikan adalahmitos 'kebakaran liar'-yaitu kebakaran yangterjadi secara tidak sengaja atau secara alami.Kecelakaan memang terjadi, tetapi kebanyakankebakaran di daerah tropis basah memangdisengaja karena membabat dan membakartumbuhan merupakan cara membuka lahanyang paling efektif dari segi biaya (lihat Kotak dibawah).

Mitos lain, yaitu yang sering dikemukakan olehpemerintah, adalah kebakaran yang semata-matadisebabkan oleh para petani kecil. Meskipunkelompok yang melakukan praktik-praktiktebas-dan-bakar ini memang merupakanpenyebab sebagian dari kebakaran yang terjadi,para pemilik lahan besar juga harusbertanggungjawab, terutama atas terjadinyakebakaran besar. Contohnya, berbagai studiperistiwa polusi asap di Sumatera tahun 1997menunjukkan bahwa hampir dua-pertigaperistiwa kebakaran terkait dengan pembukaanlahan-lahan yang luasnya mencapai ribuanhektar, yaitu untuk kepentingan perkebunankelapa sawit dan perkebunan skala besar lainnya.Selain lebih ektensif, kebakaran yang disebabkanoleh para operator besar juga berlangsung lebihlama dibandingkan dengan kebakaran yangdisebabkan oleh para petani kecil.

Studi-studi tersebut membantu menghapuskanmitos lain: bahwa pembakaran menghancurkanhutan primer. Pernyataan ini bukan berarti bahwahutan primer tidak pernah terkena dampakkebakaran, tetapi bahwa jenis-jenis vegetasi

lainnya cenderung lebih mudah dan lebih banyakterbakar. Meskipun istilah 'kebakaran hutan'sering digunakan untuk menggambarkan krisis diIndonesia tahun 1997/98, sebuah studikebakaran di Pulau Sumatera menunjukan bahwahutan primer relatif lebih sedikit menderita akibatkebakaran. Vegetasi yang terbakar adalah rawadan vegetasi sekunder yang tumbuh setelahkegiatan pembalakan. Di Amazon danKalimantan, praktik-praktik penebangan yangtidak menerapkan asas kelestarian merupakanpenyebab terbesar terbentuknya lahan bekastebangan di hutan dataran rendah yang rentanterhadap kebakaran , terutama pada tahun-kering El Niño.

Tidak semua kebakaran sama

Banyaknya asap yang dihasilkan oleh api sangatberagam bergantung pada tipe lahan. Sebagianbesar sering berasal dari daerah-daerah relatifkecil. Misalnya, di Indonesia kebakaran yang'paling kotor adalah yang terjadi di hutan rawagambut dan tanah gambut, yang cenderungmenyala secara lambat selama berminggu-minggubahkan berbulan-bulan, dan menghasilkan asapyang jauh lebih banyak per satuan luasdibandingkan dengan kebakaran di datarantinggi. Meskipun luas lahan-lahan ini kurang darisepertiga luas lahan yang terbakar semasakebakaran di Indonesia tahun 1997, asap dari apiini menghasilkan lebih dari dua-pertiga karbondioksida dan bahan debu yang membentukkabut.

Sebagaimana api ada yang 'bersih' atau 'kotor',api juga dapat menjadi alat atau senjata. Beberapapembakaran yang seolah-olah dilakukan untukmembuka lahan, sebenarnya ditujukan untukmengusir para petani kecil, yang sering tidakmempunyai jaminan hak kepemilikan lahanwalaupun keluarga mereka sudah menetap didaerah tersebut dan mengelolanya secara lestariselama beberapa dekade. Tidaklah mengherankankalau beberapa tahun kemudian sebagian petanikecil yang telah kehilangan hak miliknya tersebutkembali untuk melakukan pembalasan dengancara membakar perkebunan. Beberapa daerahpedesaan di daerah tropis basah menjadi daerahyang mudah terbakar, bukan karena cuaca keringtetapi karena kebijakan-kebijakan pemerintah(lihat Kotak di halaman 3).

Bertindak sekarang berdasarkanakar penyebab

Pada hakikatnya, api tidak dengan sendirinyaburuk. Jika dikelola dengan baik, pembakaran

merupakan teknik yang biayanya rendah dansah untuk membersihkan vegetasi yang tidakdiinginkan. Tantangan untuk para pembuatkebijakan adalah bagaimana menurunkandampak merugikan dari pembakaran dan asapke tingkat minimum, bukan menghapuspembakaran sama sekali. Pilihan apa saja yangtersedia? Teknik-teknik pembukaan lahan 'tanpapembakaran' memperoleh banyak perhatian,tetapi tidak ada yang memberikan penyelesaianyang cepat. Dari sudut pandang individupetani, metode-metode biologis untukmempercepat pembusukan vegetasi, mesinpemotong atau penghancur biomasa, danteknik-teknik 'tanpa pembakaran' lainnyakurang efektif dan lebih mahal daripadapembakaran. Karena itu, supaya teknik-teknikini digunakan secara meluas dibutuhkaninsentif bayaran yang signifikan, peraturan yangefektif, atau pemaksaan. Akan tetapi, jika hutansudah dibuka, ada alternatif sistem penggunaanlahan yang tidak memerlukan pembakaranulang. Sebagai contoh, pengalaman terbaru diAmazon menunjukkan bahwa teknikpenanaman pakan ternak pengikat nitrogenyang sudah ditingkatkan dan rotasipenggembalaan terbukti sebagai cara-cara yanglestari dan menguntungkan dalam pengelolaanpadang rumput tanpa pembakaran.Pengembangan kapasitas lokal untuk mengaturpenggunaan api lebih menjanjikan daripadakebanyakan pilihan-pilihan teknis lainnya,walaupun cara ini sering diabaikan. Di beberapakawasan Asia Tenggara dan Amazon,pengelolaan pembakaran oleh penduduk lokalsudah berlangsung dengan sangat efektif jikatidak terlalu dibebani oleh konflik denganorang luar. Peraturan lokal menetapkan siapadan kapan boleh melakukan pembakaran, danmenjamin pemberitahuan kepada tetanggasebelum pembakaran dilaksanakan, sertamenetapkan nilai kompensasi yang harusdibayarkan jika pembakaran tersebut merusakmilik orang lain. Sebagai contoh, di PropinsiNan di Thailand, para peneliti menemukanbahwa mekipun penegakan undang-undangpemerintah tentang pengendalian pembakaransukar atau tidak dapat dilakukan, dua-pertigadesa-desa yang ada memiliki peraturanpembakaran sendiri dan menentukan jumlahdenda di dalam desa tersebut jika terjadikerusakan akibat api yang tidak terkendalikan.Dengan membangun pendekatan-pendekatanlokal dalam pengembangan tanggung jawabpengendalian api di antara desa, sebuah proyekpercobaan yang melibatkan 45 desa telahterbukti dapat mengurangi penyebaran api yangtidak disengaja yang melintasi perbatasan desa.

22ASB Policybriefs • juni 2002

Api sebagai alatTebas-dan-bakar merupakan teknik pembukaan lahan yang

menarik baik bagi para petani kecil maupun bagi

perusahaan-perusahaan besar karena teknik ini murah dan

mudah-dan efektif. Selain menghilangkan sisa-sisa

tanaman, pembakaran menghambat pertumbuhan gulma,

mengurangi masalah hama dan penyakit tanaman,

menggemburkan tanah untuk memudahkan penanaman,

dan menghasilkan abu yang berperan sebagai pupuk.

Penelitian di Sumatera menunjukkan bahwa selama api

dipertahankan pada intensitas rendah sampai sedang,

pembakaran meningkatkan ketersediaan fosfor, yaitu unsur

tanaman yang sering menjadi pembatas pertumbuhan

tanaman di tanah-tanah tropis. Bahkan pembakaran

merupakan metode yang mungkin lebih unggul dari segi

lingkungan dibandingkan dengan metode-metode

pembukaan lahan lainnya. Sebagai contoh, pemakaian

buldoser menyebabkan tanah menjadi padat dan

meningkatkan risiko terjadinya erosi.

Page 3: MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN · PDF filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara ... negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia dan Brasil sebagai

33ASB Policybriefs • juni 2002

Akan tetapi lembaga-lembaga lokal yang efektif saja

tidak cukup-terutama di daerah-daerah yang dilanda

konflik atas lahan. Selain menambah keresahan sosial,

lahan yang diambil oleh perusahaan-perusahaan besar

mengurangi insentif bagi penduduk lokal untuk

mencegah, melaporkan dan memerangi kebakaran.

Dalam kasus-kasus seperti itu, dibutuhkan pengkajian

yang fundamental tentang sistem kepemilikan lahan,

dan perbaikan strategi pembangunan yang mengakui

hak-hak masyarakat lokal, dan mengembangkan

hukum yang transparan dan dapat ditegakkan

mengenai pembakaran, yang berlaku untuk semua

pengguna lahan, kaya dan miskin, skala besar dan

kecil.

Dan memang benar, salah satu alat untuk memerangi

masalah asap adalah pelaksanaan kebijakan-kebijakan

yang meneguhkan dan mendukung pengelolaan lahan

secara lestari oleh para petani kecil, sehingga

mengurangi konflik atas lahan yang dapat mengarah

ke pembakaran yang disengaja. Untuk Sumatera dan

Kalimantan di Indonesia, hal ini berarti mengalihkan

pusat perhatian dari investasi perkebunan skala besar

ke strategi pengembangan pertanian rakyat kecil yang

berbasis luas. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat

dan sistem agroforestri petani kecil merupakan

alternatif yang bersifat lestari dan dapat

meningkatkan mata pencaharian jutaan penduduk

miskin lokal dan sekaligus meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Sistem pengelolaan hutan

berbasis masyarakat tidak membutuhkan pembakaran,

sementara dalam kategori agroforestri, beberapa

sistem memerlukan sekali pembakaran awal saja,

sedangkan sistem yang lain memperpanjang jangka

waktu antara masa pembakaran. Sistem agroforestri

di Krui, di bagian barat daya Sumatera, merupakan

contoh pengelolaan berbasis masyarakat yang bersifat

lestari (lihat ASB Policybrief 2). Akan tetapi

pendekatan-pendekatan seperti itu pun perlu

dilengkapi dengan strategi yang efektif untuk

melindungi taman-taman nasional dan suaka-suaka

alam dari perambahan.

Penghapusan hambatan-hambatan perdagangan yang

menekan harga kayu yang berasal dari pohon-pohon

yang ditanam secara berkelanjutan dengan

menggunakan sistem-sistem agroforestri merupakan

pilihan yang dapat memberi harapan untuk

mengurangi masalah asap. Di Indonesia, para petani

yang menebang pohon di lahan mereka-misalnya,

pohon karet yang sudah tua-cenderung untuk

membakar kayu tersebut daripada menjualnya karena

harga jual kayu yang rendah akibat peraturan

kebijakan pemerintah untuk melindungi hutan-hutan

alam dan peningkatan gairah industri pengolahan

kayu. Deregulasi pasar untuk spesies pohon yang

ditanam dalam sistem agroforestri yang terkena

dampak peraturan tersebut dapat menurunkan emisi

asap tanpa mendorong terjadinya penggundulan

hutan (lihat ASB Policybrief 3).

Pada akhirnya, kunci untuk mengurangi polusi asap

adalah pertanggung gugatan (accountaibility).

Artinya, perlu ada upaya untuk menggalakkan

terciptanya iklim bagi masyarakat untuk

menyampaikan pendapat, termasuk pembentukan

kerangka hukum dengan kebijakan-kebijakan yang

berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi, hukum

tersebut perlu diterapkan terlebih dahulu kepada para

pemilik skala besar karena para pemilik tersebut

jumlahnya lebih sedikit dan cenderung melakukan

pembakaran areal-areal yang luas, sehingga

aktivitasnya tidak saja lebih mudah dipantau tetapi

pengendalikan kebakaran pada lahan mereka akan

mempunyai dampak yang sangat besar. Di Indonesia,

pemerintah sudah mengembangkan sistem perizinan

yang mengatur secara formal pembakaran yang

dilakukan oleh para pemilik lahan skala besar. Pada

tahun 1997, jumlah izin yang dikeluarkan di

beberapa propinsi di Indonesia meningkat tajam-

suatu gejala yang secara langsung berkaitan dengan

peristiwa kebakaran hutan dan polusi yang

ditimbulkannya.

Tindakan untuk membekukan pemberian sejumlah

izin selama masa El Niño dapat dikembangkan

menjadi langkah pengendalian yang efektif bagi

operator skala besar. Di beberapa tempat, pembatasan

pembakaran secara selektif sudah dilaksanakan untuk

melarang pelaksanaan pembakaran pada waktu risiko

terjadinya masalah asap paling besar. Sebagai contoh,

Rondônia State di Brasil mengizinkan pelaksanaan

pembakaran selama musim kering hanya dua hingga

tiga minggu ketika risiko polusi asap lebih kecil. Hasil

penelitian menunjukkan walaupun masyarakat masih

terkena polusi asap secara signifikan (setingkat dengan

yang dialami daerah perkotaan yang tingkat polusinya

sedang), karena musim pembakaran sudah diatur

maka secara keseluruhan kualitas air meningkat dan

masa masyarakat terkena dampak polusi asap

berkurang.

Api sebagai senjataPada tahun 1997 dan 1998, suatu tim

peneliti menggunakan data satelit

untuk memetakan daerah terbakar

yang luas di delapan lokasi di

Sumatera dan di Kalimantan.

Pemetaan partisipatif (diperlihatkan di

sebelah kanan) menunjukkan akar

penyebab kebakaran-kebakaran

tersebut dari sudut pandang

masyarakat lokal. Studi-studi ini

menemukan variasi yang tinggi dalam

hal pelaku pembakaran dan motivasi

pembakaran. Akan tetapi ada

kesamaan, yaitu faktor-faktor yang

diidentifikasi sebagai penyebab suatu

wilayah terbakar: penggundulan hutan

yang terjadi sebelumnya, peningkatan

akses, dan terutama tidak adanya

jaminan hak kepemilikan lahan, serta

adanya konflik atas sumber daya alam.

Sebaliknya, aksi lokal untuk mencegah

dan memadamkan api cenderung

terjadi di daerah-daerah yang

mempunyai stabilitas sosial dan hak

kepemilikan yang jelas (walaupun

informal).

Proy

ek K

ebak

aran

Hut

an I

CR

AF,

CIF

OR

, , U

SDA

For

est

Serv

ice

Survei Sosial dan Pemetaan Partisipatif

1

2

3

4

1 Akibat konflik hakkepemilikan antara masyarakatlokal dan perusahaan hutantanaman industri, masyarakatlokal tidak memiliki insentifuntuk mengendalikan api yangmenyebar ke areal perkebunan.

2 Para transmigran membakarkawasan HPH yang sudahditebang dengan harapanmereka akan dapat memperolehhak penggunaan lahan.

3 Para petani kecil membakarpohon kelapa dan kelapa sawituntuk mendapatkan kembalilahan yang diambil oleh sebuahperusahaan besar..

4 Perusahaan hutan tanamanindustri skala besar dibakar olehmasyarakat lokal.

Page 4: MENGURANGI POLUSI ASAP DARI KEBAKARAN · PDF filedi siang hari, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara ... negara-negara lain di Asia Tenggara sudah mencap Indonesia dan Brasil sebagai

44

Untuk informasi lebih lanjut:

Applegate, G, Chokkalingam, U and Suyanto(2001). The Underlying Causes and Impacts ofFires in South-east Asia: Final Report. CIFORJakarta, Indonesia.

Byron, N. Managing smoke: Bridging the gapbetween policy and research. Agriculture, Ecosystemsand Environment (forthcoming).

Glover, D and Jessup, T (eds) (1999). Indonesia’sfires and haze: The cost of catastrophe.ISAS/IDRC Report.

Hoare, P. The process for community andgovernment cooperation to reduce the forest fireand smoke problem. Agriculture, Ecosystems andEnvironment (forthcoming).

Ketterings, QM, Tri Wibowo, T, van Noordwijk, M and Penot, E (1999). Farmers’ perspectives onslash-and-burn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, JambiProvince, Sumatra, Indonesia. Forest Ecology andManagement 120: 158-169.

Murdiyarso, D, Lebel, L, Gintings, AN,Tampubolon, SMH, Heil, A, and Wasson, M.Policy responses to complex environmentalproblems: insights from a science-policy activity ontransboundary haze from vegetation fires inSoutheast Asia. Agriculture, Ecosystems andEnvironment (forthcoming).

Reinhardt, T, Ottmar, R, and Castilla, C (2001).Smoke impacts from agricultural burning in a rural Brazilian town. Journal of the Air and Waste Management Association51: 443-450.

Stolle, F and Tomich, T (1999). The 1997-1998fire event in Indonesia. Nature and Resources 35(3): 22-30.

Tomich, T, Fagi, A, de Foresta, H, Michon, G,Murdiyarso, D, Stolle, F, and van Noordwijk, M(1998). Indonesia’s fires: Smoke as a problem,smoke as a symptom. Agroforestry Today10 (1): 4-7.

Artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah asapdan solusi potensial tersedia di situs web CIFOR dihttp://www.cifor.cgiar.org/news/fireproblem. htm,http://www.cifor.cgiar.org/fireproject/index.htmand http://www.cifor.cgiar.org/news/fire.htm, andon the IUCN/WWF Project Firefight SEAsiawebsite at http://www.pffsea.com.

Laporan singkat ini disusun bersama oleh Achmad M. Fagi dari AARD; Daniel Murdiyarso dariInstitut Pertanian Bogor/CIFOR; Samuel Oliveira dan Judson Valentim dari Embrapa; CarlosCastilla dari Universidad del Pacifico, Colombia; Rona Dennis dan Luca Tacconi dari CIFOR;Erick Fernandes dan Quirine Ketterings dari Cornell University; Jessa Lewis, Debra Lodoen,Suyanto, Thomas Tomich, Meine van Noordwijk dan Lou Verchot dari ICRAF; Hubert deForesta dan Genevieve Michon dari IRD; Stewart Maginnis, Peter Moore dan Jeff Sayer dariIUCN/WWF; Fred Stolle dari Universite Catholique Louvain-la-Neuve, Belgium; dan CharlesDull dan Alex Moad dari USDA Forest Service.

Dana disediakan oleh Asian Development Bank, Pemerintah Belanda Government dan USAID.

Jika reproduksi untuk tujuan non-komersial, ASB menganjurkan penyebaran karyanya secaragratis. Bagian-bagian dari dokumen ini dapat dikutip atau direproduksi tanpa biaya, asalkanmenyebutkan sumbernya. © 2002 Alternatives to Slash-and-Burn

Hubungi kami di:ASB Programme, ICRAFP.O. Box 30677, 00100 GPONairobi, Kenya.

Tel: +254 20 524114/524000 ou + 1 650 833 6645Fax: +254 20 524001 ou + 1 650 833 6646Website: http://www.asb.cgiar.orgE-mail: [email protected]

Kirimkan nama dan alamat rekan-rekan anda yangmenurut anda perlu dicantumkan dalam daftarpengiriman kami.

Series Editor: Thomas Tomich. Associate Editor: Jessa Lewis. Writer: Simon Chater, Green Ink Ltd. Design: Conrad Mudib. Layout: Joyce Kasyoki

ASB Policybriefs diterbitkan oleh Alternatives to Slash-and-Burn (ASB) Programme. Tujuan seri ini adalah untuk memberikan bahan bacaan yangrelevan dan ringkas untuk pihak-pihak utama yang keputusannya membawa perubahan dalam pengentasan kemiskinan dan perlindungan lingkungandi kawasan tropis basah.

Dalam keadaan darurat: Beberapa kiatuntuk para donorJangan dikelabui oleh keputusan pemerintah yangtergesa-gesa mengenai pemberlakuan laranganpembakaran di saat darurat. Larangan yangdiberlakukan pemerintah pusat secara tergesa-gesabukanlah solusi untuk krisis asap. Di berbagai daerahpedesaan di wilayah tropis, pemerintah lokal yanglemah menyebabkan larangan tersebut tidak dapatdilaksanakan. Lagipula, di kawasan tropis keharusanuntuk patuh terhadap suatu larangan cenderungberlaku secara tidak seimbang bagi masyarakat miskindi pedesaan, yang lebih mudah diancam oleh parapetugas dan kekurangan sumber daya untuk mencarialternatif pengganti pembakaran.

Dukunglah larangan parsial terhadap pembakaran ditanah gambut dan daerah-daerah rawa gambut.Larangan tersebut lebih bijaksana mengingat lebihbanyak asap yang diemisi oleh daerah-daerah ini.Berhubung larangan tersebut berlaku untuk areal yanglebih kecil, maka lebih layak untuk dilaksanakan.Meskipun demikian, larangan parsial memerlukansistem pengawasan dan penegakan yang efektif.

Jangan mengharapkan sumbangan darurat berupasepatu bot, sekop, truk pemadam kebakaran, pesawat

tangki, dan perlengkapan pemadam kebakaran untukmengatasi masalah kebakaran secara umum. Tindakanpemadaman api tidak tepat sasaran: kebanyakankebakaran tropis terjadi secara sengaja, bahkan padasaat El Niño yang kuat. Lagipula, untuk kebanyakanperistiwa kebakaran, bantuan seperti itu cenderungdatang terlambat.

Tetapi arahkan bantuan darurat untuk kebakaran ditanah gambut dan di daerah-daerah rawa, yang sekalilagi merupakan perkecualian. Selain bermanfaat dalammenghindari polusi asap, bantuan teknis darurat sangatkritis dalam usaha menekan api yang sangat sulitdipadamkan dan berlangsung terus menerus.

Yang terutama, tingkatkan akses ke informasi. Di saatperistiwa darurat asap, umumkan siapa yang melakukanpembakaran dan ini kemungkinan besar akanmemberikan hasil terbaik. Karena kemampuannyadalam menyebarluaskan citra satelit yang luar biasajelas, jaringan web dunia merupakan alat yang sangatkuat untuk menyebutkan nama dan mempermalukanpara pelanggar yang terburuk. Dukungan untukmembuat informasi tersebut tersedia secara lokal,nasional dan internasional akan sangat bermanfaatdengan biaya murah (lihat Kotak di atas).

NASA 'Earth Observatory' menunjukkan asap yang berasaldari kebakaran (ditandai dengan titik merah) di sebagianwilayah Pulau Sumatera pada awal tahun 2002.

Sumber:http://eob.gsfc.nasa.gov/NaturalHazards/natural_hazards_v2.php3?img_id=2127, atas izin Jacques Descloitres,MODIS Land Rapid Response Team, NASA.

Jaringan situs web duniasebagai sarana pendukungpertanggunggugatan melaluikesadaran masyarakat Di kawasan tropis, kebakaran terjadi tiaptahun, disertai masalah asap dalam tingkatyang berbeda. Akan tetapi peristiwa asap diIndonesia pada tahun 1997/98 mendapatperhatian yang lebih besar dibandingkanperistiwa-peristiwa sebelumnya. Hal inisebagian besar dipengaruhi secara luar biasadari adanya situs web dunia. Ketika itu,lembaga-lembaga pemerintah, LSM,lembaga-lembaga donor bilateral danmultilateral, dan program-programpenelitian di Indonesia dan di negara lainmemasang informasi di web setiap hari.